Islam Di Domba Hitamkan

Ditengah kekacauan,Fitnah, teror dan kekerasan,umat Islam tetap tabah berdiri mempertahankan keyakinannya, dengan memperkenalkan agamanya dengan cara-cara damai dan menyejukkan.

Akhirnya Sunni dan Syiah Bersatu

Bukankah mereka mengimani tuhan yang sama, Mencintai Nabi dan Rosul yang sama, memiliki Kitab suci yang sama, Mempunyai Syahadah yang sama ?, Kemudian mereka saling fitnah dan menumpahkan darah.

Pengaruh Peradaban Islam Terhadap dunia Modern

Pada masa lampau, peradaba Islam memberikan sumbangan besar terhadap kemajuan dunia Barat, kini Islam dan Barat saling menghunus pedang, Islam sebagai Tokoh Kegelapan, sedangkan Barat sebagai Tokoh Peradaban.

Jihad Dan Terorisme dalam Prespektif Islam

Siapa mereka yang mengatakan terorisme merupakan bagian dari jihad fi sabilillah ?? sedangkan teror sangat ditentang oleh teks rujukan utama umat Islam.

Lagenda Assasin "Penebar Maut Lembah Alamut"

Asyhasin(assassin) Antara Lagenda dan Mitos, Siapa Sangka Assassin yang terkenal sebagai Game, adalah Kisah Nyata Pasukan Khusus sekte pecahan Syiah Ismailiyah.

Monday 26 January 2015

Transmisi Ilmu Pengetahuan Islam ke Eropa

Racik Meracik Ilmu - Dalam masa lebih tujuh abad, kekuasaan Islam di Spanyol , umat Islam telah mencapai kejayaannya di sana. Banyak prestasi yang mereka peroleh, bahkan pengaruhnya membawa Eropa dan kemudian Dunia kepada kemajuan yang kompleks. Baik kemajuan intelektual maupun kemegahan pembangunan fisik.

Perlu diketahui bahwa Spanyol diduduki umat Islam pada zaman khalifah Al-Walid bin Abdul Malik (705-715 M), salah seorang khalifah dari Umayah yang berpusat di Damaskus. Sebelum penaklukan Spanyol umat Islam telah menguasai Afrika Utara dan menjadikannya sebagai salah satu propinsi dari dinasti Bani Umayah.

Salah satu hal yang perlu diketahui bahwa, Eropa kaya dengan ilmu pengetahuan disebabkan adanya infasi islam ke Spanyol, sehingga membuat ilmuan-ilmuan bermunculan dengan kesejahteraan yang telah mereka capai.


A. Transmisi Ilmu Pengetahuan Islam ke Eropa
Sejak Islam pertama kali menginjakkan kakinya di Andalusia hingga jatuhnya kerajaan Islam terakhir dan sekitar tujuh setengah abad lamanya, Islam memainkan peranan yang besar, baik dalam bidang Intelektual (filsafat, sains, fikih, musik dan kesenian, bahasa dan sastra) juga kemegahan bangunan fisik (Cordova dan Granada). Umat muslim Andalusia telah menoreh catatan sejarah yang mengagumkan dalam bidang intelektual, banyak perestasi yang mereka peroleh khususnya perkembangan pendidikan Islam. Pertumbuhan lembaga-lembaga pendidikan Islam sangat tergantung pada penguasa yang menjadi pendorong utama bagi kegiatan pendidikan.

Kemajuan Eropa yang terus berkembang hingga saat ini, banyak berhutang budi kepada khazanah ilmu pengetahuan Islam yang berkembang di periode klasik. Memang banyak saluran peradaban Islam yang mempengaruhi Eropa, seperti lewat jalur perdagangan di Sicilia dan Perang Salib, tetapi saluran yang terpenting adalah daulah Bani Umayyah di Andalusia (Spanyol Islam). 
Bani Umayyah merupakan penguasa islam setelah khulafaur Rasidin yang berhasil melebarkan kekuasaannya sampai benua Eropa. Di Tahun 771 M, pasukan Islam di bawah pimpinan Tariq bin Ziyad berhasil menguasai Gibraltar (Jabal Tariq) dan berhasil menaklukkan kota-kota penting seperti, Cordoba, Granada dan Toledo kemudian secara berangsur-angsur wilayah Andalusia dapat dikuasai oleh pasukan Islam. Sejak itulah dimulai babak baru kekuasaan Islam di Andalusia. 

Daulah Bani Umayyah Andalusia berakhir setelah tiga setengah abad berkuasa di Andalusia yaitu pada tahun 1031 M. Sewaktu wibawa daulat Umayyah mulai lumpuh, maka gubenur-gubenur setempat telah membebaskan dirinya dan membentuk kerajaan-kerajaan setempat di wilayah masing-masing. Inilah yang dipanggilkan dengan Muluk-al-Thawaif didalam sejarah Islam di Andalusia, yakni raja-raja setempat. Para Muluk-at-Thawaif ini masih sempat berkuasa 461 tahun lamanya di Andalusia, yakni sampai tahun 1492 M. 
Sejak pertama kali menginjakkan kaki di tanah Andalusia hingga jatuhnya kerajaan Islam terakhir di sana, Islam memainkan peranan yang sangat besar. Masa itu berlangsung lebih dari tujuh setengah abad. Di masa ini gerakan-gerakan ilmiah telah berkembang pula, seperti dalam bidang keagamaan, sejarah dan filsafat. 

Spanyol (salah satu bagian wilayah Andalusia) merupakan tempat yang paling utama bagi Eropa menyerap peradaban Islam, baik dalam bentuk hubungan politik, sosial, maupun perekonomian dan peradaban antar negara. Orang-orang Eropa menyaksikan kenyataan bahwa Spanyol berada di bawah kekuasaan Islam jauh meninggalkan negara-negara tetangganya Eropa, terutama dalam bidang pemikiran dan sains di samping bangunan fisik.

Di negeri inilah lahir tokoh-tokoh muslim ternama yang menguasai berbagai ilmu pengetahuan, seperti Ilmu Agama Islam, Kedokteran, Filsafat, Ilmu Hayat, Ilmu Hisab, Ilmu Hukum, Sastra, Ilmu Alam, Astronomi, dan lain sebagainya. Oleh karena itu dengan segala kemajuan dalam berbagai ilmu pengetahuan, kebudayaan serta aspek-aspek ke-Islaman, Andalusia kala itu boleh dikatakan sebagai pusat kebudayaan Islam dan ilmu pengetahuan yang tiada tandingannya setelah Konstantinopel dan Bagdad. Tak heran, waktu itu pula bangsa-bangsa Eropa lainnya mulai berdatangan ke negeri Andalusia ini untuk mempelajari berbagai Ilmu pengetahuan dari orang-orang Muslim Spanyol, dengan mempelejari buku-buku buah karya cendekiawan Andalusia baik secara sembunyi-sembunyi ataupun terang-terangan. Pada periode 912-1013 M, umat Islam di Andalusia mencapai puncak kemajuan dan kejayaan menyaingi kejayaan Daulah abbasiyah di Bagdad. 

Ketika jayanya kebudayaan Islam, di Andalusia didirikan Universitas-universitas Islam. Tidak sedikit dari mahasiswa-mahasiswa Eropa Barat yang menuntut ilmu di sana. Pengaruh peradaban Islam, termasuk di dalamnya pemikiran Ibn Rusyd, ke Eropa berawal dari banyaknya pemuda-pemuda Kristen Eropa yang belajar di universitas-universitas Islam di Spanyol, seperti universitas Cordova, Seville, Malaga, Granada, dan Salamanca. Selama belajar di Spanyol, mereka aktif menerjemahkan buku-buku karya ilmuwan-ilmuwan muslim. Pusat penerjemahan itu adalah Toledo. Setelah pulang ke negerinya, mereka mendirikan sekolah dan universitas yang sama. Mereka inilah yang telah membawa perubahan cara berpikir di Eropa barat, dengan cara mengembangkan pemikiran filsafat terutama aliran Averroeisme yang mengajarkan tentang logika dan pemikiran rasional. 

Pengaruh ilmu pengetahuan Islam atas Eropa telah berlangsung sejak abad 12 M. Dalam abad ke 14 timbul gerakan kebangkitan kembali untuk mencernakan pustaka Yunani yang berhasil diselamatkan, dipelihara dan dikenal berkat terjemahan-terjemahan Arabnya. Dari bahasa Arab karya-karya tulis tersebut diterjemahkan kembali dalam bahasa Latin. Walaupun tidak terlalu besar, namun ada pengaruh Islam yang masuk Eropa melalui Perang Salib. Pengaruh ilmu pengetahuan Islam atas Eropa yang sudah berlangsung sejak abad ke-12 M itu menimbulkan gerakan kebangkitan kembali (renaissance) pusaka Yunani di Eropa pada abad ke-14 M. Berkembangnya pemikiran Yunani di Eropa kali ini adalah melalui terjemahan-terjemahan Arab yang dipelajari dan kemudian diterjemahkan kembali ke dalam bahasa Latin. 

Terjemahan bahasa Yunani, Persia, Hindu, dan Syiria semurni penerjemahan karya-karya muslim dari bahasa Arab ke dalam bahasa Latin, diperkenalkan konsep-konsep baru pengetahuan Eropa, penelitian Skolastik seperti matematika, sejarah, dan eksperimen. Paling penting penerjemahan-penerjemahan ini merupakan bagian terbesar dari ilmu pengetahuan klasik dan ilmu pengetahuan muslim serta karya-karya unggulan. Ketika kekuasaan Islam mulai mundur pada abad 14 M, Eropa bangkit dari keterbelakangannya. Kebangkitan itu bukan saja terlihat dalam bidang politi dengan keberhasilan Eropa mengalahkan kerajaan-kerajaan Islam dan bagian dunia lainnya, tetapi terutama dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahkan kemajuan dalam bidang Ilmu dan teknologi itulah yang mendukung keberhasilan politiknya. Kemajuan-kemajuan Eropa ini tidak bisa dipisahkan dari pemerintahan Islam di Andalusia, dari universitas-universitas di Andalusia ini Eropa banyak menimba ilmu. 
Sumbangan daulat Islam di Andalusia terhadap renaissance di Eropa ini sangat menarik untuk diteliti karena kontribusi daulat Islam di Andalusia dalam mempertahankan dan menggembangkan warisan pengetahuan dari Yunani sangat nyata. Umat Islam bukan hanya menjaga, akan tetapi juga mengembangkan Ilmu warisan Yunani tersebut. Banyak buku-buku peninggalan dari Aristiteles, Plato, Sokrates yang diterjemahkan dan dikembangkan oleh ilmuwan Islam. Akulturasi antara budaya Islam dan Yunani ini melahirkan pengetahuan Greco-Muslim.

Keadaan perkembangan filsafat Yunani, ketika pertemuan awal dengan umat Islam sedang berada pada titik yang terendah, bahkan hampir punah karena ditekan dan diabaikan oleh penguasa saat itu. Wacana keilmuan Yunani menemukan penyelamatnya yang mampu membangkitkan kembali semangat lama beserta substansi dengan uraian original pada orang Islam, seperti yang dilakukan Ibn Rusyd. Kaum Muslimin juga mengkonsolidasikan antara agama dan filsafat dengan cara yang adil, seimbang dan rasional pada saat itu. Pengetahuan Greco-Muslim ini pada akhirnya sampai ketangan bangsa Eropa melalui universitas-universitas serta perpustakaan-perpustakaan yang didirikan dinasti Umayyah di Andalusia. Walaupun Islam akhirnya terusir dari negeri Spanyol dengan cara yang sangat kejam tetapi pengetahuan yang di dapat dari umat muslim itu menyadarkan bangsa Eropa dan pada akhirnya membangkitkan gerakan-gerakan penting di Eropa. 

