Sunday 11 November 2012

HISTORIOGRAFI AFRIKA

Kepercayaan terhadapa kelangsungan hidup, suatu kehidupan sesudah mati, suatu persamaan antara yang hidup, yang mati, dan generasi-generasi yang belum lagi dilahirkan adalah asasi untuk semua kehidupan agama, sosial, dan politik Afrika.

Orang-orang Mesir Kuno amat sadar akan kelanjutan hubungan kehidupan dan kematian. Tidak saja mereka sadar akan pengaruh yang besar dan luas dari suatu kehidupan sesudah mati tetapi juga dari kelanjutan hubungan yang telah mati terhadap yang masih hidup. Mereka mempersiapkan ruangan-ruangan kuburan dan mengawetkan tubuh-tubuh yang mati dengan perawatan yang sangat hati-hati sekali.

Kepercayaan yang asasi kepada adanya kelanjutan hidup terdapat di antara semua orang Afrika. Inilah unsur inti dalam historiografi tradisi Afrika. Di setiap tempat di daerah sub-Sahara Afrika kita bertemu dengan kepercayaan akan adanya hubungan yang berlangsung antara yang sudah mati dengan kehidupan dari yang masih hidup masa kini dan dari generasi-generasi yang akan datang.

A. Tradisi Historiografi

1. Tradisi-Tradisi Mengenai Asal Mula 

Setiap komuniti-kelurga, klen, desa, kota, atau negara-besar atau kecil, mempunyai tradisi yang tetap mengenai asal mulanya. Komuniti itu mungkin terpecah-pecah, bermigrasi, dan mengasimilasi unsur-unsur yang baru, atau ditaklukkan oleh yang lainnya dan diserap oleh imigran-imigran baru. Pada setiap tingkat dari transformasi, tradisi berada dalam pengkristalan kembali untuk mengakomodasi kondisi-kondisi yang berubah, dan suatu tradisi baru. Tradisi-tradisi ini menjadi dasar pokok dari pandangan komuniti mengenai sejarah. Proses sesungguhnya dari pembuatan tradisi dan akulturasi di dalam komuniti, dan dari penyampaian tradisi ke generasi-generasi yang berikutnya, mengembangkan suatu kesadaran sejarah yang menjadi tersebar luas di Afrika.

Dalam hal ini historiografi tradisional Afrika menyerupai historiografi Eropa sebelum revolusi ilmu pengetahuan memecah filsafat ke dalam berbagai bagian. Pembuatan dan penyampaian tradisi bukanlah pekerjaan ahli-ahli sejarah sebagaimanan menurut pandangan modern, tetapi pekerjaan pendeta-pendeta dan ahli-ahli agama, orang-orang tua, dan orang-orang bijaksana pada umumnya. Tradisi tidak hanya menjelaskan hubungan antara para nenek moyang dari komuniti-komuniti yang berbeda-beda tetapi juga hubungan antara komuniti yang ada, para nenek moyang, dan dewa-dewa.

Pembuatan dan penyampaian tradisi adalah berlainan dari suatu tempat ke tempat lain. Hal ini tergantung kepada luas, sifat alamiah, kepercayaan, dan sumber-sumber penghasilan dari suatu komuniti tertentu. 

2. Penyampaian dari mulut ke mulut
Cara yang paling umum dalam menyampaikan tradisi adalah melalu cerita-cerita, fabel-fabel, dan peribahasa-peribahasa yang diceritakan oleh orang-orang yang lebih tua kepada mereka yang lebih muda sebagai bagian dari pendidikan umum. Di dalam kesempatan-kesempatan bercerita itu, sesudah makan malam di dalam kelompok-kelompok keluarga atau selama pesta-pesta bulan purnama ketika orang-orang tidak tidur sampai jauh malam, tradisi-tradisi menceritakan asal mula adanya hubungan dari seluruh komuniti atau dari keluarga atau klen tertentu. Kejadian-kejadian yang lebih akhir, yang telah muncul di dalam sejarah dapat diingat, khususnya hal-hal yang terjadi dua atau tiga generasi yang terdahulu, juga diceritakan.

Tradisi-tradisi disampaikan secara lebih formal bila ada pranata-pranata pendidikan yang terorganisasi, umpamanya yang berhubungan dengan ritual masa dewasa, inisiasi ke dalam tingkat-tingkat umur dan kelompok-kelompok rahasia, atau selama latihan atau pendidikan untuk menjadi pendeta atau ahli agama.

