Islam Di Domba Hitamkan

Ditengah kekacauan,Fitnah, teror dan kekerasan,umat Islam tetap tabah berdiri mempertahankan keyakinannya, dengan memperkenalkan agamanya dengan cara-cara damai dan menyejukkan.

Akhirnya Sunni dan Syiah Bersatu

Bukankah mereka mengimani tuhan yang sama, Mencintai Nabi dan Rosul yang sama, memiliki Kitab suci yang sama, Mempunyai Syahadah yang sama ?, Kemudian mereka saling fitnah dan menumpahkan darah.

Pengaruh Peradaban Islam Terhadap dunia Modern

Pada masa lampau, peradaba Islam memberikan sumbangan besar terhadap kemajuan dunia Barat, kini Islam dan Barat saling menghunus pedang, Islam sebagai Tokoh Kegelapan, sedangkan Barat sebagai Tokoh Peradaban.

Jihad Dan Terorisme dalam Prespektif Islam

Siapa mereka yang mengatakan terorisme merupakan bagian dari jihad fi sabilillah ?? sedangkan teror sangat ditentang oleh teks rujukan utama umat Islam.

Lagenda Assasin "Penebar Maut Lembah Alamut"

Asyhasin(assassin) Antara Lagenda dan Mitos, Siapa Sangka Assassin yang terkenal sebagai Game, adalah Kisah Nyata Pasukan Khusus sekte pecahan Syiah Ismailiyah.

Tuesday 23 October 2012

Paradigma Pendidikan Islam Pada Masa Kejayaan Islam (Rihlah Ilmiah)

Chaerul Mundzir
Sejak lahirnya islam, lahirlah pendidikan dan pengajaran islam, pendidikan dan pengajaran islam itu terus berkembang. pada masa Khulafaurrasyaidin dan Dinasti Bani Umayyah yang berkuasa kurang lebih selama 91 tahun. Reformasi cukup banyak terjadi, terkait pada bidang pengembangan dan bidang kemajuan pendidikan islam. Sementara sistem pendidikan masih sama ketika masa Rasul dan Khulafaur rasyidin, hal ini terlihat pada pola pengajaran dengan sistem kuttab, tempat anak-anak belajar membaca dan menulis al-Quran serta ilmu agama islam lainnya. System pola ini bertempat dirumah guru, istana dan masjid. Yaitu kuttab yang pelaksanaannya di masjid.[1]

Pada masa Dinasti Umayyah, pembangunan lembaga-lembaga pendidikan, seperti kuttab dan masjid menjadi tujuan utama para Khalifah dan Gubernur setempat. Pendanaan lembaga-lembaga pendidikan ini sangat tergantung pada pemerintah sebagai pemrakarsa dan propagandis. Masjid Jami yang banyak bermunculan pada Dinasti Abbasiyah di biayai keberaradaannya dan oporasionalnya oleh pemerintah sepenuhnya. Halaqah-halaqah yang diangkat oleh Khalifah untuk mengajarkan bidan kajian tertentu.[2] Pada masa-masa akhir, daulah Umayyah dalam kondisi politik yang tidak stabil, pemborantakan-pemborantakan yang terjadi disana-sini,akibat perebutan kekuasaan didalam lingkungan keluarga Umayyah sendiri, serta firqah-firqah yang muncul pada saat itu. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh keluarga Abbas untuk memulai gerakannya. [3]

Kekuasaan Dinasti Bani Abbas, sebagaimana disebutkan melanjutkan kekuasaan Dinasti Bani Umayyah, dinamakan Khalifah karena para pendiri dan penguasa Dinasti ini adalah keturunan dari Al-Abbas paman Nabi Muhammad Saw. Dinasti ini didirikan oleh Abdullah Alsaffah Ibnu Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn Al-Abbas. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang dari tahun 132 H (750 M) s.d. 656 H (1258 M).

Pada permulaan Dinasti Abbasiyah pendidikan dan pengajaran berkembang dengan sangat hebatnya diseluruh negara islam. Sehingga lahir sekolah-sekolah yang tidak terhitung banyaknya, tersebar di kota sampai ke desa-desa. Anak-anak dan pemuda-pemuda berlomba-lomba untuk menuntut ilmu pengetahuan, pergi kepusat-pusat pendidikan. Meninggalkan kampung halamannya karena cinta akan ilmu penegtahuan.

Dinasti Abbasiyah merupakan Dinasti islam yang sempat membawa kejayaan umat islam pada masanya. Zaman keemasan islam dicapai pada masa dinasti ini berkuasa. Pada masa ini pula umat islam banyak melakukan kajian kritis ilmu pengetahuan. Akibatnya pada masa ini banyak para ilmuan dan cendikiawan bermunculan sehingga membuat ilmu pengetahuan menjadi maju begitu pesat. Popularitas daulah Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman Khalifah Harun Al-Rasyid(786-809 M) dan putranya Al-Ma’mum (813-833 M) kekayaan yang dimanfaatkan Harun Al-Rasyid untuk keperluan social, rumah sakit, lembaga pendidikan, dokter, dan farmasi didirikan, pada masanya sudah terdapat paling tidak. sebanyak 800 orang Dokter. Disamping itu, pemandian-pemandian umum juga dibangun. Tingkat kemakmuran yang paling tinggi terwujud pada zaman khalifah ini, kesejahteraan social, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan serta kesusatraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah Negara islam menempatkan dirinya sebagai Negara terkuat dan tak tertandingi. Al-Ma;mun pengganti Al-Rasyid, dikenal sebagai Khalifah yang sangat cinta kepada ilmu. Pada masa pemrintahannya, ia menerjemahkan buku-buku Yunani, ia juga banyak mendirikan sekolah-sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting pembangunan Bait Al-Hikmah, pusat penerjemah yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dan perpustakaan yang besar dan menjadi perpustakaan umum. Dan diberi nama Darul Ilmi, yang berisi buku-buku yang tidak terdapat diperpustakaan lainnya. Pada masa Al-Ma’mun inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan, dan pada saat ini pula Baghdad dapat memancarkan sinar kebudayaan dan peradaban islam keberbagai penjuru dunia.[4] Diantara bangunan-bangunan atau sarana pendidikan pada masa dinasti Abbasiyah adalah:

1. Madrasah yang terkenal pada saat itu adalah madrasah innidzamiyah, yang didirikan oleh seseorang perdana menteri Nidzamul Muluk (456-486 M), bangunan tersebut tersebar luas di kota Baghdad, Balkan, Muro, Tabaristan, Naisabur dan lain-lain.

2. Kuttab, yakni tempat belajar bagi para siswa sekolah dasar dan menengah.

3. Majelis Munadharah, tempat pertemuan para pujangga, ilmuan para ulama, cendikiawan dan para pilosof dalam menyeminarkan dan mengkaji ilmu yang mereka geluti.

4. Darul hikmah, perpustakaan pusat.

A. Kurikulum pendidikan Islam

Istilah kurikulum berasal dari bahasa latin “curriculum” yang berarti pelajaran, selanjutnya kata kurikulum menjadi istilah yang digunakan untuk menunjukkan pada sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh untuk mecapai suatu tujuan atau ijazah. Jadi kurikulum pendidikan islam adalah alat untuk mendidik generasi muda dengan baik dan menolong mereka untuk membuka dan mengembangkan kesedian-kesedian, bakat-bakat, kekuatan-kekuatan dan keterampilan mereka yang bermacam-macam serta menyiapkan mereka dengan baik untuk melaksanakn fungsinya sebagai khalifah di muka bumi.[5]

Ini berarti kurikulum pendidikan islam mengandung makna sebagai serangkaian program yang mengarah pada kegiatan belajar terencana secara sistematis, yang bertujuan yang mencerminkan cita-cita para pendidik sebagai pembawa norma Islam. Pemahaman kurikulum seperti ini, direalisasikan dalam sejarah pendidikan Islam, khususnya pada periode kemajuan peradaban Islam.

Pada masa kejayaan Islam, mata pelajaran bagi kurikulum sekolah tingkat rendah adalah Al-Quran, pokok-pokok agama Islam, membaca, menulis, kissah (riwayat), berhitung dan pokok-pokok nahwu dan sharaf. Dalam kasus-kasus lain dikhususkan untuk membaca Al-Quran dan mengajarkan sebagian pokok-pokok agama. Sedangkan untuk anak-anak penguasa dan amir-amir, kurikulum tingkat rendah sedikit berbeda, di istana-istana biasanya ditegaskan pengajaran Khitabah, sejarah, cara-cara bergaul, disamping ilmu-ilmu pokok seperti Al-Quran.

Setelah usai menempuh tingkat dasar (rendah), siswa bebas memilih bidang studi yang ingin didalami ditingkat menengah (lanjutan). Umumnya rencana pengajaran pada tingkat ini adalah Al-Quran, bahasa Arab,dan kesusasteraan, fiqhi, tafsir, hadis, nahwu, sharaf, ilmu alam, dan kedokteran dll.[6]

Ilmu-ilmu agama mendominasi kurikulum lembaga-lembaga pendidikan pada tingkat menengah, dengan Al-Quran sebagai intinya. Ilmu agama harus dikuasai agar dapat memahami dan menjelaskan secara terinci makna Al-Quran, sebagai inti kurikulum. Selain Al-Quran, hadis dan tafsir juga penting bagi siswa yang ingin mendalami ilmu keagamaan. Hadis merupakan mata pelajaran dalam kurikulum yang sangat penting. Selama beberapa abad, hadis menjadi materi penting dimasjid-masjid. Karena kedudukannya sangat penting sebagai sumber agama setelah Al-Quran, hadis banyak diminati penuntut ilmu sehingga pelajaran hadis tidak hanya berlangsung di masjid-masjid, tetapi juga dirumah-rumah ulama, dan tempat-tempat umum.

Kurikulum pada zaman kemajuan Islam kurikulum yang terdapat dilembaga pendidikan Islam tidak menawarkan mata pelajaran yang bermacam-macam. Dalam suatu jangka waktu pengajaran hanya mengajarkan satu mata pelajaran yang harus ditempuh oleh siswa.

B. Metode pengajaran

Pendidikan dalam proses pendidikan Islam, tidak hanya dituntut untuk meguasai sejumlah materi yang akan di berikan kepada peserta didik, tetapi juga harus menguasai sejumlah metode pendidikan guna kelangsungan, transformasi, dan internalisasi materi pengajaran. Oleh Karena itu, metode mempunyai posisi penting dalam upaya mnecapai tujuan sebagai sarana memberi makna materi pelajaran yang tersusun dalam kurikulum pendidikan yang sedemikian rupa sehingga dapat dipahami atau diserap oleh peserta didik, pada akhirnya berfungsi pada perilakunya. Tanpa metode, suatu materi pelajaran tidak akan dapat diproses secara efisien dan efektif.

Adapun wasiat Harun Ar-Rasyid, jika dianalisis lebih mendalam, Harun Ar-Rasyid mengisyaratkan adanya larangan mengalihkan dari mempelajari satu macam ilmu ke ilmu lainnya, kecuali bila mantap pemahaman pada ilmu yang pertama. Jadi Harun Al-Rasyid menunjukkan Al-Quran merupakan pelajaran inti. Langkah-langkah ini sangat penting diikuti oleh masyarakat pada masa pemerintahannya dan Khalifah-Khalifah sesudahnya.

Dalam rangka mentransfer ilmu pengetahuan dari seorang guru kepada peserta didik secara langsung digunakan pada maa Dulah Abbasiyah adalah metode lisan, hafalan dan tulisan. Metode lisan bias berupa dikte, ceramah, qiraat dan diskusi. Dikte (imla’) adalah metode untuk menyampaikan pengetahuan yang dianggap baik dan aman, karena pelajar mempunyai catatan. Metode ceramah disebut juga al-asma’, sebab dalam metode ceramah, guru membacakan bukunya atau menjelaskan isi buku, sedangka murid mendengarnya. Pada saat-saat tertentu guru berhenti dan memberi kesempatan kepada pelajar-pelajar untuk menulis dan bertanya. Metode qira’ah atau membaca, biasanya digunakan untuk belajar membaca. Sedangkan diskusi merupaka metode yang khas dalam pendidikan islam pada masa kejayaannya itu.

Metode ini banyak digunakan dalam pengajaran ilmu-ilmu yang bersifat filosofis dan fiqhi. Dalam proses penyerapan ilmu, diskusi adalan metode yang palin efektif daripada metode-metode yang lain. Diskusi dapat menjadikan pencari ilmu lebih aktif. Diskusi jiga dapat melatih para pelajar-pelajar menguraikan ilmu dan menggunakan daya berfikir mereka lebih aktif dibandingkan metode-metode lain.