Gerakan-gerakan itu adalah kebangkitan kembali kebudayaan Yunani klasik (raenaissence) pada abad ke-14 M yang bermula dari Italia, gerakan reformasi pada abad ke-16 M, rasionalisme pada abad ke-17, dan pencerahan (aufklaerung) pada abad ke-18 M.

a. Melalui perang salib

Perang Salib yang berlangsung selama hampir dua abad (1095 – 1291) membawa dampak yang sangat berarti terutama bagi Eropa yang beradabtasi dengan peradaban Islam yang jauh lebih maju dari berbagai sisi. Perang Salib menghasilkan hubungan antara dua dunia yang sangat berlainan. Masyarakat Eropa yang lamban dan enggan terhadap perdagangan dan pendapatnya yang naïf terhadap dunia usaha. Masyarakat Eropa terkesan ortodok dan tradisional. Di sisi lain terdapat masyarakat Bizantium yang gemerlapan dengan vitalitas perkotaan, kebebasan berekonomi secara luas dengan tidak ada pencelaan dari ideologi tertentu dan dengan perdagangan yang maju. 

Prajurit perang Salib datang dari benteng-benteng yang sangat gersang dan mengira bahwa mereka akan berhadapan dengan Bangsa yang biadab dan Barbar yang lebih dari mereka, ternyata terperangah ketika sudah berhadapan langsung dengan dunia Timur yang lebih beradab, maju dengan peredaran uang yang cukup banyak sebagai pondasi perekonomian.

Mereka sangat tertarik dengan peradaban serta budaya Islam yang jauh lebih maju. Bahasa Arab mulai mereka gunakan sebagai bahasa pergaulan sehari-hari. Tidak sedikit pula diantara mereka yag memeluk agama Islam dan kawin dengan penduduk asli. Hal inilah yang terjadi pada Richard the Lion Heart.

Secara sederhana dampak Perang Salib dapat dijelaskan sebagaimana berikut: 

Pertama : Perang salib yang berlangsung antara Bangsa Timur dengan Barat menjadi penghubung bagi Bangsa Eropa khususnya untuk mengenali dunia Islam secara lebih dekat lagi. Ini memiliki arti yang cukup penting dalam kontak peradaban antara Bangsa Barat dengan peradaban Timur yang lebih maju dan terbuka. Kontak peradaban ini berdampak kepada pertukaran ide dan pemikiran kedua wilayah tersebut. Bangsa Barat melihat kemajuan ilmu pengetahuan dan tata kehidupan di Timur dan hal ini menjadi daya dorong yang cukup kuat bagi Bangsa Barat dalam pertumbuhan intelektual dan tata kehidupan Bangsa Barat di Eropa. Interaksi ini sangat besar andilnya dalam gerakan renaisance di Eropa. Sehingga dapat dikatakan kemajuan Eropa adalah hasil transformasi peradaban dari Timur.

Kedua : Pra Perang Salib masyarakat Eropa belum melakukan perdagangan ke Bangsa Timur, namun setelah Perang Salib interaksi perdagangan pun dilakukan. Sehingga pembauran peradaban pun tidak dapat dihindarkan terlebih lagi setelah Bangsa Barat mengenal tabiat serta kemajuan Bangsa Timur. Perang Salib membawa perubahan yang cukup signifikan terhadap perkembangan ekonomi Bangsa Eropa. Kehidupan lama Bangsa Eropa yang berdasarkan ekonomi semata sudah berkembang dengan berdasarkan mata uang yang cukup kuat. Dengan kata lain Perang Salib mempercepat proses transformasi perekonomian Eropa.

Ketiga : Perang Salib sebagai sarana mengalirnya ilmu pengetahuan dari Timur ke Barat. Pasca penyerbuan yang berlangsung lebih dari 2 abad, para tentara Barat mulai menyesuaikan diri denga kehidupan Bangsa Timur. Mereka melihat ketinggian peradaban dan budaya Islam dalam berbagai aspek kehidupan, yakni, makanan, pakaian, alat-alat rumah tangga, musik, alat-alat perang, obat-obatan, ilmu pengetahuan, perekonomian, irigasi, tanam-tanaman, sastra, ilmu militer, pertambangan, pemerintahan, pelayaran (navigasi) dan lain-lain. Tentara Salib (crusaders) membawa berbagai keilmuan ke negara mereka dengan kata lain terjadi transformasi budaya (culture) dan peradaban (civilazation) dari Timur ke Barat.

Keempat : Bangsa Barat melakukan penyelidikan terhadap seni dan budaya (art and culture) serta pengetahuan (knowledge) dan berbagai penemuan ilmiyah yang ada di Timur. Hal ini meliputi sistem pertanian, sistem industri Timur yang sudah berkembang dan maju serta alat-alat teknologi yang dihasilkan Bangsa Timur seperti kompas kelautan, kincir angin dan lain-lain. Setelah kembali ke negerinya Bangsa Eropa menyadari betapa pentingnya memasarkan produk-produk Timur yang lebih maju, mereka mendirikan sistem-sistem pemasaran produk Timur. Maka semakin pesatlah perkembangan perdagangan antara Timur dengan Barat.

Kelima : Perang Salib yang meluluh-lantakkan infra dan suprastruktur terutama di negara-negara Timur berakibat tertanamnya rasa kebencian antara Timur dan Barat. Di benak Kristen Eropa diyakini sangat membenci warga Negara Timur baik yang beragama Kristen, Yahudi terutama terhadap muslim. Tentunya hal ini jika tidak disikapi dengan bijaksana akan menjadi bom waktu yang siap meledak kapan saja.

b. Melalui Negeri Sisilia

Sisilia adalah sebuah pulau di laut tengan, letaknya berada di sebelah selatan semenanjung Italia, dipisahkan oleh selat Messina. Pulau ini bentuknya menyerupai segitiga dengan luas 25.708 km persegi. Sebelah utara terdapat teluk Palermo dan sebelah timur terdapat teluk Catania. Pulau ini di sebelah barat dan selatannya adalah kawasan laut Mediterranian, sebelah utara berbatasan dengan laut Tyrrhenian dan sebelah timurnya berbatasan dengan laut Ionian.

Pulau sisilia bergunung gunung dan sangat indah, iklimnya yang baik, tanahnya subur, dan penuh dengan kekayaan alamnya. Pulau ini di bagi menjadi tiga bagian : Val di Mazara di sebelah barat, Val di Noto di sebelah tenggara dan Val Demone di bagian timur laut . Islam hanya menjadi agama resmi di Val di Mazara sedangkan di bagian yang lainnya mayoritas beragama kristen. 

Sementara itu penaklukan umat Islam atas kepulauan Sisiliamerupakan buih terakhir dari gelombang serbuan yang dibawa bangsa Arab ke Afrika Utara dan Andalusia. Karena masuknya Islam di Sisilia sangat terkait dengan masuknya Islam di Andalusia, bahkan disinyalir apa yang dicapai oleh dunia Eropa diabad modern sekarang ini tidak lain adalah warisan umat Islam di Andalusia dan Sisilia. 

Sisilia adalah sebuah pulau subur di Italia Selatan pernah dikuasai oleh bangsa Yunani, Romawi, Byzantium, Arab dan akhirnya jatuh ke dalam kerajaan Kristen Normandia serta kini menjadi bagian dari Italia.

Kita mengetahui bahwa bangsa Arab menaklukan Sisilia di masa akhir dinasti Aghalibah yang berdiri di Afrika (Sekarang Tunisia dan Al-Jazair) di era Abbasiah yaitu di pertengahan abad 3 hijriah atau 10 Masehi dan paska Romawi menyerang daerah-daerah Islam. Ketika datang bangsa Fatimiah dan membangun kekuasaannya di Barat, mereka juga menguasai Sisilia bagian dari dinasti Aghalibah serta menguasai Selatan Italia sampai Roma. 

Penguasaan bangsa Arab terhadap daerah-daerah Italia menyebabkan peradaban Islam menjadi luas, daerah-daerah seperti Palermo, Messine, Siracusaa, Bari selanjutnya menjadi pusat peradaban Islam di Italia. Dunia Kristen latin ini merasakan pengaruh Muslim melalui Sisilia. Serangan pertama ke Sisilia tahun 652, ketika kota Siracusa dimasuki, orang-orang Arab memiliki angkatan perang yang mampu menandingi angkatan perang Bizantium.
Pendudukan Arab atas Sisilia tidak berlangsung lama seperti pendudukan atas Spanyol. Pada pertengahan abad ke-18, ksatria Norman melihat bahwa mereka hidup dengan baik di Italia bagian selatan, sebagai pedagang atau sebagai pengusaha militer independen. Efesiensi kemiliteran mereka sedemikian rupa sehingga beberapa ratus ksatria di bawah pimpinan Robert Guiscard telah berhasil mengalahkan Bizantium dan mendirikan kerajaan Norman.

Pada tahun 1060, saudaranya Roger memimpin invasi ke Sisilia dan berhasil merebut Messina dan berlanjut dengan pendudukan seluruh wilayah tersebut sampai 1091. Dengan demikian, kehadiran orang-orang Arab di Spanyol dan Sisilia, keunggulan Arab secara perlahan menemukan jalur masuknya ke Eropa Barat. Meskipun Eropa Barat telat menjalin hubungan dengan Imperium Bizantium, ia jauh lebih banyak mengambil alih kebudayaan orang-orang Arab ketimbang orang-orang Bizantium.

c. Melalui Andalusia (Spanyol). 

Sebagian besar pengaruh kebudayaan Islam atas Eropa terjadi akibat pendudukan kaum muslimin atas Spanyol dan Sisilia. Bangsa arab selama 8 abad lamanya menempati daerah ini. Karenanya peradaban Islam menyebar di pusat-pusat tempat yang berbeda. Seperti: di Kordova, Sevilla, Granada, Toledo. 

Penduduk Andalusia (Spanyol) mayoritas menganut ajaran masehi, yang kemudian terpecah dengan datangnya peradaban arab. Bahkan mereka ganti bahasa mereka dengan berbicara dengan bahasa arab. Mereka mengenal istilah Mozabarabes, kata ini yang dalam bahasa arab disebut musta’rib. Untuk itu pula para pendeta nasrani melakukan terjemahan injil ke dalam bahasa Arab.
Sebagaimana disebutkan syalabi bahwa orang Spanyol telah meninggalkan bahasa latin dan melupakannya, Seorang pendeta di Cordova mengeluh, hampir di kalangan mereka tidak ada yang mampu membaca kitab suci yang berbahasa latin. Bahkan cendekiawan muda hanya mengetahui dan memahami bahasa Arab.Islam memainkan peranan yang sangat besar selama hampir 8 abad. Dari Spanyolah peradaban Islam pindah ke Eropa.

Masa Kejayaan Dinasti Bani Umayyah

Racik Meracik Ilmu - Dinasti Umayyah berasal dari nama Umayyah ibn Syams salah satu pemimpin kabilah Quraisy yang dikenali sebagai Bani Umayyah. Umayyah merupakan anak saudara sepupu Hasyim ibn Abd Manaf yaitu nenek moyang Rasulullah SAW. Bani Hasyim dan Umayyah sering bersaing merebut kekuasaan di kota Makkah di zaman jahiliyah akan tetapi Bani Hasyim lebih berpengaruh karena mendapat kekuasaan yang diturunkan Qusay, kemudian kepada Abd Manaf dan seterusnya kepada Hasyim.

