Islam Di Domba Hitamkan

Ditengah kekacauan,Fitnah, teror dan kekerasan,umat Islam tetap tabah berdiri mempertahankan keyakinannya, dengan memperkenalkan agamanya dengan cara-cara damai dan menyejukkan.

Akhirnya Sunni dan Syiah Bersatu

Bukankah mereka mengimani tuhan yang sama, Mencintai Nabi dan Rosul yang sama, memiliki Kitab suci yang sama, Mempunyai Syahadah yang sama ?, Kemudian mereka saling fitnah dan menumpahkan darah.

Pengaruh Peradaban Islam Terhadap dunia Modern

Pada masa lampau, peradaba Islam memberikan sumbangan besar terhadap kemajuan dunia Barat, kini Islam dan Barat saling menghunus pedang, Islam sebagai Tokoh Kegelapan, sedangkan Barat sebagai Tokoh Peradaban.

Jihad Dan Terorisme dalam Prespektif Islam

Siapa mereka yang mengatakan terorisme merupakan bagian dari jihad fi sabilillah ?? sedangkan teror sangat ditentang oleh teks rujukan utama umat Islam.

Lagenda Assasin "Penebar Maut Lembah Alamut"

Asyhasin(assassin) Antara Lagenda dan Mitos, Siapa Sangka Assassin yang terkenal sebagai Game, adalah Kisah Nyata Pasukan Khusus sekte pecahan Syiah Ismailiyah.

Wednesday 9 January 2013

Masuknya Islam Di Labala Leworaja

Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang masuk kedalam negara kepulauan terbesar di dunia diperkirakan lebih dari 3000 pulau , panjang wilayah kepulauaan Indonesia dari barat ke timur yaitu dari titik terbarat Sumatra sampai keperbatasan dengan Papua New Guinea adalah 5500 km. Lebarnya dari titik terutama sampai titik terselatan yaitu dari pulau Miangas ( kepulauan Talud ) ke pulau Roti ( Nusa Tenggara Timur ) adalah 1770 km, kepulauan Indonesia mempunyai area tanah sekitar 1904569 km2 ( 36.79 % dari luas area tanah dan lautan yang mencapai sekitar 5176800 km2 itu )[1].

Selain memiliki wilayah yang begitu luas Indonesia juga mempunyai begitu banyak ragam budaya, suku bangsa, dan bahasa yang menjadikan Negara ini kaya dengan segala ragam budaya, selain ragam budaya, Negara ini juga kaya akan sumber daya alam yang melimpah ruah akan tetapi sangat disayangkan dengan luasnya wilayah dan kurangnya sumber daya manusia yang menyebabkan masih banyak kekayaan yang belum dimanfaatkan dengan baik.

Berkaitan dengan Labala, desa ini terletak di selatan pulau Lembata, Kabupaten Lembata (sebelumnya masuk wilayah kabupaten Flores Timur), Kecamatan wulandoni, desa ini agak terisolasi, karena tekstur tanahnya yang berbukit-bukit[2].

Transportasi utama menuju Labala adalah angkutan laut dengan menggunakan perahu motor dan darat dengan menggunakan mobil angkutan pedesaan yang bentuknya sangat unik dikarenakan angkutan ini adalah sejenis mobil truk yang dimodifikasi menjadi angkutan umum, Walaupun kawasan ini masih cukup terisolir hingga saat ini, namun ternyata cukup banyak menyimpan sejarah.

Pada masa dulu, di daerah ini pernah berdiri kerajaan Labala. Bukti keberadaannya bisa dilihat dari peninggalan prasasti yang menggunakan huruf Kawi, yang disebut oleh masyarakat setempat sebagai prasasti Berkah Kerama. Prasasti ini dianggap keramat, karena itu selalu diletakkan dalam posisi yang tinggi di rumah adat[3]. Dalam perkembangannya, desa Labala berganti nama menjadi Desa Gaya Baru Leworaja yang berarti “Lewo” dalam bahasa setempat adalah kampung menurut kamus besar bahasa Indonesia kampung adalah kesatuan administrasi terkecil yang menempati wilayah tertentu[4]. dan “Raja” adalah penguasa menurut kamus besar bahasa Indonesia Raja adalah penguasa tertinggi pada suatu kerajaan[5] (biasanya diperoleh sebagai warisan ), kemudian di artikan Leworaja adalah tempat berdiam para Raja . Hingga saat ini, nama yang terakhir masih tetap digunakan.

A. Latar belakang Masuknya Islam

Labala terletak di selatan pulau Lembata, Kabupaten Lembata (sebelumnya masuk wilayah kabupaten Flores Timur). Labala merupakan satu-satunya kerajaan di Kabupaten Lembata dan merupakan kerajaan bungsu dari beberapa kerajaan Islam di wilayah timur pulau Flores dan disekitarnya (seperti pulau Adonara, pulau Solor, pulau Lembata, pulau Alor dan Pantar) . Menurut sejarah, Kerajaan Labala masuk dalam komunitas kerajaan Solor Watan Lema (Lima Kerajaan Islam Bersaudara) seperti Kerajaan Terong, kerajaan Lemahala, Kerajaan Lohayong, Kerajaan Lamaker, dan Kerajaan Labala[6].

Kerajaan Labala merupakan satu-satunya kerajaan yang memiliki daerah otonom di Daratan Pulau Lembata yang kini menjadi Kabupaten Lembata. Sebelum masuknya agama Islam, sebagaimana masyarakat di kerajaan lain, masyarakat Labala menganut kepercayaan nenek moyang yaitu kepercayaan animisme dan dinamisme. Pada masa pra Islam (sebelum datangnya pengaruh agama Islam) Kerajaan Labala berturut-turut di pimpin oleh Raja Kiwan Mayeli (1833-1879), Raja Kiwan Gelu Ama (Atageha) (1879-1896). Sekadar catatan, Raja Kiwan Gelu Ama bernama asli Atageha (orang lain) karena Sang Raja berasal dari Klan/suku Lamarongan, bukan klan suku Mayeli. Dengan demikian dapat dikatakan, keturunan Raja Labala setelah Raja Kiwan Gelu Ama (Atageha) bukanlah asli suku Mayeli. Selanjutnya Raja Baha Mayeli (1896-1929).

Agama Islam masuk di Kerajaan Labala pada masa kekeuasaan Raja Baha Mayeli (1896-1929), namun mencapai puncak kejayaannya pada masa kekuasaan Sang Anak Raja Ibrahim Baha Mayeli (1926-1954). Setelah itu system kerajaan oleh pemerintah Indonesia dilebur dalam system administrative kecamatan yaitu kecamataan Atadei, namun Raja Ibrahim Baha Mayeli masih diberi kekuasaan memerintah hingga wafat pada tahun 1965.Setelah wafatnya Raja Ibrahim Baha Mayeli, tata pemerintahan kerajaan dilebur kedalam tata pemerintahan Negara Republik Indonesia di bawah system pemerintahan kecamatan.

Kecamatan Atadei yang saat itu berpusat di wulandoni menjadi pusat system pemerintahan. Wulandoni juga adalah daerah kekeuasaan Kerajan Labala. Meski system pemerintahan sudah beralih tangan, tidak serta merta pengaruh Kerajaan Labala hilang begitu saja. Pemerintah Indonesia memberi kewenangan khusus kepada keturunan Raja Labala untuk mengatur tatalaksana adat istiadat dan budaya masyarakat di bekas daerah kekuasaan yang hingga kini masih dipertahankan. Keturunan dari Raja Ibrahim Baha Mayeli yang hingga kini memiliki kewenangan mengatur adat istiadat di antaranya, Muhammad Kabier Ibrahim Mayeli dan anaknya Syamsul Bahri Mayeli dari istri pertama Raja Ibrahim Baha Mayeli.

