Islam Di Domba Hitamkan

Ditengah kekacauan,Fitnah, teror dan kekerasan,umat Islam tetap tabah berdiri mempertahankan keyakinannya, dengan memperkenalkan agamanya dengan cara-cara damai dan menyejukkan.

Akhirnya Sunni dan Syiah Bersatu

Bukankah mereka mengimani tuhan yang sama, Mencintai Nabi dan Rosul yang sama, memiliki Kitab suci yang sama, Mempunyai Syahadah yang sama ?, Kemudian mereka saling fitnah dan menumpahkan darah.

Pengaruh Peradaban Islam Terhadap dunia Modern

Pada masa lampau, peradaba Islam memberikan sumbangan besar terhadap kemajuan dunia Barat, kini Islam dan Barat saling menghunus pedang, Islam sebagai Tokoh Kegelapan, sedangkan Barat sebagai Tokoh Peradaban.

Jihad Dan Terorisme dalam Prespektif Islam

Siapa mereka yang mengatakan terorisme merupakan bagian dari jihad fi sabilillah ?? sedangkan teror sangat ditentang oleh teks rujukan utama umat Islam.

Lagenda Assasin "Penebar Maut Lembah Alamut"

Asyhasin(assassin) Antara Lagenda dan Mitos, Siapa Sangka Assassin yang terkenal sebagai Game, adalah Kisah Nyata Pasukan Khusus sekte pecahan Syiah Ismailiyah.

Thursday 28 June 2012

Hari ini, 42 tahun lalu Soekarno meninggal dalam sepi


Tepat 42 tahun yang lalu, Soekarno meninggal dunia di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto. Soekarno meninggal dalam sepi, sebagai tahanan politik Orde Baru.

Sejak tahun 1967, Soekarno memang sudah diisolasi oleh Soeharto. Dia tidak boleh tampil di depan umum atau berbicara pada wartawan. Soekarno menjadi tahanan rumah di Wisma Yasoo, Jalan Gatot Subroto, Jakarta. Tempat itu dulunya adalah rumah istri Soekarno, Ratna Sari Dewi.

Belakangan, isolasi makin ketat. Bahkan pihak keluarga dilarang menemui Soekarno. Tak cukup, pemerintah Soeharto mengambil televisi milik Soekarno. Terputuslah hubungan Soekarno dengan dunia luar.

Soekarno menjadi linglung dalam tahanan. Dia depresi dan menjadi sering berbicara sendiri.

Semenjak muda, Soekarno selalu menikmati berada di tengah-tengah ribuan rakyatnya. Berbicara dan berpidato di tengah rakyatnya. Kini Soekarno diasingkan dari rakyat Indonesia. Ditahan sendiri dalam sepi. Kesehatannya terus memburuk.

Sejak dulu memang Soekarno memiliki penyakit ginjal. Kini dalam tahanan, kondisinya semakin parah.

Tak ada siapa pun di samping Soekarno. Sebagian menyingkir dari sisinya karena takut diancam Soeharto. Sebagian lagi meninggalkan Soekarno karena menjadi pengikut Orde Baru.

Maka tengah hari 21 Juni 1970, Soekarno meninggal dalam usia 69 tahun. Jenazahnya dibawa ke Wisma Yasoo. Ribuan rakyat memadati jalan-jalan untuk memberi penghormatan terakhir. Karena khawatir akan pamor Soekarno, pemerintah Orde Baru tidak mengizinkan Soekarno dimakamkan di Bogor. Mereka meminta Soekarno dimakamkan jauh dari Jakarta.

Maka Soekarno dimakamkan di Blitar. Berdampingan dengan makam ibunya, Idayu Nyoman Rai. Sepanjang jalan, jutaan rakyat menangis untuk Soekarno. Padahal saat itu Orde Baru habis-habisan mengubur kisah Soekarno.

Mantan ajudan Soekarno, Bambang Widjanarko yang mengantar jenazah Soekarno duduk satu mobil dengan putra-putri Bung Karno. Bambang pun terkesima melihat lautan manusia yang menangis. Dia berkata pada Rachmawati, salah satu putri Soekarno.

"Lihatlah Rachma, rakyat masih mencintai Bung Karno. Mereka juga kehilangan. Jasa Bapak bagi Nusa dan Bangsa tidak akan terlupakan selamanya." Rachmawati mengangguk membenarkan ucapan Bambang.

Saat pemakaman, tak henti-hentinya orang mengambil tanah dan bunga dari makam Soekarno. Ribuan orang bertahan di makam. Mereka baru pulang setelah dipaksa petugas.

Maka hari ini, 42 tahun lalu, berakhirlah hidup seorang manusia bernama Soekarno. Dia yang menjadi penyambung lidah rakyat Indonesia.

Saturday 23 June 2012

Kemajuan Dinasti Bani Abbasyiah


PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Pada tahun 132 H/ 750 M. merupakan tahun peralihan dari bani Umayyah ke bani Abbas, setelah meruntuhkan bani Umayyah dengan membunuh khalifah Marwan Ibn Muhammad yang memerintah tahun 127/ 132H/ 744-759 M.[1]
Bani Abbas berkuasa selama lima abad lamanya dengan khalifah yang pertama Abu al-Abbas Ibn Abdullah al-Shaffah (tahun 132-137 H/ 750-754 M sampai ke khalifah ke 37 Abu Ahmad ibn al-Mu’tashim (tahun 640-656 H/ 1242-1258 M), telah memperlihatkan kepesatan perkembangan kebudayaan dan peradaban Islam.[2]
            Runtuhnya bani Umayyah yang pada kenyataanya telah membuka babak baru bagi perkembangan Islam secara keseluruhan pada dinasti bani Abbas, pada hakekatnya disebabkan dari perbedaan dua dinasti dalam memandang kepentingan negara. Dinasti Umayyah dengan corak Arabisme nampaknya lebih mementingkan ekspansi wilayah atau lazim disebut sebagai perluasan wilayah-wilayah Islam. Sedangkan dinasti bani Abbas, kepentingan Negara tidak tertumpu selalu pada perluasan wilayah, tetapi telah melebar kepada kepentingan-kepentingan pencapaian ilmu-ilmu pengetahuan dan peradaban.[3]  Kemajuan dinasti Abbasiyah tidak dapat disangkal adalah dimulai dari kepindahan ibu kota Negara di Baghdad yang sebelumnya berada di Damaskus pada dinasti Umayyah. Perpindahan tersebut telah mengakibatkan saling berinteraksinya orang-orang Arab dengan orang-orang Persia, dimana mereka telah dikenal dengan tradisi-tradisi keilmuannya. Di kota inilah kelak dimulai kemajuan-kemajuan Islam yang pernah dicapai sebelumnya dan kota ini pula orang Arab telah menanggalkan tradisi-tradisi Baduinya menjadi orang bijak yang penuh pertimbangan rasional. Olehnya, wajar bila seorang penulis mengatakan bahwa Baghdad memang pantas disebut sebagai The Intelectual capital.[4]
B.     Rumusan Masalah
Dalam makalah ini akan dibahas salah satu aspek kebudayaan yang mengalami kemjuan pada masa Dinasti Abbasiyah yaitu ilmu pengetahuan. Maka yang menjadi permasalahan dalam makalah ini adalah :
1.      Bidang-bidang apa saja yang mengalami kemajuan ?
2.      Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan kemjuan ilmu pengetahuan dan usaha-usaha apa saja yang telah dilakukan dalam pengembangannya ?