C. Kehidupan murid

Ciri utama murid tingkat dasar adalah mereka diharuskan belajar membaca dan menulis. Bahan pengajaran biasanya syaiir-syair, bukan Al-Quran karena kalau memakai Al-Quran dikhawatirkan mereka membuat kesalahan yang akan menodai kemuliaan Al-Quran. Pada pendidikan tingkat dasar, siswa yang telah mengenal tulis baca, selanjutnya diperkenankan belajar Al-Quran dan menghafalnya dengan baik.

Belajar ditingkat dasar tidak ditentukan lamanya, melainkan tergantung kepada kemampuan anak-anak. Mereka yang cerdas akan cepat selesai, sedangkan mereka yang kurang cerdas dan malas tentu terlambat belajarnya.

Sebagai peserta didik, mereka mempunyai tujuan utama untuk belajar dan mereka menghabiskan sebahagian hidup mereka untuk belajar, dan mereka mempunyai hubungan erat dengan guru mereka. Guru mengetahui pribadi tiap-tiap pelajar yang berguru kepadanya. Di samping guru memperhatikan tingkah laku anak didiknya, dia juga memperhatikn kemampuan si murid dalam belajar. Serta guru sering memberi petunjuk kepada anak didiknya tentang pelajaran apa yang cocok baginya.

Begitu mengesankan hubungan guru dengan murid pada masa kejayaan Islam. Hubungan guru dan murid tidak hanya sebatas yang berkaitan dengan transmisi keilmuan dan pembentukan perilaku si peserta didik, tetapi juga guru memberikan dukungan moral moril kepada peserta didik. Kebanyakan pelajar-pelajar tidak puas dengan pengetahuan yang ia peroleh dari guru-gurunya, dan ia akan belajar lagi kepada guru lainnya, bahkan bila dikota tempat si murid tinggal tidak ada guru yang ia kehendaki, ia akan ke kota lain belajar kepada guru-guru yang ia inginkan sampai merasa cukup.[7]

KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa Puncak perkembangan dinasti Abbasiyah tidak seluruhnya berawal dari kreatifitas penguasa Bani Abbasiyah sendiri. Sebagian diantaranya sudah dimulai sejak awal kebangkitan Islam. Dalam bidang pendidikan misalnya di awal Islam, lembaga pendidikan sudah mulai berkembang. Namun lembaga-lembaga ini kemudian berkembang pada masa pemerintahan Bani Abas dengan berdirinya perpustakaan dan akademi.

Salah satu faktor penyebab kemajuan peradaban Islam (ilmu pengetahuan) pada masa dinasti Abbasiyah, khususnya pemerintahan Harun al-Rasyid sampai al-Ma’mun adalah adanya pendidikan sebagai sesuatu yang esensial bagi manusia. Pendidikan dapat mebentuk kepribadian seseorang, diakui sebagai kekuatan yang dapat menentukan prestasi dan produktifitas seseorang.

Perhatian khusus darinya dibuktikan dengan penerjemahan buku-buku yang berbahasa Yunani kedalam bahasa Arab, serta mengkaji para penerjemah dari gelongan Kristen dan penganut Agama lain yang ahli sehingga zaman ini sering disebut sebagai zaman keemasan dunia islam. Gerakan al-Ma’mun usaha dalam memajukan dunia ilmu pengetahuan adalah dengan mendatangkan para ilmuan, penulis, fisikawan, pujangga dan filosof untuk tinggal diistana.

DAFTAR PUSTAKA

Nizar, Samsul, Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah sampai Indonesia. Ed.I Cet.4; Jakarta; Kencana, 2011.

Rahmat, Paradigma Pendidikan Pada Masa Kejayaan Peradaban Islam. Cet.1; Alauddin University Press, 2011.

http://www.scribd.com/doc/46943120/Pendidikan-Islam-Pada-Zaman-Bani-Abbasiyah.

[1]Prof. Dr. H. Samsul Nizar, M.Ag, Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia (Cet. III; Jakarta: Kencana, 2009), h. 53

[2]Lihat Charles Michael Stanton, Pendidkan Tinggi dalam Islam, terj. Hasan Asari dan H. Afandi, (Jakarta: Logos, 1994), Cet. IV; h. 35

[3]Joesoef Sou’yb, Seajarah Daulah Abbasiyah, Jilid I (Cet. I;Jakarta: Bulan Bintang, 1977), h. 9-10.

[4]http://www.scribd.com/doc/46943120/Pendidikan-Islam-Pada-Zaman-Bani-Abbasiyah

[5] Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibani, Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyah, (Cet. II; Jakarta: Bulan Bintang,1983), h. 476.

[6]Drs. Rahmat, M.Pd.i, Paradigma Pendidikan Pada Masa Kejayaan Peradaban Islam, (Cet. I; 2011), h. 134.

[7](Ibid.), h. 146.

Sunday 21 October 2012

UPACARA MAPPALILI (TURUN SAWAH) DI SULAWESI SELATAN




Oleh:
Yusri Bahjar
Nim: 40200109030




A. Latar Belakang 


Acara adat sebagai suatu kekayaan budaya dan tradisi tetap dipertahankan di bagian wilayah Sulawesi Selatan untuk mengawali musim. Acara adat "Mappalili" yang dipimpin Bissu atau Puang Matoa menandai permulaan musim tanam di Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan. Upacara adat yang dilakukan turun-temurun diyakini masyarakat setempat sebagai pedoman bagi petani untuk memulai musim tanam padi. Ketika pemerintahan dipegang oleh raja pada zaman prasejarah, bissu dipercayakan menjadi pemimpin upaca adat tersebut, termasuk menentukan penetapan hari pelaksanaannya. Namun seiring perubahan sistem pemerintahan, penetapan hari H upacara adat itu sudah mendapat campur tangan pihak pemerintah.

Setelah ada usulan penetapan Mappalili, lanjut Bissu, pihaknya masih menunggu kesiapan pejabat pemerintah mulai lurah, camat hingga bupati untuk hadir pada kegiatan ritual prosesi tanam padi pada musim hujan yang dilakukan sekali setahun.

Menurut etimology, Mappalili (Bugis) / Appalili (Makassar) berasal dari kata palili yang memiliki makna untuk menjaga tanaman padi dari sesuatu yang akan mengganggu atau menghancurkannya. Mappalili atau Appalili adalah ritual turun-temurun yang dipegang oleh masyarakat Sulawesi Selatan, masyarakat dari Kabupaten Pangkep terutama Mappalili adalah. bagian dari budaya yang sudah diselenggarakan sejak beberapa tahun lalu.
Mappalili adalah tanda untuk mulai menanam padi. Tujuannya adalah untuk daerah kosong yang akan ditanam, disalipuri (Bugis) / dilebbu (Makassar) atau disimpan dari gangguan yang biasanya mengurangi produksi.

Menurut bagian 32 bab XV UUD 1945 tentang konservasi kebudayaan nasional, pemerintah Kabupaten Pangkep memberikan penghargaan kepada konservasi dan pelaksanaan upacara Mappalili di setiap tahun atau setiap awal musim budidaya. Pada prosesi pelaksanaan Mappalili memiliki beberapa perbedaan antara satu kecamatan dengan kecamatan lain karena menurut perhitungan dan diskusi dari pemimpin adat (anrong guru / kalompoang) di setiap kecamatan. Tapi ada sesuatu yang akan menjadi dasar utama dari prosesi pelaksanaan dan peralatan yang digunakan tidak bisa kalah.

Mappalili memiliki sesuatu yang menggambarkan karakteristik dari masyarakat Pangkep sepenuhnya. Pada pelaksanaan pembangunan upacara Mappalili di setiap kecamatan masih menggunakan beberapa peralatan yang digunakan sejak beberapa tahun lalu. Penggunaan peralatan harus melalui ritual adat yang melibatkan leade kustom, sosialita, dan beberapa pemerintah. Oleh karena itu, aktivitas upacara Mappalili di setiap kecamatan dapat berbeda sesuai dengan waktu dan jenis ritual pelaksanaannya.

Mappalili / Appalili dapat disimpulkan sebagai peralatan atau alat pemersatu dan sumber kerja sama maka dapat meningkatkan produksi dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

B. Proses Pelaksanaan Upacara Mappalili

Pelaksanaan Mappalili di Pangkajene kecamatan termasuk Mappalili di Kecamatan Minasate'ne. Tempat pelaksanaan rituality di Balla Kalompoang di Jagong. Ini dimulai sejak tahun 1824 sampai 1960, pada masa pemerintahan Muri Andi Daeng Lulu (yang terakhir dari Karaeng Pangkajene sejak pemerintah dengan penunjukan Karaeng diubah menjadi penunjukan camat).

Setelah beberapa tahun tidak aktif, sehingga pusat kegiatan Mappalili dipusatkan di Pacce'lang dan aktif sampai sekarang. Mappalili di Balla Kalompoang digelar selama lima hari, tetapi dengan pertimbangan waktu dan biaya, sehingga diselenggarakan selama dua hari hanya tanpa mengurangi nilai dan makna budaya.

Prosesi upacara Mappalili sebagai berikut:

1. Hari pertama

a. Pukul 11.30 attangngallo, suara drum tradisional di Pacce'lang.

b. Pada 17.30 menuju Maghrib, Assa'ra Allo dengan drum tradisional.

c. Pada 20,00 setelah shalat Isya, diisi dengan pertunjukan masyarakat, mereka Attoeng (gadis-gadis memakai baju bodo) dan tari Pakarena Bura'ne. Dalam hal ini, disajikan kue tradisional dan malam tanpa tidur.

2. Hari kedua

Setelah doa Subuh, penyusunan Mappalili dilakukan dengan Pinati (sanro/ perias pengantin) dengan didampingi oleh drum tradisional untuk mengumpulkan personil Palili yang memiliki anggota 41 orang. Tentang pada 05:30, para rombongan dari Palili pergi ke sawah Kalompoang di Pacce'lang. Rombongan dipimpin oleh Pinati Male. Urutan Mappalili rombongan sebagai berikut:

a. Bendera Kerajaan Siang dengan lainnya 4 bendera, ada

  • Bendera hitam - (labolong) anrong appaka. 
  • Bendera merah - untuk Barani risibatua. 
  • Bendera kuning - Bendera rilesang. 
  • Bendera hijau - Pabbicara risengkae bendera. 

b. 6 tombak

c. Beras

d. Pinati

e. 1 set alat pabrik

f. 2 kerbau

g. Masyarakat

Setelah dari lokasi Palili, para rombongan dari Palili makan bersama dengan songkolo porsi Palopo na. Ada dua Pinati, satu Pinati Pria dan yang lainnya Pinati Wanita. Pinati dipilih berdasarkan diskusi masyarakat. Mereka memiliki tugas yang berbeda, Pinati Pria mengelola penyusunan dan pelaksanaan Mappalili, dan Pinati Wanita mengelola konsumsi.

Setelah acara Mappalili digelar oleh pihak bissu Kerajaan, masyarakat setempat barulah menanam padi di sawah. Hal itu sudah turun-temurun dilakukan. Masyarakat meyakini itu. Kalau ada yang melanggar atau mendahului menanam padi sebelum acara adat digelar, biasanya mendapat bala atau tanamannya puso.

Acara adat Mappalili yang digelar selama tiga hari, diawali dengan acara "atteddu arajang" atau membangunkan alat pembajak yang bertuah, kemudian "arajang ri'alu" atau mengarak pembajak sawah keliling kampung diiringi musik tradisional dan pemangku adat yang menggunakan baju adat.

Puncak acara pada hari ketiga yakni "majjori" atau memulai membajak sawah peninggalan Kerajaan Segeri. Acara tersebut tak kalah meriahnya dengan dua acara sebelumnya. Karena setelah prosesi majjori itu dilakukan, diikuti acara siram-siraman air sebagai bentuk suka-cita oleh pemangku adat dan masyarakat setempat.

Matteddu arajang alias membangunnya benda-benda kerajaan bukan perkara muda. Ada ritual dan harus dilakukan orang-orang tertentu. Presiden sekalipun, tidak bisa membangunkan arajang. Yang bisa membangunkan hanya Puang Matoa. Waktu yang dipilih untuk mattedu arajang juga melalui perhitungan bugis yakni 9 ompo, 9 temmate dan parallawali atau seimbang antara yang lewat dan datang. Usai mattedu dilanjutkan dengan mappelesso atau membaringkan arajang.

Setelah itu, proses selanjutnya adalah mallekke wae dan labu lalle yakni mengambil air di sungai dan batang pisang lalu dibawa ke arajang di rumah adat. Batang pisang yang diambil harus utuh. "Maknanya ya untuk memandikan arajang." Setelah itu akan dicari waktu tepat untuk menurunkan arajang ke sawah.