Daerah kekuasaan Kerajaan Labala sebelum masuknya Agama Islam, meliputi sebahagian wilayah yang kini masuk kecamatan Ata Dei dan kecamatan Wulandoni. Ada beberapa desa yang menjadi daerah kekusaan Kerajaan Labala di antaranya, Atawolo, Pewwut, Karangora, Waiwejak dan beberapa desa kecil yang kini masuk wilayah administrative kecamatan Atadei. Selain itu ada beberapa desa pesisir yang menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Labala diantaranya, Kahatawa , Mulandoro (Lamanunang), Leworaja (Pusaat Kerajaan Labala), Mulankera, Luki-Pantai Harapan, Nuhalela (wulandoni) dan Posiwatu yang kini menjadi wilayah administrative kecamatan Wulandoni. Dari bentang kekusaan Kerajaan Labala inilah masyarakat yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Labala di kemudian hari disebut atau diidentikkan sebagai orang Labala, termasuk mereka yang non muslim seperti masyarakat Kahatawa, Mulandoro, Mulankera, Nuhalela (wulan doni) dan Posiwatu.

B. Islam Jadi Agama Resmi Kerajaan Labala

Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, Agama Islam masuk ke Kerajaan Labala dan di terima sebagai agama resmi di kerajaan Labala pada tahun 1896 pada masa pemerintahan Raja Baha Mayeli, dan mencapai puncak kejayaannya pada masa kekuasaan Sang Putra Mahkota, Raja Ibrahim Baha Mayeli (1926).

Pada masa Raja Ibrahim Baha Mayeli (1926) ini untuk pertama kalinya dibangun mushallah sebagai tempat ibadah pertama yang diberi nama al-Muqarrabin Labala. Pilihan nama al-Muqarrabin sebagai nama mushallah dengan harapan, Raja dan Ribu-ratu (masyarakat) di Kerajaan Labala lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT sebagai Tuhan yang diimani dalam keyakinan baru mereka yaitu agama Islam. Mushallah al-Muqarrabin di kemudian hari dibangun menjadi Mesjid dengan nama yang sama hingga kini yaitu Mesjid al-Muqarrabin Labala di Desa Leworaja-Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata-NTT. Mesjid al-Muqarrabin Labala merupakan salah satu mesjid tertua di NTT yang dibangun pada tahun 1926[7].

Menurut penuturan sumber-sumber informasi terpercaya di Labala terkhusus pemuka-pemuka adat dan agama di dua desa yaitu Desa Leworaja dan Desa Luki-Pantai Harapan yang menjadi pusat kerajaan Labala, proses masuknya Agama islam di Kerajaan Labala di sebarkan oleh para pedagang dari Kerajaan Lamahala yang lebih dahulu menerima Islam. Namun proses penyebarannya masih terbatas pada kalangan kerabat yang memiliki hubungan dengan masyarakat di Kerajaan Labala. Perlu diketahui Kerajaan Lamahala merupakan salah satu komunitas kerajaan Islam, yang dikenal dengan Solor Watan Lema. Kerajaan Labala merupakan bungsu dari komunitas Solor Watan Lema setelah menjadi Kerajaan Islam.

Sebagai salah satu kerajaan yang mermiliki pengaruh, Kerajaan Labala selalu menjalin hubungan baik dengan kerajaan-kerajaan tetangga seperti Kerajaan Lamahala, Kerajaan Teron, Kerajaan Lamakera dan juga Kerajaan Alor di kepulauan alor (kini Kabupaten Alor). Untuk itu pada tahun 1926 Raja Baha Mayeli mengirim anak sulungnya sebagai Putra Mahkota yang bernama Kiwan Mayeli ke Kalabahi ibu kota Kerajaan Alor untuk menuntut ilmu agama. Kerajaan Alor saat itu sudah menjadi kerajaan Islam. Di Kalabahi Kiwan Mayeli belajar ilmu agama kepada Raja sekaligus ulama kerajaan Alor yang bernama Marjuki Nampira. Atas bimbingan Raja Alor inilah kemudian kiwan mayeli memeluk Agama Islam dan berganti nama menjadi Ibrahim Baha Mayeli.

Setalah dirasa bekal ilmu agama yang dipelajari cukup memadai, Sang Putra Mahkota Kiwan Mayeli yang telah berganti nama menjadi Ibrahim Baha Mayeli mengirim surat, mengabarkan kepada Sang Ayah, Raja Baha Mayeli bahwa dirinya telah selesai menuntut ilmu dan telah memeluk Agama Islam. Kini dia siap kembali ke labala. Untuk itu sebagai syarat kepulangannya, dia meminta kepada Sang Ayah untuk membunuh binatang yang dilarang (haram) dalam ajaran Islam seperti babi dan anjing yang masih banyak dipelihara oleh masyarakat Labala saat itu. Bila syarat ini tidak dipenuhi, maka sang putra mahkota tak akan kembali ke Labala. Dia lebih memilih untuk merantau ke tempat jauh dari pada kembali ke Labala.

Setelah menerima surat dari Sang Anak dan mempertimbangkan kelanjutan nasib kerajaan yang di pimpinnya bila sang anak tak sudi pulang, Setelah mengadakan musyawara dengan tokoh adat kerajaan, Raja Baha Mayeli memerintahkan kepada segenap ribu-ratunya (masyarakatnya) untuk memusnahkan binatang anjing dan babi yang masih menjadi hewan ternak masyarakat Labala kala itu.

Setelah syarat yang di minta terpenuhi, Sang putra Mahkota, Ibrahim Baha Mayeli bersedia kembali ke Labala. Karena kondisi kesehatan Raja Baha Mayeli yang tak lagi memungkinkan memerintah di kerajaan Labala, Kiwan Mayeli atau lebih dikenal dengan nama Ibrahim Baha Mayeli kemudian diangkat dan di lantik menjadi Raja di kerajaan Labala menggantikan Sang Ayah yang sudah lanjut usia. Di masa pemerintahan Raja Ibrahim Baha Mayeli inilah Islam benar-benar menjadi agama resmi kerajaan. Hal ini terbukti dengan di bangunnya Mushallah pertama yang diberi nama al-Muqarrabin sebagai tempat ibadah dan pengajaraan syai’ar islam bagi masyarakat Kerajaan Labala yang seluruhnya sudah menjadi Muslim.

C. Tokoh Penyebar Islam

Masuknya Islam di Labala berjalan dengan Mulus Tanpa ada riak perlawanan dari masyarakat, diakibatkan Islam tidak Masuk melalui Jalur perang, akan tetapi Islam Masuk dari kerajaan, Raja yang terlebih dahulu memeluk Islam, Sehingga rakyat dengan sukarela mengikuti titah rajanya.

Karena kesibukan dalam pemerintahan, Raja Ibrahim mempercayakan bapak Lusi koli kemang untuk memimpin sholat dan mengajarkan agama pada umat, perlu diketahui bahwa bapak Lusi Koli Kemang adalah orang Lamahala dari suku Gorang. Karena profesi sebagai pedagang sehingga keberadaan Bapak Kemang tidak tetap dia sering pulang kelamaha. Keberadaannya musiman, kondisi ini menjadi masalah bagi kerajaan yang masih baru memeluk Islam.

Dengan kondisi seperti ini maka Raja Ibrahim memutuskan untuk pergi ke Waiwerang, Waiwaerang adalah Ibukota kerajaan Lamahala disana beliu menemui Raja Lamahala meminta bantuan seorang dai tetap untuk menetap di Labala. Setelah sepakat raja Labala menemui habbib Agel, beliau adalah seorang Imam kerajaan Lamahala, untuk menyiapkan seorang da’i yang bisa dapat menetap di Labala. Kebetulan pada saat itu ada seorang murid Habbib Agel yang tadinya beragama Nasrani keturunan Cina dan tinggal di Kupang. Setelah masuk Islam dan mengikuti Habbib Agel ke Waiwerang mendalami ajaran Islam. Habbib Agel menerima permohonan Raja Ibrahim dan mengutus muridnya yang bernama Baba Abdullah.