3. Tradisi-tradisi Berdasarkan Kenyataan Versus Kesusastraan

Adalah penting untuk menbedakan berbagai bentuk tradisi, atau tradisi lisan sebagaimana umunya sekarang ditulis. Pembedaan yang pertama adalah antara tradisi-tradisi dari suatu bentuk yang berdasarkan atas kenyataan dan sejarah, dan tradisi-tradisi berbebtuk kesusastraan dan filsafat.

Tradisi yang lebih berbentuk kesusastraan meliputi peribahasa-peribahasa dan ungkapan-ungkapan, nyanyian-nyanyian, dan lirik-lirik yang beberapa di antaranya adalah bersifat umum dan lainnya berhubungan secara khusus dengan kelompok-kelompok seniman tertentu, kelompok-kelompok tingkatan umur, dan perkumpulan-perkumpulan lainnya. Tradisi-tradisi yang lebih bersifat filsafat terselimut di dalam doa-doa suci dari organisasi-organisasi keagamaan dan kultus yang berbeda-beda, umpamanya puisi-puisi yang memuja dewa-dewa, puisi-puisi suci, nyanyian-nyanyian berkabung, litugi-liturgi, dan hymne-hymne. 

B. Pengaruh-pengaruh

1. Pengaruh Ethiopia

Tentu saja telah ada tradisi-tradisi sejarah di Afrika yang pengaruhnya terhadap historiografi Afrika sukar untuk dinilai pada tingkat pengetahuan kita dewasa ini. Salah satu contoh yang penting adalah tradisi sejarah Ethiopia, yang sebagian bersifat Afrika dan yang sebagian lagi berinspirasikan Yudea-Kristen. Keunggulan dari dinasti Solomon, kesatuan dari geraja dan negara, dan integritas dari geraja yang monophysite adalah kekuatan-kekuatan sejarah yang dinamis. Sebagaimana halnya di bagian-bagian lain dari Afrika, pada abad ke-12, Ethiopia mengembangkan suatu legenda yang menghubungkan dinasti yang berkuasa dengan Tanah Suci. Tetapi itu adalah tradisi tertulis, tercakup dalam Buku Raja-Raja yang menjadi acara yang utama, dipertunjukkan dalam rite-rite pentahbisan raja. Biara-biara mencatat annals atau catatan-catatan secara kronologi tentang kejadian-kejadian yang telah terjadi pada tahun-tahun yang lalu dari setiap masa kekuasaan dan merawat teks-teks dan peraturan-peraturan yang penting. Walaupun demikian, perhatian yang utama dai kehidupan intelektual Ethiopiaadalah hal-hal yang berhubungan dengan teologi, dan bukan sejarah.

Yang lebih berhubungan dengan historiografi Afrika adalah tradisi-tradisi dari orang Berber. Seperti halnya dengan orang-orang Afrika lainnya, orang Berber amat sadar akan adanya hubungan yang berlangsung terus dengan masa lampau. Dalam rekasi mereka terhadap agama Kristen dari Rum dan Islam dari tanah Arab, mereka memanifestasikan suatu sikap mistik yang berbeda dan dikombinasikan dengan penghormatan-penghormatan kepada para nenek moyang. Mungkin dapat dikatakan bahwa sikap ini menghasilkan hagiografi atau biografi dari orang-orang suci dan bukannya sejarah yang bersifat kritis, tetapi Hagiografi itu sendiri adalah suatu metode untuk menyucikan dan mengabadikan kebaikan-kebaikan sosial agama dari rakyat. Dari satu segi, hagiografi adalah pernyataan kesusastraan yang berisikan penghormatan terhadap norma-norma dan kebaikan-kebaikan dari para nenek moyang, sama dengan tradisi-tradisi yang terdapat di bagian-bagian Afrika lainnya.

