A. LATAR
BELAKANG MASALAH
Salah satu sifat/watak
manusia selaku makhluk yang berkesadaran ialah bercita-cita dan berikhitiar,
harapan yang paling esensial dari usaha tersebut ialah memenuhi setiap
kebutuhannya, entah itu primer atau pun sekunder. Kaitannya dengan cita-cita,
adalah merupakan hal yang mungkin sifatnya bahwa terdapat segelintir orang yang
membangun suatu kesadaran orientasi hidup yang tak hanya dibatasi pada
kepentingan individualitasnya, melainkan jauh kedepan mereka memikirkan
kepentingan-kepentingan kolektif. Konsekuensi logis dari kesadaran yang seperti
ini ialah terbentuknya jejaring tindakan-tindakan kelompok yang bertujuan
memenuhi kepentingan bersama.
Kemungkinan ini dapat
diuji dilapangan (kehidupan sehari-hari), meski dalam aspek nilai bukan
merupakan hal yang mudah untuk diidentifikasi, akan tetapi paling tidak segala
sesuatu punya standarisasi/kaidah dimana penilaian disandarkan. Pada posisi ini
dapat dimengerti bahwa sesungguhnya terdapat ruang bagi manusia untuk menetapkan
satu stigma pada sesuatu, termasuk dalam hal ini ialah realitas sejarah.
Sejarah sebagai sesuatu
yang rill, meski kenyataan sesungguhnya telah berlalu, tapi tidak berarti bahwa
nilai-nilai yang dikandungnya ikut terkubur. Bahkan menurut penulis bahwa nilai
tersebut berkemungkinan besar mempengaruhi pola hidup/sikap kehidupan umat
manusia hari ini (bukan dalam artian determinis akan tetapi reflektif). Pada
posisi ini sejarah dianggap sebagai bagian terpenting dalam diskursus keilmuan
untuk memproyeksikan masa depan, dan karenanya ia pun menjadi niscaya untuk
dikaji, ditelaah dan dimengerti.
Membangun sikap
antipati terhadap sejarah sama halnya mengeberi nilai kemanusiaan yang pernah
terjadi. Bahkan lebih ekstrim penulis bisa bahasakan bahwa setiap kita
(generasi hari ini) adalah produk sejarah. Persoalannya kemudian ialah
bagaimana membangun dan mengambil sikap terhadapnya.
Berangkat dari kesadaran ini penulis
berupaya mengangkat salah satu fakta sejarah khususnya perjalanan yang telah
dilalui oleh Ali bin Abi Thalib kaitannya dengan perjuangan hidupnya saat
berhadapan dengan Khawarij, Klan Thalha CS dan Mu’awiyah.
PEMBAHASAN
Sebagaiman yang telah
dikemukakan sebelumnya bahwa tak satu pun peristiwa yang pernah dan akan
terjadi bisa lepas dari hukum kausalitas, atau bisa dikatakan sebagai variabel
terkait yang menjadi pemicunya. Oleh karenanya, memahami pemicu tersebut
merupakan prasyarat utama bagi terpahaminya secara logis kenapa kemudian suatu
peristiwa dapat mewujud.
Ungkapan ini dipertegas
oleh Hegel (salah seorang pemikir jerman) bahwa nalar adalah hukum dunia, oleh
karena itu dalam sejarah dunia segala sesuatu yang terjadi secara rasional.
Lebih jauh Ia mengatakan bahwa nalar adalah substansi
(hakikat), karena dengan nalar segala realitas mempunyai wujud.[1]
Dari pernyataan ini penulis menangkap suatu makna bahwa dengan memahami sejarah
secara objektif, akan dimengerti corak pemikiran yang menguasai peradaban pada
saat itu.
Demikian halnya dengan
peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi pada zaman Ali bin Abi Thalib saat
berhadapan dengan Khawarij, klan Thlaha Cs dan Mu’awiyah. Sebagai sebuah
kenyataan historis, patut untuk ditealaah dan dikaji lebih jauh, tapi tentunya
tetap berdasar pada kaidah keilmuan (objektif).