Kedudukan Bani Umayyah sangat mantap di Syam. Hal ini di karenakan, Umayyah pernah kalah dalam pertarungan dengan Bani Hasyim telah melarikan diri dan menetap disana selama 10 tahun. Pada zaman khalifah Usman bin Affan, Yazid bin Abi Sufyan menjadi Gubernur di Syam kemudian diikuti oleh adiknya, Muawiyyah ibn Abi Sufyan menjadi Gubernur selama 20 tahun.[1]

Bani Umayyah juga berpengaruh di Makkah karena merupakan golongan bangsawan yang dihormati oleh masyarakat. Di zaman Jahiliyyah, Abd Syam, Umayyah, Harb dan seterusnya Abi Sufyan diberi kepercayaan memimpin pasukan tentara di Makkah secara turun temurun. Selain itu, mereka juga terkenal dalam bidang perdagangan. Bani Umayyah mempunyai berpengaruh yang sangat besar sebelum Islam dan juga selepas Islam. Mereka adalah di antara golongan yang terakhir memeluk agama Islam.


Muawiyah ibn Abu Sufyan merupakan pengaggas dinasti bani Umayyah. Bapaknya Abu Sufyan ibn Harb merupakan salah seorang pemimpin Quraisy yang terkemuka di kota Makkah terutama sebelum beliau memeluk Islam. Abu Sufyan juga ketua kaum musyrikin Makkah yang menjadi puncak berlakunya perang Badar dan menjadi ketua kaum Quraisy Makkah dalam perang Uhud. Sebelum Muawiyyah mengambil alih jawatan Khalifah dari Hassan Ibn Ali, telah berlaku konflik antara Muawiyyah dan Sayyidina Ali sehingga berlakunya Perang Siffin di tebing sungai Furat pada 13 Safar 37H. Konflik ini adalah rentetan dari peristiwa pembunuhan Usman dan Sayyidina Ali gagal menyelesaikan masalah tersebut sesuai dengan kehendak Muawiyyah. Sayyidina Ali juga mempunyai alasan tertentu yang menyebabkan ia tidak dapat bertindak terhadap pembunuhan tersebut.


Peperangan Siffin ini telah membawa kepada berlakunya Majlis Tahkim. Majlis Tahkim ini berlaku atas kebijaksanaan politik Amr ibn al-As yang mengangkat mushaf al-Quran ketika tentara Muawiyyah hampir kalah. Terdapat juga golongan yang tidak setuju dengan perdamaian tersebut dan mengiginkan peperangan diteruskan. Namun, disebabkan yang mendukung lebih banyak, Sayyidina Ali mengambil keputusan untuk menerima Majlis Tahkim. Golongan yang tidak setuju ialah Al-Asytar bin Malik dan pengikutnya, Al-Ash’as bin Qais dan pengikutnya serta seluruh orang Yaman. 

Al-Asytar dan pengikut-pengikutnya yang tidak setuju dengan Sayyidina Ali telah keluar dari situasi tersebut menuju ke Harura’ dan digelar Khawarij. Jumlah mereka adalah sekitar 12,000 orang. Persidangan Tahkim dimenangi oleh Muawiyah atas kebijaksanaan Amr bin al-As. Tetapi Khalifah Ali terus menjadi khalifah tanpa dibaiat oleh penduduk Syam sehingga baginda wafat pada tahun 40H / 660M karena dibunuh oleh Abdul Rahman bin Muljam, salah seorang pengikut Khawarij. Muawiyyah menjadi khalifah dan membentuk dinasti Umayyah dengan sistem turun temurun.

Kendatipun pemerintahan Bani Umayyah tidak menganut sistem demokrasi bukan berati tidak mengalami perkembangan dan kemajuan dimasa pemerintahannya. Hal ini meliputi berbagai aspek baik sistem pemerintahan, administrasi, ilmu pengetahuan, sastra ekonomi, seni dan budaya.


A. PERKEMBANGAN SASTRA


Beberapa cabang seni budaya/sastra meningkat pada masa Bani Umayyah terutama seni bahasa, seni suara, seni rupa dan seni bangunan (arsitektur). Sementara seni tari tidak dimasukkan dalam kategori seni budaya, sekalipun tari-tarian berkembang luas khususnya dalam istana-istana dan gedung-gedung orang kaya.[2]

Bani umayyah berusaha untuk mempertahankan kemurnian bangsa Arab, mereka berusaha untuk meninggikan derajat bangsa Arab sebagai bangsa penguasa di antara bangsa lain yang dikuasai. Karena kefanatikannya kepada bangsa Arab, khalifah Abdul Malik Ibn Marwan mewajibkan bahasa Arab menjadi bahasa resmi Negara sehingga semua perintah dan peraturan serta komunikasi secara resmi memakai bahasa Arab. Akibatnya bahasa Arab dipelajari orang. Tumbuhlah ilmu qowaid dari ilmu lain untuk mempelajari bahasa Arab. Bahasa Arab menjadi bahasa resmi Negara sampai sekarang pada banyak Negara: Irak, Siria, Mesir, Libanon, Libia, Tunisia, Aljazair, Maroko, di samping Saudi Arabia, Yaman, Emirat Arab dan sekitarnya.[3]

Para penguasa Bani Umayyah semuanya menggunakan tenaga-tenaga penyair, muawiyah mempunyai seorang penyair yang bernama Al-Akhthal. Penyair yang bernama Jarir jatuh ke tangan keluarga Zubair. Ia pernah dihadapkan kepada Al-Hajjaj, dan kedatangannya diterima dengan hormat. Al-Hajjaj ingin menarik simpati Jarir dengan bersikap baik-baik kepadanya, karena itu Jarir lalu memuji Al-Hajjaj dengan berbagai kasidah.[4]

Di bidang seni bangunan (arsitektur), Bani Umayyah berhasil mendirikan beberapa bangunan mewah diantaranya; Mesjid Baitul Maqdis di Yerussalem yang terkenal dengan kubah batunya (Qubbah al-Sakhara) yang dibangun oleh khalifah Abdul Malik pada tahun 691 M dan istana Qusayr Amrah yang terbuat dari kapur berwarna bening kemerah-merahan.[5]


Di samping syair (puisi), seni suara juga tumbuh subur di Hijaz. Pada masa itu hijaz mengirimkan banyak biduan dan biduanita ke istana para khalifah dan yang pertama ialah Mu’awiyah. Ia merasa asyik mendengarkan hikmah sya’ir yang didendangkan dengan irama menarik.


Di antara banyak biduanita yang terkenal pada zaman kekuasaan Bani umayyah ialah seorang wanita yang bernama Salamah Al-Qis. Ia belajar seni suara kepada Ma’bad, Ibnu Aisyah dan Jamilah. Ada lagi seorang pria terkenal mahir menyanyi, yaitu Thuwais Al-Mughanniy. Ia juga pandai menabuh rebana. Penguasa Madinah yang bernama Aban bin ‘Utsman senang bergaul dengannya dan suka mendengarkan lagu-lagu yang dibawakannya.[6]


B. ILMU PENGETAHUAN


Salah satu aspek dari kebudayaan adalah mengembangkan ilmu pengetahuan. Kalau masa Nabi dari khulau ar-rasyidin perhatian terpusat pada memahami Alquran dan hadis Nabi untuk memperdalam pengajaran akidah, akhlah, ibadah, muamalah dari kisah-kisah Alquran, maka perhatian sesudah itu, sesuai dengan kebutuhan zaman, tertuju pada ilmu-ilmu yang diwariskan oleh bangsa-bangsa sebelum munculnya Islam.


Daerah kekuasaanya, selain yang diwariskan oleh khulafau ar’rasyidin, telah pula menguasai Andalus, Afrika Utara, Syam, Irak, Iran, Khurosan, terus ke timur sampai ke benteng tiongkok. Dalam daerah kekuasaannya ada kota-kota pusat kebudayaan. Yunani Iskandariyah, Antiokia, Harran, Yunde Sahpur, yang dikembangkan oleh ilmuwan-ilmuwan itu setelah masuk Islam tetap memelihara ilmu-ilmu peninggalan Yunani itu, bahkan mendapat perlindungan. Di antara mereka ada yang mendapat jabatan tinggi di istana khalifah. Ada yang menjadi dokter pribadi, bendaharawan, atau wazir, sehingga kehadiran mereka sedikit banyak mempengaruhi perkembangan Khalid ibn Yazid, cucu Muawiyah, tertarik pada ilmu kimia dari ilmu kedokteran. Ia menyediakan sejumlah harta untuk menyuruh para sarjana Yunani yang bermukim di Mesir untuk menerjemahkan buku-buku Kimia dari kedokteran ke dalam bahasa Arab dan itu menjadi terjemahan pertama dalam sejarah. Al Walid ibn Abdul Malik memberikan perhatian kepada bimaristan, yaitu rumah sakit sebagai tempat berobat dari perawatan orang-orang sakit serta sebagai tempat studi kedokteran.


Khalifah Umar Ibn Abbas Azis menyuruh ulama secara resmi untuk membukukan hadis-hadis Nabi. Khalifah ini juga bersahabat dengan Ibn Abjar, seorang dokter dari Iskandariyah yang kemudian menjadi dokter pribadinya.[7]

Ilmu pengetahuan pada masa Daulah Bani Umayyah terbagi menjadi dua yaitu:


  1. Al-Adaabul Hadisah (ilmu-ilmu baru), yang terpecah menjadi dua bagian:



  • Al-Ulumul Islamiyah, yaitu ilmu-ilmu Alquran, al-hadist, al-Fiqh, al-ulumul Lisaniyah, at-Tarikh dan al-Jughrafi.
  • Al-Ulumud Dakhiliyah, yaitu ilmu-ilmu yang diperlukan oleh kemajuan Islam, seperti ilmu thib, fisafat, ilmu pasti dan ilmu-ilmu eksakta lainnya yang disalin dari bahasa Persia dan Romawi.
2.Al-Adaabul Qadimah (ilmu-ilmu lama), yaitu ilmu-ilmu yang telah ada di      zaman Jahiliah dan di zaman khalafaur rasyidin, seperti ilmu-ilmu lughah, syair,  khitabah dan amsaal.

Pada permulaan masa Daulah Bani Umayyah orang Muslim membutuhkan hukum dan undang-undang, yang bersumber pada al-Qur’an. Oleh karena itu mereka mempunyai minat yang besar terhadap tafsir Alquran. Ahli tafsir pertama dan termashur pada masa tersebut adalah Ibnu Abbas. Beliau menafsirkan Alquran dengan riwayat dan isnaad. Kesulitan-kesulitan kaum muslimin dalam mengartikan ayat-ayat Alquran dicari dalam al-Hadis. Karena terdapat banyak hadis yang bukan hadis, maka timbullah usaha untuk mencari riwayat dan sanad al-hadis, yang akhirnya menjadi ilmu hadis dengan segala cabang-cabangnya. Maka kitab tentang ilmu hadis mulai banyak dikarang oleh orang-orang Muslim. Diantara para muhaddistin yang termashur pada zaman itu, yaitu: Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Abdullah bin Syihab az-Zuhry, Ibnu Abi Malikah (Abdullah bin Abi Malikah at-Tayammami al-Makky, Al-Auza’I Abdur Rahman bin Amr, Hasan Basri Asy-Sya’bi.[8]

C. KEMAJUAN BIDANG EKONOMI

Pada masa Bani Umayyah ekonomi mengalami kemajuan yang luar biasa. Dengan wilayah penaklukan yang begitu luas, maka hal itu memungkinkannya untuk mengeksploitasi potensi ekonomi negeri-negeri taklukan. Mereka juga dapat mengangkut sejumlah besar budak ke Dunia Islam. Penggunaan tenaga kerja ini membuat bangsa Arab hidup dari negeri taklukan dan menjadikannya kelas pemungut pajak dan sekaligus memungkinkannya mengeksploitasi negeri-negeri tersebut, seperti Mesir, Suriah dan Irak.[9]

Pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan diadakan pergantian mata uang. Ia mengeluarkan mata uang logam Arab. Sebelumnya, pada masa Nabi Muhammad saw., dan khalifah Abu Bakar, mata uang Romawi dan Persia khususnya pada masa khalifah Umar bin al-Khattab telah banyak yang rusak.