2. Pengaruh Islam

Pengaruh Islam tidak hanya penting di Afrika Utara tetapi juga di Afrika Timur, seluruh daerah Sudan, dan bahkan di beberapa daerah-daerah hutan rimba belantara. Sebagai tambahan kepada genealogi spiritual atau roh dan genealogi yang nyata, penulis-penulis Islam menghasilkan sejumlah tarikh dan kronika, khususnya antara abad-abad ke-11 dan ke-17. Kesemuanya ini meliputi catatan-catatan bedasarkan pengamatan, tradisi lisan, dan bukti-bukti dari catatan-catatan lebih awal yang dibuat oleh ahli-ahli ilmu bumi, pengembara, dan pedagang. Penulis-penulis Islam khusunya tertarik kepada penyebaran dan pengaruh Islam, serta kepada kehidupan keagamaan dan ekonomi dari pusat-pusat utama agama Islam. Faktor-faktor ini berdiri sendiri di luar tradisi-tradisi dan kehidupan Afrika secara menyeluruh dan telah diberikan penekanan yang berlebih-lebihan. Di pusat-pusat agama Islam yang penting seperti Timbuktu, Gao, Djenne, Kano, Katsina, dan Bornu di Afrika Barat dan Tengah, atau Kilwa, Malindi, dan Mombasa di Afrika Timur, tradisi-tradisi rakyat dibuat tertulis, pada umumnya dalam bahasa Arab tetapi kadang-kadang juga di dalam tulisan Arab dengan bahasa lokal. Catatan-catatannya berpusat pada kepribadian tokoh-tokoh komuniti Islam dan bukannya pada negara-negara atau klen-klen yang tradisional.

3. Pengaruh Eropa

Pada abad ke-19, ketika pengaruh Eropa masuk ke Afrika, pengaruh itu tidaklah dibangun di atas tradisi-tradisi sejarah yang ada, tetapi menantang dan menggantikan tempat tradisi-tradisi sejarah tersebut. Pandangan Eropa tentang sejarah yang bersifat dokumenter membantu propaganda penguasa-penguasa kolonial; Afrika tidak mempunyai sejarah tercatat yang ada harganya; karena sejarah dari para pedagang Eropa, penyebar-penyebar agama, penyelidik-penyelidik, penakluk-penakluk, dan penguasa-penguasa adalah yang membuat sejarah Afrika. Sejarah Eropa dan sejarah ekspansi Eropa mulai menggantikan sejarah dan tradisi lokal di dalam pendidikan orang-orang muda Afrika, walaupun beberapa perhatian diberikan kepada sumber-sumber Arab dan lainnya. Ahli-ahli sejarah Eropa abad ke-19 dan permulaan abad ke-20 berusaha untuk menjelaskan perdagangan budak di daerah Atlantik; keunggulan dari teknologi Eropa, dan ketaklukkan Afrika, tidak dilihat dari segi studi sejarah dari benua ini tetapi dilihat dari segi prasangka-prasangka rasial dan psikologi tentang kekalahan yang merupakan ciri yang utama dri orang-orang yang mempunyai warna kulit hitam. Bahkan kelompok-kelompok penyebar agama Kristen mengintroduksi penjelasan agama yang mengatakan bahwa orang-orang Afrika adalah anak-anak Ham dan mereka berada di bawah kutukan Nabi Nuh untuk menjadi pemotong-pemotong kayu dan penimba air bagi mereka yang mempunyai kulit yang lebih putih. Historiografi Afrika akhirnya hanya menjadi suatu alat pembenaran bagi imperialisme Eropa.

4. Masalah-masalah dan Prospek-prospek Penelitian

Tidaklah diragukan akan kebenaran sumber-sumber yang tidak tertulis bagi penelitian sejarah sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, tetapi ini adalah sesuatu yang baru lagi bagi departemen-departemen sejarah di Universitas untuk menerimanya. Ahli-ahli antropologi menjawab dengan peringatan bahwa tradisi lisan, bahkan ketika nampaknya berdasarkan fakta, bukanlah sejarah dan tidak dapat diinterpretasikan menurut segi fungsinya didalam masyarakat dan di dalam kebudayaan tertentu. Tetapi hal ini tidaklah merusak kebenarannya sebagai material bagi sejarah; ini hanalah argumen untuk seuatu langkah kembali kepada garis antara sejarah dan sosiologi yang dianjurkan oleh Ibnu Khaldun pad abad ke-14. Pendekatan interdisipliner ini telah merupakan arah yang paling menghasilkan di dalam hsitoriografi Afrika dalam masa terakhir.

Telah terjadi tiga perkembangan utama yang mendorong pendekatan interdisipliner ini. Yang pertama adalah dibentuknya pusat-pusat atau institut khusus studi-studi Afrika dimana ahli-ahli sejarah, antropologi, ilmu bahasa, dan ilmu purbakala dapat bekerja sama, baik didalam penelitian maupun didalam training ahli-ahli sejarah di masa yang akan datang. Yang kedua terdiri dari proyek-proyek Benin dan Yoruba, dimana tim-tim yang terdiri dari orang-orang dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan bekerja sama dibawah pimpinan satu orang untuk memberikan penerangan mengenai sejarah kebudayaan dari suatu kebudayaan tertentu.. Yang ketiga adalah pembentukan perkumpulan-perkumpulan dan diadakannya komperensi-komperensi atau kongres-kongres secara periodik mengenai sejarah Afrika atau studi-studi Afrika secara umum.

