Islam Di Domba Hitamkan

Ditengah kekacauan,Fitnah, teror dan kekerasan,umat Islam tetap tabah berdiri mempertahankan keyakinannya, dengan memperkenalkan agamanya dengan cara-cara damai dan menyejukkan.

Akhirnya Sunni dan Syiah Bersatu

Bukankah mereka mengimani tuhan yang sama, Mencintai Nabi dan Rosul yang sama, memiliki Kitab suci yang sama, Mempunyai Syahadah yang sama ?, Kemudian mereka saling fitnah dan menumpahkan darah.

Pengaruh Peradaban Islam Terhadap dunia Modern

Pada masa lampau, peradaba Islam memberikan sumbangan besar terhadap kemajuan dunia Barat, kini Islam dan Barat saling menghunus pedang, Islam sebagai Tokoh Kegelapan, sedangkan Barat sebagai Tokoh Peradaban.

Jihad Dan Terorisme dalam Prespektif Islam

Siapa mereka yang mengatakan terorisme merupakan bagian dari jihad fi sabilillah ?? sedangkan teror sangat ditentang oleh teks rujukan utama umat Islam.

Lagenda Assasin "Penebar Maut Lembah Alamut"

Asyhasin(assassin) Antara Lagenda dan Mitos, Siapa Sangka Assassin yang terkenal sebagai Game, adalah Kisah Nyata Pasukan Khusus sekte pecahan Syiah Ismailiyah.

Wednesday 31 December 2014

DAFTAR PUSTAKA Dinasti Kecil Di Baghdad

Ahmad Hasan Mahmud & Ahmad Ibrahim Syarif, al-Fikr al-Islami, fi al-Ashr al-Abbasi T.np.: Dar al-Fikr ‘Arabi, 1977.

Bosworth C.E., The Islamic Dynasties Eidenburgh, 1980. Terjemahan dalam bahasa Indonesia oleh Ilyas Hasan Bandung: Mizan Anggota IKAPI,1993.

Bosworth, The Political and Dinastic History of The Iranian Word from 1000-1217 Cambridge, 1986.

Glasse Chril., Ensiklopedi Islam Cet.II, PT. Raja Grafindo Persada; Jakarta: 1999.

Ibnu al-Atsir, al-Kamil, fi at-Tarikh, Jilid III.: Dirjen Binbaga Islam Departemen Agama RI Sejarah Dan Kebudayaan Islam, Jilid I Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama IAIN Alauddin, 1981/1982.

Hitti K Philip., History of The Arab London: The Macmillan Press LTD, 1974.

http//danankBlogs_dinasti-dinasti.kecil di Baghdad. Wordpress.com. diaskes pada pukul 10:14 wita tanggal 14 November 2014.

http// akademika.dinasti-dinasti Independen.wordpress.com

Munir Amin Syamsul., Sejarah Peradaban Islam Jakarta: Amzah, 2009.

mushallahalaim2.blogspot.com/dinasti-thahiriyah-sammaniyah-da.html diakses pada pukul 8:46 tanggal 11-11-2014.

Perpustakaan Nasional RI. Ensiklopedi Islam, Jakarta;Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002.

Perpustakaan Nasional RI. Ensiklopedi Islam, Jakarta ; Ichtiar Baru van Hoeve, 2005.

Saunder J.J., A History Of Mediveal Islam London: Rotledge and Kegan Paul, 1965.

Supriyadi Dedi., Sejarah Peradaban Islam Bandung: CV,Pustaka Setia, 2008.

Al-Usairy Ahmad., at-Tarikhul Islami Terj. Samson Rahman, 2003.

Yatim Badri., Sejarah Peradaban Islam Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010.


KLIK
DINASTI THAHIRIYYAH (205 – 259 H / 821 – 873 M)
DINASTI SAMANIYAH (261 – 389 H / 874 – 999 M)

DINASTI SAMANIYAH (261 – 389 H / 874 – 999 M)

1. Sejarah Pendirian.


Pendiri dinasti ini adalah Ahmad bin Asad bin Samankhudat. Nama Samaniyah dinisbahkan kepada leluhur pendirinya yaitu Samankhudat, seorang pemimpin suku dan tuan tanah keturunan bangsawan terkenal di Balkh, sebuah daerah di sebelah utara Afghanistan. Dalam sejarah Samaniyah terdapat dua belas khalifah yang memerintah secara berurutan, yaitu;[1]

a. Ahmad I ibn Asad ibn Saman (Gubernur Farghana) 204 H/819 M

b. Nash I ibn Ahmad, (semula Gubernur Samarkand) 250 H/864 M

c. Ismail I ibn Ahmad 279 H/892 M

d. Ahmad II ibn Ismail 295 H/907 M

e. Al-Amir as-Sa’id Nashr II 301 H/914 M

f. Al-Amir al-Hamid Nuh I 331 H/943 M

g. Al-Amir al-Mu’ayyad Abdul Malik I 343 H/954 M

h. Al-amir as-Sadid Manshur I 350 H/961 M

i. Al-Amir ar-Ridha Nuh II 365 H/976 M

j. Mansur II 387 H/997 M

k. Abdul Malik II 389 H/999 M

l. Ismail II Al-Muntashir 390-395H/1000-1005 M

Dinasti ini berbeda dengan dinasti kecil lain yang berada di sebelah barat Baghdad, dinasti ini tetap tunduk kepada kepemimpinan Khalifah Abbasiyyah.[2]

Dalam sejarah Islam tercatat bahwa dinasti ini bermula dari masuknya Samankhudat menjadi penganut Islam pada masa khalifah Hisyam bin Abdul Malik (khalifah Bani Umayyah), sejak itu Samankhudat dan keturunannya mengabdikan diri kepada penguasa Islam. Pada masa kekuasaan al-Ma’mun (198-218 H/813-833 M) dari Dinasti Bani Abbasiyyah, empat cucu Samankhudat memegang jabatan penting sebagai gubernur dalam wilayah kekuasaan Abbasiyah yaitu Nuh di Samarkand, Ahmad bin Asad di Farghana (Turkistan) dan Transoksania, Yahyabin Asad di Shash serta Asyrusanah (daerah di utara Samarkand), dan Ilyas di Heart, Afghanistan.[3]

Seorang cucu Samankhudat yang bernama Ahmad bin Asad, dalam perkembangannya mulai merintis berdirinya Dinasti Samaniyah didaerah kekuasaannya, Farghana. Ahmad mempunyai dua putra, Nasr dan Isma’il, yang juga menjadi orang kepercayaan Abbasiyah. Nasr I bin Ahmad dipercaya menjadi gubernur di Transoksania dan Isma’il I bin Ahmad di Bukhara. Selanjutnya Nasr I bin Ahmad mendapat kepercayaan dari khalifah al-Mu’tamid untuk memerintah seluruh wilayah Khurasan dan Transoksania, dan daerah ini menjadi basis perkembangan Dinasti Samaniyyah. Oleh sebab itu Nasr I bin Ahmad dianggap sebagai pendiri hakiki dinasti ini. 

Antara Nasr dan Saudaranya, Isma’il selalu terlibat konflik yang mengakibatkan terjadinya peperangan, dalam peperangan yang terjadi Nasr mengalami kekalahan yang kemudian ia ditawan, sehingga kepemimpinan Dinasti Samaniyyah beralih ke tangan Isma’il I bin Ahmad. Adanya peralihan kepemimpinan ini menyebabkan berpindahnya pusat pemerintahan yang semula di Khurasan di pindahkan ke Bukhara.

Pada sa’at pemerintahan dipimpin Isma’il I bin Ahmad, ia selalu berusaha untuk:
  1. Memperkukuh kekuatan dan mengamankan batas wilayahnya dari ancaman suku liar Turki.
  2. Membenahi administrasi pemerintahan.
  3. Memperluas wilayah kekuasaan ke Tabaristan (Irak utara) dan Rayy (Iran).
Isma’il I bin Ahmad adalah orang yang sangat mencintai dan memuliakan para ilmuwan serta bertindak adil terhadap rakyatnya, setelah ia wafat pemerintahan diteruskan putranya Ahmad bin Isma’il. Setelah Ahmad bin Isma’il, pemerintahan diteruskan putranya Nasr II bin Ahmad yang berhasil memperluas wilayah kekuasaannya hingga Sijistan, Karman, Jurjan di samping Rayy, Tabaristan, Khurasan, dan Transoksania. Setelah Nasr II bin Ahmad, para khalifah berikutnya tidak mampu lagi melakukan perluasan wilayah, bahkan pada khalifah terakhir Isma’il II al-Muntasir, tidak dapat mempertahankan wilayahnya dari serbuan tentara Dinasti Qarakhan dan dinasti Ghaznawiyah dari Turki. Akhirnya wilayah Samaniyah dipecah menjadi dua, daerah Transoksania direbut oleh Qarakhan dan wilayah Khurasan menjadi pemilik penguasa Ghaznawiyah.

2. Kemajuan-Kemajuan yang di Capai

Dinasti Samaniyah telah memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi kemajuan Islam, baik dalam bidang ilmu pengetahuan, filasafat, budaya, politik, dan lain-lain. Tokoh atau pelopor yang sangat berpengaruh dibidang filsafat dan ilmu pengetahuan pada dinasti ini adalah Ibn Sina, selain Ibn Sina juga muncul para pujangga dan ilmuwan dibidang kedokteran, astronomi dan filsafat yang sangat terkenal, seperti Al-Firdausi, Ummar Kayam, Al-Bairuni dan Zakariya Al- Razi.[4]

Dinasti ini telah berhasil menciptakan kota Bukhara dan Samarkan sebagai kota budaya dan kota ilmu pengetahuan yang sangat terkenal di seluruh dunia, sehingga kota ini dapat menyaingi kota-kota lain, seperti Baghdad dan Cordova. Dinasti ini juga telah berhasil mengembangkan perekonomian dengan baik, sehingga kehidupan masyarakatnya sangat tentram, hal terjadi karena dinasti ini tidak pernah lepas hubungan dengan pemerintah pusat di Baghdad.

