Islam Di Domba Hitamkan

Ditengah kekacauan,Fitnah, teror dan kekerasan,umat Islam tetap tabah berdiri mempertahankan keyakinannya, dengan memperkenalkan agamanya dengan cara-cara damai dan menyejukkan.

Akhirnya Sunni dan Syiah Bersatu

Bukankah mereka mengimani tuhan yang sama, Mencintai Nabi dan Rosul yang sama, memiliki Kitab suci yang sama, Mempunyai Syahadah yang sama ?, Kemudian mereka saling fitnah dan menumpahkan darah.

Pengaruh Peradaban Islam Terhadap dunia Modern

Pada masa lampau, peradaba Islam memberikan sumbangan besar terhadap kemajuan dunia Barat, kini Islam dan Barat saling menghunus pedang, Islam sebagai Tokoh Kegelapan, sedangkan Barat sebagai Tokoh Peradaban.

Jihad Dan Terorisme dalam Prespektif Islam

Siapa mereka yang mengatakan terorisme merupakan bagian dari jihad fi sabilillah ?? sedangkan teror sangat ditentang oleh teks rujukan utama umat Islam.

Lagenda Assasin "Penebar Maut Lembah Alamut"

Asyhasin(assassin) Antara Lagenda dan Mitos, Siapa Sangka Assassin yang terkenal sebagai Game, adalah Kisah Nyata Pasukan Khusus sekte pecahan Syiah Ismailiyah.