A.     Bidang-Bidang ilmu pengetahuan yang mengalami Kemajuan
1.      Kemajuan di Bidang Ilmiah
Terdapat aktifitas ilmiah yang berlansung dikalangan umat Islam pada masa Dinasti Abbasiyah dimana hal ini mengantar mereka mencapai kemajuan di bidang ilmu pengetahuan.
a.       Penyusunan buku-buku ilmiah
Akitivitas penyusunan buku ini melalui beberapa proses dimana masyarakat Islam pada saat itu hanya mengandalkan hafalan hal ini bertahan sampai pemerintahan khalifah Harun al-Rasyid.[5]  Kemudian pencatatan pemikiran seperti ilmu hadits kemudian dirangkap, lalu diadakan pembukuan pemikiran-pemikiran atau hadits-hadits Rasulullah dalam satu buku seperti fiqhi, tafsir, hadits. Dan terakhir disusun dan diatur kembali buku yang telah ada ke dalam pasal-pasal dan bab-bab tertentu.[6]
b.      Penterjemahan
Penterjemahan merupakan aktivitas yang paling besar peranannya dalam mentrasfer ilmu pengetahuan yang berasal dari buku-buku bahasa asing, seperti bahasa Sansekerta, Yunani ke dalam bahasa Arab.  Ketika pemerintahan Abbasyiah ini sudah kokoh, terutama pada masa al-Mansyur, Harun al –Rasyid dan al-Ma’mun, maka dari itu mereka mengirim misi untuk membawa kembali hasil karya ilmiah, yang baik dalam bidang filsafat, logika, kedokteran, matematika, astrologi, geografi serta sejarah. Kemudian memerintahkan agar hasil karya mereka diterjemahkan dalam bahasa Arab.[7]
c.       Pensyarahan
Sebelum memasuki abad ke 10 M. kegiatan kaum muslimin tidak hanya menerjemahkan, bahkan mulai memberikan syarahan (penjelasan) dan melakukan tahqiq (pengeditan), pada awalnya muncul dalam bentuk karya tulis, lalu dipadukan dalam berbagai pemikiran dan petikan, analisis dan kritis yang disusun dalam bentuk bab-bab dan pasal-pasal, bahkan dengan keahlian mereka, hasil kritik dan analisis itu dapat melahirkan teori-teori baru, seperti memisahkan aljabar dengan ilmu hisab yang pada ahlinya menjadi ilmu tersendiri secara sistematis.[8]  Pada masa inilah lahirnya karya-kaya ulama yang telah tersusun rapi.
2.      Kemajuan dalam Bidang Pendidikan
Kemajuan dalam bidang pendidikan ini, bukan berarti nanti pada masa pemerintahan Abbasyiah akan tetapi diawal Islam lembaga pendidikan sudah mulai berkembang. Hal ini dapat  diketahui dengan adanya pendidikan terdiri dua tingkat yang pertama, Maktab dan mesjid sebagai pendidikan terindah tempat anak-anak mengenal dasar bacaan, hitungan dan tempat para remaja belajar dasar-dasar ilmu agama, seperti tafsir, hadits, fiqih dan bahasa, yang kedua tingkat pendalaman, para pelajar ingin meningkatkan ilmunya keluar daerah menuntut ilmu kepda seorang, biasanya berlangsung di mesjid-mesjid atau rumah ulama yang bersangkutan. Lembaga-lembaga pendidikan tersebut semakin berkembang dengan berdirinya perpustakaan dan akademi, dimana perpustakaan pada masa itu merupakan sebuah universitas karena terdapat buku-buku, orang juga dapat membaca, menulis dan berdiskusi dan terjadinya penterjemahan diberbagai macam ilmu ke dalam bahasa  Arab.
3.      Kemajuan Ilmu di Bidang Agama
Pada zaman Dinasti Abbasiyah telah terjadi semacam pembagian wawasan dalam bidang keilmuan menjadi ilmu-ilmu agama (naqli) dan ilmu-ilmu duniawi (aqli) namun yang dimaksud dengan ilmu-ilmu agama, menurut Ahmad Amin adalah ilmu-ilmu yang bersumber baik secara lansung maupun tidak lansung dari agama dengan bahasa Al_Quran.[9]  Dalam batasan ini termasuk dalam kelompok ilmu-ilmu agama adalah tafsir, hadits, fiqih, bahasa Arab dan ilmu Kalam.
a.       Ilmu Tafsir
Kemajuan yang telah dicapai ilmu tafsir pada masa ini adalah berpisahnya dari ilmu hadits, dan terjadi penafsiran secara sistematis. Tafsir pada masa itu terbagi ke dalam dua bentuk :
1.      Tafsir bi-al-ma’tsur yaitu model penafsiran Al-Quran dengan menggunakan interpretasi Nabi dan sahabat-sahabat terkemuka, diantara ahli tafsirnya adalah al-Thabari (w. 310 H). yang berjudul Jami al-Bayan fi Tafsir Al-Quran yang terdiri atas 30 jilid.[10]
2.      Tafsir bi al-ra’yi yaitu model penafsiran yang lebih banyak bertumpu pada kekuatan nalar, diantara ahli tafsir dalam metode ini yang lebih banyak  dipelopori dari aliran Mu’tazilah seperti Abu Bakar al-Sham (w. 240 H). Jadi pada masa inilah semakin berkembang interpretasi Al-Quran, hal ini dipengaruhi oleh perkembanagan-perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan.
b.      Ilmu Hadits
Hadits-hadits pada masa sekarang telah diadakan pengkodifikasian sebagai lanjutan dari usaha para ulama sebelumnya. Dimana ulama pada waktu itu pengkodifikasian dilakukan tanpa ada penyaringan sehingga bercampur antara yang datang dari Nabi dan yang bukan dari Nabi. Nanti pada masa Abbasiyah baru diadakan penyaringan dengan melakukan kritik pada sanad hadits, dari sinilah lahirlah kualitas hadits yang terdiri dari hadits shahih, hasan dan dhaif.[11]  Ulama yang terkenal pada masa ini antara lain; Imam Bukhari bukunya shaih Bukhari, Muslim bukunya shahih Muslim, Ibnu Majah dan lain sebagainya. Perkembangan hadits ini sangat dipengaruhi oleh sarana dan prasarana seperti alat tulis dan transportasi.
c.       Ilmu Kalam dan teologi
Ilmu kalam lahir karena dorongan untuk membela Islam dengan pemikiran filsafat dari serangan orang-orang Kristen, Yahudi yang mempergunakan senjata filsafat dan menyelesaikan persoalan agama dengan kemampuan akal pikiran dan ilmu pengetahuan. Orang-orang dari golongan Mu’tazilah yang andil besar dalam mengembangkan ilmu kalam, dan penyelesaiannya bercorak filsafat Islam.[12]  Pada masa ini tokoh-tokoh besar dalam bidang ilmu kalam, seperti dari Mu’tazilah dikenal antara lain Abu al-Huzail al-Allaf (w. 235 H) al-Nizam (w. 231), serta al-Jubbai (w. 290H). sedangkan dari ahlu Sunnah waljamaah antara lain, al-Asy’ary (w. 234), al-Baqillani (w. 403 H), al-Juwaini (w. 479H). Ilmu kalam semakin berkembang pada masa ini dikarenakan adanya penerjemahan bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab. Ilmu pengetahuan yang paling penting yang muncul dari kecenderungan itu adalah teologi, Hadits, Fikih, dan Linguistik. Kebanyakan sarjana dalam bidang ini adalah keturunan Arab. Minat orang Arab Islam paling awal tertuju pada cabang keilmuan yang lahir karena motif keagamaan. Kebutuhan untuk memahami dan menjelaskan Al-Quran, kemudian menjadi landasan teologis dan linguistik yang serius. Interaksi dengan dunia Kristen pada abad pertama Hijriah di Damaskus telah memicu munculnya pemikiran spekulatif teologis yang melahirkan mazhab pemikiran Murjiah dan Qadariah.[13]
Bidang kajian berikutnya adalah Hadits (sunnah),[14] yaitu perilaku, ucapan, dan persetujuan (taqrir) Nabi, yang kemudian menjadi sumber ajaran yang paling penting. Awalnya hanya diriwayatkan dari mulut ke mulut, Hadits Nabi kemudian direkam dalam bentuk tulisan pada abad kedua  Hijriah. Selama dua setengah abad pertama setelah Nabi Muhammad wafat, catatan tentang perkataan dan perilakunya  terus bertambah, terhadap berbagai persoalan agama, politik, atau sosial setiap kelompok berusaha mencari Hadits untuk memperkuat pendapatnya baik Hadits itu shahih atau palsu. Perseteruan politik antara Ali dan Abubakar, konflik antara Muawiyah dan Ali, permusuhan antara Dinasti Abbasiyah dan Dinasti Umayyah, serta persoalan supriritas antara orang Arab dan non- Arab, membuka pintu yang sangat yang sangat lebar untuk menjamurnya pemalsuan Hadits.
d.      Ilmu Fiqh
Merupakan kebanggaan pada masa pemerintahan Abbasiyah ini adalah lahirnya empat imam mazhab yang ulung. Mereka itu adalah Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal. Keempat ulama inilah merupakan ulama fiqih yang paling agung dan tiada tandingannya di dunia Islam.
Metode istimbat hukum yang digunakan oleh para fuqaha pada masa ini dapat dibedakan menjadi ahl ra’yi dan ahl hadits. Yang pertama banyak dipengaruhi perkembangan yang terjadi di Kufah, dimana kehidupan masyarakat telah mencapai tingkat kemajuan yang lebih tinggi. Olehnya itu mazhab ini lebih banyak menggunakan pemikiran rasional dari pada hadits, dan tradisi masyarakat Madinah. Perbedaan kedua mazhab ini dapat ditengahi oleh Imam Syafi’i  dan Imam Ahmad bin Hambal.[15]  Kitab-kitab yang terkenal sekaligus menjadi pegangan mazhab mereka adalah al-fiqh al-Akbar karya Imam Abu hanafi, al-Muwaththa karya Imam Malik, Al-Risalah Karya Imam Syafi’i serta al-Kharfy pada masa ini mengalami kemajuan seiring dengan perkembangan pemikiran masyarakat serta lahirnya beberapa buku-buku yang telah dikarang oleh para imam mazhab.
            Selain keempat bidang tersebut di bidang lain ilmu nahwu, tasawuf serta penulisan sejarah juga mengalami kemajuan yang pesat. Tokoh-tokoh ilmu nahwu pada masa ini seperti Basrah adalah Umar al-Tsaqafi, al-Akhfasy dan Labawaihi. Sementara Kufah adalah Abu Jafar al-Kisai dan al-Farra’ sufi yang terkenal adalah Abun Jafar al-Kisai dan al-farra’. Sufi terkenal adalah al-Qusayri Sahabuddin dengan karyanya al-Risalah al-Qusairiyah dan Sahabuddin dengan karyanya Awaruf al-Ma’arif. [16]  Penulisan sejarah tentang biografi Nabi saw oleh Ibn Ishaq, buku ini telah sampai ditangan kita dengan perantaraan muridnya Ibn Hisyam.[17]  Jadi perkembangan ilmu pengetahuan agama pada masa Bani Abbasiyah ini disebabkan karena kesadaran para tokoh yang masing-masing ingin mengembangkan ilmu pengetahuan sesuai dengan keahliannya.