Pembaharuan mata uang yang dilakukan adalah jenis mata uang baru yang bisa dibilang sebagai mata uang resmi pemerintahan Islam. Mata uang tersebut terbuat dari emas, perak dan perunggu yang dalam bahasa Romawi disebut dengan Dinar (uang emas), Dirham (uang perak) dan Fals atau Fuls (uang perunggu).[10]

Gubernur Irak yang pada waktu itu dijabat oleh Hajjaj bin Yusuf ternyata banyak melakukan perbaikan dan pembangunan di Irak ketika ia menjadi gubernur di wilayah itu. Ia berhasil memakmurkan negeri itu setelah diporak-porandakan oleh peperangan yang berlangsung selama kurang lebih 20 tahun. Ia memperbaiki irigasi dengan mengalirkan air Sungai Tigris dan Eufrat jauh ke pelosok negeri, sehingga kesuburan tanah pertanian terjamin. Ia melarang keras perpindahan orang desa ke kota. Kehidupan ekonomi pun dibangun dengan memperbaiki system keuangan, alat timbangan, takaran dan ukuran. Ia juga menyempurnakan tulisan mushaf Al’quran dengan membubuhkan tanda titik pada huruf tertentu.[11]

Masa pemerintahan al-Walid I menampakkan puncak kejayaan dinasti Umayyah. Wilayah kekuasaannya pun bertambah luas sampai ke spanyol di barat dan Sind (India) di Timur. Kesejahteraan rakyat mendapat perhatian besar. Ia mengumpulkan anak yatim, memberi mereka jaminan hidup dan menyediakan guru untuk mengajar mereka. Bagi orang cacat, ia menyediakan pelayan khusus yang diberi gaji. Orang buta diberi penuntun dan bagi orang lumpuh disediakan perawat. Ia juga mendirikan bangunan khusus untuk orang kusta agar mereka dapat dirawat sesuai dengan persyaratan kesehatan. Al-Walid I juga membangun jalan raya, terutama jalan ke Hedzjaz. Di sepanjang jalan itu digali sumur untuk menyediakan air bagi orang yang melewati jalan. Untuk mengurus sumur-sumur tersebut ia mengangkat pegawai. Peninggalan al-Walid yang masih dapat disaksikan sampai kini adalah Masjid Agung Damaskus.

Sektor industri tak luput dari perhatian Umayyah dengan peningkatan produksi handycraft. Industri ini menjadi tulang punggung ekonomi setelah pertanian.[12]

Abdul Malik bin Marwan mengembangkan lembaga ata’ atau pembagian harta rampasan perang secara perlahan-lahan kepada bangsa Syiria. Ketika Yazid I terancam keresahan di Iraq dan pemberontakan Ibnu Zubair di Hijaz, dia merasa berkewajiban untuk menyerahkan garnizum Cyprus kepada Syiria yang praktis merupakan satu-satunya kelompok pasukan yang mendapat pembayaran gaji, demikian pula pasukan yang memblokade Ibnu Zubair di Mekkah dibayar 100 dinar.[13]

Khalifah Umar bin Abdul Aziz (99 H/717 M), ia terkenal dengan kesederhaan, keadilan dan kebijaksanaannya. Sebelum menjadi khalifah, hidupnya diliputi oleh kemewahan dan kemegahan. Sebagai seorang bangsawan, ia memiliki kekayaan yang melimpah dan gaya hidup gemerlap. Setelah menjadi khalifah, gaya hidupnya berubah. Ia memilih hidup sangat sederhana, ia menjual pakaian dan perhiasannya yang bagus dan mahal, lalu memasukkkan hasilnya ke dalam perbendaharaan Negara (baitul mal).

Selanjutnya ia melakukan pembersihan di kalangan keluarga Bani Umayyah. Tanah-tanah atau harta orang lain yang pernah diberikan kepada orang tertentu dimasukkannya ke dalam baitulmal. Kebijakannya di bidang fiskal mendorong orang non-muslim untuk memeluk agama Islam.[14]

Umar bin Abdul Aziz pernah menghimpunkan sekumpulan ahli fikih dan ulama kemudian beliau berkata kepada mereka: “Aku menghimpunkan kamu semua untuk bertanya pendapat tentang perkara yang berkaitan dengan barangan yang diambil secara zalim yang masih berada bersama-sama dengan keluarga aku?” Lalu mereka menjawab: “Wahai Amirul Mukminin! perkara tersebut berlaku bukan pada masa pemerintahan kamu dan dosa kezaliman tersebut ditanggung oleh orang yang mencerobohnya.” Walau bagaimanapun Umar tidak puas hati dengan jawapan tersebut sebaliknya beliau menerima pendapat daripada kumpulan yang lain termasuk anak beliau sendiri Abdul Malik yang berkata kepada beliau: “Aku berpendapat bahawa ia hendaklah dikembalikan kepada pemilik asalnya selagi kamu mengetahuinya. Sekiranya kamu tidak mengembalikannya, kamu akan menanggung dosa bersama-sama dengan orang yang mengambilnya secara zalim.” Umar berpuas hati mendengar pendapat tersebut lalu beliau mengembalikan semula barangan yang diambil secara zalim kepada pemilik asalnya.[15]

Khalifah Umar bin Abdul Azis juga memperingan pajak yang diwajibkan kepada Kaum Nasrani di Cyprus dan Eilah (dekat laut merah). Ia memperlakukan kaum mawali Muslimin (bekas-bekas budak yang telah memeluk Islam) dengan perlakuan seperti yang diberikan kepada kaum Muslimin Arab. Mereka dibebaskan dari kewajiban membayar pajak yang dahulu ditetapkan oleh khalifah Umar ibnul Khattab. Ia juga mengizinkan kaum muslimin memiliki tanah-tanah lahan di negeri-negeri yang termasuk di dalam wilayah kekuasaan Islam.[16]

Selama masa pemerintahannya, Umar melakukan berbagai perbaikan dan pembangunan sarana pelayanan umum, seperti perbaikan lahan pertanian, penggalian sumur baru, pembangunan jalan, penyediaan tempat penginapan bagi para musafir, perbanyakan masjid dan lain-lain. Orang sakit mendapat bantuan dari pemerintah. Dinas pos juga diperbaiki agar tidak hanya melayani pengiriman surat resmi para gubernur dan pegawai khalifah atau sebaliknya, tetapi juga melayani pengiriman surat rakyat.[17]

Kesejahteraan masyarakat digambarkan oleh Umar bin Usaid dalam ungkapannya; Demi Allah, Umar bin Abdul Aziz tidak meninggal hingga seorang laki-laki datang kepada kami dengan sejumlah harta dalam jumlah besar dan dia berkata “salurkan harta ini sesuai dengan kehendakmu”, ternyata tidak ada yang berhak menerima harta itu. Sungguh Umar bin Abdul Aziz telah membuat manusia berkecukupan”.[18]

Upaya untuk meningkatkan perekonomian itu, diantaranya dilakukan dengan membangun sarana jalan dan bendungan guna menunjang kelancaran transportasi dan meningkatkan penghasilan masyarakat. Pembangunan perkebunan kapas dan pabrik tenun kesungguhan bagi kemajuan ekonomi masyarakat.[19]


D. KEMAJUAN BIDANG ADMINISTRASI

Guna memenuhi tuntutan perkembangan wilayah dan administrasi kenegaraan yang semakin kompleks. Administrasi pemerintahan pada masa Bani Umayyah meliputi; jabatan khalifah (kepala negara) yang memiliki kekuasaan penuh untuk menentukan jabatan-jabatan dan jalannya pemerintahan, wizarah (kementerian) yang bertugas membantu atau mewakili khalifah dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari, kitabah (kesekretariatan), dan hijabah (pengawalan pribadi).


Selain mengangkat majelis penasehat sebagai pendamping, khalifah Bani Umayyah dibantu oleh beberapa orang “al-Kuttab (secretaries) untuk membantu pelaksanaan tugas, yang meliputi:


  1. Katib ar-Rasail; sekretaris yang bertugas menyelenggarakan administrasi dan surat menyurat dengan pembesar-pembesar setempat.
  2. Katib al-Kharraj; sekretaris yang bertugas menyelenggarakan penerimaan dan pengeluaran Negara.
  3. Katib al-Jundi; sekretaris yang bertugas menyelenggarakan hal-hal yang bekaitan dengan ketentaraan.
  4. Katib as-Syurtah; sekretaris yang bertugas menyelenggarakan pemeliharaan keamanan dan ketertiban umum.
  5. Katib al-Qudat; sekretaris yang bertugas menyelenggarakan tertib hokum melalui badan-badan peradilan dan hakim setempat.[20]

Perbaikan di bidang administrasi pemerintahan dan pelayanan umum dilaksanakan oleh khalifah Abdul Malik dan gubernurnya. Di bidang administrasi pemerintahan ia memerintahkan penggunaan bahasa Arab sebagai bahasa resmi di setiap kantor pemerintah. Sebelum itu bahasa Yunani di di gunakan di Suriah, bahasa Persia dan bahasa Qibti di Mesir. Abdul Azis bin Marwan, saudara Abdul Malik yang menjadi gubernur di Mesir, berjasa dalam pembangunan Mesir pada masanya. Ia membuat pengukur air Sungai Nil, membangun jembatan dan memperluas Masjid Jami Amr bin As.[21]

Hisyam bin Abdul Malik (106-126 H/724-743M) dikenal sebagai khalifah yang cermat dan teliti. Ia memperbaiki administrasi keuangan Negara sehingga pemasukan dan pengeluaran berjalan dengan teratur tanpa terjadi penggelapan atas uang baitulmal. Karena sangat teliti di bidang keuangan, ia dianggap sebagai khalifah yang pelit. Uang Negara tidak bias dikeluarkan kecuali untuk hal yang sangat perlu sekali.[22]

KESIMPULAN


  1. Seni budaya/sastra meningkat pada masa Bani Umayyah terutama seni bahasa, seni suara, seni rupa dan seni bangunan (arsitektur). Sementara seni tari tidak dimasukkan dalam kategori seni budaya, sekalipun tari-tarian berkembang luas khususnya dalam istana-istana dan gedung-gedung orang kaya.
  2. Ilmu pengetahuan pada masa Daulah Bani Umayyah terbagi menjadi dua yaitu:


a. Al-Adaabul Hadisah (ilmu-ilmu baru), yang terpecah menjadi dua bagian:

- Al-Ulumul Islamiyah

- Al-Ulumud Dakhiliyah

b. Al-Adaabul Qadimah (ilmu-ilmu lama), yaitu ilmu-ilmu yang telah ada di zaman Jahiliah

3. Perkembangan ekonomi bani umayyah ditandai dengan penggunaan mata uang dinar, dirham dan perunggu.


4. Administrasi pemerintahan pada masa Bani Umayyah meliputi; jabatan khalifah (kepala negara) yang memiliki kekuasaan penuh untuk menentukan jabatan-jabatan dan jalannya pemerintahan, wizarah (kementerian) yang bertugas membantu atau mewakili khalifah dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari, kitabah (kesekretariatan), dan hijabah (pengawalan pribadi).


