Thursday 15 January 2015

Pengertian Sosiologi Profetik

Dalam proses perkembangan suatu masyarakat atau kelompok, sebagaimana yang dituturkan oleh August Comte mengatakan: bahwa dalam mempelajari sesuatu tentang sosiologi itu sendiri diperlukan adanya posisi penting dalam sebuah masyarakat yang kemudian berkembang paradigma perilaku sosial. 

Dengan beragam paradigma tersebut, maka sosiologi tumbuh dan berkembang menjadi ilmu yang memberikan perhatian pada hubungan timbal balik antar individu, masyarakat, atau kelompok. yang kemudian lahirlah sebuah sosiologi Islam dan masyarakat modern yang akan penulis bahas dalam pembahasan selanjutnya. 


A. Epistemologi Sosiologi Profetik 


Sosiologi Profetik secara sederhana dapat dijelaskan sebagai sosiologi berparadigma Ilmu Sosial Profetik (ISP). ISP dicetuskan oleh Kuntowijoyo sebagai alternatif pengembangan Ilmu Sosial yang mampu mengintegrasikan antara ilmu sosial dan nilai-nilai transendental. 

Ilmu Sosial Profetik atau biasa disingkat ISP adalah salah satu gagasan penting Kuntowijoyo. Baginya, ilmu sosial tidak boleh berpuas diri dalam usaha untuk menjelaskan atau memahami realitas dan kemudian memaafkannya begitu saja tapi lebih dari itu, ilmu sosial harus juga mengemban tugas transformasi menuju cita-cita yang diidealkan masyarakatnya. Ia kemudian merumuskan tiga nilai dasar sebagai pijakan ilmu sosial profetik, yaitu: humanisasi, liberasi dan transendensi. Ide ini kini mulai banyak dikaji. Di bidang sosiologi misalnya muncul gagasan Sosiologi Profetik yang dimaksudkan sebagai sosiologi berparadigma ISP. 

Gagasan mengenai Ilmu Sosial Profetik (ISP) menurut Kuntowijoyo dapat ditemukan dalam tulisan-tulisan Muhammad Iqbal[1] dan Roger Geraudy.[2] Dengan bersumber pada kedua tokoh ini, Kuntowijoyo memaknai tentang isi penting dari penunaian tugas-tugas kenabian (etika profetik) yang telah menjadi bagian darii proses sejarah umat manusia. Abdul Quddus ( seorang sufi besar Islam dari Ganggoh) mengatakan bahwa Nabi Muhammad telah memberikan “kesadaran kreatif” (creative consciousness) dalam menciptakan suatu dunia ide baru (Islam) dalam menghadapi kekuatan sejarah. 

Berbeda dengan kalangan sufi umumnya yang lebih mengandung dimensi mistis, sedang kemunculan Nabi telah memasukkan unsur-unsur kenabian yang menancap dalam akar kehidupan duniawi. Artinya, realitas “perjuangan” Nabi lebih membumi dan masuk pada kancah zaman dan pergolakan sejarah manusia. 

Sementara Roger Geraudy memandang kemerosotan peradaban Barat yang sekuler sebagai awal dari upaya untuk membangun dan menciptakan peradaban baru yang didasarkan pada keagamaan, ia menyatakan bahwa di tengah hancurnya peradaban umat manusia di mana filsafat Barat memiliki banyak kelemahan, maka kita sebaliknya menghidupkan kembali warisan Islam yan telah ada. Yang diambil adalah “Filsafat Kenabian” (filsafat profetika) dari Islam. Kenapa? Karena, yang menjadi pertanyaan sentral dalam filsafat Islam adalah: bagaimana wahyu (kenabian) itu mungkin? Yaitu, bagaimana keterlibatan aktif sejarah kenabian dalam proses penyampaian wahyu itu telah mampu mengubah sejarah masyarakat menjadi positif. Garaudy mengklaim bahwa bangunan filsafat itu telah dilakukan oleh para filsuf muslim sejak Al-Farabi sampai dengan Mulla Shadra, dengan puncaknya Ibn ‘Arabi. 