4.      Kemajuan Ilmu di bidang Filsafat
Kemajuan ilmu pengetahuan yang dicapai pada zaman Abbasiyah ini diawali dengan maraknya kegiatan keilmuan, hal ini disebabkan karena adanya penerjemahan buku-buku karya filosof Yunani ke dalam bahasa Arab yang telah dipelopori Harun al-Rasyd dan al-Ma’mun di lembaga Bait al-Hikmah. Fisofof –filosof muslim yang terkenal pada masa ini antara lain Ya’kub Ibn Ishak al-Kindi, ia turut aktif dalam penerjemahan, namun banyak dalam memberikan kesimpulan dari pada menerjemah karena ia orang kaya sehingga dapat membayar orang untuk menerjemahkan buku-buku yang dibutuhkan.[18]  Ia seorang filosof yang terkenal pada zaman itu karena pendapat-pendapatnya tentang filsafat ketuhan dan filsafat jiwa.
Fisofof lain juga seperti Abu Nasr Muhammad al-Farabi yang lahir di Arab pada tahun 870 M, dari Arab pindah ke Baghdad sebagai pusat ilmu pengetahuan. Al-Farabi ada yang menjuluki sebagai seorang filosof Islam pertama. Dialah yang pertama menciptakan sistem Filsafat yang lengkap sebagai mana peran Plotinus bagi dunia barat, karangan-karangannya ada sekitar 30 buah.[19]  Di antara karangan-karangannya adalah Agradha ma Baida at-Tabiah, Tahsil as-sahadah dan sebagainya.
Ibnu Sina salah seoarang filosof muslim karyanya dalam bidang filsafat yang berjudul  Asy-Syifa, buku ini terdiri atas empat bagian yaitu logika, fisika, matematika dan metafisika (ketuhanan), al-Gazali yang terkenal antara lain Ihya Ulumuddin yang artinya menghidupkan ilmu-ilmu agama, al-Mungqis Dhalal yang berarti penyelamat dari kesesatan. Bagi orang Arab, filsafat (falsafah) merupakan pengetahuan tentang kebenaran dalam arti yang sebenarnya, sejauh hal itu biasa dipahami oleh pikiran manusia. Secara khusus nuansa filsafat mereka berakar pada tradisi filsafat Yunani. Yang dimodifikasi denagan pemikiran para penduduk di wilayah taklukan, serta pengaruh-pengaruh Timur lainnya, yang disesuaikan dengan nilai-nilai Islam, dan diungkapkan dalam bahasa Arab. Orang Arab percaya bahwa karya-karya Aristoteles merupakan kodifikasi filsafat Yunani yang lengkap. Dengan demikian, filsafat dan kedokteran Yunani yang berkembang saat itu senyatanya merupakan ilmu yang dimilki oleh Barat. Sebagai muslim orang Arab percaya bahwa Al-Quran dan teologi Islam merupakan rangkuman dari hukum dan pengalaman agama. Karena itu kontribusi orisinal mereka terletak di antara filsafat dan agama di satu sisi, dan di antara filsafat dan kedokteran di sisi lainnya.
Filosof pertama, al-Kindi atau Abu Yusuf Ya’kub ibn Ishaq, ia memang representasi pertama dan terakhir dari seorang murid Aristoteles di dunia Timur yang murni keturunan Arab. al-Kindi lebih dari sekedar seorang filosof, ia ahli perbintangan, kimia, ahli mata dan musik. Kemudian dilanjutkan oleh al-Farabi, nama lengkapnya Muhammad Ibn Muahammad ibn Tharkhan Abu Nashr al-Farabi (Alpharabius), 29 seorang keturunan Turki, dan disempurnakan di dunia Timur oleh Ibn Sina, (w. 1037) seorang keturunan Suriah, yang pernah dijuluki ahli kedokteran yang banyak mengadopsi pandangan filosofis al-Farabi. Menurut Ibnu Khallikan, 34 “tidak ada satupun orang Islam yang pernah mencapai pengetahuan filosofis yang menyamai prestasi al-Farabi; dan melalui terhadap berbagai kajian karyanya, serta peniruan terhadap gaya penulisannya itulah Ibn Sina mencapai keunggulan, dan menjadikan karya-karyanya sedemikian bermanfaat”. Meski demikian, Ibn Sina merupakan pemikir yang sanggup menyatukan berbagai kebijaksanaan Yunani dengan pemikirannya sendiri yang dipersembahkan untuk kalangan muslim terpelajar dalam bentuk yang mudah dicerna.[20] Demikianlah diantara tokoh-tokoh yang hidup pada masa Abbasiyah.
5.      Kemajuan Ilmu dalam Bidang Sains
Merupakan bukti sejarah, bahwa banyak dari peradaban Islam khususnya dalam kemajuan sains yang ditransfer ke Eropa, dan dapat dibuktikan bahwa telah ada suatu peradaban gemilang yang dimainkan oleh para pelaku sejarah dari kalangan dunia Islam. Sebagai bukti bahwa ketika Harun al-Rasyid dan al-Ma’mun sudah giat menyelami filsfat Yunani dan Persia, sementara orang-orang di dunia Barat pada waktu itu seperti Karl Agung dan kaum ningratnya masih bercakar-cakar untuk belajar menulis nomornya sebagaimana yang diungkapkan oleh Philip K. Hitti.[21]  Perkembangan sains itu merupakan pengaruh gerakan terjemahan terutama di bidang astronomi, kedokteran, matematika dan lain sebagainya.
a.       Astronomi
Ahli astronomi Islam yang terkenal adalah al-Fazzari yang hidup pada masa khalifah al-Mansyur sebagai seorang Islam yang pertama kali yang menyusun astrolober (alat yang dahulu dipakai sebagai pengukur tinggi bintang), sedang al-Farqani yang dikenal di Eropa mengarang ringkasan tentang ilmu astronomi kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa latin lalu diterjemahkan oleh Gewrar Cremona dan Johannes Hispalensis.[22]  Astronomi Islam yang lainya seperti Ya’qub bin Thariq, Muhammad bin Umar al-Balkhi dengan karyanya seperti kitab al-Madhal al-Kabir, al-Battani penulis buku al-Zaij al- Shabi oleh al-Khawarizmi dan lain sebagainya.[23]  Demikianlah berbagai ahli astronom Islam Abbasiyah.
b.      Kedokteran
Pada masa Dinasti Abbasiyah ini ilmu kedokteran telah mencapai puncaknya sehingga melanirkan para dokter yang terkenal. Diantaranya adalah Yuhannah bin Musawai dalam bukunya yang terkenal al-Asyr al-Maqalat fi al- Ain tentang pengobatan penyakit mata, Abu Bakar al-Razi termasuk ketua seluruh dokter di seluruh Baghdad, karyanya yang sangat terkenal adalh Kitab Asrar, kitab al-Manshuri, al-Juwadi wa al-Hasbah serta al-Hawi yang merupakan Ensiklopedi tentang medis dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa latin pada tahun 1279.[24]   Ibnu Sina termasuk juga seorang dokter yang sangat mashur karangannya dalam bentuk ensiklopedi berjudul al-Qanun fi al-Thib, yang diterjemahkan ke dalam bahasa latin dan menjadi buku-buku standar untuk universitas-universitas di Eropa sampai akhir abad ke 17 M. Buku ini pernah diterbitkan di Roma pada tahun 1593 M. dan di India pada tahun 3123 H.[25]  Jadi pada dasarnya perkembangan kedokteran disebabkan perkembangan dalam bidang perekonomian karena sebagian kekayaan Negara dipakai untuk membiayai kedokteran dan rumah sakit.
c.       Matematika
Disamping perkembangan sains di atas ilmu pasti (matematika), dikenal Muhammad ibn Musa al-khawarizmi, adalah yang menemukan ilmu al-jabar wa al-Muqabalah yang sangat mempengaruhi ilmuan sesudahnya seperti Umar Khayam.
Demikianlah puncak kejayaan yang telah dialami oleh Khalifah Abbasiyah sampai masa khalifah al-Mutawakkil. Sepeninggalnya daulat ini  mulai mengalami kemunduran karena khlifah-khlifah penggantinya pada umumnya lemah tidak mampu melawan kehendak tentara yang sangat berkuasa sehingga khalifah tidak punya peranan lagi yang punya peranan hanyalah tentara-tentara dari Turki.
B.     Faktor-Faktor Penyebab Kamajuan Ilmu Pengetahuan
Masyarakat Islam pada Dinasti Abbasiyah ini mengalami kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan yang sangat pesat yang dipengaruhi oleh dua factor :
1.Faktor politik
a.       Perpindahan ibu kota Negara dari Syam ke Irak dan Baghdad sebagai ibu kota pada tahun 146 H. dimana Baghdad pada waktu itu merupakan kota yang tinggi kebudayaannya dan sudah lebih dahulu mencapai tingkat ilmu yang lebih tinggi dari Syam.
b.      Banyaknya cendekiawan yang diangkat sebagai pegawai pemerintah dan istana. Khalifah-khalifah Abbasiyah seperti al-Mansyur banyak mengangkat pegawai pemerintahan dan istana dari cendekiawan Persia, yang banyak berpengaruh seperti dia mengamgkat Khalid keluarga dari Barmark sebagai Wazir.
c.       Mu’tazilah diakui sebagai mazhab resmi Negara pada masa al-Ma’mun dan dilanjutkan oleh adiknya al-Mu’tasim.
1.      Faktor Sosiografi
Yang termasuk faktor sosiografi adalah  sebagai berikut :
a.       Peningkatan kemakmuran umat pada masa Dinasti Abbasiyah ini, menurut Ibnu Khaldun adalah ilmu itu seperti industri, banyak atau sedikitnya tergantung pada kemakmuran, kebudayaan dan kemewahan hidup masyarakat.[26]  Sehingga apabila taraf hidup masyarakat itu rendah maka peningkatan ilmu itu sulit dicapai dengan baik.
b.      Luasnya wilayah kekuasaan Islam menyebabkan banyaknya orang Persia dan Romawi masuk Islam. Hal ini disebabkan hasil perkawinan yang melahirkan keturunan yang tumbuh dengan memadukan kedua kebudayaan.[27]
c.       Pribadi beberapa khalifah pada masa itu terutama pada masa pemerintahan al-Mansyur, Harun al-Rasyid dan al-ma’Mun yang sangat mencintai ilmu pengetahuan sehingga kebijakanya banyak ditujukan pada peningkatan ilmu pengetahuan.[28]
d.      Selain permasalahan tersebut, bahwa permasalahan yang dihadapi masyarakat semakin kompleks dan berkembang.