Dan demi menjaga
sistematisasi pembahasan, penulis akan mengklasifikasikan pembahasan makalah
ini seabagai berikut :
A.
BIOGRAFI SINGKAT ALI
BIN ABI THALIB
Ali
adalah salah seorang figur yang tersohor dengan berbagai kepiawaiannya dalam
perjalanan sejarah, khususnya bagi kaum muslimin itu sendiri. Kehadirannya
sebagai aktor dalam panggung sejarah kemanusiaan memiliki keunikan dan
esesnsialitasnya sendiri, sehingga membicarakan sejarah Islam dianggap tidak
sempurna jika tidak menjadikan beliau sebagai salah satu sorotan. Kondisi ini
mengantar kita hingga pada suatu pertanyaan bahwa siapakah Ali itu
sesungguhnya? Dan dalam menjawab pertanyaan ini, tidak bisa tidak harus dimuali
dengan pelacakan terhadap biografinya, meski demikian muatan makalah ini hanya
akan menggambarkan hal tersebut secara singkat.
Ali
bin Abi Thalib adalah seorang putra yang lahir dari pertautan syar’i antara Abu
Thalib bin Abdul Muthalib dengan Fatimah binti As’ad bin Hasyim bin Abdul
Manaf. Ia lahir disaat peta sosial masyarakat Arab saat itu dalam keadaan
berhadapan-hadapan, disatu sisi terdapat barisan Rasulullah Saw yang dengan
milisinya terus melakukan internalisasi kesadaran religius bagi masyarakat yang
nota benenya masih dominan menyembah berhala, dan disisi lain terdapat
klan-klan kekuatan penolak yang secara sadar menolak tawaran-tawaran Rasulullah
Saw tersebut.
Menurut
Ibnu Saad bahwa Ali dilahirkan malam 12 rajab tahun 30
dari tahun gajah pada abad ke-6M. Abu Thalib adalah saudara kandung Abdullah
ayah Nabi Muhammad Saw, karena itu pula Ali tergolong
sebagai
keturunan keluarga Hasyimiyah, sama dengan garis keturunan
Nabi Muhammad Saw, dan garis keturunan inilah yang menduduki
kekuasaan tertinggi atas Ka'bah dan sekitarnya sebelum Nabi lahir.[2]
Ketika berusia 6 tahun, Ali diambil sebagai anak asuh oleh Nabi s.a.w. sebagaimana beliau pernah diasuh oleh ayahnya (Abi Thalib). Ali adalah orang kedua yang menerima da'wah Islam setelah Khadijah binti
Khuwailid, isteri Nabi s.a.w. sejak itu ia selalu bersama Rasulullah dan banyak
menyaksikan Rasulullah s.a.w menerima wahyu. Sebagaimana anak asuh Nabi, ia
banyak menimbah ilmu mengenai rahasia ketuhanan maupun
persoalan keagamaan, entah itu teoritis atau pun praktis. Pada tahun ke-2 hijriah, tepatnya ketika Ali berusia 21 tahun 5
bulan, Ia dinikahkan dengan Fatimah al-Zahra yang
berusia 15 tahun.[3]
Ali dikenal cerdas dan menguasai masalah keagamaan secara
mendalam, sebagaimana tergambar dari sabda Nabi s.a.w., "Aku kota ilmu
pengetahuan sedang Ali pintu
gerbangnya"[4] ia juga dikenal
sebagai panglima perang yang gagah perkasa.[5]
Ia adalah sosok pemuda yang keberaniaanya luar biasa dalam perjuangan membela
Islam.
Setelah Nabi s.a.w. wafat, Ali banyak mendukung
pemerintahan Abu Bakar. Ketika muncul Nabi-nabi palsu, ia turut ambil bagian dalam mengamankan
stabilitas Madinah. Setelah Abu Bakar wafat ia segera membai'at Umar sebagai khalifah
ke dua. Untuk mempererat hubungan persaudaraan, Ali memperkenankan menikahi salah seorang putrinya, yakni ummi Kalsum. Ia selalu
membantu Umar dalam mengatur pemerintahan Islam, ketika terjadi pencalonan khalifah ketiga Ali menyampaikan
dukungan suaranya terhadap Usman. Dan ketika Usman terkepung oleh
gerombolan pemberontak dan memerintahkan putranya yang bernama Hasan untuk
menjaga keamanan pintu rumah Usman.