oleh Kiki Erwinda & Lydia Megawati Supprapto Putri
Ide dasar dari Iqbal dan Garaudy tersebut memperoleh ruang “artikulasi” ilmiah ketika Kuntowijiyo menggali langsung dari Al-Quran, ketika itu katanya, sisi profetik yang harus diemban oleh ilmu sosial yang berbeda dari dakwah harus memenuhi tiga unsur yakni (amar ma’ruf, nahi munkar, dan tu’minuna billah. Unsur pertama adalah amar ma’ruf yang diartikan sebagai humanisasi. Dalam Ilmu Sosial Profetik, humanisasi artiya memanusiakan manusia, menghilangkan “kebendaan”, ketergantungan,kekerasan, dan kebencian dari manusia.[3] Humanisasi sesuai dengan semangat liberalisme Barat. Hanya saja perlu segera ditambahkan, jika peradaban Barat lahir dan bertumpu pada humanisme antroposentris, konsep humanisme teosentris. Karenanya, humanisasi tidak dapat dipahami secara utuh tanpa memahami konsep transendensi yang menjadi dasarnya.[4]

Dari epistimologi di atas, sosiologi profetik memiliki paradigma-baik mandiri dari paradigma sosiologi secara umum maupun menyatu dalam keseluruhan paradigma sosiologi, artinya paradigma sosiologo profetik juga tidak terlepas dari paradigma sosiologi secara umum, meski nanti akan ada upaya mengaitkan dengan teks-teks Islam, entah sifatnya teks ke konteks atau konteks ke teks, keduanya tidaklah begitu menjadi masalah, meski yang harus ditekankan oleh sosiologi adalah dari konteks ke teks, karena fakta-fakta empiris memerlukan penjelasan rasional, yang sering kali atau kadang-kadang mengabaikan nilai-nilai dan norma-norma, tetapi dalam “rumah” sosiologi profetik sedapat mungkin konteks memperoleh legitimasi nilai etisnya dari Islam. 

Pelebaran obyek studi sosiologi dan humaniora dengan menggunakan cara pandang Islam sebagai bentuk pertanggungjawaban intelektual akademisi muslim, yang sejak lama mengumandangkan islamisasi ilmu. Dalam waktu yang lama terjadi pemisahan antara ilmu-ilmu empiris dengan ilmu-ilmu agama. Selama ini yang lazim dikenal dalam ilmu sosial humaniora terbagi menjadi dua macam, yaitu ilmu-ilmu alami (kauniyah) dan ilmu-ilmu Quran (qauliyah). Pembagian ini menuut Kuntowijoyo perlu segera ditambahkan dengan ilmu nafsiyah. Kalau ilmu Kauniyah berkaitan dengan hukum Tuhan, dan ilmu nafsiyah berkaitan dengan, nilai, kesadaran. Ilmu nafsiyah itu menurut Kuntowijoyo disebut dengan humaniora. Pembagian ini tidak berbeda dengan apa yang dilakukan oleh ilmuwan sebelumnya, Ibn Sina mengelompokkan ke dalam tiga kategori teori ilmu pengetahuan Islam, yaitu ilmu-ilmu metafisika, ilmu-ilmu matematika, dan ilmu-ilmu alam atau fisik. 

Pembagian seperti Ibn Sina di atas jug ditemukan dalam tradisi sosiologi klasik, August Comte misalnya membuat klasifikasi ilmu menjadi tiga yakni teologi, metafisika, dan positivis. Kemudian Kuntowijoyo membuat fase perkembangan keilmuwan dalam kerangka yang hampir sma yakni periode utopia, periode ideologi, dan periode ide. dalam kerangka perjuangan politik kalangan Islam misalnya, pada periode utopia, para pemimpin Islam hendak mendirikan negara Islam seperti apa yang kita harapkan tanpa melihat kondisi objektif. Periode ideologi, umat Islam menghendaki negara Islam teokrasi yang demokratis, sementara periode ide lebih menekankan pada spesifikasi seperti ekonomi Islam, universitas Islam, lebih dari itu kita butuh ide Islam tentang etika, estetika, pemikiran filsafat, dan lain-lain. 