Kesimpulan
Perkembangan ilmu dalam bidang agama, filsafat, pendidikan dan sains, sangat pesat disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk faktor kebijakan politik pemerintahan dan sosiografi, dimana permasalahan masyarakat semakin kompleks dan masyarakat membutuhkan pengaturan pembukuan dari berbagai macam ilmu pengetahuan, termasuk kemajuan yang dicapai pada masa Dinasti Abbasiyah ini yang ditandai dengan adanya aktifitas ilmiah, seperti penerjemahan, pensyarahan dan penyusunan buku-buku ilmiah.

DAFTAR PUSTAKA

al-Basya, Hasan. Dirasat Fiy Hadarat al-Islamiyah. Cairo: Matba’at Jami’at al-Qahirat 1992.

Amin, Ahmad , Dhuha Islam, Juz II Kairo: Maktaba al-Nahdah al-Mishriyat,

Hasyim, A. Sejarah Kebudyaan Islam. Jakrta: Bulan Bintang, 1979.

Ibrahim Hassan, Hassan, Islamic History and Culture, diterjemahkan oleh Jhohan Human dengan judul “Sejarah dan Kebudayaan Islam”, Cet. I; Yogyakarta: Kota Kembang, 1989

Muafradi, Ali, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Cet. II; Jakarta: Logos, 1999.

Nasution, Harun,  Ensiklopedi Islam di Indonesia, Vol I, Jakarta : Depag RI, Direktorat Pembinaan Kelembagan Islam Proyek Peningkatan Prasarana dan Sarana Pengurus Tinggi Agama/IAIN, 1992/1993.

______________,  Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid I, Jakart: UI Press, 1984.
______________, Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam, Cet. VII; Jakarta, 1990.

K. Hitti, Philip, Dunia Islam, Sejarah Ringkas, diterjemahkan oleh Ushuluddin Hutagalung dan O.D.P. Sihombing (Bandung; Sumur, t. t.)

______________, History of Thale Arabs; From thale Earliest Times to thale Present,  New York: Palgrave Macmillan, 2002

____________, The Capital Cities Of Arab Islam. Minneapolis: Oxford University Press



Poerwantha. (et.al), Seluk Beluk Filsafat Islam. Cet I; Bandung: Rosda Karya, 1988.




[1] Lihat HALasan al-Basya, Dirasat Fiy HALadarat al-Islamiyahal (Cairo: Matba’at Jami’at al-Qahalirat 1992), hal. 24
[2]HALarun Nasution (edit), Ensiklopedi Islam di Indonesia, Vol I, (Jakarta : Depag RI, Direktorat Pembinaan Kelembagan Islam Proyek Peningkatan Prasarana dan Sarana Pengurus Tinggi Agama/IAIN, 1992/1993), hal. 8.  
[3] HALarun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid I, (Jakart: UI Press, 1984), hal. 70
[4] Phalilip K. HALitti, Thale Capital Cities Of Arab Islam (Minneapolis: Oxford University Press), hal. 85
[5] Lihat, HALassan Ibrahalim HALassan, Islamic HAListory and Culture, diterjemahalkan olehal Jhalohalan HALuman dengan judul “Sejarahal dan Kebudayaan Islam”, (Cet. I; Yogyakarta: Kota Kembang, 1989), hal. 131.
[6]  Lihat Montohala, (et. al), op. cit, hal. 45
[7] Lihat Ahalmad Amin, Dhaluhala Islam, Juz II (Kairo: Maktaba al-Nahaldahal al-Mishalriyat, t. thal), hal. 12
[8] Lihat Ibid.
[9] Lihat Ahalmad Amin, Dhaluhala Islam, op.cit., hal. 12
[10] Lihat, HALasan Ibrahalim, HALassan, op.cit., hal. 138
[11] Lihat, Ibid
[12] Lihat Munthalohala, (et. al), op.cit, hal. 52
[13] Philip K. Hitti, History of Thale Arabs; From thale Earliest Times to thale Present,  (New York: Palgrave Macmillan, 2002), hal. 492
[14] Ibid,  
[15] Lihat Ibid., hal. 54.
[16] Lihat A. HALasjmi, op. cit., hal. 260
[17] Lihat HALasan Ibrahalim HALassan, op. cit., hal. 135.
[18] Lihat Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam (Cet. VII; Jakarta, 1990), hal. 26
[19] Lihat Poerwantha. (et.al), Seluk Beluk Filsafat Islam. (Cet I; Bandung: Rosda Karya, 1988), hal. 134.
[20] Phalilip K. HALitti, HAListory of Thale Arabs; From thale Earliest Times to thale Present, 0p.cit.halal. 462
[21] Lihat Phalilip K. HALitti, Dunia Islam, Sejarahal Ringkas, diterjemahalkan olehal Ushaluluddin HALutagalung dan O.D.P. Sihalombing (bandung; Sumur, t. t.). hal. 119
[22] Lihat Badri Yatim, op.cit., hal. 57-58. Lihat juga Muntohala, (et.al), op.cit., hal. 57.
[23] Lihat Muntohala, Ibid.
[24] Lihat Ibid., hal. 56
[25] Lihat Poerwantahala, (et.al), op.cit., hal. 146.
[26] Lihat Muntohala (et.al), op.ci., hal. 43
[27] Lihat A. HALasyim, Sejarahal Kebudyaan Islam. (Jakrta: Bulan Bintang, 1979), hal. 245.
[28] Lihat Ali Muafradi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Cet. II; Jakarta: Logos, 1999), hal.102 