Berakhirnya Dinasti Samaniayah di Transoxiana dan kota Bukhara serta Samarkand sebagai kota utama sangat berpengaruh pada penerapan ajaran-ajaran Islam. Kedua kota ini sebagai pusat ilmu pengetahuan dan kebudayaan, hampir-hampir menyamai kebesaran kota Baghdad. Tidak hanya para ilmuwan Arab, ilmuwan Persia pun mendapat perlindunagn dan dukungan dari pemerintah untuk pengembangan ilmu pengetahuan.[5]

Tidak hanya berhenti sampai di situ, ilmu kedokteran, ilmu falak serta filsafat juga mengalami kemajuan dengan disusun dan direkonstruksi serta diterjemahkan bahasa Persia ke bahasa Asab. Diantara beberapa literatur di bidang kedokteran yang terkenal masa itu adalah buku al-Manshury yang dikarang oleh Abu Bakr al-Razzi. Pada masa ini muncul pula filosof muda belia yakni Ibnu Shina yang berhasil mengobati Amir Nuh bin Mansur pada saat Ibnu Sina berusia delapan belas tahun. Di bidang kesusasteraan muncul al-Firdawsi (934-1020) yang menulis sajak-sajaknya. Tercatat juga dalam sejarah seorang wazir pada pemerintahan al-Manshur I bin Nuh (961-976) yang bernama Bal’ami. Ia menerjemahkan Mukhtasar al-Thabari. Bahkan perpustakaan milik dinasti Samaniyah yang berada di Bukhara memiliki berbagai koleksi buku yang tidak dijumpai di tempat lain.[6] Begitu tingginya peradaban umat manusia di masa Dinasti Samaniyah ini terlebih lagi bila dibandingkan dengan keadaan peradaban yang terjadi pada kedua dinasti sebelumnya. Tidak hanya dalam bidang sains dan filsafat yang berkembang dimasa ini tetapi juga dalam bidang ilmu-ilmu keislaman.

3. Masa-Masa Kemunduran

Pada sa’at dinasti mencapai kejayaannya, banyak imigran Turki yang menduduki posisi penting dalam pemerintahan, namun bersebab dari tingginya fanatik kesukuan pada dinasti ini, akhirnya mereka para imigran Turki yang menduduki jabatan penting dalam pemerintahan tersebut banyak yang dicopot, langkah-langkah inilah yang menyebabkan kehancuran dinasti ini, karena mereka tidak terima dengan perlakuan tersebut, sehingga mereka mengadakan penyerangan sampai mereka berhasil melumpuhkan dinasti ini.

Sebagai bahan perbandingan penulis menambahkan, jika pada masa Dinasti Umawiyah, wilayah kekuasaannya masih merupakan kesatuan yang utuh, yaitu suatu wilayah yang luas membentang dari Spanyol di Eropa, Afrika Utara, hingga ke Timur India, pada masa Dinasti Abbasiyah mulai tumbuh dinasti saingan yang melepaskan diri dari kekuasaan Khalifah di Baghdad, yang di mulai dengan terbentuknya Dinasti Umawiyah II di Spanyol, sehinnga kekuasaan kekhalifahan terpecah menjdi dua bagian, yaitu Dinasti Abbasiyah yang berpusat di Baghdad dan Dinasti Umawiyah II yang berpusat di Andalusia, Spanyol.

Kesimpulan

a) 1. Sebelum meninggal, Harun al-Rasyid telah menyiapkan dua anaknya yang diangkat 

menjadi putra mahkota untuk menjadi khalifah yakni al-Amin dan al-Ma'mun. Al-Amin dihadiahi wilayah bagian barat, sedangkan al-Ma'mun dihadiahi wilayah bagian Timur. Setelah Harun al-Rasyid wafat (809 M.) al-Amin putra mahkota tertua tidak bersedia membagi wilayahnya dengan al-Ma'mun. Oleh karena itu, pertempuran dua bersaudara terjadi yang akhirnya dimenangkan oleh al-Ma'mun. Setelah perang usai, al-Ma'mun menyatukan kembali wilayah Dinasti Bani Abbas. Untuk keperluan itu, ia didukung oleh Tahir seorang panglima militer, dan saudaranya sendiri yaitu al-Mu'tasim. Sebagai imbalan jasa, Tahir diangkat menjadi panglima tertinggi tentara Bani Abbas dan gubernur Mesir (205 H). Wilayah kekuasaannya diperluas sampai ke Khurasan (820-822 M) dengan janji bahwa jabatan itu dapat diwariskan kepada anak-anaknya.

2. Ya’qub bin al-Layth as-Saffar adalah orang yang mendirikan dinasti ini. Mulanya berada di Sijistan, yang pada awalnya ketertarikan gubernur Sijistan atas Ya‟qub yang dijuluki Al-Shaffar (tukang pandai besi) mempunyai perilaku buruk, yaitu merampok. Oleh sebab itu, gubernur Sijistan mempercayakan wilayah itu untuk dipimpin oleh Ya’qub.

3. Dinasti ini didirikan oleh Bani Saman yang telah berhasil menggeser dan menggantikan Dinasti Shaffariyah. Pendirinya adalah keturunan dari seorang tuan tanah bernama Saman Khuda di daerah Balkh (Bactra) yang mulanya menganut Zoroaster lalu memeluk Islam di masa Hisyam bin Abdul Malik menjadi penguasa Dinasti Umayyah (105-124 H). Berdirinya dinasti ini bermula dari pengangkatan empat orang cucu Saman oleh Khalifah Al-Ma’mun menjadi gubernur di daerah Samarkand, Pirghana, Shash, dan Harat. Adapun ke empat orang cucunya tersebut adalah Nuh bin Asad diangkat menjadi gubernur di Samarkand. Lalu Ahmad bin Asad ditunjuk menjadi gubernur di Farghanah, sedangkan Yahya bin Asad dipercaya menjadi gubernur untuk wilayah Syas dan Asyrusnah dan Ilyas bin Asad memangku jabatan gubernur wilayah Heart. Ke empat gubernur bani Saman ini menduduki wilayah bagian Transoxiana di bawah kekuasaan Tahir bin Husein (Dinasti Thahiriyah).

b). Dinasti-dinasti kecil di Timur Baghdad berdiri untuk memisahkan diri dari Baghdad. Dihadapan para khalifah seakan-akan mereka memiliki loyalitas kepada Baghdad, namun sesungguhnya secara teritorial, militer, ekonomi, dan politik mereka memiliki kekuasaan independent. Dinasti-dinasti ini menandai kelemahan kekuasaan yang terjadi di pusat, karena seabad setelah didirikannya dinasti Abbasiyah (750-1258 M / 132-656 H) terlihat nasib khalifah banyak ditentukan oleh panglima-panglima tentara. Erosi kekuasaan riil Abbasiyah semakin meningkat dengan kemunculan penguasa-penguasa politik otonom (para sultan) di hampir seluruh kawasan kekuasaan khalifah.

Dinasti-dinasti kecil seperti Thahiriyah (sekitar 54 tahun), Shaffariyah (kurang lebih 36 tahun) serta Samaniyah (selama 128 tahun) sedikit banyaknya jelas berpengaruh pada Baghdad. Mereka secara sunnatullah silih berganti dalam memperebutkan supremasi kekuatan politik yang kemudian diantara sisi positif dari peran yang dimainkannya ialah mampu melahirkan peradaban yang tidak kalah dari Baghdad. Akan tetapi untuk masa depan Dinasti Abbasiyah sendiri keadaan demikian sangat membahayakan dan merugikan.

B. Saran

Demikianlah uraian singkat makalah tentang Dinasti-Dinasti Kecil Di Timur Baghdad dalam Perkembangan Peradaban Islam. Tulisan ini masih sangat terbatas dan memerlukan tambahan guna memperluas wawasan kita. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan bantuan, kritik, dan saran, serta bimbingan-nya kepada bapak dosen pemandu mata kuliah Sejarah Peradaban Islam.


KEPUSTAKAAN

[1]mushallahalaim2.blogspot.com/dinasti-thahiriyahsammaniyah-da.html. 


[2]Perpustakaan Nasional RI. Ensiklopedi Islam, (Jakarta ; Ichtiar Baru van Hoeve, 2005), h.159. 


[3]Ahmad Al-Usairy, at-Tarikhul Islami. h. 266. 


[4]Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, h.151. 


[5]Ahmad Al-Usayri., at-Tarikhul Islami. h. 462-463. 


[6]K. Hitti., History of The Arabs. h. 462-463.

DINASTI SHAFFARIYAH (254 – 290 H / 867 – 903 M)

1. Sejarah Pendirian


Dinasti Shaffariyah merupakan sebuah dinasti Islam yang paling lama berkuasa di dunia Islam. Wilayah kekuasaan Dinasti Shaffariyah meliputi kawasan Sijistan, Iran. Dinasti ini didirikan oleh Ya’kub ibn Layts al-Saffar, seorang pemimpin kelompok khawarij di Provinsi Sistan.[1]

Philip K. Hitti mengatakan bahwa Dinasti Shaffari didirikan oleh Ya’qub bin al-Laits al-Shaffar, Dinasti ini lebih singkat jika dibandingkan dengan Dinasti Thahiriyah. Dinasti ini hanya bertahan selama 21 tahun. Ia berasal dari keluarga perajin tembaga dan semenjak kecil bekerja di perusahaan orang tuanya. Keluarga ini berasal dari Sijistan.[2] Selain ahli dalam bidang ini, ia juga di kenal gemar merampok, tetapi dermawan terhadap fakir miskin.[3]

Menurut Boswort, sekalipun singkat, kelompok Shaffariyah ini memiliki kekuasaan yang cukup luas dan megah.[4] Pada waktu itu Ya’kub mendapat simpati dari pemerintah Sijistan karena dinilai memiliki kesopanan dan keberanian. Oleh karena itu, Ya’kub ditunjuk untuk memimpin pasukan memerangi pembangkang terhadap Daulah Abbasiyah di bagian Timur, khusunya di Sijistan, ia berhasil mengalahkan para pembangkang dalam waktu relatif singkat. Akhirnya ia berjalan sendiri tanpa menghiraukan perintah Baghdad setelah ia menjabat Amir di Khurasan. Selanjutnya, menguasai kota Harat dan Busang. Setelah berhasil mengusir tentara Thahiriyah, akhirnya ia menjadi pemimpin di daerah itu.[5] Ya’kub juga menaklukan sisa-sisa kekuasaan yang pernah di kuasai oleh Thahiriyah yang masih setia di Khurasan sehingga kekuasaannya semakin luas dan mantap.[6]

Shaffariyah juga dikenal sebagai dinasti yang dipimpin oleh rakyat jelata, dan perilaku mereka seperti bandit dan yang menjadi elemen-elemen mereka juga tokoh-tokoh radikal. Sebagai pimpinan Dinasti Abbasiyah Ya’kub ibn Layts al-Saffar sebagaiamana telah disebutkan sebelumnya adalah merupakan seorang pandai besi atau ahli dalam menempa tembaga atau kuningan, semacam mpu di Jawa yang diwarisi secara turun-temurun. Gelar al-Saffar yang diletakkan di belakang namanya ini sebenarnya diambil sesuai dengan keahliannya yaitu ahli dalam menempa besi.

