Sunday 11 May 2014

Asal Usul Kerajaan Gowa Tallo & Domain Tri Aliansi Kerajaan Bugis

Gowa berasal dari kata guwari yang artinya bilik atau ruangan untuk didiami. Ketika manusia pertama yang menginjakkan kakinya di daerah ini, mereka memilih daerah pesisir yang berbukit dan menempati guwari sebagai tempat tinggal. Dalam perkembangan lebih lanjut, guwari semakin bertambah jumlahnya sesuai dengan perkembangan manusia, sedangkan tempat tinggal mereka kemudian dinamakan Gowa. Setelah periode Tumanurung sebagai raja pertama, kerajaannya dinamakan Butta Gowa atau Kerajaan Gowa
Menjelang terbentuknya kerajaan Gowa, komunitas Makassar terdiri atas sembilan kerajaan kecil yang disebut Kasuwiyang Salapang(sembilan negeri yang memerintah), yaitu: Tombolo Lakiung, Saumata, Parang-parang, Data’, Agang Je’ne, Bisei, Kalling dan Sero.


Di antara kerajaan-kerajaan kecil tersebut sering terjadi perselisihan yang terkadang menjadi perang terbuka. Perang dapat diperkecil dengan mengangkat dari kalangan mereka seorang pejabat yang disebut Paccallaya. Ia berfungsi sebagai ketua dewan di antara kesembilan negeri yang menjadi anggotannya. Di samping itu, ia merupakan arbitrator dalam mendamaikan perselisihan yang mungkin timbul di antara Gallarang (penguasa) kerajaan-kerajaan kecil itu.3 Berapa lama pemerintahan gabungan yang dipimpin oleh Paccallaya ini berjalan tidak ada lontarak yang membicarakannya. Satu hal yang tidak mampu diatasi oleh Paccallaya ialah jika timbul perselisihan di antara Gallarang sebagai raja-raja kecil. Kelemahan ini terjadi, karena dia sendiri tidak mempunyai kewenangan dan kekuatan memaksa. Demikianlah, pada suatu ketika Paccallaya sepakat dengan kesembilan raja-raja untuk mengangkat seorang putri yang turun dari khayangan sebagai raja di sebuah tempat bernama Takak Bassia. Putri itu datang dengan luar biasa tanpa diketahui nama dan asal daerahnya, sehingga disebut saja Tumanurung. dia diturunkan dari langit sebagai anugrah dari dewa tertinggi guna mempersatukan dan mencari kemakmuran bersama sehingga dapat terhindar dari permusuhan.

1. Masa Sebelum Tumanurung

Sebelum zaman Tumanurung, ada empat raja yang pernah mengendalikan Pemerintahan Gowa yakni : Batara Guru, saudara Batara Guru yang dibunuh oleh Tatali (tak diketahui nama aslinya), Ratu Sapu atau Marancai dan Karaeng Katangka (Nama aslinya tak diketahui). Keempat raja tersebut tak diketahui asal-usulnya serta masa pemerintahannya. Tapi mungkin pada masa itu, Gowa purba terdiri dari 9 kasuwiang ( kasuwiyang salapang) mungkin pula lebih yang dikepalai seorang penguasa sebagai raja kecil. Setelah pemerintahan Karaeng katangka, maka sembilan kerajaan kecil bergabung dalam bentuk pemerintahan federasi yang diketuai oleh Paccalaya.

2. Masa Tumanurung

dapat diketahui bahwa munculnya nama Gowa dimulai pada tahun 1320, yakni pada masa pemerintahan Raja Gowa pertama bernama Tumanurunga. sebelum Tumanurunga hadir di Butta Gowa, ada sembilan negeri kecil yang kini lebih dikenal dengan istilah Kasuwiang Salapanga yakni : Kasuwiang Tombolo, Lakiung, Samata, Parang-parang, Data, Agang Je’ne, Bisei, Kalling dan Sero. Kesembilan negeri tersebut mengikatkan diri dalam bentuk persekutuan atau pemerintahan federasi dibawa pengawasan Paccallaya (Ketua Dewan Pemisah). Walaupun mereka bersatu, tetapi ke sembilan negeri tersebut sering dilanda perang saudara antara Gowa di bagian utara dan Gowa di bagian selatan. Paccallaya sebagai ketua federasi tak sanggup mengatasi peperangan tersebut. Hal tersebut karena Paccallaya hanya berfungsi sebagai lambang yang tidak memiliki pengaruh kuat terhadap anggota persekutuan yang masing-masing punya hak otonom. Untuk mengatasi perang saudara tersebut, diperlukan seorang pemimpin yang kharismatik dan dapat diterima oleh kesembilan kelompok tersebut.