Saat mengarak arajang ke sawah ini sepertinya merupakan momen puncak karena diusung dan diantar 25 orang yang terdiri atas pembawa arajang dan pembawa bendera. Arajang akan diarak dalam proses hikmat dan sakral dari rumah adat ke Segeri, singgah di Sungai Segeri, ke Pasar Segeri lalu dibawa kembali ke tempat peraduannya bermula.

Saat arajang diarak itulah pantangan untuk melintas atau lewat di depan arak-arakan. Zaman dulu, orang yang melintas di depan langsung mati. Kalau sekarang, orangnya langsung jatuh sakit.

Acara Mappalili selama tiga hari tiga malam itu juga dimeriahkan dengan Maggiri ala bissu alias tarian dari para bissu. Tarian tersebut menunjukkan kemampuan kekebalan mereka terhadap benda tajam dengan menusuk beberapa bagian tubuhnya sendiri.

C. Peranan Bissu dalam pelaksanaan Upacara Mappalili

Mappalili adalah upacara mengawali musim tanam padi di sawah. Ritual ini dijalankan oleh para pendeta Bugis Kuno yang dikenal dengan sebutan bissu. Selain di Pangkep, komunitas bissu ada di Bone, Soppeng, dan Wajo. Ritual dipimpin langsung Seorang Bissu Puang Matoa.

Puang Matoa terlihat begitu berwibawa di antara bissu yang berkumpul di rumah arajang, yakni tempat pusaka berupa bajak sawah disemayamkan. Mengenakan kemeja bergaris dengan warna dominan putih, dipadu sarung putih polos dan songkok. Suara santun dan tegas selalu keluar dari mulutnya. Tak ada teriakan sedikit pun. Sebagai pengganti teriakannya, Puang Matoa menggunakan katto-katto, sejenis pentungan yang khusus untuk memanggil anak laki-laki, dan kalung-kalung, nama alat untuk memanggil anak perempuan.

Cukup memukul katto-katto tiga kali dan memberi kode. Meski hanya memanfaatkan pelita, para bissu tetap mempersiapkan perlengkapan ritual. Saidi, misalnya, membentuk simbol-simbol di atas daun sirih menggunakan beras empat warna : masing-masing hitam simbol tanah, merah simbol api, kuning simbol angin, dan putih simbol air. Ahmad Sompo, 43 tahun, Bissu Salassa Mangaji, terlihat membuat pelita dari buah kemiri dan kapas yang dibalutkan pada potongan bamboo. Setelah semua persiapan rampung, upacara pun digelar esok hari.

Mappalili dimulai dengan upacara membangunkan arajang. “Teddu’ka denra maningo. Gonjengnga’ denra mallettung. Mallettungnge ri Ale Luwu. Maningo ri Watang Mpare. (Kubangunkan Dewa yang tidur. Kuguncang Dewa yang terbaring. Yang berbaring di Luwu. Yang tertidur di Watampare),” kata Puang Matoa, melagukan nyanyian untuk membangunkan arajang.

Nyanyian Puang Matoa kemudian disambung suara semua bissu yang terlibat dalam upacara Mappalili. “Tokkoko matule-tule. Matule-tule tinaju. Musisae-sae kenneng. Masilanre-lanre kenning. Musinoreng musiotereng. Musiassaro lellangeng. Mupakalepu lolangeng. Lolangeng mucokkongngie. Lipu muranrusie. (Bangkitlah dan muncul. Tampakkan wajah berseri. Menari-nari bersama kami. Bersama turun, bersama bangun. Bersama saling mengunjungi. Menyatukan tujuan. Negeri yang engkau tempati. Tanah tumpah darahmu).”

Nyanyian membangunkan arajang ada 10 lagu. Secara berurutan, Puang Matoa menyanyikannya, setiap tembangnya diikuti sembilan bissu yang terlibat dalam upacara. Bagian acara ini disebut matteddu arajang atau membangunkan pusaka berupa bajak sawah. Konon, bajak ini ditemukan secara gaib melalui mimpi. Puang Matoa mengatakan bajak dari kayu ini sudah ada sejak tahun 1330. Arajang tiap-tiap daerah ini berbeda. Di Pangkep berupa bajak sawah. Di Soppeng berupa sepasang ponto atau gelang berkepala naga yang terbuat dari emas murni. Sedangkan Bone dan Wajo, arajang-nya berupa keris.

Mengingat sudah sangat lama, bajak itu hanya diturunkan saat upacara Mappalili. Adapun tempat penyimpanan bajak tersebut diikatkan pada bubungan atas rumah arajang. Sebelum digantung, bajak atau arajang itu dibungkus kain putih polos, dililit daun kelapa kering untuk menguatkan bungkusan. Tepat di bawah bajak terdapat palakka atau tempat tidur, berisi dupa dan beberapa badik. Tempat arajang itu dikelilingi kain merah polos.

Setelah Matteddu Arajang, dilanjutkan dengan Mappalesso Arajang atau memindahkan arajang. Benda pusaka ini dipindahkan ke ruang tamu terbuka, mirip pendopo. Sebelumnya, seluruh pembungkus dibuka. Tepat di tengah, bajak ini dibaringkan bak jenazah. Ditutupi daun pisang, kemudian kedua ujungnya diberi tumpukan beberapa ikat padi yang masih berbentuk bulir. Pada bagian atas tumpukan padi itu dipasangi payung khas Bugis. Acara selanjutnya adalah Mallekko Bulalle atau menjemput nenek.

Penjemputan dilakukan di Pasar. Beberapa bahan ritual di antaranya sirih dan kelapa. Selanjutnya memanjatkan doa di empat penjuru pasar, dipimpin Puang Upe Bissu Lolo. Sementara Puang Upe Bissu Lolo berdoa, bissu yang lain menari mengitari Puang Upe dan pembawa sesajen. Dari Pasar, rombongan bergeser menuju Sungai untuk mengambil air. Kegiatan ini dinamakan Mallekko Wae. Dilanjutkan dengan Mapparewe Sumange atau mengembalikan semangat.

Malam hari, tepatnya setelah waktu isya, giliran para bissu mempertunjukkan kekebalan mereka. Tradisi ini disebut maggiri atau menikam bagian tubuh dengan benda tajam, seperti keris. Sejak sore para bissu mulai mempersiapkan diri. Mereka berdandan semaksimal mungkin untuk tampil paling cantik. Tiap bissu dibalut dengan warna kostum yang berbeda.

Para bissu duduk mengelilingi arajang. Dipimpin Puang Matoa, mereka mengucapkan mantra dengan menggunakan bahasa Torilangi atau bahasa para dewata, yang tak lain adalah bahasa Bugis Kuno. Selanjutnya mereka menari-nari sambil berkeliling, tidak lama kemudian tiap bissu mengeluarkan keris yang diselipkan pada bagian pinggangnya. Keris ditarik dari sarunya, kemudian ditusukkan ke leher, ada juga yang menusuk perutnya.

Seusai pertunjukan, masing-masing bissu menadahkan sapu tangan, topi, juga kotak. Mereka meminta bayaran dari penonton. Jumlahnya tergantung pemberi. Biasanya bissu yang menjadi idola diberi uang lebih besar. Uang yang diperoleh ini diambil oleh masing-masing bissu. Malam berikutnya, kegiatan maggiri kembali dilakukan. Kali ini jumlah penontonnya jauh lebih banyak dari malam sebelumnya.

Kegiatan terakhir adalah mengarak arajang keliling kampung. Ini menjadi aba-aba bahwa waktunya untuk turun membajak sawah. Selain berkeliling kampung, arajang dibawa ke tengah sawah yang sekarang sudah menjadi kawasan empang. Arajang disentuhkan ke tanah, lengkap dengan sesembahan, termasuk menyembelih ayam, yang merupakan bagian dari sesembahan.

Pada saat mengarak, setiap warga yang dilewati bisa menyiramkan air ke rombongan pengarak arajang. Kegiatan ini merupakan bentuk permintaan hujan kepada Sang Pencipta. Tapi sayang, ritual budaya ini hanya dipandang sebelah mata. Ini terlihat dari partisipasi warga yang mulai menurun. Bahkan sebagian warga menjaili dan mengolok-olok para bissu. Beberapa orang malah menyiapkan air comberan untuk disiramkan kepada bissu. Bahkan ada yang sengaja mencampurkan air siraman itu dengan kotoran sapi.

Tak hanya bissu¸ tapi semua orang yang ikut juga disiram. Kami yang sekedar menyaksikan dan mengambil gambar ritual ini juga kena air, tidak melihat ponsel atau kamera yang kami bawa. Setelah diarak, arajang dibawa kembali. Sebelum dikembalikan ke bubungan atas rumag, arajang terlebih dahuku dibersihkan atau dimandikan. Air bekas mandian arajang ini ramai-ramai ditadahi warga yang menunggu di kolong rumah panggung. Mereka percaya air ini berkhasiat sebagai obat.

D. Pergeseran Tradisi

Seperti halnya di Pangkep, di Soppeng setiap tahun mengeluarkan arajang berupa sepasang gelang emas berkepala naga. Acara ritualnya disebut Masappo Wanua atau memagari negeri, yang dimaksudkan untuk memohon keselamatan. Acaranya relative singkat, hanya setengah hari. Arajang juga diarakkeliling kampung, tapi tak berjalan kaki lagi seperti dulu. Mereka sudah memanfaatkan kemajuan, yakni menggunakan mobil.

Kepala Pusat Penelitian Budaya dan Seni Etnik Universitas Negeri Makassar Halilintar Lathief mengatakan ritual yang dijalankan oleh para bissu telah mengalami pergeseran. Seperti ritual Mappalili. Dulu sangat meriah dan hikmat, bisa berlangsung 40 hari 40 malam. Tapi, sejak 1966, acara lebih sederhana dan hanya berlangsung 7 hari 7 malam. Sekarang tinggal tiga hari tiga malam.

Mappalili pada masa lampau sangat meriah, menurut Halilintar, karena upacara ritual ini dipelopori oleh kaum bangsawan dan hartawan Bugis. Walaupun tidak memerintah secara nyata dalam kerajaan, bissu menganggap kedudukan mereka lebih tinggi daripada raja karena merekalah yang memegang kutika (kitab ramalan) untuk menentukan hari baik dan hari buruk. Selain itu, bissu bertugas menghubungkan dunia nyata dengan dunia para dewa yang tidak tampak. Mereka adalah penasihat raja dan dewan adat. Petuah dan petunjuk-petunjuk mereka selalu diikuti oleh para penguasa untuk menjalankan kebijaksanaannya.

Saat kerajaan-kerajaan Bugis masih Berjaya, seluruh pembiayaan upacara dan keperluan hidup komunitas bissu diperoleh dari hasil galung arajang atau sawah kerajaan. Tak hanya itu, bissu juga memperoleh sumbangan dari dermawan, seperti pedagang, kaum tani, dan bangsawan, yang datang secara rutin untuk memberikan sedekah.

Sawah kerajaan yang diserahkan pada bissu sekitar 5 hektar. Menurut Puang Matoa Saidi, seorang bissu, hasil sawah inilah yang dipakai untuk membiayai upacara dan kebutuhan hidup komunitas bissu selama setahun. Tapi, sejak Sanro Barlian (Beddu), puang matoa bissu Segeri generasi ketiga, meninggal pada 1979, tanah adat arajang diambil alih dan dikuasai oleh pemerintah sesuai dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Pokok Agraria 1960. Akibatnya, nasib para bissu makin terpuruk. Para bissu harus mencari pekerjaan yang bisa menghidupi mereka, juga mendanai upacara. Padahal sekali upacara bisa menelan dana Rp 17 juta.

Beruntung, Saidi punya pengetahuan dan kemampuan berbahasa Torilangi atau bahasa Bugis Kuno. Berkat kemampuannya inilah, ia terpilih sebagai salah satu actor dalam pementasan naskah I Lagaligo, yang berskala internasional. Keterlibatannya inilah yang membawanya keliling dunia. Dan ia mempunyai dana cukup menopang perekonomian sebagai puang matoa.