Wednesday 11 July 2012

Dilema Papua : Ke-papua-an versus Ke-indonesia-an

Pada tanggal 1 Juli 1971 di suatu tempat di Desa Waris, Kabupaten Jayapura, dekat perbatasan Papua New Guinea, yang dijuluki (Markas) Victoria, yang kemudian dijuluki dalam kosakata rakyat Papua Barat sebagai “Mavik” “dilaksanakan Proklamasi Kemerdekaan Papua Barat. Proklamasi ini dicetuskan oleh Seth Jafet Rumkorem  sebagai Presiden Papua Barat, dan didampingi oleh Jakob Prai  sebagai Ketua Senat (Dewan Perwakilan Rakyat), Dorinus Maury sebagai Menteri Kesehatan, Philemon Tablamilena Jarisetou Jufuway sebagai Kepala Staf Tentara Pembebasan Nasional (TEPENAL ), dan Louis Wajoi sebagai Komandan (Panglima) TEPENAL Republik Papua Barat.
“Tidak pernah orang Papua diterima sebagai bagian dari rakyat Indonesia. Warga Papua dianggap sebagai binatang. Saya tidak jamin, warga Papua masih menginginkan jadi bagian Indonesia. Lihat saja, bagaimana orang Papua ditembak atau dibunuh,” tegas Ketua Gereja Baptis Papua, Pendeta Socrates Sofyan Yoman kepada itoday (18/6).
Masalah Papua tak juga kunjung selesai sampai sekarang. Belakangan, berbagai peristiwa penembakan terhadap warga dan aparat sering kali terjadi. Keamanan dan stabilitas di Papua belum juga tercipta. Pendekatan militer yang ditempuh pemerintah Indonesia rupanya justru makin meningkatkan militansi dan perlawanan kaum separatis seperti yang dulu dicurigai sebagai Organisasi Papua Merdeka (OPM). Namun, ketika pendekatan ini perlahan-lahan diubah dengan memberi Papua otonomi khusus, ternyata masalah juga tak kunjung selesai. Mengapa Papua terus bergolak?
Sebuah kajian historis tentang Papua dengan rentang waktu 1925 – 1962 yang dikupas secara mendalam oleh sejarawan Bernada Meteray dalam buku yang berjudul “Nasionalisme Ganda Orang Papua“. Buku yang diangkat dari disertasi penulis bertema sejarah ini, mencoba menemukan jawabannya. Beliau mengupas sejarah Papua sejak pertama kali Kerajaan Sriwijaya (abad VIII) menginjakkan kakinya di sini, disusul Majapahit (abad XIV), lalu Ternate dan Tidore (abad XVI). Suatu keterangan yang dapat menunjukkan bahwa Papua pernah merupakan daerah kekuasaan Sultan Tidore dan Bacan sebagaimana yang dikatakan oleh Koentjaraningrat dan Prof.Dr.Harsya W.Bachtiar dalam penelitiannya yang diungkapkan didalam buku yang berjudul : “ Penduduk Irian Barat “ bahwa pertemuan pertama antara orang – orang pribumi Irian Barat dengan orang – orang dari luar daerah terjadi ketika Sultan Tidore berusaha memperluas wilayah. Pada abad XVI Pantai Utara sampai Barat daerah Kepala Burung sampai Namatota ( Kab.Fak-fak ) disebelah Selatan, serta pulau – pulau disekitarnya menjadi daerah kekuasaan Sultan Tidore. , kemudian datanglah Belanda (VOC), Jepang, hingga pemerintah Indonesia.
Istilah “Papua” asal-usulnya masih kontroversi, kata ini tidak dapat dikaitkan dengan suku-suku tertentu di Papua, tetapi hanya sebutan orang Maluku bagi penduduk disebelah timur. Kata papua berasal dari bahasa Melayu, poea-poea, yang artinya “keriting”.  Menurut M. Amir Sutaarga, di Papua terdapat keanekaragaman latar belakang ras, yaitu Negroid, Melanosoid, Mikronesia dan Mongoloid. Keanekaragaman Papua juga tampak dari 250 bahasa yang mereka gunakan. Di beberapa daerah, penduduk menggunakan bahasa lokal dengan dialek berbeda-beda. Misalnya, masyarakat Biak menggunakan satu bahasa, sedang Waropen dua bahasa (hal 3).
Bernada Meteray, mengurai benang pangkal dinamika pergolakan rakyat Papua dari beberapa aspek yaitu historis, ideologis dan politis yang bermuara pada satu titik yaitu nasionalisme. Nasionalisme Papua dan Nasionalisme Indonesia, masalah ke-papua-an dan ke-indonesia-an menjadi pangkal dinamika yang melahirkan pergolakan rakyat Papua sampai hari ini.
Munculnya dua nasionalisme di Papua, yaitu nasionalisme Papua dan nasionalisme Indonesia, merupakan situasi yang dilematis dalam pemahaman sejarah Papua sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena itu, buku ini berupaya menjawab pertanyaan umum :” Apakah generalisasi tentang nation dan nasionalisme yang selama ini bermuara pada nasionalisme Indonesia dalam penulisan sejarah Indonesia tidak bertentangan dengan fakta historis di Papua?” (hal 259)
Melalui Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Indonesia mewarisi wilayah Hindia Belanda. Dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945 ditegaskan bahwa Indonesia mewarisi wilayah Hindia Belanda. Wilayah yang dimaksud meliputi Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Maluku. Pada masa itu Papua merupakan bagian dari Provinsi Maluku.
Papua memiliki pengalaman sejarah yang berbeda dengan daerah lain. Perbedaan ini ditandai dengan masih berkuasanya Belanda di Papua hingga 1962. Itulah sebabnya, perkembangan nasionalisme Indonesia di provinsi ini berbeda corak. Perbedaan ini mulai tampak sejak proses tersemainya nasionalisme Papua pada tahun 1925 dan nasionalisme Indonesia pada tahun 1945 di bumi Papua. (hal 11)
Menurut Audrey Kahin (1985), akibat dari batasan wilayah negara Indonesia yang didasarkan pada bekas wilayah Hindia  Belanda, sering dibuat generalisasi dalam sejarah Indonesia. Begitu banyak generalisasi yang dibuat berdasarkan tingkat revolusi sejarah nasional dan sejumlah pengalaman pemimpin Republik Indonesia di pusat pemerintahan yang menciptakan ketidakseimbangan gambaran tentang pengalaman revolusi. Menurut dia, generalisasi yang sering dilakukan para sarjana tidak dapat diterapkan untuk seluruh Indonesia. Memang, harus diakui bahwa Indonesia merupakan satu bangsa dari Sabang sampai Merauke, tetapi harus juga diakui adanya pendapat bahwa bangktinya nasionalisme di Indonesia bervariasi dari satu daerah ke daerah lain. (hal 16)

Nasionalisme di Papua ?