Friday 22 June 2012

DINASTI FATIMIYAH DI MESIR

Fatimiyah merupakan penguasa Syiah yang berkuasa di berbagai wilayah di Maghrib, Mesir, dan Syam dari 909 hingga 1171. Negara ini dikuasai oleh Syi'ah Isma'iliyah. Fatimiyah berasal dari satu tempat yang kini dikenal sebagai Tunisia (Afriqiya) yang didirikan pada tahun 909 oleh Abdullah al-Mahdi. Namun setelah penaklukan Mesir sekitar 971, ibukotanya dipindahkan ke Kairo. Dinasti ini terkadang disebut pula dengan dinasti Ubaidillah, sesuai dengan nama pendiri dinasti.[1]
Pada masa Fatimiyah, Mesir menjadi pusat kekuasaan yang mencakup Afrika Utara, Sisilia, pesisir Laut Merah Afrika, Maroko, Aljazair, Libya, Palestina, Suriah, Yaman dan Hijaz. Di masa Fatimiyah, Mesir berkembang menjadi pusat perdagangan luas di Laut Tengah dan Samudera Hindia yang menentukan jalannya ekonomi Mesir selama abad pertengahan akhir yang saat itu dialami Eropa.[2]
Kemajuan Fatimiyah dalam administrasi negara lebih berdasarkan pada kecakapan daripada keturunan,  toleransi dikembangkan kepada non-Muslim seperti orang-orang Kristen dan Yahudi, yang mendapatkan kedudukan tinggi dalam pemerintahan dengan berdasarkan pada kemampuan.[3]
Pada 1040-an, Ziriyah (gubernur Afrika Utara di masa Fatimiyah) mendeklarasikan kemerdekaannya dari Fatimiyah dan berpindahnya mereka ke Islam Sunni, yang menimbulkan serangan Banu Hilal yang menghancurkan. Setelah 1070, Fatimiyah mengendalikan pesisir Syam dan bagian Suriah terkena serangan bangsa Turki, kemudian Pasukan Salib, sehingga wilayah Fatimiyah menyempit sampai hanya meliputi Mesir. Setelah terjadi pembusukan sistem politik Fatimiyah pada 1160-an, penguasa Zengid Nur ad-Din memerintahkan jenderalnya, Salahuddin al-Ayyubi, menaklukkan Mesir pada 1169 membentuk dinasti Ayyubi Sunni.[4]
Bagimanapun juga, dinasti Fatimiyah merupakan salah satu warna dari perjalanan dinamika umat Islam di Mesir. Dalam rentang beberapa periode, dinasti ini telah mengukirkan nama harumnya bagi kemajuan dan kebesaran serta kejayaan Islam. Meskipun kedinastian ini menganut aliran Syi’ah Ismailiyah, tapi toh masih dalam bingkai Islam. Oleh karena itu, peran dan sumbangannya bagi kebesaran nama Islam harus tetap dijunjung tinggi dan dihargai.

A.     Sejarah munculnya Dinasti Fatimiyah
Mengungkap tentang sejarah munculnya dinasti Fatimiyah yang beraliran Syi’ah Isma’iliyah, tidak akan terlepas dari gerakan-gerakan Syi’ah yang muncul sebelumnya.[5] Gerakan Syi’ah Isma’iliyah ini muncul sejak berdirinya pemerintahan Abbasiyah dengan menggunakan dua model gerakan:
  1. Gerakan militan (sembunyi-sembunyi)Gerakan militan ini dipelopori oleh Abdullah ibn Syi’i[6] dengan berusaha mendekati jama’ah haji yang berasal dari Tunisia, khususnya suku Kitamah dan berusaha memasukkan propaganda ajaran Isma’iliyah. Dia kemudian berhasil mempengaruhi para jama’ah haji tersebut sehingga dia ikut pulang ke Tunisia.
  2. Gerakan frontal (terang-terangan)Sukses gemilang yang diraih oleh Abdullah al-Syi’i di wilayah Tunisia, mendorongnya melakukan perlawanan terhadap dinasti Aghlabiah. Kemudian pada tahun 909 M., dia memproklamirkan Sa’id ibn al-Husain sebagai khalifah dengan gelar al-imam Ubaidillah al-Mahdi dengan Raqadah[7] sebagai pusat ibu kota.[8]   
Dengan demikian, Dinasti Fatimiyah berdiri di Tunisia (Afrika Utara) pada tahun 909 M dibawah pimpin Sa’id ibn al-Husain setelah mengalahkan dinasti Aghlabiah di Sijilmasa.[9] Terbentuknya dinasti Fatimiyah pada saat itu menyebabkan Islam di bawah 3 penguasa yaitu: khalifah Abbasiyah di Bagdad, khalifah Umayyah di Cordova dan khalifah Fatimiyah di al-Mahdiah.[10]

Selama berkuasa dari tahun 909 M. hingga tahun 934 M, Ubaidillah membuktikan dirinya sebagai penguasa yang mampu dan berbakat. Dua tahun pasca menjadi penguasa tertinggi, dia membunuh panglima dakwahnya yaitu Abdullah al-Syi’i. Setelah itu, dia memperluas kekuasannya sampai hampir meliputi seluruh wilayah Afrika, mulai dari Maroko yang dikuasai Idrisiyah hingga perbatasan Mesir. Pada tahun 914, dia berhasil menguasai Iskandariyah, dua tahun berikutnya Delta berada dalam kekuasaannya. Kemudian dia mengirimkan seorang gubernur Baru dari suku Kitamah ke Sisilia dan menjalin pertemanan dengan pemberontak Ibn Hafshun di Spanyol. Malta, Sardinia, Corsica, Balearic dan pulau-pulau lainnya pernah merasakan kedahsyatan armada yang diwarisi dari dinasti Aghlabiah.[11]

Pasca wafatnya Ubaidillah, pemerintahan diambil alih oleh puteranya yaitu Abu al-Qasim Muhammad al-Qaim[12] yang berkuasa dari tahun 934 M. hingga 946  M. kebijakannya lebih difokuskan pada upaya penyerbuan dan perluasan wilayah kekuasaan. Oleh karena itu, pada tahun 935, dia mengirim armada untuk menyerbu pantai utara Prancis, menguasai Genoa dan sepanjang pesisir Calabria dan berusaha menaklukkan Mesir akan tetapi tidak berhasil.[13] Kemudian dilanjutkan oleh puteranya al-Manshur pada tahun 946-952 M.   