B.
KEPMIMPINAN ALI BIN ABI
THALIB (35-40H/656-661M)
Hal yang paling
substansial menjadi perdebatan Setelah kepergian Rasulullah Saw ialah persoalan
kepemimpinan, khususnya tentang siapa yang berhak menjadi pengganti beliau
dalam melanjutkan kepemimpinan dan menjaga serta melestarikan nilai-nilai yang telah diajarkan peribadi agung ini dalam
kehidupan individu maupun sosial kemasyarakatan.
Beragam gagasan dan
konsepsi tentang kasus ini telah mewarnai perjalanan sejarah umat terdahulu,
mulai dari pengangkatan Abu Bakar As-Shiddiq di Balariung Sakifah melalui
musyawarah oleh segelentir kaum muslimin, penunjukan Abu Bakar kepada Umar bin
Khattab sebagai pengganti, penetapan dewan
syura’ oleh Umar bin Khattab untuk mengurus penggantinya (terpilih Usman
bin Affan), dan baiat secara massal dari publik kepada Ali bin Abi Thalib
setelah Usman bin Affan.
Meski dalam putaran
roda waktu tersebut, sejarah Islam awal (pasca wafatnya Rasulullah) telah
diwarnai dengan beragam pola/skema penetapan kepemimpinan (bahkan ada yang
berujung pada konflik yang berkepanjangan), tapi paling tidak terdapat satu hal
yang menjadi perekat dari semuanya, yakni kesepakatan oleh kaum Muslimin akan
pentingnya pemimpin dan kepemimpinan dalam Islam.
Konflik internal yang
kontras dalam catatan sejarah umat Islam awal ialah setelah terbunuhnya
Khalifah ke tiga (Usman bin Affan). Khawatir akan terjadinya fitnah yang
berujung pada perpecahan berlarut, maka masyarakat Madinah tidak membiarkan
kesenjangan ini, dan bergegas memilih Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin
pengganti, dan memang selaku kandidat terkuat menurut pengamatan dewan syura’ bentukan Umar bin Khattab yang
masih hidup. Bahkan para sejarawan bersepakat bahwa Ali dipilih secara
aklamasi, dan menuntut baiat (pengakuan/legitimasi) di masjid secara terbuka
dengan kesepakatan seluruh hadirin.[6]
Maka dari itu bisa dipahami bahwa Ali adalah khalifah pertama dan satu-satunya
yang terpilih secara umum dalam sejarah kekhalifaan.
Kekhawatiran kaum muslimin akan
terjadinya fitnah dan konflik internal pasca terbunuhnya Usman bin Affan, pun
ternyata tidak dapat dibendung. Kaum muslimin terkotak-kotakkan kedalam
bebarapa kelompok, dan masing-masing dari mereka membangun sistem pemekirian
tersendiri. Tidak hanya sampai disitu, saling mengintrik antara satu komuntisa
yang satu dengan komunitas yang lainnya pun terkumandangkan, endingnya adalah pertentangan
dan perang. Dan inilah fase tantangan yang harus dihadapi oleh Ali bin Abi
Thalib as.
C.
PERGOLAKAN POLITIK PADA
KEKHALIFAAN ALI
Sebagaimana yang telah
disinggung sebelumnya bahwa pada kepemimpinan Ali bin Abi Thalib, konflik
internal mewarnai perjalanan historisnya. Konflik ini tak hanya berbau politis
melainkan telah mengaitkan persoalan-persoalan teologis (mazhab-mazhab mulai
terbentuk). Kilasan tantangan Ali bin Abi Thalib penulis urai sebagai berikut :
1.
Khawarij
Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah bahwa
kelompok ini pada awalnya adalah satu barisan dengan Ali bin Abi Thalib, namun
dalam putaran waktu kelak, kelompok ini memilih untuk keluar dari barisan Ali,
dan memilih untuk membuat kelompok baru dengan pola dan sistem sosial, teologi, serta
kepemimpinan yang baru.
