Islam Di Domba Hitamkan

Ditengah kekacauan,Fitnah, teror dan kekerasan,umat Islam tetap tabah berdiri mempertahankan keyakinannya, dengan memperkenalkan agamanya dengan cara-cara damai dan menyejukkan.

Akhirnya Sunni dan Syiah Bersatu

Bukankah mereka mengimani tuhan yang sama, Mencintai Nabi dan Rosul yang sama, memiliki Kitab suci yang sama, Mempunyai Syahadah yang sama ?, Kemudian mereka saling fitnah dan menumpahkan darah.

Pengaruh Peradaban Islam Terhadap dunia Modern

Pada masa lampau, peradaba Islam memberikan sumbangan besar terhadap kemajuan dunia Barat, kini Islam dan Barat saling menghunus pedang, Islam sebagai Tokoh Kegelapan, sedangkan Barat sebagai Tokoh Peradaban.

Jihad Dan Terorisme dalam Prespektif Islam

Siapa mereka yang mengatakan terorisme merupakan bagian dari jihad fi sabilillah ?? sedangkan teror sangat ditentang oleh teks rujukan utama umat Islam.

Lagenda Assasin "Penebar Maut Lembah Alamut"

Asyhasin(assassin) Antara Lagenda dan Mitos, Siapa Sangka Assassin yang terkenal sebagai Game, adalah Kisah Nyata Pasukan Khusus sekte pecahan Syiah Ismailiyah.

Thursday 31 October 2013

JEJAK SEJARAH SYEKH YUSUF AL-MAKASSARY

Islam merupakan agama universal yang dibawa oleh Nabi Muhammad sebagai aturan yang mengatur kehidupan manusia. Hal ini dimaksudkan agar manusia didalam kehidupannya dapat menjalin hubungan yang baik dengan manusia lain yang ada disekitarnya sekaligus kepada Tuhan Yang Maha Esa. Meskipun demikian, ternyata didalam penyebarannya, masih banyak tantangan dan rintangan yang harus dilalui oleh para pendakwah, utamanya Nabi Muhammad Saw. Nabi Muhammad Saw bahkan diancam akan dibunuh. Nabi didalam dakwahnya pernah dilempari batu sampai keningnya berdarah. Bukan hanya itu, ternyata pada perang Uhud, Nabi sampai terkepung, sampai sampai gigi Nabi-pun tanggal akibat pukulan dari salah satu kaum kafir Qurays. Hal ini dikarenakan masih banyak manusia di saat itu masih bodoh, sehingga mereka lebih cenderung melawan ketimbang rasa ingin tahu mereka terhadap Islam.

Meskipun medapat tantangan, ternyata Islam-pun mampu melebarkan sayapnya sampai ke berbagai penjuru, termasuk Nusantara. Penyebaran Islam di Nusantara ternyata berbeda dengan penyebaran Islam di Jazirah Arab. Penyebaran Islam di Jazirah Arab identik dengan peperangan dan penaklukan, sementara penyebaran Islam di Nusantara berawal dari perdagangan orang-orang Arab dengan Cina. Orang-orang Arab yang akan ke Cina tentunya harus singgah di Malaka sebelum mereka Cina. Malaka pada saat itu terkenal sebagai pusat perdagangan yang ada di Nusantara. 

Meskipun Malaka merupakan pusat perdagangan, akan tetapi pusat rempah-rempah berada di Maluku. Hubungan Maluku dan Malaka pada saat itu sudah terjalin, sehingga banyak pedagang yang datang ke Maluku untuk membeli rempah-rempah. Oleh karena itu tentunya para pedagang yang ingin ke Maluku seharusnya singgah terlebih dahulu di wilayah kerajaan Makassar sebagai tempat pelabuhan transito antara Malaka dan Maluku.

Selain mereka datang ke Maluku, sebetulnya merekapun menyebarkan agama Islam. Maka Islampun tersebar ke berbagai penjuru Nusantara seraya tersebarnya para pedagang Muslim yang ada Nusantara. Bahkan para pedagang Muslim ada yang menetap di wilayah Nusantara oelh karena mereka menikah dengan orang pribumi.

Sebagai Bandar transito, tentunya para pedagang Muslim tidak menyia-nyiakan waktunya hanya untuk bedagang, akan tetapi merekapun menyebarkan agama Islam. Yang mula-mula mereka lakukan adalah mendakwai para penguasa pada saat itu. Oleh karena para penguasa tertarik dengan agam baru tersebut, akhirnya masuklah I Mangerangngi Daeng Manrabia sebagai raja pertama masuk Islam dengan gelarnya Sultan Alauddin serta raja Tallo, I Mallingkai Daeng Nyonri dengan gelarnya Sultan Abdullah Awalul Islam.

Namun demikian, Islam yang ada di Kerajaan Makassar belum terlalu dipahami, oleh karena terfokusya para Muballigh dalam mengusir penjajah yang telah datang pada saat itu. Namun demikian, dakwah sebetulnya masih berjalan, akan tetapi tidak terlalu intensif. Salah satu Muballigh terkenal di Sulawesi Selatan, bahkan sampai Ke Banten dan Afrika Selatan adalah Syekh Yusuf. Syekh Yusuf merupakan muballigh asli dari Sulawesi Selatan. Akan tetapi karena beliau merasa banyak mendapatkan tantangan di Sulawesi Selatan, utamanya di Kerajaan Makassar, maka beliau pun pindah ke Banten. Di Banten, beliupun menyebarkan agama Islam. Bahkan beliau menjadi kerabat Raja Banten. Namun karena beliau dianggap berbahaya oleh Belanda, maka iapun diasingkan Ke Afrika Selatan dan akhirnya beliupun wafat di sana.


BIOGRAFI SYEKH YUSUF AL-MAKASSARY


A. Kelahiran

Yusuf (nama kecil Syaikh Yusuf) lahir di Makassar pada tahun 1626 M. Lontarak Syekh Yusuf[1] menceritakan bahwa Yusuf lahir di Istana Tallo pada 3 Juli 1626 M/8 Syawal 1036 H, dari Puteri Gallarang Moncongloe di bawah pengawasan raja Gowa. Menurut Da Costa dan Davis,[2] orang tua Syekh Yusuf termasuk kaum bangsawan. Ibunya memiliki hubungan darah dengan raja-raja Gowa, sedangkan ayahnya masih kerabat Sultan Alauddin. Gelar “syekh” diperoleh dari seorang mursyid tarekat yang membimbingnya, sesuai dengan tradisi ahli tasawwuf.[3]

Syekh Yusuf al-Makassary adalah buah perkawinan Abdullah bin Abi Khayri al-Manjalawi dengan I Tubiani Sitti Aminah Daeng Kunjung, putri pasangan Daenta Daeng Leyo’ dengan I Kerana Daeng Singara. Daenta Daeng Leyo’ yang nama lengkapya I Hama (Ahmad) Daeng Leyo’ adalah salah seorang pejabat Bate Salapang dalam kedudukannya sebagai Daenta Gallarrang Moncong Lowe yang juga merangkap sebagai pejabat Kare Bira Ke IV.[4]

I Tubiani Daeng Kunjung dipersunting oleh Abdullah bin Abi Khayri al-Manjalawy atas bantuan Dampang Ko’mara (Suatu jabatan pemerintahan setingkat Gallarrang di Gowa). Abdullah bin Abi Khayri al-Manjalawy sendiri konon bersahabat dengan Hatib Abdul Makmur Dato’ ri Bandang, disamping itu dikenal pula sebagai seorang sufi.[5]

Yusuf kecil dipelihara dan dibesarkan di lingkungan istana bersama Sitti Daeng Nisanga putri raja Gowa, dan bersama pula diajari mengaji beserta ilmu tajwid oleh Daenta Sammeng, seorang perempuan salehah dan luas ilmunya.[6]

Dalam Tuhfat al-Mursalah, karya Syekh Yusuf, tertulis nama al-Syekh Yusuf al-Taj Abu al-Harkani al-Majalawi. Nama ini menunjukkan seorang waliyullah yang mengetahui asal-usulnya, yaitu keturunan bangsawan Lili negeri Majalawi Makassar. Dalam al-Naba fi I’rab La Ilaah illallah, tertulis nama al-Syekh Yusuf bin Abdullah al-Jawi al-Makassari, yang menunjukkah bahwa dia adalah wali sufi dari tanah Jawi dan Makassar.[7] Gelar “Syekh” diperoleh menurut tradisi tasawwuf setelah ia mendapat izin dari gurunya di Damaskus yang bernama al-Syekh Abu al-Barokah Ayyub bin Ahmad bin Ayyub al-Khalawaty al-Quraisy, karena Syekh Yusuf memiliki kemampuan dan penguasaan dalam tarekat. [8]

Syekh Yusuf al-Makassary belajar bahasa Arab, ilmu Fiqh, dan ilmu-ilmu syariat lainnya pada padepokan Bontoala sebuah pondok pesantren yang didirikan ketika Gowa menerima Islam sebagai agama kerajaan. Pondok ini diasuh oleh Syekh Sayyid Ba’ Alwi bin Abdullah al-Allamah Thahir sejak 1634, seorang Arab Qurais dari Makkah yang kemudian menjadi menantu Sultan Alauddin. [9]

Syekh al-Haj Yusuf al-Makassary, kemudian melanjutkan belajar ilmu hakiki pada dua orang ulama salaf pada waktu itu, yaitu: Lo’mok ri Antang, dan Dato’ ri Panggentungang yang bernama Sri Naradireja bin Abdul Makmur, putra Dato’ ri Bandang yang bertujuan untuk mencari ayahandanya di Makassar, akan tetapi sang ayah telah wafat. Oleh raja, beliau dibujuk agar dapat menetap dan melanjutkan da’wah islamiyah yang dilakukan oleh ayahnya kala hidupnya.[10]

Di Makassar Syekh Yusuf sejak kecil dibiasakan hidup menurut norm-norma agama. Kebiasaan yang dianut oleh masyarakat Islam ketika itu, termasuk Gowa dan Tallo misalnya kewajiban belajar al-Qur’an sampai khatam. Setelah itu dilanjutkan dengan pelajaran bahasa Arab, tauhid, Fiqh dan lain-lain.[11] Tradisi itu juga dijalani oleh Syekh Yusuf. Gurunya, I Daeng ri Tasammeng, melihat minat Syekh Yusuf pada ilmu tasawwuf, sehingga ia meminta Syekh Yusuf untuk mendalam ilmu tasawwuf di luar Makassar.[12]

Keinginan Syekh Yusuf al-Makassary untuk menimba ilmu disambut baik oleh semua kalangan dengan harapan agar kelak butta Mangkasara’ memilki seorang figur ilmu Islam yang cendekia dan handal.[13]

Saat sang guru menganggap pelajaran telah selesai, Syekh Yusuf diberi pesan untuk melanjutkan perjalanannya menuntut ilmu ke Makkah. Kebetulan pada saat itu kerajaan Gowa yang sedang berkembang membutuhkan seorang ulama yang mumpuni. Oleh karena itu beberapa pembesar kerajaan menganjurkan Syekh Yusuf untuk memperdalam ilmu ke negeri lain. Saat itu Syekh Yusuf berusia 18 tahun.[14]

Sebelum meninggalkan tanah kelahirannya, Syekh Yusuf al-Makassary mempersunting Sitti Daeng Nisanga seperti pemberitaan Ince Nuruddin Daeng Magassing dalam karyanya berjudul Riwaya’na Tuanta Salamaka Syekhu Yusufu, th. 1933, namun tak ada tarikh yang menunjukkan kejadiannya.[15]


B. Jejak Perjalanan Syekh Yusuf dalam menuntut ilmu


a) Banten

Syekh al-Haj Yusuf al-Makassary meninggalkan Makassar dengan menumpang kapal Portugis yang bertolak di Galesong pada malam kamis, tanggal 20 Oktober 1644 Masehi bertepatan dengan tanggal 18 Saban 1054 Hijriyah sesuai penanggalan Lontara Bilang Gowa-Tallo, pada masa pemerintahan raja Gowa I Mannuntungi Daeng Mattola Sultan Malikussaid.[16]