Penaklukkan Mesir berhasil dilakukan oleh cucu al-Qaim yaitu Abu Tamim Ma’ad al-Mu’iz yang berkuasa pada tahun 952-975 M.[14] Penyerbuan ke Mesir itu dilakukan dengan dalih untuk melindungi kaum Syi’ah yang di sana[15] dengan mengirimkan seorang panglima Jendaral Jawhar al-S}iqilli> berkebangsaan Sisilia atau Yunani, sekaligus untuk merebut kekuasaan dari tangan gubernur Abbasiyah Abu> al-Khawa>rij pada tahun 969 M.[16]  

Sejak kemenangannya atas ibu kota Fusthat[17] pada tahun 969, Jawhar kemudian mendirikan Masjid Agung al-Azhar yang dikemudian hari berkembang menjadi universitas dan membuat markas baru dengan nama al-Qahirah. Sejak 973 M., kota ini kemudian menjadi pusat kota dinasti Fatimiyah. Pada tahun yang sama (969 M.), setelah merasa kedudukannya di Mesir kokoh, Jawhar melirik negara tetangganya Suriah dan berhasil menaklukkan kota Damaskus.
Untuk mengetahui sekilas tentang dinasti Fatimiyah, berikut adalah para khalifah dinasti Fatimiyah:
  1. Khalifah Ubaidilah Al-Mahdi (909-934), pendiri Dinasti Fatimiyah.
  2. Abdul al-Qasim Muhammad al-Qa'im bi Amr Allah bin al-Mahdi Ubaidillah (934-946).
  3. Isma'il al-Mansur bi-llah (946-952).
  4. Abu Tamim Ma'add al-Mu'iz li-Din Allah (952 M - 975) M. Mesir ditaklukkan semasa pemerintahannya.
  5. Abu Mansur Nizar al-'Aziz bi-llah (975 M - 996 M).
  6. Abu 'Ali al-Mansur al-Hakim bi-Amr Allah (996M - 1021 M).
  7. Abu'l-Hasan 'Ali al-Zahir li-I'zaz Din Allah (1021 M - 1036 M).
  8. Abu Tamim Ma'add al-Mustanshir bi-llah (1036 M - 1094 M).
  9. Al-Musta'li bi-Allah (1094 M-1101 M). Pertikaian atas suksesinya menimbulkan perpecahan Nizari.
  10. Al-Amir bi Ahkam Allah (1101 M - 1130 M). Penguasa Fatimiyah di Mesir setelah tak diakui sebagai Imam oleh tokoh Ismailiyah Mustaali Taiyabi.
  11. Abd al-Majid (1130 M - 1149 M).
  12. Al-Wafir (1149 M - 1154 M).
  13. Al-Fa'iz (1154 M - 1160 M).
  14. Al-'Adid (1160 M - 1171 M). Setelah jatuhnya Al-`Adid, kekuasaan Dinasti Fatimiyah selama 200 tahun lebih berakhir.[18]
B.    Kejayaan Dinasti Fatimiyah

Kejayaan dinasti Fatimiyah dimulai saat al-Muiz pindah dari ibu kota al-Mahdiyah ke al-Qahirah (Kairo). Dan puncak kejayaannya dicapai pada masa pemerintahan Abu al-Manshur Nizar al-Aziz (975-996) di mana kerajaan diliputi dengan kedamaian dan nama al-Aziz diagungkan dalam setiap khutbah jum’at sepanjang wilayah kekuasaannya.[19]

Al-Aziz berhasil menempatkan dinasti Fatimiyah sebagai negara Islam terbesar di kawasan Mediterania Timur, bahkan berhasil menenggelamkan famor penguasa Bagdad. Al-Aziz rela menghabiskan dua juta dinar untuk membangun istana yang tidak kalah megah dari istana Abbasiyah, Al-Aziz menjadi penguasa Fatimiyah yang bijaksana dan paling murah hati.[20]

Salah satu bukti kemakmuran dan kejayaan dinasti Fatimiyah adalah pekerja istana kerajaan pada saat itu berjumlah 12.000 orang pelayan, 10.000 pengurus kuda dan 8.000 pengurus yang lain. Kedamaian pada saat itu tergambar dengan tidak terkuncinya toko perhiasan dan toko money changer . bahkan khalifah al-Aziz memiliki 20.000 rumah di ibu kota yang dibangun menggunakan batu bata dengan ketinggian lima atau enam lantai.[21]
      
Untuk melihat dan mengukur kejayaan dinasti Fatimiyah yang telah berkuasa selama 262 tahun, berikut adalah beberapa kontribusi mereka terhadap dunia Islam secara khusus dan seluruh dunia secara umum:

a. Agama
Dalam bidang agama, dinasti Fatimiyah memberlakukan ajaran-ajaran Syiah dengan menganggap bahwa para imam itu bersih dari dosa dan kesalahan, memberikan toleransi yang tak terbatas kepada umat Kristen yang tidak pernah dirasakan oleh mereka sebelumnya.[22]  

b. Pendidikan
Pada masa khalifah al-Aziz (976-996 M.), masjid al-Azhar ditingkatkan fungsinya dari tempat ibadah semata menjadi universitas. Dan pada masa khalifah al-Hakim bi Amrillah (996-1021 M.), didirikanlah sebuah akademi yang diberi nama dar al-hikmah[23] (kampung kebijaksanaan) yang sederajat dengan lembaga-lembaga ilmu pengetahuan di Cordova, Baghdad dan lain-lain. 
Di samping itu, dinasti Fatimiyah juga mendirikan observatorium di bukit al-Mukattam untuk mempelajari astronomi, astrologi, kedokteran, kimia dan sejenisnya.[24] Ilmuan-ilmuan yang terkenal pada masa itu antara lain Ali ibn Yunus, salah seorang astronom yang memperbaharui kalender, Abu Ali al-Hasan ibn al-Hasyim yang telah menulis 100 buah buku dimana salah satu karya monumentalnya adalah al-Manaz|i r.[25]  
  
c. Politik
Sistem pemerintahan Fatimiyah bernadakan teokrasi karena menganggap jabatan khalifah ditentukan oleh nash atau wasiat Nabi kepada Ali di Gadir Khummah. Hal itu diperkuat dengan penamaan-penamaan khalifahnya seperti al-Muiz lidillah, al-Mustansir billah dll. Namun jika melihat bahwa khalifah merupakan penunjukkan langsung maka disebut juga monarki bahkan bisa disebut monarki absolut.[26] Khalifah kemudian membawahi beberapa menteri yang direkrut dari orang yang mampu dan memiliki kecakapan tanpa memandang sekte, suku bahkan agama.   

d. Militer
Peninggalan dinasti Fatimiyah dalam peradaban Islam keberadaan tentara bayaran sebagai penopang utama sebuah pemerintahan. Hal itu terjadi karena dinasti Fatimiyah penganut Syiah Ismailiyah yang pada saat itu merupakan kelompok minoritas. Tentara bayaran tersebut direkrut dari resimen kulit hitam atau Zawila yang dibeli dari pasar budak di Afrika dan dari orang Eropa Sakalaba atau yang kerap dipanggil dengan sebutan Bangsa Slav yang menjadi bangsa termiskin di Eropa Timur.[27]

e. Ekonomi
Untuk meningkatkan ekonomi, dinasti Fatimiyah membuat jalan terusan, jembatan sebagai lintas hasil pertanian agar pendapatan negara  dari sektor pajak bisa ditingkatkan, menambah aturan baru tentang perindustrian dengan membatasi para industriawan dari hidup bermewah-mewahan. Satuan uang di Mesir digunakan dinar dengan kurs dirham yang ditentukan. Hal itu dilakukan untuk melindungi para pedagang kecil dari kesewenang-wenangan pedagang besar yang menggunakan dinar sebagai kurs.[28]

Sementara pendapatan Negara diperoleh dari pertanian, perdagangan dan bea cukai karena Mesir pada saat menjadi jalur penghubung antara Afrika Asia dan Eropa dan menjadi tempat pertukaran berbagai komoditas antara Eropa dan Asia.[29]   

f.   Kebudayaan dan Peradaban
Salah satu warisan dinasti Fatimiyah yang eksis hingga saat ini adalah kota Cairo[30] yang dibangun oleh Panglima Jawhar al-Katib As-Siqilli pada tahun 969. Pada tahun 975-1075 M, Fustat merupakan ibu kota Mesir dan menjadi pusat produksi keramik dan karya seni Islami - sekaligus salah satu kota terkaya di dunia. Ketika Dinasti Umayyah digulingkan dinasti Abbasiyah pada 750 M, pusat pemerintahan Islam di Mesir dipindahkan ke Al-Askar - basis pendukung Abbasiyah dan bertahan hingga tahun 868 M.[31

g.      Seni
Periode Fatimiyah juga dikenal dengan keindahan produk tekstilnya, sedangkan produk tenunan yang berkembang saat itu produk khas bangsa yang bergaya koptik Mesir, kemudian dipengaruhi oleh gaya Iran dan Sasaniyah, seni keramik mengikuti pola-pola Iran dan seni penjilidan buku yang begitu indah dan menjadi penjilidan paling pertama dalam dunia Islam.[32]


h. Arsitektur
Salah satu bukti yang paling kuat adalah berdirinya Masjid al-Azhar[33] yang dibangun oleh Jendral Jawhar pada 972 M.[34] Gaya arsitektur masjid al-Azhar merupakan penggabungan gaya masjid Ibnu Tulun di Mesir dan gaya Persia dengan menara yang menjadi ciri khas Irak Utara.