Kedatangan Baba Abdullah ke Kerajaan Labala membawa pengaruh yang sangat besar dalam perkembangan Islam di Kerajaan ini, beliau kemudian diangkat menjadi Ulama dan Imam bagi masyarakat Labala. Beliau adalah Ulama kharismatik yang berjasa menyebarkan agama islam di kerajaan Labala. Karena jasa-jasanya inilah beliau dicintai oleh Masyarakat Labala sehingga saat meninggalnya, masyarakat tak sudi mengizinkan keluarganya membawa jasad Baba Abdullah untuk dimakamkan di tanah kelahirannya yaitu di kupang. Beliau di makamkan di Leworaja, Ibu Kota kerajaan Labala.

Daftar Pustaka



Kartodirjo, Sartono, Marwati dan Nurgoho, Sejarah nasional indonesia V . Jakarta: Offset P.T Grafitas, 1975.

“Kabupaten Lembata.” Wikipedia bahasa Indonesia, Ensiklopedia bebas http://wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Lembata (8 Januari 2013).


Tanggal 8 Januari 2013)

[1] Sartono Kartodirjo, Marwati Djoened Poesponegoro, dan Nurgoho Noto Susanto, Sejarah nasional indonesia V ( Jakarta: Offset P.T Grafitas, 1975),h. 1

[2] “Kabupaten Lembata.” Wikipedia bahasa Indonesia, Ensiklopedia bebas http://wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Lembata (8 Januari 2013).

[3] Putra Mayeli, http://leworaja.blogspot.com/2011_05_01_archive.html (diakses pada Tanggal 8 Januari 2013)

[4] Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ke III (Jakarta Balai pustaka, 2003), h. 498.

[5] Ibid., h. 617



Friday 4 January 2013

Asal Usul Kerajaan Bone

Tanah Bone adalah gabungan dari unit-unit politik inti atau persekutuan masyarakat kaum yang disebut anang yang dipimpin oleh matoa anang (ketua kaum). Selanjutnya anang terbentuk menjadi wanua (negeri), seperti wanua Ujung, Tibojong, Ta’, Tanete Riattang, Tanete Riawa, Ponceng, dan Macege. Setiap pembentukan kelompok wanua didorong oleh ikatan rasa seketurunan dari satu nenek moyang yang sama dan membentuk persekutuan teritorial yang tertutup terhadapa persekututan teritorial hidup lainnya dalam sistem kehidupan patrimonial (garis keturuann dari pihak ayah). Hal seperti itu menciptakan permusuhan di antara satu wanua dengan wanua lainnya.

Seperti halnya kelahiran Kerajaan Gowa, proses sejarah berdirinya Kerajaan Bone juga diawali dengan kisah kehadiran Tomanurung. Jika Tomanurung di Kerajaan Gowa adalah wanita, Tomanurung di Kerajaan Bone adalah laki-laki. Kehadiran Tomanurung sebagai penguasa sentral di Kerajaan Bone diawali oleh sebuah ikrar antara Tomanurung dan penguasa unit-unit politik setempat. Sebelum kehadiran Tomanurung selalu ditandai dengan fenomena alam yang mengerikan. Tulisan dalam lontarak mengisahkan bahwa sebelum kedatangan Tomanurung, terjadi hujan dan petir sambung- menyambung tanpa putus selama tujuh hari tujuh malam. Setelah hujan reda, muncullah seseorang disuatu tempat. Orang tersebut mengenakan jubah putih dan berdiri ditengah-tengah padang Bone. Oleh karena mereka tidak mengetahui asal-usulnya; orang menyebutnya Tomanurung (orang yang turun dari kahyangan).maka berkumpullah orang Bone dan mengadakan perundingan demi sebuah kesepakatan untuk berangkat menemui orang tersebut dan diangkat menjadi Raja Bone.[1]

Setelah mereka sampai di hadapan orang tersebut, mereka memohon agar orang tersebut mau menjadi Raja di Bone. Akan tetapi, orang tersebut menolak untuk menjadi Raja, karena ia juga hanya seorang budak raja. Tapi orang terbut menawarkan jika rakyat Bone menginginkan Raja, maka ia bisa membawa mereka bertemu langsung dengan calon Raja tersebut. Selanjutnya, orang tersebut membawa mereka pergi ke daerah Matajang. Sesampainya disana, terlihatlah seorang lelaki duduk berpakaian kuning di batu ”napara” beserta tiga pengikutnya, yang masing-masing bertugas memang kipas, payung dan membawakan salendrang (tempat sirih).

Para pemohon dari Bone pun, langsung memohon kepada lelaki yang duduk di atas batu napara agar kiranya bersedia menjadi Raja di Bone. Maka raja itu menyahut, “teddua nawa-nawao” artinya “orang setia” dan “temmaballecoko” artinya tidak memungkiri segala janji”.

Sesudah perjanjian tersebut terlaksana, maka raja tersebutpun “nalekkeni ManurungE” artinya “memindahkan Manurung itu ke Bone. Dan menjadi Raja Bone I di sana. Sesampainya di sana, rakyat Bone lalu mendirikan istana untuk “ManurungE” (raja). Pendirian istana itu lekas selesai dimana “bulisa” artinya kayu “potongan belum kering”, raja sudah mendiami istana itu.

B. Proses Awal Perkembangan Pemerintahan Kerajaan Bone

Raja Bone I atau Arung Pone yaitu Tomanurung ri Matajang, yang bergelar MatasimpoE. Ia memerintah kurang lebih 40 tahun, dari tahun 1330 M sampai tahun 1370 M. MatasilompoE kawin dengan Tomanurung ri Toro, yang bernama Tenriawaru. Dari perkawinan ini lahirlah lima orang anak yang masing-masig bernama: La Umasa, Patanra Wanua, Tenri Salogo, We Arattiga dan Isamateppa.[2]

Setelah TomanurungE, menjadi penguasa di Bone, barulah ketertiban dapat ditegakkan dan kesejahteraan rakyat dapat dikembalikan. Ditetapkannya penguasa Tomanurung di Bone diikuti dengan pembentukan Dewan Penasehat, Ade’pitu (Adat Penguasa), yang terdiri dari pemimpin dari tujuh komunitas. Dengan bantuan Ade’pitu, ManurungE lalu membuat peraturan-peraturan bagi rakyatnya. Ia juga menegakkan hukum dan adat istiadat untuk mengatur ketertiban bagi masyarakat. Hingga suatu hari Arung Pone –MatasilompoE telah tiada; hilang atau gaib entah kemana (oleh masyarakat setempat disebut; Mallajang).[3]

Setelah Arung Pone tiada, beliau digantikan oleh La Ummase. Dalam Lontaraq Akkarungeng ri Bone, La Ummase (1358 – 1424), disebutkan bahwa Dialah yang menggantikan ManurungE ri Matajang sebagai Arung Mangkaue ri Bone. Beliau digelari Petta Panre Bessie’ karena Arumpone (Bugis : Raja Bone) inilah yang mula-mula menciptakan alat dan perkakas dari besi di Bone dan kalau bepergian, hanya dinaungi dengan kaliyao (tameng) untuk melindunginya dari teriknya matahari. Hal ini dilakukan karena tidak ada lagi payung (maksudnya : payung kerajaan) di Bone.

Dalam upayanya memperluas wilayah kekuasaannya, La Ummase’ menaklukkan wilayah – wilayah sekitarnya, Anro Biring, Majang, Biru, Maloi dan Cellu (Lontara Akkarungeng ri Bone). Politik ekspansinya berhasil menaklukkan kerajaan kecil tetangganya, “Maloi, Biru, Majang, Anrobiring, Cellu, Palakka dan Taneteriattang”.[4]

La Ummasa tidak memiliki putra mahkota yang kelak bisa menggantikan kedudukannya sebagai Mangkau’ di Bone. Dia hanya memiliki anak perempuan, To Suwalle dan To Sulewakka dari isterinya yang berasal dari to sama’ (orang biasa, bukan bangsawan). Oleh karena itu, setelah dia tahu bahwa We Pattanra Wanua akan melahirkan, La Ummasa menyuruh anaknya pergi ke Palakka ke rumah saudaranya yang diperisterikan oleh Arung Palakka La Pattikkeng.