Kegagalan usaha keluarganya, menjadikan ia terikat dengan sekelompok orang yang mengatasnamakan masyarakat kecil untuk melakuan gerakan perampokan. Sasaran dari kegiatannya ini adalah para saudagar kaya yang melintas di tengah perjalanan, kemudian diserang dan diambil harta mereka kemudian diberikan kepada para fakir miskin.[7]

Ya’kub menjadi pemimpin dinastinya kurang lebih sebelas tahun. Setelah ia meninggal pada tahun 878 M, kepemimpinannya diserahkan kepada saudaranya, Amr Ibn Al-Laits. Sikap Amr ini tidak keras seperti saudaranya, Ya’kub, bahkan sebelum ia diangkat menggantikan Ya’kub, ia telah mengirimkan surat kepada pemerintahan Baghdad yang intinya akan mengikuti semua petunjuk yang diberikan oleh Baghdad pada daerahnya. Dengan demikian, pengangkatan Amr pun mendapat sokongan dari Baghdad.[8]

Pada saat khalifah Baghdad dipegang oleh Al-Mu’tadid, Baghdad tetap mengakui kekuasaan Amr, sekalipun mendapat perlawanan dari kalangan istana. Pembesar istana menahan Amr, kemudiaan memberikan kekuasaan kepada cucunya, Thahir Ibn Muhammad Ibn Amr. Setelah Thahir Ibn Muhammad Ibn Amr, kekuasaan diberikan kepada saudaranya Al-Laits Ibn Ali Ibn Al-Laits, tetapi khlifah ini berhadapan dengan As-Sabakri, yaitu pembantu Amr Ibn Al-Laits. Pada saat inilah terjadi perebutan kekuasaan dan berakhirlah riwayat Dinasti Shaffariyah.

2. Kemajuan-Kemajuan yang di Capai

Perkembangan Dinasti Shaffariyah mengalami perkembangan pada masa pemerintahan Amr ibn Lays, ia berhasil melebarkan wilayah kekuasaan sampai ke Afganistan Timur.[9]

Dalam masa pemerintahannya, terdapat perkembangan yang menarik, terutama perkembangan civil society berkaitan dengan keadilan. Dinasti Saffariyah meletakkan dasar-dasar keadilan dan kesamaan hak di antara orang-orang miskin di Sijistan. Karena itu, faktor inilah yang mungkin menjadi salah satu sebab dinasti ini lama berkuasa di Sijistan, karena ia begitu peduli dengan keadaan masyarakat yang menjadi pendukung pemerintahan, terutama komunitas masyarakat miskin. Seorang Amir abad kesepuluh, Khalaf ibn Ahmad, menjadi termasyhur sebagai pelindung ilmu pengetahuan.[10]

3. Masa-Masa Kemunduran

Pada tahun 393 H/1003 M Mahmud dari Ghazna menguasai provinsi itu dan dijadikan sebagai wilayah kekuasaannya, namun Shaffariyah terus bertahan, dan pada pertempuran Ghaznawiyah-Seljuq pada tahun-tahun pertengahan abad kesebelas memperkuat posisinya, awalnya berkuasa sebagai bawahan Seljuq, kemudian sebagai bawahan Ghuriyyah. Bahkan setelah invasi Mongol dan Timur, kejadian-kejadian yang begitu kalut dan menyedihkan bagi sebagian besar dunia Islam Timur, Dinasti Shaffariyah berhasil bertahan sampai akhir abad kelima belas.[11]

KLIK

KEPUSTAKAAN

[1]Syamsul Munir Amin., Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Amzah, 2009). h. 275. 


[2]Hasan Ahmad Mahmud & Ahmad Ibrahim Syarif, al-Fikr al-Islami, fi al-Ashr al-Abbasi (T.np.: Dar al-Fikr ‘Arabi, 1977), h. 456. 


[3]Hasan Ahmad Mahmud & Ahmad Ibrahim Syarif, al-Fikr al-Islami, fi al-Ashr al-Abbasi. h. 456. 


[4]Bosworth C.E., The Islamic Dynasties (Eidenburgh, 1980). Terjemahan dalam bahasa Indonesia oleh Ilyas Hasan (Bandung: Mizan Anggota IKAPI,1993)., h. 166. 


[5]Ibnu al-Atsir, al-Kamil, fi at-Tarikh, (Jilid III.: Dirjen Binbaga Islam Departemen Agama RI) Sejarah Dan Kebudayaan Islam, Jilid I (Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama IAIN Alauddin, 1981/1982), h. 166. 


[6]Bosworth, The Political and Dinastic History of The Iranian Word from 1000-1217 (Cambridge, 1986), terjemahan kedalam bahasa Indonesia oleh Hasan Ilyas(Bandung: Mizan Anggota IKAPI,1993). h.146. 


[7]http// akademika.dinasti-dinasti Independen.wordpress.com 


[8]Bosworth, The Political and Dinastic History of The Iranian Word from 1000-1217 (Cambridge, 1986), terjemahan kedalam bahasa Indonesia oleh Hasan Ilyas. h.146. 


[9]Syamsul Munir Amin., Sejarah Peradaban Islam. h. 275. 


[10]Syamsul Munir Amin., Sejarah Peradaban Islam. h. 132. 


[11]http//danankBlogs_dinasti-dinasti.kecil di Baghdad. Wordpress.com. diaskes pada pukul 10:14 wita tanggal 14 November 2014.

Dinasti-Dinasti Kecil Di Baghdad ( THAHIRIYYAH)

Racik-Meracik.Pada beberapa periode perkembangan peradaban Islam terdapat beberapa dinasti besar, salah satunya adalah dinasti Abbasiyah, yang Dinasti Abbasiyah ini merupakan dinasti yang melanjutkan kekuasaan dari dinasti sebelumnya yakni Dinasti Bani Ummayah. Masa kekuasaan Dinasti Abbasiyah berlangsung dalam waktu yang cukup panjang yakni sekitar 508 tahun (750 M-1258 M), masa kekuasaan yang cukup panjang tersebut dibagi dalam beberapa periode.[1]


Di detik-detik terakhir kekuasaan Dinasti Abbasiyah, secara tepat pada saat kekuasaan dari Dinasti Abbasiyah melemah karena khalifah yang berkuasa di masa itu lebih menekankan kebijakan tentang pembinaan peradaban dan kebudayaan dibandingkan dengan persoalan-persoalan politik, maka akibatnya dinasti-dinasti kecil yang ada di pinggiran melepaskan diri dari kekuasaan Bani Abbasiyah.[2]

Setelah Pemerintahan Dinasti Umayyah, digantikan oleh pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Dinasti Abbasiyah merupakan dinasti kedua dalam sejarah pemerintahan umat Islam. Abbasiyah dinisbatkan kepada al-Abbas paman Nabi Muhammad saw, kehadiran dinasti ini sebagai bentuk dukungan terhadap pandangan yang diserukan oleh Bani Hasyim setelah Rasulullah saw wafat. yakni menyandarkan khilafah kepada keluarga Rasul dan kerabatnya.[3]

Masa kekhalifahan Dinasti Abbasiyah (Bani Abbas) adalah merupakan simbol kemajuan peradaban Islam dan kemajuan perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam. Kekhalifahan Dinasti Abbasiyah ini berlangsung cukup lama yakni tahun 750-1258 M, dinasti ini di samping mengalami kemajuan yang cukup pesat juga mengalami kemunduran dan bahkan kehancuran. 

Menurut para pakar sejarah Islam, Daulah Abbasiyah ( 750-1258 M ) telah berjasa dalam memajukan umat Islam. Hal ini ditandai oleh kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, peradaban, kesenian, dan filsafat. Data monumental dari Daulah Abbasiyah, yaitu berdirinya kota Baghdad yang megah, kota yang didirikan atas prakarsa raja-raja dinasti ini. Menurut Philip K. Hitti, kota Baghdad merupakan kota terindah yang dialiri sungai dan dihiasi benteng-benteng yang kuat serta pertahanan militer yang cukup kuat.[4] Sekalipun demikian, dinasti ini tidak mampu mempertahankan integritas negerinya, karena setelah khalifah Harun Al-Rasyid, daerah kekuasaan dinasti ini mulai goyah, baik daerah yang ada di bagian Barat maupun yang ada di bagian Timur Baghdad. Di bagian Timur, menurut J.J. Saunder berdiri dinasti-dinasti kecil, yaitu Thahiriyah, Saffariyah, dan Samaniyah.[5]

A. DINASTI THAHIRIYYAH (205 – 259 H / 821 – 873 M) 

1. Sejarah Pendirian

Thahiriyah merupakan salah satu dinasti yang muncul pada masa Daulah Abbasiyah di Sebelah Timur Baghdad, berpusat di Khurasan dengan ibu kota Naisabur. Dinasti ini didirikan oleh Thahir ibn Husein pada 205H/821 M di Khurasan, dinasti ini bertahan hingga tahun 259 H/873 M.[6] Thahir muncul pada saat pemerintahan Abbasiyah terjadi perselisihan antara kedua pewaris tahta kekhalifahan antara Muhammad al-Amin (memerintah 194-198 H/809-813 M), anak Harun ar-Rasyid dari istrinya yang keturunan Arab (Zubaidah) sebagai pemegang kekuasaan di Baghdad dan Abdullah al-Makmun anak Harun al-Rasyid dari istrinya yang keturunan Persia, sebagai pemegang kekuasaan di wilayah sebelah Timur Baghdad.[7]