C.     Kemunduran Dinasti Fatimiyah

Setelah hampir 50 tahun menapaki sejarah keemasannya sejak masa pemerintahan Al-Mu’iz, dinasti ini mulai menurun setelah berakhirnya masa pemerintahan Al-Aziz. Tindakan-tindakan kejam dari al-Hakim (996-1021) yang sangat belia (11 tahun) menjadi titik awal kegoncangan dalam dinasti Fatimiyah. Toleransi yang dijunjung sebelumnya dinafikan oleh al-Hakim, aturan-aturan yang merugikan non-Islam diberlakukan sehingga mulailah timbul ketidaksenangan. Namun pada saat al-Zhahir (1021-1035) naik tahta, dia membangun kembali kuburan suci sehingga namanya disebutkan di Masjid-masjid kekuasaan Konstantin VIII.[35]

Pada masa pemerintahan al-Mustanshir (1035-1094), penguasa terlama dalam dunia Islam yang diangkat pada usia 11 tahun, wilayah yang berada di bawah kekuasaan Fatimiyah mulai melepaskan diri seperti Suriah, Palestina dan kota-kota di Afrika. Banu Saljuk dari Turki membayang-bayangi kekuasaannya, Banu Hilal dan Banu Sulaim dari Nejed memberontak dan bangsa Normandia meronrong di pedalaman Afrika.[36]   

Pasca al-Mustanshir, dinasti Fatimiyah terus-menerus dirundung pertikaian, baik eksternal maupun internal, kehidupan masyarakat yang sangat sulit, sumber kehidupan tinggal aliran sunagi Nil, kelaparan dan wabah penyakit yang sering terjadi, akhirnya berimplikasi pada pajak yang tinggi dan pemerasan. Puncaknya terjadi pada saat terjadi perang salib dan Shalahuddin al-Ayyubi merebut dinasti tersebut. Dia tidak lagi mengangkat khalifah dari Fatimiyah, tapi menjadikan wilayah Mesir kembali sebagai bagian dari wilayah kekuasaan Abbasiyah Baghdad dengan status keamiran. Adapun dinasti keamirannya kemudian dikenal dengan dinasti al-Ayyubiyah.[37]

Ada beberapa faktor yang menjadi penyebabnya. Antara lain:

  1. Perilaku al-Hakim (pengganti al-Aziz) yang kejam menjadi awal kemunduran dinasti Fatimiyah. Al-Hakim membunuh beberapa wazir, menghancurkan beberapa gereja, menghancurkan kuburan suci umat Kristen (1009 M.), menetapkan aturan ketat terhadap non-Islam dengan menjadikan Islam eksklusif dari agama lain seperti pakaian dan identitas agama.[38]    
  2. Konflik internal antar para elitnya yang cukup dahsyat dan berkepanjangan. Koflik internal dalam pemerintahan Fatimiyah muncul dikarenakan hampir semua khalifahnya, setelah wafatnya Al-Aziz, naik tahta ketika masih dalam usia sangat mudah bahkan kanak-kanak, misalnya, Al-Hakim naik tahta pada usia 11 tahun, al-Zhahir berusia 16 tahun, Al-Mustansir naik tahta usia 11 tahun, Al-Amir usia 5 tahun, Al-Faiz usia 4 tahun, dan Al-Adid usia 9 tahun. Akhirnya, jabatan wazir yang mulai dibentuk pada masa khalifah Al-Aziz bertindak sebagai pelaksana pemerintahan. Kedudukan al-wazir menjadi begitu penting, berpengaruh dan menjadi ajang perebutan serta ladang konflik.[39]
  3. Keberadaan tiga bangsa besar yang sama-sama mempunyai pengaruh dan menjadi pendukung utama kekuasaan Fatimiyah, yaitu bangsa Arab, bangsa Barbar dari Afrika Utara dan bangsa Turki. Di saat khalifah mempunyai pengaruh kuat, ketiga bangsa itu dapat diintegrasikan menjadi kekuatan yang dahsyat. Akan tetapi, ketika khalifahnya lemah, maka konflik ketiga bangsa itupun menjadi dahsyat untuk saling berebut pengaruh dan kekuasaan. Kondisi terakhir itulah yang terjadi pasca berakhirnya masa pemerintahan Al-Aziz.[40
  4. Faktor eksternal juga ikut mempercepat kehancuran dinasti Fatimiyah seperti ronrongan bangsa Normandia, Banu Saljuk dari Turki dan Banu Hilal dan Banu Sulaim dari Nejed yang menguasai sedikit demi sedikit terhadap wilayah kekuasan Fatimiyah.[41]
  5. Realita bahwa meski dinasti Fatimiyah telah berkuasa di Mesir hampir 200 tahun, ternyata secara ideologis belum berhasil membumikan doktrin ideologi Syi’ah Ismailiyah. Masyarakat Muslim di Mesir teryata masih tetap setia kepada ideologi Sunni. Oleh karena itu, ketika dinasti Fatimiyah berada di ambang kehancurannya, masyarakat Muslim Mesir bukannya berusaha membantu, tapi justru berusaha mempercepat kehancurannya.[42]
  6. Pukulan menentukan dari kehancuran Fatimiyah terjadi pada masa pemerintahan khalifah Al-Adid Lidinillah. Pada saat itu, wilayah kekuasaan dinasti Fatimiyah menjadi ajang perebutan antara Nuruddin Zinki sebagai wakil dinasti Abbasiyah yang ada di Syiria dan pasukan Salib yang ada di Yerusalem pimpinan Raja Almeric. Pada tahun 1169 M, pasukan Nuruddin Zinki yang dipimpin panglima besar Shalahuddin al-Ayyubi dapat mengusir pasukan Salib dari Mesir dan menaklukkan kekuasaan wazir dari khalifah al-‘Adid. Setelah khalifah al-‘Adid wafat pada tahun 1171.[43]
Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan-pemaparan sebelumnya dalam pembahasan, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
  1. Sejarah kemunculan dinasti Fatimiyah tidak terlepas dari gerakan-gerakan militan dan prontal yang dilakukan oleh Syi’ah Ismailiyah yang dipimpin oleh Abdullah ibn Syi’i dengan terampil dan terorganisir. Pada tahun 909, gerakan tersebut berhasil mendirikan dinasti Fatimiyah di Tunisia (Afrika Utara) dibawah pimpinan Sa’id ibn al-Husain setelah mengalahkan dinasti Aghlabiah di Sijilmasa. Dinasti Fatimiyah merasakan tiga ibu kota  yaitu Raqadah, al-Mahdiyah dan Kairo dibawah 14 khalifah selama 262 tahun yaitu sejak tahun 909 hingga 1171.
  2. Kejayaan dinasti Fatimiyah dimulai sejak pindahnya pemerintahan dari Abu Tamim Ma'add al-Mu'iz li-Din Allah (952 M - 975) M. dan mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Abu al-Manshur Nizar al-Aziz (975-996). Kejayaan itu dapat dilihat dalam bidang agama dengan toleransi yang tinggi, pendidikan dengan pembangunan universitas dan perpustakaan, politik dengan system teokrasi dan monarki akan tetapi demokrasi di bawah level khalifah, militer dengan pasukan bayaran, ekonomi dengan infrastruktur, aturan yang adil dan menjadi jalur internasional, kebudayaan dan peradaban dengan kota Kairo sebagai bukti, arsitektur dengan masjid al-Azhar dan kesenian dengan produk tekstil, tenunan, keramik dan penjilidan.
  3. Kemunduran dinasti Fatimiyah dimulai dari masa pemerintahan al-Hakim ((996-1021) yang membuat kebijakan kontroversial dalam bidang agama dan terus merosot pasca pemerintahan al-Zhahir ((1021-1035) dan musnah pada masa al-Adid (1160 M - 1171 M), kemunduran itu karena faktor eksternal berupa rongrongan dari penguasa luar dan rongrongan internal, perilaku al-Hakim yang kontroversi, khalifah yang masih belia, dan ajaran Syi’ah Ismailiyah yang belum sepenuhnya diterima masyarakat Mesir yang ditandai dengan kembalinya masyarakat Mesir ke ajaran sunnah bersamaan ketika Shalahuddin al-Ayyubi bersama pasukannya mengendalikan Mesir setelah mengalahkan pasukan salib.
DAFTAR PUSTAKA

Adawi, Ibrahim Ahmad. Tarikh al-‘Alam al-Islmi. Diktat al-Ma’had al-Dirasah al-Islamiyah, 1998 M.