Ada seorang putri yang turun di atas bukit Tamalate tepatnya di Taka’bassia, orang-orang yang berada di Bonto Biraeng melihat seberkas cahaya dari utara bergerak perlahan-lahan turun menuju Taka’bassia. Gallarang Mangasa dan bolo yang di tugaskan mencari tokoh yang bisa menjadi pemersatu kaum yang berseteru itu. Paccalaya bersama ke sembilan kasuwiang bergegas ke Taka’bassia. Di sana mereka duduk mengelilingi cahaya sambil bertafakur. Cahaya itu kemudian menjelma menjadi seorang putri yang cantik jelita disertai pakaian kebesarannya antara lain berupa mahkota. Paccalaya maupun Kasuwiang tidak mengetahui nama putri tersebut, sehingga mereka sepakat memberi nama Tumanurung Bainea atau Tumanurung, artinya orang (wanita) yang tidak diketahui asal usulnya. Karena putri ratu tersebut memiliki keajaiban, Paccalaya dan Kasuwiang Salapang sepakat untuk mengangkat Tumanurung sebagai rajanya.

Paccalaya kemudian mendekati Tumanurunga seraya bersembah “Sombangku!” (Tuanku), Permohonan Paccalaya kepada tumanurung sebagai raja , warga yang ada di sekitar itu berseru “Sombangku”. Tumanurunga resmi menjadi Raja Gowa pertama pada tahun 1320 negeri Gowa kembali menjadi aman. Masa pemerintahan Tumanurunga berlangsung sejak tahun 1320-1345. Diriwayatkan, Tumanurunga kemudian kawin dengan Karaeng Bayo, yaitu seorang pendatang yang tidak diketahui asal usulnya. Hanya dikatakan berasal dari arah selatan bersama temannya Lakipadada. Dari hasil perkawinan tersebut lahirlah Tumassalangga Baraya yang nantinya menggantikan ibunya menjadi raja Gowa kedua (1345-1370).

Menjelang abad XVI, pada masa pemerintahan Raja Gowa VI, Tunatangka Lopi, membagi wilayahnya menjadi dua bagian terhadap dua orang putranya, yaitu Batara Gowa dan Karaeng Loe Ri Sero. Batara Gowa melanjutkan kekuasaan ayahnya yang meninggal dunia. Wilayahnya meliputi


(1) Paccelekang,


(2) Patalassang,


(3) Bontomanai Ilau,


(4) Bontomanai Iraya,


(5) Tombolo, dan


(6) Mangasa.


Adiknya, Karaeng Loe ri Sero, mendirikan kerajaan baru yang bernama kerajaan Tallo dengan wilayah sebagai berikut:


(1) Saumata,


(2) Pannampu,


(3) Moncong Loe, dan


(4) Parang Loe.

Beberapa kurun waktu, kedua kerajaan itu terlibat pertikaian dan baru berakhir pada masa pemerintahan Raja Gowa IX Karaeng Tumapakrisik Kallonna. Setelah melalui perang, beliau berhasil menaklukkan pemerintahan raja Tallo III I Mangayaoang Berang Karaeng Tunipasuru. Sejak itu, terbentuklah koalisi antara Kerajaan Gowa dan Tallo, dengan ditetapkannya bahwa Raja Tallo menjadi Karaeng Tumabbicara butta atau Mangkubumi (Perdana menteri) Kerajaan Gowa. Begitu eratnya hubungan kedua kerajaan ini sebagai kerajaan kembar, sehingga lahir pameo di kalangan rakyat Gowa dan Tallo dalam peribahasa “Dua Raja tapi hanya satu rakyat (Ruwa Karaeng Se’re Ata). Kesepakatan ini diperkuat oleh sebuah perjanjian yang dibuat dua kerajaan ini ,”iami anjo nasitalli’mo karaenga ri Gowa siagang karaenga ri Tallo, gallaranga iangaseng ribaruga nikelua. Ia iannamo tau ampasiewai Goa-Tallo, iamo macalla rewata”.