Syekh Yusuf tiba di Banten pada masa Sultan Abu al-Mufakhir Mahmud Abdul Qadir yang memerintah tahun 1596-1651.[17] Semangat merantau dan menuntut ilmu ini sepertinya dipengaruhi oleh hubungan antara Makassar dan Banten-Aceh, sebagai kerajaan-kerajaan Islam, yang sama-sama berjuang menghadapi Portugis-Belanda.[18]

Setelah menuntut ilmu, Syekh Yusuf pulang ke Banten dan menjadi ulama yang berpengaruh. Pada tahun 1660 M, Syekh Yusuf memimpin perang dan berkali-kali berhasil melumpuhkan musuh, baik melalui strategi kekuatan laut (melalui pelaut-pelaut ulung Banten) maupun kekuatan darat (pasukan gerilya yang berani mati).[19] Dibanten, Syekh Yusuf diterima dengan baik oleh Sultan Abdul Qadir. Selain menjadi ulama, Syekh Yusuf juga menjadi kerabat Kesultanan Banten.[20]

b) Aceh

Syekh Yusuf tiba di Aceh pada masa pemerintahan Sultan Taj al-Alam Safiatuddin Syah (1641-1675), putra Sultan Iskandar Muda. Di Aceh Syekh Yusuf menemui seorang ulama terkemuka yang menjadi mufti kerajaan, yaitu al-Syekh Nuruddin ar-Raniri. Dari al-Raniri, Syekh Yusuf belajar tasawwuf dan tarekat dan memperoleh ijazah dam Tarekat Qadiriyah.[21] Menurut Lubis, Syekh Yusuf belajar kepada ar-Raniri bukan hanya di bidang agama saja, melainkan juga filsafat kenegaraan. Ar-Raniri adalah pengarang kitab terkenal Bustan al-Salatin (taman raja-raja), yaitu kitab yang mengulas tentang sistem pemerintahan Islam.[22]

c) Yaman, Hijaz, Syiria, dan Turki

Syekh al-Haj Yusuf al-Makassary meninggalkan Aceh menuju Yaman pada tahun 1649, dan berkesempatan menemui seorang Syekh tariqat, yaitu Sayyid Abi Abdullah Muhammad Abdul Baqi bin al-Kabir Mazjaji al-Yamani Zaidi al-Naqsabandi dan belajar tariqat Naqsabandiyah, kemudian melanjutkan perjalanannya ke Zubaid (masih Yaman) menemui Syekh Maulana Sayyid Ali dan belajar tariqat Baalawiyah.[23]

Dari Yaman, Syeh Yusuf menunaikan ibadah haji ke Mekkah dan berziarah ke makam Nabi Muhammad di Madinah. Di Madinah, Yusuf bertemu dengan seorang Syekh tarekat Syattariyah, yaitu Syekh Burhanuddin al-Mulla bin Syekh Ibrahim ibnu al-Husain bin Syihab al-Din al-Kurdi al-Kurani al-Madani. Syekh Yusuf kemudian menimba ilmu dari Syekh Ibrahim dan mendapat Ijazah tarekat Syattariah.[24]

Merasa dahaga intelektual dan pengetahuannya belum terpenuhi, Syekh Yusuf kemudian menuntut ilmu ke Syiria dan berguru pada Syekh Abul Barakat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub al-Khalwati al-Quraisyi.[25] Dari gurunya ini, Syekh Yusuf memperoleh gelar “Tajul Khalwaty Hadiyatullah” yang artinya: “mahkota khalwaty anugrah dari Allah.”[26]

Selain itu, Syekh Yusuf juga berkesempatan mendatangi Istanbul (Turki). Setelah kurang lebih 23 tahun mengembara, Syekh Yusuf kemudian kembali ke tanah air pada tahun 1668 M.[27]


C. Perjuangan Syekh Yusuf Melawan Belanda


Syekh Yusuf kembali ke tanah air tepat setelah terjadi perjanjian Bongaya antara VOC Belanda dan Makassar, dan perlawanan raja Gowa tidak lagi memiliki pengaruh yang berarti. Pada saat itu, Arung Palakka, Sultan Bone, memilih berpihak pada VOC Belanda di bawah Spelman, dari pada mendukung Sultan Hasanuddin dari Makassar.[28]

Keadaan tersebut di atas menyebabkan masyarakat kembali pada kebiasaan lamanya, yaitu menyabung ayam, minum tuak, dan berjudi. Syekh Yusuf berusaha memperbaiki keadaan tersebut dengan menemui raja Gowa saat itu, yaitu Sultan Amir Hamzah (1669-1674), yang masih memiliki hubungan darah dengannya, untuk memberantas kemaksiatan. Namun raja tidak memenuhi keinginan Syekh Yusuf. Kecewa atas sikap raja, Syekh Yusuf memutuskan untuk meninggalkan Makassar menuju Banten dan berharap dapat mengembangkan ajaran Islam di bawah pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa. Sebelum meninggalkan Makassar,, Syekh Yusuf telah menyiapkan beberapa kader, termasuk Abdul Qadir Karaeng Majenneng dan Abdul Bashir Dharir, agar tetap melanjutkan dakwahnya.[29]

Berbeda dengan buku Djamaluddin Aziz yang menjelaskan bahwa Syekh Yusuf tidak melanjutkan perjalanan ke Makassar pasca perjanjian Bongaya. Syekh Yusuf memutuskan untuk menetap di Banten dan menyebarkan Islam di sana. Sementara kedua kader Syekh Yusuf dijelaskan bahwa mereka datang ke Banten untuk belajar kepada Syekh Yusuf karena Syekh Yusuf sendiri tidak datang ke Makassar. 

Di Banten, Syekh Yusuf diterima dengan senang hati oleh Sultan Ageng Tirtayasa dan dinikahkan dengan putrinya sendiri yaitu ratu Aminah. Di Banten, Syekh Yusuf menjadi ulama berpengaruh karena pengetahuannya yang mendalam. Sultan Ageng Tirtayasa mengangkatnya menjadi qadli (hakim) dan guru besar agama Islam serta guru besar tarekat sekaligus panglima perang. Sejak 1660, pasukan yang dipimpin oleh Syekh Yusuf berkali-kali memukul mundur pasukan Belanda.[30]

Syekh Yusuf al-Makassary menjabat sebagai mufti selama 13 tahun yang berakhir setelah tertangkapnya Sultan Banten akibat pertikaian Belanda yang disulut oleh Sultan Haji, pendurhaka.[31] Syekh Yusuf al-Makassary melanjutkan peperangan dengan taktik perang gerilya bersama sang putra raja Pangeran Purbaya dan Pangeran Kidul.[32]

Mereka membawa bala tentara menelusuri lembah dan ngarai yang terhampar antara Banten dan Cirebon guna mengacaukan pasukan musuh sambil membangun serangan.[33]

Pertengahan tahun 1683, Belanda mengadakan pengejaran secara teratur untuk menangkap Syekh Yusuf dan putra Sultan Ageng Tirtayasa yang memihak Syekh Yusuf, yaitu Pangeran Purbaya. Pengejaran itu berlangsung secara terus menerus, hingga Syekh Yusuf di tangkap dan diasingkan ke Tanjung Harapan atau Afrika Selatan hingga wafat.[34]


PEMIKIRAN SYEKH YUSUF AL-MAKASSARY


A. Latar Belakang Pemikiran Syekh Yusuf Al-Makassary

Perjalanan Syekh Yusuf hingga mencapai puncak pendakian intelektual dan spiritual yang tertinggi, tidak terlepas dari dorongan dan kesan guru-gurunya yang sudah melihat Yusuf sebagai orang yang memiliki kemampuan tinggi, sehingga para gurunya itu rela mengorbankan waktu dan tenaga demi mengantarkan Yusuf menjadi calon ulama, sufi dan pemimpin yang kelak disegani.[35]

Diantara peran dan dorongan-dorongan para gurunya, ada yang menghendaki agar Yusuf meninggalkan tanah kelahirannya, ada juga yang memberikan rekomendasi belajar sekaligus mengorientasikan Yusuf kepada tahapan yang lebih tinggi, bahkan ada yag mengawinkan keluarganya demi mendapatkan kemauan Yusuf untuk belajar. [36]

Namun demikian, secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa selain guru-guru yang ahli dalam keilmuan Islam, keberhasilan Syekh Yusuf dalam menuntut ilmu ini amat didukung oleh semangatnya yang amat tinggi dalam pencarian ilmu pengetahuan. Tanpa semangat yang tinggi dalam pencarian ilmu pengetahuan, tidak mungkin seseorang dapat mencapai derajat yang begitu tinggi dalam dunia intelektual, walaupun didukung oleh guru-guru yang handal dan berkompeten.

a. Syariat

Syariat adalah jalan terang dan jalan baik yang dapat diikuti oleh setiap orang.[37] Syekh Yusuf memberikan makna filosofis dalam karyanya, al-Nafhat al-Sailaniyya, bahwa syariat adalah kata-kata atau pemahaman Islam (teaching of Islam). Makna yang paling mendasar, syariat adalah etika dan moralitas yang bisa ditemukan pada semua agama. Syariat adalah tahapan dimana gagasan tentang Tuhan berkesan pada manusia sebagai wibawa yang merujuk pada rasa tunduk kepada Tuhan. Syariat adalah tahapan ketika seseorang berpikir tentang sesuatu yang menyenangkan atau mengecewakan. Diawali dengan mempelajari agama dai orang tuanya, bahwa perbuatan baik akan membahagiakan dan kesombongan akan mengecewakan.[38]

Dzikir yang menjadi bagian dari tarekat berfungsi untuk menjaga hubungan antara manusia dan Tuhan serta meneguhkan tujuan dalam diri. Dzikir dalam hati merupakan sarana berkomunikasi dengan Tuhan.[39]

Berkenaan dengan dzikir yang berlandaskan syariat, yaitu menjaga tauhid dari unsur-unsur syirik, Syekh Yusuf menjelaskan tiga macam dzikir dalam karyanya, al-Barakat al-Sailaniyyah, sebagai berikut:[40]

1. Dzikir al-nafi wa ithbat, yang berupa laa ilaaha illallah.

2. Dzikir Mujarrad wal Jalala, yang berupa Allah Allah.

3. Dzikir al-Ishara wal Anfas, yang berupa Hu, Hu.

Dzikir yang pertama disebut dzikir lisan, yang kedua disebut dzikir qalb, yang ketiga disebut dzikir sirr. Dzikir pertama disebut makanan lisan, yang kedua disebut makanan hati, dan yang ketiga disebut makanan rahasia.[41]

Syekh Yusuf membagi tingkatan dan tahapan orang-orang yang melakukan dzikir ke dalam tiga bagian: tingkat dasar, tingkat menengah dan tingkat tinggi.[42]

Orang yang berdzikir dengan kalimat Laa Ilaah Illa Allah ada empat macam: Mengucapkan dengan lisan dan hati, tetapi tidak percaya, maka disebut munafik, mengucapkan dengan lisan hati disebut mukmin yang umum, mengucapkan dengan hati saja disebut orang khusus, mengucapkan dengan kesungguhan hati dan ia fana dari segala sesuatu selain Allah dan hanya melihat Allah, disebut Khas al-Khas.

b. Tarekat.

Dalam al-Nafhat al-Sailaniyyah, Syekh Yusuf memaknai tarekat sebagai hal atau kondisi diri untuk menghampiri Allah (The Way to The God). Tarekat mengacu pada praktek atau laku sufisme.[43]

Menurut Syekh Yusuf, jalan menuju Allah itu banyak,, sama banyaknya dengan jiwa makhluk hidup. Jalan yang paling dekat ada tiga, yaitu: [44]

Ø Jalan al-Akhyar (memperbanyak sembahyang, puasa, membaca al-Qur’an, hadits, jihad).

