Islam Di Domba Hitamkan
Ditengah kekacauan,Fitnah, teror dan kekerasan,umat Islam tetap tabah berdiri mempertahankan keyakinannya, dengan memperkenalkan agamanya dengan cara-cara damai dan menyejukkan.
Akhirnya Sunni dan Syiah Bersatu
Bukankah mereka mengimani tuhan yang sama, Mencintai Nabi dan Rosul yang sama, memiliki Kitab suci yang sama, Mempunyai Syahadah yang sama ?, Kemudian mereka saling fitnah dan menumpahkan darah.
Pengaruh Peradaban Islam Terhadap dunia Modern
Pada masa lampau, peradaba Islam memberikan sumbangan besar terhadap kemajuan dunia Barat, kini Islam dan Barat saling menghunus pedang, Islam sebagai Tokoh Kegelapan, sedangkan Barat sebagai Tokoh Peradaban.
Jihad Dan Terorisme dalam Prespektif Islam
Siapa mereka yang mengatakan terorisme merupakan bagian dari jihad fi sabilillah ?? sedangkan teror sangat ditentang oleh teks rujukan utama umat Islam.
Lagenda Assasin "Penebar Maut Lembah Alamut"
Asyhasin(assassin) Antara Lagenda dan Mitos, Siapa Sangka Assassin yang terkenal sebagai Game, adalah Kisah Nyata Pasukan Khusus sekte pecahan Syiah Ismailiyah.
Tuesday 23 October 2012
Paradigma Pendidikan Islam Pada Masa Kejayaan Islam (Rihlah Ilmiah)
Sunday 21 October 2012
UPACARA MAPPALILI (TURUN SAWAH) DI SULAWESI SELATAN
Acara adat sebagai suatu kekayaan budaya dan tradisi tetap dipertahankan di bagian wilayah Sulawesi Selatan untuk mengawali musim. Acara adat "Mappalili" yang dipimpin Bissu atau Puang Matoa menandai permulaan musim tanam di Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan. Upacara adat yang dilakukan turun-temurun diyakini masyarakat setempat sebagai pedoman bagi petani untuk memulai musim tanam padi. Ketika pemerintahan dipegang oleh raja pada zaman prasejarah, bissu dipercayakan menjadi pemimpin upaca adat tersebut, termasuk menentukan penetapan hari pelaksanaannya. Namun seiring perubahan sistem pemerintahan, penetapan hari H upacara adat itu sudah mendapat campur tangan pihak pemerintah.
Setelah ada usulan penetapan Mappalili, lanjut Bissu, pihaknya masih menunggu kesiapan pejabat pemerintah mulai lurah, camat hingga bupati untuk hadir pada kegiatan ritual prosesi tanam padi pada musim hujan yang dilakukan sekali setahun.
Menurut etimology, Mappalili (Bugis) / Appalili (Makassar) berasal dari kata palili yang memiliki makna untuk menjaga tanaman padi dari sesuatu yang akan mengganggu atau menghancurkannya. Mappalili atau Appalili adalah ritual turun-temurun yang dipegang oleh masyarakat Sulawesi Selatan, masyarakat dari Kabupaten Pangkep terutama Mappalili adalah. bagian dari budaya yang sudah diselenggarakan sejak beberapa tahun lalu.
Mappalili adalah tanda untuk mulai menanam padi. Tujuannya adalah untuk daerah kosong yang akan ditanam, disalipuri (Bugis) / dilebbu (Makassar) atau disimpan dari gangguan yang biasanya mengurangi produksi.
Menurut bagian 32 bab XV UUD 1945 tentang konservasi kebudayaan nasional, pemerintah Kabupaten Pangkep memberikan penghargaan kepada konservasi dan pelaksanaan upacara Mappalili di setiap tahun atau setiap awal musim budidaya. Pada prosesi pelaksanaan Mappalili memiliki beberapa perbedaan antara satu kecamatan dengan kecamatan lain karena menurut perhitungan dan diskusi dari pemimpin adat (anrong guru / kalompoang) di setiap kecamatan. Tapi ada sesuatu yang akan menjadi dasar utama dari prosesi pelaksanaan dan peralatan yang digunakan tidak bisa kalah.
Mappalili memiliki sesuatu yang menggambarkan karakteristik dari masyarakat Pangkep sepenuhnya. Pada pelaksanaan pembangunan upacara Mappalili di setiap kecamatan masih menggunakan beberapa peralatan yang digunakan sejak beberapa tahun lalu. Penggunaan peralatan harus melalui ritual adat yang melibatkan leade kustom, sosialita, dan beberapa pemerintah. Oleh karena itu, aktivitas upacara Mappalili di setiap kecamatan dapat berbeda sesuai dengan waktu dan jenis ritual pelaksanaannya.
Mappalili / Appalili dapat disimpulkan sebagai peralatan atau alat pemersatu dan sumber kerja sama maka dapat meningkatkan produksi dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
B. Proses Pelaksanaan Upacara Mappalili
Pelaksanaan Mappalili di Pangkajene kecamatan termasuk Mappalili di Kecamatan Minasate'ne. Tempat pelaksanaan rituality di Balla Kalompoang di Jagong. Ini dimulai sejak tahun 1824 sampai 1960, pada masa pemerintahan Muri Andi Daeng Lulu (yang terakhir dari Karaeng Pangkajene sejak pemerintah dengan penunjukan Karaeng diubah menjadi penunjukan camat).