Thahir Ibn Husein merupakan seorang jenderal pada masa khalifah Dinasti Abbasiyah yang lahir di desa Musanj dekat Marw dan dia berasal dari seorang keturunan wali Abbasiyah di Marw dan Harrah, Khurasan, Persia bernama Mash’ab ibn Zuraiq. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa hubungan antara pemerintahan Abbasiyah di Baghdad dan keluarga Thahir sudah terjalin sejak lama. Karena itu cukup beralasan bila pemerintahan Baghdad memberikan kepercayan kepada generasi keluarga Mash’ab ibn Zuraiq untuk melanjutkan estafeta kepemimpinan lokal. Tujuannya tetap sama, menjaga keutuhan wilayah kekuasaan Islam Abbasiyah di wilayah Timur kota Baghdad dan menjadi pelindung dari berbagai kemungkinan serangan negara-negara tetangga di Timur.[8]

Sebenarnya, latar belakang kemunculan dinasti ini diawali oleh peristiwa perebutan kekuasaan antara al-Makmun dan al-Amin. Perseteruan tersebut terjadi setelah khalifah Harun al-Rasyid meninggal dunia pada 809 M. Perseteruan tersebut akhirnya dimenangkan al-Makmun, dan Thahir berada pada pihak yang menang. Peran Thahir yang cukup besar dalam pertarungan itu dengan mengalahkan pasukan al-Amin melalui kehebatan dan kelihaiannya bermain pedang membuat al-Makmun terpesona. Sebagai bentuk penghargaan atas jasanya itu, al-Makmun memberinya gelar Abu al-Yamain atau Zu al-Yaminain (terampil), bahkan diberi gelar si mata tunggal dengan kekuatan tangan yang hebat atau minus one eye, plus an extra right arm. Selain itu, Thahir juga diberi kepercayaan untuk menjadi gubernur di Khurasan pada tahun 205 H, jabatan ini diberikan oleh Al-Makmun sebagai balasan atas jerih payahnya dalam medan perang.[9]

Jabatan ini merupakan peluang bagus baginya untuk meniti karir politik pemerintahan pada masa itu. Jabatan dan prestasi yang diraihnya ternyata belum memuaskan baginya, karena ia mesti tunduk berada di bawah kekuasaan Baghdad. Untuk itu, ia menyusun strategi untuk segara melepaskan diri dari pemerintahan Baghdad. Di antaranya dengan tidak lagi menyebut nama khalifah dalam setiap kesempatan dan mata uang yang dibuatnya. Ambisinya untuk menjadi penguasa lokal yang independen dari pemerintahan Baghdad tidak terealisir, karena ia keburu meninggal pada 207 H, setelah lebih kurang dua tahun menjadi gubernur (205-207 H). Meskipun begitu, kekhalifahan Bani Abbas masih memberikan kepercayaan kepada keluarga Thahir untuk memegang jabatan gubernur di wilayah tersebut. Terbukti setelah Thahir meninggal, jabatan gubernur diserahkan kepada putranya bernama Thalhah ibn Thahir.[10]

2. Kemajuan-Kemajuan yang Dicapai 

Dinasti Thahiriyyah mengalami masa kamajuan ketika pemerintahan dipegang oleh Abdullah ibn Thahir, saudara Thalhah. Abdullah memiliki kekuasaan dan pengaruh yang cukup besar, belum pernah hal ini dimiliki oleh para wali sebelumnya.[11] Ia terus menjalin komunikasi dan kerjasama dengan Baghdad sebagai bagian dari bentuk pengakuannya terhadap peran dan keberadaan Khalifah Abbasiyah. Perjanjian dengan pemerintah Bagdad yang pernah dirintis ayahnya, Thahir ibn Husein, terus ditingkatkan. Peningkatan keamanaan di wilayah perbatasan terus dilakukan guna menghalau pemberontak dan kaum perusuh yang mengacaukan Pemerintahan Abbasiyah. Setelah itu, ia berusaha melakukan perbaikan ekonomi dan keamanan.[12]

Selain itu, ia juga memberikan ruang yang cukup luas bagi upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan perbaikan moral atau akhlak di lingkungan masyarakatnya di wilayah Timur Baghdad. Dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan dunia islam, kebudayaan dan memajukan ekonomi, dinansti ini menjadikan kota Naisabur sebagai pusatnya, sehingga pada masa itu, negeri Khurasan dalam keadaan makmur dengan pertumbuhan ekonomi yang baik.[13] Adanya pertumbuhan ekonomi yang baik inilah yang sangat mendukung terhadap kegiatan ilmu pengetahuan dan kebudayaan pada umumnya. 

3. Masa-Masa Kemunduran 

Dalam perjalanan selanjutnya, dinasti ini justru tidak mengalami perkembangan ketika pemerintahan dipegang oleh Ahmad ibn Thahir (248-259 H), saudara kandung Abdullah ibn Thahir, bahkan mengalami masa kemerosotan. Faktornya antara lain; 

a. Pemerintahan ini dianggap sudah tidak loyal terhadap pemerintah Baghdad, karenanya Baghdad memanfaatkan kelemahan ini sebagai alasan untuk menggusur dinasti Thahiriyah dan jabatan strategis diserahkan kepada pemerintahan baru, yaitu Dinasti Saffariyah. 

b. Pola dan gaya hidup berlebihan yang dilakukan para penguasa dinasti ini. Gaya hidup seperti itu menimbulkan dampak pada tidak terurusnya pemerintahan dan kurangnya perhatian terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam. 

c. Keamanan dan keberlangsungan pemerintahan tidak terpikirkan secara serius, sehingga keadaan ini benar-benar dimanfaatkan oleh kelompok lain yang memang sejak lama mengincar posisi strategis di pemerintahan lokal, seperti kelompok Saffariyah. Kelompok baru ini mendapat kepercayaan dari pemerintah Baghdad untuk menumpas sisa-sisa tentara Dinasti Thahiriyah yang berusaha memisahkan diri dari pemerintahan Baghdad dan melakukan makar. Dengan demikian, berakhirlah masa jabatan Dinasti Thahiriyah yang pernah menjadi kaki tangan penguasa Abbasiyah di wilayah Timur kota Baghdad.

KLIK


[1]Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010), h. 49-50. 


[2]Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam, h. 63-65. 


[3]Chril Glasse, Ensiklopedi Islam (Cet.II; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada;1999) h. 1 


[4] K. Hitti. History of The Arab (London: The Macmillan Press LTD, 1974), h. 632. 


[5]J.J. Saunder. A History Of Mediveal Islam (London: Rotledge and Kegan Paul, 1965), h. 117. 


[6]Perpustakaan Nasional RI. Ensiklopedi Islam, (Jakarta;Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), hal.33. 


[7]Perpustakaan Nasional RI. Ensiklopedi Islam. h.33. 


[8]Perpustakaan Nasional RI. Ensiklopedi Islam. h.33. 


[9]Ahmad Al-usairy, at-Tarikhul Islami ,(H. Samson Rahman ;Terj. 2003), h. 262. 


[10] Ahmad Al-usairy, at-Tarikhul Islami ,(H. Samson Rahman ;Terj. 2003), h. 263. 


[11]Ahmad Al-usairy, at-Tarikhul Islami. h. 87. 


[12]Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam (Bandung: CV,Pustaka Setia, 2008), h. 147. 


[13]Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam. h. 147.

Monday 29 December 2014

Riwayat Lengkap Ibnu Rusyd

Istana Kota Andalusia
Di Andalusia, tepatnya di kota Cordova lahir seorang filosof Muslim terkenal bernama Ibnu Rusyd. Ketika itu Andalusia (Spanyol) merupakan salah satu pusat peradaban Islam yang maju dan cemerlang serta banyak menghasilkan ilmuan-ilmuan muslim besar seperti Ibnu Bajjah dan Ibnu Thufail. Di sisi lain, Eropa (baca: masyarakat kristen Eropa) masih berada dalam zaman kegelapan, kebodohan dan terkungkung dalam hegemoni kekuasaan gereja (The dark middle ages), sehingga dapat dilihat dalam konteks sejarah bahwa dengan munculnya peradaban Islam di Andalusia, telah menjadi jembatan bagi Eropa untuk mengetahui dan mempelajari Ilmu pengetahuan khususnya filsafat. Dengan demikian dunia Islam akhirnya memberikan kontribusi yang besar bagi kemajuan Eropa.

Sebagai seorang filosof, Ibnu Rusyd banyak memberikan kontribusinya dalam khasanah dunia filsafat, baik filsafat yang berasal dari Yunani maupun yang berasal dari filosof-filosof muslim sebelumnya. Ibnu Rusyd dalam filsafatnya sangat mengagumi filsafat Aristoteles dan banyak memberikan ulasan-ulasan atau komentar terhadap filsafat Aristoteles sehingga ia terkenal sebagai komentator Aristoteles.

Sebagai komentator Aristoteles, buah pikiran Ibnu Rusyd banyak dipengaruhi oleh filosof Yunani.[1] beliau dianggap sebagai orang zindiq, karena pemikiran-pemikiran filsafatnya sangat bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam yang umum, oleh karena pendapatnya itu juga beliau pernah dibuang oleh khalifah Abu Yusuf (pengganti Abu Ya’kub) ke Mucena.[2]

Reneissance di Eropa banyak dipengaruhi oleh kontak dunia luar (Islam ) yang pada zaman itu telah mengalamai kejayaan dan keemasan. Kesadaran akan keterbelakangan Eropa, memicu mereka untuk menggali “pusaka” Yunani yang lebih dahulu dilakukan oleh orang-orang Islam yang berupa Filsafat dan Ilmu pengetahuan, khususnya filsafat Ibnu Rusyd melalui Averroismedi Eropa. Eropa mengenal pusaka tersebut melalui terjemahan Arab. Bukan hanya karya-karya Yunani saja yang telah berpengauh, melainkan juga ulasan-ulasan yang ditulis oleh filosof dan sarjana-sarjana muslim[3] 

Dalam sejarah filsafat Islam, Al-Gazali dikenal sebagai seorang yang gencar mengecam filosof, seperti Al-Farabi, Ibnu Sina murid dan komentator Aristoteles. Maslah-masalah kefilsafatan yang menjadi sasaran keritikan beliau adalah pada hal-hal yang dianggapnya membahayakan umat islam .