Hubungan Dengan Kerajaan Lain

Selain hubungan dalam negeri kerajaan gowa-tallo atau dikenal dengan kerajaan Makassar juga membangun hubungan dengan kerajaan-kerajaan lain, baik hubungan militer, perdagangan, agama maupun hubungan ikatan pernikahan, adapun kerajaan tersebagai berikut :

1. Kerajaan Demak

Dalam hubungan kerajaan Demak dan Kerajaan Gowa sebelumnya mengalami proses perang sehubungan dengan penyebaran wilayah kerajaan Demak diwilayah timur Indonesia. Sebuah sumber menyebutkan bahwa dalam perang melawan ekspansi Demak, kerajaan Gowa meminta bantuan beberapa kerajaan di Sulawesi Selatan yang salah satunya adalah kerajaan Bulo-Bulo di kabupaten Sinjai. Disebutkan, keterlibatan kerajaan Bulo-Bulo saat itu mampu menaklukkan Demak dalam tempo satu hari saja, maka kerajaan Gowa pun memberikan hadiah kepada rajanya yaitu Tahan Garessie, wilayahnya mulai dari pantai Jeneponto sampai Bulukumba (wilayah pembuatan kapal). Diplomasi perdamaian terjadi dengan baik karena kedua kerajaan merupakan kerajaan Islam.

Kerjasama ini memperlancar misi kerajaan Demak diperairan selat Makassar serta melengkapi armada lautnya untuk membendung agresi Portugis yang saat itu mulai memasuki wilayah timur Indonesia.

Ditemukannya sebuah makam pangeran Demak di pemakaman Islam kabupaten Sinjai mungkin bisa dihubungkan dengan kondisi pada saat itu. Sebuah sumber juga menyebutkan bahwa perahu Pangeran Demak terdampar di wilayah Kerajaan Bulo-Bulo kemudian menetap di Lamatti. Pangeran Demak itu pun lalu menyiarkan Agama Islam di wilayah tersebut. Nama pangeran Demak yang dimakamkan di kabupaten Sinjai sampai saat ini masih ditelusuri.

2. Kerajaan Bima

Selain Hubungan Politik yang sangat erat, hubungan antara kerajaan gowa dengan kerajaan bima dipererat lagi dengan hubungan pertalian darah atau penikahan, yang lakukan antara keluarga kerajaan.

Hubungan kekeluargaan antara dua kesultanan besar dikawasan Timur Indonesia yaitu Kesultanan Gowa dan Kesultanan Bima terjalin sampai pada turunan yang ke- VII. Hubungan ini merupakan perkawinan silang antara Putra Mahkota Kesultanan Bima dan Putri Mahkota Kesultanan Gowa terjalin sampai turunan ke- VI. Sedangkan yang ke- VII adalah pernikahan Putri Mahkota Kesultanan Bima dan Putra Mahkota Kesultanan Gowa. Berikut urutan pernikahan dari silsilah kedua kerajaan ini :