Benih perlawanan dari kelompok ini mulai nampak saat
Amr Ibn al-As’ (klan Mu’awiyah) mengacungkan al-Qur’an di ujung tombak di
perang Shiffin, pengacungan ini dimaksudkan untuk berdamai melalui arbitrase.
Kelompok ini menekan khalifah Ali bin Abi Thalib agar menerima tawaran
tersebut. Dan demi menjaga ritme barisan, Ali bin Abi Thalib pun menerima
tawaran itu dan meminta Abudllah Ibn Abbas (sebagai arbitrator), namun kelompok
(yang cikal bakal jadi khawarij ini) menolak nama yang diusulkan oleh Ali
dengan alasan bahwa yang dimaksudkan adalah bagian dari keluarga Ali bin Abi
Thalib. Penolakan tersebut diiringi dengan penawaran nama baru, yakni Abu Musa
al-Asy’ari.[7]
Setelah penentapan nama
tersebut dari mereka, proses arbitrase antara klan Mu’awiyah dengan klan Ali
bin Abi Thalib dilaksanakan, dan keputusan yang dilahirkan dari seremoni itu
rupanya ditolak oleh barisan yang sama dengan alasan bahwa keputusan itu tidak
sesuai dengan hukum Allah. Kelompok inilah kemudian nantinya yang dinamai
dengan Khawarij (berasal dari kata kharaja
: keluar). Dari mereka adalah al-Asy’asy Ibn Qais al-Kindi, Mas’ar ibn Fudaki
at-Tamami dan Zaid ib Husain ath-Thai.[8]
Senada denga
apa yang diungkapkan oleh Muhammad ‘Ali al-Sayis bahwa
penerimaan tahkim oleh pihak ‘Ali bin Abi Thalib merupakan sumber
lahirnya golongan Khawarij, yaitu orang-orang dari pihak ‘Ali bin Thalib yang
tidak menyetujui keputusan ‘Ali bin Abi Thalib untuk menerima tahkim itu.
Karena menganggap praktek seperti itu tidak pernah dicontohnkan di masa
Rasulullah SAW dan juga tidak ada dalilnya dalam Alquran, maka perbuatan
tersebut dinilai sebagai prilaku yang menyalahi hukum Allah. Mereka keluar dari
barisan ‘Ali bin Abi Thalib dan mengancam akan melawan balik kecuali jika
beliau secara resmi mengakui kesalahannya dan membatalkan semua syarat yang
dikemukakan oleh pihak Mu’awiyah, dan terus menggempur hingga hancur atau
kembali kepada jalan yang diridhai oleh Allah.[9]
Keluarnya
kelompok ini dari barisan Ali menandakan tidak sepakatnya dengan kepemipinan
Ali bin Abi Thalib beserta klan Mu’awiyah. Konsekuensi logis dari kenyataan ini
ialah mereka menetapkan pemimpin sendiri dari kalangan mereka, dan dipililah
Abdullah Ibn Wahb Al-Rasidi sebagai amirul mukininnya.[10]
Dari sini dapat dilihat bahwa dalam
perspektif historis, dasar awal yang menyebabkan munculnya golongan Khawarij
adalah arbitrase (tahkim).[11] Pengamat
Barat W. Montgomery juga mengajukan hipotesa tersebut sebagai gambaran asal
mula sekte-sekte Islam.[12]
Akhir
dari proses ini ialah semakin menajamnya konflik internal dikalangan umat
Islam, bahkan posisi Ali bin Abi Thalib pun mulai tersudut karena kelompok ini
juga menyatakan perang kepadanya, pun dengan klan Mu’awiyah.
2.