Thursday 18 October 2012

Historiografi Cina



Oleh
Kiki Erwinda
Yusri Bahjar


Latar Belakang

Runtuhnya kekaisaran Han diikuti oleh suatu zaman perpecahan yang berlangsung lama, dari tahun 220 sampai tahun 589 M. Dalam masa ini Cina Utara, pusat kebudayaan Cina, berada di bawah dominasi para penyerbu yang terdiri dari bangsa-bangsa “barbar”. Dalam masa itu Budhisme menjadi kekuatan yang secara perlahn-lahan merembes ke dalam pemikiran dan hidup bangsa Cina. Masa awal zaman ini merupakan zaman besar kedua pemikiran kreatif di Cina. Pemikiran pada masa itu beredar secara mendalam dan imajinatif di sekitar persoalan manusia, masyarakat dan kosmos. Hal ini tercermin dalam berbagai tulisan sejarah yang lebih sadar diri dan kritis. Historografi mulai memperoleh kebebasan. Liu Hsieh (465-522M) menulis sebuah buku besar kesusastraan. Sebagian dari buku itu membahas pula pelbagai masalah historiografi yaitu: pentingnya prinsip-prinsip umum, batasan-batasan untuk memilih hal-hal yang khusus, ukuran yang mempercayai materi, serta persoalan mengenai keobyektifan prasangka. Dalam masa dominasi Budhisme ini, otonomi tradisi kesejahan Cina sangatlah kuat. Budhisme hanya berpengaruh sangat kecil terhadapkesejarahan cina. Para sejarawan Budhis menulis karya-karya mereka setelah melihat kepada model sekuler.

Cina bersatu lagi di bawah dinasti besar T’ang (618-906). Zaman ini terkenal sebagai masa keemasan keseniaan dan kesusastraan. Untuk pertama kalinya sejarah bahan baku dalam kurikulum ujian negara. Seorang pejabat negara terkenal bernama Tu Yu (735-812)M berusaha membebaskan dari catatan-catatan dinasti dan menulis T’ung Tien. Karya ini berbentuk ensiklopedi dan bisa dianggap sebagai sejarah institusional cina yang pertama. Pada masa awal T’ang diadakan perluasan atas aparat-aparat birokrasi yang bertugas untuk mencatat peristiwa-peristiwa, memproses dokumen, memelihara arsip, dan menulis sejarah. Dalam menyusun sejarah dinasti, komisi-komisi kekaisaran menggantikan para pengarang perseorangan.

Pada abad-abad selanjutnya, hal ini membantu perkembangan suatu tradisi kuat impirisme sejarah dan kesarjanaan yang kritis. Penulisan-penulisan sejarah para neo-confucianis pada masa Sung (990-1279) memperlihatkan suatu kecermatan baru dalam menulis sejarah, kecenderungan untuk menggunakan sumber-sumber tak resmi dan usaha keras untuk menerangkan secara rasional yang dikombinasikan dengan kepercayaan tebal akan kekuatan moral. Barangkali sejarawan besar masa ini adalah Ssu Ma- Kuang (1019-1086). Karyanya yang berjudul Tzu-Chih T’ung Chien merupakan sejarah cina dari tahun 403SM -959M diatur dalam bentuk tahunan. Pengarang mengetengahkan suatu karya besar dan bervariasi, melampirkan hal-hal yang diragukan (k’ao-i) dan menjadikannya jelas.

A. Pandangan orang cina tentang sejarah

Istilah shih (sejarah) dalam teminologi cina memiliki macam-macam arti. Dalam menulis tentang masa lalu, ada seseorang (biasanya atas dasar pengangkatan resmi) yang mencatat berbagai peristiwa. Di masa lebih kuno istilah ini berarti pula astrolog (peramal nasib berdasarkan peredaran bintang-bintang) dan astronom (ahli bintang). Istilah “ sejarah” pada kita hanya punya satu macam arti yaitu masa lalu. Konsepsi cina mengenai sejarah ditentukan oleh unsur-unsur tertentu dalam pandangan orang cina mengenai dunia. Salah satu dari padanya adalah etnosentrisme yang barasal dari isolasi kebudayaan cina.

Sejarah terutama berhubungan dengan (kerajaan di tengah) yaitu bangsa-bangsa (barbar) mereka adalah manusia yang harus dipencilkan, “disucikan” atau dibudayakan menurut kebudayaan cina. Oleh karena cina hanya punya pengetahuan sedikit tentang kebudayaan besar lain, maka tidak ada jejak-jejak mengenai sejarah bandingan seperti yang bisa kita dapatkan pada Ibn Khaldun.

Unsur kedua adalah holisme, pandangan bahwa manusia dan kejadian-kejadian alam saling berkaitan secara menyeluruh gejala-gejala kepincangan pada suatu sistem diartikan sabagai tanda-tanda tidak berfungsinya sistem yang lain terutama dalam buku-buku sejarah yang ditulis sekitar tahu seribu, perhatian utama dicurahkan pada bencana alam, isyarat bahwa sesuatu yang besar atau penting akan terjadi dan lain-lain yang semacam. Walau pun demikian, kekuatan untuk terjadinya keseimbangan atau kepincangan semuanya bersumber pada tindakan manusia yang lain adalah sebab akibat rasional sekuler yang lama2lama jadi dominan. Ketiga adalah pandanga bahwa sejarah merupakan tanggung jawab yang berasal dari masa keemasan. Para raja bijaksana di zaman dahulu telah menyusun dan memimpin sistem yang ideal. Pada masa-masa berikutnya, orang makin jauh dari sistem tersebut. Perubahan akan disambut baik apabila ia menjanjikan untuk kembali yang kuno keideal tersebut ini memberi kesan arkhaik pada sejarah cina, bahkan dalam masa-masa timbulnya berbagai penemuan baru.

Unsur yang keempat adalah konsep siklus dalam sejarah politik. Pemerintahan, seperti halnya manusia, punya masa-masa dilahirkan, pemuda, dewasa, tua, dan kematian. Kebiasaan berfikir yang menghubungakan manusia dengan gejala-gejala alam (holisme) membawa para sejarawan untuk melihat gejala sama dari tahap-tahap siklus dalam semua lingkungan kebudayaan, misalnya kesusastraan, kesenian, ethos desa, dan adat kebiasaan golongan elit. Kebiasaan untuk memberi tanggal pada peristiwa-peristiwa menurut dinasti dan nama zaman (nien-hao) memperkuat konsep perubahan politik sebagai suatu kekuatan yang dominan dalam siklus perubahan.

Hal yang kelima adalah pandangan bahwa ada suatu dinamika moral dalam berbagai kegiatan manusia. Peristiwa ini telah diletakkan secara khusus oleh orang-orang bijaksana confucianis. Sejarah, apabila ditulis dengan layak, akan meletakkan prinsif itu pada rangkaian kejadian dan pada hidup perbadi seseorang. Kenyakinan ini membawa kecenderungan untuk memberi warna moral pada semua permintaan sebab akibat. Dan mengurangi biografi hanya sampai pada teladan atau contoh-contoh peringatan yang stereotip. 

B. Bidang dan Tujuan Historiografi

Sejak zaman dahulu pemeliharaan catatan dan penulisan sejarah merupakan fungsi resmi. Setiapa dinasti memiliki kantor sejarah. Badan ini mempekerjakan para pejabat yang telah di didik dalam suatu kurikulum baku dan telah lulus ujian negara. Pengalam para pejabat itu sebagian besar terdiri dari hal-hal dalam bidang sejarah. Ini berarti: menyelidiki gaya dan isi catatan- catatan kuno mengingat rangkaian peristiwa sejarah, penggunaan khiasan dan teladan sejarah dan komunikasi yang sangat resmi, dan menguasai kasu-kasus sejarah pada perdebatan mengenai pengambilan kebijaksanaan. Dengan demikian sejarah merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam mendidik kehidupan para pejabat negara. Ini berarti bahwa sebagian besar pejabat, pada suatu saat dalam karirnya dapat dipekerjakan pada sebuah kantor sejarah. Disana mereka diberi tugas untuk mencatat kejadian sahari-hari atau melakukan konpilasi atas catatan-catatan dari apa yang telah terjadi. Sejak masa dinasti T’ang (618-906) dan seterusnya para pejabat tinggi ditugaskan untuk mengetahui atau duduk dalam komisi-komisi yang bertugas mengumpulkan dan menyusun kajadian-kejadian penting. Semua kompilasi sejarah dipersembahkan kepada istana untuk disetujui. Para sejarawan tak resmi biasanya dari golongan pejabat. Dalam menyusun sejarah mereka bersandar sebagian besar kepada sumber-sumber resmi. Kadang-kadang atas pertimbangan politik, para sejarawan partikelir itu mempersembahkan karya-karya mereka kepada kaisar untuk mendapat restu.

Dengan demikian, semua sejarawan dari segala lapisan terlibat secara mendalam dengan kehidupan golongan pejabat negara itu. Mereka pun merasa terikat dengan keinginan kelas pejabat negara pada umumnya. Keinginan golongan ini antara lain berupa memelihara stabilitas dan ketenteraman dengan cara dijalankannya pemerintahan dan ditegakkannya pengawasan soaial, memelihara kekolotan confucianis, memelihara etika-etika dasar confucianis dalam masyarakat serta menjungjung tinggi ukuran yang sangat luhur dalam kesusastraan dan keseniaan, dan perlindungan kedudukan golongan literati dan gentri dari ancaman kaisar yang otokratis atau golongan yang haus akan kekuasaan.

Tujuan diatas disertai dengan pandangan dunia yang telah dibicarakan, menentukan ruang lingkup penulisan sejarah cina. Pendambaan yang sangat kuat akan ketertiban menyebabkan pemusatan perhatian sangat besar terhadap sejarah politik dan pelajaran mengenai stabilitas dan perubahan yang dapat ditarik dari situ. Bersamaan dengan itu, sejarah pranata dilihat dari ibu kota dan dari kecamata resmi. Jadi misalnya bagian “ekonomi” dari sejarah-sejarah dinasti dipusatkan kepada fungsi reguler pemerintahan. Bagian-bagian “geografi” berhubungan dengan apa yang sekarang kita namakan geografi administratif. Biografi kurang ada hubungannya dengan karakter individual dan lebih banyak menceritakan tentang pos-pos kepegawaian dan peranan sosialnya. Biografi biasaanya di kelompokkan manurut peranan sosial atau menurut suatu ukuran moral tertentu dan subyek-subyeknya menjadi contoh misalnya “materi yang setia”, “ahli kesusastraan”, “wanita berbudi”, “ pejabat yang tegas”, “mereka yang setia terhadap ppemerintah atau kaisar”.

Hanya sedikit perhatian yang diberikan kepada kelompok-kelompok yang berlawanan dengan kelompok literati, misalnya tokoh-tokoh militer, pedagang, orang kasim, wanita kesayangan kaisar, dan anggota keluarga permaisuri. Ketiga kelompok terakhir hanya disebut apabila mereka dianggap sebagai biang keladi kelemahan atau keruntuhan suatu dinasti.

Ada kecenderungan bahwa agama-agama murtad mendapat sedikit perhatian. Walaupun selam lebih dari 500 tahun (350-850) budhisme telah berakar dalam kebudayaan cina dan telah jadi kekuatan utama dalam pemekiran selama beberapa abad setelah itu, ia jarang disebut-sebut dalam sejarah resmi. Hanya ada satu

Bagian dalam sejarah resmi yang membahas budhisme dan tacisme. Pembicaraan tentang agama dan kemurtadan-kemurtadan biasanya sangat merendahkan dan menekankan kepada hal-hal yang tak layak. Pemberontakan-pemberontakan yang gagal sedikit mendapat perhatian dan apabila diuraikan, itu tak lebih dari pembicaraan mengenai tindakan-tindakan yang diambil untuk menindasnya. Kehidupan biasa dan kehidupan sehari-hari jarang dibicarakan secara terperinci, kecuali biasanya apabila ada bencana alam yang telah menimbulkan persoalan dalam cara mengatasinya. Atau suatu gerakan subversi terjadi di kalangan kaum tani yang tertindas.

Gambaran menyeluruh yang ada pada sejarah resmi dan yang disusun secara resmi berkecenderungan untuk memperkecil pertentangan, perbedaan kebudayaan antara satu daerah dengan daerah lainnya, pertentangan pendapat dan gejala-gejala lain yang dianggap oleh pandangan moderen barat justru paling penting dalam perkembangan kebudayaan cina. Akan tetapi kelemahan ini di imbangi dengan sifat yang sangat menyeluruh. Akan diperlukan 45 juta kata inggris untuk menerjemahkan 25 sejarah dinasti. Catatan-catatan sejarah yang sudah ada sejak abad ke 6 atau ke 7 masehi dapat diperiksa dan di bandingkan atau dilengkapi dengan sumber-sumber lengkap yang berasal dari penerbitan resmi atau pun perseorangan. Misalnya saja: catatan harian, catatan mengenai hal-hal yang khusus (memoar), kumpulan karangan, esai, syair, koleksi dokumen kuno, catatan perjalanan, dan aneka ragam sumber lainnya. Catatan-catatan kuno yang masih awet dan terhindar dari kemusnahan, terutama yang ditemukan di Tun- huang, melengkapi kita dengan bahan-bahan baku sejarah sebagai tambahan untuk di cocokkan dengan sejarah resmi, shih-lu atau “ catatan-catatan otentik” mengenai dua dinasti terakhir yang telah diawetkan memberi gambaran kepada kita mengenai catatan sehari-hari kerajaan dan pemerintahan dari tahun 1368 sampai 1912. Jadi, dengan menggunakan catatan-catatan yang beraneka ragam itu para sejarawan moderen akan dapat menyusun kembali bagian-bagian yang pokok dari masa lalu cina.