Setelah beberapa tahun tidak aktif, sehingga pusat kegiatan Mappalili dipusatkan di Pacce'lang dan aktif sampai sekarang. Mappalili di Balla Kalompoang digelar selama lima hari, tetapi dengan pertimbangan waktu dan biaya, sehingga diselenggarakan selama dua hari hanya tanpa mengurangi nilai dan makna budaya.
Prosesi upacara Mappalili sebagai berikut:
1. Hari pertama
a. Pukul 11.30 attangngallo, suara drum tradisional di Pacce'lang.
b. Pada 17.30 menuju Maghrib, Assa'ra Allo dengan drum tradisional.
c. Pada 20,00 setelah shalat Isya, diisi dengan pertunjukan masyarakat, mereka Attoeng (gadis-gadis memakai baju bodo) dan tari Pakarena Bura'ne. Dalam hal ini, disajikan kue tradisional dan malam tanpa tidur.
2. Hari kedua
Setelah doa Subuh, penyusunan Mappalili dilakukan dengan Pinati (sanro/ perias pengantin) dengan didampingi oleh drum tradisional untuk mengumpulkan personil Palili yang memiliki anggota 41 orang. Tentang pada 05:30, para rombongan dari Palili pergi ke sawah Kalompoang di Pacce'lang. Rombongan dipimpin oleh Pinati Male. Urutan Mappalili rombongan sebagai berikut:
a. Bendera Kerajaan Siang dengan lainnya 4 bendera, ada
- Bendera hitam - (labolong) anrong appaka.
- Bendera merah - untuk Barani risibatua.
- Bendera kuning - Bendera rilesang.
- Bendera hijau - Pabbicara risengkae bendera.
b. 6 tombak
c. Beras
d. Pinati
e. 1 set alat pabrik
f. 2 kerbau
g. Masyarakat
Setelah dari lokasi Palili, para rombongan dari Palili makan bersama dengan songkolo porsi Palopo na. Ada dua Pinati, satu Pinati Pria dan yang lainnya Pinati Wanita. Pinati dipilih berdasarkan diskusi masyarakat. Mereka memiliki tugas yang berbeda, Pinati Pria mengelola penyusunan dan pelaksanaan Mappalili, dan Pinati Wanita mengelola konsumsi.
Setelah acara Mappalili digelar oleh pihak bissu Kerajaan, masyarakat setempat barulah menanam padi di sawah. Hal itu sudah turun-temurun dilakukan. Masyarakat meyakini itu. Kalau ada yang melanggar atau mendahului menanam padi sebelum acara adat digelar, biasanya mendapat bala atau tanamannya puso.
Acara adat Mappalili yang digelar selama tiga hari, diawali dengan acara "atteddu arajang" atau membangunkan alat pembajak yang bertuah, kemudian "arajang ri'alu" atau mengarak pembajak sawah keliling kampung diiringi musik tradisional dan pemangku adat yang menggunakan baju adat.
Puncak acara pada hari ketiga yakni "majjori" atau memulai membajak sawah peninggalan Kerajaan Segeri. Acara tersebut tak kalah meriahnya dengan dua acara sebelumnya. Karena setelah prosesi majjori itu dilakukan, diikuti acara siram-siraman air sebagai bentuk suka-cita oleh pemangku adat dan masyarakat setempat.
Matteddu arajang alias membangunnya benda-benda kerajaan bukan perkara muda. Ada ritual dan harus dilakukan orang-orang tertentu. Presiden sekalipun, tidak bisa membangunkan arajang. Yang bisa membangunkan hanya Puang Matoa. Waktu yang dipilih untuk mattedu arajang juga melalui perhitungan bugis yakni 9 ompo, 9 temmate dan parallawali atau seimbang antara yang lewat dan datang. Usai mattedu dilanjutkan dengan mappelesso atau membaringkan arajang.
Setelah itu, proses selanjutnya adalah mallekke wae dan labu lalle yakni mengambil air di sungai dan batang pisang lalu dibawa ke arajang di rumah adat. Batang pisang yang diambil harus utuh. "Maknanya ya untuk memandikan arajang." Setelah itu akan dicari waktu tepat untuk menurunkan arajang ke sawah.
Saat mengarak arajang ke sawah ini sepertinya merupakan momen puncak karena diusung dan diantar 25 orang yang terdiri atas pembawa arajang dan pembawa bendera. Arajang akan diarak dalam proses hikmat dan sakral dari rumah adat ke Segeri, singgah di Sungai Segeri, ke Pasar Segeri lalu dibawa kembali ke tempat peraduannya bermula.
Saat arajang diarak itulah pantangan untuk melintas atau lewat di depan arak-arakan. Zaman dulu, orang yang melintas di depan langsung mati. Kalau sekarang, orangnya langsung jatuh sakit.
Acara Mappalili selama tiga hari tiga malam itu juga dimeriahkan dengan Maggiri ala bissu alias tarian dari para bissu. Tarian tersebut menunjukkan kemampuan kekebalan mereka terhadap benda tajam dengan menusuk beberapa bagian tubuhnya sendiri.
C. Peranan Bissu dalam pelaksanaan Upacara Mappalili
Mappalili adalah upacara mengawali musim tanam padi di sawah. Ritual ini dijalankan oleh para pendeta Bugis Kuno yang dikenal dengan sebutan bissu. Selain di Pangkep, komunitas bissu ada di Bone, Soppeng, dan Wajo. Ritual dipimpin langsung Seorang Bissu Puang Matoa.