Secara resmi Pemerintahan Belanda menguasai Papua pada 1828 setelah mendirikan benteng di Lobo, Teluk Triton (Skr wilayah Kabupaten Kaimana) sementara pos pemerintahan Hindia Belanda baru didirikan pada tahun 1898. Sistem administratif yang diterapkan Pemerintah Belanda di Papua berbeda dengan sistem administrasi yang diterapkan di daerah lain dalam wilayah Hindia Belanda. Biasanya Pemerintah Belanda menunjuk pemimpin lokal sebagai pejabat pemerintah. Di Papua, kelompok sosial terdidik sangat sedikit sehingga memanfaatkan dari Maluku, khususnya Ambon, untuk bidang pemerintahan. Sebagai akibatnya muncul dua lapis sistem kolonial di dalam masyarakat Papua. (hal 25)
Sistem pemerintahan yang bersifat dual colonialism yang diperankan kelompok atas, yakni segelintir orang Belanda, dan kelompok bawah, yaitu mayoritas orang Indonesia yang melakukan kontak dengan orang Papua menjadi akar masalah yang akhirnya menimbulkan perasaan saling berbeda antara orang Papua dan orang Indonesia. Dalam berbagai konflik, Orang Papua cenderung memusuhi orang Indonesia daripada orang Belanda. (hal 29)
Menurut Meterey, bersemainya kesadaran kepapuaan sebagai suku bangsa tidak lepas dari peran misi Katolik dan zending Protestan yang sudah dimulai sejak tahun 1855, jauh sebelum pos pemerintah Belanda didirikan pada tahun 1898. Mereka memperkenalkan penggunaan bahasa Melayu dan budaya Melayu serta ide Barat kepada orang Papua. (hlm 31).
Ini berlangsung hingga Jepang menginjakkan kakinya di Hindia pada April 1942 yang selanjutnya menguasai Merauke. Berbeda dengan sikap orang Papua terhadap Belanda, sikap mereka terhadap Jepang lebih cenderung menentang karena Jepang kejam. Karena itu, ketika Sekutu mendarat di Hindia pada April 1944, dianggap sebagai pembebas dari Jepang. Mereka membantu Sekutu mengusir Jepang. Kedatangan Sekutu, menurut Lagerberg (1979), memotivasi masyarakat Papua memikirkan kembali identitas mereka (hlm 49).
Sementara itu, nasionalisme Indonesia di Papua disemai tokoh-tokoh nasionalis mulai akhir 1945 ketika residen Van Eechoud merekrut beberapa orang Indonesia sebagai pegawai pemerintah, di antaranya Soegoro Atmoprasodjo yang ditunjuk sebagai pengajar dan direktur asrama pada Kursus Singkat Pamong Praja di Kota Nica. Kesempatan ini digunakan Soegoro untuk meyakinkan para siswanya untuk berpikir bahwa mereka adalah bagian dari bangsa Indonesia Beberapa orang yang menempuh pendidikan Eechoud dan kemudian menjadi terkemuka dalam aktivitas politik antara lain: Markus dan Frans Kaisepo, Nicolaas Jouwe, Herman Wajoi, Silas Papare, Albert Karubuy, Moses Rumainum, Baldus Mofu, Eliezer Jan Bonay, Likas Rumkorem, Martin Indey, Johan Ariks, Herman Womsiwor dan Abdulah Arfan. (hlm 55).

Strategi Belanda Menghancurkan Impian Indonesia Pasca- KMB

Sebagai konsekuensi dari hasil KMB yang berlangsung pada 27 Desember 1949, Papua akan diserahkan kepada pemerintahan Indonesia setahun sesudah konferensi melalui negosiasi. Dengan demikian, penyerahan kedaulatan mencakup seluruh bekas jajahan Hindia Belanda tanpa Papua. (hal 143)
Memanfaatkan momentum, J.P.K van Eechoud mengeluarkan proklamasi yang menyatakan bahwa warga bekas Keresidenan Nederlands Nieuw Guinea alias Papua telah menjadi penduduk Gubernemen Nederland Nieuw Guinea, “yang pemerintahannya akan dijalankan oleh gubernur atas nama ratu kita semua“. Dengan proklamasi ini, secara administratif Papua tidak mempunyai hubungan dengan pemerintahan pusat di Jakarta. Van Eechoud (seorang Katolik) inilah sejak ditunjuk sebagai pejabat residen tahun 1945 telah menumbuhkan kesadaran nasionalisme kepapuaan.  Resident J. P. K. van Eechoud yang terkenal dengan nama “Vader der Papoea’s” (Bapak Orang Papua) mempunyai misi khusus untuk menanamkam Nasionalisme Papua dan membuat orang Papua setia kepada Pemerintah Belanda.
Tidak ada itikad dari Belanda untuk menyerahkan Papua ketangan pemerintahan Indonesia. Justru sebaliknya, Belanda berupaya untuk menghalangi dukungan rakyat di Papua kepada pemerintahan Indonesia, sejak 1950 Belanda menindak tegas kegiatan yang dilakukan rakyat, baik yang asli Papua maupun non-Papua dengan menangkap dan menahan para aktivis pro-Indonesia. (hal 163)
Selama periode 1945 – 1962 Indonesia tidak memiliki wewenang untuk mengindonesiakan orang Papua secara terbuka. dapat dikatakan proses pengindonesiaan orang Papua yang dilakukan tidak tuntas, baru tahap awal, dan tidak menjangkau sebagian besar masyarakat Papua di pedalaman.
Sebaliknya, berdasarkan pengalaman Belanda di Indonesia atau Hindia-Belanda dalam kemerdekaan tahun 1945, maka Belanda didalam menjajah Papua sangat hati-hati sekali dalam meningkatkan kehidupan Masyarakat di berbagai bidang, dan Belanda sengaja memperlambat perkembangan di Papua/Nieuw Guinea sesuai dengan permintahaan dan kebutuhan orang-orang Papua. Katakanlah bahwa ini suatu bentuk “Etis-Politik Gaya Baru”. Termasuk didalamnya usaha untuk membentuk “Nasionalisme Papua”. Cara Belanda yang demikian itu menyebabkan orang-orang Papua tidak merasa bahwa mereka sedang dijajah sebab mereka hidup dalam suatu keadaan perekonomian yang baik dan tidak merasakan adanya penderitaan dan tekanan dari Belanda.
Sampai di sinilah masyarakat Papua terbelah menjadi dua: yang pro-Indonesia dan Belanda. Babak selanjutnya adalah “perebutan” Papua oleh Indonesia dan Belanda yang berakhir secara resmi melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969 yang menggambarkan sebagian besar masyarakat Papua ingin berintegrasi dengan Indonesia.