DAFTAR PUSTAKA

A. Hasjmy, Sejarah Peradaban Islam, cet. V, Jakarta; PT. Bulan Bintang, 1993.

Ahmad Amin, Penerjemah Abu Laila dan Mohammad Tohir, Islam dari masa ke masa, cet. III, Bandung; PT. remaja Rosdakarya

Ali, K. Sejarah Islam (Tarikh Pramodern), cet. 3, Jakarta; Raja Grafindo Persada, 2000.

Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, cet. I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.

Bosworth C.E., et. al The Ensiklopedia Of Islam, Vol VII, Leiden New York; E.J.Brill, 1993.

http: Kisah-Kisah Teladan; Umar bin Abdul Aziz, di akses pada 24 Januari 2011

Imam as-Suyuthi, Tarikh Khulafa’; Sejarah Penguasa Islam: Khulafa’urrasidin, Bani Umayyah, Bani Abbas, cet. I, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001.

Manshur Amin, Muhammad, Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Indonesia spirit Foundation, 2004.

Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, cet. I. Bogor; Kencana, 2003.

Shaban, Sejarah Islam (Penafsiran Baru), Cet. I, Jakarta; Citra Niaga Rajawali Press, 1993

Van Hoeve, Ensiklopedia Tematis, Dunia Islam; PT Ichtiar Baru.

www.AnneAhira.com, di akses pada 24 Januari 2011

[1]Muhammad Manshur Amin. Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Indonesia spirit Foundation, 2004) h. 86

[2]A. Hasjmy, Sejarah Peradaban Islam, (cet. V, Jakarta; PT. Bulan Bintang, 1993) h.195

[3]Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, (cet. I. Bogor; Kencana, 2003) h. 43

[4]Lihat Ahmad Amin, Penerjemah Abu Laila dan Mohammad Tohir, Islam dari masa ke masa, (cet. III, Bandung; PT. remaja Rosdakarya) h. 110

[5]K.Ali, Sejarah Islam (Tarikh Pramodern), (cet. 3, Jakarta; Raja Grafindo Persada, 2000) h. 225

[6]Ibid., h. 111-112

[7]Lihat Ahmad Amin, op.cit., h. 38-40

[8] A. Hasjmy, op.cit., h. 183

[9]Bosworth C.E., et. al The Ensiklopedia Of Islam, (Vol VII, Leiden New York; E.J.Brill, 1993), h. 26

[10]Menurut Yahya bin Bakir yang disampaikan oleh Malik bahwa orang yang pertama kali membuat mata uang Dinar dan menuliskan di atasnya ayat-ayat Alquran adalah Malik, Imam as-Suyuthi, Tarikh Khulafa’; Sejarah Penguasa Islam: Khulafa’urrasidin, Bani Umayyah, Bani Abbas, (cet. I, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001) h. 258


[11]Lihat Van Hoeve, Ensiklopedia Tematis, Dunia Islam; PT Ichtiar Baru. h. 70

[12]www.AnneAhira.com, diakses pada 24 Januari 2011

[13]Pada pemerintahan Marwan juga menjanjikan memberikan tanah kepada sejumlah anggota suku yang ada di Syiria ketika dia membutuhkan dukungan dalam menegakkan pemerintahannya, bahkan gaji sebesar 200 dinar atau 2000 dirham kepada pemimpin di Jazirah yang bekerja atas nama pemerintah., Shaban, Sejarah Islam (Penafsiran Baru), (Cet. I, Jakarta; Citra Niaga Rajawali Press, 1993), h. 143-144


[14]Ibid., h.70

[15]http: Kisah-Kisah Teladan; Umar bin Abdul Aziz, di akses pada 24 Januari 2011

[16]Lihat Ahmad Amin, op.cit., h. 105

[17]Lihat Van Hoeve, h. 71

[18]Imam As-Suyuthi, op.cit., h. 279

[19]Ibid., h. 295

[20]Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (cet. I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 83

[21]Lihat Van Hoeve, h. 70

[22]Ibid., h. 72

Saturday 24 January 2015

Sejarah perkembangan Ulumul Hadits

Racik Meracik Ilmu-Islam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai perkembangan ilmu pengetahuan termasuk di dalamnya ilmu pengetahuan tentang hadis yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia baik dalam hal sosial, hukum, kemitraan, kebersihan, egaliter (kesetaraan), persaudaraan, akhlak yang mulia dan sikap positif lainnya.[1] Alquran adalah sumber pertama syariat Islam dan hadis adalah sumber kedua. al-Sunnah merupakan penjelas Alquran, pemerinci hukum-hukumnya, dan mengeluarkan furū’ cabang dari ushūl pokoknya.[2]

Alquran adalah petunjuk bagi umat Islam.[3] Petunjuk-petunjuk Alquran merupakan dasar-dasar pokok yang bersifat ijmali. Hanya hokum faraidh yang dijelaskan secara tafshīli (detail). Di samping itu, Alquran yang ijmāli serta ayat-ayatnya yang mutasyābih memerlukan penjelasan.[4]

Pada waktu Rasul Allah masih hidup, para sahabat yang menemukan suatu permasalahan atau menginginkan suatu penjelasan mengenai suatu ayat, langsung bertanya kepada Rasul. Rasul menjelaskannya baik melalui perkataan, perbuatan atau taqrir. Setelah Rasul wafat, para sahabat berpegang kepada penjelasan Rasul. Penjelasan ini kemudian dikenal dengan nama hadis. Abdul Majid Khon menyatakan bahwa “fungsi hadis terhadap Alquran secara umum adalah untuk menjelaskan (li al-bayān) makna kandungan Alquran yang sangat dalam dan global.[5] Ada empat jenis fungsi al-bayān hadis terhadap Alquran yakni bayān taqrīr, bayān tafsīr, bayān naskhi dan bayān tasyri.[6]

Perkembangan situasi politik dan pertarungan kepentingan antar golongan sangat tajam setelah Rasul wafat. Masing-masing golongan berupaya membuat argumentasi untuk memperkuat posisinya dengan menyatakan suatu hadis yang disandarkan kepada Rasul dan sebenarnya tidak demikian. Bahkan ada yang dengan sengaja membuat hadis palsu.[7]

Para ulama berusaha untuk memelihara kemurnian hadis Nabi saw. dari pemalsuan. Mereka berusaha keras berinisiatif menyeleksi secara ketat riwayat-riwayat yang dikaitkan dengan Rasul. Mereka berusaha menjaga keagungan ajaran agama supaya tidak bercampur baur dengan kepentingan pribadi dan golongan yang dapat merusak keyakinan dan sendi-sendi kehidupan kaum muslimin.
Para ulama menetapkan berbagai syarat yang ketat dalam menyeleksi seluruh riwayat yang dikaitkan dengan Nabi saw. Syarat-syarat itu kemudian menjadi kaedah dan aturan yang digunakan dalam menerima sebuah riwayat. Aturan-aturan tersebut kemudian menjadi satu disiplin ilmu tersendiri yang disebut dengan ‘Ulūm al-Hadīs yang tertulis dalam berbagai buku karangan para ulama. Sampai sekarang, ‘Ulūm al-Hadīs menjadi pegangan pokok untuk menetapkan derajat kualitas suatu hadis yang dapat dijadikan dasar penetapan suatu hokum syar’i.

Kemunculan ‘Ulūm al-Hadīs sebagai suatu disiplin ilmu melalui suatu tahapan perjalanan sejarah yang panjang. Perjalanan sejarah yang dimulai dari masa Rasulullah Muhammad saw. sampai sekarang. Walaupun mengalami pasang surut, akan tetapi semangat para ulama tidak pernah surut atau berhenti menghasilkan karya-karya besar karena mereka termotivasi oleh semangat pengabdian yang tulus untuk memurnikan ajaran agama. Karya-karya tersebut berupa kitab-kitab yang merupakan kontribusi berharga dari para ulama terhadap perkembangan ‘Ulūm al-Hadis. Karya-karya ulama tersebut kemudian menjadi ilmu yang membahas secara spesifik hal-hal tertentu yang berkaitan dengan hadis Rasulullah Muhammad saw.

Belajar sejarah mengandung banyak manfaat. Orang yang mempelajari sejarah dan perkembangan suatu ilmu, termasuk ‘Ulum al-Hadis, akan menjadikan yang bersangkutan lebih bersikap cermat, teliti, bersungguh-sungguh, memiliki motivasi yang tinggi dan lebih bijaksana dalam menanggapi suatu masalah. Seseorang akan mampu mengendalikan diri dalam menetapkan status suatu hadis berdasarkan penerapan suatu kaedah atau metode yang tepat, sehingga tidak menimbulkan intrepretasi yang membingungkan.

Hasbi Ash-Shiddieqy mengemukakan bahwa untuk mempelajari sejarah pertumbuhan dan perkembangan ‘Ulūm al-Hadis perlu ditelusuri dua pokok, yaitu:

1. Mempelajari periode-periode ilmu hadis

2. Mempelajari pemuka-pemuka ilmu hadis.[8]

Para ahli berusaha menyusun secara sistematis periode-periode pertumbuhan dan perkembangan ilmu hadis. Nūr al-Dīn mengemukakan tahapan perkembangan ‘Ulūm al-Hadīs atas tujuh tahap, yaitu:

Tahap pertama: Kelahiran Ilmu Hadis

Tahap kedua: Tahap Penyempurnaan

Tahap ketiga: Tahap pembukuan Ilmu Hadis secara terpisah

Tahap keempat: Penyusunan Kitab-kitab Induk ‘Ulūm al-Hadīs dan penyebarannya

Tahap kelima: Kematangan dan kesempurnaan pembukuan ‘Ulūm al-Hadis

Tahap keenam: Masa Kebekuan dan kejumudan

Tahap ketujuh: Kebangkitan kedua.[9]

Masa Kelahiran ‘Ulūm al-Hadis

Benih-benih ilmu hadis telah tumbuh sejak zaman Rasulullah saw. sejalan dengan diwurudkannya hadis-hadis kepada para sahabatnya. Hal ini dapat dilihat misalnya bagaimana para sahabat dapat melihat adanya kedustaan yang disampaikan oleh seseorang yang mengatasnamakan Rasul saw. Rasul juga telah menetapkan beberapa aturan, bagaimana seharusnya hadis itu diterima dan disampaikan kepada yang lainnya, seperti juga Rasul menyampaikan hadis-hadis tertentu kepada orang-orang tertentu, dengan cara-cara yang tertentu pula.[10]

Sesuai dengan perkembangan hadis, ilmu hadis selalu mengiringinya sejak masa Rasulullah saw. sekalipun belum dinyatakan sebagai ilmu secara eksplisit. Pada masa Nabi masih hidup di tengah-tengah sahabat, hadis tidak ada persoalan karena jika menghadapi suatu masalah atau skeptis dalam suatu masalah, mereka langsung bertemu dengan beliau untuk mengecek kebenarannya. Pemalsuan hadis pun tidak pernah terjadi menurut pendapat ulama ahli hadis.[11] Ahmad Amin dalam bukunya Fajr al-Islām menyatakan bahwa dimungkinkan terjadi adanya pemalsuan hadis pada masa Nabi masih hidup.[12] Hal ini hanya pernyataan yang bersifat dugaan belaka, tidak disertai bukti otentik yang mendukung pernyataan tersebut.