Puang Matoa terlihat begitu berwibawa di antara bissu yang berkumpul di rumah arajang, yakni tempat pusaka berupa bajak sawah disemayamkan. Mengenakan kemeja bergaris dengan warna dominan putih, dipadu sarung putih polos dan songkok. Suara santun dan tegas selalu keluar dari mulutnya. Tak ada teriakan sedikit pun. Sebagai pengganti teriakannya, Puang Matoa menggunakan katto-katto, sejenis pentungan yang khusus untuk memanggil anak laki-laki, dan kalung-kalung, nama alat untuk memanggil anak perempuan.
Cukup memukul katto-katto tiga kali dan memberi kode. Meski hanya memanfaatkan pelita, para bissu tetap mempersiapkan perlengkapan ritual. Saidi, misalnya, membentuk simbol-simbol di atas daun sirih menggunakan beras empat warna : masing-masing hitam simbol tanah, merah simbol api, kuning simbol angin, dan putih simbol air. Ahmad Sompo, 43 tahun, Bissu Salassa Mangaji, terlihat membuat pelita dari buah kemiri dan kapas yang dibalutkan pada potongan bamboo. Setelah semua persiapan rampung, upacara pun digelar esok hari.
Mappalili dimulai dengan upacara membangunkan arajang. “Teddu’ka denra maningo. Gonjengnga’ denra mallettung. Mallettungnge ri Ale Luwu. Maningo ri Watang Mpare. (Kubangunkan Dewa yang tidur. Kuguncang Dewa yang terbaring. Yang berbaring di Luwu. Yang tertidur di Watampare),” kata Puang Matoa, melagukan nyanyian untuk membangunkan arajang.
Nyanyian Puang Matoa kemudian disambung suara semua bissu yang terlibat dalam upacara Mappalili. “Tokkoko matule-tule. Matule-tule tinaju. Musisae-sae kenneng. Masilanre-lanre kenning. Musinoreng musiotereng. Musiassaro lellangeng. Mupakalepu lolangeng. Lolangeng mucokkongngie. Lipu muranrusie. (Bangkitlah dan muncul. Tampakkan wajah berseri. Menari-nari bersama kami. Bersama turun, bersama bangun. Bersama saling mengunjungi. Menyatukan tujuan. Negeri yang engkau tempati. Tanah tumpah darahmu).”
Nyanyian membangunkan arajang ada 10 lagu. Secara berurutan, Puang Matoa menyanyikannya, setiap tembangnya diikuti sembilan bissu yang terlibat dalam upacara. Bagian acara ini disebut matteddu arajang atau membangunkan pusaka berupa bajak sawah. Konon, bajak ini ditemukan secara gaib melalui mimpi. Puang Matoa mengatakan bajak dari kayu ini sudah ada sejak tahun 1330. Arajang tiap-tiap daerah ini berbeda. Di Pangkep berupa bajak sawah. Di Soppeng berupa sepasang ponto atau gelang berkepala naga yang terbuat dari emas murni. Sedangkan Bone dan Wajo, arajang-nya berupa keris.
Mengingat sudah sangat lama, bajak itu hanya diturunkan saat upacara Mappalili. Adapun tempat penyimpanan bajak tersebut diikatkan pada bubungan atas rumah arajang. Sebelum digantung, bajak atau arajang itu dibungkus kain putih polos, dililit daun kelapa kering untuk menguatkan bungkusan. Tepat di bawah bajak terdapat palakka atau tempat tidur, berisi dupa dan beberapa badik. Tempat arajang itu dikelilingi kain merah polos.
Setelah Matteddu Arajang, dilanjutkan dengan Mappalesso Arajang atau memindahkan arajang. Benda pusaka ini dipindahkan ke ruang tamu terbuka, mirip pendopo. Sebelumnya, seluruh pembungkus dibuka. Tepat di tengah, bajak ini dibaringkan bak jenazah. Ditutupi daun pisang, kemudian kedua ujungnya diberi tumpukan beberapa ikat padi yang masih berbentuk bulir. Pada bagian atas tumpukan padi itu dipasangi payung khas Bugis. Acara selanjutnya adalah Mallekko Bulalle atau menjemput nenek.
Penjemputan dilakukan di Pasar. Beberapa bahan ritual di antaranya sirih dan kelapa. Selanjutnya memanjatkan doa di empat penjuru pasar, dipimpin Puang Upe Bissu Lolo. Sementara Puang Upe Bissu Lolo berdoa, bissu yang lain menari mengitari Puang Upe dan pembawa sesajen. Dari Pasar, rombongan bergeser menuju Sungai untuk mengambil air. Kegiatan ini dinamakan Mallekko Wae. Dilanjutkan dengan Mapparewe Sumange atau mengembalikan semangat.
Malam hari, tepatnya setelah waktu isya, giliran para bissu mempertunjukkan kekebalan mereka. Tradisi ini disebut maggiri atau menikam bagian tubuh dengan benda tajam, seperti keris. Sejak sore para bissu mulai mempersiapkan diri. Mereka berdandan semaksimal mungkin untuk tampil paling cantik. Tiap bissu dibalut dengan warna kostum yang berbeda.
Para bissu duduk mengelilingi arajang. Dipimpin Puang Matoa, mereka mengucapkan mantra dengan menggunakan bahasa Torilangi atau bahasa para dewata, yang tak lain adalah bahasa Bugis Kuno. Selanjutnya mereka menari-nari sambil berkeliling, tidak lama kemudian tiap bissu mengeluarkan keris yang diselipkan pada bagian pinggangnya. Keris ditarik dari sarunya, kemudian ditusukkan ke leher, ada juga yang menusuk perutnya.