Al-Dimasyqi, Abu al-Fada’ Isma’il ibn Kasir. al-Bidayah wa al-Nihayah. Cet. I; Bairut: Dar Ih}ya al-Turas al-‘Arabi, 1408 H./1988 M.

Anggota Pondok Baca. Dinasti Fatimiyah. http://www.blogger.com. (10-12-2010 M.).

Guna, Ramadhani Pratama. Cairo, Kota Peradaban. http://www.kebunhikmah.com, (10-12-2010 M.).

Hitti, Philip K. History of the Arabs; From the Earliest Times to the Present. diter. R. Cecep Lukman Yasin dkk, History of the Arabs. Cet. I; Jakarta: Serambi Ilmu Semesta IKAPI, 1429 H./2008 M.

Karim, M. Abdul. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. (Cet. I; Yogyakarta; Pustaka Book Publisher, 2007 M.).

Masjid al-Azhar , Dibangun Syiah, digunakan Sunni. http://www.kalipaksi.com. (10-12-2010 M.).

Newsroom, Republika. al-Azhar, Simbol Intelektual Islam Sepanjang Masa. http://www.republikaonline.com. (10-12-2010 M.).

Wikipedia. Bani Fatimiyah. http://www.wikipedia.com (10-12-2010 M.).

Wikipedia. Kekhalifahan Fatimiyah. http://www.wikipedia.com. (10-12-2010 M.).

Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam II. Cet.II; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994.

Zuhra, Farah. Ilmu Militer Dalam Peradaban Islam. http://www.gaulislam.com,   (10-12-2010 M.).

Fote Note


[1]Ramadhani Pratama Guna, Cairo, Kota Peradaban, http://www.kebunhikmah.com, (10-12-2010 M.).
[2]Republika Newsroom, al-Azhar, Simbol Intelektual Islam Sepanjang Masa, http://www.republikaonline.com, (10-12-2010 M.).
[3]M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Cet. I; Yogyakarta; Pustaka Book Publisher, 2007 M.), h. 191.
[4]Wikipedia, Kekhalifahan Fatimiyah, http://www.wikipedia.com, (10-12-2010 M.).
[5]Sebenarnya, sekte Syi’ah sudah lama mendambakan dan mencita-citakan berdirinya kekhalifahan yaitu sejak memudarnya kekhalifahan Ali ibn Abi Thalib di Kufah, namun mereka selalu mendapatkan tekanan politik dari dinasti umayyah dan Abbasiyah sehingga salah satu cara yang dilakukannya adalah taqiyah, yaitu taat kepada penguasa secara lahiriyah akan tetapi menyusun kekuatan secara diam-diam. Lihat: M. Abdul Karim, op.cit., h. 190.  
[6]Ia adalah seorang penduduk asli San’a Yaman yang menjelang awal abad ke-9 memproklamirkan diri sebagai pelopor paham al-mahdi dan menyebarkan hasutannya dalam suku Berber di Afrika Utara.
[7]Raqadah terletak 10 mil dari wilayah qairawan Tunisia (Afrika Utara).
[8]Namun karena Raqadah terlalu dekat dari kota pusat Sunni yaitu qairawan, maka pusat pemerintahan dipindahkan ke al-Mahdiyah, sekitar 16 mil arah tenggara Raqadah pada tahun 915. Lihat: Ibrahim Ahmad Adawi, Tarikh al-‘Alam al-Islami, (Diktat al-Ma’had al-Dirasah al-Islamiyah, 1998 M.) h. 259.
[9]Dinasti Aghlabiah berdiri pada masa pemerintahan Khalifah Harun al-Rasyid ketika dia mengangkat Ibrahim ibn al-Aghlab sebagai penguasa Ifriqiyah (Tunisia) pada tahun 800 M secara independen dengan gelar ami>r. untuk membendung kekuatan luar yang ingin melemahkan dinasti Abbasiyah, terutama dinasti Rustamiah (khawarij) dan Idrisiah. Kemudian pada tahun 909 M. Dinasti Aghlabiah yang dipimpin oleh Ziadatullah al-Aghlabiah III dilenyapkan oleh dinasti Fatimiah. Lihat: M. Abdul Karim, op.cit., h. 189.     
[10]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam II, (Cet.II; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994), h. 76. Al-Mahdiyah adalah nama yang diambil dari penguasa pada saat itu yaitu Ubaidillah al-Mahdi, Lihat: Ibrahim Ahmad Adawi, op.cit., h. 259.
[11]Philip K. Hitti, History of the Arabs; From the Earliest Times to the Present, diter. R. Cecep Lukman Yasin dkk, History of the Arabs, (Cet. I; Jakarta: Serambi Ilmu Semesta IKAPI, 1429 H./2008 M.) h. 789.     
[12]Dia diberi gelar dengan nama al-Qaim bi amri Allah. Lihat: Abu al-Fada’ Isma’il ibn Kasir al-Dimasyqi, al-Bidayah wa al-Nihayah, (Cet. I; Bairut: Da>r Ih}ya> al-Tura>s| al-‘Arabi>, 1408 H./1988 M.) Jilid 11 h. 203.
[13]Ibid, Jilid 11 h. 203.
[14]Keberhasilan itu tidak lepas dari kondisi Mesir yang penduduknya dapat menerima berbagai aliran mazhab dan makmur.
[15]Perlindungan itu diberikan karena terjadi sengketa pelaksanaan upaca keagamaan ‘id al-gadir.
[16]M. Abdul Karim, op.cit., h. 192.
[17]Fusthat adalah Ibu kota Mesir sejak tahun 639-969 M. dibawah dinasti Abbasiyah.
[18]Wikipedia, Bani Fatimiyah, http://www.wikipedia.com (10-12-2010 M.)..
[19]Philip K. Hitti, op.cit., h. 791.
[20]Ibid, h. 791.
[21]Ibid, 798.
[22]Hal itu dilakukan oleh al-Aziz karena pengaruh dari wazirnya yang beragama Kristen Isa ibn Natshur dan istri al-Aziz yang berasal dari Rusia. Lihat: Philip K. Hitti, History of the Arabs, op.cit., h. 791.  
[23]Nama ini terkait dengan pusat studi ilmu pengetahuan di Bagdad pada masa khalifah al-Makmun dari dinasti Abbasiyah. 
[24]M Abdul Karim, op.cit., h. 201.
[25]Ibid, h. 202.
[26]Ibid, h. 194.
[27]Farah Zuhra, Ilmu Militer Dalam Peradaban Islam, http://www.gaulislam.com, (10-12-2010 M.).
[28]M Abdul Karim, op.cit., h. 199-200.
[29]Ibid, h. 200.
[30]Al-Qahirah atau Kairo yang berarti penaklukan atau kejayaan.
[31]Ramadhani Pratama Guna, Cairo, Kota Peradaban, www.kebunhikmah.com, (10-12-2010 M.).
[32]Philip K. Hitti, op.cit., h. 806.
[33]Nama Al-Azhar terinspirasi dari kata Zahra yang diambil dari nama belakang Sayidah Fatimah Al-Zahra putri Nabi Muhammad saw, sebagai sebuah penghormatan kepadanya. Lihat: Republika Newsroom, al-Azhar: Simbol Intelektual Islam Sepanjang Zaman, http://www.Republikaonline.com, (10-12-2010 M.).
[34]M. Abdul Karim, op.cit., h. 202.
[35] Philip K. Hitti, op.cit., h. 792.
[36]Ibid, h. 796.
[37]Ibid, h. 796.
[38]Philip K. Hitti, op.cit., h. 792.
[39]Philip K. Hitti, op.cit., h. 792.
[40]Anggota Pondok Baca, Dinasti Fatimiyah, http://www.blogger.com, (10-12-2010 M.).
[41]Philip K. Hitti, op.cit., h. 794.
[42]Anggota Pondok Baca, Dinasti Fatimiyah, http://www.blogger.com, (10-12-2010 M.).
[43]Philip K. Hitti, op.cit., h. 796.
HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html