Penutup

Walaupun hasil Pepera menunjukan bahwa Papua merupakan bagian yang sah dari wilayah NKRI, masalah Papua masih terus bergolak hingga dewasa ini. Munculnya keraguan terhadap hasil Pepera 1969 pada sebagian masyarakat di Papua mungkin dikaitkan dengan pernyataan Amir Mahmud sekembalinya dari peninjauan Pepera 1969, bahwa sebagian besar rakyat Papua belum sadar politik, maka penduduknya cukup menyebut “Soeharto, Merah Putih, dan Indonesia“. Dia juga menegaskan, “kenyataan menunjukan bahwa sebagian terbesar dari penduduk tidak bersimpati kepada RI”.
Kini nasionalisme Papua dan nasionalisme Indonesia masih sebuah dilematis bagi rakyat Papua. IRIAN (Ikut Republik Indonesia Anti Nederland) adalah persoalan pengindonesian rakyat Papua yang tidak pernah tertuntaskan sampai sekarang sehingga dilema yang terjadi bukan lagi “ikut RI” atau “ikut Nederland” tetapi sudah pada mencari pilihan lain yaitu  hak menentukan nasib sendiri alias MERDEKA. Sebuah pelajaran yang berharga atas nama Indonesia………..
********
Judul : Nasionalisme Ganda Orang Papua
Penulis : Bernarda Meteray
Penerbit : Kompas, Jakarta
Cetakan : I, Mei 2012
Tebal : xxx+302 halaman
ISBN : 978-979-709-644-1

Pertarungan Islam dan Pancasila (Pengkhianatan Pemimpin Masa lalu)