Seusai pertunjukan, masing-masing bissu menadahkan sapu tangan, topi, juga kotak. Mereka meminta bayaran dari penonton. Jumlahnya tergantung pemberi. Biasanya bissu yang menjadi idola diberi uang lebih besar. Uang yang diperoleh ini diambil oleh masing-masing bissu. Malam berikutnya, kegiatan maggiri kembali dilakukan. Kali ini jumlah penontonnya jauh lebih banyak dari malam sebelumnya.
Kegiatan terakhir adalah mengarak arajang keliling kampung. Ini menjadi aba-aba bahwa waktunya untuk turun membajak sawah. Selain berkeliling kampung, arajang dibawa ke tengah sawah yang sekarang sudah menjadi kawasan empang. Arajang disentuhkan ke tanah, lengkap dengan sesembahan, termasuk menyembelih ayam, yang merupakan bagian dari sesembahan.
Pada saat mengarak, setiap warga yang dilewati bisa menyiramkan air ke rombongan pengarak arajang. Kegiatan ini merupakan bentuk permintaan hujan kepada Sang Pencipta. Tapi sayang, ritual budaya ini hanya dipandang sebelah mata. Ini terlihat dari partisipasi warga yang mulai menurun. Bahkan sebagian warga menjaili dan mengolok-olok para bissu. Beberapa orang malah menyiapkan air comberan untuk disiramkan kepada bissu. Bahkan ada yang sengaja mencampurkan air siraman itu dengan kotoran sapi.
Tak hanya bissu¸ tapi semua orang yang ikut juga disiram. Kami yang sekedar menyaksikan dan mengambil gambar ritual ini juga kena air, tidak melihat ponsel atau kamera yang kami bawa. Setelah diarak, arajang dibawa kembali. Sebelum dikembalikan ke bubungan atas rumag, arajang terlebih dahuku dibersihkan atau dimandikan. Air bekas mandian arajang ini ramai-ramai ditadahi warga yang menunggu di kolong rumah panggung. Mereka percaya air ini berkhasiat sebagai obat.
D. Pergeseran Tradisi
Seperti halnya di Pangkep, di Soppeng setiap tahun mengeluarkan arajang berupa sepasang gelang emas berkepala naga. Acara ritualnya disebut Masappo Wanua atau memagari negeri, yang dimaksudkan untuk memohon keselamatan. Acaranya relative singkat, hanya setengah hari. Arajang juga diarakkeliling kampung, tapi tak berjalan kaki lagi seperti dulu. Mereka sudah memanfaatkan kemajuan, yakni menggunakan mobil.
Kepala Pusat Penelitian Budaya dan Seni Etnik Universitas Negeri Makassar Halilintar Lathief mengatakan ritual yang dijalankan oleh para bissu telah mengalami pergeseran. Seperti ritual Mappalili. Dulu sangat meriah dan hikmat, bisa berlangsung 40 hari 40 malam. Tapi, sejak 1966, acara lebih sederhana dan hanya berlangsung 7 hari 7 malam. Sekarang tinggal tiga hari tiga malam.
Mappalili pada masa lampau sangat meriah, menurut Halilintar, karena upacara ritual ini dipelopori oleh kaum bangsawan dan hartawan Bugis. Walaupun tidak memerintah secara nyata dalam kerajaan, bissu menganggap kedudukan mereka lebih tinggi daripada raja karena merekalah yang memegang kutika (kitab ramalan) untuk menentukan hari baik dan hari buruk. Selain itu, bissu bertugas menghubungkan dunia nyata dengan dunia para dewa yang tidak tampak. Mereka adalah penasihat raja dan dewan adat. Petuah dan petunjuk-petunjuk mereka selalu diikuti oleh para penguasa untuk menjalankan kebijaksanaannya.
Saat kerajaan-kerajaan Bugis masih Berjaya, seluruh pembiayaan upacara dan keperluan hidup komunitas bissu diperoleh dari hasil galung arajang atau sawah kerajaan. Tak hanya itu, bissu juga memperoleh sumbangan dari dermawan, seperti pedagang, kaum tani, dan bangsawan, yang datang secara rutin untuk memberikan sedekah.
Sawah kerajaan yang diserahkan pada bissu sekitar 5 hektar. Menurut Puang Matoa Saidi, seorang bissu, hasil sawah inilah yang dipakai untuk membiayai upacara dan kebutuhan hidup komunitas bissu selama setahun. Tapi, sejak Sanro Barlian (Beddu), puang matoa bissu Segeri generasi ketiga, meninggal pada 1979, tanah adat arajang diambil alih dan dikuasai oleh pemerintah sesuai dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Pokok Agraria 1960. Akibatnya, nasib para bissu makin terpuruk. Para bissu harus mencari pekerjaan yang bisa menghidupi mereka, juga mendanai upacara. Padahal sekali upacara bisa menelan dana Rp 17 juta.
Beruntung, Saidi punya pengetahuan dan kemampuan berbahasa Torilangi atau bahasa Bugis Kuno. Berkat kemampuannya inilah, ia terpilih sebagai salah satu actor dalam pementasan naskah I Lagaligo, yang berskala internasional. Keterlibatannya inilah yang membawanya keliling dunia. Dan ia mempunyai dana cukup menopang perekonomian sebagai puang matoa.