B. Paradigma Sosiologi: Sosiologi untuk Sosiologi 


Paradigma adalah cara pandang atau worl view atau teori dominan dari ilmu tertentu. Menurut Kuhn bahwa suatu disiplin ilmu lahir sebagi proses revolusi paradigma, dimana suatu pandangan teori ditumbangkan oleh pandangan teori yang baru. Dalam hal ini, paradigma menjadi dasar keyakinan atau pijakan suatu teori. Suatu paradigma aka menjadi kuat apabila didukung oleh berbagai kekuatan seperti, penelitian, pengembangan, penerbitan (jurnal dan buku), dan juga penerapan dalam bentuk kurikulum di lingkungan akademik atau masyarakat ilmiah. 

Berkembangnya suatu paradigma akan dtentukan pleh berbagai perangkat pendukung paradigma tersebut sehingga diterima luas, Fakih menyebut bahwa paradigma adalah konstelansi teori, pertanyaan, pendekatan, serta prosedur yang digunakan oleh suatu nilai dan tema pemikiran, konstelasi tersebut dikembangkan dalam rangka memahami kondisi sejarah dan keadaan sosial, untuk memberikan kerangka konsepsi dalam memberikan makna realitas. Dalam hal ini, suatu paradigma memiliki kekuatan justru terletak pada kemampuannya membentuk apa yang kita lihat, bagaimana cara kita melihat sesuatu, apa yang kita anggap masalah, apa masalah yang kita anggap bermanfaat untuk dipecahkan serta apa metode yang kita gunakan untukmeneliti dan berbuat. 

Dalam sosiologi, paradigma muncul, berkembang, dan mengalami keruntuhan bukan soal benar dan salahnya suatu teori atau paradigma, tetapi lebig dipengaruhi oleh faktor pendukung yang menang, karena memiliki kekuatan dan kekuasaan dari pengikut paradigma yang dikalahkan. Paradigma merupakan cara suatu ilmu untuk memahami realitas dan dinamika yang terjadi dalam masyarakat. Sosiologi sendiri memiliki beragam paradigma dengan keunggulan masing-masing dalam memotret realitas kehidupan masyarakat, antarsatu paradigma dengan paradigma lainnya saling melengkapi. 

Oleh sebab itulah, paradigma keilmuan sosiologi sangat beragam, ia tidak bersifat tunggal, sepeti yang disebutkan oleh Ritzer, dalam sosiologi terdapat tiga paradigma yang populer yaitu paradigma definisisosial dan paradigma perilaku sosial.[5] Ketiga paradigma ini menjadi pokok soal dalam kajian sosiologi, harus diteliti dan dikaji dalam dunia yang real, dunia empiris atau dunia nyata. 

Dalam pandangan kaum positivitis, suatu pengetahuan harus dapat digunakan dalam berbagai keperluan atau kebutuhan guna menjelaskan fenomena sosial, shingga ilmu itu tidak memiliki ranjau-ranjau yang dapat menghalang penggunannya, ilmu tersebut tidak terikat oleh nilai-nilai tertentu, melainkan pada ilmu itu sendiri,ia bersifat netral dalam menjelaskan fakta-fakta sosial, itulah sebabnya pengetahuan ilmiah yang autentik itu harus bersifat netral, tidak memihak atau value free (bebas nilai). 