Setelah La Saliyu Karempuala dewasa, maka beliau mengambil alih tampuk pemerintahan Bone dari kedua sepupunya itu. Dalam Lontaraq Akkarungeng ri Bone disebutkan bahwa La Saliyu Karempalua (1424 – 1496) adalah Arumpone (Raja Bone) yang menggantikan pamannya, La Ummase’.

La Saliyu Karampelua digelari pula MakkaleppiE – Massao LampeE Lawelareng atau Puatta Lawelareng. Sebagai Raja Bone III ini melanjutkan kegiatan ekspansi yang telah dirintis pendahulunya, bahkan lebih besar dan berhasil menduduki kerajaan – kerajaan kecil, seperti : Pallengoreng, Sinri, Melle, Sancereng, Cirowali, Apala, Bakke, Atta Salo, Soga, Lampoko, Lemoape, Parippung, Lompu, Limampanua Rilau Ale, Babauwae, Barebbo, Pattiro, Cinennung, Ureng, Pasempe, Kaju, Ponre, dan Aserabate Riawang Ale.

Data tersebut menunjukkan bahwa Bone pada masa itu telah menguasai wilayah yang cukup luas (menurut ukuran pada masa itu), sehingga organisasi pemerintahan perlu pula ditingkatkan. Untuk itu La Saliu membagi wilayah pemerintahan Kerajaan Bone menjadi tiga wilayah administratif, sesuai dengan pembagian warna bendera Kerajaan Bone. Pertama,Negeri – negeri yang memakai bendera Woromporongnge’ : Matajang, Mattoanging, Bukaka Tengah, Kawerrang, Pallengoreng, Maloi. Semuanya dibawah koordinasi Matoa Matajang. Kedua, Negeri – negeri yang memakai umbul merah di sebelah kanan Woromporongnge’ : Paccing, Tanete,. Lemo, Masalle, Macege, Belawa, Semuanya dibawah koordinasi Kajao Ciung dan Ketiga, Negeri – negeri yang memakai umbul merah di sebelah kiri Woromporongnge’ : Arasong, Ujung, Ponceng, Ta’, Katumpi, Padaccennga, Madello. Semuanya dibawah koordinasi Kajao Arasong”. (Lontaraq Akkarungeng ri Bone ; Kasim, 2002)[5]

Seiring perkembangan Kerajaan Bone, peraturan pertanahan dan hukum warisan diumumkan secara resmi pada waktu bersamaan untuk menjamin stabilitas hubungan di dalam komunitas. Setelah genap berusia 72 tahun Arung Pone III mengumumkan kepada rakyat Bone bahwa penguasa beikutnya adalah We Banrigau Daeng Marowa MakkaleppiE anaknya dari isteri keduanya We Tenri Roppo Arung Paccing.

Inilah untuk pertama kalinya Kerajaan Bone dipimpin oleh seorang perempuan. We Banrigau Daeng Marowa Makkaleppie’ naik takhta menggantikan ayahnya Arumpone La Saliyu Karampelua. We Banrigau digelari pula Bissu Lalempili. (Makkulau, 2009). Di masa pemerintahan Arumpone I Benri Gau Daeng Marowa Arung Matajang, Kerajaan Bone mencapai stabilitas dalam negeri yang mantap serta pertanian yang berhasil. Raja perempuan pertama Kerajaan Bone (1470 – 1489) ini tidak meneruskan pendahulunya dalam perluasan wilayah kekuasaan tetapi aktif dalam upaya mengintensifkan perluasan lahan pertanian. “Membeli bulu’ (gunung) Cina dengan menukarnya 90 ekor kerbau, dan sawah di sekitar Kampung Laliddong dengan menukarnya 30 ekor kerbau”.[6]

Akan tetapi terjadi pemberontakan pada masa pemerintahannya, yang dilakukan oleh La Dati Arung Katumpi karena persoalan pelaksanaan pembelian areal persawahan, namun pemberontakan tidak berlansung lama, karena beliau dapat mengatasinya. Dan setelah memerintah selama 20 tahun lamanya, ia kemudian menyerahkan kekuasan kepada putranya La Tenrisukki. Setelah pelantikan ia pun meninggalkan Kerajaan Bone bersama keluarganya dan pergi menetap di Cina bersama keluarganya hingga ia menghilang dan diberilah ia gelar Mallajang ri Cina.

Pada masa pemerintahan Raja Bone V, La Tenrisukki sebagai pewaris takhta dari ibunya, I Benriwa Gau. La Tenrisukki merupakan Arumpone (Raja Bone) pertama yang disebutkan memiliki hubungan dengan kerajaan besar lain di Sulawesi Selatan. Arumpone ini memerintah di akhir Abad XV sampai permulaan Abad XVI. Di masa kekuasaannya, La Tenrisukki berhasil memukul mundur serangan militer Pajung Luwu, Dewaraja Batara Lattu. Setelah perang selesai (Perang itu dikenal dengan ”Perang Cellu”, karena Angkatan Perang Luwu berlabuh di Cellu sebelum menyerang Bone. Perang Cellu dimenangkan oleh passiuno Bone.

Paska Perang Cellu, Arumpone mengadakan perjanjian dengan Datu Luwu To Serangeng Dewaraja yang disebut Polo Malelae’ ri Unnyi (Gencatan senjata di Unnyi), karena terjadi di Kampung Unnyi. Usai Perjanjian Polo MalelaE ri Unnyi ini, kedua raja ini, Arumpone dan Datu Luwu kemudian kembali ke negerinya. Keseluruhan substansi perjanjian Unnyi tersebut tidak mengandung unsur yang menetapkan tentang pembayaran kerugian perang dari pihak Luwu (yang kalah perang) kepada pihak Bone (yang menang perang). Dengan demikian perjanjian perdamaian tersebut menyimpang dari kelaziman perjanjian gencatan senjata, yang pada umumnya menetapkan sanksi kerugian perang yang harus dibayar oleh negara agresor yang kalah perang. Hal ini menunjukkan pendekatan kekeluargaan Arung Mangkaue La Tenrisukki kepada Datu Luwu, Dewaraja.

Berdasarkan substansi materi perjanjian tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada hakekatnya Perjanjian Uunyi adalah perjanjian persekutuan antara Bone dan Luwu. Persekutuan semacam ini, baru untuk pertama kalinya terjadi dalam Sejarah Kerajaan Bone. Arti strategis Polo Malelae ri Unnyi bagi Bone, adalah suatu sukses di bidang politik dan militer. Dengan peristiwa tersebut menampatkan Bone dalam posisi strategis dan prestise yang kuat terhadap kerajaan – kerajaan kecil di sekitar Kerajaan Bone bahkan juga kerajaan – kerajaan lainnya di kawasan Sulawesi Selatan.

Setelah itu beliau juga menghadapi pemberontakan dari orang-orang Mampu – salah satu kerajaan di sekitar kerajaan Bone. Namun, sekali lagi pemberontakan tersebut dapat diselesaikan oleh La tenri Sukki. Setelah beliau memerintah kurang lebih 27 tahun lamanya ia pun wafat. Dan sebagi penggantinya ditunjuklah puteranya La Uliyo BoteE hasil perkawinanya dengan sepupunya We Tenri Songke sebagai Raja Bone VI. Digelari Bote’E karena Arumpone ini memiliki postur tubuh yang subur (gempal).

Di masa pemerintahan La Uliyo Bote’E, Luwu kembali menyerang Bone dan sekali lagi dikalahkan. Bone kemudian memperoleh bantuan Gowa untuk memerangi sekutu utama Luwu dan Wajo, namun persekutuan itu merupakan campur tangan tidak biasa bagi Gowa dalam usahanya untuk merebut hegemoni disebelah timur semenanjung, belakangan Gowa memang mengundurkan diri dan berkonsentrasi untuk mencapai harapannya di semenanjung barat Sulawesi Selatan. Pada masa pemerintahannya pulalah Bone mulai dilirik oleh Gowa.