  1. 1. Sultan Abdul Kahir (Sultan Bima I) menikah dengan Daeng Sikontu, Putri Karaeng Kasuarang, yang merupakan adik iparnya Sultan Alauddin pada tahun 1625. dari pernikahan ini melahirkan Sultan Abil Khair (Sultan Bima ke-II)
  2. Sultan Abil Khair (Sultan Bima ke- II) menikah dengan Karaeng Bonto Je’ne. Adalah adik kandung Sultan Hasanuddin, Gowa pada tanggal 13 April 1646. dari pernikahan ini melahirkan Sultan Nuruddin (Sultan Bima ke-III) pada tahun 1651.
  3. Sultan Nuruddin (Sultan Bima ke-III) menikah dengan Daeng Ta Memang anaknya Raja Tallo pada tanggal 7 mei 1684. dari pernikahan tersebut melahirkan Sultan Jamaluddin (Sultan Bima ke-IV)
  4. Sultan Jamaluddin (Sultan Bima ke IV) menikah dengan Fatimah Karaeng Tanatana yang merupakan putri Karaeng Bessei pada tanggal 8 Agustus 1693. dari pernikan tersebut melahirkan Sultan Hasanuddin (sultan Bima ke- V).
  5. Sultan Hasanuddin (Sultan Bima ke- V) menikah dengan Karaeng Bissa Mpole anaknya Karaeng Parang Bone dengan Karaeng Bonto Mate’ne, pada tanggal 12 september 1704. dari pernikahan ini melahirkan Sultan Alaudin Muhammad Syah pada tahun 1707 (Sultan Bima ke- VI)
  6. Sultan Alaudin Muhammad Syah (Sultan Bima ke- VI) menikah dengan Karaeng Tana Sanga Mamonca Raji putrinya sultan Gowa yaitu Sultan Sirajuddin pada tahun 1727. pernikahan ini melahirkan Kumala Bumi Pertiga dan Abdul Kadim yang kemudian diangkat menjadi Sultan Bima ke- VII pada tahun 1747. ketika itu beliau baru berumur 13 tahun. Kumala Bumi Pertiga putrinya Sultan Alauddin Muhammad Syah dengan Karaeng Tana Sanga Mamonca Raji ini kemudian menikah dengan Abdul Kudus Putra Sultan Gowa pada tahun 1747. dan dari pernikahan ini melahirkan Amas Madina Batara Gowa ke-II. Sementara Sultan Abdul Kadim yang lahir pada tahun 1729 dari pernikahan dari pernikahannya melahirkan Sultan Abdul Hamid (Sultan Bima ke- VIII). Sultan Abdul Hamid (La Hami) dilahirkan pada tahun 1762 kemudian diangkat menjadi sultan Bima tahun 1773.
3. Kerajaan Bone


Hubungan kerajaan bone dengan gowa mengalami begitu banyk pasang surut, kadang kadua kerajaan ini bersahabat, kadang pula berperang, padahal kedua kerajaan mempunyai hubungan darah yang sangat dekat, puncak dari perseteruan kedua kerajaan adalah terjadi pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin, terjadi perang besar antara kerajaan bone yang dibantu oleh belanda melawan kerajaan gowa yang berakhir kekalahan di pihak kerajaan Gowa dikenal dengan perang Makassar.