Dengan melepaskan diri dari kaitan-kaitan dengan nilai-nilai tertentu, maka sosiologi akan lebih independen dalam menjelaskan fakta-fakta sosial, lebih leluasa dalam meneliti fakta-fakta sosial yang oleh Durkheim disebut sebagai barang sesuatu (thing) yang berbeda dengan ide. Fakta sosial yang perlu diteliti dan dianalisis oleh sosiologi menurut Durkheim terdiri dari dua macam; 

  • dalam bentuk material, yaitu barang sesuatu dapat disimak, ditangkap, dan diopservasi. fakta sosial yang berbentuk material ini adalah bagian dari dunia nyata(eksternal world), contoh arsitektur dan norma hukum. 
  • dalam bentuk nonmateril, yaitu sesuatu yang dianggap nyata(eksternal). fakta sosial jenis ini merupakan fenomena yang hanya dapat muncul dari dalam kesadaran manusia , contoh egoisme, altruistik, dan opini. 
Realitas terus menerus mengalami perubahan dan berkembang menurut logika sosial yang mencipakannya, realitas tersebut bekerja dan berproses untuk mencapai suatu kondisi yang dikehendaki sebagi sesuatu yang ideal dan sempurna, menurut Hegel, realitas itu bukan suatu yang statiss, jadi, bulat, suatu “substansi” melainkan berkembang, mengasingkan diri, menemukan diri kembali, menyadari diri melalui taaf-taraf dialektis yang semakin mendalam. Realitas itu “subjek”. Di belakang realitas alam dan manusia dengan masyarakat dan pemikirannya berlangsunglah “proses” pernyataan diri roh alam semesta. 

Berangkat dari itu, paradigma sosiologi mestinya juga harus dihadirkan untuk konteks sosial yang real dan diaplikasikan dalam merespons fenomena sosial. Suatu paradigma keilmuan yang lahir dari dialektika sosial akan memberikan makna tersendiri khususnya dalam konteks akademik dan kemanusiaan, umpamanya dialektika antara realitas dan kesadaran. Sosiologi sebagai ilmu yang mendasarkan segalanya dari realitas dan fakta empiris, tidak cukup dengan melepaskan diri dari menjelaskan realitas tanpa “bertanggungjawab” untuk berkontribusi di dalamnya. 

Dengan mengaitkan antara keyakinan kepada yang gaib dan pijakan pada fakta-fakta sosial empiris sebagai sumber pengetahuan yang dikonstruksi secara subjektif, akan menghasilkan suatu paradigma keilmuan sosiologi baru yang diyakini sebagai upaya merekonstruksi ilmu ini dalam kerangka keterpaduan antara struktur Pencipta dan struktur ciptaan yang bertebaran di jagad bumi ini. 


C. Konstruksi Paradigma Sosiologi Profetik 


Sosiologi profetik yang dimaksudkan disini adalah Ilmu Sosial Profetik (ISP) Kuntowijoyo. Sebagian besar diskusi ISP, selalu saja menjadikan atau meletakkan sosiologi sebagi “rumah” yang tepat untuk konsep tersebut. Ilmu sosial yang dimaksud oleh Kuntowijoyo sangat luas termasuk ilmu-ilmu humaniora atau ilmu kemanusiaan, tetapi basis formal materialnya kalau dilakukan penglajian mendalam apa yang dimaksud oleh Kuntowijoyo dengan Ilmu Sosial Profetik itu secara sederhana dapat disebut “sosiologi”, ia berbicara masalah fungsionalisme dan strukturalisme misalnya. Kajian-kajian tentang ilmu sosial humaniora selalu memperoleh dukungan paradigma sosiologi, bahkan sebagian kalangan menyebut bahwa ilmu sosial yang “murni” adalah sosiologi. 