Arumpone inilah yang pertama didampingi oleh Kajao Laliddong[7]. Dia pulalah yang mengadakan perjanjian dengan KaraengE ri Gowa Daeng Matanre Karaeng Tumapakrisika Kallonna. Peristiwa peresmian hubungan diplomatik pertama antara Bone dengan Gowa, diupacarakan dengan pergelaran senjata sakti kedua kerajaan, ”Sitettongenna SudengngE – Lateya Riduni” di Tamalate. Kunjungan Raja Gowa secara formal dalam kunjungan kenegaraan, dan berhasil membentuk hubungan persahabatan bilateral antara Gowa dengan Bone. Dengan upacara khidmat memperhadapkan senjata kebesaran Kerajaan Bone dan senjata kebesaran Kerajaan Gowa di Laccokang, Watampone, ibukota Kerajaan Bone (1538).

Setahun kemudian, Raja Bone, La Uliyo Bote’e melakukan pula kunjungan balasan ke Gowa dan berhasil membentuk dual alliance antara Bone dengan Gowa yang disebut, “Ulu Adae ri Tamalate” (Perjanjian Tamalate). Perjanjian tersebut berisikan bahwa Bone dan Gowa bersepakat untuk saling memberikan bantuan militer bilamana ada di antara mereka dalam keadaan bahaya ancaman militer. Ini merupakan sukses di bidang politik di masa kekuasaan La Uliyo Bote’e. Setelah genap 25 tahun sebagai Arung Mangkaue’ ri Bone ditunjuklah La Tenri Rawe BongkangE sebagai Raja Bone VII.

C. Perjanjian Tellumpoccoe

Perjanjian Tellumpoccoe adalah perjanjian yang melibatkan tiga kerajaan Bugis yaitu Bone, Soppeng dan Wajo. Perjanjian ini bermula atas keinginan mempersaudarakan ketiga kerajaan tersebut. Juga demi menentang agresi dari Kerajaan Gowa yang merupakan penguasa adidaya pada masa itu.

Sebelum perjanjian ini bermula, pada masa La Tenri Rawe BongkangE yang naik takhta sebagai Raja Bone VII menggantikan ayahnya La Uliyo Bote’E, Raja Bone VI, telah terjadi beberapa kali serangan dari Kerajaan Gowa yang pada mulanya disebabkan karena penggabungan TellulimpoE (tiga wilayah) memasukkan Bone sebagai anggota yakni Luwu, Gowa dan Bone.[8]

Ketika terjadi pertempuran antara Gowa dan Bone, Wajo sebagai sekutu Gowa ikut serta dalam pertempuran melawan Bone, setelah tiga hari lamanya pertempuran itu berlangsung pasukan Bone terdesak, namun semangat pasukan Bone bangkit mengadakan penyerangan dan akhirnya pasukan Kerajaan Gowa dan Wajo terpukul mundur.

Setelah itu Gowa kembali melakukan penyerangan, bersama dengan Raja Gowa Tonibata yang sebelumnya sakit, akan tetapi ia tewas setelah kepalanya dipancung oleh pasukan Bone. Lalu, Kajao lalidong mewakili Bone dan Karaeng Tallo mewakili Gowa mengaddakan pertemuan yang menghasilkan perjanjian “Ceppae ri Caleppa” berisi tentang batas wilayah kedua kerajaan di Selatan (Sungai Tangka).[9]

Raja Gowa Karaeng Bonto Langkasa memeberi perintah kepada Arung Matoa Wajo sebagai Abdi Gowa untuk mengangkut kayu dari pegunungan Barru ke pinggir laut untuk dipergunakan mendirikan istanan di Tamalate sebagai ibukota Kerajaan Gowa.

Namun Arung Matoa Wajo merasa tidak senang karena diperlakukan sewenang-wenang, maka hal tersebut disampaikan kepada Raja Bone. Setelah mengetahui hal tersebut Raja Bone merasa tidak senang, dan ia pun mengajak Arung Matoa dan Datu Soppeng untuk bersama-sama ke Barru.

Sesampainya disana Raja Gowa heran karena yang ia panggil hanya Raja Wajo, akan tetapi Raja Bone dan Raja Soppeng juga ikut. Tetapi, Raja Bone menjawab bahwa “Orang Wajo takut melewati daerah yang tidak didiami manusia”.[10] Kemudian Raja Bone, Soppeng dan Wajo sama –sama memotong tali pengikat kayu – kayu itu secara bergantian dengan menyanyikan lagu yang intinya sesama kerajaan yang terintimidasi menginginkan adanya perlawanan dengan menyatukan kekuatan.

Setelah kejadian itu, mereka bermusyawarah untuk menyerang Cenrana tujuh hari akan datang. Pada hari yang ditentukan mereka pun menyerang dan membakar Cendrana yang mana merupakan wilayah kekuasaan Gowa pada waktu itu. Lalu mereka sepakat kembali ke Timurung untuk mempererat persaudaraan mereka dalam menghadapi serangan-serangan dari Kerajaan Gowa.

Di Timurung mereka bertemu kembali dan mengadakan perjanjian persaudraan yang kemudian disebut dengan TellumpoccoE (tiga puncak) dengan bersama-sama menanamkan batu sebagai simbol persaudaraan di Timurung (Lamumpatue ri Timurung) pada tahun 1582 M.[11]

Dalam proses perjalanannya Raja Gowa yang mengetahui hal ini marah dan selalu melancarkan serangan terhdapa sekutunya (Wajo) yang berkhianat. Dua tahun setelah perjanjian TellumpoccoE diadakan, La tenri Rawe meninggal karena penyakit yang dideritanya. Sebagai penggantinya ialah saudaranya La Inca, yang ditunjuk sebagai Raja Bone ke VIII. Pada tahun 1585 terjadilah perang antara Bone dan Gowa dalam memperebutkan kekuasaan. Kepemimpina La Inca, tidak sebaik saudaranya, pemberontakan terjadi dimana-mana hingga ia akhirnya mati diatas tangga istana setelah menjabat selama 11 tahun lamanya. Sesuai anjuran Arung Majang, maka ditunjuklah La Pattawettu menggantikan La Inca sebagai Arumpone XI. Pada masa La Pattawettu tidak terlalu banyak disebut pemerintahannya, juga tidak diberitakan adanya serangan militer Gowa ke Bone. Hanya dikatakan bahwa setelah tujuh tahun menjadi Mangkau’ di Bone, ia pergi ke Bulukumba dan di situlah beliau sakit pada tahun 1602. Takhta raja pun diserahkan pada puterinya, We Tenri Tuppu (1602-1611) yang mengendalikan kerajaan Bone selama 9 tahun lamanya.

Pada tahun 1607, Raja Gowa mengirimkan armada perangnya untuk menyerang daerah-daerah bugis. Namum Tellumpoccoe berhasil mencegatnya dan terjadilah perang selama tiga yang dimenangkan oleh Tellumpoccoe. Selang tiga bulan, pasukan gabungan Tellupoccoe melancarkan serangan di Akkotengeng. Dan sekali lagi, Kerajaan Gowayang dibantu oleh sekutunya mengalami kekalahan.

Enam bulan setelahnya, Kerajaan Gowa tidak kehilangan semngatnya. Mereka memperkuat sekutu dan membuat benteng di daerah Rappeng, namun berselang tiga hari Raja Gowa meninggalkan benteng lalu kembali ke Makassar. Melihat hal tersbut, pasukan gabungan Tellumpoccoe mengepung dan menyerang sisi pertahanan Kerajaan Gowa di Rappang, namun pasukan gabungan Tellumpoccoe terdesak mundur dan mereka kembali ke negerinya masing-masing.

Mundurnya pasukan Tellumpoccoe merupakan gambaran bagi Kerajaan Gowa bahwa tidak terkoordinirnya pasukan Tellumpoccoe. Maka Raja Gowa terus meningkatkan pasukannya untuk penyerangan selanjutnya.