Thursday 18 October 2012
Historiografi Cina
Runtuhnya kekaisaran Han diikuti oleh suatu zaman perpecahan yang berlangsung lama, dari tahun 220 sampai tahun 589 M. Dalam masa ini Cina Utara, pusat kebudayaan Cina, berada di bawah dominasi para penyerbu yang terdiri dari bangsa-bangsa “barbar”. Dalam masa itu Budhisme menjadi kekuatan yang secara perlahn-lahan merembes ke dalam pemikiran dan hidup bangsa Cina. Masa awal zaman ini merupakan zaman besar kedua pemikiran kreatif di Cina. Pemikiran pada masa itu beredar secara mendalam dan imajinatif di sekitar persoalan manusia, masyarakat dan kosmos. Hal ini tercermin dalam berbagai tulisan sejarah yang lebih sadar diri dan kritis. Historografi mulai memperoleh kebebasan. Liu Hsieh (465-522M) menulis sebuah buku besar kesusastraan. Sebagian dari buku itu membahas pula pelbagai masalah historiografi yaitu: pentingnya prinsip-prinsip umum, batasan-batasan untuk memilih hal-hal yang khusus, ukuran yang mempercayai materi, serta persoalan mengenai keobyektifan prasangka. Dalam masa dominasi Budhisme ini, otonomi tradisi kesejahan Cina sangatlah kuat. Budhisme hanya berpengaruh sangat kecil terhadapkesejarahan cina. Para sejarawan Budhis menulis karya-karya mereka setelah melihat kepada model sekuler.
Cina bersatu lagi di bawah dinasti besar T’ang (618-906). Zaman ini terkenal sebagai masa keemasan keseniaan dan kesusastraan. Untuk pertama kalinya sejarah bahan baku dalam kurikulum ujian negara. Seorang pejabat negara terkenal bernama Tu Yu (735-812)M berusaha membebaskan dari catatan-catatan dinasti dan menulis T’ung Tien. Karya ini berbentuk ensiklopedi dan bisa dianggap sebagai sejarah institusional cina yang pertama. Pada masa awal T’ang diadakan perluasan atas aparat-aparat birokrasi yang bertugas untuk mencatat peristiwa-peristiwa, memproses dokumen, memelihara arsip, dan menulis sejarah. Dalam menyusun sejarah dinasti, komisi-komisi kekaisaran menggantikan para pengarang perseorangan.
Pada abad-abad selanjutnya, hal ini membantu perkembangan suatu tradisi kuat impirisme sejarah dan kesarjanaan yang kritis. Penulisan-penulisan sejarah para neo-confucianis pada masa Sung (990-1279) memperlihatkan suatu kecermatan baru dalam menulis sejarah, kecenderungan untuk menggunakan sumber-sumber tak resmi dan usaha keras untuk menerangkan secara rasional yang dikombinasikan dengan kepercayaan tebal akan kekuatan moral. Barangkali sejarawan besar masa ini adalah Ssu Ma- Kuang (1019-1086). Karyanya yang berjudul Tzu-Chih T’ung Chien merupakan sejarah cina dari tahun 403SM -959M diatur dalam bentuk tahunan. Pengarang mengetengahkan suatu karya besar dan bervariasi, melampirkan hal-hal yang diragukan (k’ao-i) dan menjadikannya jelas.
A. Pandangan orang cina tentang sejarah
Istilah shih (sejarah) dalam teminologi cina memiliki macam-macam arti. Dalam menulis tentang masa lalu, ada seseorang (biasanya atas dasar pengangkatan resmi) yang mencatat berbagai peristiwa. Di masa lebih kuno istilah ini berarti pula astrolog (peramal nasib berdasarkan peredaran bintang-bintang) dan astronom (ahli bintang). Istilah “ sejarah” pada kita hanya punya satu macam arti yaitu masa lalu. Konsepsi cina mengenai sejarah ditentukan oleh unsur-unsur tertentu dalam pandangan orang cina mengenai dunia. Salah satu dari padanya adalah etnosentrisme yang barasal dari isolasi kebudayaan cina.
Sejarah terutama berhubungan dengan (kerajaan di tengah) yaitu bangsa-bangsa (barbar) mereka adalah manusia yang harus dipencilkan, “disucikan” atau dibudayakan menurut kebudayaan cina. Oleh karena cina hanya punya pengetahuan sedikit tentang kebudayaan besar lain, maka tidak ada jejak-jejak mengenai sejarah bandingan seperti yang bisa kita dapatkan pada Ibn Khaldun.
Unsur kedua adalah holisme, pandangan bahwa manusia dan kejadian-kejadian alam saling berkaitan secara menyeluruh gejala-gejala kepincangan pada suatu sistem diartikan sabagai tanda-tanda tidak berfungsinya sistem yang lain terutama dalam buku-buku sejarah yang ditulis sekitar tahu seribu, perhatian utama dicurahkan pada bencana alam, isyarat bahwa sesuatu yang besar atau penting akan terjadi dan lain-lain yang semacam. Walau pun demikian, kekuatan untuk terjadinya keseimbangan atau kepincangan semuanya bersumber pada tindakan manusia yang lain adalah sebab akibat rasional sekuler yang lama2lama jadi dominan. Ketiga adalah pandanga bahwa sejarah merupakan tanggung jawab yang berasal dari masa keemasan. Para raja bijaksana di zaman dahulu telah menyusun dan memimpin sistem yang ideal. Pada masa-masa berikutnya, orang makin jauh dari sistem tersebut. Perubahan akan disambut baik apabila ia menjanjikan untuk kembali yang kuno keideal tersebut ini memberi kesan arkhaik pada sejarah cina, bahkan dalam masa-masa timbulnya berbagai penemuan baru.