Domain Tri Aliansi Kerajaan Bugis

Persekutuan Bone, Soppeng, dan Wajo. Persekutuan yang melahirkan sebuah perjanjian dengan jelas membagi status pihak yang terlibat di dalamnya. Persekutuan boleh jadi disebabkan oleh adanya “asseajingeng” (bahasa : Bugis) yang dapat diterjemahkan “Persaudaraan”. Pada puncak hierarki asseajingeng adalah persekutuan pihak yang benar-benar sederajat, atau sebuah persekutuan dua atau lebih saudara yang sama besar (sederajat). Yang lebih lazim adalah persekutuan antara saudara yang kedudukanya tidak setara, di mana yang lebih tua disebut kakak, dan lebih lemah disebut adik. Dalam perjanjian yang melibatkan Bone, Wajo dan Soppeng di Timurung pada abad ke-16, Bone dianggap yang tertua, Wajo dianggap yang tengah, dan Soppeng sebagai saudara muda (uluai Bone ana’tenngai Wajo, paccucunngi Soppen) (Noorduyn 1955:190 dalam Andaya 2004:136). Untuk menaikkkan status Soppeng menjadi saudaranya, maka Bone dan Wajo memberikan tanah. Kasus serupa pernah dilakukan oleh Kerajaan Luwu kepada Wajo sepaya layak disebut saudara. Biasanya pada awal persekutuan, pihak yang lemah memperlihatkan keenggangan untuk mengakui hubungan persaudaraan. Sebaliknya mereka meminta untuk memperlakukan sabagai anak oleh ibunya, karena inilah hubungan yang paling pantas dan benar-benar menggambarkan posisi mereka dalam hierarki negara-negara (Noorduyn 1955:190 dalam Andaya 2004:136). Di bawah status padaworoane, atau saudara, adalah ibu dan anak kesayangan. Dalam hubungan seperti ini kerajaan atasan memberi kepada kerajaan bawahannya status lebih baik dibandingkan yang lainnya, karena memperoleh pengakuan akan pengabdian khususnya yang dilakukan untuk kerajaan atasan. Kadang-kadang pakaian yang pantas bagi to deceng (keturunan terhormat) diberikan sebagai tanda kesukaan. Status ibu dan anak merupakan tata aturan hubungan dengan kerajaan bawahan. Tata aturan ini diciptakan lewat kekerasan maupun persetujuan. Dalam kasus yang muncul kemudian, sebuah negara mencari perlindungan dari negara lain dan dengan itu memperoleh status bawahan yang lebih baik ketimbang kerajaan yang ditaklukkan. Namun demikian Kerajaan bawahan yang diberi perlindungan masih berada di bawah kedudukan negara anak kesayangannya. Dasar hierarki hubungan antar kerajaan adalah hubungan antara tuan dan budak. Kerajaan bawahan yang berperang melawan kerajaan atasannya dan berhasil dikalahkan, maka kerajaan bawahan akan kehilangan hak-haknya dan terperosok ke posisi budak, dan harus berada di bawah kekuasaan mutlak tuannya. Sekalipun demikian mereka tetap mempertahankan penguasa, adat dan bicara-nya. Unsur-unsur spiritual dalam perjanjian seringkali menempati posisi yang sama pentingnya dengan politik bagi kerajaan-kerajaan. Sebuah perjanjian disetujui dua pihak, kemudian disalin dan disimpan bersama dengan pusaka kerajaan. Keseluruhan kumpulan perjanjian menjadi sejenis benda pelindung kerajaan karena dia merupakan gudang kata-kata sakral yang disumpahkan dengan hikmat oleh beberapa generasi penguasa. Seorang penguasa biasanya menuju attoriolong (tempat pemujaan) untuk memohon bantuan leluhur dan meminta petunjuk dalam perjanjian tentang cara-cara mengatur dan melestarikan negerinya. Ketika seorang penguasa mengucap-kan sumpah untuk mematuhi atau memperbaharui sebuah perjanjian, bukanlah perkara ringan, karena melibatkan generansi sebelumnya, masanya, dan sesudahnya. Dia tidak boleh menolak sebuah perjanjian kecuali disepakati oleh seluruh pihak, kalau tidak maka hal itu merupakan pengingkaran terhadap leluhur mereka, dia hanya akan mengizinkan perjanjian itu diganti dengan yang lain atau ditunda sampai keadaan membawanya ketempat yang seharusnya. Ketika perjanjian Tellumpoccoe telah disepakati, maka akan menjadi persetujuan permanen yang dapat dimunculkan kembali dan diperbaharui, atau mundur di latar belakang ketika berhadapan dengan kekuatan politik atau spiritual yang lebih besar. Dokumen Perajanjian Tellumpoccoe hanya dibuat sekali. Seluruh perjanjian yang muncul sesudahnya disebut dalam catatan hanya sebagai pembaharuan (riberui) dari perjanjian asli. Secara faktual merupakan sebuah pengakuan dan penegasan dari sebuah kerajaan terhadap status politik dan spiritual baru kerajaan lain. Perjanjian, sumpah, dan seluruh prosedur pembuatannya adalah bagian dari proses berlanjut untuk terus menaksir pertalian politik dan spiritual agar dapat menjamin terwujudnya hierarki kerajaan-kerajaan yang secara akurat mencerminkan situasi kekuasan ketiga kerajaan Tellumpoccoe. B.Prose Terjadinya Persekutuan Tellumpoccoe Hegemoni kekusaan kerajaan Gowa semakin menjadi-jadi dengan melakukan perluasan wilayah dengan mencaplok wilayah kerajaan-kerajan sekitarnya, baik melalui perjanjian maupun melalui perang, termasuk Kerajaan Bone, Soppeng dan Wajo menjadi sasaran untuk dapat dikuasainya. Perluasan wilayah terus dilakukan, Raja Gowa ke-10, I Mario Gau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tunipallangga Ulaweng (1546-1565) bersama Mangkubumi Kerajaan Gowa/Raja Tallo I Mappataka’tana Daeng Padulung terus memperluas wilayah dan pengaruh kerjaan Gowa. Lamuru, Cenrana, Salo’mekko, Bulo-Bulo, Lamatti, Kajang, Bulukumba, Pannyikokang, Wero (Hero), Gattarang, Otteng, Wajo, Sawitto, Alitta ditaklukkan Gowa. Bone dikepung baik dari darat maupun dari laut. Untuk memperkuat posisinya di sebelah selatan, maka kerajaan Gowa menjadikan Salo’mekko, Bulo-Bulo dan Lamatti sebagai negeri palili’ (bawahan otonom). Upaya pengepungan Kerajaan Bone dipandang sudah kuat, maka Raja Gowa ke-10, I Mario Gau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tunipallangga