Lima bulan setelah itu, Raja Gowa melanjutkan ekspansinya dengan menyerang Kerajaan Soppeng, lalu dilanjutkan dengan serangan terhadap kerajaan Wajo, setelah itu dilanjutkan dengan serang terhadap kerajaan Bone. Dengan semuanya berakhir pada kemenangan di Kerajaan Gowa.

D. Islamisasi Bone

Proses Islamisasi di Bone tidak terlepas dari proses Islamisasi pada Kerajaan Gowa. Yang mana proses Islamisasi Kerajaan Gowa, dilakukan oleh Datu ri Bandang. Setelah Islamnya Kerajaan Gowa, penyebaran Islam pun dimulai. Sultan Alauddin melakukan penyebaran-penyebaran Islam secara damai. Pertama-tama ia lakukan dakwah Islam terhadap kerajaan-kerajaan tetangga. Alasan beliau berdasarkan perjanjian yang berbunyi “... bahwa barangsiapa menemukan jalan yang lebih baik, maka ia berjanji akan memberitahukan kepada raja-raja sekutunya”.[12]

Akan tetapi jalan damai tidak berlaku bagi Bone. Dalam hal ini Bone bersama sekutunya tidak mempercayai penyebaran Islam yang dilakukan kerajaan Gowa tidak berdasarkan ketulusan melainkan bersifat politis. Alasan tersbut beralasan, karena dalam sejarah sebelum masuknya Islam telah tejadi benturan-benturan terhadap kedua kerajaan. Menurut mereka ini adalah siasat Gowa untuk menguasai mereka.

Akhirnya terjadilah Perang yang dikenal dengan musu sellenge atau perang peng-Islaman. Seperti telah dituliskan sebelumnya telah terjadi perang pada tahun 1607-1611. Yang berangsur-angsur memaksa Soppeng memeluk Islam pada tahun 1609 M, Wajo pada tahun 1610 M dan Bone pada tahun 1611 M dengan perjanjian bahwa pemerintahan kerajaan tetap berada pada tangan mereka.

Islam masuk di Bone pada masa La Tenri Ruwa sebagai Raja Bone XI pada tahun 1611 M dan ia hanya berkuasa selama 3 bulan. Sebabnya, karena beliau menerima Islam sebagai agamanya padahal dewan adat Ade Pitue bersama rakyat menolak ajakan tersebut. Akhirnya beliau meninggalkan Bone, kemudian ke Makassar mempelajari agama Islam lebih mendalam dan meninggal di Bantaeng.[13]

Perlu diketahui sebelum Sultan Adam Mattindroe ri Bantaeng atau La Tenri Ruwa memeluk Islam. Sudah ada rakyat Bone juga yang telah memeluk Islam, bahkan Raja sebelumnya We Tenri Tuppu karena mendengar Sidendreng telah memeluk Islam ia pun tertarik untuk mempelajarinya dan wafat disana. Sehingga ia digelari Mattinroe ri Sidendreng.

Setelah dima’zulkannya La Tenrirua dan diangkat penggantinya La Tenripale Arung Timurung dalam tahun 1611. Arumpone La Tenri Pale To Akkeppeang Arung Timurung (1611 – 1625), adalah anak dari La Inca MatinroE ri Addenenna. Inilah Mangkaue’ yang membangkitkan kembali semangat orang Bone menolak Islam, yang menurut pemahamannya adalah pintu masuk Gowa mau menjajah Bone.

Akan tetapi, rakyat Bone dibawah Arumpone La Tenri Pale tak dapat berbuat banyak digempur dengan pasukan besar Gowa, segera setelah itu Bone resmi menjadi daerah takluk Gowa dan secara formal pula Bone memeluk Agama Islam (1611). Seluruh Arung Palili (Raja negeri bawahan Bone) diundang untuk mengucapkan syahadat tanda masuk Islam. Fakta tersebut menunjukkan bahwa Islam masuk di Bone melalui tekanan militer Gowa.[14]

Setahun setelah orang Bone menerima Islam, Arumpone La Tenri Pale ke Tallo (Makassar) menemui Dato’ ri Bandang. Diberilah nama Islam, Sultan Abdullah dan diumumkan pemberian nama itu dalam suatu khutbah Jum’at. Selama masa pemerintahan La Tenripale Towakkapeyang (1611-1631), penaklukan Gowa atas Bone tidak terlalu membawa penderitaan bagi rakyat Bone, karena hubungannya dengan Sultan Alauddin terjalin dengan baik.

Lalu pada masa La Maddaremmeng (1625 – 1640) yang menggantikan pamannya La Tenripale Toakkeppeang Matinroe’ ri Tallo menjadi Arumpone XIII. La Maddaremmeng mengamalkan Islam lebih ketat dibanding kerajaan lain termasuk Gowa-Tallo, di antara gebrakannya yang terkenal adalah menghapus sistem perbudakan Ata, karena manusia dilahirkan tidak untuk diperbudak; juga menghukum berat para penyembah berhala atau mensakralkan tempat dan benda-benda tertentu; pelaku zina; pencurian; miras, dan berbagai bentuk kemungkaran lainnya. Inilah sejarah awal penerapan syariat Islam secara formal. Maka terjadilah perlawanan dari para bangsawan Bone bahkan perlawanan tersebut dipimpin langsung oleh Ibu La Maddaremmeng sendiri yaitu Datu Pattiro we Tenrisolorengbeliau menolak ajaran Islam versi anaknya karena diangganya keras dan tidak toleran, ibunya lebih tertarik dengan ajaran Islam versi kerajaan Gowa-Tallo karena lebih sufistik dan klop dengan ajaran kepercayaan pra-Islam di Bone. [15]

Tercatat dalam Sejarah Bone tentang kepatuhan La Maddaremmeng dalam menjalankan ajaran Islam dan mengimplementasikannya dalam pemerintahannya. Bahkan diusahakan pula agar kerajaan tetanggnya seperti Soppeng, Wajo dan Ajattapareng menirunya, khususnya dalam memerdekakan hamba sahaya, kecuali yang memang budak turun temurun, sedang mereka inipun harus diperlakukan manusiawi. Baginda bertindak keras tanpa pandang bulu terhadap siapapun yang melanggar kebijaksanaannya. Meski begitu, tak sedikit pula bangsawan dalam Kerajaan Bone sendiri yang menentang penghapusan perbudakan.

Dengan dalih menciptakan stabilitas keamanan dalam negeri Bone dan penentangan terhadap penghapusan perbudakan, Gowa dibawah pemerintahan Karaenge’, Sultan Malikus Said kembali menyerang Bone (1644). Ini berarti Gowa sendiri tidak mau dan tidak menyetujui penghapusan perbudakan. La Maddaremmeng menghadapi perang tersebut dengan dibantu saudaranya, La Tenriaji Tosenrima, namun serangan Gowa secara besar – besaran tersebut tak dapat ditahan pasukan Bone, Arumpone akhirnya menyingkir ke daerah Larompong. Di Cimpu, Arumpone ditawan lalu dibawa ke Gowa, diasingkan di suatu kampung bernama Sanrangang (1644). Rakyat dan Hadat Bone akhirnya mengangkat La Tenriaji To Senrima sebagai Arumpone untuk melanjutkan perjuangan melawan Gowa. La Maddaremmeng dikembalikan ke Bukaka dan disanalah Arumpone ini meninggal, hingga digelari Matinroe ri Bukaka.

E. Arung Palakka dan Kolonial
Berbicara mengenai Kerajaan Bone, tidak sah rasanya tanpa membahas Arung Palakka. La Tenri Tatta Arung Palakka MalampeE Gemme’na Petta To RisompaE (1667 - 1696) adalah Raja Bone XV dicap pemerintah sebagai pengkhianat. Oleh sebagian besar masyarakat Sulawesi Selatan yang tak memahami sejarah yang sebenarnya memang akan mudah tergiring opini Arung Palakka sebagai Pengkhianat berdasar fakta bahwa Arung Palakka-lah yang bersekutu dengan Belanda menyerang Kerajaan Gowa. Sejarah itu kemudian terlukis dalam Perang Makassar (1667) dan menjadi penyebab jatuhnya Kerajaan Gowa sebagai imperium besar di Nusantara bagian timur.