Unsur yang keempat adalah konsep siklus dalam sejarah politik. Pemerintahan, seperti halnya manusia, punya masa-masa dilahirkan, pemuda, dewasa, tua, dan kematian. Kebiasaan berfikir yang menghubungakan manusia dengan gejala-gejala alam (holisme) membawa para sejarawan untuk melihat gejala sama dari tahap-tahap siklus dalam semua lingkungan kebudayaan, misalnya kesusastraan, kesenian, ethos desa, dan adat kebiasaan golongan elit. Kebiasaan untuk memberi tanggal pada peristiwa-peristiwa menurut dinasti dan nama zaman (nien-hao) memperkuat konsep perubahan politik sebagai suatu kekuatan yang dominan dalam siklus perubahan.
Hal yang kelima adalah pandangan bahwa ada suatu dinamika moral dalam berbagai kegiatan manusia. Peristiwa ini telah diletakkan secara khusus oleh orang-orang bijaksana confucianis. Sejarah, apabila ditulis dengan layak, akan meletakkan prinsif itu pada rangkaian kejadian dan pada hidup perbadi seseorang. Kenyakinan ini membawa kecenderungan untuk memberi warna moral pada semua permintaan sebab akibat. Dan mengurangi biografi hanya sampai pada teladan atau contoh-contoh peringatan yang stereotip.
B. Bidang dan Tujuan Historiografi
Sejak zaman dahulu pemeliharaan catatan dan penulisan sejarah merupakan fungsi resmi. Setiapa dinasti memiliki kantor sejarah. Badan ini mempekerjakan para pejabat yang telah di didik dalam suatu kurikulum baku dan telah lulus ujian negara. Pengalam para pejabat itu sebagian besar terdiri dari hal-hal dalam bidang sejarah. Ini berarti: menyelidiki gaya dan isi catatan- catatan kuno mengingat rangkaian peristiwa sejarah, penggunaan khiasan dan teladan sejarah dan komunikasi yang sangat resmi, dan menguasai kasu-kasus sejarah pada perdebatan mengenai pengambilan kebijaksanaan. Dengan demikian sejarah merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam mendidik kehidupan para pejabat negara. Ini berarti bahwa sebagian besar pejabat, pada suatu saat dalam karirnya dapat dipekerjakan pada sebuah kantor sejarah. Disana mereka diberi tugas untuk mencatat kejadian sahari-hari atau melakukan konpilasi atas catatan-catatan dari apa yang telah terjadi. Sejak masa dinasti T’ang (618-906) dan seterusnya para pejabat tinggi ditugaskan untuk mengetahui atau duduk dalam komisi-komisi yang bertugas mengumpulkan dan menyusun kajadian-kejadian penting. Semua kompilasi sejarah dipersembahkan kepada istana untuk disetujui. Para sejarawan tak resmi biasanya dari golongan pejabat. Dalam menyusun sejarah mereka bersandar sebagian besar kepada sumber-sumber resmi. Kadang-kadang atas pertimbangan politik, para sejarawan partikelir itu mempersembahkan karya-karya mereka kepada kaisar untuk mendapat restu.
Dengan demikian, semua sejarawan dari segala lapisan terlibat secara mendalam dengan kehidupan golongan pejabat negara itu. Mereka pun merasa terikat dengan keinginan kelas pejabat negara pada umumnya. Keinginan golongan ini antara lain berupa memelihara stabilitas dan ketenteraman dengan cara dijalankannya pemerintahan dan ditegakkannya pengawasan soaial, memelihara kekolotan confucianis, memelihara etika-etika dasar confucianis dalam masyarakat serta menjungjung tinggi ukuran yang sangat luhur dalam kesusastraan dan keseniaan, dan perlindungan kedudukan golongan literati dan gentri dari ancaman kaisar yang otokratis atau golongan yang haus akan kekuasaan.
Tujuan diatas disertai dengan pandangan dunia yang telah dibicarakan, menentukan ruang lingkup penulisan sejarah cina. Pendambaan yang sangat kuat akan ketertiban menyebabkan pemusatan perhatian sangat besar terhadap sejarah politik dan pelajaran mengenai stabilitas dan perubahan yang dapat ditarik dari situ. Bersamaan dengan itu, sejarah pranata dilihat dari ibu kota dan dari kecamata resmi. Jadi misalnya bagian “ekonomi” dari sejarah-sejarah dinasti dipusatkan kepada fungsi reguler pemerintahan. Bagian-bagian “geografi” berhubungan dengan apa yang sekarang kita namakan geografi administratif. Biografi kurang ada hubungannya dengan karakter individual dan lebih banyak menceritakan tentang pos-pos kepegawaian dan peranan sosialnya. Biografi biasaanya di kelompokkan manurut peranan sosial atau menurut suatu ukuran moral tertentu dan subyek-subyeknya menjadi contoh misalnya “materi yang setia”, “ahli kesusastraan”, “wanita berbudi”, “ pejabat yang tegas”, “mereka yang setia terhadap ppemerintah atau kaisar”.
Hanya sedikit perhatian yang diberikan kepada kelompok-kelompok yang berlawanan dengan kelompok literati, misalnya tokoh-tokoh militer, pedagang, orang kasim, wanita kesayangan kaisar, dan anggota keluarga permaisuri. Ketiga kelompok terakhir hanya disebut apabila mereka dianggap sebagai biang keladi kelemahan atau keruntuhan suatu dinasti.