C. Metode sejarah

Metode yang dilakukan oleh para sejarawan cina dapat dibagi dua kelompok. Yang pertama adalah metode pencatatan kejadian-kejadian kontemporer. Yang lain adalah metode kompilasi berdasarkan urutan waktu dari catatan-catatan diatas. Para sejarawan istana mendapat tugas untuk setiap hari menulis segala peristiwa di istana, misalnya audensi, upacara, asul-usul yang diajukan kepada kaisar, keputusan kaisar, dan singkatan dari laporan- laporan berbagai daerah diluar ibu kota. Para tak resmi biasanya mencatat peristiwa-peristiwa yang dialaminya. Perjalanan, kehidupan keluarga atau kawan-kawan dekatnya. menjalankan kewajiban untuk mencatat, terutama oleh para sejarawan resmi merupakan suatu tugas yang khidmat, karena seorang sejarawan mempunyai tugas moral untuk mencatat dengan tepat apa yang terjadi tanpa takut atau pun karena ia menyukainya. Banyak contoh-contoh sejarawan yang memilih mati secara heroik daripada mengubah catatan yang berlainan dengan keadaan sesungguhnya.

Macam kedua adalah metode pengumpulan dan penyusunan (komplikasi). Dari masa ke masa para sejarawan istana mengedit dan mengambil intisari catatan sehari-hari serta menyusunnya berdasarkan urutan waktu. Kemudian mereka memasukkannya ke dalam periode dinasti (kuo-shih) ataupun ke dalam suatu pemerintahan (shih-lu). Catatan-catatan ini menjadi dasar untuk penyusunan bagian “daftar tahunan” (pen-chi) dari sejarah dinasti yang akan ditulis oleh para sejarawan pada masa pemerintahan dinasti berikutnya. Catatan kronologi dalam sejarah dinasti-dinasti itu lengkapi dengan macam-macam biografi yang berasal dari catatan- catatan resmi maupun tidak, dan dengan bagian-bagian terpisah yang disusun dari dokumen-dokumen resmi mengenai masalah tertentu. Misalnya: putusan kaisar tentang administrasi judikatif, upacara, masalah ekonomi, perdagangan, dan lain-lain. Prosedur penyusunannya berupa pemilihan beberapa bagian catatan secara integral serta menyusunnya dengan menambah kata ataupun kalimat perantara, biasanya dalam suatu kerangka kerja atau kronologis. Dengan demikian, sejarah-sejarah resmi merupakan hasil susunan, bukan dikarang dari materi-materi yang “segar”. Bisa dikatakan bahwa sebagian besar historiografi juga disusun semacam ini.

Dalam keseluruhan proses pencatatan dan penyusunan, si sejarawan dibatasi oleh macam-macam sikap dan kebiasaan yang sebagian besar berasal dari masa lalu. Pandangan dunia dan minat golongan elit cina membatasi pandangan si sejarawan. Moralitas confucianis juga jadi dasar pemikirannya dan membatasi pilhannya. Tambahan lagi dari sikap orang cina yang sangat menghormati kata-kata tertulis berarti bahwa ia memperlakukan dokumen dari masa lalu dengan hati-hati dan dengan penuh pertimbangan. Ia tidak akan merubah dokumen-dokumen itu walau sedikitpun. Apabila ada dua versi yang berlainan mengenai suatu peristiwa, maka ia akan memilih versi yang sesuai dengan bahan-bahan yang lain yang dipakainya serta menyisipkan secara integral ke dalam tulisannya. Pembicaraan mengenai perbedaan yang ada pada bukti-bukti muncul agak lambat dalam historiografi Cina. Kalau pun ada, maka hal itu ditempatkan pada bagian terpisah dari sejarah atau dimasukkan ke dalam suatu karya terpisah.

D. Modernisasi Historiografi

Sejak tahun 1949 dasar-dasar persoalan dan hasil penelitian sejarah telah diletakkan oleh pemerintah dan partai dengan berlandaskan kepada doktrin-doktrin Marxisme-Leninisme-Stalinisme dan Macisme. Sejarawan telah diperintahkan untuk mencatat, membuktikan dan bukan untuk menyelusuri atau mengajukan pertanyaan. Periode panjang sejak 770 SM telah ditetapkan sebagai masa “feodal” . ini merupakan suatu tahap yang harus ada dalam evolusi masyarakat menurut Marx. Satu-satunya hal yg di titik beratkan dalam periode panjang ini adalah penelitian tentang pemberontakan petani. Seperti dikatakan oleh Mao Tse Tung pun telah menentukan studi mengenai “benih-benih kapitalisme”, karena ia berpendapat bahwa Cina dengan sendirinya akan berkembang dari “feodalisme-kapitalisme” andai kata penyerbuan yang dilakukan oleh imperialisme asing tidak terjadi. Diskusi tentang tesis ini telah mengakibatkan polemik dan penerbitan dokumen-dokumen sejarah penting serta monograf-monograf yang berguna sejarah modern dari tahun 1840-1919 M dikuhuskan sebagai masa feodal dan masa kolonial. Banyak usaha dijalankan untuk mengdokumentasikan agresi imperialis dan memperiorisasikan masa ini ke dalam term-term”kontradiksinya” perubahan dalam cara berproduksi dan lain-lain. Pemusatan perhatian kepada faktor-faktto umum yang menentukan dalam Marxisme dengan cara membuang masa lalu Cina yang punya ciri tersendiri telah menimbulkan konflik nasionalisme RRC. Akhi-akhir ini ada usaha untuk menyelidiki kembali tokoh-tokohmenjadi kunci dalam sejarah daripada membatasi diri pada pemberontakan petani dan kekuatan-kekuatan sosial yang tidak manusiawi. Ini paling tidak merupakan suatu langkah kearah pembentukan kembali sejarah cina yang tersendiri. Pada umumnya, alasan-alasan dokmatik telah mengakjibatkan studi sejarah sejak tahun 1949 di Cina jadi steril, ditahun 1957 seorang sejarawan terkenal dari Peking malah mengatakan bahwa mereka telah membawa historiografi ke tepi kematian.

Di Taiwan, pemerintah membentuk kembali academia simica denga lembaga sejarah dan filologi yang sudah ada sejak dulu, dan lembaga sejarah modern yang merupakan badan baru. Unversitas nasional Taiewan mempunyai fakultas sejarah seperti juga perguruan tinggi lainnya di pulau itu. Banyak koleksi buku yang jarang di dapat, bahan-bahan arkeologis, arsip pemerintahan, dan karya seni di angkut dari daratan. Telah banyak publikasi yang dikeluarkan secara tetap mengenai koleksi dokumenter, terutama mengenai sejarah abad ke 19 dan permulaan abad ke 20. Beberapa terbitan berseri terdahulu dari academia sinica dicetak kembali, dan terbitan yang berupa monograf-monograf sejarah cukup banyak. Akan tetapi, masyarakat sejarah di Taiwan sangat kecil dan terbatas. Para sejarawan sangat peka terhadap suasana keterasingan dan udara pembatasan yang dilakukan pemerintah di sekeliling mereka. Tidaklah mengherankan apabila tak ada karya besar semacam perpaduan (sintesis) dan interpretasi muncul di Taiwan.

Masa ini merupakan salah satu titik terendah dalam sejarah panjang historiografi cina. Dalam pada itu, para sarjana di jepang, Eropa, dan Amerika banyak di antaranya kelahiran Cina berada dalam kedudukan untuk mendorong suatu suasana kebebasan yang menuju pengertian baru masa lalu Cina.





"KH. Ahmad Dahlan" Pembaharu Pemikiran Islam Indonesia



By Sakinah Mahtupanis & Rosmida Rauf
Pada tahun 1883, di umur yang ke 15 sosok pria yang Bernama Muhammad Darwiys yang tidak lain adalah KH. Ahmad Dahlan, terpengaruh dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam dunia Islam, seperti Muhammad Abduh, al-Afghani, Rasyid Ridha, dan ibn Taimiyah. Buah dari pemikiran tokoh-tokoh Islam ini mempunyai pengaruh yang besar pada Darwisy. Jiwa dan pemikirannya penuh disemangati oleh aliran pembaharuan ini yang kelak kemudian hari menampilkan corak keagamaan yang sama, yaitu melalui Muhammadiyah, yang bertujuan untuk memperbaharui pemahaman keagamaan (ke-Islaman) di sebagian besar dunia Islam saat itu yang masih bersifat ortodoks (kolot). Ortodoksi ini dipandang menimbulkan kebekuan ajaran Islam, serta stagnasi dan dekadensi (keterbelakangan) ummat Islam. Oleh karena itu, pemahaman keagamaan yang statis ini harus dirubah dan diperbaharui, dengan gerakan purifikasi atau pemurnian ajaran Islam dengan kembali kepada al-Qur'an dan al-Hadits.

Sebagai seorang yang sangat hati-hati dalam kehidupan sehari-harinya, ada sebuah nasehat yang ditulisnya dalam bahasa Arab untuk dirinya sendiri, yaitu :

"Wahai Dahlan, sungguh di depanmu ada bahaya besar dan peristiwa-peristiwa yang akan mengejutkan engkau, yang pasti harus engkau lewati. Mungkin engkau mampu melewatinya dengan selamat, tetapi mungkin juga engkau akan binasa karenanya. Wahai Dahlan, coba engkau bayangkan seolah-olah engkau berada seorang diri bersama Allah, sedangkan engkau menghadapi kematian, pengadilan, hisab, surga, dan neraka. Dan dari sekalian yang engkau hadapi itu, renungkanlah yang terdekat kepadamu, dan tinggalkanlah lainnya (diterjemahkan oleh Djarnawi Hadikusumo).

Dari pesan itu tersirat sebuah semangat yang besar tentang kehidupan akhirat. Dan untuk mencapai kehidupan akhirat yang baik, maka Dahlan berpikir bahwa setiap orang harus mencari bekal untuk kehidupan akhirat itu dengan memperbanyak ibadah, amal saleh, menyiarkan dan membela agama Allah, serta memimpin ummat ke jalan yang benar dan membimbing mereka pada amal dan perjuangan menegakkan kalimah Allah. Dengan demikian, untuk mencari bekal mencapai kehidupan akhirat yang baik harus mempunyai kesadaran kolektif, artinya bahwa upaya-upaya tersebut harus diserukan (dakwah) kepada seluruh ummat manusia melalui upaya-upaya yang sistematis dan kolektif.

Kesadaran seperti itulah yang menyebabkan Dahlan sangat merasakan kemunduran ummat islam di tanah air. Hal ini merisaukan hatinya. Ia merasa bertanggung jawab untuk membangunkan, menggerakkan dan memajukan mereka. Dahlan sadar bahwa kewajiban itu tidak mungkin dilaksanakan seorang diri, tetapi harus dilaksanakan oleh beberapa orang yang diatur secara seksama. Kerjasama antara beberapa orang itu tidak mungkin tanpa organisasi.

maka Dahlan gigih membina angkatan muda untuk turut bersama-sama melaksanakan upaya dakwah tersebut, dan juga untuk meneruskan dan melangsungkan cita-citanya membangun dan memajukan bangsa ini dengan membangkitkan kesadaran akan ketertindasan dan ketertinggalan ummat Islam di Indonesia.

A. Biografi KH. Ahmad Dahlan

Muhammad Darwisy (Nama Kecil Kyai Haji Ahmad Dahlan), Beliau adalah pendiri Muhammadiyah. Beliau adalah putera keempat dari tujuh bersaudara. Bapaknya bernama K.H. Abu Bakar. K.H. Abu Bakar adalah seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogjakarta pada masa itu. Ibu dari K.H. Ahmad Dahlan adalah puteri dari H. Ibrahim yang juga menjabat sebagai penghulu Kasultanan Yogyakarta pada masa itu. K.H. Ahmad Dahlan meninggal dunia di Yogyakarta, tanggal 23 Februari 1923. Beliau juga dikenal sebagai seorang Pahlawan Nasional Indonesia.