Dalam Lontaraq Akkarungeng ri Bone disebutkan bahwa La Tenri Tatta Arung Palakka baru berusia 11 tahun, ketika Kerajaan Bone dibawah kepemimpinan La Tenri Ruwa diserang dan dikalahkan oleh Kerajaan Gowa (1611) di masa kekuasaaan I Mangerangi Daeng Manrabia Sultan Alauddin. Orang tuanya La Pottobune ditangkap dan ditawan bersama Arumpone La Tenri Ruwa serta bangsawan Bone lainnya. Penaklukan Bone oleh Gowa tersebut dikenal dalam sejarah bernama Musu’ Pasempe (Perang di Pasempe). Paska Perang inilah, rakyat Bone bersama raja dan bangsawannya digiring ke Gowa, dijadikan tenaga kerja paksa dalam membangun Benteng - benteng Makassar.[16]

Singkat cerita, La Tenri Tatta Arung Palakka dan semua bangsawan Bugis Bone Soppeng merasakan siri’ yang luar biasa, rasa malu dan harga dirinya tercabik - cabik diperlakukan tak berperikemanusiaan. Arung Palakka menggabungkan diri dan bekerja juga sebagai penggali parit dan pembuat benteng.[17] Ia ikut merasakan bagaimana penderitaan bangsanya disiksa oleh punggawa dan bangsawan Gowa yang mengawasi pekerjaan itu. Ayah Arung Palakka, La Pottobune’ meninggal di Gowa paska diadakannya perburuan rusa di Tallo oleh Karaeng Gowa dan para pengawalnya. La Pottobune’ Datu Lompulle mengamuk karena membela dua pelarian kerja paksa bangsanya yang tidak tahan dilihatnya disiksa dan dipukuli. Dalam lontaraq disebut bahwa sejak kejadian itu, La Tenri Tatta Daeng Serang Arung Palakka tidak bisa lagi tidur. Setiap saat yang dipikirkannya adalah bagaimana menegakkan kembali kebesaran Tanah Bone.

Kisah selanjutnya, dalam Lontaraq Bone disebutkan bagaimana kisah Arung Palakka melarikan diri bersama bangsawan bugis Bone Soppeng lainnya dari barak - barak kerja paksa, terjadinya pengejaran terhadap dirinya, perjalanannya ke kerabatnya Bangsawan Bone Soppeng dalam meminta dukungan, sumpah Arung Palakka ketika akan menyeberang dari Tanah Bugis ke Tanah Buton (1660). Dan dari Buton, perjalanannya diteruskan ke Batavia (1663) untuk mencari sekutu dalam memerangi Gowa. Ketika Arung Palakka menawarkan persekutuan kepada Belanda, Belanda sempat ragu namun setelah melihat sendiri kehebatan Arung Palakka dan pasukan pelariannya dalam Perang Pariaman di Sumatera Barat maka yakinlah Belanda akan dapat memenangkan pertempuran melawan Gowa dengan bantuan pasukan Bugis. Kerajaan Gowa sendiri ketika itu telah menjadi negara yang modernis, sebagai imperium besar di Nusantara Bagian Timur dengan pasukan militer darat dan laut yang tangguh.

Dalam sejarah kemudian dikenal, terjadi Perang Makassar (1667) yang menjadi malapetaka runtuhnya dinasti Kesultanan Gowa. Posisi Arung Palakka selanjutnya dipertanyakan banyak sejarawan, namun seiring dengan semakin membaiknya pemahaman masyarakat akan sejarah dalam konteks sejarah lokal, dapat dipahami alasan Arung Palakka memerangi Gowa. Sejarawan asal Amerika, Dr Leonard Y Andaya dalam buku “Warisan Arung Palakka - Sejarah Sulawesi Selatan Abad XVII” mengurai betapa terkunkungnya dominasi Belanda menguasai daratan Sulawesi Selatan selama Arung Palakka masih hidup dan menjadi penguasa atasan atas semua negeri taklukan paska Perjanjian Bungaya (1668).[18]

Sepeninggalnya, Arung Palakka telah meletakkan dasar - dasar hegemoni politik dengan cara mengawinkan mawinkan kemenakannya, La Patau Matanna Tikka dengan Gowa dan Luwu, yang diangkatnya menjadi Raja Bone XVI. Arung Palakka pun kini di mata masyarakat Bugis, khususnya Bone - Soppeng dijuluki sebagai “Sang Pembebas”, bukan sebagai pengkhianat. Andi Sultan Kasim (2002) menyebut julukan tersebut adalah hal yang pantas, karena ketika itu Bone adalah sebuah negara (kerajaan) yang merdeka dan berdaulat, sama halnya dengan Gowa, wajar jika seorang Arung Palakka menuntut dan memperjuangkan kemerdekaan atas bangsanya.

F. Runtuhnya Kerajaan Bone

Sejak runtuhnya Kerajaan Gowa pasca munculnya Perjanjian Bongaya, Kerajaan Bone bangkit menjadi satu-satunya kerajaan yang memiliki pengaruh paling besar. Hingga awal XX, Kerajaan Bone memainkan peran penting dalam sejarah politik di Sulawesi Selatan.

Pada abad XIX Kerajaan Bone menjadi saingan Belanda dalam memperluas kekuasaan dalam bidang ekonomi dan politik. Akibatnya, kedua penguasa ini pernah terlibat dalam perang besar. Dalam sejarah daerah ini, perang itu terjadi pada tahun 1824-1825 yang bermula setelah Sultan Bone meninggal pada tahun 1823, dan digantikan oleh saudarinya Aru Datu (bergelar I-Maneng Paduka Sri Ratu Sultana Salima Rajiat ud-din), pemerintah kesultanan mencoba merevisi Perjanjian Bongaya, beserta semua anggota persekutuan itu, yang jatuh atas pemerintahan itu, hukum yang sama harus diberlakukan. Antara tanggal 8 Maret sampai 21 September 1824, GubJend. G.A.G.Ph. van der Capellen mengadakan lawatan ke Sulawesi dan Kepulauan Maluku; semua penguasa datang memberikan penghormatan (juga perwakilan Ratu Bone), kecuali penguasa Suppa dan Tanete. Van der Capellen berharap bahwa perundingan dengan negara-negara tersebut tidak akan membawa keuntungan apapun; sekembalinya ke Batavia, sebuah ekspedisi dipersiapkan dan sekitar 500 prajurit diberangkatkan dengan membawa 4 meriam, 2 howitzer, beserta 600 prajurit pembantu pribumi untuk menghukum Bone.[19]

Sultan yang kini terguling lari ke pedalaman dan penduduk tetap melancarkan serangan atas Belanda namun masalah di Tanete cepat dibereskan dengan baik. Meskipun Suppa masih kuat; Letkol. Reeder melancarkan serangan bersama 240 prajurit yang dipersenjatai sejumlah moncong senjata; pada tanggal 14 Agustus serangan diperbaharui: orang Bugis membiarkan pasukan Belanda mendekat tanpa ancaman apapun hingga di kaki sebuah bukit dan barulah mereka melancarkan serangan; setelah kehilangan sepertiga pasukannya, Belanda harus mundur. De Stuers menyerbu bersama komisaris pemerintahan Tobias ke Suppa dan makin mendekat; pada pagi hari tanggal 30 Agustus, operasi itu berhasil diselesaikan, setelah tembakan meriam peringatan ke benting musuh, namun kekuatan yang dibawa De Stuers tak cukup kuat. Dengan korban tewas sebanyak 14 jiwa dan 60 korban luka-luka, pasukan Belanda harus kembali dan harus melancarkan ekspedisi lain.[20]

Lalu berturut-turut perang terjadi pada tahun1859-1860 dan perang yang terjadi pada tahun 1859-1860. Hingga Serangan yang dilancarkan pemerintah Kolonial pada tahun1905 yang menandai berakhirnya Kerajaan Bone pada masa La Pawawoi Karaeng Segeri.