Menurut Al-Gazali dalam kitabnya Tahafut al-Falasifah, anatara lain yang menyebabkan kesalahan yang dilakukan oleh para filosof dengan pendapatnya, bahwa ada dua puluh kesalahan. Tujuh belas pendapatnya menjadikan bid’ah dan tiga pendapatnya menjadikannya kafir. Ketiga pendapat filofof itu ialah:

1. Alam itu qadim
2. Ilmu tuhan tidak meliputi hal-hal yang kecil (juz’iyyat)
3. Tidak ada kebangkitan jasmani [4]

Terhadap lontaran tuduhan Al-Gazali tersebut, Ibnu Rusyd kemudian tampil dengan bukunya Tahafuth al-Tahafut sebagai jawaban dan pemembelaan kepada para filofof atas tuduhan Al-Gazali itu. 

A. Riwayat Hidup Ibnu Rusyd 


Ia adalah Abdul Walid Muhammad bin Ahmad Ibn Rusyd kelahiran Cordova pada tahun 520 H / 1126 M ia berasal dari kalangan keluarga besar yang terkenal dengan keutamaan dan mempunyai kedudukan tinggi di Andalusia (Spanyol).[5] Ibnu Rusyd adalah seorang filosof Islam terbesar yang dibelahan barat dunia di Eropa pada zaman pertengahan dengan sebutan “Averrois”.[6]

Keluarga Ibnu Rusyd sejak dari kakeknya, tercatat sebagai tokoh keilmuan. Kakeknya menjabat sebagai Qadhi di Cordova dan meninggalkan karya-karya ilmiah yang berpengaruh di Spanyol, begitu pula ayahnya. Maka Ibnu Rusyd dari kecil tumbuh dalam suasana rumah tangga dan keluarga yang besar sekali perhatiannya kepada ilmu pengetahuan. Ia mempelajari kitab Qanun karya Ibnu Sina dalam kedokterandan filsafat di kota kelahirannya sendiri.[7]

Perhatian keluarga Ibnu Rusyd yang besar itu terhadap ilmu pengetahuan meruapakan salah satu faktor yang ikut melempangkan jalan baginya menjadi ilmuan. Faktor lain bagi keberhasilannya adalah ketajaman berpikir dan kejeniusan otaknya, oleh karena itu tidaklah mengherankan jika ia dapat mewarisi sepenuhnya intelektualitas keluarganya dan berhasil menjadi seorang sarjana yang menguasai berbagai disiplin ilmu, seperti hukum, filsafat, kedokteran, astronomi, sastra arab dan laiinnya.[8] 

Ibnu Rusyd dipandang sebagai pemikir yang sangat menonjol pada periode perkembangan filsafat Islam mencapai puncaknya. Keunggulannya terletak pada kekuatan dan ketajaman filsafatnya yang luas serta pengaruhnya yang besar terhadap perkembangan pemikiran di Barat. Filsafatnya merembes dari Andalusia (Spanyol) ke seluruh negeri-negeri Eropa, dan itulah yang menjadi pokok pangkal kebangkitan bangsa-bangsa Barat.[9] 

Pada tahun 1169 M. Ibnu Tufail membawa Ibnu Rusyd (ketika itu umurnya 43 tahun) ke hadapan sultan yang berpikiran maju dan memberi perhatian kepada biang ilmu, yaitu Abu Ya’qub Yusuf,yang memberinya tugas untuk menyeleksi dan megoreksi berbagai syarah (komentar) dan tafsir karya-karya Aristoteles, sehingga ungkapan-ungkapannya lebih kena dan bersih dari banyak cacat, karena keteledoran transkrip maupun kekeliruan para penulis sejarah dan penafsir lainnya. Ketika Ibnu Tufail memasuki usia senja tahun 1182 M., Ibnu Rusyd (dalam usia 56 tahun) menempati jabatan sebagai dokter pribadi Sultan Ya’qub di istana Marakish.[10]

Sebagai seorang filosof pengaruhnya dikalangan istana tidak disenangi oleh kaum ulama dan fukaha. Bahkan ia dituduh mmbawa filsafat yang menyeleweng dari ajaran –ajaran Islam. Sebagai akibatnya ia ditangkap dan dan diasingkan ke suatu tempat bernama Lucena daerah Cordova.[11]

Tindakan kaum ulama dan fukaha tidak hanya sampai di situ, bahkan membawa pengaruh yang menyebabkan kaum filosof tidak disenangi lagi. Semua buku Ibnu Rusyd diperintahkan untuk dibakar, kecuali mengenai ilmu-ilmu kedokteran, matematika dan astronomi. Ia pun diumumkan keseluruh negeri sebagai penyeleweng dan menjadi kafir.[12] 

Setelah Ibnu Rusyd dipindahkan ke Maroko dan meninggal di sana pada tahun 1198 dalam usia 72 tahun.[13]

B. Karya dan Pemikirannya 

Ibnu Rusyd adalah seorang ulama besar dan pengulas yang dalam terhadap filsafat aristoteles. Karangannya meliputi berbagai bidang ilmu, seperti; fikih, ushul, bahasa, kedokteran, astronomi, politik, akhlak dan filsafat. Buku-bukunya adakalanya merupakan karangan sendiri atau ulasan, atau ringkasan. Karena sangat tinggi penghargaannya terhadap aristoteles, makatidakmengherankan kalau ia memberikan perhatian yang besar untuk mengulas dan meringkaskan filsafat aristoteles. Buku-buku lain yang telah diulasnya ialah buku-buku karangan Palto, Iskandar Aphrodisias, Plotinus, Galinus, al-Farabi, Ibnu Sina, al-Gazali dan Ibnuj Bajah.[14]


Sebagai seorang penulis produktif, Ibnu Rusyd banyak menghasilkan karya-karya dalam berbagai disiplin keilmuan. Menurut Ernest Renan (1823-1892) karya Ibnu Rusyd mencapai 78 judul yang terdiri dari 39 judul tentang filsafat, 5 judul tentang kalam, 8 judul tentang fiqh, 20 judul tentang ilmu kedokteran, 4 judul tentang ilmu falak, matematika dan astronomi, 2 judul tentang nahwu dan sastra[15]

Diantara b uku-bukunya yang penting dan yang sampai antara lain yaitu :

  1. Bidayatul Mujtahid, buku fikih. Buku ini bernilai tinggi , karena berisi perbandingan mazhab (aliran-aliran) dalam fikih dengan menyebutkan alasannya masing-masing.
  2. Faslul Maqal fi ma baina al-Hikmati was- Syar’iat min ittsal (ilmu kalam). Buku ini dimaksudkan untuk menunjukkan adanya persesuaaian antara filsafat dan syariat, dan sdh pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman pada tahun 1895 M oleh Muler, orientalis asal Jerman.
  3. Manahij al-Adillah fi Aqaidi Ahl al-Millah (ilmu kalam). Buku ini menguraikan tentang pendirianaliran-aliran ilmu kalam dan kelemahan-kelemahannya, dan sudah pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman, juga oleh Muler pada tahun 1895 M.
  4. Tahafut at-Tahafut, suatu buku yang terkenal dalam lapangan filsafat dan ilmu kalam, dan dimasukkan untuk membela filsafat dari serangan Al-Gazali dalam bukunya Tahafut al- Falasifah. Buku Tahafut at-Tahafut ini berkali-kali diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman, dan terjemahannya ke dalam bahasa Inggris oleh Van den Berg terbit pada tahun 1952 M.[16]
  5. Dhamimah li Mas’alah al Il-‘ilm al-Qadim, buku ini diterbitkan di Munich Jerman oleh Joseph Muler pada tahun 1859. Dalam buku tersebut terdapat tinjauan Ibnu Rusyd terhadap persoalan ilmu Tuhan (al-‘ilm al-ilahi), yaitu apakah semata-mata merupakan pengetahuan yang universal ataukah merupakan pengetahuan terhadap semua partikular secara terpisah-pisah.[17]
  6. Kulliyat fi al-Tibb, kitab naskah salinan fotokopi 1939. Ada pada salah satu seri terbitan institute Franco (Lembaga Riset Barat di Spanyol). Buku tersebut telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dengan judul Colliget dan menjadi referensi para orintalis. Buku ini merupakan salah satu buku terpenting dalam kedokteran. Terlihat pengaruh Aristoteles pada buku tersebut, disamping kritiknya pada para pendahulunya dalam beberapa bidang pengobatan. Buku tersebut memuat segi-segi pengobatan dankarakteristik anggota badan.[18] 
Pemikirannya

a. Agama dan Filsafat 

Ibnu Rusyd adalah tokoh yang ingin mengharmoniskan agama dan filsafat. Di antaranya tidak terdapat dua kebenaran yang kontradiktif, tetapi sebuah kebenaran tunggal yang dihadirkan dalam bentuk agama, dan melalui takwil, menghasilkan pengetahuan filsafat. Agama adalah bagi setiap orang, sedangkan filsafat hanya bagi mereka yang memiliki kemampuan-kemampuan intelektual yang memadai. Meskipun demikian, kebenaran yang dijangkau suatu kelompok tidaklah bertentangan dengan kebenaran yang ditemukan kelompok lain.[19]

Menurut Ibnu Rusyd Agama dan filsafat tidaklah bertentangan, bahkan orang islam diwajibkan atau sekurang-kurangnya dianjurkan mempelajarinya. Tugas filsafat ialah tidak lain daripada berfikir tentang wujud untuk mengetahui pencipta semua yang ada ini. Sebagaimana di didalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang mengandung kalimat menyuruh kepada manusia supaya berfikir tentang wujud an alam sekitarnya untuk mengetahui Tuhan. Dengan demikian Al-Qur’an sebenarnya menyuruh manusia untuk berfilsafat. Kalau pendapat akal dan filsafat bertentangan dengan teks wahyu, maka teks wahyu harus diberi interpretasi demikian rupa sehingga menjadi sesuai dengan pendapat akal.[20] 

b. Dalil Wujud Tuhan 

Dalam Fashl al-Maqal Ibnu Rusyd menyatakan, bahwa mengenal pencipta itu hanya mungkin dengan mempelajari alam wujud yang diciptakan-Nya untuk dijadikan petunjuk bagi adanya pencipta itu. Allah memberikan dua dalil dalm kitab-kitab-Nya yang diringkas oleh Ibnu Rusyd sebagai:

1. Dalil ‘inayah (pemeliharaan) 

Apabila ala mini kita perhatikan, maka kita akan mengetahui bahwa apa yang ada didalamnya sesuai sekali dengan kehidupan manusia dan makhluk-makhluk lain. Persesuaian ini bukan terjadi secara kebetulan, tetapi menunjukkan adanya penciptaan yang rapi dan teratur yang didasarkan atas ilmu dan kebijaksanaan sebagaimana yang ditunjukkan oleh ilmu pengetahuan modern. Ayat-ayat yang menunjukan dalil inayah dapat dilihat dalam Q.S. An-Naba: 6-7, yang artinya : 

“ bukankah kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan dan gunung-gunung sebagai pasak”.