Thalha
CS
Menurut Mahmoud M. Ayoub bahwa kasus Thalah dan
Al-Zubair adalah kasus yang sangat khas dan menarik, oleh karena keduanya
termasuk sahabat yang pertama kali membaiat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah
dan mereka pula yang pertama kali menyatakan perang terhadapnya.[13]
Ya’qubi meriwayatkan bahwa keduanya mengeluh pada
Ali karena jatuh miskin setelah wafatnya Nabi dan meminta Ali agar menjadikan
keduanya sebagai sekutu dalam kekuasaan. Ali menjawab “Sungguh, kalian adalah
sekutu dalam kekuatan dan kejujuran, serta penolongku saat kelemahan dan
ketidakmampuan”. Dan setelah itu Ali menulis surat pengangkatan untuk Thalha
sebagai Gubernur Yaman dan Al-Zubair sebagai gubernur wilayah Yamamah dan
Bahrain. Tapi keduanya rupanya tidak puas dengan keputusan Ali tersebut, mereka
malah meminta bagian yang lebih besar dari bait
al-mal sebagai perwujudan kebaikan kepada keluarga dekat. Lalu dengan murka
Ali membatalkan pengangkatan mereka sambil mengatakan, “Bukankah aku telah
menunjukkan kebaikan kepadamu dengan mengangkatmu sebagai pemegang amanat atas urusan kaum Muslimin?!”.[14]
Pembatalan yang dilakukan oleh Ali terhadap posisi
yang tadinya diberikan kepada dua orang tersebut (Thalha dan al-Zubair),
menyulut kebencian keduanya terhadap Ali. Akhirnya mereka pun memilih untuk
banting setir menentang Ali bin Abi Thalib, dengan cara menggalang dukungan
politis dari berbagai pihak yang menurutnya bisa dimanfaatkan untuk meronrong
kepemimpinan Ali bin Abi Thalib.
Langkah awal yang mereka lakukan ialah berangkat ke
Mekkah untuk berdiplomasi dengan Aisyah (dan disinyalir memang punya hubungan
keluarga dengan Thalhah), setelah mereka berhasil meyakinkan Aisyah maka Aisyah
kemudian bertanaya “apa yang harus saya lakukan?” Dengan tangkas Thalha dan
Zubair menjawab bahwa “sampaikan kepada masyarakat bahwa Usman telah dibunuh
secara zalim, dan urusan harus diserahkan kepada Dewan Muslim yang dibentuk
Umar ibn Khattab”.[15]
Bergabungnya Aisyah dalam barisannya, jelas
merupakan langkah maju bagi Thalha dan Zubair, apalagi dengan dideklarasikannya
penanggung jawab pengusutan kasus kematian Usman bin Affan kepada Dewam Muslim
yang juga dianggotai oleh Thalha, Zubair dan Sa’ad bin Abi Waaqqash.
Menurut Ibn Abi Al-Hadid bahwa salah satu motif yang
menguatkan posisi Thalhah dan Zubair untuk melakukan pemberontakan karena
hasutan dari Mu’awiyah, isu yang ditawarkan oleh Mu’awiyah kepadanya untuk
diangkat sebagai legitimasi pemberontakan ialah menuntut balas atas kematian
Usman. Dan setelah meyakinkan Zubair
akan loyalitas masyarakat Suriah terhadapnya sebagai khalifah, Mu’awiyah
melanjutkan bahwa segeralah ke Kufah dan Bashrah sebelum Ali bin Abi Thalib
mendahuluimu kesana, karena kalian tidak akan memperoleh apa-apa jika kalian
kehilangan kedua kota tersebut.[16]
Akhir dari kualisi-kualisi taktis politis ini ialah
meletusnya perang Jamal di Basrah pada tanggal 16 Jumadil Tsani 36 H / 6 Desember
656M.[17] Dikatakan perang Jamal, karena Aisyah ikut serta dalam peperangan ini dengan
mengendarai unta. Dan saat perang
tersebut berlangsung Zubair berkata kepada Ali bahwa anda tidak
lebih berhak atau tidak lebih memenuhi syarat untuk memegang jabatan khalifah,
melainkan kami (Zubair, Thalhah dan Sa’ad bin Abi Waqqas) pun sama-sama
memiliki hak dan sama-sama memenuhi syarat untuk itu.[18]
Meski
dukungan demi dukungan mereka berhasil dapatkan untuk melakukan konfrontasi di
Perang Jamal nantinya, tapi fakta dalam sejarah membuktikan bahwa mereka
ternyata berhasil ditaklukkan oleh barisan Ali bin Abi Thalib. Tokoh-tokoh
penggerak perang tersebut dapat dipatahkan, hingga dalam sejarah tercatat bahwa
Thalhah terbunuh oleh anak panah yang
dibidikkan oleh Marwan ibn Al-Hakam. Melihat nasib sekutunya, Zubair segera
meninggalkan medan perang, namun ia diburuh dan dibunuh oleh seorang suku Tamim
atas suruhan al-Ahnaf ibn Qais (pemuka Anshar/pendukung setia Ali bin Abi
Thalib).[19]
3.