Ø Jalan ashab al-Mujahadat al-Shaqa, yaitu menyucikan hati.

Ø Jalan ahli Dzikir, yaitu mencintai Tuhan lahir batin.

c. Hakikat

Menurut Syekh Yusuf, hakikat adalah hati, batin atau gnosis (my heart). Hakikat mengacu pada makna terdalam dalam praktik dan bimbingan yang dibangun dalam syariat dan tarekat. Hakikat adalah pengalaman langsung dalam kondisi mistis dalam sufisme dan pengalaman langsung dari kehadiran Tuhan dalam diri. Tanpa pengalaman ini, para murid hanya mengikuti secara buta, berusaha meniru orang yang telah mencapai tingkatan (maqam) hakikat.[45]

Oleh karena itu, beberapa pernyataan di bawah ini sangat penting untuk diperhatikan:[46]
  • Hati merupakan unsur utama dalam meraih hakikat, karena hati itu ibarat bejana.
  • Hati orang kafir adalah bejana terbalik yang tidak bia dimasuki satu kebaikan pun.
  • Hati orang munafik adalah bejana pecah yang apabila dituangkan sesuatu dari atas akan merembes keluar dari bawah.
  • Hati orang beriman adalah bejana yang baik dan seimbang sehingga dapat menampung kebaikan yang dituangkan di atas hatinya.
d. Makrifat

Dalam al-Nafhat al-Sailaniyyah, Syekh Yusuf memaknai kata makrifat sebagai rahasia atau hakikat (gnosis). Makrifat adalah kearifan puncak atau pengetahuan tentang kebenaran spiritual. Makrifat adalah level yang paling dalam dan tinggi dari pengetahuan batin dan melampaui hakikat. Makrifat lebih dari sekedar pengalaman spiritual sesaat, dan makrifat merujuk pada kondisi-kondisi keselarasan dengan Tuhan dan kebenaran. Makrifat adalah pengetahuan tentang realitas yang dapat dicapai oleh hanya sedikit orang. Makrifat merupakan tingkatan para nabi, rasul, waliyullah, dan para bijak.[47]

Makrifat Allah itu ada dua macam, bersifat umum dan bersifat khusus. Makrifat pertama wajib dimiliki oleh setiap mukallaf, yakni mengakui eksistensi-Nya dari segala sesuatu yang tidak sesuai dengan-Nya serta mengakui segala sifat yang telah ditetapkan untuk diri-Nya. Makrifat kedua adalah kondisi menyaksikan Allah.[48]

Ahli makrifat adalah orang yang mempunyai kemampuan untuk menyaksikan zat, sifat, dan perbuatan-Nya, sedangkan orang alim adalah orang yang dikaruniai pengetahuan melalui keyakinan, bukan dengan penyaksian. Pendapat lain menyebutkan bahwa makrifat adalah suatu keyakinan yang muncul setelah perjuangan ibadah. Berkaitan dengan makrifat, qalbu atau jiwa menurut kaum sufi sebagai instrumen penting karena dengan jiwa, salik dapat menghayati segala rahasia yang ada di alam gaib, dan puncak penghayatannya adalah makrifat kepada Tuhan.[49]

Untuk mencapai tingkat makrifat, Syekh Yusuf menyatakan dalam Tahsil al-Inayat wal Hidayah:[50]

Seorang hamba yang berakal jika ingin menjadi waliyullah, maka ia harus banyak berdzikir kepada Allah. Seorang hamba yang berdzikir harus tahu dan percaya pada ayat: Laisa Kamitslihi Syai‘, dan pada surat al-Ikhlas, karena semua kepercayaan kepada Allah kembali pada ayat dan surat tersebut.

Jika ingin berdzikir kepada Allah, pilihlah dzikir yang termulia, yaitu: Laa Ilaaha Illa Allah. Dzikir itu sesungguhnya iman itu sendiri. Kemudian ia harus menjalani lahirnya dan batinnya syari’at yang suci dengan memegang teguh hakikat yang suci. Ia juga harus memberatkan akhirat dari pada dunia dan mencintainya dengan cinta yang benar dan ikhlas.

Menurut Syekh Yusuf, tahap akhir pencarian kebenaran disebut makrifat. Hamba yang telah mencapai makrifat, ia disebut waliyullah. Jika telah mencapai derajat waliyullah, berarti ia telah mencapai derajat tertinggi di bawah kenabian. Artinya, seseorang yang telah mencapai derajat wali akan sepenuh hati mencintai Allah dan Nabi-Nya. Ia akan memegang teguh syariat secara lahir dan batin serta tidak terlalu mencintai dunia. Apapun yang dikerjakannya diniatkan ikhlas untuk mencapai keridhaan Allah.[51]


B. Karya-Karya Syekh Yusuf


Adapun naskah atau karya-karya Syekh Yusuf adalah sebagai berikut:[52]

1. Al-Barakat al-Sailaniyyah Minal Futuhat al-Rabbaniyyah.

2. Bidayatul Mubtadi.

3. Al-Fawaih al-Yusufiyyah fii Bayan Tahqiq al-Suffiyyah.

4. Hasyiah fi Kitab al-Anbah fi I’rabi Laa ilaaha illallah.

5. Kifiyat al-Munji wal itsbat bi al-Hadits al-Qudsi.

6. Matalib Salikin.

7. Al-Nafhah al-Saylaniyyah.

8. Qurratul Ain.

9. Sirrul Asrar.

10. Surah.

11. Taj al-Asrar fi Tahqiq Masyarin al-Arifin.

12. Zubdat al-Asrar fi Tahqiq ba’dha Masyarib al-Akhyar.

13. Fathu Kayfiyyat al-Dzikr.

14. Daf’ul Bala.

15. Hadzihi fawaid azhimat al-Dzikr Laa ilaah illallah.

16. Muqaddimah al-Fawaid allati ma labudda minal aqaid.

17. Tahsilul Inayat wa al-Hidayat.

18. Ghayatul Ikhtisar wa Nihayat al-intizar.

19. Tuhfatul Amr fi Fadlilat ad-dzikr.

20. Tuhfat al-Abhar li Ahlil Asrar

21. Al-Washiyyat al-Munjiyyat an-mudahar al-Hijaib.


PENUTUP


Syekh Yusuf merupakan salah satu ulama Sul-Sel yang terkenal sampai ke Afrika Selatan. Hal ini merupakan keberhasilan Syekh Yusuf dalam membina umat. Karya-karyanya yang begitu mengagumkan seakan memberikan gambaran kepada kita semua tentang sosok Syekh Yusuf yang sebenarnya. Meskipun ia terlahir dari keluarga bangsawan, ia tidak pernah berfoya-foya, bahkan ia meninggalkan itu semua demi menuntut ilmu sampai ke tanah Arab. Sosok beliau sangatlah diagung-agungkan, bahkan sebagian masyarakat dating berdoa ke ke kuburannya hanya untuk memanjatkan doa agar mereka selamat. Meskipun hal itu merupakan kemusyrikan, tapi sesungguhnya beliau tidak pernah ingin dikultuskan demikian. Hal itu membuktikan bahwa kharisma beliau begitu memukau, sehingga sampai sekarang pun masih dipuja-puja oleh sebagian orang. 

Selain sebagai ulama, beliaupun terkenal sebagai pejuang dalam membela tanah air dari penjajahan Belanda. Meskipun pada akhirnya beliau tertangkap dan diasingkan ke Afrika Selatan dan akhirnya wafat di sana, akan tetapi perjuangan beliau akan selalu dikenang oleh setiap generasi muda. 

Oleh karena itu, sepatutnya kita sebagai generasi muda mampu untuk mengikuti jejak beliau, mampu mengimplementasikan agama ini dalam kehidupan sehari-hari demi terwujudnya masyarakat madani yang berlandaskan al-Qur’an dan hadits Rasulullah saw.

[1] Abd. Kadir Manyambeang dkk, Lontarak Syekh Yusuf Suatu Analisa Filologi Kultural, (Ujung Pandang: Universitas Hasanuddin, 1990), h. 16. 

[2] Dangor, S., Yusuf Da Costa, Ahmad Davis, The Foot Steps in the Companions: Sheikh Yusuf of Macassar 1626-1699) in Pages from Cape Muslim History (Cape Town: Cape Muslim Press, 1994), h. 19. 

[3] Mustari Mustafa, Agama dan Bayang-Bayang Etis Syaikh Yusuf Al-Makassari (Cet. 1; Yogyakarta: LKIS, 2011), h. 19 

[4] Djamaluddin Aziz Paramma Dg. Djaga, Syekh Yusuf Al-Makassary: Putra Makassar (Cet. 1; Makassar: Nala Cipta Litera, 2007), h. 20. 

[5] Ibid., h. 21 
[6] Ibid., h. 26 

[7] Sultan, Sahib, Allah dan Jalan Mendekatkan Diri Kepada-Nya dalam Konsepsi Syaikh Yusuf, (Jakarta: Al-Quswa, 1989), h. 5. 

[8] Mustari Mustafa, loc. cit. 

[9] Djamaluddin Aziz Paramma Dg. Djaga, op. cit., h. 27 

[10] Ibid. 

[11] Sultan, Sahib, op. cit. h. 12. 

[12] Mustari Mustafa, op. cit. h. 23. 

[13] Djamaluddin Aziz Paramma Dg. Djaga, loc. cit. 

[14] Mustari Mustafa, op. cit. h. 24 

[15] Djamaluddin Aziz Paramma Dg Djaga. Op. cit. h. 27-28 

[16] Ibid., h. 28. 

[17] Sebagian pihak menyebut sekitar tahun 1598-1650. Lihat, Solichin Salam, Syaikh Yusuf “Singa dari Gowa” (Ulama Kaliber International) (Jakarta: Yayasan Pembina Generasi Muda Indonesia bekerjasama Gema Salam, 2004). 

[18] Nabila Lubis, Syaikh Yusuf al-Taj al-Makassari, Menyingkap Intisari Segala Rahasia (Bandung: Mizan, 1996). 

[19] Mustari Mustafa, op. cit. h. 25 

[20] Ibid. 

[21] Sultan, Sahib, op. cit. h. 14. 
[22] Mustari Mustafa, op. cit. h. 25-26. 

[23] Djamaluddin Aziz Paramma Dg Djaga, op. cit. h. 28-29. 

[24] Mustari Mustafa, op. cit. 26. 

[25] Ibid., h. 27. 

[26] Djamaluddin Aziz Paramma Dg Djaga, op. cit. h. 29. 

[27] Mustari Mustafa, op. cit. h. 27. 

[28] Ibid. 

[29] Ibid. h. 28. 

[30] Ibid. 

[31] Djamaluddin Aziz Paramma Dg Djaga, op. cit. h. 32 

[32] Ibid. 

[33] Ibid. 

[34] Mustari Mustafa, op. cit. h. 28-29. 

[35] Mustari Mustafa, Dakwah Sufisme Syekh Yusuf al-Makassary (Cet. 1; Makassar: Pustaka Refleksi, 2010), h. 51 

[36] Ibid. 

[37] Syekh Yusuf, “Al-Barakat al-Sailaniyyah minal Futuhat al-Rabbaniyyah”, dalam Tudjimah (ed.), Syekh Yusuf, Riwayat, Hidup, Karya dan Sejarahnya (Jakarta: UI Press, 1997). 

[38] Mustari Mustafa, op. cit. h. 45-46. 

[39].Ibid. h. 47. 

[40] Ibid. 

[41] Ibid. h. 48 

[42] Ibid. h. 49 

[43] Ibid. h. 52. 

[44] Ibid. h. 54 

[45] Ibid. h. 58 

[46] Ibid. 

[47] Ibid. h. 65. 

[48] Ibid. h. 66. 

[49] Ibid. h. 66-67. 

[50] Ibid. h. 67. 

[51] Ibid. h. 68. 

[52] Ibid, h. 32-37.