Ulaweng atas kesepakatan Bate Salapanga, memaklumkan perang terhadap Kerajaan Bone. Raja Bone pada masa itu adalah Arumpone La Tenrirawe Bonkannge (1560-1578). Perang ini berlangsung selama + 10 tahun (1558-1565) tampa ada hasil yang menentukan siapa pemenangnya. Pada tahun 1565 Raja Gowa ke-10, I Mario Gau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tunipallangga Ulaweng meninggal. Penggantinya I Tajibarani Daeng Marompa menjadi Raja Gowa ke-11. Duapuluh hari setelah pelantikannya, beliau berangkat ke medang perang di Kerajaan Bone dengan tujuan untuk menaklukkan Kerajaan Bone. Tetapi ajal baginya, beliau tewas dalam perang di Bone (1565). Maka beliau diberi gelar Anumerta “Tu-nibatta”. Gowa menerima kekalahan atas perang itu dan dicapai suatu perjanjian yang disebut Cappae ri Caleppa. Dalam perjanjian itu ditetapkan batas-batas daerah kekuasaan Kerajaan Gowa, antara lain : 1.Gowa mengembalikan ke Bone negeri-negeri yang terletak di daerah lembah sungai Walanae sampai batas Barat dan berbatas pada negeri Ulaweng di sebelah Timur. 2.Daerah sebelah utara sungai Tangka, menjadi daerah kekuasaan Bone, dan sebelah selatan Sungai Tangka tetap di bawah kekuasaan Gowa. 3.Gowa mengembalikan Cenrana kepada Bone (Mattulada 1998 : 97). Cappae ri Caleppa ini dapat membawa perdamaian sementara, terutama juga disebabkan oleh pengangkatan Raja Gowa ke-12, I Manggorai Daeng Mammeta Karaeng Bontolangkasa (+ 1565-1590) adalah sahabat Arumpone La Tenri Rawe Bongkannge. I Manggorai pernah tinggal di Bone dan mendapat perlindungan dari Arumpone, karena membuat kesalahan di Gowa. Cappae ri Caleppa hanya belangsung sekitar 10 tahun, muncullah kembali berbagai tekanan dari Kerajaan Gowa atas Kerajaan Bone. Kerajaan Bone menghadapi banyak perlawanan dan serangan dari Kerajaan Gowa bersama sekutu-sekutunya. Kerajaan Gowa berusaha kembali merebut Cenrana dari Kerajaan Bone. Di sisi lain, Datu Luwu yang bernama Sanggaria mengerah-kan pasukan untuk merebut kembali Cenrana yang tadinya merupakan wilayah tertorial Kerajaan Luwu, tetapi gagal, sehingga Cenrana tetap berada di bawah kekuasaan Kerajaan Bone. Sekalipun Raja Bone ke-7 La Tenrirawe Bongkannge, selalu memenangkan perang, baik terhadap Kerajaan Gowa maupun Kerajaan Luwu. Beliau tetap waspada dan selalu berusaha memperkuat diri, dengan menjalin persahabatan dengan Wajo, Soppeng dan Tellu Limpoe (Tondong, Bulo-Bulo dan Lamatti) yang masih berada dalam pengaruh Kerajaan Gowa. Dengan Wajo dan Soppeng, Kerajaan Bone menjalin persekutuan Tellu-Boccoe yang disebutnya “Mattelumpoccoe” bardasarkan perjanjian Lamumpatue ri Timurung (1578) yang dilaksanakan oleh tiga penguasa Arungpone La Tenrirawe Bongkannge, bersama Arung Matoa Wajo, La Mungkace Toudamang, serta Datu Soppeng La Mappaleppe’ Patolae. Dalam perjanjian Lamumpatue ri Timurung, Soppeng mengemukakan kekurangannya sehingga tidak patut menjadi saudara bungsu. Wajo juga mengemukakan keberatannya, sebab Wajo belum bebas dari pengabdiannya terhadap Kerajaan Gowa, oleh karena pembebasan itu hanya dihadiakan oleh Kerajaan Gowa dan bukan Wajo yang memerdekakan dirinya. Bone menjawab, bahwa Wajo telah merdeka sejak ia mengalahkan Bulo-Bulo, maka Wajo hanya berkeluarga dengan Gowa, dan apabila Gowa masih ingin menjajah Wajo, maka ketiga kerajaan bersaudara akan melawannya. Kerajaan Bone dan Wajo memberikan beberapa daerah, sehingga Soppeng merasa patut seayah dan seibu dengan Bone dan Wajo. C.Tujuan Persekutuan Perjanjian Lamumpatue ri Timurung bukanlah alat penindasan melain-kan untuk mewujudkan hubungan yang pantas dan damai antara kerajaan Bone, Wajo dan Soppeng. Pada perinsipnya perjanjian ini bertujuan adalah untuk menentang tekanan-tekanan kemungkinan akan adanya invasi dari Kerajaan Gowa. Dalam wilayah diplomatik perjanjian ini sama dengan konsep siri’ (malu) dalam kaitannya dengan peribadi. Memiliki siri’ adalah mengetahui diri sediri dan luluhur, atau dengan kata lain mengetahui kedudukan dan tempat di dalam masyarakat. Kemanjuran perjanjian Lamumpatue ri Timurung terletak pada diterimanya secara universal oleh ketiga kerajaan tersebut, hal ini dikarenakan fungsi hukumnya yang dapat menjaga harmoni dalam masyarakat. Dengan menetapkan sebuah hierarki kerajaan-kerajaan yang terlibat dalam perjanjian Lamumpatue ri Timurung, sebuah kerajaan akan meminta perlindungan dan menghindari konflik yang tidak perlu. Dalam salah satu lontara’ Bugis, seorang penguasa menasehati tentaranya “janganlah berlebihan dalam bertempur sehingga perundingan nantinya tidak sulit”(Andaya 2004 : 139). Menaklukan sebuah wilayah atau menguasai sejumlah populasi bukanlah tujuan akhir dari peperangan di antara kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan, melainkan berusaha mencari pengaku-an sebuah kerajaan akan posisi pantasnya di dalam hiraraki antara kerajaan. Maka perjanjian Lamumpatue ri Timurung ini merupakan bentuk sebuah kebersamaan untuk menanggung segala resiko dalam rangka masseddi siri’ (mempersatukan harkat dan martabat diri) sebagai tumaradeka (orang merdeka). Ketika salah satu di antara ketiga kerajaan yang tergabung dalam Tellumpoccoe menyadari bahwa perjanjian Lamumpatue ri Timurung dilanggar, berarti sebuah penolakan terhadap kata-kata sumpah yang diucapkan oleh leluhur yang membuat perjanjian. Status dan harga diri kerajaan dianggap telah diragukan, dan satu-satunya tindakan yang pantas diberikan adalah mempertahankan perjanjian itu. Jika jalan damai tidak tercapai, maka jalan lain adalah bertempur untuk mempertahankan kepercayaan terhadap kedudukan dalam hierarki kerajaan-kerajaan.