Sebuah tulisan Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif  yang dimuat  di koran Republika (kolom Resonansi), edisi Selasa 15 Mei 2012 yang berjudul ” Saat Islam dan Pancasila Sudah Bersahabat (1)” menarik untuk dibahas sebagai wacana pemikiran dan mengingat akan masa lalu tentang relasi Islam dan Pancasila sebagai sebuah Ideologi. Tulisan lengkapnya saya copy paste disini :
Saat Islam dan Pancasila Sudah Bersahabat (1)
Oleh : Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif
Saat bala tentara Jepang masih punya kekuasaan di Indonesia sekitar 2,5 bulan sebelum proklamasi kemerdekaan, pertarungan sengit antara Islam dan Pancasila untuk diusulkan sebagai dasar filosofi negara telah terjadi. Medan pertarungan itu adalah dalam sidang-sidang BPUPK (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan).
Islam diwakili tokoh-tokoh puncak kelompok santri, seperti Agus Salim, KH Wachid Hasjim, Ki Bagus Hadikusumo, KH Sanoesi, Kahar Muzakkir, sedangkan di pihak Pancasila muncul Soekarno, Mohammad Hatta, Muhammad Yamin, dan para pemimpin nasionalis lainnya. Sekiranya Ketua BPUPK Dr KRT Radjiman Widiodiningrat tidak menanyakan tentang dasar filosofi negara yang mau merdeka, kita tidak tahu apakah negara Indonesia akan punya dasar atau tidak.
Yang paling serius menjawab tantangan Radjiman itu adalah Bung Karno dalam pidato 1 Juni 1945 yang terkenal itu. Pidato inilah yang menjadi sumber Pancasila itu, tidak yang lain. Pancasila yang sekarang ini, sekalipun bersumber dari Bung Karno, perumusannya telah mengalami perubahan, tetapi bilangan silanya tetap lima.
Perdebatan antara golongan santri dan nasionalis pada Juni itu kemudian menghasilkan sebuah titik temu dalam bentuk Piagam Jakarta, tertanggal 22 Juni 1945, dengan sila-silanya sebagai berikut:
1.    Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
2.    Kemanusiaan yang adil dan beradab.
3.    Persatuan Indonesia.
4.    Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
5.    Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Piagam ini hanya berumur 57 hari sebab pada 18 Agustus 1945, demi persatuan bangsa maka atribut “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya“ yang terdapat pada sila pertama dihapus dan posisinya digantikan oleh ungkapan “Yang Maha Esa“ sehingga bunyi lengkapnya menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa“. Pancasila rumusan 18 Agustus inilah yang kita gunakan sekarang.
Dalam perkembangan selanjutnya, golongan santri rupanya tidak terlalu bahagia dengan Pancasila 18 Agustus itu, apalagi dengan Pancasila UUD 1949/UUDS 1950. Dalam sidang-sidang Majelis Konstituante, 1956-1959, ketidakbahagiaan itu mereka lontarkan kembali dengan menggugat rumusan ini dan mengajukan Islam sebagai dasar negara berhadapan dengan Pancasila.
Gugatan ini sepenuhnya benar secara konstitusional karena UUDS 1950 memang membuka pintu untuk itu. Tetapi, sebagaimana kita ketahui, pergulatan tentang dasar negara dalam majelis pembuat UUD ini berjalan sangat alot karena tidak satu pihak pun yang berhasil mengegolkan usulannya sebagaimana yang diminta oleh UUDS. Kesulitan konstitusional inilah kemudian yang “memaksa“ Bung Karno untuk mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 yang terkenal itu. Dengan dekrit ini, Pancasila 18 Agustus dan UUD 1945 dikukuhkan kembali dan Majelis Konstituante dibubarkan. Akibatnya, suhu politik menjadi sangat panas ketika itu ditambah lagi sangat panas ketika itu ditambah lagi dengan maraknya pergolakan daerah yang mengkristal dalam bentuk PRRI/Permesta sejak 1958 yang telah menguras energi bangsa Indonesia.
Ironisnya, Dekrit 5 Juli juga dipakai Bung Karno untuk melaksanakan sistem Demokrasi Terpimpin (1959-1966) yang minus demokrasi itu, tetapi kemudian berakhir dengan sebuah malapetaka nasional. Kekuasaan Bung Karno pun tidak bisa bertahan untuk kemudian digantikan oleh era Demokrasi Pancasila (1966-1998) dengan Presiden Soeharto sebagai penguasa tunggal.
Pada era inilah, petarungan Islam dan Pancasila memasuki tahap terakhir dengan segala masalah dan dinamika politik yang menyertainya.
Ringkasnya, sejak itu Pancasila sebagai dasar negara secara formal konstitusional telah sangat mantap. Jika masih ada pihak-pihak yang menggugat Pancasila, kekuatan mereka hanyalah berupa riak-riak kecil yang tidak akan mengubah dasar filosofi konstitusi Indonesia.