Kondisi Umum Wilayah Indonesia Menjelang Kedatangan Islam

A. Sekilas Kondisi Geografis Indonesia 
Nama Indonesia digunakan dalam pembahasan ini untuk menunjukkan seluruh kesatuan wilayah yang membentuk negara Republik Indonesia. Nama ini untuk pertama kali digunakan oleh Adolf Bastian (seorang etnolog Jerman) pada tahun 1884M untuk mengidentifikasikan seluruh wilayah kepulauan Indonesia. Kepulauan ini juga dulu dikenal dengan sebutan Nusantara.

Indonesia adalah kelompok kepulauan terbesar di dunia. Diperkirakan kurang lebih 3.000 pulaunya. Kepulauan Indonesia sangat panjang yang terbentang dari Barat ke Timur yaitu dari titik terbarat Sumatra sampai ke titik paling Timur Irian Jaya(Papua). Kepulauan Indonesia termasuk salah satu wilayah yang terbanyak gunung berapinya. Di Jawa, Sumatra dan beberapa pulau lainnya terdapat lebih dari 100 buah gunung berapi yang masih aktip.

Indonesia mempunyai iklim tropis yang sangat dipengaruhi oleh pegunungan dan laut. Temperatur berkisar 20 derajat Celsius sampai 30 derajad Celsius. Curah hujan lebih dari 102 cm setahun. Beberapa daerah seperti Sumatra, Kalimantan, Sulawesi Tengah dan Maluku lebih banyak turun hujannya. Kepulauan Indonesia dipengaruhi oleh dua musim, musim kemarau dan hujan. Musim kemarau berlangsung antara bulan Mei sampai dengan September dan musim penghujan antara bulan Oktober sampai dengan April.

Indonesia terletak di antara dua benua, Asia dan Australia, dua samudra India dan Fasifik. Karena letaknya yang demikian, kepulauan ini menjadi jembatan penyeberangan berbagai bangsa di zaman dahulu (pra Sejarah). Dan tak kurang pula pentingnya adalah letak Indonesia pada jalur perdagangan di antara dua pusat perdagangan “Internasional” zaman dulu (Sejarah Indonesia Klasik), yaitu antara India dan Cina. Juga memungkinkan Indonesia senantiasa dilalui oleh pelayaran tersingkat antara Asia Timur disatu pihak dan Asia Selatan-Asia Barat-Afrika di pihak lain. Jadi tepat dikatakan bahwa kepulauan Indonesia terletak pada persimpangan jalan dunia. 

B. Agama dan Kepercayaan 
Agama anutan penduduk yang mendiami kepulauan Nusantara sebelum tersiarnya agama Islam adalah agama Hindu dan Budha. Dan sebelum berkembangnya kedua agama tersebut tiap suku atau masyarakat Nusantara telah memiliki sistem religi yang beraneka ragam.

Dari hasil penelitian ilmu Antropologi dan Sosiologi terhadap suku-suku bangsa di kepulauan Nusantara ini, terlihat adanya keaneka ragaman sistem kepercayaan itu. Fenomena keagamaan itu terlihat dengan jelas baik pada suku bangsa yang memang secara resmi belum menyatakan diri sebagai penganut agama besar, misalnya Pelbegu-Nias (Sumatera), Kaharingan-Dayak (Kalimantan), Aluk Todolo-Toraja, Patuntung dan Tolotan (Sulawesi Selatan).
Sesungguhnya sangat sulit untuk mengungkap sistem agama dan kepercayaan yang menjadi anutan masyarakat di kepulauan Nusantara secara keseluruhan, oleh karena sumber-sumber yang dapat dijadikan bahan penelitian sangat minim sehingga juga sangat sulit dapat diketahui mengenai proses perbauran antara sistem kepercayaan asli tiap etnis di kepulauan Nusantara dengan sistem kepercayaan pada agama Hindu dan Budha. Yang pasti sebelum kedatangan agama besar itu, nenek moyang bangsa Indonesia bukanlah bangsa liar yang tidak mempunyai sistem religi dan kepercayaan, tetapi mereka telah tunduk dan patuh pada sistem yang mengaturnya sesuai dengan alam pikiran mereka sendiri.

Banyak faktor yang menjadi indikator, mengapa agama Hindu dan Budha tersiar dan tersebar di kepulauan Nusantara kemudian menyatu dengan sistem religi setempat. Antara lain bahwa agama yang berasal dari India selatan itu adalah merupakan akar yang utama dari kebudayaan yang termaju di kawasan Asia pada abad-abad pertama Masehi itu.

Untuk menyamakan kedudukan agar setarap dengan kemajuan yang telah dicapai oleh bangsa India, maka seyogyanyalah tiap suku bangsa yang mengadakan hubungan dengan mereka untuk mengambil dan menerima sistem kepercayaan agama Hindu dan Budha, seterusnya akan mempengaruhi sistem kehidupan sosialnya. Berubahlah alam gaib dari sebahagian orang Indonesia menjadi sama dengan alam gaib menurut agama Hindu dan Budha, begitu pula sistem kekerabatan, sistem pemerintahan, kesenian dan sebagainya.

Para ahli sejarah mengatakan bahwa agama Budha yang lebih awal tersiar di Indonesia kemudian agama Hindu, setidak-tidaknya kedatangan hamper bersamaan, meskipun kita ketaahui bahwa agama Hindu itu jauh lebih tua dari agama Budha.

Bilamana dan Bagaimana agama Budha itu memulai perkembangannya di kepulauan Nusantara, belum dapat diketahui dengan pasti. Diduga bahwa sejak abad 1 Masehi agama Budha/Hindu telah mulai masuk secara berangsur-angsur ke Indonesia. Keterangan paling awal diperoleh dari Fa Hsien seorang Bikhu Cina yang pernah mengunjungi pulau Jawa 414 M. Menurut keterangannya penduduk pulai yang dikunjunginya itu menganut agama Budha. Bikhu Gunawarman dari Kasmir juga pernah menetap di pulai Jawa sekitar tahun 421 M. Ia menyebar luaskan pengajaran agama Budha, malah berhasil menterjemahkan pustaka suci agama Budha dari aliran Dar, Agupta yaitu Mulasarvastivadanikava ke dalam bahasa Sansekerta. Kerajaan yang dikunjungi Fa Hsien diperkirakan adalah Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat (400-500 M) dengan rajanya yang terkenal.

Menurut pengakuannya pada kerajaan itu penganut Budha sedikit. Kebanyakan penduduk masih menganut agama “kotor” yaitu agama asli penduduk yang sudah lama dianut sebelum kedatangan agama Budha di Indonesia.

Pada tahun 672 M., Bhikhu l Tsing dalam perjalanannya dari Kanton (Cina) menuju India mengunjungi Kerajaan Sriwijaya dan menetap sekitar enam bulan untuk belajar bahasa Sansekerta. Agama Budha berkembang mengikuti laju perkembangan Kerajaan Sriwijaya. Di ibu kota Sriwijaya telah berdiri Perguruan Tinggi Agama Budha. I Tsing menyebut Perguruan Tinggi itu negeri Fo Shih, di sana belajar lebih seribu Bhikhu Budha seperti halnya di India. Bahkan Bhikhu Cina sebelum ke India belajar, Universitas Nalanda, ia terlebih dulu belajar selama dua tahun di Perguruan Tinggi tersebut. Ini merupakan bukti adanya jalinan kuat antara kedua perguruan tinggi agama itu.

Sedang agama Hindu masuk ke Indonesia dapat dipahami juga dari beberapa kerajaan tertua yang menganut agama Hindu seperti, Kerajaan Kutai 4 M, Mataram Kuno, Medang Kamulan/Isyana, Kediri dan Singosari dan Majapahit. Ini menunjukkan adanya jalinan kuat antara pemerintah setempat dengan negara asal agama tersebut.

C. Politik dan Pemerintahan 
Bukti tentang politik dan pemerintahan yang ada di Nusantara dapat di lacak dari munculnya kerajaan-kerajaan tertua yang pernah ada di Indonesia. Sebagai contoh prasasti dari Kutai yang selama ini telah menjadi patokan babakan dimulainya masa sejarah Indonesia dapat memberikan gambaran akan adanya sistem politik dan pemerintahan ketika itu.

Keberadaan raja sebagai pemimpin erat hubungannya dengan golongan lain dari kelompok keagamaan yaitu para brahmana. Hubungan ini pula yang dapat memberikan gambaran lebih jauh akan sistem pemerintahan dan politik ketika itu. Struktur birokrasi sebagai inti pemerintahan ada yang mengatakan mulai dapat dilacak sejak masa Sriwijaya. Sejumlah prasasti menunjukkan adanya pelaksanaan dari keputusan raja dilengkapi dengan perincian saksi dan imbalan-imbalan yang diterimanya.

Dari beberapa kerajaan yang tertua di Nusantara telah menunjukkan tentang bagaimana tatanan politik dan pemerintahannya. Kekuasaan pemerintah pusat diperkuat dengan melakukan program-program yang berhubungan dengan upacara dan birokrasi. Pesta-pesta tahunan merupakan sarana pengkonsentrasian rakyat dalam jumlah banyak di ibukota. Hasil-hasil industry dan pertanian dalam kualitas dan kuantitas lebih disediakan untuk upacara. Hasil pertanian, pajak dan kerja wajib dibuutuhkan untuk penyelenggaraan ini. Di sinilah loyalitas penguasa bawahan kepada penguasa atasan, antara rakyat dengan penguasanya akan dipakai sebagai ukuran.

Upacara agama menimbulkan arti yang lebih besar dan menyebabkan tumbuhnya pusat-pusat kehidupan. Selain rakyat tentunya, di sana akan terkonsentrasi struktur-struktur upacara seperti candi, makam dan tempat suci lainnya. Hal ini membuat berkembangnya pusat-pusat politik dan menjadi kohesif bagi pusat pemerintahan. 

Koordinasi dan integrasi masyarakat yang dilakukan oleh pemerintah pusat menimbulkan kebutuhan akan birokrasi untuk mengorganisasi dan mengawasi pungutan pajak, upeti,dan barang-barang yang ada. Akibatnya basis kekuasaan sebagian besar ada di tangan birokrasi. Penguasa dan birokrasi, keduanya didasarkan pada kekuatan untuk mengeksploitasi agraris dan perdagangan, menjadi kekuatan yang paling dominan secara politik dan kultural.

Yang jelas, sebelum datangnya Islam bahwa perkembangan politik dan pemerintahan dalam mengelola negara adalah bersifat sentralisasi dan monopolisasi jabatan pemerintahan di tangan sekelompok penguasa yang dikepalai seorang rajayang paling dominan. Hubungan antara raja dengan pegawai-pegawai di bawahnya berbentuk sebagai hubungan clientship yaitu ikatan antara seorang penguasa politik tertinggi dan orang yang dikuasakan untuk menjalankan sebagian dari kekuasan penguasa tertinggi.

D. Perekonomian dan Perindustrian
Telah diketahui bahwa pada masa kerajaan-kerajaan tertua yang pernah ada di Nusantara ini, juga telah disinggung bagaimana kehidupan ekonomi masyarakat ketika itu. Pemukiman yang terpencar dilembah-lembah sungai dan di dataran-dataran pegunungan, di sanalah terdapat komunitas-komunitas dengan segala aktivitasnya sebagai pendukung utama keberlangsungan stabilitas ekonomi pemerintahan. Toh begitu, daerah pedalaman adalah daerah agraris yang tertutup. Perdagangan, sebagai satu aktivitas ekonomi yang menuntut adanya keterbukaan hanyalah dilakukan oleh sedikit golongan rakyat yang harus berjalan jauh dengan pedati-pedati atau sampan mereka untuk berdagang. Perdagangan luar negeri hanyalah berpengaruh terutama pada istana dan para pedagang dan kota-kota pelabuhan. Perdagangan itu tidak untuk kepentingan massa penduduk desa, kaum bangsawan, ataupun pemuka agama daerah.