Ahmad M. Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa (Abad XVI sampai Abad XVII), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005.

Ahmad M. Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa (Abad XVI sampai Abad XVII), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005. 19.

 Abu Hamid, Syekh Yusuf Makassar:Seorang Ulama, Sufi, dan Pejuang, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994.

Abu Hamid, Syekh Yusuf Makassar:Seorang Ulama, Sufi, dan Pejuang, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994.







6 komentar:

Yudi Darmawan said...

Numpang copas artikelnya bro di blog sy...,sy camtumkanji sumberx.....by the way...,blogx keren bro...happy blogging....n slam HIMASPI....

Youchenky said...

oce brroowww tafaddhal......

Nika Esti Rahayu said...

Thanks for info :)
Izin copas ya gan :)

Muhammad Fadillah Arsa said...

Untuk sejarah gowa tallo sampai dengan kesultanan makassar cek di pos saya (edisi revisi) http://vracarsa.blogspot.co.id/2016/06/sejarah-kerajaan-gowa-kerajaan-gowa.html

Bakri said...

artikel diatas disebut cocok tdk juga, disebut tdk tapi ada juga cocoknya, atau lebih pasnya sudah di modif.

Unknown said...

Asslam boleh tumpang tanya, sy mencari saudara beliau ini name dia Daing kasman bin Rahman, sy mencari saudara2 di makassar jika kenal degan beliau, bantu ya mencari, semoga jaga mu akan memberi kebenaran siapa org itu,

HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html