Ahli-ahli sejarah Afrika telah juga memakai standar dan metodologi yang ketat didalam pengumpulan data. Sesungguhnya penekanan yang amat banyak diberikan pada masa terakhir ini adalah pada metodologi ilmiah ini yang merupakan suatu pertanyaan yang patut diajukan apakah interpretasi dan sintesa yang selayaknya dari material tekah tidak cenderung untuk tertinggal jauh dibelakang. Sementara pendekatan interdisipliner telah sangat berhasil di dalam pengumpulan data, tim-tim atau konperensi-konperensi para ahli dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang berbeda tidak menulis sejarah. Pendekatan interdisipliner telah mengingatkan ahli sejarah akan bahayanya pembenaran sumber-sumber yang tidak tertulis; hal ini tidak menyebabkan ahli sejarah untuk menggantikan atau meniadakan kepentingan untuk dengan sungguh-sungguh memeriksa bukti-bukti yang beraneka ragam, membuat sintesa, dan menulis sejarah.

DAFTAR PUSTAKA

Abraham, D.P., 1961. “Maramuca: An Exercise in the Combined Use of Portuguese Records and Oral Tradition”. Journal of African History, 2: 211-225.

Ajayi, J.F.A., 1961.” The Place of African History and Culture in the Process of Nation-building in Africa South of the Sahara”. Journal of Negro Education. 30: 206-213.

Andrzejewski, Bogumil W., and I.M. Lewis, 1964. Somali Poetry: an Intruduction. Oxford: Clarendon.

Biobaku, Saburi O., 1957. The Egba and Their Neighbours: 1842-1872. Oxford Univ. Press.

, 1963. “African Studies in an African University”. Minerva, 1: 285-301

Bradbury, R.E., 1959. “Chronological Problems in the Study of Benin History”. Journal of the Historical Society of Nigeria, 1: 263-287.

Conference on African History and Archeology, Third, London, 1961, 1962 Report. “Journal of African History”, 3, no. 2.

Dike, Kenneth O., 1953.” African History and Self-government”. West Africa, 37: 177-178, 225-226, 251

(1956), 1962. Trade and Politics in the Niger Delta; 1830-1885: An Introduction to the Economic and Political History of Nigeria. Oxford: Clarendon.

, 1964. “The Study of African History”. Hlm. 55-67 dalam International Congress of Africanist, First, Accra, 1962, Proceedings. London: Longmans

Evans-Pritchard, E.E., 1961. Anthropology and History. Manchester (England) Univ. Press.

International African Seminar, Fourth, Dakar, Senegal, 1961, 1964. The Historian in Tropical Africa. Oxford Univ. Press.

Ones, G.I., 1963.”European and African Tradition on the Rio Real”. Journal of African History, 4: 391-402.

Jordan, A.C., 1957-1960.” Towards n African Literature”. African South 1, no. 4: 90-98; 2, no. 1: 97-105, no. 2: 101-104, no. 3: 112-115, no. 4: 113-118, 3, no. 1: 114-117, no. 2: 74-79, no. 3: 114-117, no. 4: 111-115, 4, no. 1: 117-121, no. 2: 110-113, no. 3: 112-116.

Lawrence, A.W., 1961. “Some Source Books for West African History:. Journal of African History, 2: 227-234.

Lewis, I.M., 1962.”Historical Aspects of Geneologies in Northern Somalia Social Structure:, Journal of African History, 3: 35-48.

McCall, Daniel F., 1964. Africa in Time-perspective: A Discussion of Historical Recontstruction From Unwritten Sources. Boston Univ. Press.

Morris, Henry F., 1964. The Heroic Recitation of the Bahima of Ankole. Oxford: Clarendon.

Smith, M.G., 1961. Field Histories Among the Hausa”. Journal of African History, 2: 87-101

Vansina, Jan, 1960. “Recording the Oral History of the Bakuba”. Journal of African History, 1:45-53, 257-270.Part 1: “Methods”. Part 2: “Result”.

(1961), 1964. The Oral Tradition:A Study in Historical Methodology. Chicago: Aldine. Terbit pertama kali dalam bahasa Prancis. Berisi bibliografi yang luas dan pembicaraan tentang corak dan pentingnya tradisi lisan.

0 komentar:

HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html