2. Dalil Ikhtira’ (penciptaan). 

Dalil ikhtira’ ini sama jelasnya dengan dalil ‘Inayah, karena adanya penciptaan Nampak jelas pada hewan yang bermacam-macam, tumbuh-tumbuhan dan bagian-bagian alam lainnya.Makhluk-makhluk tersebut tidak lahir dalam wujud dengan sendirinya. Gejala hidup pada beberapa makhluk hidup yang berbeda-beda. Gejala hidup yang berlainan itu menetukan cara dan macam pekerjaannya. Semakin tinggi tingkatan makhluk semakin tinggi pula macam pekerjaannya. Kesemunaya tidak terjadi secara kebetulan, sebab kalau terjadi secara kebetulan tentulah tingkatan hidup tidak berbeda-beda. dalil ikhtira’ ini dapat dilihat dalam Q.S. Al-Hajj :73, yang artinya: 

“ Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya.[21]

Kedua dalil tersebut di atas, sesuai untuk orang-oran awam dan filosof, dan bisa diterima oleh keduanya. Perbedaan antara keduanya hanya bersifat kualitatif saja, yakni filosof mempunyai kelebihan atas orang awam tentang jumlah perkara yang diketahuinya. Kalau orang-orang awam hanya mencukupkan denan pengetahuan pertama dari indera-indera untuk membuktikan adanya ‘inayah dan ikhtira’ dari tuhan, maka filosof menambah pengetahuan tersebut dengan pengetahuan yang diperoleh dari pembuktian pikiran yang meyakinkan (burhan)[22]

Disamping kedua dalil tersebut diatas Ibnu Rusyd mengemukakan dalil lain, yaitu dalil gerak atau dalil penggerak pertama, yang diambilnya dari Aristoteles. Dalil tersebut mengatakan bahwa alam semesta ini bergerak dengan suatu gerakan yan abadi, dan gerakan ini mengandung adanya penggerak pertama yang tidak bergerak dan tidak berbenda, yaitu Tuhan.[23] 

c. Tingkat Kemampuan manusia

Dalam hal ini Ibnu Rusyd membuat perbedaan tingkat kapasitas dan kemampuan manusia dalam menerima kebenaran menjadi tiga kelompok. Mereka adalah kelompok yang menggunakan metode retorik (khathabi), metode dialektik (jadali) dan metode demonstratif (burhani). Metode yang pertama dan kedua dipakai oleh manusia awam, sedangkan metode yang ketiga merupakan pengkhususan yang diperuntukkan bagi kelompok manusia yang tingkat intelektual dan daya kemampuan berfikirnya tinggi.

Tingkat kemampuan manusia ini terkait dengan masalah pembenaran atau pembuktian atas sesuatu yang dipengaruhi oleh kapasitas intelektualnya. Ibnu Rusyd menjelaskan, bagi manusia, adanya tingkatan pembuktian kebenaran secara burhani, jadali dan khatabi, karena kemampuan manusia dalam menerima kebenaran itu berbeda-beda dan beragam. Pengelompokan ini, menurut Ibnu Rusyd sesuai dengan semangat al-Qur’an yang mengajarkan umat Islam untuk mengajak manusia kepada kebenaran dengan jalan hikmah, pelajaran yang baik dan debat yang argumentatif.

“Ajaklah mereka ke jalan Tuhanmu dengan cara hikmah, pengajaran yang baik dan ajak bicaralah (debat) mereka dengan cara yang baik pula. Sesungguhnya Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang sesat di jalan-Nya dan Ia juga lebih tahu siapa yang mendapat petunjuk. (al-Nahl: 125)[24]


C. Tanggapan atas kritik Al-Gazali 


Sebagaiman telah dijelaskan pada latar belakang makalah ini bahwa Al-Ghazali dalam buku Tahafut al-Falasifah telah menyerang para filosof. Ada dua puluh persoalan yang diuraikan al-Ghazali berkenaan dengan kerancuan berfikir mereka. Tiga di antaranya, menurut al-Ghazali menyebabkan para filosof telah kufur. Sebagai filosof, Ibnu Rusyd merasa berkewajiban membela para filosof dan pemikiran mereka dan mendudukkan masalah tersebut pada proporsinya. Untuk itu ia menulis sanggahan berjudul Tahafut al-tahafut sebagai jawaban dari tahafut al-falasifah Al-Gazali. Tiga masalah filsafat yang menyebabkan kekafiran para filosof ialah berkaitan dengan masalah qadimnya alam, pengetahuan Tuhan yang bersifat juz’iyyat, dan kebangkitan jasmani. Berikut ini akan dijelaskan tanggapan Ibnu Rusyd terhadap kritikan al-Ghazali mengenai tiga masalah tersebut.

1. Qadimnya Alam 

Mengenai qadim dan haditsnya alam Ibnu Rusyd menjelaskan, perselisihan yang terjadi antara kaum teolog dengan kaum filosof klasik mengenai persoalan apakah alam semesta ini qadim (ada tanpa permulaan) atau hadits (ada setelah tiada), lebih condong kepada soal penamaan belaka. Sebabnya, mereka sendiri pada dasarnya sepakat tentang adanya tiga macam wujud: dua sisi wujud dan satu yang menengahi keduanya. Para teolog maupun filosof sepakat dalam memberikan sebutan nama kepada kedua sisi wujud itu, tetapi mereka berselisih mengenai wujud pertengahan. Pada wujud yang pertengahan inilah alam semesta menempatkan posisinya.[25]

Sisi wujud yang pertama adalah: Wujud yang tercipta dari sesuatu di luar dirinya sendiri dan berasal dari sesuatu yang berbeda, yang tercipta dari bahan (materi) tertentu dan didahului oleh zaman. Inilah kondisi benda-benda wujud yang tertangkap indera seperti air, udara, bumi, hewan tumbuhan dan sebagainya. Wujud ini disepakati untuk menamakannya sebagai sesuatu yang muhdatsah (tercipta setelah tidak ada).[26]

Sisi wujud yang berseberangan dengan sisi tersebut di atas adalah: wujud yang keberadaannya tidak berasal dari sesuatu apapun, tidak disebabkan oleh sesuatu apapun juga dan tidak didahului oleh zaman. Sisi wujud ini juga disepakati, untuk menamakannya sebagai yang qadim (ada tanpa permulaan). Wujud ini dapat diketahui dengan bukti-bukti pikiran yaitu Allah SWT., yang memperbuat dan menciptakan segala sesuatu serta memeliharanya pula.[27]

Adapun sisi wujud yang di antara keduanya yaitu: wujud yang keberadaannya tidak berasal dari sesuatu apapun, tidak didahului oleh zaman, akan tetapi wujud karena sesuatu, yaitu Zat pembuat, dan wujud tersebut adalah alam keseluruhannya. Semua golongan sepakat tentang adanya ketiga sifat tersebut bagi alam, yaitu bukan dari tiada, tidak didahuli zaman dan terjadi karena Zat pembuat. Ulama-ulama kalam mengakui bahwa zaman tidak mendahului alam, atau seharusnya mengakui demikian, karena bagi mereka zaman adalah sesuatu yang menyertai gerakan dari benda.[28] 

Kalau ulama kalam mengatakan bahwa Tuhan menciptakan alami ni dari tiada sama sekali, maka perkataan tersebut menurut Ibnu Rusyd tidak dapat dibenarkan. Yang benar adalah adanya dua zat (perkara) yang azali, yaitu Tuhan dan alam. Akan tetapi azalinya Tuhan berbeda dengan azalinya alam dalam pertimbangan pikiran, sebab Tuhan menjadi sebab wujudnya alam.[29] 

Apabila kita memperkirakan bahwa alam itu baru, maka kelanjtannya seperti yang dikatakan oleh ulama kalam, yaitu bahwa alam itu mesti ada yang membuatnya. Akan tetapi bisa timbul keragu-raguan tentang macamnya wujud Zat pembuat tersebut yan tidak bisa dihindari oleh ilmu kalam, yaitu bahwa zat pembuat itu tidak bisa kita katakan azali (qadim) atau baru. Tidak bisa dikatakan baru karena dia membutuhkan zat yang membuat-Nya, dan begitu seterusnyasampai tidak berkesudahan, dan ini mustahil. Tidak dikatakan azali karena hal ini berarti bahwa pembuatannya yangberubungan dengan perkara-perkara yang dibuat itu azali pula, dan kelanjutannya perkara-perkara yang dinuat tadi adalah azali juga.[30] 

Perkara yang baru wujudnya harus berhubungan dengan pembuat yang baru, kecuali kalau ulama kalam mau mengakui adanya pembuat baru dari pembuat qadim, karena perkara yang dibuat mesti berhubungan dengan perbuatan pembuat, sedangkan mereka tidak mau mengakuinya, sebab salah satu kaedah mereka ialah bahwa apa yang bergandengan dengan perkara yang baru adalah baru pula. Jawaban ulama-ulama kalam bahwa pembuatan baru itu terjadi karena iradat (kehendak) yang qadim tidak dapat melenyapkan keragu-raguan, sebab iradat bukanlah pembuatan yang berhubungan dengan perkara yang dibuat. Jika perkara yang dibuat itu baru, maka perbuatan yang berhubungan dengan penciptaannya baru pula. [31] 

Jadi letak permasalahannya adalah sisi wujud yang pertengahan ini menempati dan memiliki persamaan dengan wujud yang muhdats maupun wujud yang qadim. Bagi mereka yang lebih menguatkan segi kemiripannya dengan wujud yang qadim maka mereka menamakannya wujud Qadim, sebaliknya mereka yang lebih menguatkan segi kemiripannya dengan wujud baru maka mereka menamaknnya wujud baru . Jadi pikiran-pikiran tentang alam tidak berjauhan sama sekali, sehingga hal yang seperti itu tidak perlu dikafirkan.[32] 

2. Ilmu Tuhan terhadap hal-hal yang kecil (Juz’iyat)

Tentang soal yang kedua ini, bahwa tuhan tidak mengetahui perincian yang ada dalam alam, Ibnu Rusyd mengatakan bahwa Al-Gazali salah paham; karena tidak pernah kaum filosof mengatakan yang demikian. Yang dikatakan kaum filosof menurut Ibnu Rusyd ialah bahwa pengetahuan Tuhan tentang perincian yang terjadi di alam tidak sama dengan penetahuan manusia tentang perincian itu. Pengetahuan manusia dalam hal ini mengambil bentuk efek, sedang pengetahuan Tuhan merupakan sebab, yaitu sebab bagi wujudnya perincian tersebut. Selanjutnya penetahuan manusia bersifat baharu dan pengetahuan Tuhan bersifat qadim, yaitu semenjak azali tuhan mengetahui segala hal-hal yang terjadi di alam, sungguh betapapun kecilnya. [33] 

Ibnu Rusyd mengemukakan pendapat Aristoteles yang sangat disetujuinya. Aristoteles berpendapat bahwa Tuhan tidaklah mengetahui soal-soal juziyat. Halnya sama seperti seorang kepala negara yang tidak mengetahui soal-soal kecil di daerahnya.