‘Ulūm al-Hadis sebagai sebagai suatu disiplin ilmu mengalami masa pertumbuhan dan perkembangan, Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib mengemukakan hal ini sebagai berikut:

Ulumul Hadis tumbuh bersama dengan tumbuhnya periwayatan dan pemindahan hadis dalam Islam. Dasar-dasar ini mulai tampak setelah Rasul saw. wafat, yakni tatkala kaum muslimin memberikan perhatian serius dalam mengoleksi hadis Nabi, karena khawatir tersia-siakan. Mereka berusaha keras menghapal, menandai, memindahkan dan mengkodifikasikannya. Secara alamiah kodifikasi hadis mendahului kodifikasi Ilmu Ushulul Hadis. Karena hadis adalah materi yang dikumpulkan dan dikaji. Sedang Ushulul Hadis adalah kaedah dan metode yang harus diikuti untuk menerima dan menolak hadis dan mengetahui yang shahih dari yang dha’if.[13]

Penjelasan ‘Ajjaj ini, memberikan pemahaman bahwa pertumbuhan dan perkembangan ‘Ulum al-Hadis melalui suatu tahapan yang cukup panjang. Ilmu itu tumbuh dan berkembang dari masa ke masa secara terus neberus dan berkesinambungan mengkuti irama periwayatan hadis terutama sebelum hadis terkodifikasi dengan baik.

Sekalipun pada masa Nabi tidak dinyatakan adanya ilmu hadis, tetapi para peneliti hadis memperhatikan adanya dasar-dasar dalam Alquran dan hadis Rasulullah saw.[14] Misalnya anjuran pemeriksaan berita yang datang dan perlunya persaksian yang adil. Firman Allah dalam QS. Al-Hujurat (49): 6:

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.[15]

Demikan pula dalam QS. Al-Baqarah (2): 282:

Terjemahnya:

Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya.[16]



QS. Ath-Thalaq (65): 2


Terjemahnya:

“…dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu…”[17]

Ayat-ayat di atas menunjukkan pemberitaan dan persaksian orang fasik tidak diterima. Muslim mengatakan, sekalipun pemberitaan dan persaksian tidak sama pengertiannya, tetapi dalam beberapa hal mempunyai arti yang sama. Jika berita yang dibawa orang fasik tidak diterima oleh ahli ilmu demikian juga persaksiannya juga ditolak oleh mereka.[18] Ayat-ayat di atas berarti perintah memeriksa, meneliti, dan mengkaji berita yang dating dibawa seorang fasik yang tidak adil. Tidak semua berita yang dibawa seseorang dapat diterima sebelum diperiksa siapa pembawanya dan apa isi berita tersebut. Jika pembawanya orang jujur, adil dan dapat dipercaya diterima, tetapi sebaliknya jika pembawa berita itu orang fasik, tidak objektif, pembohong dan lain-lain, maka tidak diterima karena akan menimpakan musibah terhadap orang lain yang menyebabkan penyesalan dan merugikan.[19]

Setelah Rasulullah meninggal, kondisi sahabat sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadis karena konsentrasi mereka kepada Alquran yang baru dikodifikasikan pada masa Abu Bakar tahap awal dan masa Utsman tahap kedua. Masa ini terkenal dengan masa taqlil ar-riwayah (pembatasan periwayatan), para sahabat tidak meriwayatkan hadis kecuali tidak disertai dengan saksi dan bersumpah bahwa hadis yang ia riwayatkan benar-benar dari Rasulullah saw. Pada masa awal Islam belum diperlukan sanad dalam periwayatan hadis karena orangnya masih jujur-jujur, saling mempercayai satu dengan yang lain. Tetapi setelah terjadinya konflik fisik (fitnah) antar relit politik yakni antar pendukung Ali dan Mu’awiyah dan umat berpecah menjadi beberapa sekte; Syi’ah, Khawarij, dan Jumhur Muslimin. Setelah itu mulailah terjadi pemalsuan hadis (hadis mawdhu’) dari masing-masing sekte dalam rangka mencari dukungan politik dari massa yang lebih luas.[20]

Melihat kondisi seperti hal di atas, para ulama bangkit membendung hadis dari pemalsuan dengan berbagai cara, di antaranya rihlah checking kebenaran hadis dan mempersyaratkan kepada siapa saja yang mengaku mendapat hadis harus disertai dengan sanad. Sebagaimana ungkapan ulama hadis ketika dihadapkan suatu periwayatan: “Sebutkan kepada kami para-para pembawa beritamu”.[21] Ibnu al-Mubarak berkata: “Isnad/sanad bagan dari agama, jikalau tidak ada isnad sungguh sembarang orang akan berkata apa yang dikehendaki”[22]

Pada masa sahabat dan (lebih-lebih) masa tabi’in, kebutuhan terhadap ilmu ini semakin terasa. Hal ini karena, Rasul saw. sebagai sumber untuk merujuk hadis sudah wafat, sehingga diperlukan adanya tolak ukur untuk menguji kebenaran suatu hadis, terutama hadis-hadis yang hanya didengar atau disampaikan oleh seseorang saja. Lebih-lebih ketika umat Islam memulai upaya mengumpulkan hadis dan mengadakan perlawatan yang mereka lakukan ke seluruh wilayah kekuasaan Islam. Hal ini sudah barang tentu secara langsung atau tidak, memerlukan kaidah-kaidah guna melakukan seleksi dalam penerimaan dan periwayatan atau penyampaian hadis kepada para muridnya.[23]

B. Masa Penulisan ‘Ulum al-Hadis

Tahap kedua dari perkembangan ‘Ulum al-Hadis ialah tahap penyempurnaan. Pada tahap ini, ilmu hadis mencapai titik kesempurnaannya. Setiap cabangnya dapat berdiri sendiri dan sejalan dengan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan dan dipergunakan oleh ulama. Tahap ini berlangsung dari abad kedua sampai awal abad ketiga. Peristiwa-peristiwa menonjol yang menendai periode ini ialah:

  1. Melemahnya daya hapal di kalangan umat Islam sebagaimana disebutkan al-Dzahabi dalam kitab Tazkirat al-Huffazh.
  2. Panjang dan bercabangnya sanad-sanad hadis, lantaran bentangan jarak waktu dan semakin banyak rawi.
  3. Munculnya sejumlah kelompok umat Islam yang menyimpang dari jalan kebenaran yang ditempuh para sahabat dan tabi’in, seperti Mu’tazilah, Jabariyah, Khawarij, dan sebagainya. Oleh karena itu, para ulama bangkit untuk mengantisipasi kekacauan ini dengan langkah yang dapat menutupi pengaruh yang mungkin timbul. Antara lain:

  • Pembukuan hadis secara resmi
  • Mengembangkan jarh wa ta’dil untuk mengkritisi rawi hadis
  • Mengembangkan sikap tawaqquf yaitu tidak menolak atau menerima bila mendapatkan hadis dari sesorang yang mereka tidak kenal sebagai ahli hadis.
  • Menelusuri sejumlah hadis untuk mengungkap kecacatan yang mungkin tersembunyi di dalamnya.[24]

Para ulama sangat ketat dalam menyeleksi hadis. Mereka meneliti setiap keadaan perawi sehingga hadis dapat diketahui kualitasnya. Bahkan, mereka bersedia melakukan perjalanan panjang untuk mengecek kebenaran sebuah hadis yang diriwayatkan oleh seseorang dengan mempersyaratkan kriteria-kriteria tertentu sesuai dengan kaidah yang ditetapkan para ulama.[25] Dengan demikian, hadis yang diriwayatkan oleh seseorang akan dapat diketahui antara lain keadilan, kecacatan, dan kedhabitan seorang perawi dan sebagainya.

Pada masa tabi’in, ulama yang pertama kali menetapkan dasar-dasar ilmu hadis ialah Ibn Syihab az-Zuhri (51-124 H). Ini diperlukan, sehubungan dengan keahliannya dalam bidang hadis dan kedudukan dirinya sebagai pengumpul hadis, atas perintah resmi dari khalifah Umar bin Abd al-Azis. Dari sini ilmu hadis mulai terlihat wujudnya meskipun dalam bentuk kaidah-kaidah yang simpel dan sederhana.[26] Di samping itu, Imam Al-Syafii menulis kitab al-Risalah yang mengulas kriteria hadis yang dapat dijadikan hujjah. Kitab al-Risalah merupakan kitab ‘Ulum al-Hadis yang pertama.[27]

Pada perkembangan berikutnya, kaidah-kaidah itu semakin dikembangkan oleh para ulama yang muncul pada abad kedua dan ketiga Hijriyah, baik mereka yang mengkhususkan diri dalam mempelajari bidang hadis, maupun bidang-bidang lainnya.[28] Dalam hal ini dapat dilihat misalnya para ulama imam mazhab fiqh, yang juga turut membicarakan dan menyusun ilmu ini. Kemudian, lebih berkembang lagi dengan hadirnya para ulama mudawwin hadis, seperti Malik in Anas, al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, at-Turmudzi, an-Nasa’I, dan Ibnu Majah. Akan tetapi karya-karya mereka masih berserakan dalam bentuk risalah-risalah-nya.[29]

C. Masa Pembukuan ‘Ulum al-Hadis


  1. Tahap Pembukuan Ilmu Hadis secara terpisah

Tahap ini berlangsung sejak abad ketiga sampai pertengahan abad keempat Hijriah. Tahap ini merupakan tahap pembukuan hadis dan merupakan zaman keemasan sunnah. Sebab, dalam abad inilah sunnah dan ilmu-ilmunya dibukukan dengan sempurna.

Tahap ini ditandai dengan inisiatif para ulama untuk membukukan hadis Rasul secara khusus. Untuk itu mereka susun kitab-kitab musnad untuk menghimpun hadis Rasul yang mereka kelompokkan berdasarkan nama-nama sahabat, sehinga hadis-hadis yang diriwayatkan dari Abu Bakar –misalnya- dikumpulkan dalam satu tempat dengan judul Musnad Abu Bakar, demikian pula hadis-hadis umar yang lainnya.

Bukhari memberikan terobosan baru dengan membukukan hadis-hadis shahih secara khusus dan disusun berdasarkan bab-bab tertentu, agar mudah dicari dan dipahami. Kitab yang disusunnya bernama al-Jami’ al-Shahih. Berikutnya datanglah enam imam lainnya yang tiada lain adalah murid-muridnya kecuali al-Nasai. Mereka menyusun kitab masing-masing berdasarkan bab-bab fiqh dengan hadis-hadis yang mereka pilih secara selektif, meskipun para penulis kitab sunnah itu tidak mensyaratkan semua hadisnya shahih.

Pada tahap ini, cabang-cabang ilmu hadis telah berdiri sendiri sebagai suatu ilmu, seperti ilmu hadis shahih, ilmu hadis mursal, ilmu al-Asma wa al-Kuna, dan sebagainya. Ulama yang dikenal menyusun buku yang berkaitan dengan ilmu hadis pada masa ketiga ini ialah:

2. Yahya ibn ma’in (w.234 H) menyusun kitab tentang biografi para rawi


3. Muhammad ibn Sa’d (w. 230 H) menyusun kitab tentang thabaqat para rawi.     Kitab ini merupakan kitab yang paling baik.


4. Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H) menyusun kitab al-‘Ilal wa al-Ma’rifah al-Rijal       dan al-Nasikh wa al-Mansukh.


5. ‘Ali ibn ‘Abdullah ibn al-Madani (w.234 H) Guru al-Bukhari, menyusun buku        tentang banyak hal yang mencapai dua ratus judul. Kebanyakan kitab yang       disusunnya selalu menjadi perintis dalam bidangnya sehingga para ulama          menyatakan bahwa tiada cabang ilmu hadis yang luput dari bahasannya dan tidak tersentuh dalam tulisannya.[30]


Pada masa ini, para ulama telah mempelajari dan meneliti seluruh matan dan sanad hadis dengan sempurna melalui kajian ilmu hadis. Istilah-istilah yang berkaitan dengan hadis pada masa ini telah baku sebagaimana yang terlihat dalam kitab al-Turmudzi dan selainnya. Walaupun demikian, dalam tahap ini belum ditemukan suatu tulisan yang pembahasannya mencakup seluruh kaidah-kaidah cabang-cabang ilmu hadis dengan batasan istilah-istilahnya. Sebabnya ialah mereka masih mengandalkan hapalan dan penguasaannya terhadap semua itu; kecuali sebuah kitab kecil yang berjudul al-‘Ilal al-Shagir karya Imam al-Turmudzi (w. 279 H). kitab ini merupakan penutup kitab Jami’ al-Turmudzi.[31]

2. Tahap penyusunan Kitab-Kitab Induk ‘Ulum al-Hadis dan penyebarannya

Masa ini bermula pada pertengahan abad keempat dan berakhir pada awal abad ketujuh. Pada periode ini, para ulama menekuni dan mendalami kitab-kitab yang telah disusun oleh para ulama sebelumnya. Kemudian mereka menghimpun keterangan-keterangan yang masih berserakan kemudian melengkapinya dengan keterangan-keterangan ulama lain yang diriwayatkan dengan sanad yang sampai kepada pembicaranya. Sesudah itu mereka memberi komentar terhadap keterangan-keterangan dan digali hukumnya.

Dalam catatan sejarah perkembangan hadis, diketahui bahwa ulama yang pertama kali berhasil menyusun ilmu hadis dalam suatu disiplin ilmu secara lengkap, adalah seorang ulama sunni bernama al-Qadi Abu Muhammad al-Hasan bin Abd ar-Rahman bin Khalad ar-Ramahurmuzi (w. 360 H), dengan kitabnya Al-Muhaddiits al-Fashil baina ar-Rawi wa al-Wa’i. Menurut Ibn Hajar al-Asqalani,[32] karya ar-Ramahurmuzi ini belum mencakup seluruh ilmu hadis. Meskipun demikian, menurutnya lebih lanjut, kitab ini sampai pada masanya merupakan kitab terlengkap, yang kemudian dikembangkan oleh para ulama berikutnya.

Orang kedua setelah ar-Ramahurmuzi, ialah al-Hakim Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah an-Naisaburi (321-405H) dengan kitabnya Ma’rifah ‘Ulum al-Hadis. Pada kitab ini dibahas sebanyak 52 macam pembahasan. Namun, seperti karya ar-Ramahurmuzi, karya al-Hakim ini juga belum sempurna dan kurang sistematis dibanding dengan kitab-kitab karya ulama berikutnya.[33]

Setelah itu, muncul Abu Nu’aim Ahamad bin Abdillah al-Ashafani (336-430 H) dengan kitabnya al-Mustakhraj ‘ala Ma’rifah’Ulum al-Hadits. Dalam kitab ini, ia mengemukakan kaidah-kaidah temuannya yang tidak terdapat dalam kitab Ma’rifah ‘Ulum al-Hadits karya al-Hakim.[34]

Berikutnya, al-Khathib al-Bagdadi Abu Bakr ahmad bin Ali (w. 463 H) dengan kitabnya yang terkenal, ialah “Al-Kifayah fi Qawanin ar-Riwayah”. Kitab ini berisi berbagai uraian ilmu hadis da kaidah-kaidah periwayatan. Karya lainnya, ialah Al-Jami’ li Adabi asy-Syeikh wa As-Sa’mi. Menurut Abu Bakr bin Nuqthah, para ulama muhaddisin yang menyusun ilmu ini setelah al-Khatib al-Bagdadi, menginduk kepada kitabnya.[35]

Selang beberapa waktu, menyusul al-Qadi ‘Iyadh bin Musa al-Yahshibi (w. 544 H) dengan kitabnya Al-Ilma’ fi Dabth ar-Riwayah wa Taqyid al-Asma’. Berikutnya, ialah Abu Hafidz Umar bin Abd Majid al-Mayanji (w. 580 H) dengan kitabnya ‘Ulum al-Hadits yang dikenal dengan Muqaddimah ibn ash-Shalah. Kitab ini oleh para ulama berikutnya disyarahkan dan dibuat 27 mukhtashar-nya, sehingga dapat dijadikan pegangan oleh ulama generasi berikutnya.[36]

D. Masa Pentashihan ‘Ulum al-Hadis

Tahap kematangan dan kesempurnaan pembukuan ‘Ulum al-Hadis bermula pada abad ketujuh dan berakhir pada abad kesepuluh. Pembukuan ‘Ulum al-Hadis pada tahap ini mencapai tingkat kesempurnaan dengan ditulisnya sejumlah kitab yang mencakup seluruh cabang ilmu hadis. Pada tahap ini dilakukan penelitian secara mendetail terhadap sejumlah masalah dan upaya perbaikan sejumlah ungkapan yang memerlukan penghalusan redaksi. Para penyusun kitab adalah para imam besar yang hapal semua hadis dan menyamai pengetahuan dan penalaran para imam besar terdahulu terhadap cabang-cabang hadis, sanad dan matannya.

Pelopor pembaharuan dalam pembukuan ilmu hadis pada masa ini ialah al-Imam al-Muhaddits al-Faqih al-Hafidz al-Ushul Abu ‘Amr ‘Utsman ibn al-Shalah (w. 643) dengan kitab ‘Ulum al-Hadis yang sangat masyhur. Keistimewaan kitab ini ialah:
  1. Kemampuannya menarik kesimpulan yang sangat baik terhadap dan kaidah yang dikemukakan para ulama.
  2. Memberi batasan terhadap defenisi-defenisi yang ada sambil menguraikannya, juga menjelaskan definisi-definisi yang belum pernah dijelaskan sebelumnya.
  3. Mengomentari pendapat para ulama berdasarkan hasil penelitian dan ijtihad penyusunnya.

Kitab-kitab yang tercatat sebagai tahap kematangan dan kesempurnaan pembukuan ‘Ulum al-Hadis ialah:

  1. Al-Irsyad karya Imam Yahya ibn Syaraf al-Nawawi (w. 676 H). Kitab ini merupakan ringkasan dari kitab ‘Ulum al-Hadis kemudian diringkaskan lagi menjadi al-Taqrib wa al-Taisir li Ahadis al-Basyir al-Nadzir.
  2. Al-Tabshirah wa al-Tadzkirah. Kitab yang disusun dalam bentuk syair sebanyak seribu bait karya al-Hafidz Abd al-Rahman ibn al-Husain al-Iraq (w. 806 H). Kitab ini mencakup seluruh isi kitab ‘Ulum al-Hadis dengan menjelaskan dan menambah kekurangannya dengan beberapa masalah lalu disyarahi dengan syarah yang sangat baik.
  3. Al-Taqyid wa al-Lidhah li ma Uthliqa min Kitab ibn al-Shalah yang dikenal dengan nama al-Nukat. Kitab ini diberi catatan kaki oleh Fadhilat al-Syaikh Muhammad Raghib al-Thabbah dengan keterangan-keterangan yang sangat bermanfaat.
  4. Al-Ifshah ‘ala Nukat ibn al-Shalah. Kitab syarah ‘Ulum al-Hadis disusun oleh al-Hafidz Ahmad ibn ‘Ali ibn Hajar al-Atsqalani (w. 852 H). kitab ini sampai sekarang masih dalam bentuk naskah tulisan tangan yang terdapat di India.
  5. Fath al-Mughits Syarh Al-Fiyah al-Iraqi fi ‘Ilm al-Hadis karya al-Hafidz Syamsuddin Muhammad al-Shakhawi (w. 902 H). Kitab ini memuat hasil studi kritis terhadap masalah-masalah yang terdapat dalam kitab-kitab sunnah dan ‘Ulum al-Hadis. Kitab ini dicetak di India dalam satu jilid tebal.
  6. Tadrib al-Rawi Syarah Taqrib al-Nawawi karaya al-hafidz Jalaluddin Abd al-Rahman al-Suyuthi (w. 911 H).
  7. Nukhbat al-Fikr dan syarahnya Nuzhat al-Nadzar. Keduanya karya al-hafidz Ibn Hajar.[37]

Dalam perkembangannya, ‘Ulum al-Hadis sempat mengalami masa kebekuan dan kejumudan. Keadaan ini berlangsung dari abad kesepuluh sampai awal abad keempat belas Hijriyah. Pada masa ini, ijtihad dalam masalah ilmu hadis dan penyusunan kitab nyaris berhenti total. Kitab-kitab yang ditulis pada umumnya ringkas dan praktis, baik dalam bentuk syair maupun prosa. Para penulis hanya sibuk dengan kritikan-kritikan terhadap istilah-istilah yang terdapat dalam kitab yang telah ada tanpa ikut menyelami inti permasalahannya. Mereka kurang melakukan penelitian dan ijtihad sehingga perkembangan ‘Ulum al-Hadis mengalami kemandekan. Walaupun demikian masih ada penerbitan buku yang berkaitan dengan ‘Ulum al-Hadis, di antaranya:
  1. Al-Manzhumat al-Baiquniyyah karya ‘Umar ibn Muhammad ibn futuh al-Baiquni al-Dimasqi (w. 1080 H). kitab ini berisi 36 bait syair. Keistimewaan kitab karena disusun secara sistematis dan dengan bahasa yang sangat sederhana sehingga mudah dihapalkan oleh orang-orang yang mempelajarinya.
  2. Taudhih al-Afkar karya Al-Shan’ani Muhammad ibn Isma’il al-Amir (w. 1182 H).
  3. Syarah Nuzhat al-Nazhar karya Syekh ‘Ali ibn Sulthan al-Harawi al-Qari’i (w. 1014 H).[38]

Pada masa kebekuan dan kejumudan ini, bangkit pengkajian al-Hadis di India yang dipelopori oleh al-Allamah al-Imam al-Muahddits syah Waliyu Aliah al-Dahlawi (w. 1176 H). Upaya pengkajian ini dilanjutkan oleh anak dan cucunya serta murid-muridnya dengan berpedoman kepada kaedah-kaedah yang sudah baku.[39]

E. ‘Ulumul Hadis di Masa Kontemporer

Setelah mengalami masa kebekuan dan kejumudan, pengkajian terhadap ‘Ulum al-Hadis semakin dikembangkan oleh ulama-ulama kontemporer. Tahap ini diistilahkan oleh Nur al-Din sebagai masa kebangkitan kedua. Masa kebangkitan kedua bermula pada permulaan abad keempat belas hijriyah. Umat Islam bangkit kembali karena khawatir pengaburan ajaran agama akibat persentuhan dunia Islam dengan dunia Barat dan Timur, bentrokan mliter yang tidak manusiawi, orientalis kolonialisme pikiran yang lebih jahat dan lebih berbahaya. Kondisi telah menuntut untuk disusunnya kitab-kitab yang membalas tuduhan dan menyanggah kesalahan-kesalahan dann kedustaan mereka. Tuntutan ini menghasilkan beberapa karya ulama antara lain:

  • Qawaid al-Tahdits karya Syekh Jamaluddin al-Qasimi. Kitab ini membahas: Hadis Shahih dan Hadis Hasan, Hadis dhaif, dan Hal-hal yang berkaitan dengan ketiga hadis tersebut.