Sebagaian perdagangan interinsuler negeri Jawa terutama pada perdagangan beras. Istana sebagai pemegang pengawasan di seluruh daerah, mempunyai kekuasaan tertinggi atas transaksi perdagangan. Di kota-kota pantai kekuasaan politik dan ekonomi dipegang oleh kaum aristokrasi yang mendominasi perdagangan, baik sebagai pemegang/pemberi modal ataupun kadang-kadang sebagai pelaku perdagangan.

Dalam perspektif sejarah kalau di telaah bahwa kerajaan-kerajaan yang pernah ada itu menjadikan perdagangan sebagai basis kekuatan politik dan hubungan yang tetap dengan kebudayaan asing atau negara lain.

Sisi lain perekonomian adalah pertanian yang merupakan tulang punggung perekonomian sebagian besar pemerintahan yang pernah ada di wilayah Nusantara. Hasil pertanian persawahan menjamin stabilitas dan persediaan makanan secara teratur. Organisasi pekerjaan yang dibutuhkan dalam pengolahan lahan persawahan pada skala yang luas berhubungan timbal-balik dengan perkembangan masyarakat dan administrasi. Beras menjadi tulang punggung utama ekonomi kerajaan. Surplus hasil pertanain yang terjadi, kemudian bahkan menjadi komoditas ekspor. Beras dipertukarkan dengan komoditas lainnya, rempah-rempah (dari wilayah lokal) yang kemudian dipertukarkan dengan komoditas perdagangan dari luar seperti kain, keramik dan lain-lain terutama dari India dan Cina.

Sebagai contoh pada masa Kerajaan Majapahit berkuasa, para pedagang asing berdatangan ke wilayah kekuasaan Majapahit, seperti dari Champa, Thailand, Birma, Srilankka dan India. Mereka kemudian sebagian bermukim di Jawa dan bahkan ada beberapa diantaranya yang kemudian ditarik pajak.

Sebagai perimbangan kehidupan perekonomian yang semakin maju, maka di bidang industri juga terpacu untuk berkembang. Pengertian industry di sini meliputi industry rumah tangga, kerajinan dan industri logam. Sekali lagi data arkeologi menunjukkan bukti-buuktinya yaitu sumber prasasti dan artefak yang telah ditemukan. Ada istilah Perundagian yang berkaitan dengan kepandaian, kehlian seseorang yang memerlukan keahlian khususnya, misalnya tukang kayu atau ahli bangunan. Dalam beberapa prasasti kuno ditemukan beberapa keterampilan membuat suatu benda (alat) denggan istilah undagi seperti undagi lancang (pembuat perahu), undagi batu (pemahat batu), undagi pengarung (pembuat terowongan), undagi kayu (tukang kayu), undagi rumah (pembuat rumah). Selain itu ditemukan juga kelompok yang disebut pande mas (pandai emas), pande wse (pandai besi), pande tambra (pandai tembaga), pande kangsa (pandai perunggu), pande dadap (pandai tameng/perisai). Mereka selain membuat benda/alat itu untuk kebutuhan mereka dan rakyat biasa, juga untuk memenuhi kebutuhan raja dan kerabatnya. 

E. Seni dan Sastra 
Berbicara tentang seni akan ditemukan satu keragaman yang luar biasa bentuk dan jenisnya, karena seni adalah penjelmaan dari rasa indah yang terkandung di dalam hati orang yang dilahirkan dengan perantaraan alat-alat komunikasi ke dalam bentuk-bentuk yang dapat ditangkap oleh indera pendengaran (seni suara), penglihatan (seni lukis), atau dilahirkan dengan perantaraan gerak (seni tari,drama).

Pada saat itu, bentuk-bentuk seni yang telah berkembang yaitu seni musik, seni tari, wayang, lawak, dan tari topeng. Bentuk-bentuk seni tersebut secara tak langsung sebagian besar terdokumentasikan pada pahatan-pahatan relief di candi-candi yang tersebar di berbagai tempat. Sedangkan seni yang tidak meninggalkan artefak dapat dikategorikan sebagai seni pertunjukan. Kemudian pada masa Kerajaan Medang Kamulan, rajanya Airlangga, di mana seni tari dan musik berkembang dengan baik.

Bentuk-bentuk karya seni berbahan tanah juga ada seperti wadah, dinding sumur, lantai, dinding, penyimpan uang juga ada yang berfungsi estetis murni ataupun religious seperti patung, amulet, patung binatang, miniature bangunan, mata uang. Bahan dari keramikdan porselin kebanyakan berupa alat-alat makan dan minum yang kadang-kadang difungsikan juga untuk hiasan.

Seni gamelan adalah adalah salah satu unsur budaya yang telah dimiliki oleh Bangsa Indonesia sebelum datangnya pengaruh India. Panjangnya pengaruh dan perubahan, maka tentunya gamelan juga telah banyak mengalami perkembangan baik bentuk dan kualitasnya. Dari sumber prasasti, gamelan dari masa jawa kuno khususnya dapat dikelompokkan menjadi jenis chordopohones (alat music yang bunyinya dihasilkan dengan memetik kawat, contoh kecapi, siter,clempung), aerophones (alat musik tiup, contoh seruling, terompet), membranophones (alat musik pukul dengan penutup seperti gendang), idiophones (alat musik yang dirangkai, contohnya gong, reyong), dan xylophones, (alat musik bilah gambang, kulintang pada masa sekarang).

Sedangkan perkembangan sastra khususnya ketika masuk pengaruh Hindu-Budha ke Nusantara cukup mengalami perkembangan. Seperti kitab Mahabrata dan Ramayana adalah menjadi dasar ditemukannya gubahan-gubahan cerita yang sangat mungkin diambil sebagian atau utuh melahirkan naskah sastra yang lain. Naskah yang ada biasanya dalam bentuk sastra yang menceritakan tentang pengalaman ataupun kemuliaan seorang raja yang berkuasa ketika itu. Kitab Bratayudha berisi tentang kemenangan Kediri atas Jenggala (ini adalah hasil gubahan bebas dari bahagian buku Mahabrata). Salah seorang pujangga yang terkenal pada masa kerajaan ini ialah Mpu Kanwa menggubah suatu Syair bernama Arjunawiwaha (Perkawinan Arjuna), saduran dari bagian Mahabrata. Arjunawiwaha merupakan hasil kesusastraan jawa yang seindah-indahnya. Isinya mengisahkan perkawinan Erlangga dengan putrid Sumatra, dalam tahun 1030 M., syair itu disadur juga ke dalam cerita wayang.

Tiap-tiap daerah mempunyai naskah-naskah yang sekaligus merupakan sumber sejarah. Ada cerita pararaton, yaitu menceritakan tentang keberadaan raja-raja yang pernah memerintah kerajaan Singosari. Kitab Nagarakertagama, yaitu menceritakan tentang hubungan silsilah raja-raja Majapahit dengan raja-raja Singosari. Kitab Sutasomo, yaitu merupakan karya Mpu Tantular yang terdapat kalimat “Bhinneka Tunggal Ika”. Ungkapan ini digunakan untuk menyatakan bahwa ajaran Hindu-Budha berbeda tetapi memiliki asas yang sama (Kerajaan Majapahit).

Kebudayaan masa itu adalah kebudayaan istana, artinya kebudayaan adalah ciptaan para penguasa, milik serta hasil karya eksklusif dari birokrasi. Monument-monumen, kesusasteraan, tulisan-tulisan teokratis dan ajaran-ajaran hukum dan agama menjadi milik para bangsawan dan rohaniawan. Seluruh kebudayaan menjadi menjulang tinggi di atas rakyat kebanyakan. Kebudayaan bukanlah harta benda kultural rakyat.

Wednesday 30 October 2013

Kerajaan Sriwijaya

Kerajaan Sriwijaya (atau juga disebut Srivijaya) adalah salah satu kemaharajaan maritim yang kuat di pulau Sumatera dan banyak memberi pengaruh di Nusantara dengan daerah kekuasaan membentang dari Kamboja, Thailand, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi. Dalam bahasa Sansekerta, sri berarti “bercahaya” dan wijaya berarti “kemenangan”.

Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7; seorang pendeta Tiongkok, I Tsing, menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan. Prasasti yang paling tua mengenai Sriwijaya juga berada pada abad ke-7, yaitu prasasti Kedukan Bukit di Palembang, bertarikh 682. Kemunduran pengaruh Sriwijaya terhadap daerah bawahannya mulai menyusut dikarenakan beberapa peperangan diantaranya serangan dari raja Dharmawangsa Teguh dari Jawa di tahun 990, dan tahun 1025 serangan Rajendra Chola I dari Koromandel, selanjutnya tahun 1183 kekuasaan Sriwijaya dibawah kendali kerajaan Dharmasraya.
Setelah Sriwijaya jatuh, kerajaan ini terlupakan dan eksistensi Sriwijaya baru diketahui secara resmi tahun 1918 oleh sejarawan Perancis George Cœdès dari École française d’Extrême-Orient.
Historiografi
Tidak terdapat catatan lebih lanjut mengenai Sriwijaya dalam sejarah Indonesia; masa lalunya yang terlupakan dibentuk kembali oleh sarjana asing. Tidak ada orang Indonesia modern yang mendengar mengenai Sriwijaya sampai tahun 1920-an, ketika sarjana Perancis George Cœdès mempublikasikan penemuannya dalam koran berbahasa Belanda dan Indonesia. Coedès menyatakan bahwa referensi Tiongkok terhadap “San-fo-ts’i”, sebelumnya dibaca “Sribhoja”, dan beberapa prasasti dalam Melayu Kuno merujuk pada kekaisaran yang sama.

Sriwijaya menjadi simbol kebesaran Sumatera awal, dan kerajaan besar Nusantara selain Majapahit di Jawa Timur. Pada abad ke-20, kedua kerajaan tersebut menjadi referensi oleh kaum nasionalis untuk menunjukkan bahwa Indonesia merupakan satu kesatuan negara sebelelum kolonialisme Belanda.

Sriwijaya disebut dengan berbagai macam nama. Orang Tionghoa menyebutnya Shih-li-fo-shih atau San-fo-ts’i atau San Fo Qi. Dalam bahasa Sansekerta dan Pali, kerajaan Sriwijaya disebut Yavadesh dan Javadeh. Bangsa Arab menyebutnya Zabaj dan Khmer menyebutnya Malayu. Banyaknya nama merupakan alasan lain mengapa Sriwijaya sangat sulit ditemukan. Sementara dari peta Ptolemaeus ditemukan keterangan tentang adanya 3 pulau Sabadeibei yang kemungkinan berkaitan dengan Sriwijaya.

Sekitar tahun 1993, Pierre-Yves Manguin melakukan observasi dan berpendapat bahwa pusat Sriwijaya berada di Sungai Musi antara Bukit Seguntang dan Sabokingking (terletak di provinsi Sumatera Selatan sekarang). Namun sebelumnya Soekmono berpendapat bahwa pusat Sriwijaya terletak pada kawasan sehiliran Batang Hari, antara Muara Sabak sampai ke Muara Tembesi (di provinsi Jambi sekarang), dengan catatan Malayu tidak di kawasan tersebut, jika Malayu pada kawasan tersebut, ia cendrung kepada pendapat Moens, yang sebelumnya juga telah berpendapat bahwa letak dari pusat kerajaan Sriwijaya berada pada kawasan Candi Muara Takus (provinsi Riau sekarang), dengan asumsi petunjuk arah perjalanan dalam catatan I Tsing, serta hal ini dapat juga dikaitkan dengan berita tentang pembangunan candi yang dipersembahkan oleh raja Sriwijaya (Se li chu la wu ni fu ma tian hwa atau Sri Cudamaniwarmadewa) tahun 1003 kepada kaisar Cina yang dinamakan cheng tien wan shou (Candi Bungsu, salah satu bagian dari candi yang terletak di Muara Takus). Namun yang pasti pada masa penaklukan oleh Rajendra Chola I, berdasarkan prasasti Tanjore, Sriwijaya telah beribukota di Kadaram (Kedah sekarang).