Pendapat Aristoteles itu didasarkan atas suatu argumen sebagai berikut: Yang menggerakkan itu, yakni Tuhan al-Mukharrik, merupakan akal yang murni, bahkan merupakan akal yang setinggi-tingginya. Oleh karena itu, pengetahuan dari akal yang tinggi itu haruslah merupakan pengetahuan yang tertinggi pula agar ada persesuaian antara yang mengetahui dan yang diketahui. Dan karena itu pula tidak mungkin Tuhan mengetahui selain zat-Nya sendiri. Sebab tidak ada suatu zat lain yang sama luhurnya dengan zat Tuhan.

Sesuatu yang diketahui Tuhan menjadi sebab untuk adanya pengetahuan Tuhan. Jadi, kalau Tuhan mengetahui pula hal-hal yang kecil-kecil (juziyat), maka itu berarti bahwa pengetahuan Tuhan itu disebabkan oleh hal-hal yang kurang sempurna[34]

Menurut Ibnu Rusyd, para filsuf tidak mempersoalkan apakah Tuhan mengetahui hal-hal yang bersifat juz’iyat yang terdapat di alam semesta ini atau tidak mengetahuinya.[35] Persoalannya adalah bagaimana Tuhan mengetahui yang juz’iyat tersebut. Cara Tuhan berbeda mengetahui yang juz’iyat dengan cara manusia mengetahuinya, pengetahuan manusia kepada juz’iyat merupakan efek dari objek yang telah diketahui, yang tercipta bersamaan dengan terciptanya objek tersebut serta berubah bersama perubahannya. Sedangkan pengetahuan Tuhan merupakan kebalikannya, pengetahuan-Nya merupakan sebab bagi obyek yang diketahui-Nya.[36] Artinya, karena pengetahuan Tuhan bersifat qadim yakni semenjak azali Tuhan mengetahui yang juz’iyat tersebut, bahkan sejak sebelum yang juz’iyat berwujud seperti wujud saat ini.

Jadi dalam hal ini, Tuhan mengetahui segala sesuatu tetapi dengan cara yang berbeda dengan manusia, manusia pada mulanya tidak memiliki pengetahuan, tetapi secara berangsur-angsur ia memperoleh pengetahuan melalui pengamatan alam semesta.

3. Kebangkitan Jasmani 

Pada waktu mebicarakan filsafat Al-Gazali, kita mengetahui alas an-alasan filosof tentang ketinggian kebangkitan rohani dan bantahan-bantahan Al-Gazali terhadap mereka. Sudah barang tentu Ibnu Rusyd, memberikan tanggapannya terhadap masalah tersebut, apalagi masalah ini menjadi salah satu unsur bagi kekafiran filosof, menurut penilaian Al-Gazali.[37]

Menurut Ibnu Rusyd, filsuf mengakui tentang adanya kebangkitan di akhirat, tetapi mereka berbeda interpretasi mengenai bentuknya. Ada yang mengatakan bahwa yang akan dibangkitkan hanya rohani saja dan ada yang mengatakan jasmani dan rohani. Namun yang pasti, kehidupan di akhirat tidak sama dengan kehidupan didunia ini.[38] 

Argumen-argumen rasional secara aktual telah membuktikan kemustahilan kembangkitan kembali tubuh-tubuh. Pengandaian kembalinya jiwa ke dalam tubuh mengandung beberapa alternatif diantaranya :

Pertama, dapat dikatakan (sebagaimana telah disebutkan oleh beberapa mutakallimun) bahwa manusia adalah tubuh, dan kehidupan hanyalah satu aksiden; bahwa jiwa yang diandaikan berdiri sendiri, dan yang disebut pengatur tubuh, tidak ada; dan bahwa kematian berarti ketidak-berlangsungan kehidupan, atau terhalangnya pencipta dari penciptaan kehidupan. Oleh karena itu, kebangkitan kembali berarti (1) perbaikan kembali oleh Allah, terhadap tubuh yang telah lenyap (2) pengembalian eksistensi tubuh; dan (3) perbaikan kembali kehidupan yang telah lenyap. Atau, dapatlah dikatakan bahwa materi tubuh tepat sebagai tanah, dan bahwa kehidupan kembali (ma’ad) berarti bahwa tanah ini akan dikumpulkan dan disusun kedalam manusia, dimana kehidupan diciptakan untuk pertama kalinya.
Kedua, dapat dikatakan bahwa jiwa adalah suatu mawjud yang tetap hidup setelah kematian tubuh, tetapi yang akan dikembalikan, pada saat kebangkitan, kepada tubuh yang asli ketika semua bagian tubuh telah terkumpul.[39]

Alternatif pertama, jelas salah, karena ketika kehidupan serta tubuh telah tiada, penciptaan kembali akan merupakan suatu penciptaan yang sama dengan atau tidak identik dengan apa yang telah ada. Tetapi kata “kembali” seperti yang kita pahami, mengimplikasikan pengandaian kebakaan (lawan fana) satu hal dan membarukan hal lain.

Terhadap alternatif yang kedua, yakni pengandaian kebakaan jiwa, dan pengembalian ke tubuh yang asli. Apabila hal itu diperhatikan, yang cocok disebut “kambali” berarti pembukaan lagi oleh jiwa dan fungsinya untuk menuju tubuh, setelah terpisah dari kematian. Tetapi ini mustahil. Tubuh manusia berubah menjadi debu, atau dimakan ulat, burung-burung, dan berubah menjadi dara atau asap, atau udara dan bercampur dengan udara dan asap di dalam alam, sedemikian rupa sehingga tak terpisahkan dan dilepaskan satu sama lain. Apabila hal tersebut diandaikan sebagai suatu ketakwaan kepada kekuasaan Allah, maka tidak boleh tidak:
  1. Apakah bagian-bagian itu saja yang akan dikumpulkan kembali, yang ada pada saat kematian. Maka tidak boleh tidak hal itu akan mengarah kepada kebangkitan kembali dengan anggota badannya yang telah lepas, atau telinga dan hidungnya putus, atau angngota tubuhnya cacat, dalam bentuk yang sama percis seperti ketika ia hidup di dunia. Tetapi ini hina, apalagi bagi orang-orang disurga, karena mereka diciptakan alam keadaan cacat di awal firah (penciptaan). Hal ini merupakan suatu lelucon yang sangat lucu. Oleh karena itu, ini merupakan suatu kesulitan yang muncul, apabila pengandaian pengembalian dibatasi pada penyusunan kembali bagian-bagian yang ada pada saat kematian.
  2. Ataukah bahwa semua bagian-bagian itu akan disusun kembali dengan yang belum pernah ada dimasa seseorang masih hidup, hal ini mustahil karena:
  • Karena apabila manusia makan manusia lain (kebiasaan yang terdapat di beberapa tempat tertentu, dan sering terjadi pada saat paceklik), maka kebangkitan kedua-duanya akan sulit . karena materinya akan sama, tubuh yang dimakan akan diserap sebagai makanan ke dalam tubuh si pemakan. Dan tidak mungkin untuk mengembalikan dua jiwa dalam satu tubuh.
  • Karena akan merupakan keharusan bahwa bagian yang sama hendaknya dikembalikan lagi sebagai liver, hati dan tangan sekaligus. Telah dibuktikan oleh ilmu kedokteran bahwa beberapa bagian organ tubuh memperoleh makanan dari sisa makanan organ yang lain. Bagian hati menyedikan makanan bagi liver, begitu juga dengan bagian-bagian yang lai. Maka apabila kita mengandaikan beberapa bagian khusus yang merupakan materi bagi semua organ, kepada organ apa yang akan dikembalikan? Bahkan seseorang tidak perlu kemustahilan sebagaimana yang disebutkan terdahulu.[40]

Sebaliknya, menurut Ibnu Rusyd justru Al-Ghazali sendiri tidak konsisten, dalam tahafuth al-falasifah dikatakan bahwa tidak ada ulama yang berpendapat bahwa kebangkitan di akhirat hanya bersifat rohani semata. Akan tetapi dalam bukunya yang lain, Al-Ghazali mengatakan bahwa kaum sufi berpendapat yang akan terjadi di akhirat adalah kebangkitan rohani.[41]

Oleh Karena itu tidak terdapat ‘Ijma ulama tentang soal pembangkitan di hari kiamat. Dengan demikian, kaum filosof yang berpendapat bahwa pembangkitan jasmani tidak ada tidaklah dapat dikafirkan.[42]

D. Pengaruh Pemikiran Avveroisme di Eropa

Sebagaimana diketahui sebelumnya, pemikiran Ibnu Rusyd masuk ke Barat melalui gerakan penerjemahan karya-karyanya. Ibnu Rusyd begitu berpengaruh bagi orang-orang kristen Eropa karena dikenal sebagai “komentator Aristoteles” yang membawa semangat rasional dan pencerahan bagi mereka. Melalui terjemahan karya-karya bahasa Arabnya ke dalam bahasa Ibrani dan Latin, para sarjana Barat abad pertengahan banyak dipengaruhi pandangan-pandangan filsafat Aristoteles yang dikembangkan Ibnu Rusyd.