Dalam ungkapan lain, Islam dan Pancasila telah sangat bersahabat. Pertarungan selama bertahun-tahun sebelumnya telah berakhir untuk tidak diulang lagi. Semua pihak sekarang sudah sama-sama menyadari bahwa mempertentangkan Islam dan Pancasila seperti yang pernah terjadi, ditengok dari kacamata kedewasaan berbangsa adalah sebuah keteledoran sejarah dari negara yang berusia sangat muda ketika itu.
*****
Mengingat Riwayat Tujuh Kata
Dalam tulisan diatas Syafi’i Ma’arif menyampaikan : “demi persatuan bangsa maka atribut “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya“ yang terdapat pada sila pertama dihapus” , pertanyaanya apa betul pencoretan “tujuh kata” itu “demi persatuan bangsa” ? Fakta historis bahwa tarik ulur perdebatan pencoretan tujuh kata itu tidaklah sederhana dan bahkan dalam bukunya, “Islam dan Politik, Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin” (1959-1965), (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif juga mencatat, bahwa pada 18 Agustus 1945, Soekarno sebenarnya sangat kewalahan menghadapi Ki Bagus. Akhirnya melalui Hatta yang menggunakan jasa Teuku Mohammad Hasan, Ki Bagus dapat dilunakkan sikapnya, dan setuju mengganti “tujuh kata” dengan “Yang Maha Esa”.
Dalam biografi Hidup itu Berjuang, Kasman Singodimedjo 75 tahun, yang ditulis Lukman Harun, tertera pada hari dan saat bersamaan, 18 Agustus 1945, Bung Karno minta Kasman melobi Hadikusumo. Bung Karno mengatakan kepada anggota PPKI itu, yang juga tokoh Muhammadiyah dan Masyumi, usaha yang sama telah dicoba lewat Hasan, tapi tak berhasil. Baru setelah Kasman berbicara dengan Hadikusumo, sebagai sesama Muhammadiyah. persetujuan penghapusan tujuh kata itu dicapai. Mana yang benar? Hasan mengaku pernah menghubungi Kasman. beberapa tahun lalu, untuk menjelaskan soal ini. Menurut Hasan. Kasman berkata, ”Benar, Saudara meyakinkan dia (Ki Bagus Hadikusumo) dalam bahasa Indonesia, saya meyakinkan dia dalam bahasa Jawa.”
Masih terngiang ucapan Kasman Singodimejo dalam sebuah perbincangan bahwa beliau merasa turut bersalah karena dengan bahasa Jawa yang halus Beliau menyampaikan kepada Ki Bagus Hadikusumo tokoh Muhammadiyah yang teguh pendiriannya itu untuk sementara menerima usulan dihapusnya 7 kata itu. Kasman terpengaruh oleh janji Soekarno dalam ucapannya, “Bahwa ini adalah UUD sementara, UUD darurat, Undang-undang Kilat. Nanti 6 bulan lagi MPR terbentuk. Apa yang tuan-tuan dari golongan Islam inginkan silahkan perjuangkan disitu.”
Ini artinya bahwa kalangan Islam tetap menginginkan Islam sebagai dasar negara. Kasman berpikir, yang penting merdeka dulu. Lalu meminta Ki Bagus Hadikusumo bersabar menanti enam bulan lagi. Namun enam bulan kemudian Soekarno tidak menepati janji. Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak pernah terbentuk. Pemilu yang pertama baru dilaksanakan 10 tahun sesudah proklamasi (1955). Lalu siapa yang menginginkan “pencoretan tujuh kata” demi persatuan bangsa ? Belakangan diketahui, para aktivis Kristen lah yang  sibuk kasak-kusuk melakukan konsolidasi dan lobi-lobi politik untuk meminta penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Kesimpulan ini didasarkan pada pernyataan Soekarno yang mengatakan bahwa malam hari usai proklamasi kemerdekaan RI, ia mendapat telepon dari sekelompok mahasiswa Prapatan 10, yang mengatakan bahwa pada siang hari pukul 12.00 WIB (tanggal 17 Agustus), tiga orang anggota PPKI asal Indonesia Timur, Dr Sam Ratulangi, Latuharhary, dan I Gusti Ketut Pudja mendatangi asrama mereka dengan ditemani dua orang aktivis. Kepada mahasiswa, mereka keberatan dengan isi Piagam Jakarta. Kalimat dalam Piagam Jakarta, bagi mereka sangat menusuk perasaan golongan Kristen.
Latuharhary sengaja mengajak Dr Sam Ratulangi, I Gusti Ktut Pudja, dan dua orang aktivis asal Kalimantan Timur, agar seolah-olah suara mereka mewakili masyarakat Indonesia wilayah Timur. Mereka juga sengaja melempar isu ini ke kelompok mahasiswa yang memang mempunyai kekuatan menekan, dan berharap isu ini juga menjadi tanggungjawab mahasiswa.