Pembentukan dan pertumbuhan
Belum banyak bukti fisik mengenai Sriwijaya yang dapat ditemukan. Kerajaan ini menjadi pusat perdagangan dan merupakan negara maritim, namun kerajaan ini tidak memperluas kekuasaannya di luar wilayah kepulauan Asia Tenggara, dengan pengecualian berkontribusi untuk populasi Madagaskar sejauh 3.300 mil di barat. Beberapa ahli masih memperdebatkan kawasan yang menjadi pusat pemerintahan Sriwijaya, selain itu kemungkinan kerajaan ini biasa memindahkan pusat pemerintahannya, namun kawasan yang menjadi ibukota tetap diperintah secara langsung oleh penguasa, sedangkan daerah pendukungnya diperintah oleh datu setempat.

Kekaisaran Sriwijaya telah ada sejak 671 sesuai dengan catatan I Tsing, dari prasasti Kedukan Bukit pada tahun 682 di diketahui imperium ini di bawah kepemimpinan Dapunta Hyang. Di abad ke-7 ini, orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan yaitu Malayu dan Kedah menjadi bagian kemaharajaan Sriwijaya. Berdasarkan prasasti Kota Kapur yang yang berangka tahun 686 ditemukan di pulau Bangka, kemaharajaan ini telah menguasai bagian selatan Sumatera, pulau Bangka dan Belitung, hingga Lampung. Prasasti ini juga menyebutkan bahwa Sri Jayanasa telah melancarkan ekspedisi militer untuk menghukum Bhumi Jawa yang tidak berbakti kepada Sriwijaya, peristiwa ini bersamaan dengan runtuhnya Tarumanagara di Jawa Barat dan Holing (Kalingga) di Jawa Tengah yang kemungkinan besar akibat serangan Sriwijaya. Sriwijaya tumbuh dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat Malaka, Selat Sunda, Laut China Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata.

Ekspansi kerajaan ini ke Jawa dan Semenanjung Malaya, menjadikan Sriwijaya mengontrol dua pusat perdagangan utama di Asia Tenggara. Berdasarkan observasi, ditemukan reruntuhan candi-candi Sriwijaya di Thailand dan Kamboja. Di abad ke-7, pelabuhan Cham di sebelah timur Indochina mulai mengalihkan banyak pedagang dari Sriwijaya. Untuk mencegah hal tersebut, Maharaja Dharmasetu melancarkan beberapa serangan ke kota-kota pantai di Indochina. Kota Indrapura di tepi sungai Mekong, di awal abad ke-8 berada di bawah kendali Sriwijaya. Sriwijaya meneruskan dominasinya atas Kamboja, sampai raja Khmer Jayawarman II, pendiri imperium Khmer, memutuskan hubungan dengan Sriwijaya di abad yang sama. Di akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, antara lain Tarumanegara dan Holing berada di bawah kekuasaan Sriwijaya. Menurut catatan, pada masa ini pula wangsa Sailendra bermigrasi ke Jawa Tengah dan berkuasa disana. Di abad ini pula, Langkasuka di semenanjung Melayu menjadi bagian kerajaan. Di masa berikutnya, Pan Pan dan Trambralinga, yang terletak di sebelah utara Langkasuka, juga berada di bawah pengaruh Sriwijaya.

Setelah Dharmasetu, Samaratungga menjadi penerus kerajaan. Ia berkuasa pada periode 792 sampai 835. Tidak seperti Dharmasetu yang ekspansionis, Samaratungga tidak melakukan ekspansi militer, tetapi lebih memilih untuk memperkuat penguasaan Sriwijaya di Jawa. Selama masa kepemimpinannya, ia membangun candi Borobudur di Jawa Tengah yang selesai pada tahun 825.

Agama dan Budaya
Sebagai pusat pengajaran Buddha Vajrayana, Sriwijaya menarik banyak peziarah dan sarjana dari negara-negara di Asia. Antara lain pendeta dari Tiongkok I Tsing, yang melakukan kunjungan ke Sumatera dalam perjalanan studinya di Universitas Nalanda, India, pada tahun 671 dan 695, serta di abad ke-11, Atisha, seorang sarjana Buddha asal Benggala yang berperan dalam mengembangkan Buddha Vajrayana di Tibet. I Tsing melaporkan bahwa Sriwijaya menjadi rumah bagi sarjana Buddha sehingga menjadi pusat pembelajaran agama Buddha. Pengunjung yang datang ke pulau ini menyebutkan bahwa koin emas telah digunakan di pesisir kerajaan. Selain itu ajaran Buddha aliran Buddha Hinayana dan Buddha Mahayana juga turut berkembang di Sriwijaya.

Kerajaan Sriwijaya banyak dipengaruhi budaya India, pertama oleh budaya Hindu kemudian diikuti pula oleh agama Buddha. Raja-raja Sriwijaya menguasai kepulauan Melayu melalui perdagangan dan penaklukkan dari kurun abad ke-7 hingga abad ke-9, sehingga secara langsung turut serta mengembangkan bahasa Melayu beserta kebudayaannya di Nusantara.

Sangat dimungkinkan bahwa Sriwijaya yang termahsyur sebagai bandar pusat perdagangan di Asia Tenggara, tentunya menarik minat para pedagang dan ulama muslim dari Timur Tengah. Sehingga beberapa kerajaan yang semula merupakan bagian dari Sriwijaya, kemudian tumbuh menjadi cikal-bakal kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera kelak, disaat melemahnya pengaruh Sriwijaya.

Ada sumber yang menyebutkan, karena pengaruh orang muslim Arab yang banyak berkunjung di Sriwijaya, maka raja Sriwijaya yang bernama Sri Indrawarman masuk Islam pada tahun 718. Sehingga sangat dimungkinkan kehidupan sosial Sriwijaya adalah masyarakat sosial yang di dalamnya terdapat masyarakat Budha dan Muslim sekaligus. Tercatat beberapa kali raja Sriwijaya berkirim surat ke khalifah Islam di Suriah. Pada salah satu naskah surat yang ditujukan kepada khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720M) berisi permintaan agar khalifah sudi mengirimkan da’i ke istana Sriwijaya.

Perdagangan
Di dunia perdagangan, Sriwijaya menjadi pengendali jalur perdagangan antara India dan Tiongkok, yakni dengan penguasaan atas selat Malaka dan selat Sunda. Orang Arab mencatat bahwa Sriwijaya memiliki aneka komoditi seperti kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, pala, kepulaga, gading, emas, dan timah yang membuat raja Sriwijaya sekaya raja-raja di India. Kekayaan yang melimpah ini telah memungkinkan Sriwijaya membeli kesetiaan dari vassal-vassalnya di seluruh Asia Tenggara.

Pada paruh pertama abad ke-10, diantara kejatuhan dinasti Tang dan naiknya dinasti Song, perdagangan dengan luar negeri cukup marak, terutama Fujian, kerajaan Min dan negeri kaya Guangdong, kerajaan Nan Han. Tak diragukan lagi Sriwijaya mendapatkan keuntungan dari perdagangan ini.

Relasi dengan kekuatan regional
Untuk memperkuat posisinya atas penguasaan pada kawasan di Asia Tenggara, Sriwijaya menjalin hubungan diplomasi dengan kekaisaran China, dan secara teratur mengantarkan utusan beserta upeti.

Pada masa awal kerajaan Khmer merupakan daerah jajahan Sriwijaya. Banyak sejarawan mengklaim bahwa Chaiya, di propinsi Surat Thani, Thailand Selatan, sebagai ibu kota kerajaan tersebut, pengaruh Sriwijaya nampak pada bangunan pagoda Borom That yang bergaya Sriwijaya. Setelah kejatuhan Sriwijaya, Chaiya terbagi menjadi tiga kota yakni (Mueang) Chaiya, Thatong (Kanchanadit), dan Khirirat Nikhom.

Sriwijaya juga berhubungan dekat dengan kerajaan Pala di Benggala, pada prasasti Nalanda berangka 860 mencatat bahwa raja Balaputradewa mendedikasikan sebuah biara kepada Universitas Nalanda. Relasi dengan dinasti Chola di selatan India juga cukup baik, dari prasasti Leiden disebutkan raja Sriwijaya telah membangun sebuah vihara yang dinamakan dengan Vihara Culamanivarmma, namun menjadi buruk setelah Rajendra Chola I naik tahta yang melakukan penyerangan di abad ke-11. Kemudian hubungan ini kembali membaik pada masa Kulothunga Chola I, di mana raja Sriwijaya di Kadaram mengirimkan utusan yang meminta dikeluarkannya pengumuman pembebasan cukai pada kawasan sekitar Vihara Culamanivarmma tersebut. Namun demikian pada masa ini Sriwijaya dianggap telah menjadi bahagian dari dinasti Chola, dari kronik Tiongkok menyebutkan bahwa Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) sebagai raja San-fo-ts’i membantu perbaikan candi dekat Kanton pada tahun 1079, pada masa dinasti Song candi ini disebut dengan nama Tien Ching Kuan dan pada masa dinasti Yuan disebut dengan nama Yuan Miau Kwan.

Masa Kejayaan
Kemaharajaan Sriwijaya bercirikan kerajaan maritim, mengandalkan hegemoni pada kekuatan armada lautnya dalam menguasai alur pelayaran, jalur perdagangan, menguasai dan membangun beberapa kawasan strategis sebagai pangkalan armadanya dalam mengawasi, melindungi kapal-kapal dagang, memungut cukai serta untuk menjaga wilayah kedaulatan dan kekuasaanya.

Dari catatan sejarah dan bukti arkeologi, pada abad ke-9 Sriwijaya telah melakukan kolonisasi di hampir seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara, antara lain: Sumatera, Jawa, Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja, Vietnam, dan Filipina. Dominasi atas Selat Malaka dan Selat Sunda, menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali rute perdagangan rempah dan perdagangan lokal yang mengenakan biaya atas setiap kapal yang lewat. Sriwijaya mengakumulasi kekayaannya sebagai pelabuhan dan gudang perdagangan yang melayani pasar Tiongkok, dan India.

Sriwijaya juga disebut berperan dalam menghancurkan kerajaan Medang di Jawa, dalam prasasti Pucangan disebutkan sebuah peristiwa Mahapralaya yaitu peristiwa hancurnya istana Medang di Jawa Timur, di mana Haji Wurawari dari Lwaram yang kemungkinan merupakan raja bawahan Sriwijaya, pada tahun 1006 atau 1016 menyerang dan menyebabkan terbunuhnya raja Medang terakhir Dharmawangsa Teguh.

Masa Kemunduran
Tahun 1017 dan 1025, Rajendra Chola I, raja dari dinasti Chola di Koromandel, India selatan, mengirim ekspedisi laut untuk menyerang Sriwijya, berdasarkan prasasti Tanjore bertarikh 1030, kerajaan Chola telah menaklukan daerah-daerah koloni Sriwijaya, sekaligus berhasil menawan raja Sriwijaya yang berkuasa waktu itu. Selama beberapa dekade berikutnya seluruh imperium Sriwijaya telah berada dalam pengaruh dinasti Chola. Meskipun demikian Rajendra Chola I tetap memberikan peluang kepada raja-raja yang ditaklukannya untuk tetap berkuasa selama tetap tunduk kepadanya. Hal ini dapat dikaitkan dengan adanya berita utusan San-fo-ts’i ke Cina tahun 1028.

Antara tahun 1079 – 1088, kronik Tionghoa mencatat bahwa San-fo-ts’i masih mengirimkan utusan dari Jambi dan Palembang. Dalam berita Cina yang berjudul Sung Hui Yao disebutkan bahwa kerajaan San-fo-tsi pada tahun 1082 mengirimkan utusan pada masa Cina di bawah pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta besar tersebut menyampaikan surat dari raja Kien-pi bawahan San-fo-tsi, yang merupakan surat dari putri raja yang diserahi urusan negara San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227 tahil perhiasan, rumbia, dan 13 potong pakaian. Kemudian juga mengirimankan utusan berikutnya di tahun 1088. Namun akibat invasi Rajendra Chola I, hegemoni Sriwijaya atas raja-raja bawahannya melemah, beberapa daerah taklukan melepaskan diri, sampai muncul Dharmasraya sebagai kekuatan baru yang kemudian menguasai kembali wilayah jajahan Sriwijaya mulai dari kawasan Semenanjung Malaya, Sumatera, sampai Jawa bagian barat.