Nama kecil K.H. Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwisy. Ia merupakan anak keempat dari tujuh orang bersaudara yang keseluruhanya saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya. Dalam silsilah ia termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, seorang wali besar dan seorang yang terkemuka diantara Walisongo, yang merupakan pelopor pertama dari penyebaran dan pengembangan Islam di Tanah Jawa. Adapun silsilahnya ialah Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan) bin KH. Abu Bakar bin KH. Muhammad Sulaiman bin Kyai Murtadla bin Kyai Ilyas bin Demang Djurung Djuru Kapindo bin Demang Djurung Djuru Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom) bin Maulana Muhammad Fadlullah (Prapen) bin Maulana ‘Ainul Yaqin bin Maulana Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim.

Pada umur 15 tahun, beliau pergi haji dan tinggal di Makkah selama lima tahun. Pada periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun 1888, beliau berganti nama menjadi Ahmad Dahlan. Pada tahun 1903, beliau bertolak kembali ke Makkah dan menetap selama dua tahun. Pada masa ini, beliau sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, K.H. Hasyim Asyari. Pada tahun 1912, ia mendirikan Muhammadiyah di kampung Kauman, Yogyakarta.

Sepulang dari Makkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah (Kutojo dan Safwan, 1991). Disamping itu KH. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. la juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari perkawinannya dengan Ibu Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah. Beliau pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta. Beliau dimakamkan di Karang Kajen, Yogyakarta.

B. Proses Terbentuknya Organisasi Muhammadiyah

Bulan Dzulhijjah (8 Dzulhijjah 1330 H) atau November (18 November 1912 M) merupakan momentum penting lahirnya Muhammadiyah. Itulah kelahiran sebuah gerakan Islam modernis terbesar di Indonesia, yang melakukan perintisan atau kepeloporan pemurnian sekaligus pembaruan Islam di negeri berpenduduk terbesar muslim di dunia. Sebuah gerakan yang didirikan oleh seorang kyai alim, cerdas, dan berjiwa pembaru, yakni Kyai Haji Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis dari kota santri Kauman Yogyakarta.

Kata ”Muhammadiyah” secara bahasa berarti ”pengikut Nabi Muhammad”. Penggunaan kata ”Muhammadiyah” dimaksudkan untuk menisbahkan (menghubungkan) dengan ajaran dan jejak perjuangan Nabi Muhammad. Penisbahan nama tersebut menurut H. Djarnawi Hadikusuma mengandung pengertian sebagai berikut: ”Dengan nama itu dia bermaksud untuk menjelaskan bahwa pendukung organisasi itu ialah umat Muhammad, dan asasnya adalah ajaran Nabi Muhammad saw, yaitu Islam. Dan tujuannya ialah memahami dan melaksanakan agama Islam sebagai yang memang ajaran yang serta dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw, agar supaya dapat menjalani kehidupan dunia sepanjang kemauan agama Islam. Dengan demikian ajaran Islam yang suci dan benar itu dapat memberi nafas bagi kemajuan umat Islam dan bangsa Indonesia pada umumnya.”

Kelahiran dan keberadaan Muhammadiyah pada awal berdirinya tidak lepas dan merupakan menifestasi dari gagasan pemikiran dan amal perjuangan Kyai Haji Ahmad Dahlan (Muhammad Darwis) yang menjadi pendirinya. Setelah menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci dan bermukim yang kedua kalinya pada tahun 1903, Kyai Dahlan mulai menyemaikan benih pembaruan di Tanah Air. Gagasan pembaruan itu diperoleh Kyai Dahlan setelah berguru kepada ulama-ulama Indonesia yang bermukim di Mekkah seperti Syeikh Ahmad Khatib dari Minangkabau, Kyai Nawawi dari Banten, Kyai Mas Abdullah dari Surabaya, dan Kyai Fakih dari Maskumambang; juga setelah membaca pemikiran-pemikiran para pembaru Islam seperti Ibn Taimiyah, Muhammad bin Abdil Wahhab, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha. Dengan modal kecerdasan dirinya serta interaksi selama bermukim di Saudi Arabia dan bacaan atas karya-karya para pembaru pemikiran Islam itu telah menanamkan benih ide-ide pembaruan dalam diri Kyai Dahlan. Jadi sekembalinya dari Arab Saudi, Kyai Dahlan justru membawa ide dan gerakan pembaruan, bukan malah menjadi konservatif.

Gagasan untuk mendirikan organisasi Muhammadiyah tersebut selain untuk mengaktualisasikan pikiran-pikiran pembaruan Kyai Dahlan, menurut Adaby Darban (2000: 13) secara praktis-organisatoris untuk mewadahi dan memayungi sekolah Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah, yang didirikannya pada 1 Desember 1911. Sekolah tersebut merupakan rintisan lanjutan dari ”sekolah” (kegiatan Kyai Dahlan dalam menjelaskan ajaran Islam) yang dikembangkan Kyai Dahlan secara informal dalam memberikan pelajaran yang mengandung ilmu agama Islam dan pengetahuan umum di beranda rumahnya. Dalam tulisan Djarnawi Hadikusuma yang didirikan pada tahun 1911 di kampung Kauman Yogyakarta tersebut, merupakan ”Sekolah Muhammadiyah”, yakni sebuah sekolah agama, yang tidak diselenggarakan di surau seperti pada umumnya kegiatan umat Islam waktu itu, tetapi bertempat di dalam sebuah gedung milik ayah Kyai Dahlan, dengan menggunakan meja dan papan tulis, yang mengajarkan agama dengan dengan cara baru, juga diajarkan ilmu-ilmu umum.

Maka pada tanggal 18 November 1912 Miladiyah bertepatan dengan 8 Dzulhijah 1330 Hijriyah di Yogyakarta akhirnya didirikanlah sebuah organisasi yang bernama ”MUHAMMADIYAH”. Organisasi baru ini diajukan pengesahannya pada tanggal 20 Desember 1912 dengan mengirim ”Statuten Muhammadiyah” (Anggaran Dasar Muhammadiyah yang pertama, tahun 1912), yang kemudian baru disahkan oleh Gubernur Jenderal Belanda pada 22 Agustus 1914. Dalam ”Statuten Muhammadiyah” yang pertama itu, tanggal resmi yang diajukan ialah tanggal Miladiyah yaitu 18 November 1912, tidak mencantumkan tanggal Hijriyah. Dalam artikel 1 dinyatakan, ”Perhimpunan itu ditentukan buat 29 tahun lamanya, mulai 18 November 1912. Namanya ”Muhammadiyah” dan tempatnya di Yogyakarta”.

Dalam pandangan Djarnawi Hadikusuma, kata-kata yang sederhana tersebut mengandung arti yang sangat dalam dan luas. Yaitu, ketika umat Islam sedang dalam kelemahan dan kemunduran akibat tidak mengerti kepada ajaran Islam yang sesungguhnya, maka Muhammadiyah mengungkap dan mengetengahkan ajaran Islam yang murni itu serta menganjurkan kepada umat Islam pada umumnya untuk mempelajarinya, dan kepada para ulama untuk mengajarkannya, dalam suasana yang maju dan menggembirakan.

Kelahiran Muhammadiyah sebagaimana digambarkan itu melekat dengan sikap, pemikiran, dan langkah Kyai Dahlan sebagai pendirinya, yang mampu memadukan paham Islam yang ingin kembali pada Al-Quran dan Sunnah Nabi dengan orientasi tajdid (pembaharuan) yang membuka pintu ijtihad untuk kemajuan, sehingga memberi karakter yang khas dari kelahiran dan perkembangan Muhammadiyah di kemudian hari. Kyai Dahlan, sebagaimana para pembaru Islam lainnya, tetapi dengan tipikal yang khas, memiliki cita-cita membebaskan umat Islam dari keterbelakangan dan membangun kehidupan yang berkemajuan melalui tajdid (pembaruan) yang meliputi aspek-aspek tauhid (‘aqidah), ibadah, mu’amalah, dan pemahaman terhadap ajaran Islam dan kehidupan umat Islam, dengan mengembalikan kepada sumbernya yang asli yakni Al-Quran dan Sunnah Nabi yang Shahih, dengan membuka ijtihad.

Kyai Dahlan dengan Muhammadiyah yang didirikannya, menurut Djarnawi Hadikusuma telah menampilkan Islam sebagai ”sistem kehidupan manusia dalam segala seginya”. Artinya, secara Muhammadiyah bukan hanya memandang ajaran Islam sebagai aqidah dan ibadah semata, tetapi merupakan suatu keseluruhan yang menyangkut akhlak dan mu’amalat dunyawiyah. Selain itu, aspek aqidah dan ibadah pun harus teraktualisasi dalam akhlak dan mu’amalah, sehingga Islam benar-benar mewujud dalam kenyataan hidup para pemeluknya. Karena itu, Muhammadiyah memulai gerakannya dengan meluruskan dan memperluas paham Islam untuk diamalkan dalam sistem kehidupan yang nyata.

Kyai Dahlan dalam mengajarkan Islam sungguh sangat mendalam, luas, kritis, dan cerdas. Menurut Kyai Dahlan, orang Islam itu harus mencari kebenaran yang sejati, berpikir mana yang benar dan yang salah, tidak taklid dan fanatik buta dalam kebenaran sendiri, menimbang-nimbang dan menggunakan akal pikirannya tentang hakikat kehiduupan, dan mau berpikir teoritik dan sekaligus beripiki praktik. Kyai Dahlan tidak ingin umat Islam taklid (ikut2an tnpa dsar) dalam beragama, juga tertinggal dalam kemajuan hidup. Karena itu memahami Islam haruslah sampai ke akarnya, ke hal-hal yang sejati atau hakiki dengan mengerahkan seluruh kekuatan akal piran dan ijtihad (usaha yg b’sungguh unt mncapai tujuan yg benar).

Kelahiran Muhammadiyah dengan gagasan-gagasan cerdas dan pembaruan dari pendirinya, Kyai Haji Ahmad Dahlan, didorong oleh dan atas pergumulannya dalam menghadapi kenyataan hidup umat Islam dan masyarakat Indonesia kala itu, yang juga menjadi tantangan untuk dihadapi dan dipecahkan. Adapun faktor-faktor yang menjadi pendorong lahirnya Muhammadiyah ialah antara lain:
Umat Islam tidak memegang teguh tuntunan Al-Quran dan Sunnah Nabi, sehingga menyebabkan merajalelanya syirik, bid’ah, dan khurafat, yang mengakibatkan umat Islam tidak merupakan golongan yang terhormat dalam masyarakat, demikian pula agama Islam tidak memancarkan sinar kemurniannya lagi;
Ketiadaan persatuan dan kesatuan di antara umat Islam, akibat dari tidak tegaknya ukhuwah Islamiyah serta ketiadaan suatu organisasi yang kuat;
Kegagalan dari sebagian lembaga-lembaga pendidikan Islam dalam memprodusir kader-kader Islam, karena tidak lagi dapat memenuhi tuntutan zaman;
Umat Islam kebanyakan hidup dalam alam fanatisme yang sempit, bertaklid buta serta berpikir secara dogmatis, berada dalam konservatisme, formalisme, dan tradisionalisme;
dan Karena keinsyafan akan bahaya yang mengancam kehidupan dan pengaruh agama Islam, serta berhubung dengan kegiatan misi dan zending Kristen di Indonesia yang semakin menanamkan pengaruhnya di kalangan rakyat.

Karena itu, jika disimpulkan, bahwa berdirinya Muhammadiyah adalah karena alasan-alasan dan tujuan-tujuan sebagai berikut:

  1. Membersihkan Islam di Indonesia dari pengaruh dan kebiasaan yang bukan Islam. Cntohnya: mengadakan pesta minuman keras, main judi, panco apabila ad raja2 yg meninggal di istana. Lalu memotong kerbau.
  2. Reformulasi doktrin Islam dengan pandangan alam pikiran modern
  3. Reformulasi ajaran dan pendidikan Islam; dan
  4. Mempertahankan Islam dari pengaruh dan serangan luar



C. Gagasan Pemikiran KH. Ahmad Dahlan  Pembaruan & Pemurnian              Islam

Formalitas beragama adalah fokus utama yang ingin didekonstruksi oleh Kyai Dahlan. Ide pembaharuannya menyangkut akidah dan syariat, misalnya tentang upacara ritual kematian, upacara perkawinan, kehamilan, sunatan, berziarah ke kuburan keramat, memberikan sesajen kepada hal yang dianggap keramat dan sebagainya. Menurut Kyai Dahlan, hal-hal tersebut bertentangan dengan Islam dan dapat menimbulkan perbuatan syirik dan musyrik. Kyai Dahlan juga berupaya menegakkan ajaran Islam sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadist, berusaha mengedepankan ijtihad jika ada hal yang tidak dapat dalam Al-Qur’an maupun Hadist serta berusaha menghilangkan taqlid (pendapat ulama terdahulu tanpa ada dasarnya) dalam fiqih dan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.