Sekali lagi Pemerintah Kolonial ingin meneggakkan supremasinya terhadap seluruh wilayah Sulawesi Selatan. Kolonial Belanda menganggap Bone telah melanggar perjanjian sebelumnya bahwa Bone tidak boleh memperluas wilayah kekuasaanya, hingga munculnya bukti invasi militer Bone di Tana Toraja dan Wajo 1897-1900. Gubernur Hindia Belenda Baroon van Hoevell mengeluarkan surat perintah penghapusan penguasa pribumi Bone pada Maret 1903.[21]

Akhirnya pada Julli 1905 dilancarkanlah serangan terhdapa Kerajaan Bone oleh Belanda melalui pelabuhan Bajoe. Dengan berakhir pada kemenangan Belanda. Akan tetapi, Karaeng Segeri mengusngsi menuju pedalaman, untuk mengumpulkan pasukan dan menyemangati para pejuang yang tersisa.

Sementara pengejaran terhadap La pawawoi terus dilakukan, Tomarilalang bersama lima anggota Dewan Adat Bone menyatakan tunduk terhadap Belanda. Ditambah semakin terdesaknya para pejuang Bone hampir disetiap pertempuran dan kematian Panglima tertinggi perang Kerajaan Bone Petta Ponggawae Baso Pangilingi Abdul Hamid. Perang pun berakhir, Raja Bone La pawawoi sudah tidak memiliki daya lagi untuk mempertahanya pada kerajaan. Ia pun akhirnya harus ditahan, dan diputuskan dikirm ke Bandung, dimana ia kemudian mengehmbuskan nafas terkhirnya pada Januari 1911.[22]

KESIMPULAN

  1. Seperti halnya kelahiran Kerajaan Gowa, proses sejarah berdirinya Kerajaan Bone juga diawali dengan kisah kehadiran Tomanurung. Jika Tomanurung di Kerajaan Gowa adalah wanita, Tomanurung di Kerajaan Bone adalah laki-laki. Dan ditunjukkalah ia sebagai Raja Bone I atau Arung Pone yaitu Tomanurung ri Matajang, yang bergelar MatasimpoE. Ia memerintah kurang lebih 40 tahun, dari tahun 1330 M sampai tahun 1370 M
  2. Pada Proses awal Perkembangan Kerajaan Bone yang pada tiap-tiap Raja Bone mulai dari Raja Bone I atau Arung Pone yaitu Tomanurung ri Matajang, hingga Raja Bone VI yaitu La Uliyo Bote’E inilah Bone membentuk sistem pemerintahannya, sistem sosial dan ekonomi. Bahkan hubungan politik mulai dibentuk pada proses awal ini.
  3. Perjanjian Tellumpoccoe adalah perjanjian yang melibatkan tiga kerajaan Bugis yaitu Bone, Soppeng dan Wajo. Perjanjian ini bermula atas keinginan mempersaudarakan ketiga kerajaan tersebut dan juga demi menentang agresi dari Kerajaan Gowa yang merupakan penguasa adidaya pada masa itu.Perjanjian ini ada pada masa La Tenri Rawe BongkangE sebagai Raja Bone VII.
  4. Proses Islamisasi di Bone tidak terlepas dari proses Islamisasi pada Kerajaan Gowa. Islamisasi pada Kerajaan Bone tidak ditempuh dengan jalan damai, melainkan melalui musu asselengeng yaitu perang peng-Islaman. Pada tahun 1611 M setelah Wajo dan Soppeng masuk Islam, Bone pun turut mengikuti berkat agresi militer Gowa. Hingga secara resmi tahun1611 pada masa La Tenripale Arung Timurung. Lalu pada masa La Maddaremmeng (1625 – 1640) yang menggantikan pamannya La Tenripale Toakkeppeang Matinroe’ ri Tallo menjadi Arumpone XIII. La Maddaremmeng mengamalkan Islam lebih ketat dibanding kerajaan lain termasuk Gowa-Tallo.
  5. Berkat bantuan dari Pasukan Hindia Belanda Gowa berhasil ditaklukkan oleh persekutuan Bone-Belanda dibawah pimpinan Arung Palakka. Yang mana setelah Perjanjian Bongaya, Kerajaan Bone memainkan peran penting dalam sejarah politik di Sulawesi Selatan.
  6. Runtuhnya Kerajaan Bone setelah serangan militer Belanda pada tahun 1905 pada masa pemerintahan Raja terakhir Bone La Pawawoi Karaeng Segeri. Yang akhirnya meninggal dalam tahanannya di Bandung pada tahun 1911 M. 


DAFTAR PUSTAKA

................, Laporan Penelitian Sejarah Sulawesi Selatan (Biografi Aru Palakka), Cet I; Ujung Pandang, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, 1993

Azhar Nur, Trilianci Tellumpoccoe Cet I: Yogyakarta, Cakrawala, 2009


http://blogbone.blogspot.com// Perangbone (1859-1905)/

L. Edward dkk., et.al. Sejarah Sulawesi Selatan Jilid I dan II, Cet I; Makassar, Balitbangda, 2004-2005.

Mattullada, Bugis – Makassar, Manusia dan Kebudayaannya Jakarta: Terbit Khusus Fakultas Sastra UI, 1974.

Rasyid, Darwas Latenri Tatta Aru’ Palakka dalam Konteks Sejarah Sulawesi Selatan Cet I: Ujung Pandang, Badan Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional 1994
Sewang. Ahmad M., Islamisasi Kerajaan Gowa abad XVI sampai abad XVII, Cet II: Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2005

Footnote
[1] Edward L dkk., et.al. Sejarah Sulawesi Selatan Jilid I, (Cet I; Makassar, Balitbangda, 2004) h. 32-33
[2]Drs. Darwas Rasyid M.S, Latenri Tatta Aru’ Palakka dalam Konteks Sejarah Sulawesi Selatan (Cet I: Ujung Pandang, Badan Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional 1994) h.59
[4] Drs. Darwas Rasyid M.S., Op.cit., h. 61
[5] Ibid., h.62
[6] Ibid. h.63
[7] Kajao lalidong adalah sebuah gelar bagi seorang pemikir politik dan negarawan dari tanah bugis. Kajao lalidong pula yang mencoba menanamkan nilai-nilai atau sifat-sifat yang harus dimiliki oleh raja dan rakyat,yaitu:Lempu’ (kejujuran), Acca (kepandaian), Asitinajang (kepatutan), Getteng (keteguhan), Reso(usaha,kerja keras), Siri’ (harga diri).
[8] Mattullada, Bugis – Makassar, Manusia dan Kebudayaannya (Jakarta: Terbit Khusus Fakultas Sastra UI, 1974), h.5
[9] Azhar Nur, Trilianci Tellumpoccoe (Cet I: Yogyakarta, Cakrawala, 2009) h. 64
[11] Azhar Nur, Op.Cit h.67-68
[12] Prof. DR. Ahmad M. Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa abad XVI sampai abad XVII, (Cet II: Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2005), h. 112
[13] Edward L dkk., et.al. loc. cit. h. 92
[14] Drs. Darwas Rasyid. loc. cit. h. 90
[16] Ibid
[17] ................, Laporan Penelitian Sejarah Sulawesi Selatan (Biografi Aru Palakka), (Cet I; Ujung Pandang, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, 1993). h. 2-3
[19] Edward L dkk., et.al. Sejarah Sulawesi Selatan Jilid II, (Cet I; Makassar, Balitbangda, 2005) h. 24
[20] http:www.blogbone.blogspot.com// Perangbone 1859-1905)
[21] Edward L. Op .Cit. h.25
[22] Ibid., h 32

Chairul Mundzir
HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html