Paradigma sosiologi profetik adalah menuju pada perubahan yang bersifat permanen dalam arti semakin dekatnya manusia kepada yang Maha Abadi, menurut Kuntowijoyo, Islam menghendaki adanya transformasi menjuju transendasi. Trasformasi inilah yang akan menjadi core dan dikaji oleh sosiologi dalam perspektif Islam. Tauhid merupakan suatu konsep yang bersifat dinamis, tauhid sebagai pandangan dunia dapat dimaknai sebagai sebuah pandangan umum tentang realitas, kebenaran,ruang dan waktu, dunia dan sejarah Islam. 


D. Kerangka Metodologi Sosiologi Profetik


Sosiologi memeiliki beragam metodologi dalam rangka menjelaskan fakta-fakta sosial. Metode yang satu mungkin berhasil menjelaskan fenomena sosial tertentu, tetapi belum tentu dapat dan berhasil menjelaskan fenomena sosial yan lain. Metode yang digunakan mengikuti kecenderungan yang berkembang dalam masyarakat, kalau dahulu sosiologi lebih didominasi oleh metode kuantitatif, menjelaskan fenomena-fenomena sosial dengan pendekatan statistik dan angka-angka, kini tidak lagi dominan, bahkan metode kualitatif dengan ragam tekniknya jauh lebih populer digunakan oleh para ilmuan sosial, khususnya sosiologi. 

Metode-metode yang digunakan dalam studi sosiologi, tampaknya dapat digunakan dalam studi-studi yang lebih luas, termasuk studi yang berkaitan dengan agama dan kehidupan sosial.Kuntowijoyo menyebut metodologi yang digunakan untuk mengilmukan Islam adalah integralisasi dan objektivikasi. Yang pertama bertujuan mengintegralisasikan kekayaan manusia dengan wahyu (petunjuk Allah dalam Al-Quran beserta pelaksanaannya dalam sunnah Nabi) dan yang kedua menjadikan pengilmuan Islam sebagai rahmat untuk semua orang (rahmatan lil ‘alamin). 

Ilmu-ilmu rasional-empiris merupakan ilmu yang dikonstruksi melalui pengalaman empiris manusia, ilmu yang didasarkan pada fenomena sosial yang ditangkap oleh pancaindra atau didasarkan pada riset, eksperimen dan sebagainya. Ilmu dalam pandangan Islam adalah ilmu yang merupakan hasil usaha manusia melalui akal, hati nurani, kesadaran, serta bantuan pancaindranya, yang disusun secara sistematis, untuk memahami fenomena-semesta Ketuhanan. 

Ilmu yang didasarkan pada fakta-fakta empiris dengan ilmu yang didasarkan pada nilai-nilai kebenaran agama tidak dipisahkan, melainkan keduanya harus dikawinkan untuk mencapai suatu peradaban kemanusiaan yang maju. Untuk menyatukan kedua sumber ilmu itu, menurut Kuntowijoyo digunakan metodologi yang bersifat integralistik dan objektivikasi. 

Metode Integralistik menurut Kuntowijoyo tidak hanya menyatukan agama dan hasil pemikiran manusia, tetapi bertujuan untuk menyelesaikan konflik antara sekularisme ekstrem dengan agama-agama radikal dalam banyak sektor. 

Untuk mengembangkan paradigma sosiologi profetik memerlukan sejumlah metode untuk menjelaskan metode untuk menjelaskan fakta-fakta sosial, apalagi fakta-fakta objek yang cenderung “bebas nilai”dengan agama yang mengandung unsur-unsur moral tinggi. 