Mahasiswa lalu menghubungi Hatta, yang kemudian mengundang para mahasiswa untuk datang menemuinya pukul 17.00 WIB. Hadir dalam pertemuan itu aktivis Prapatan 10, Piet Mamahit, dan Imam Slamet. Setelah berdialog, Hatta kemudian menyetujui usul perubahan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Setelah dari Hatta, malam itu juga para mahasiswa menelepon Soekarno untuk menyatakan keberatan dari tokoh Kristen Indonesia Timur.
Singkat kata, keesokan harinya Soekarno dan Hatta mengadakan rapat dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia di Pejambon Jakarta. Agenda sidang dibatasi hanya membahas perubahan penting dalam pembukaan dan batang tubuh UUD 45. Rapat yang diagendakan berlangsung pukul 09.30 WIB mundur menjadi pukul 11.30 WIB. Belakangan diketahui, mulur-nya rapat tersebut disebabkan terjadinya perdebatan yang sengit dalam lobi-lobi yang dilakukan untuk menghapus tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Lobi-lobi yang digagas Hatta terjadi antara Kasman Singodimejo, Ki Bagus Hadikusumo, Teuku Muhammad Hassan, dan KH A Wahid Hasyim. Pertemuan dengan Hatta berlangsung sengit dan tegang.
Saking sengit dan tegangnya pertemuan itu, sampai-sampai Soekarno memilih tak melibatkan diri dalam lobi tersebut. Soekarno terkesan menghindar dan canggung dengan kegigihan Ki Bagus Hadikusumo, Ketua Umum Muhammadiyah ketika itu, dalam mempertahankan seluruh kesepakatan Piagam Jakarta. Soekarno kemudian hanya mengirim seorang utusan untuk turut dalam lobi yang bernama Teuku Muhammad Hassan.
Siapa orang yang paling bertanggungjawab dalam penghapusan tujuh kata tersebut? R.M.A.B Kusuma dalam buku Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945: Memuat Salinan Dokumen Otentik Badan Oentoek Menyelidik Oesaha2 Persiapan Kemerdekaan (Jakarta: Badan Penerbit PH-UI, 2004) mengatakan,
”Bung Hatta adalah orang yang paling bertanggungjawab terhapuskannya ”tujuh kata” dari Piagam Jakarta. Beliau konsisten mengikuti ajaran yang dianutnya. Beliau menghapus ”tujuh kata” tanpa berunding dengan tokoh-tokoh Islam yang menyusun ”perjanjian luhur” Piagam Jakarta, yakni: K.H Wachid Hasjim, K.H Kahar Muzakkir, H. Agus Salim, dan Abikusno Tjokrosujoso. Beliau hanya berunding dengan Ki Bagus Hadikusumo yang bukan penyusun Piagam Jakarta dengan janji bahwa hal itu akan dibahas lagi di sidang MPR yang akan dibentuk. Pertimbangan beliau hanya didasarkan pada pendapat orang Jepang yang mengaku utusan dari Indonesia Timur. Beliau tidak menyatakan berunding dengan utusan Indonesia Timur yang resmi, yakni D.G Ratulangie, M.r J. Latuharhary, Andi Pangeran Petta Rani, Andi Sultan Daeng Raja, dan Mr Ketut Pudja.”
Dalam buku tersebut Kusuma juga mengatakan, ikhtiar penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang dilakukan Hatta, yang mengaku mendapat desakan dari kelompok Kristen di Indonesia Timur, tak lain makin memperlihatkan sikap dan keyakinan politik Hatta yang sekular, yang berusaha memisahkan ”urusan agama” dan ”urusan negara”. Hatta, kata Kusuma, bahkan tidak pernah mengucapkan kata-kata yang identik dengan Islam, seperti Allah subhana wa Ta’ala, Alhamdulillah, dan sebagainya.
Islam dan Pancasila : Betulkah Bersahabat ?
 ”Jikalau dulu pada tanggal 18 Agustus 1945 kami golongan Islam telah di-fait-a-compli-kan dengan suatu janji dan/atau harapan dengan menantikan waktu 6 bulan, menantikan suatu Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk membuat Undang-undang Dasar yang baru dan yang permanen, Saudara Ketua, janganlah kami golongan Islam di Dewan Konstituante sekarang ini di-fait-a-compli-kan lagi dengan anggapan-anggapan semacam: Undang-undang Dasar Sementara dan Dasar Negara tidak boleh dirubah, tidak boleh diganti, tidak boleh diganggu gugat! Sebab fait-a-compli semacam itu sekali ini, Saudara Ketua, hanya akan memaksa dada meledak!”
Paragraf diatas adalah kutipan  Pidato Mr Kasman Singodimejo di Majelis Konsituante “Menuntut pelaksanaan Gentlement Agreement” yang dijanjikan “Soekarno” (lihat ” Mitos Konstituante“) yang tetap teguh mencinta-citakan Islam sebagai dasar negara. Sehingga menjadi pertanyaan pula atas tulisan Syafi’i Ma’arif : “Kesulitan konstitusional inilah kemudian yang “memaksa“ Bung Karno untuk mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 yang terkenal itu“. Betulkah Dekrit 5 Juli 1959 sebagai “kesulitan konstitusional” ataukah “keteguhan” pendirian Bung Karno yang tidak menginginkan Islam sebagai dasar negara? ….