Mu’awiyah
Salah satu tantangan berat yang dihadapi oleh Ali
bin Abi Thalib pada masa kepemimpinannya ialah tekanan yang dilakukan oleh
Mu’waiyah kepadanya. Tekanan ini besumber dari bangunan asumsi yang diyakini
oleh Mu’waiyah bahwa dirinya merupakan pewaris (wali) Utsman dalam menuntut balas atas darahnya (kematiannya).
Bahkan lebih jauh Mu’wiyah berkeyakinan bahwa dirinya juga adalah khalifah yang
sah (pengganti Usman bin Affan) berdasarkan bai’at
yang dilakukan oleh masyarakat Suriah terhadapnya setelah Ali bin Abi Thalib
memangku jabatan tersebut.[20]
Meskia demikian, perjalanan sejarah mencatat bahwa
terdapat berbagai keputusan politis praktis yang Mu’awiyah tempuh untuk
memuluskan ambisi kuasanya. Diantaranya ialah, saran yang disampaikan melalui
Jarir (utusan Ali untuk meminta bai’at pada masyarakat Suriah, namun tidak
membuahkan hasil yang signifikan) agar
Ali memberikan Suriah dan Mesir kepadanya dan Ali mengambil Irak dan Hijaz
sebagai wilaya kekuasaan.[21]
Bahkan menurut Rasul Ja’farian bahwa setelah Jarir
tiba di Damaskus, Jarir meminta kepada Mu’awiyah untuk menghentikan sikap
pembangkanannya dan upayanya menghasut masyarakat, hingga bergabung dalam
barisan umat Islam. Tapi kemudian Mu’awiyah meminta masyarakat berkumpul di
masjid, lalu berpidato dengan memulai pembicaraan lewat pujian terhadap
Damaskus sebagai “Kawasan Suci”. Setelah itu Mu’awiyah melanjutkan pidatonya
dengan mengatakan bahwa aku ini adalah khalifah kalian yang mewakili Umar bin
Khattab dan Usman bin Affan. Aku ini penjaga dan pelindung darah Usman, dan
Usman adalah orang yang telah dibunuh secara zalim. Bagaimana pandangan kalian
tentang darah Usman? Masyarakat Damaskus
yang hadir serentak menyatakan dukungan bagi langkah Mu’awiyah untuk menuntut
balas atas kematian Usman. Hasil pertemuan ini pulalah yang dijadikan tanggapan
Mu’awiyah kepada Ali bin Abi Thalib.[22]
Dari keadaan tersebut terdapat dua hal yang menjadi
motif konprontasi Mu’awiyah terhadap Ali bin Abi Thalib, dalam hal ini ialah
pengusutan para pembunuh khalifah sebelumnya dan yang kedua ialah isu dualisme
kepemimpinan (Ali dan dirinya).
Kedua hal ini dijadikan sebagai penguat alasan oleh
Mu’awiyah untuk terus menerus melakukan tekanan kepada Ali bin Abi Thalib
selaku khalifah resmi. Tuntutan yang paling jelas sebagaimana yang ditegaskan
oleh Harun Nasution ialah mengusut tuntas serta mengeksesui pembunuh Usman bin
Affan. Disisi lain, Mu’awiyah bahkan menuduh Ali bin Abi Thalib sebagai salah
satu agen dalam proses pembunuhan tersebut.[23]
Tekanan
yang terus dipompakan oleh Mu’awiyah kepada Ali bin Abi Thalib berujung pada
konflik di Shiffin, dimana pada perang tersebut tangan kanan Mu’awiyah (Amr bin
Ash) berhasil mengkudeta posisi kekahlifaan Ali bin Abi Thalib melalui
arbitrase dengan Abu Musa Al-Asy’ari (arbitrator Ali) dan mengukuhkan Mu’awiyah
sebagai khalifah pengganti.