E. Sosiologi Profetik: Alternatif Pengembangan Sosiologi 


Dengan menggunakan pendekatan integrasi dan interkoneksi, baik dalam cara memperoleh suatu “kebenaran” ilmu maupun alat yang digunakan untuk melakukan penyelidikan ilmiah guna menjelaskan fenomena sosial, akan lebih memeberikan suatu kekayaan yang besar terutama dalam kaitannya dengan usaha untuk meminjam istilah Kuntowijoyo yaitu mengilmukan Islam dalam ranah kajian sosiologi suatu langkah penting apabila dikaitkan dengan tradisi positivitis yang selama ini digunakan dalam sosiologi. 
Seperti yang ditulis oleh Mutaqqin[6] bahwa sosiologi Profetik menggariskan beberapa hal: 

  • Sosiologi profetik memiliki tiga nilai penting sebagai landasannya, yaitu humanisasi, liberalisasi, dan transendasi. Ketiga nilai ini di samping berfungsi kritik juga akan memberi arah, bidang atau lapangan penellitian. 
  • Secara Epistimologis, sosiologi profetik berpendirian bahwa sumber pengetahuan itu ada tiga, yaitu realitas empiris, rasio dan wahyu. Ini bertentangan dengan positivisme yang memandang wahyu sebagai bagian dari mitos 
  • Secara metodologi sosiologi profetik jelas berdiri dalm posisi yang berhadap-hadapan dengan positivisme. Sosiologi profetik menolak klaim-klaim positivisme seperti klaim bebas nilai dan klaim bahwa yang sah sebagai sumber pengetahuan adalah fakta-fakta yang terindera. 
  • Sosiologi profetik memiliki keberpihakan etis bahwa kesadaran (superstructure) menentukan basis material (structure). 
Dengan menggunakan pendekatan sosiologi profetik, banyak fenomena sosial politik yang dapat dijelaskan, pendekatan ini lebih memberi ruang artikulasi konsepsional dan teoritis guna memahami kecenderungan global yang mengukuhkan hegemoni kapitalisme dan neoliberalisme dengan wajah yang multi kompleks. Kuntowijoyo dengan gagasan profetiknya, berupaya untuk menghindar dari berfikir yang berdasarkan mitos menuju cara berfikir yang bersifat empiris realis. 

 Kesimpulan 

Berdasarkan dari uraian yang telah penulis paparkan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa: 
  • Ilmu Sosial Profetik atau biasa disingkat ISP adalah salah satu gagasan penting Kuntowijoyo. Baginya, ilmu sosial tidak boleh berpuas diri dalam usaha untuk menjelaskan atau memahami realitas dan kemudian memaafkannya begitu saja tapi lebih dari itu, ilmu sosial harus juga mengemban tugas transformasi menuju cita-cita yang diidealkan masyarakatnya. Ia kemudian merumuskan tiga nilai dasar sebagai pijakan ilmu sosial profetik, yaitu: humanisasi, liberasi dan transendensi. 
  • sosiologi profetik memiliki paradigma, mandiri dari paradigma sosiologi secara umum maupun menyatu dalam keseluruhan paradigma sosiologi, artinya paradigma sosiologi profetik juga tidak terlepas dari paradigma sosiologi secara umum, meski nanti akan ada upaya mengaitkan dengan teks-teks Islam. Dan sosiologi profetik berpendirian bahwa sumber pengetahuan itu ada tiga, yaitu realitas empiris, rasio dan wahyu. Ini bertentangan dengan positivisme yang memandang wahyu sebagai bagian dari mitos. 


REFERENSI


[1] Muhammad Iqbal, Membangun kembali Pikiran Agama dalam Islam, (Djakarta: Tinta Mas, 1966). 

[2] Roger Geaurdy, Janji-janji Islam, (Bulan Bintang, 1982). 

[3] Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid: Esei-esei Agama, Budaya, dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme Transendental, (Bandung: Mizan, 2001), hlm.364-365. 

[4] Husnul Muttaqin, “Menuju Sosiologi Profetik”, dalam Jurnal Sosiolologi Profetik, Vol I, No. 1, Oktober 2006, hlm. 59-82. 

[5] George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, (Jakarta: Rajawali Press, 1992), hlm. 15-97. 

[6] Husnul Mutaqqin, “Menuju Sosial Politik”, dalam jurnal Sosiologi Reflektif, vol. I, no. I, Oktober, 2006, hlm. 59-82.

0 komentar:

HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html