  • Miftah al-Sunnah atau Tarikh Funun al-Hadis karya ‘Abd Aziz al-Khuli. Kitab ini menjadi pelopor pengkajian sejarah Hadis dan perkembangan ilmu-ilmunya.
  • Al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri al-Islami karya Dr. Musthafa al-Siba’i. Kitab ini membicarakan hal ikhwal orientalis, serangan mereka terhadap Hadis, dan serangan balik mereka ketika kalah berargumentasi. Kitab ini juga menyanggah anggapan-anggapan kelompok ingkar al-Sunnah baik dari generasi terdahulu dan pada saat itu.
  • Al-Hadis wa al-Muhadditsin karya Dr. Muhammad Abu Zahw. Kitab ini menjelaskan tentang ketekunan para ulama dalam mengabdi kepada al-Sunnah disertai hasil penelitian kondisi hadis pada periode pertama yaitu periode sahabat, tabi’in sampai periode pembukuan hadis. Kitab ini juga dilengkapi dengan sanggahan terhadap isu dan anggapan yang bathil berkenaan dengan hadis.
  • Al-Manhaj al-Hadis fi ‘Ulum al-Hadis karya Dr. Syekh Muhammad al-simahi, yang menguasai seluruh cabang Ilmu Hadis secara luas dan komprehensif, begitu juga kaidah-kaidahnya yang panjang dan mencakup. Kitab ini terbagi atas empat bagian.

Bagian pertama : Sejarah Hadis terdiri atas tiga jilid
Bagian Kedua : Musthalah al-Hadis
Bagian Ketiga : Periwayatan Hadis
Bagian Keempat : Hal Ikhwal para rawi.[40]

Perjalanan sejarah pertumbuhan dan perkembangan ‘Ulum al-Hadis menunjukkan kecintaan umat Islam, khususnya para ulama kepada ajaran Islam yang murni. Berbagai upaya telah dilakukan agar ‘Ulum al-Hadis tetap eksis sebagai suatu disiplin ilmu, di antaranya denga menyusun berbagai kitab yang memuat kaedah-kaedah dan aturan-aturan yang cukupo akurat untuk dipergunakan meneliti, menyeleksi, menghimpun dan mengklasifikasi hadis dan menyanggah setiap usaha yang mencoba mencederai atau meremehkan kedudukan hadis Rasul saw..

Kesimpulan

  1. Benih-benih ‘Ulūm al-Hadīts telah tumbuh sejak zaman Rasulullah saw.. sekalipun belum dinyatakan sebagai ilmu secara eksplisit. Nur al-Din menyebutkan bahwa kelahiran ‘Ulūm al-Hadīts berlangsung pada masa sahabat sampai penghujung abad pertama Hijriyah
  2. Pada masa tabi’in, ulama yang pertama kali menetapkan dasar-dasar ilmu hadis ialah Ibn Syihab az-Zuhri (51-124 H). Di samping itu, Imam Al-Syafii menulis kitab al-Risalah yang mengulas kriteria hadis yang dapat dijadikan hujjah. Kitab al-Risalah merupakan kitab ‘Ulūm al-Hadīts yang pertama.
  3. Dalam catatan sejarah perkembangan hadis, diketahui bahwa ulama yang pertama kali berhasil menyusun ilmu hadis dalam suatu disiplin ilmu secara lengkap, adalah seorang ulama sunni bernama al-Qadi Abu Muhammad al-Hasan bin Abd ar-Rahman bin Khalad ar-Ramahurmuzi (w. 360 H), dengan kitabnya Al-Muhaddiits al-Fashil baina ar-Rawi wa al-Wa’i.
  4. Abad ketiga sampai pertengahan abad keempat Hijriah merupakan Tahap pembukuan Ilmu Hadis secara terpisah dan tahap penyusunan Kitab-Kitab Induk ‘Ulūm al-Hadīs dan penyebarannya bermula pada pertengahan abad keempat dan berakhir pada awal abad ketujuh.Tahap kematangan dan kesempurnaan pembukuan ‘Ulūm al-Hadīts bermula pada abad ketujuh dan berakhir pada abad kesepuluh.
  5. Setelah mengalami masa kebekuan dan kejumudan, pengkajian terhadap ‘Ulūm al-Hadis semakin dikembangkan oleh ulama-ulama kontemporer. Tahap ini diistilahkan oleh Nūr al-Dīn sebagai masa kebangkitan kedua. Masa kebangkitan kedua bermula pada permulaan abad keempat belas Hijriyah

DAFTAR PUSTAKA

Abduh, Muhammad. Risālah al-Tauhīd. Cet. 7; Jakarta: Bulan Bintang, 1979.

Amin, Ahmad. Fajr al-Islam (Cet.11; Cairo: An-Nahdhah al-Mishriyah, 1975.

Hasyim, Ahmad Umar. As-Sunnah an-Nabawiyah wa ‘Ulumuha. Cairo: Maktabah Gharib, t.th.

Ismail, M. Syuhudi Pengantar Ilmu Hadis. Cet. 2; Bandung; Angkasa, 1994.

‘Itr, Nur al-Din. Manhāj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis, terj. Mujiyo, ‘Ulum Al-Hadits I. Cet. 1; Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994.

Al-Khatib, M. Ajjaj. al-Sunnah Qabla Tadwīn, terj. AH. Akrom Fahmi, Hadits Nabi Sebelum Dibukukan. Cet. 1; Jakarta: Gema Insani Press, 1999.

-------------Ushul al-Hadis. terj. M. Qadirun Nur & Ahmad Musyafiq, Pokok-Pokok Ilmu Hadis. Cet. 1; Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998.

Khon, Abdul Majid. Ulumul Hadis. Cet. 1; Jakarta: Amzah, 2008.

Nata, Abuddin. Metodologi Studi Islam. Edisi Revisi; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008.

An-Nawawi, Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syaraf. Shahih Muslim bi Syarh An-Nawawi, jil.IX. Cet. 1; Cairo: Dar al-Fajr, 1999.

Program Alquran Word

Qardhawi,Yusuf. Kaefa Nata’amalu ma’a al-Sunnah al-Nabawiyah. terj. Muhammad Al-Baqir, Bagaimana Memahami Hadis Nabi SAW. Cet. 4; Bandung: Kharisma, 1995.

Ranuwijaya, Utang, Ilmu Hadis (Cet.4; Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001.

Ash-Shiddieqy, Hasbi. Sedjarah dan Pengantar Ilmu Tafsir. Djakarta: Bulan Bintang, 1967.

As-Shalih, Shubhi. ‘Ulum al-Hadits wa mushthalahah. Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1997.

ath-Thahhan, Mahmud. Tafsir Musthalah al-Hadits. Beirut: Dar ats-Tsaqafah al-Islamiyah, t.th.

CATATAN KAKI

[1]Abuddin Nata, M.A., Metodologi Studi Islam, Edisi Revisi (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008), h. 1.

[2]M. Ajjaj Al-Khatib, al-Sunnah Qabla Tadwīn, diterjemahkan AH. Akrom Fahmi, Hadits Nabi Sebelum Dibukukan (Cet. 1; Gema Insani Press, 1999), h. 21

[3]Lihat QS. Al-Isra’ (79): 9. Lihat uraian Muhammad Abduh mengenai wahyu dan Alquran dalam “Risalah al-Tauhid” (Cet. 7; Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 144-154 dan h. 185-192.

[4]Hasbi Ash-Shiddieqy, Sedjarah dan Pengantar Ilmu Tafsir (Djakarta: Bulan Bintang, 1967), h. 149. Uraian yang sama terdapat dalam M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis (Cet. 2; Bandung; Angkasa, 1994), h. 55.

[5]Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Cet. 1; Jakarta: Amzah, 2008), h. 16.

[6]Ibid., h. 17-19.

[7]Lihat Yusuf Qardhawi, Kaefa Nata’amalū ma’a al-Sunnah al-Nabawiyah. terj. Muhammad Al-Baqir, Bagaimana Memahami Hadis Nabi SAW (Cet. 4; Bandung: Kharisma, 1995), h. 24.

[8]Hasbi Ash-Shiddieqy, op.cit., h. 45.

[9]Nūr al-Dīn ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulūm al-Hadis, terj. Mujiyo, ‘Ulum Al-Hadits I (Cet. 1; Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), h. 21.

[10]Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis (Cet.4; Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), h. 87.

[11]Abdul Majid Khon, op.cit., h. 78.

[12]Ahmad Amin, Fajr al-Islām (Cet.11; Cairo: An-Nahdhah al-Mishrīyah, 1975), h. 211.

[13]Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadis. terj. M. Qadirun Nur & Ahmad Musyafiq, Pokok-Pokok Ilmu Hadis (Cet. 1; Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998), h. xiv.

[14]Abdul Majid Khon, op.cit., h. 78.

[15]Program alquran Word.

[16]Program Alquran Word.

[17]Program Alquran Word.

[18]Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarh An-Nawawi, jil.IX (Cet. 1; Cairo: Dar al-Fajr, 1999), h. 80.

[19]Abdul Majid Khon, op.cit., h. 79.

[20]Ibid., h. 80.

[21]Ahmad Umar Hasyim, As-Sunnah an-Nabawiyah wa ‘Ulumuha (Cairo; Maktabah Gharib, t.th), h. 363-364.

[22]An-Nawawi, op. cit., h. 103.

[23]Utang Ranuwijaya, op.cit., h. 87-88.

[24]Nur al-Din, op.cit., h. 36.

[25]Perjalanan untuk meneliti suatu hadis dideskripsikan dalam Subhi Al-Shalih, op.cit., h. 61-80. Perjalanan ini diistilahkan dengan Rihlah Checking oleh Abdul Majid Khon, op.cit., h. 80

[26]Utang Ranuwijaya, op.cit., h. 88.

[27]Nur al-Din, op.cit., h. 48.

[28]Shubhi as-Shalih, ‘Ulum al-Hadits wa mushthalahah (Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1997), h. 5.

[29]Utang Ranuwijaya, op.cit., h. 88.

[30]Nur al-Din, op.cit., h. 49.

[31]Ibid.,

[32]Shubhi as-Shalih, op.cit., h. 5.

[33]Kitab Ma’rifat ‘Ulum al-Hadits ini diikhtiarkan oleh Thahir al-Jaza’iri (w. 1338 H) dalam kitabnya berjudul “Taujih an-Nazhar”

[34]Utang Ranuwijaya, op.cit., h. 89.

[35]Mahmud ath-Thahhan, Tafsir Musthalah al-Hadits (Beirut: Dar ats-Tsaqafah al-Islamiyah, t.th), h. 12.

[36]Shubhi as-Shalih, op.cit., h. 89.

[37]Nur al-Din, op.cit., h. 49.

[38]Ibid.,

[39]Ibid.,

[40]Ibid.,
HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html