D.
AKHIR RIWAYAT HIDUP ALI BIN ABI THALIB
Masa kekhalifahan Ali penuh dengan
pergolakan, cita-cita Ali ingin mengadakan
konsolidasi interen dalam pemerintahannya tidak tercapai.
Kemungkinan hal ini terjadi karena Ali menjalankan pemerintahan dengan
pendekatan revolusioner atau hanya menerima sisa-sisa kekecewaan akibat sistem
pemerintahan yang dijalankan Usman bin Affan.
Pada waktu Ali bersiap-siap
hendak mengirim pasukan sekali lagi untuk memerangi Mu'awiyah, terbentuklah
suatu komplotan untuk mengakhiri hidupnya. Kelompok itu terdiri dari tiga orang
Khawarij yang bersepakat hendak membunuh Ali, Mu'awiyah serta Amr bin Ash yang dilakukan pada
malam yang sama. Barak ibnu Abdullah al-Tamimi menuju Syam untuk membunuh Amr
bin Ash dan Ibnu Muljam yang berhasil membunuh Ali yang sedang memanggil orang
untuk shalat[24].
Diceritakan dalam sebuah riwayat
bahwa Ibn Muljam adalah satu dari tiga orang yang bersumpah didepan ka’bah
bahwa pada hari yang sama mereka akan membersihkan komonitas Islam dari tiga tokoh pengacau:
Ali, Mu’awiyah, dan Amr ibn Ash. Tempat terpencil di dekat Kufah
yang menjadi makam Ali, kini masyhad Ali di Najaf berkembang menjadi salah satu
pusat ziarah terbesar dalam agama Islam.[25]
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berangkat dari
pembahasan terdahulu maka pada poin penutup ini penulis dapat menyimpulkan
beberapa hal sebagai berikut :
1. Kekhalifaan
Ali bin Abi Thalib adalah kekhalifaan yang bermaksud mengejawantahkan
pesan-pesan Rasulullah yang dia peroleh selama bersamanya.
2.
Konprontasi dari
berbagai pihak (Khawarij, Thalha CS dan Mu’awiyah) adalah bukti sejarah Islam
yang memilukan karena lebih banyak tergerakkan oleh motif-motif material
ketimbang kemanusiaan dan agama.
DAFTAR
PUSTAKA
Ali al-Sayis, Muhammad.
Tarikh li Fiqh al-Islami, Kairo : Maktabah ‘Ali Sabih wa Auladuh, tth.
Al-Nadawy, Abu al-Hasan. kehidupan Nabi Muhammad s.a.w dan Amirul
Mukminin Ali bin Abi Thalib R.A. Cet. I ; semarang : al-Syifa 1992.
Al
Syahrastani, Muhammad Bin Abdul Karim. Al-Milal
wa Al-Nihal. terj. Asywadie Syukur, Aliran-Aliran
Teologi dalam Sejarah Umat Manusia. Cet. I; Surabayah : PT. Bina Ilmu, t.t.
Ensiklopedi Islam, Tim penyusun. Ensiklopedi Islam Cet III; Jakarta : Ictiar Baru Van Hoeve, t.t.
Hegel.
Hegel : Reason ini History. terj.
Salahuddin, Nalar dalam Sejarah. Cet.
I; Jakarta Selatan : PT. Mizan Publikan, 2005.
Ja’farian,
Rasul Ja’farian, History of the caliphs :
From the Death of the messenger to the
decline of the Umayyad Dynasty. terj. Ilyas Hasan, Sejarah Islam : Sejak Wafat Nabi Saw hingga runtuhnya Dinasti Bani
Umayyah. Cet. II, Jakarta : PT. Lentera Basritama, 2009 M.
K. Ali, A study of Islamic History. terj. A. Mas'adi dengan judul " Sejarah
Islam dari awal sampai runtuhnya dinasti Usmani (Tarikh pra modern). Cet. II; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997.
K.