Tokoh yang terkenal sebagai pelopor Averroisme adalah Siger de Brabant (1235-1282) dan diikuti oleh murid-muridnya seperti Boethius de Decie, Berner van Nijvel dan Antonius van Parma. Para mahasiswa tersebut mempelajari, meneliti dan menelaah karya-karya ulasan Ibnu Rusyd terhadap filsafat Aristoteles. Landasan rasionalitas yang dikembangkan Ibnu Rusyd ternyata sangat menarik perhatian mereka. Timbul kesadaran di kalangan sarjana-sarjana Barat untuk mengoptimalkan penggunaan akal dan meninggalkan paham-paham yang bertentangan dengan semangat rasional.[43]

Seperti ditegaskan Russel, jasa Ibnu Rusyd tidak mungkin diingkari dalam membuka dinamika berpikir orang-orang Kristen Eropa (dan ironisnya, tidak pada kebanyakan orang-orang muslim sendiri), kemudian dari Eropa menyebar ke seluruh dunia melalui ilmu pengetahuan. [44] 

Filsafat Yunani mungkin memang kaya dan indah, tetapi tidakmenghasilkan ilmu pengetahuan (science). Para filosof muslimlah yang melengkapinya dengan ilmu pengetahuan sehingga menjadi lebih jauh bermanfaat. Inilah yang ditegaskan oleh seorang ahli kebudayaan Yahudi, yang mengatakan bahwa orang-orang muslim, dibantu oleh orang-orang Yahudi telah menembus jalan buntu filsafat, kemudian menerobos berbagai jalan baru ilmiah yang sampai sekarang ini pun tetap merupakan bagian integral science modern. [45] 

KESIMPULAN

Ibnu Rusyd yang nama lengkapany adalah Abdul Walid Muhammad bin Ahmad Ibn Rusyd kelahiran Cordova pada tahun 520 H / 1126 M. Ibnu Rusyd adalah seorang filosof Islam terbesar yang dibelahan barat dunia di Eropa pada zaman pertengahan dengan sebutan “Averrois”. Ibnu Rusyd dipandang sebagai pemikir yang sangat menonjol pada periode perkembangan filsafat Islam mencapai puncaknya. Kekuatan dan ketajaman filsafatnya yang luas serta pengaruhnya yang besar terhadap perkembangan pemikiran di Barat.

Sebagai seorang penulis produktif, Ibnu Rusyd banyak menghasilkan karya-karya dalam berbagai disiplin keilmuan. Menurut Ernest Renan (1823-1892) karya Ibnu Rusyd mencapai 78 judul yang terdiri dari 39 judul tentang filsafat, 5 judul tentang kalam, 8 judul tentang fiqh, 20 judul tentang ilmu kedokteran, 4 judul tentang ilmu falak, matematika dan astronomi, 2 judul tentang nahwu dan sastra.

Ibnu Rusyd adalah tokoh yang ingin mengharmoniskan agama dan filsafat. Di antaranya tidak terdapat dua kebenaran yang kontradiktif, tetapi sebuah kebenaran tunggal yang dihadirkan dalam bentuk agama, dan melalui takwil, menghasilkan pengetahuan filsafat.

Ibnu Rusyd menyatakan, bahwa mengenal pencipta itu hanya mungkin dengan mempelajari alam wujud yang diciptakan-Nya untuk dijadikan petunjuk bagi adanya pencipta itu. Allah memberikan dua dalil dalam kitab- kitab-Nya yaitu dalil ‘inayah (pemeliharaan) dan dalil Dalil Ikhtira’ (penciptaan). 

Al-Ghazali dalam buku Tahafut al-Falasifah telah menyerang para filosof. Ada dua puluh persoalan yang diuraikan al-Ghazali berkenaan dengan kerancuan berfikir mereka. Tiga di antaranya, menurut al-Ghazali menyebabkan para filosof telah kufur. Sebagai filosof, Ibnu Rusyd merasa berkewajiban membela para filosof dan pemikiran mereka dan mendudukkan masalah tersebut pada proporsinya. Untuk itu ia menulis sanggahan berjudul Tahafut al-tahafut sebagai jawaban dari tahafut al-falasifah. 

Sebagaimana diketahui sebelumnya, pemikiran Ibnu Rusyd masuk ke Barat melalui gerakan penerjemahan karya-karyanya. Ibnu Rusyd begitu berpengaruh bagi orang-orang kristen Eropa karena dikenal sebagai “komentator Aristoteles” yang membawa semangat rasional dan pencerahan bagi mereka.

Ibnu Rusyd tidak mungkin diingkari dalam membuka dinamika berpikir orang-orang Kristen Eropa, kemudian dari Eropa menyebar ke seluruh dunia melalui ilmu pengetahuan. 

DAFTAR PUSTAKA

Abduh, Syeh Muhammad, Al Islam wan Nasraniyyah fil Ilmi wal Madaniyah, terj. Muhammad Syaf dan Abu Bakar Usman, Ilmu dan Peradaban Menurut Islam dan Kristen, Bandung: CV. Diponegoro, 1978

El-Ahwany, Ahmad Fuad, A History of Muslim Philosophy, sunntingan MM. Syarif dengan judul Para Filosof Muslim, Cet. III;Bandung : Mizan, 1999. 

Asy’ari, Abu Hasan, Ibnu Rusyd, Cet. I; Jakarta : Dian Rakyat, 2009.

Dahlan, Abdul Aziz, Pemikiran Falsafi dalam Islam, Cet. I; Padang: IAIN IB Press, 1999 

Daudy, Ahmad, Kuliah Filsafat Islam, Cet.II; Jakarta: Bulan Bintang, 1989. 

Al-Gazali, Tahafuth al-Falasifah, Sulaiman Dunya (ed), alih bahasa: Ahmad Thaha, (ed), Cet.I; Jakarta : Pustaka Panjimas, 1986.

Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam, Cet.V; Jakarta: Bulan Bintang ,1991. 


Madjid, Nurcholish, Khazanah Intelektual Islam, Cet. III; Jakarta: Bulan Bintang, 1994. 
___________, Filsafat Islam, Cet.I; Jakarta : Yayasan Waqaf Paramadina, 1992.

_________, Kaki Langit Peradaban Islam, Cet.II; Jakarta : Paramadina, 2009.


Mustofa, H.A., Filsafat Islam , (Cet. III;Bandung: CV. Pustaka Setia, 2007.


Nasution, Harun, Filsafat Mistissime dalam Islam, Cet.IX ; Jakarta: Bulan Bintang, 1995.


Poerwantana, Seluk Beluk Filsafat Islam, Cet. II; Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1991. 


Usman, Syaf dan Abu Bakar, Ilmu dan Peradaban Menurut Islam dan Kristen, Bandung: CV. Diponegoro, 1978. 


Zar, Sirajuddin, Filsafat Islam I, Cet. I; Padang: IAIN Press, 1999.


Catatan Kaki

[1]Harun Nasution, Filsafat Mistissime dalam Islam, (Cet.IX ; Jakarta: Bulan Bintang, 1995), h. 45


[2]Poerwantana, Seluk Beluk Filsafat Islam , (Cet. II;Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1991), h. 200. 


[3]Nurcholis Majid, Filsafat Islam, (Cet.I; Jakarta : Yayasan Waqaf Paramadina, 1992), h. 151.


[4]Al-Gazali, Tahafuth al-Falasifah, Sulaiman Dunya (ed), alih bahasa: Ahmad Thaha (Cet.I; Jakarta : Pustaka Panjimas, 1986), h. XVII. 


[5]Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Cet.V; Jakarta: Bulan Bintang ,1991) h. 165 


[6]Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Cet.II; Jakarta: Bulan Bintang, 1989) h. 153 


[7]Nurcholis Majid, Kaki Langit Peradaban Islam , Cet.II; Jakarta : Paramadina, 2009) h. 95-96 


[8]Ahmad Fuad El-Ahwany, A History of Muslim Philosophy, sunntingan MM. Syarif (ed) dengan judul Para Filosof Muslim , (Cet. III;Bandung : Mizan, 1999) h. 5 


[9] Syeh Muhammad Abduh, Al Islam wan Nasraniyyah fil Ilmi wal Madaniyah, terj. Muhammad Syaf dan Abu Bakar Usman, Ilmu dan Peradaban Menurut Islam dan Kristen, (Bandung: CV. Diponegoro, 1978) h. 169 


[10]Abu Hasan Asy’ari, Ibnu Rusyd, (Cet. I; Jakarta : Dian Rakyat, 2009), h. 17.


[11]Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam , (Cet.II; Jakarta : Bulan Bintang , 1978) h. 47 


[12] Nurcholis Majid, Kaki Langit Peradaban Islam, op.cit. h. 97


[13]Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, loc. cit


[14]Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, op.cit, h. 165


[15] http://one.indoskripsi.com (1 Januari 2010)


[16] Ibid, h. 166


[17]Abu Hasan Asy’ari, Ibnu Rusyd, op.cit, h.68 


[18]Abu Hasan Asy’ari, Ibnu Rusyd, ibid, h.69 


[19] http://one.indoskripsi.com (1 Januari 2010)


[20]Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, op.cit, h. 48-49 


[21]Mustofa, Filsafat Islam , (Cet. III;Bandung: CV. Pustaka Setia, 2007), h. 292. 


[22]Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, op.cit, h. 170


[23]Ibid., h. 172. 


[24]http://one.indoskripsi.com (1 Januari 2010)


[25]Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, op.cit, h. 178


[26]Ibid. 


[27]Ibid, h. 179


[28]Ibid.


[29]Poerwantara, dkk., Seluk Beluk Filsafat Islam, (Bandung :PT. Remaja Rosdakarya, 1994), h. 212 


[30]Ibid. 


[31]Ibid., h. 213 


[32]Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, op.cit, h. 179


[33]Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, op.cit, h. 53 


[34]Poerwantara, dkk., Seluk Beluk Filsafat Islam, op.cit.,h. 2020 


[35]Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam, (Cet. I; Padang: IAIN IB Press, 1999), h. 95 


[36]Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam, (Cet. III; Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 221, 


[37]Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, op.cit, h. 183


[38] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam I, (Cet. I.;Padang: IAIN Press, 1999), h. 226


[39]http://one.indoskripsi.com/ (1Pebruari 2010)


[40]Ibid. 


[41]Ibid, h. 230 


[42]Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, op.cit, h. 54


[43]http://one.indoskripsi.com (1 Januari 2010)


[44] Nurcholis Majid, Kaki Langit Peradaban Islam, op.cit. h. 106


[45]Ibid .
HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html