Berdasarkan sumber Tiongkok pada buku Chu-fan-chi yang ditulis pada tahun 1178, Chou-Ju-Kua menerangkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara terdapat dua kerajaan yang sangat kuat dan kaya, yakni San-fo-ts’i dan Cho-po (Jawa). Di Jawa dia menemukan bahwa rakyatnya memeluk agama Budha dan Hindu, sedangkan rakyat San-fo-ts’i memeluk Budha, dan memiliki 15 daerah bawahan yang meliputi; Si-lan (Kamboja), Tan-ma-ling (Tambralingga, Ligor, selatan Thailand), Kia-lo-hi (Grahi, Chaiya sekarang, selatan Thailand), Ling-ya-si-kia (Langkasuka), Kilantan (Kelantan), Pong-fong (Pahang), Tong-ya-nong (Terengganu), Fo-lo-an (muara sungai Dungun daerah Terengganu sekarang), Ji-lo-t’ing (Cherating, pantai timur semenanjung malaya), Ts’ien-mai (Semawe, pantai timur semenanjung malaya), Pa-t’a (Sungai Paka, pantai timur Semenanjung Malaya), Lan-wu-li (Lamuri di Aceh), Pa-lin-fong (Palembang), Kien-pi (Jambi), dan Sin-t’o (Sunda).

Namun demikian, istilah San-fo-tsi terutama pada tahun 1178 tidak lagi identik dengan Sriwijaya, melainkan telah identik dengan Dharmasraya, dari daftar 15 negeri bawahan San-fo-tsi tersebut merupakan daftar jajahan kerajaan Dharmasraya, walaupun sumber Tiongkok tetap menyebut San-fo-tsi sebagai kerajaan yang berada di kawasan laut Cina Selatan. Hal ini karena dalam Pararaton telah menyebutkan Malayu, disebutkan Kertanagara raja Singhasari mengirim sebuah ekspedisi Pamalayu atau Pamalayu, dan kemudian menghadiahkan Arca Amoghapasa kepada raja Melayu, Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa di Dharmasraya sebagaimana yang tertulis pada prasasti Padang Roco. Peristiwa ini kemudian dikaitkan dengan manuskrip yang terdapat pada prasasti Grahi. Begitu juga dalam Nagarakretagama, yang menguraikan tentang daerah jajahan Majapahit juga sudah tidak menyebutkan lagi nama Sriwijaya untuk kawasan yang sebelumnya merupakan kawasan Sriwijaya.

Struktur pemerintahan
Pembentukan satu negara kesatuan dalam dimensi struktur otoritas politik Sriwijaya, dapat dilacak dari beberapa prasasti yang mengandung informasi penting tentang kadātuan, vanua, samaryyāda, mandala dan bhūmi.
Kadātuan dapat bermakna kawasan dātu, (tnah rumah) tempat tinggal bini hāji, tempat disimpan mas dan hasil cukai (drawy) sebagai kawasan yang mesti dijaga. Kadātuan ini dikelilingi oleh vanua, yang dapat dianggap sebagai kawasan kota dari Sriwijaya yang didalamnya terdapat vihara untuk tempat beribadah bagi masyarakatnya. Kadātuan dan vanua ini merupakan satu kawasan inti bagi Sriwijaya itu sendiri. Menurut Casparis, samaryyāda merupakan kawasan yang berbatasan dengan vanua, yang terhubung dengan jalan khusus (samaryyāda-patha) yang dapat bermaksud kawasan pedalaman. Sedangkan mandala merupakan suatu kawasan otonom dari bhūmi yang berada dalam pengaruh kekuasaan kadātuan Sriwijaya.

Penguasa Sriwijaya disebut dengan Dapunta Hyang atau Maharaja, dan dalam lingkaran raja terdapat secara berurutan yuvarāja (putra mahkota), pratiyuvarāja (putra mahkota kedua) dan rājakumāra (pewaris berikutnya). Prasasti Telaga Batu banyak menyebutkan berbagai jabatan dalam struktur pemerintahan kerajaan pada masa Sriwijaya.

Warisan sejarah
Meskipun Sriwijaya hanya menyisakan sedikit peninggalan arkeologi dan terlupakan dari ingatan masyarakat pendukungnya, penemuan kembali kemaharajaan bahari ini oleh Coedès pada tahun 1920-an telah membangkitkan kesadaran bahwa suatu bentuk persatuan politik raya, berupa kemaharajaan yang terdiri atas persekutuan kerajaan-kerajaan bahari, pernah bangkit, tumbuh, dan berjaya di masa lalu.

Di samping Majapahit, kaum nasionalis Indonesia juga mengagungkan Sriwijaya sebagai sumber kebanggaan dan bukti kejayaan masa lampau Indonesia. Kegemilangan Sriwijaya telah menjadi sumber kebanggaan nasional dan identitas daerah, khususnya bagi penduduk kota Palembang, provinsi Sumatera Selatan. Bagi penduduk Palembang, keluhuran Sriwijaya telah menjadi inspirasi seni budaya, seperti lagu dan tarian tradisional Gending Sriwijaya. Hal yang sama juga berlaku bagi masyarakat selatan Thailand yang menciptakan kembali tarian Sevichai (Sriwijaya) yang berdasarkan pada keanggunan seni budaya Sriwijaya.

Di Indonesia, nama Sriwijaya telah digunakan dan diabadikan sebagai nama jalan di berbagai kota, dan nama ini telah melekat dengan kota Palembang dan Sumatera Selatan. Universitas Sriwijaya yang didirikan tahun 1960 di Palembang dinamakan berdasarkan kedatuan Sriwijaya. Demikian pula Kodam II Sriwijaya (unit komando militer), PT Pupuk Sriwijaya (Perusahaan Pupuk di Sumatera Selatan), Sriwijaya Post (Surat kabar harian di Palembang), Sriwijaya TV, Sriwijaya Air (maskapai penerbangan), Stadion Gelora Sriwijaya, dan Sriwijaya Football Club (Klab sepak bola Palembang), semua dinamakan demikian untuk menghormati, memuliakan, dan merayakan kegemilangan kemaharajaan Sriwijaya.

Kerajaan Kertanegara ing Martadipura

Kerajaan Kutai islam dikenal juga dengan kerajaan Kertanegara ing Martadipura yang berdiri setelah peperangan besar dengan kerajaan Kutai Martapura di Muara Kaman kira-kira tahun 1605 M, dengan terjadinya peprangan tersebut penyatuan antara kedua kerajaan tersebut terjadi setelah kerajaan Kutai Martapura mengalami kekalahan. Kerajaan ini berdiri pada awal abad ke-13 di tepian batu atau Kutai lama, yaitu daerah yang dekat dengan Samarinda sekarang, pemilihan lokasi ini lebih disebabkan karena kutai lama adalah sebuah daerah yang dilalui oleh sungai Mahakam yang juga berfungsi sebagai jalur perdagangan serta terkenal akan kesuburan tanah yang cocok untuk iklim pertanian. Dengan rajanya yang pertama yaitu Aji Batara Agung Dewa Sakti (1300-1325).

Meninjau ulang kerajaan Kutai Mulawarman (Martadipura) didirikan oleh pembesar kerajaan Campa (Kamboja) bernama Kudungga, yang selanjutnya menurunkan Raja Asmawarman, Raja Mulawarman, sampai 27 (dua puluh tujuh) generasi Kerajaan Kutai Mulawarman yaitu sebagai berikut: Kudungga, Asmawarman, Mulawarman, Sri Warman, Mara Wijaya Warman, Gayayana Warman, Wijaya Tungga Warman, Jaya Naga Warman, Nala Singa Warman, Nala Perana Warmana Dewa, Galingga Warman Dewa, Indara Warman Dewa, Sangga Wirama Dewa, Singa Wargala Warmana Dewa, Candra Warmana, Prabu Mulia Tungga Dewa, Nala Indra Dewa, Indra Mulia Warmana Tungga, Srilangka Dewa, Guna Perana Tungga, Wijaya Warman, Indra Mulia, Sri Aji Dewa, Mulia Putera, Nala Pendita, Indra Paruta Dewa, dan Darma Setia.

Sementara itu pada abad XIII di muara Sungai Mahakam berdiri Kerajaan bercorak Hindu Jawa yaitu Kerajaan Kutai Kertanegara yang didirikan oleh salah seorang pembesar dari Kerajaan Singasari yang bernama Raden Kusuma yang kemudian bergelar Aji Batara Agung Dewa Sakti dan beristerikan Putri Karang Melenu sehingga kemudian menurunkan putera bernama Aji Batara Agung Paduka Nira.
Proses asimilasi (penyatuan) dua kerajaan tersebut telah dimulai pada abad XIII dengan pelaksanaan kawin politik antara Aji Batara Agung Paduka Nira yang mempersunting Putri Indra Perwati Dewi yaitu seorang puteri dari Guna Perana Tungga salah satu Dinasti Raja Mulawarman (Martadipura), tetapi tidak berhasil menyatukan kedua kerajaan tersebut. Baru pada abad XVI melalui perang besar antara kerajaan Kutai Kertanegara pada masa pemerintahan Aji Pangeran Sinum Panji Ing dengan Kerajaan Kutai Mulawarman (Martadipura) pada masa pemerintahan Raja Darma Setia.

Dalam pertempuran tersebut Raja Darma Setia mengalami kekalahan dan gugur di tangan Raja Kutai Kertanegara Aji Pangeran Sinum Panji, yang kemudian berhasil menyatukan kedua kerajaan Kutai Tersebut sehingga wilayahnya menjadi sangat luas dan nama kerajaannyapun berubah menjadi Kerajaan Kutai Kertanegara Ing Martadipura yang kemudian menurunkan Dinasti Raja-raja Kutai Kertanegara sampai sekarang.

Menurut silsilah (Raja-raja dalam negeri) Kutai (Kertanegara), bahwa cikal bakal kerajaan Kutai Kertanegara ialah: Aji Batara agung Dewa Sakti, ditinjau dari segi mitosnya bahwa beliau turun dari langit dan memiliki kesaktian membawa sebuah telur dan sebuah keris yang bernama keris Burit Kang. Aji Batara Agung kawin dengan Putri Karang Melenu yang lahir dari buih Sungai Mahakam, dengan segala kebesaran duduk di atas gong yang di angkat oleh Lembu Suana yang berdiri di atas kepala naga besar. Tangan kanan memegang emas dan tangan kiri telur ayam.

Kita dapat mengetahui bahwa pada masa akhir kerajaan Kutai Martapura terjadi suatu pemberontakan-pemberontakan, baik yang dilakukan oleh keluarga raja sendiri maupun pihak luar disebabkan melemahnya keuatan dalam segala aspek pemerintahan seningga dinilai tidak lagi dapat menjalankan pemerintahan dengan baik. Jadi hal ini perlu suatu revisi, baik dari raja, sistemnya, serta mungkin agamanya yang menjadi anutan para penguasa raja Hindu-Buddha khususnya Kerajaan Kutai. Hal itu mungkin dapat memicu terjadinya suatu peperangan yang terjadi antara Kerajaan Kutai Martapura dan Kerajaan Kutai Kartanegara.

Pada masa ini kerajaan Kutai Kartanegara belum terjadi suatu perubahan yang sangat mencolok, artinya disaat pemerintahan Aji Batara Agung Dewa Sakti keadaan pemerintahan masih seperti raja kerajaan Kutai Martapura karna masih awal perkembangannya dan juga masih beragama Hindu cumin letak kerajaannya yang berbeda

Sistem Pemerintahan Kerajaan Kutai Kartanegara

Dalam system ini Sultan/raja membawahi mangkubumi, jabatan yang biasanya dipegang oleh keluarga dekat raja/sultan misalnya paman. Tugas mangkubumi mewakili raja dalam sebuah acara apabila raja berhalangan hadir dan memangku jabatan raja untuk menggantikan kedudukan putra mahkota apabila putra mahkota tersebut belum berumur 21 tahun dan ini tercantum dalam Undang-Undang pasal 9(soeton 1975 : 54).