Kitti, Philip. History of The Arabs; From
the Earliest Times to the Present. terj. Dedi Slamet Riyadi, History of the Arabs. Cet. I; Jakarta :
PT. Serambi Ilmu Semesta, 2008.
M.
Ayoub, Mahmoud. The Crisis of Muslim
History : Religion and Politics in Early Islam. terj. Munir A. Muin, The Crisis of Muslim History : Akar-akar
krisis politik dalam Sejarah Muslim. Cet. I; Bandung : Mizan, 2004.
Muhammad bin jarir al-Tabariy, Abu Ja’far. Tarikh al-Umam wa al-Mulk,
juz IV. Cet.I; Bairut: Dar al-Fikr, 1987.
Nasution,
Harun. Teologi Islam; Aliran-aliran
sejarah analisa perbandingan. Cet. V; Jakarta : Universitas Indonesia,
1986.
[1] Hegel, Hegel : Reason ini History. terj. Salahuddin, Nalar dalam Sejarah, (Cet. I; Jakarta Selatan : PT. Mizan Publikan,
2005), h. 15.
[2] Abu al-Hasan al-Nadawy, kehidupan Nabi Muhammad s.a.w dan
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib R.A ( semarang: al-Syifa 1992),
h. 483.
[6] Mahmoud M. Ayoub, The Crisis of Muslim History : Religion and
Politics in Early Islam. terj. Munir A. Muin, The Crisis of Muslim History : Akar-akar krisis politik dalam Sejarah
Muslim. (Cet. I; Bandung : Mizan, 2004), h. 129.
[7]
Muhammad Bin Abdul Karim Al Syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal. terj. Asywadie Syukur, Aliran-Aliran Teologi dalam Sejarah Umat Manusia, (Surabayah : PT.
Bina Ilmu, t.t), h. 101.
[8] Ibid., h. 102.
[9] Muhammad ‘Ali al-Sayis, Tarikh
li Fiqh al-Islami, (Kairo : Maktabah ‘Ali Sabih wa Auladuh, tth.), h. 61.
[10] Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-aliran sejarah analisa
perbandingan, (Cet. V ; Jakarta : Universitas Indonesia, 1986), h. 12.
[11]Inti
arbitrase adalah persetujuan dari khalifah Ali setelah memperoleh kemenangan
terhadap Muawiyah dalam peperangan di Siffin tahun 37 H. 648 M. Ali menerima
Arbitrase, mereka mengingkarinya meski Ali dipihak yang benar. Lihat Abu Ja’far
Muhammad bin Jarir al-Tabariy, Tarikh al-Umam wa al-Mulk, juz IV (Cet.I;
Bairut: Dar al-Fikr, 1987), h. 664.
[12] M.
Montrogomerry Watt, Islamic Theologi and Philosofhy (Endirburg:
Endirburg University Press, 1979), h. 4-8.
[13]. Mahmoud M. Ayoub, op.cit., h. 133.
[14] Ibid.,
[15] Rasul Ja’farian, History of the caliphs : From the Death
of the messenger to the decline of the
Umayyad Dynasty. terj. Ilyas Hasan, Sejarah
Islam : Sejak Wafat Nabi Saw hingga runtuhnya Dinasti Bani Umayyah. (Cet.
II, Jakarta : PT. Lentera Basritama, 2009 M), h. 307.
[16] Mahmud M. Ayoub, op.cit., h. 134.
[17] K. Ali, A study of Islamic History. terj. A. Mas'adi dengan judul " Sejarah Islam dari awal
sampai runtuhnya dinasti Usmani (Tarikh pra modern), (Cet. II; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997) h. 138.
[18] Rasul Ja’farian, op.cit., h. 308.
[19] Mahmoud M. Ayoub., op.cit., h. 135-136.
[20] Mahmoud M. Ayoub, op.cit., h. 142.
[21] Ibid., h. 153.
[22] Rasul Ja’farian, op.cit., h. 340.
[23] Harun Nasution, op.cit., h. 4-5.
[25]Philip K. Hitti, op. cit.,
h. 227
1 komentar:
Di permudah lagi kata katanya agar pengunjung yg belajar sejarah islam mudah mengerti
Post a Comment