  • Pembaharuan Lewat Politik 

Sebelum Muhammadiyah berdiri, Kiai Ahmad Dahlan telah melakukan berbagai kegiatan keagamaan dan dakwah. Tahun 1906, Kiai diangkat sebagai khatib Masjid Besar Yogyakarta dengan gelar Katib Amin oleh Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat dalam usianya yang relatif muda sekitar 28 tahun, ketika ayahanda Kyai mulai uzur dari jabatan serupa. Satu tahun kemudian (1907) Kiai memelopori Musyawarah Alim Ulama. Dalam rapat pertama beliau menyampaikan arah kiblat Masjid Besar kurang tepat.

Tahun 1922 Kiai membentuk Badan Musyawarah Ulama. Tujuan badan itu ialah mempersatukan ulama di seluruh Hindia Belanda dan merumuskan berbagai kaidah hukum Islam sebagai pedoman pengamalan Islam khususnya bagi warga Muhammadiyah. Badan Musyawarah ini diketuai RH Moehammad Kamaludiningrat, penghulu Kraton. Meskipun pernah berbeda pendapat, Moehammad Kamaludiningrat ini yang mendorong para pimpinan Muhammadiyah kemudian membentuk Majelis Tarjih (1927). Majelis ini diketuai Kiai Mas Mansur. Dengan tujuan dakwah agar manusia berfikir dan tertarik pada kebagusan Islam melalui pembuktian jalan kepandaian dan ilmu.

Tahun 1909, Kiai Ahmad Dahlan bergabung dengan Boedi Oetomo. Tujuannya selain sebagai wadah semangat kebangsaan, juga untuk memperlancar aktivitas dakwah dan pendidikan Islam yang dilakukannya. Ketika Muhammadiyah terbentuk, bahkan 7 orang pengurusnya menyusul bergabung dengan Boedi Oetomo. Hubungan Muhammadiyah dengan Boedi Oetomo sangat erat, sehingga Kongres Boedi Oetomo tahun 1917 diselenggarakan di rumah Kiai Ahmad Dahlan.

Di sisi lain Dr. Soetomo pendiri Boedi Oetomo juga banyak terlibat dalam kegiatan-kegiatan Muhammadiyah dan menjadi Penasehat (Adviseur Besar) Muhammadiyah. Dalam Kongres Muhammadiyah ke-26 (Surabaya), Dr.Soetomo memberikan ceramah (khutbah) dengan tema Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO). Khutbah ini yang mendorong lahirnya PKO dengan rumah sakit dan panti asuhannya kemudian. Dr.Soetomo pun membantu memperlancar pengesahan berdirinya Muhammadiyah, tiga tahun setelah berdirinya.

Untuk mengetahui informasi perkembangan pemikiran di Timur Tengah Ahmad Dahlan menjalin hubungan intensif melalui Jami’at Khair dan masuk menjadi anggotanya pada tahun 1910. Ketika Syarikat Islam berdiri, Ahmad Dahlan pun ikut serta menjadi anggota.

Rupannya dengan masuknya Ahmad Dahlan pada semua organisasi tersebut di atas dakwahnya semakin meluas dan mendapat respon positif dan di dukung oleh kalangan modernis dan perkotaan. Dari sinilah Ahmad Dahlan mendapat masukan dari berbagai pihak, yang akhirnya pada tanggal 18 November 1912 Ahmad Dahlan mendirikan wadah gerakan bagi pikirannya yaitu “Muhammadiyah”
  •  Pembaharuan Lewat Pendidikan 
Tak kalah penting dalam pembicaraan kita tentang Kyai Dahlan adalah semangatnya sebagai seorang pendidik. Beliau begitu intens mengkritik dualisme pendidikan pada masanya. Pandangan muslim tradisional terhadap pendidikan terlalu menitikberatkan pada aspek spiritual dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini terlihat dari lembaga pendidikannya yaitu pesantren. Pesantren lebih mengembangkan ilmu agama dibanding ilmu pengetahuan sehingga menyebabkan kemunduran pada dunia Islam karena umat Islam hanya memikirkan masalah akhirat dan menimbulkan sikap pasrah.

Begitu pun dengan sistem pendidikan kolonial. Dilihat dari metode pengajaran dan alat-alat pendidikannya, memang terbilang banyak sekali manfaat dan kemajuan yang bisa diraih siswa dari pendidikan kolonial ini. hanya saja, dalam sekolah kolonial tidak terdapat pelajaran tentang agama, khususnya Islam. Hal ini menyebabkan siswa cakap secara intelektual namun lemah karakter dan moralitasnya. Karena itulah Kyai Dahlan memandang penting persoalan sinergi antara ilmu umum dan agama. Karena itulah institusi pendidikan Muhammadiyah tidak memberlakukan pemisahan antara ilmu umum dan agama.

Sekolah Muhammadiyah yang pertama telah berdiri satu tahun sebelum Muhammadiyah sebagai organisasi berdiri. Pada tahun 1911 Kyai Dahlan mendirikan sebuah madrasah di rumahnya yang diharapkan bisa memenuhi kebutuhan kaum muslim terhadap pendidikan agama dan pada saat yang sama memberikan mata pelajaran umum. Di sekolah itu, pendidikan agama diberikan oleh Kyai Dahlan sendiri dan pelajaran umum diajarkan oleh seorang anggota Budi Utomo yang juga guru di sekolah pemerintah.

Ketika sekolah ini dibuka hanya ada 9 murid yang mendaftar. Hal itu membuktikan bahwa umat Islam belum memandang pentingnya ilmu pengetahuan umum dan agama. Respon tersebut tidak mematahkan semangat Kyai Dahlan. Ia tidak segan-segan mendatangi anak-anak sampai ke rumahnya untuk mengajak mereka masuk sekolah. Kyai Dahlan juga memberikan perhatian khusus pada pendidikan anak-anak perempuan. Karena bila anak laki-laki maju, anak perempuan terbelakang maka terjadi kepincangan. Pada tahun 1918 didirikan sekolah Aisyiyah. Suatu pertanda bahwa pemikiran emansipasi pendidikan juga menjadi perhatian Kyai Dahlan.

Sinergi antara ilmu umum dan agama juga merupakan tanda bahwa Kyai Dahlan sangat menyadari pentingnya pembangunan kepribadian sebagai salah satu tujuan pendidikan. Entah disadari atau tidak, upaya Kyai Dahlan menyinergikan antara ilmu umum dan agama ini merupakan sebuah antitesis terhadap Prof. Snouck Hurgronje. Inilah sebab mengapa pemikiran Kyai Dahlan di bidang pendidikan merupakan sebuah terobosan yang membawa dampak besar bagi umat. Lebih jauh kedepan, dapat kita lihat hasilnya dengan munculnya kader-kader Muhammadiyah yang turut mewarnai dunia politik dengan membawa identitas ke-Islamannya.

KEPUSTAKAAN
Anshoriy, Nasruddin. 2010. Matahari Pembaruan; Rekam Jejak KH Ahmad Dahlan. Yogyakarta: Jogja Bangkit Publisher.

Damimi, Mohammad. 2000. Akar Gerakan Muhammadiyah. Yogyakarta: Penerbit Fajar Pustaka Baru.

Hitti, Philip K. 2006. History of the Arabs (terj. R. Cecep Lukman Yasin & Dedi Slamet Riyadi). Jakarta: Penerbit Serambi.

Mulkhan, Abdul Munir. 2000. Islam Murni dalam Masyarakat Petani. Yogyakarta: Penerbit Yayasan Bentang Budaya.

Nata, Abuddin. 2005. Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press.

Noer, Deliar. 1996. Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: Penerbit Pustaka LP3ES.

Syuja’. 2009. Islam Berkemajuan; Kisah Perjuangan KH Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah Masa Awal. Tangerang: Penerbit Al-Wasath.

Taufik, Akhmad dkk. 2005. Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam. Jakarta: Rajawali Press.

Monday 15 October 2012

Organisasi Sosial Keagamaan dalam Perkembangan Islam di Indonesia


A. Latar Belakang

Masyarakat Indonesia dewasa ini merupakan masyarakat peralihan yang mengalami transformasi sosial, politik ekonomi dan budaya yang cepat serta memperoleh pengaruh dari dunia luar secara intens, industrialisasi, urbanisasi, sekulerisasi, polarisasi masyarakat Indonesia yang cendrung menjadi berbagai kelas merupakan proses yang terus berjalan dengan segala macam implikasinya. Dalm kontekes perubahan atau pembaharuan inilah organisasi islam yang berkembang dalam bidang agama dan politik yang banyak di bahas di kalangan masayarakat luas, dan juga di makalah ini terdapat empat organisasi islam yang berkembang di Indonesia yang berkenaan dengan masalah keagamaan dan politik dari prasejarah hinga hingga pembaharuan keislamannya.

Ajaran Islam seakan menjadi belenggu yang semakin membenamkan umatnya kepada situasi yang tidak berharga dan tidak berdaya, disisi lain kelompok masyarakat yang terdidik menjadi alergi dengan Islam dan kaum muslim karena dianggap sebagai sumber keterbelakangan masyarakat dan tidak bisa dijadikan jalan untuk membangun masa depan yang lebih baik.

Sebagaimana tercermin dalam profil pendiri organisasi keagamaan ini hadir sebagai pendobrak yang di inspirasikan oleh gerakan pembaharuan islam di dunia internasional yang ditokohi jamaludin Al-afgani, Muhammad abduh, Rasyid Ridho dan lain-lain, organisasi-organisasi ini bergerak menggali nilai-nilai islam yang benar dan universal sebagai petunjuk hidup dan kehidupan. Kemudian berkembang dalam arah gerakan modernis, sebagai avan grade masyarakat Indonesia yang sedang bangkit dari tidur panjang selama tiga setengah abad di bawah kolonialisme, sejalan dengan logika modernisme secera akumulatif berkembang menjadi jaringan organisasi besar dengan amal usaha yang makin meningkat dalam jumlah dan ragamnya.

PEMBAHASAN

Organisasi Islam di Indonesia merupakan sebuah fenomena yang menarik untuk dipelajari, mengingat bahwa organisasi Islam merupakan representasi dari umat Islam yang menjadi mayoritas di Indonesia. Hal ini menjadikan organisasi Islam menjadi sebuah kekuatan sosial maupun politik yang diperhitungkan dalam pentas politik di Indonesia. Dari aspek kesejarahan, dapat ditangkap bahwa kehadiran organisasi-organisasi Islam baik itu yang bergerak dalam bidang politik maupun organisasi sosial membawa sebuah pembaruan bagi bangsa, seperti kelahiran Serikat Islam sebagai cikal bakal terbentuknya organisasi politik, Muhammadiyah, NU (Nahdlatul Ulama), Serikat Dagang, dan lain-lainnya pada masa prakemerdekaan membangkitkan sebuah semangat pembaruan yang begitu mendasar di tengah masyarakat.

Organisasi keagamaan Islam merupakan kelompok organisasi yang terbesar jumlahnya, baik yang memiliki skala nasional maupun yang bersifat lokal saja. Tidak kurang dari 40 buah organisasi keagamaan Islam yang berskala nasional memiliki cabang-cabang organisasinya di ibukota propinsi maupun ibukota kabupaten/kotamadya, seperti : Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Sarikat Islam (SI), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI), Majelis Ulama Indonesia (MUI), Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan Islam (GUPPI), Majelis Da’wah Islamiyah (MDI), Dewan Mesjid Indonesia (DMI), Ikatan Cendekiawan Muslim se Indonesia (ICMI), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Aisyiah, Muslimat NU, dan sebagainya. Sedangkan organisasi keagamaan Islam yang bersifat lokal pada umumnya bergerak di bidang da’wah dan pendidikan seperti: Majelis Ta’lim, Yayasan Pendidikan Islam, Yayasan Yatim Piatu, Lembaga-Lembaga Da’wah Lokal, dan sebagainya.

A. Muhammadiyah

Ketika Muhammadiyah didirikan oleh KH, Ahmad Dahlan pada tahun 1912, umat Islam sedang dalam kondisi yang sangat terpuruk, Bersama seluruh bangsa Indonesia, mereka terbelakang dengan tingkat pendidikan yang sangat rendah kemakmuran dan ekonomi yang parah serta kemampuan politis yang tidak berdaya. Lebih memperhatinkan lagi identitas keislaman merupakan salah satu poin negatif kehidupan umat, Islam waktu itu identik dengan profil kaum santri yang selalu mengurusi kehidupan akhirat sementara tidak tahu dan tidak mau tahu dengan perkembangan zaman, Sementara lembaga organisasi keagamaan juga masih berkelut dengan urusan yang tidak banyak bersentuh dengan dinamika realitas sosial apalagi berusaha untuk memajukan.