Kedudukan di bawah raja yang setara dengan Mangkubumi adalah majelis orang-orang besar arif dan bijaksana. Majelis berisi kaum bangsawan dan rakyat biasa yang mengerti adat-istiada Kutai, majelis ini bertugas membuat rancangan peraturan dan di ajukan pada raja. Apabila peraturan tersebut disetujui maka akan di berlakukan kepada seluruh rakyat Kutai Kartanegara ing Martadipura dan ini juga disebut “adat yang diadatkan”.

Menteri berkedudukan dibawah raja dan bertugas sebagai mediator antara raja dan mangkubumi dengan rakyat, punggawa, dan petinggi (Kepala Kampung). Menteri diangkat dari keluarga dekat raja atau keturunan bangsawan, kedudukan dan fungsi menteri diatur dalam Undang-Undang kerajaan yang dikenal dengann “Panji salaten”. Tugas dari menteri ini adalah menjalankan perintah raja dan mangkubumi, memberikan nasehat kepada raja ketika menjalankan hokum dan adat bersama senopati, dan punggawa agar hokum berjalan dengan baiak, menghukum gantung hulubalang dan senopati yang berkhianat pada kerajaan, menyelenggarakan kesejahteraan rakyat, dan menyanggah pendapat rakyat yang zalim dan berbuat sewenang-wenang.

Senopati kedudukannya berada di bawah menteri dan bertugas menjaga keamanan dan ketentraman kerajaan, menjalankan perintah raja, mangkubumi, menteri, dan pelaksana acara adat.

Punggawa merupakan ketua dalam sebuah perkampungan dan berada dibawah menteri dan sejajar dengan senopati, akan tetapi punggawa lah yang berhubungan langsung dengan rakyat jadi hubungannya dekat dengan meneri.

Sedangkan kedudukan paling bawah dalam pemerintahan adalah jabatan petinggi atau kepala kampung, dan diangkat berdasarkan jasa terhadap kerajaan dan berlaku pada kaum biasa, dan kedudukan berada di bawah punggawa, serta sebagai penyambung inspirasi rakyat untuk disampaikan kepada punggawa dan di atasnya.


Berakhirnya Kesultanan Kutai Kartanegara

Pada masa Aji Muhammad Parkesit (1920-1960). Pada masa selanjutnya, kekuasaan politik dan ekonomi Kesultanan secara berangsur-angsur dan sistematis dipangkas oleh pemerintah kolonial Hindia-Belanda dan Pendudukan Jepang melalui serangkaian perjanjian, pemberian hak monopoli dagang, maupun pemberian hak penarikan pajak dan cukai. Demikian pula pada masa kemerdekaan RI, kedudukan Kutai Kartanegara turun tingkatannya atau hilang sama sekali, secara bertahap dari kesultanan menjadi Daerah Istimewa, lalu sebagai Daerah Swapraja, dan akhirnya sebagai Kabupaten dengan wilayah yang lebih sempit dari pada sebelumnya.Sultan beserta keturunan tak secara otomatis menjadi kepala pemerintahan yang turun-temurun.

Pada tanggal 27 Desember 1949, Dewan Kesultanan tergabung ke dalam Republik Indonesia Serikat. Lalu pada tahun 1953, Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura diubah menjadi Daerah Istimewa Kutai melalui UU Darurat No.3 Th.1953 menjadi daerah otonomi tingkat kabupaten.

Berdasarkan UU No. 27 tahun 1959 tentang “Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II di Kalimantan”, wilayah Daerah Istimewa Kutai dipecah menjadi 3 Daerah Tingkat II, yaitu:

1. Daerah Tingkat II Kutai dengan ibukota Tenggarong

2. Kotapraja Balikpapan dengan ibukota Balikpapan

3. Kotapraja Samarinda dengan ibukota Samarinda.

Pada tanggal 20 Januari 1960, APT Pranoto selaku Gubernur Kalimantan Timur, atas nama Menteri Dalam Negeri melantik ketiga kepala Daerah Tingkat II, salah satunya adalah Aji Raden Padmo sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kutai. Sehari kemudian, 21 Januari 1960, bertempat di Balairung Keraton Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura di Tenggarong, diadakan Sidang Khusus DPRD Daerah Istimewa Kutai. Inti dari acara ini adalah serah terima pemerintahan dari Kepala Kepala Daerah Istimewa Kutai, Sultan Aji Muhammad Parikesit kepada Aji Raden Padmo sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kutai, Kapten Soedjono (Walikota Samarinda), dan A.R. Sayid Mohammad (Walikota Balikpapan). Dengan serah terima pemerintahan tersebut berarti Pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara dibawah Aji Sultan Muhammad Parikesit berakhir.

Adapun beberapa faktor yang menyebabkan berakhirnya kekuasaan kerajaan Kutai Kertanegara, diantaranya yaitu:

Sedikit Sekali Adanya Usaha Kerajaan untuk Mengadakan Integrasi dengan Masyarakat

Raja yang tadinya dihormati dan dijunjung tinggi oleh rakyat sebagai tempat mengadukan nasib malang dirinya, yang dianggap sebagai juru penyelamat dan menjamin kesejahteraan rakyat, namun tidak dapat berbuat apa-apa stelah mendapat tekanan dari pihak Kolonial Belanda. Padahal hasil yang diterima oleh kerajaan masih cukup besar.

Tetapi semua hasil yang diperoleh kerajaan, sepenuhnya hanya dipergunakan untuk menyelenggarakan kesejahteraan pribadi raja beserta seluruh keluarganya saja. Tiap-tiap tahun diadakan ramaian erau untuk menyanjung kemegahan keluarga raja-raja Kutai. Kenyataan tersebut terbanding terbalik dengan keadaan rakyat Kutai sendiri, dimana rakyat jelata tetap melarat dan nasibnya kurang diperhatikan. Kenyataan yang diterima oleh rakyat ini menimbulkan ketidaksenangan terhadap sultannya yang dianggap tidak mampu memberikan kesejahteraan bagi rakyat dan tidak berniat untuk mengubah nasib rakyatnya.

Adanya Tuntutan yang gigih dari Rakyat Kutai Sendiri untuk Menhapuskan Swapraja

Faktor ini timbul akibat adanya perbedaan sosial yang mencolok, antara kehidupan raja serta keluarganya yang mewah di satu pihak, dan kehidupan rakyat yang melarat di lain pihak. Sehingga rakyat Kutai sendiri merasakan bahwa tidak ada gunanya menyongkong kelangsungan hidup kerajaan yang tidak membawa keuntungan apa-apa bagi rakyat. Selain itu, pada umumnya rakyat Kutai sendiri sangat bersimpati terhadap Republik Indonesia.


Dihidupkannya Kembali Kesultanan Kutai Kertanegara

Ada upaya kembali dari Bupati Kartanegara, Syaukani, Syaukani Hasan Rais, Untuk kembali menghidupkan Kesultana Kutai Kartanegara pada era reformasi. Upaya ini dimulai tepatnya pada tahun 1999. Upaya ini ditempuh dengan alas an untuk membangun pariwisata dan menjaga cagar budaya.

Upaya tersebut menunai hasil pada tahun 2001, ketika Pemerintah Republik Indonesia melalui Presiden Abdurrahman Wahid mengizinkan dan mengakui pendirian kembali Kesultanan Kartanegara ing Martadipura yang ditandai dengan pengangkatan Putra Mahkota, H. Aji Pangeran Praboe Anoem Soerya Adiningrat diangkat sebagai sultan di Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura dengan gelar sulatan Haji Aji Muhammad Salehuddin II.

Silsilah Sultan Kartanegara:

Aji Batara Agung Dewa Sakti (1300-1325)

Aji Batara Agung Paduka Nira (1325-1360)

Aji Maharaja Sultan (1360-1420)

Aji Raja Mandarsyah (1420-1475)

Aji Pangeran Tumenggung Bayabaya (1475-1545)

Aji Raja Mahkota Mulia Alam (1545-1610)

Aji Dilanggar (1610-1635)

Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa ing Martapura (1635-1650)

Aji pangeran Dipati Agung ing Martapura (1650-1665)

Aji Pangeran Dipati Maja Kusuma ing Martapura (1665-1686)

Aji Ragi Gelar Ratu Agung (1686-1700)

Aji Pangeran Dipati Tua (1700-1710)

Aji Pangeran Anum Panji Mendapa ing Martapura (1710-1735)

Aji Muhammad Idris (1735-1778)

Aji Muhammad Aliyeddin (1778-1780)

Aji Muhammad Muslihuddin (1780-1816)

Aji Muhammad Salehuddin (1816-1845)

Aji Muhammad Sulaiman (1850-1899)

Aji Muhammad Alimuddin (1899-1910)

Aji Muhammad Parikesit (1920-1960)

Haji Aji Muhammad Salehuddin (1999-sekarang)

Dalam Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura, gelar kebangsawanan yang digunakan oleh keluarga kerajaan adalah Aji. Gelar Aji diletakkan didepan nama anggota keluarga kerajaan. Dalam gelar kebangsawanan Kutai Kartanegara dikenal penggunaan gelar sebagai berikut:

Aji Sultan
Digunakan untuk penyebutan nama Sultan bagi kerabat kerajaan

Aji Ratu
Gelar yang diberikan bagi permaisuri Sultan

Aji Pangeran
Gelar bagi putera Sultan.

Aji Puteri
Gelar bagi puteri Sultan. Gelar Aji Puteri setara dengan Aji Pangeran.

Aji Raden
Gelar yang setingkat diatas Aji Bambang.

Gelar ini diberikan oleh Sultan hanya kepada pria bangsawan Kutai yang sebelumnya menyandang gelar Aji Bambang.

Aji Bambang
Gelar yang setingkat lebih tinggi dari Aji.

Gelar ini hanya dapat diberikan oleh Sultan kepada pria bangsawan Kutai yang sebelumnya menyandang gelar Aji saja.

Aji
Gelar bagi keturunan bangsawan Kutai. Gelar Aji hanya dapat diturunkan oleh pria bangsawan Kutai.

Wanita Aji yang menikah dengan pria biasa tidak dapat menurunkan gelar Aji kepada anak-anaknya

Jika pria Aji menikah dengan wanita dari kalangan bangsawan Kutai sendiri atau dari kalangan rakyat biasa maupun suku lain, maka putra-putrinya berhak menyandang gelar Aji. Namun jika wanita Aji menikah dengan pria yang bukan keturunan bangsawan Kutai, maka putra-putrinya tidak dapat memperoleh gelar Aji, kecuali jika wanita Aji tersebut menikah dengan bangsawan keturunan Arab (Sayid).

Jika wanita Aji menikah dengan keturunan Arab (Sayid), maka putra-putrinya memperoleh gelar sebagai berikut:

Aji Sayid
Gelar ini diturunkan kepada putera dari wanita Aji yang menikah dengan pria keturunan Arab.

Aji Syarifah
Gelar ini diturunkan kepada puteri dari wanita Aji yang menikah dengan pria keturunan Arab.

Gelar Aji Sayid maupun Aji Syarifah tetap setara dengan gelar Aji biasa. Artinya gelar ini tetap dibawah Aji Bambang maupun Aji Raden.

Daftar PUSTAKA

Soetoen, A. 1975. Dari Swapraja ke Kabupaten Kutai. Kabupaten Kutai: Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai.

http://iid.wikipedia.org . Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura. Diakses pada tanggal 20 Oktober 2013.

http://kesultanan.kutaikartanegara.com . Sejarah Kesultanan Kutai Kartanegara. Di akses pada tanggal 20 Oktober  2013





HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html