Paragraf penutup (yang mungkin masih bersambung) dari tulisan Syafi’i Ma’arif diatas : “Dalam ungkapan lain, Islam dan Pancasila telah sangat bersahabat. Pertarungan selama bertahun-tahun sebelumnya telah berakhir untuk tidak diulang lagi. Semua pihak sekarang sudah sama-sama menyadari bahwa mempertentangkan Islam dan Pancasila seperti yang pernah terjadi, ditengok dari kacamata kedewasaan berbangsa adalah sebuah keteledoran sejarah dari negara yang berusia sangat muda ketika itu“. Betulkah Islam dan Pancasila telah sangat bersahabat?
Kiranya Cerita Kasman Singodimejo dalam memoirnya Hidup itu Perjuangan: 75 Tahun Kasman Singodimejo, memberi sedikit jawaban sejarah. Beliau menceritakan, kedatangannya ke Gedung Pejambon Jakarta dan diminta sebagai anggota tambahan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia adalah atas permintaan Soekarno. Padahal, ketika itu ia sedang bertugas di Jawa barat. Sebagai Panglima Tentara saat itu, ia ditugaskan mengamankan senjata dan mesiu untuk tidak jatuh ke tangan Jepang.
Setelah sukses melobi Ki Bagus Hadikusumo dan rapat memutuskan penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta tersebut, malam harinya Kasman gelisah tak bisa tidur. Kepada keluarganya ia tak bicara, diam membisu:
”Alangkah terkejut saya waktu mendapat laporan dari Cudhanco Latief Hendraningrat, bahwa balatentara Dai Nippon telah mengepung Daidan, dan kemudian merampas semua senjata dan mesiu yang ada di Daidan.Selesai laporan, maka Latief Hendraningrat hanya dapat menangis seperti anak kecil, dan menyerahkan diri kepada saya untuk dihukum atau diampuni. Nota bene, Latief sebelum itu, bahkan sebelum memberi laporannya telah meminta maaf terlebih dahulu.
Ya apa mau dibuat! Saya pun tak dapat berbuat apa-apa. Saya mencari kesalah pada diri saya sendiri sebelum menunjuk orang lain bersalah. Ini adalah pelajaran Islam. Memang saya ada bersalah, mengapa saya sebagai militer kok ikut-ikutan berpolitik dengan memenuhi panggilan Bung Karno!?
….malamnya tanggal (18 Agustus malam menjelang 19 Agustus 1945) itu sengaja saya membisu. Kepada keluargapun saya tidak banyak bicara, sayapun lelah, letih sekali hari itu, lagi pula kesal di hati. Siapa yang harus saya marahi?”
Kasman mengatakan, ada dua kehilangan besar dalam sejarah bangsa ini ketika itu. Pertama, penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang menjadi Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Kedua, hilangnya sejumlah senjata dan lain-lainnya yang sangat vital pada waktu itu.
Kasman menyadari dirinya terlalu praktis dan tidak berpikir jauh dalam memandang Piagam Jakarta. Ia hanya terbuai dengan janji Soekarno yang mengatakan bahwa enam bulan lagi akan ada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat yang akan dapat memperbaiki kembali semua itu. Padahal dalam waktu enam bulan, mustahil untuk melakukan sidang perubahan di tengah kondisi yang masih bergolak. Meski Kasman telah mengambil langkah keliru, namun niat di hatinya sesungguhnya sangat baik, ingin bangsa ini bersatu. “Sayalah yang bertanggung jawab dalam masalah ini, dan semoga Allah mengampuni dosa saya,” kata Kasman sambil menetaskan air mata, seperti diceritakan tokoh Muhammadiyah Lukman Harun, saat Kasman mengulang cerita peristiwa tanggal 18 Agustus itu.
Seolah ingin mengobati rasa bersalah penyesalannya pada peristiwa 18 Agustus 1945, pada sidang di Majelis Konstituante 2 Desember 1957, Kasman tak lagi sekadar menjadi “Singodimejo” tetapi berubah menjadi “Singa di Podium” yang menuntut kembalinya tujuh kata dalam Piagam Jakarta dan menolak Pancasila sebagai dasar negara.
Meminjam istilah Syafi’i Ma’arif tentang “sejarah kesengajaan” dan “sejarah kecelakaan”, maka bila mungkin sekarang terjadi “persahabatan” Islam dan Pancasila dalam konteks sejarah adalah sebuah “persahabatan kecelakaan” bukan “persahabatan kesengajaan” …. dan sangat mungkin untuk perbaikan demi masa depan. Maka pertarungan ideologi seyogyanya tak perlulah tuk di akhiri dan biarlah masa depan menemukan jalannya sendiri…….

HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html