Ada dua arah perkembangan Muhammadiyah dalam kerangka kemodernanya, yaitu yang pertama pertumbuhan dan kemajuan ide tentang pertumbuhan (growth) dan kemajuan (progress) merupakan dua kata kunci utama kebudayaan modern yang menggambarkan akumulasi jumlah quantity dan peningkatan keragaman diversity.Keduanya merupakan rumusan atau turunan dari ciri utama modernisme dan materialisme Muhammadiyah mencoba menyuntikkan nilai-nilai materialisme kedalam masyarakat yang telah keropos karena mengaggap kehidupan materi duniawi tidak memiliki nilai-nilai secara religius.

Arah perkembangan kedua adalah sistematisasi, yang merupakan rumusan turunaan dari prinsip modernisme, sistematisasi ini tidak mengarah organisasional dengan dibentuknya berbagai majelis dan organisasi otonom melainkan juga dalam kehidupan beragama, mulai di bentuk lembaga untuk mensisitematisir pemahaman, pemikiran dan pelaksanaan peribadatan yaitu majelis tarjih dan hasilnya disistematisir dalam sebuah manual himpunan putusan tarjih, kedua trobosan tersebut, pertumbuhan, perkembangan, kemajuan dan upaya membangun masyarakat umat islam dari masyarakat bodoh, miskin terbelakang dan terjajah hinga menjadi masyarakat yang mandiri, makmur dan berpendidikan. (Abdul Munir Mulkhan. 1990, hal; 1-2) Dua arah perkembangan tersebut di jadikan oleh organisasi Muhammadiyah dalam kerangka modernisasi dan sistematisasi itu merupakan rumusan untuk memajukan agama islam yang murni menurut Al-Qur’an dan sunnah rasul.

B. PERSIS (PERSATUAN ISLAM)

Sebagai organisasi yang berlebel Modernis lahirnya persatuan Islam di telah memberi warna baru bagi sejarah peradaban islam di Indonesia, persis yang lahir pada abad ke-20 merupakan respon terhadap kerakter keberagaman masyarakat islam di Indonesia yang cendrung sinkretik, akibat pengaruh prilaku keberagaman masyarakat, Indonesia sebelum kedatangan islam praktik-2 sinkretisme ini telah berkembang subur, akibat sikap akomodatif para penyebar islam di Indonesia terhadap adat-istidat yang sebelumnya telah mapan. Meskipun tidak dapat di pungkiri, bahwa keberhasilan penyeberan islam juga tidak lepas dari sikap akomodatif. Bagi PERSIS, praktik sinkretisme merupakan kesesatan yang tidak boleh dibiarkan berkembang dan harus segera dihapus karena bias merusak sendi-sendi fundamental agama islam.

Hal lain yang mejadi sasaran reformasi yang dilakukan persis adalah kejumudan berfikir yang dialami oleh sebagian besar umat islam Indonesia akibat taklid buta yamg mereka lakukan dalam menjalankan syari’at agama. Sebagai mana diketahui, bahwa praktik peribadatan masyarakat Indonesia pada umumnya didasarkan pada hasil rumusan para imam mazhab 800 tahun silam, Mereka beranggapan bahwa, hasil ijtihad para imam mazhab tesebut merupakan keputusan terbaik dan harus di ikuti apa adanya.

C. Sarekat Islam (SI)

Pada tahun 1912, oleh pimpinannya yang baru Haji Oemar Said Tjokroaminoto, nama SDI diubah menjadi Sarekat Islam (SI). Hal ini dilakukan agar organisasi tidak hanya bergerak dalam bidang ekonomi, tapi juga dalam bidang lain seperti politik. Jika ditinjau dari anggaran dasarnya, dapat disimpulkan tujuan SI adalah sebagai berikut:

1. Mengembangkan jiwa dagang.

2. Membantu anggota-anggota yang mengalami kesulitan dalam bidang usaha.

3. Memajukan pengajaran dan semua usaha yang mempercepat naiknya derajat rakyat.

4. Memperbaiki pendapat-pendapat yang keliru mengenai agama Islam.

5. Hidup menurut perintah agama.

SI tidak membatasi keanggotaannya hanya untuk masyarakat Jawa dan Madura saja. Tujuan SI adalah membangun persaudaraan, persahabatan dan tolong-menolong di antara muslim dan mengembangkan perekonomian rakyat. Keanggotaan SI terbuka untuk semua lapisan masyarakat muslim. Pada waktu SI mengajukan diri sebagai Badan Hukum, awalnya Gubernur Jendral Idenburg menolak. Badan Hukum hanya diberikan pada SI lokal. Walaupun dalam anggaran dasarnya tidak terlihat adanya unsur politik, tapi dalam kegiatannya SI menaruh perhatian besar terhadap unsur-unsur politik dan menentang ketidakadilan serta penindasan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial. Artinya SI memiliki jumlah anggota yang banyak sehingga menimbulkan kekhawatiran pemerintah Belanda.

Seiring dengan perubahan waktu, akhirnya SI pusat diberi pengakuan sebagai Badan Hukum pada bulan Maret tahun 1916. Setelah pemerintah memperbolehkan berdirinya partai politik, SI berubah menjadi partai politik dan mengirimkan wakilnya ke Volksraad tahun 1917.

D. Nahdatul Ulama (NU)

Nahdatul ulama (NU) lahir pada tanggal 31 januari 1926 di Surabaya, organisasi ini di prakarsai oleh sejumlah ulama terkemuka, yang artinya kebangkitan para ulam, NU didirikan untuk menampung gagasan keagamaan para ulama tradisional, atau sebagai reaksi atas prestasi ideologi gerakan modernisme islam yang mengusung gagasan purifikasi puritanisme, pembentukan NU merupakan upaya peorganisasian dan peran para ulama, pesantren yang sudah ada sebelumnya, agar wilayah kerja keulamaan lebih ditingkatkan, dikembangkan dan di luaskan jangkauannya dengan kata lain didirikannya NU adalah untuk menjadi wadah bagi usaha mempersatukan dan menyatukan langkah-langkah para ulama dan kiai pesantren.

Dalam pandangan NU tidak semua tradisi buruk, usang, tidak mempunyai relevansi kekirian, bahkan tidak jarang, tradisi biasa memberikan inspirasi bagi munculnya modernisasi islam penegasan atas pemihakkan terhadap “warisan masa lalu “ islam di wujudkan dalam sikap bermazhab yang menjadi typical NU, dalam memahami maksud Al-Qur’an dan hadist tanpa mempelajari karya dan pemikiran-pemikiran ulama-ulama besar seperti, Hanafi, Syafi’I, Maliki, dan Hambali hanya akan sampai pada pemahaman ajaran Islam yang keliru.

Demikian juga dalam pandangan kiai Hasyim yang begitu jelas dan tegas mengenai keharusan umat Islam untuk memelihara dan menjaga tredisi islam ditorehkan para ulama klasik. Dalam rangka memelihara system mazhab kiai Hasyim merumuskan gagasan ahlusunnah waljama’ah yang bertumpa pada pemikiran, AbuHasan al-asyari, Mansur Al-Maturdi imam Hana fi, Maliki, syafi’I, dan Hambali, serta ima Al-ghozali, junaid Albaghdadi dan imam mawrdi.

E. MASYUMI

Proklamasi kemerdekaan RI membawa angin Segar bagi perkembangan politik dan demokrasi bangsa ini, setiap anak bangsa larut dalam keindahan nasionalisme, hal itu juga terjadi pada tokoh-tokoh Islam saat itu sebelum kemerdekaan mereka begitu semangat untuk menegakkan cita-cita Islam.

Pada masa awal kemerdekaan Indonesia PNI menjadi partai Negara, namun menjelang Oktober 1945, PNI muncul dengan wajah baru karena di mulainya system banyak partai yang juga berarti terbukanya kembali ruang bagi kalangan islam untuk ikut serta di dalamnya serta sebagai sarana bagi mereka untuk menegakkan cita-cita islam. Kebijakan pemarintah dalam pendirian partai-partai ini pada awalnya banyak disesalkan oleh kalangan Islam, argument mereka antara lain didasarkan pada penikiran bahwa di waktu genting setelah proklamasi yang di butuhkan persaudaraan rakyat bukan malah kebijakan atau penerapan sistem banyak partai justru dapat memicu terjadinya perpecahan.

Masyumi didirikan pada 24 oktober 1943 sebagai pengganti MIAI karena jepang memerlukan satu badan untuk menggalang dukungan masyarakat Indonesia melalui lembaga agama islam, meskipun demikian, jepang tidak terlalu tertarik dengan partai-partai islam yang telah ada di zaman belanda yang kebanyakan berlokasi di perkotaan dan berpola piker modern, sehingfga pada minggu-minggu pertama, jepang telah melarang partai sarikat islam Indonesia (PSII) dan partai islam Indonesia (PII).

Pada tanggal 7-8 Oktober diadakan muktamar islam di yogyakarta yang di hadiri oleh hamper semua tkoh berbagai organisasi islam dari masa sebelum perang serta masa pendudukan jepang. Kongres memutuskan untuk mendirikan syuro pusat bagi umat islam Indonesia , masyumi yang dianggap sebagai satu-satunya partai politik bagi umat islam pada awal pendiri masyumi, hanya empat organisasi yang masuk masyumi yaitu; Muhammadiyah, NU, perikatan ulama islam, dan persatuan umat islam.

Setelah itu barulah organisasi islam yang lainnya ikut bergabung kemasyumi antara lain persatuan islam (bandung), al-irsyad (Jakarta), Al-jamiatul Washliyah dan Al-ittihadiyah (dari sumatera utara), selain itu pada tahun 1949 setelah rakyat pendudukan belanda mempunyai hubungan leluasa dengan rakyat di daerah yang dikuasai oleh RI, banyak di antara organisasi islam di daerah pendudukan itu bergabung dengan masyumi mudahnya persyaratan untuk masuknya organisasi isalam kedalam Masyumi menjadi slah satu penyebab banyaknya organisasi-organisasi islam yang masuk kedalamnya, namun yang lebih penting mengenai alas an mereka masuk kedalam Masyumi di karenakan semus pihak merasa perlu bergabung dan memperkuat barisan Islam.

F. PERTI

Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) adalah nama sebuah organisasi massa Islam nasional yang berbasis di Sumatera Barat. Organisasi ini berakar dari para ulama Ahlussunnah wal jamaahdi Sumatera Barat. Organisasi ini didirikan pada 20 Mei 1930 di Sumatera Barat. Kemudian organisasi ini meluas ke daerah-daerah lain di Sumatera, dan juga mencapai Kalimantan dan Sulawesi.

Perti ikut berjuang di kancah politik dengan bergabung ke dalam GAPI dalam aksi Indonesia Berparlemen, serta turut memberikan konsepsi kenegaraan kepada Komisi Visman. Setelah kemerdekaan Perti menjadi partai politik. Dalam Pemilihan Umum 1955 Perti mendapatkan empat kursi DPR-RI dan tujuh kursi Konstituante. Setelah Konstituante dan DPR hasil Pemilu dibubarkan oleh Presiden Soekarno, Perti mendapatkan dua kursi di DPR-GR. Pada masa Orde Baru Perti bergabung dengan Partai Persatuan Pembangunan.

KESIMPULAN

Lahirnya gerakan sosial keagamaan di Indonesia tidak lepas dari pada pengaruh gerakan-gerakan Islam di dunia, Dengan memperhatikan berbagai macam sebab kelemahan dan kemunduran umat Islam sebagaimana nampak pada masa sebelumnya, dan dengan memperhatikan sebab-sebab kemajuan dan kekuatan yang dialami oleh Bangsa Eropa, maka pada garis besarnya terjadi tiga pola pemikiran pembaharuan pendidikan Islam. Ketiga pola tersebut adalah

1. Pola pembaharuan pendidikan Islam yang berorientasi pada pola pendidikan modern di Eropa

2. Golongan yang berorientasi pada sumber Islam yang murni,

3. Usaha yang berorientasi pada Nasionalisme.

Adapun gerakan sosial keagamaan yang lahir di Indonesia antara lain:

1. Muhammadiyah, didirikan pada tahun 1912 oleh K. H. Ahmad Dahlan, sebagai gerakan keagamaan yang menitikberatkan terhadap pembahuran yang bersifat modernis.

2. PERSIS didirikan pada tahun 1923 yang dipelopori oleh H. Zamzam

3. NU didirikan oleh K. H. Hasyim Asy’ari pada tahun 1926

4. Masyumi yang dibentuk oleh Jepang sebagai pengganti MIAI pada tanggal 24 oktober 1943.
HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html