Ada kecenderungan bahwa agama-agama murtad mendapat sedikit perhatian. Walaupun selam lebih dari 500 tahun (350-850) budhisme telah berakar dalam kebudayaan cina dan telah jadi kekuatan utama dalam pemekiran selama beberapa abad setelah itu, ia jarang disebut-sebut dalam sejarah resmi. Hanya ada satu
Bagian dalam sejarah resmi yang membahas budhisme dan tacisme. Pembicaraan tentang agama dan kemurtadan-kemurtadan biasanya sangat merendahkan dan menekankan kepada hal-hal yang tak layak. Pemberontakan-pemberontakan yang gagal sedikit mendapat perhatian dan apabila diuraikan, itu tak lebih dari pembicaraan mengenai tindakan-tindakan yang diambil untuk menindasnya. Kehidupan biasa dan kehidupan sehari-hari jarang dibicarakan secara terperinci, kecuali biasanya apabila ada bencana alam yang telah menimbulkan persoalan dalam cara mengatasinya. Atau suatu gerakan subversi terjadi di kalangan kaum tani yang tertindas.
Gambaran menyeluruh yang ada pada sejarah resmi dan yang disusun secara resmi berkecenderungan untuk memperkecil pertentangan, perbedaan kebudayaan antara satu daerah dengan daerah lainnya, pertentangan pendapat dan gejala-gejala lain yang dianggap oleh pandangan moderen barat justru paling penting dalam perkembangan kebudayaan cina. Akan tetapi kelemahan ini di imbangi dengan sifat yang sangat menyeluruh. Akan diperlukan 45 juta kata inggris untuk menerjemahkan 25 sejarah dinasti. Catatan-catatan sejarah yang sudah ada sejak abad ke 6 atau ke 7 masehi dapat diperiksa dan di bandingkan atau dilengkapi dengan sumber-sumber lengkap yang berasal dari penerbitan resmi atau pun perseorangan. Misalnya saja: catatan harian, catatan mengenai hal-hal yang khusus (memoar), kumpulan karangan, esai, syair, koleksi dokumen kuno, catatan perjalanan, dan aneka ragam sumber lainnya. Catatan-catatan kuno yang masih awet dan terhindar dari kemusnahan, terutama yang ditemukan di Tun- huang, melengkapi kita dengan bahan-bahan baku sejarah sebagai tambahan untuk di cocokkan dengan sejarah resmi, shih-lu atau “ catatan-catatan otentik” mengenai dua dinasti terakhir yang telah diawetkan memberi gambaran kepada kita mengenai catatan sehari-hari kerajaan dan pemerintahan dari tahun 1368 sampai 1912. Jadi, dengan menggunakan catatan-catatan yang beraneka ragam itu para sejarawan moderen akan dapat menyusun kembali bagian-bagian yang pokok dari masa lalu cina.
C. Metode sejarah
Metode yang dilakukan oleh para sejarawan cina dapat dibagi dua kelompok. Yang pertama adalah metode pencatatan kejadian-kejadian kontemporer. Yang lain adalah metode kompilasi berdasarkan urutan waktu dari catatan-catatan diatas. Para sejarawan istana mendapat tugas untuk setiap hari menulis segala peristiwa di istana, misalnya audensi, upacara, asul-usul yang diajukan kepada kaisar, keputusan kaisar, dan singkatan dari laporan- laporan berbagai daerah diluar ibu kota. Para tak resmi biasanya mencatat peristiwa-peristiwa yang dialaminya. Perjalanan, kehidupan keluarga atau kawan-kawan dekatnya. menjalankan kewajiban untuk mencatat, terutama oleh para sejarawan resmi merupakan suatu tugas yang khidmat, karena seorang sejarawan mempunyai tugas moral untuk mencatat dengan tepat apa yang terjadi tanpa takut atau pun karena ia menyukainya. Banyak contoh-contoh sejarawan yang memilih mati secara heroik daripada mengubah catatan yang berlainan dengan keadaan sesungguhnya.
Macam kedua adalah metode pengumpulan dan penyusunan (komplikasi). Dari masa ke masa para sejarawan istana mengedit dan mengambil intisari catatan sehari-hari serta menyusunnya berdasarkan urutan waktu. Kemudian mereka memasukkannya ke dalam periode dinasti (kuo-shih) ataupun ke dalam suatu pemerintahan (shih-lu). Catatan-catatan ini menjadi dasar untuk penyusunan bagian “daftar tahunan” (pen-chi) dari sejarah dinasti yang akan ditulis oleh para sejarawan pada masa pemerintahan dinasti berikutnya. Catatan kronologi dalam sejarah dinasti-dinasti itu lengkapi dengan macam-macam biografi yang berasal dari catatan- catatan resmi maupun tidak, dan dengan bagian-bagian terpisah yang disusun dari dokumen-dokumen resmi mengenai masalah tertentu. Misalnya: putusan kaisar tentang administrasi judikatif, upacara, masalah ekonomi, perdagangan, dan lain-lain. Prosedur penyusunannya berupa pemilihan beberapa bagian catatan secara integral serta menyusunnya dengan menambah kata ataupun kalimat perantara, biasanya dalam suatu kerangka kerja atau kronologis. Dengan demikian, sejarah-sejarah resmi merupakan hasil susunan, bukan dikarang dari materi-materi yang “segar”. Bisa dikatakan bahwa sebagian besar historiografi juga disusun semacam ini.
Dalam keseluruhan proses pencatatan dan penyusunan, si sejarawan dibatasi oleh macam-macam sikap dan kebiasaan yang sebagian besar berasal dari masa lalu. Pandangan dunia dan minat golongan elit cina membatasi pandangan si sejarawan. Moralitas confucianis juga jadi dasar pemikirannya dan membatasi pilhannya. Tambahan lagi dari sikap orang cina yang sangat menghormati kata-kata tertulis berarti bahwa ia memperlakukan dokumen dari masa lalu dengan hati-hati dan dengan penuh pertimbangan. Ia tidak akan merubah dokumen-dokumen itu walau sedikitpun. Apabila ada dua versi yang berlainan mengenai suatu peristiwa, maka ia akan memilih versi yang sesuai dengan bahan-bahan yang lain yang dipakainya serta menyisipkan secara integral ke dalam tulisannya. Pembicaraan mengenai perbedaan yang ada pada bukti-bukti muncul agak lambat dalam historiografi Cina. Kalau pun ada, maka hal itu ditempatkan pada bagian terpisah dari sejarah atau dimasukkan ke dalam suatu karya terpisah.
D. Modernisasi Historiografi
Sejak tahun 1949 dasar-dasar persoalan dan hasil penelitian sejarah telah diletakkan oleh pemerintah dan partai dengan berlandaskan kepada doktrin-doktrin Marxisme-Leninisme-Stalinisme dan Macisme. Sejarawan telah diperintahkan untuk mencatat, membuktikan dan bukan untuk menyelusuri atau mengajukan pertanyaan. Periode panjang sejak 770 SM telah ditetapkan sebagai masa “feodal” . ini merupakan suatu tahap yang harus ada dalam evolusi masyarakat menurut Marx. Satu-satunya hal yg di titik beratkan dalam periode panjang ini adalah penelitian tentang pemberontakan petani. Seperti dikatakan oleh Mao Tse Tung pun telah menentukan studi mengenai “benih-benih kapitalisme”, karena ia berpendapat bahwa Cina dengan sendirinya akan berkembang dari “feodalisme-kapitalisme” andai kata penyerbuan yang dilakukan oleh imperialisme asing tidak terjadi. Diskusi tentang tesis ini telah mengakibatkan polemik dan penerbitan dokumen-dokumen sejarah penting serta monograf-monograf yang berguna sejarah modern dari tahun 1840-1919 M dikuhuskan sebagai masa feodal dan masa kolonial. Banyak usaha dijalankan untuk mengdokumentasikan agresi imperialis dan memperiorisasikan masa ini ke dalam term-term”kontradiksinya” perubahan dalam cara berproduksi dan lain-lain. Pemusatan perhatian kepada faktor-faktto umum yang menentukan dalam Marxisme dengan cara membuang masa lalu Cina yang punya ciri tersendiri telah menimbulkan konflik nasionalisme RRC. Akhi-akhir ini ada usaha untuk menyelidiki kembali tokoh-tokohmenjadi kunci dalam sejarah daripada membatasi diri pada pemberontakan petani dan kekuatan-kekuatan sosial yang tidak manusiawi. Ini paling tidak merupakan suatu langkah kearah pembentukan kembali sejarah cina yang tersendiri. Pada umumnya, alasan-alasan dokmatik telah mengakjibatkan studi sejarah sejak tahun 1949 di Cina jadi steril, ditahun 1957 seorang sejarawan terkenal dari Peking malah mengatakan bahwa mereka telah membawa historiografi ke tepi kematian.
Di Taiwan, pemerintah membentuk kembali academia simica denga lembaga sejarah dan filologi yang sudah ada sejak dulu, dan lembaga sejarah modern yang merupakan badan baru. Unversitas nasional Taiewan mempunyai fakultas sejarah seperti juga perguruan tinggi lainnya di pulau itu. Banyak koleksi buku yang jarang di dapat, bahan-bahan arkeologis, arsip pemerintahan, dan karya seni di angkut dari daratan. Telah banyak publikasi yang dikeluarkan secara tetap mengenai koleksi dokumenter, terutama mengenai sejarah abad ke 19 dan permulaan abad ke 20. Beberapa terbitan berseri terdahulu dari academia sinica dicetak kembali, dan terbitan yang berupa monograf-monograf sejarah cukup banyak. Akan tetapi, masyarakat sejarah di Taiwan sangat kecil dan terbatas. Para sejarawan sangat peka terhadap suasana keterasingan dan udara pembatasan yang dilakukan pemerintah di sekeliling mereka. Tidaklah mengherankan apabila tak ada karya besar semacam perpaduan (sintesis) dan interpretasi muncul di Taiwan.
Masa ini merupakan salah satu titik terendah dalam sejarah panjang historiografi cina. Dalam pada itu, para sarjana di jepang, Eropa, dan Amerika banyak di antaranya kelahiran Cina berada dalam kedudukan untuk mendorong suatu suasana kebebasan yang menuju pengertian baru masa lalu Cina.
"KH. Ahmad Dahlan" Pembaharu Pemikiran Islam Indonesia
By Sakinah Mahtupanis & Rosmida Rauf |
- Membersihkan Islam di Indonesia dari pengaruh dan kebiasaan yang bukan Islam. Cntohnya: mengadakan pesta minuman keras, main judi, panco apabila ad raja2 yg meninggal di istana. Lalu memotong kerbau.
- Reformulasi doktrin Islam dengan pandangan alam pikiran modern
- Reformulasi ajaran dan pendidikan Islam; dan
- Mempertahankan Islam dari pengaruh dan serangan luar
- Pembaharuan Lewat Politik
- Pembaharuan Lewat Pendidikan