Islam Di Domba Hitamkan

Ditengah kekacauan,Fitnah, teror dan kekerasan,umat Islam tetap tabah berdiri mempertahankan keyakinannya, dengan memperkenalkan agamanya dengan cara-cara damai dan menyejukkan.

Akhirnya Sunni dan Syiah Bersatu

Bukankah mereka mengimani tuhan yang sama, Mencintai Nabi dan Rosul yang sama, memiliki Kitab suci yang sama, Mempunyai Syahadah yang sama ?, Kemudian mereka saling fitnah dan menumpahkan darah.

Pengaruh Peradaban Islam Terhadap dunia Modern

Pada masa lampau, peradaba Islam memberikan sumbangan besar terhadap kemajuan dunia Barat, kini Islam dan Barat saling menghunus pedang, Islam sebagai Tokoh Kegelapan, sedangkan Barat sebagai Tokoh Peradaban.

Jihad Dan Terorisme dalam Prespektif Islam

Siapa mereka yang mengatakan terorisme merupakan bagian dari jihad fi sabilillah ?? sedangkan teror sangat ditentang oleh teks rujukan utama umat Islam.

Lagenda Assasin "Penebar Maut Lembah Alamut"

Asyhasin(assassin) Antara Lagenda dan Mitos, Siapa Sangka Assassin yang terkenal sebagai Game, adalah Kisah Nyata Pasukan Khusus sekte pecahan Syiah Ismailiyah.

Monday 20 April 2015

“Al Ayyam” Mengenal Historiografi Arab Pra Islam

Sejarah ditulis untuk mengingat masa lalu, mengambil peringatan dan ibrah yang dapat disingkap melalui pembacaan komprehensif. Dalam lintasan waktu, Islam sebagai sebuah entitas religius dalam komunitas insani telah meninggalkan warisan panjang berupa historiografi. 

Historiografi, adalah tahap terakhir dalam penelitian sejarah. Secara literal historiografi berarti penulisan sejarah. Secara terminologis, historiografi didefinisikan sebagai rekonstruksi imajinatif terhadap masa lampau berdasarkan data yang diperoleh dengan cara menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau tersebut. Tahap historiografi ini dalam penelitian sosial pada umumnya barangkali identik dengan penulisan laporan penelitian.
Pada tahap historiografi ini perlu diperhatikan cara-cara sebagai berikut :
  1. Menyeleksi fakta yang relevan dan penting;
  2. Membuat urutan-urutan peristiwa (serialisasi);
  3. Menyusun fakta berdasar urut-urutan waktu (kronologi); Mencari hubungan sebab akibat dari peristiwa yang satu dengan lainnya (dekausasi); dan 
  4. Mencari jalinan dari berbagai fakta yang ditemukan (imajinasi).
Dalam penulisan sejarah, agar sesuai dengan pengertian sejarah yang sebenarnya, yaitu sejarah sebagai ilmu, terdapat pembatasan-pembatasan tertentu tentang peristiwa masa lampau itu. Menurut Taufik Abdullah, ada empat hal yang membatasi peristiwa masa lampau itu sendiri. 

Pertama, pembatasan yang menyangkut dimensi waktu; Kedua, pembatasan yang menyangkut peristiwa; Ketiga, pembatasan yang menyangkut tempat; dan Keempat, pembatasan yang menyangkut seleksi.

Penulisan sejarah adalah usaha rekonstruksi peristiwa yang terjadi di masa lampau. Penulisan ini bagaimana-pun baru dapat dikerjakan setelah dilakukan penelitian, karena tanpa penelitian penulisan menjadi rekonstruksi tanpa pembuktian. Baik dalam penelitian dan penulisan membutuhkan keterampilan. Dalam penelitian dibutuhkan kemampuan untuk mencari, menemukan, dan menguji sumber-sumber yang benar. Sedangkan dalam penulisan dibutuhkan kemampuan menyusun fakta-fakta, yang bersifat fragmentaris itu, ke dalam suatu uraian yang sistematis, utuh, dan komunikatif. Ini yang mungkin tidak dilakukan Roorda’s sehingga apa yang ia tulis banyak sekali tidak ada kaitannya dengan sesuatu yang berlangsung / terjadi pada saat itu (sebagaimana dijelaskan oleh Nancy K. Florida).

Historiografi adalah adalah ilmu yang meneliti dan mengurai informasi sejarah berdasarkan sistem kepercayaan dan filsafat. Walau tentunya terdapat beberapa bias (pendapat subjektif) yang hakiki dalam semua penelitian yang bersifat historis (salah satu yang paling besar di antaranya adalah subjektivitas nasional), sejarah dapat dipelajari dari sudut pandang ideologis, misalnya: historiografi Marxisme.

Ada pula satu bentuk pengandaian sejarah (spekulasi mengenai sejarah) yang dikenal dengan sebutan "sejarah virtual" atau "sejarah kontra-faktual" (yaitu: cerita sejarah yang berlawanan -- atau kontra -- dengan fakta yang ada). Ada beberapa ahli sejarah yang menggunakan cara ini untuk mempelajari dan menjelajahi kemungkinan-kemungkinan yang ada apabila suatu kejadian tidak berlangsung atau malah sebaliknya berlangsung. Hal ini mirip dengan jenis cerita fiksi sejarah alternatif.

Historiografi adalah merupakan hasil karya dari historiografer (sejarawan) zamannya yang sekaligus berkaitan erat dengan kebudayaan zaman itu. Dalam pengungkapan suatu peristiwa masa lampau, seorang sejarawan akan senantiasa bertolak dari pandangan yang terlahir dalam lingkungan kebudayaannya. Pertanyaan yang diajukan terhadap masa lampau, setidaknya adalah merupakan pertanyaan yang muncul dari realitas kebudayaan di mana sang sejarawan itu hidup. Dengan demikian corak dan bentuk historiografi yang dihasilkan akan sejalan dengan bentuk kebudayaan masyarakat yang menghasilkan.

Islam sangat menghargai sejarah, bahkan ayat-ayat al-Quran yang merupakan kitab suci dan komponen introduksi fundamental bagi doktrin agama, mayoritas berisi kisah-kisah masa lalu, baik tentang para nabi, umat-umat beriman, kaum yang ingkar, bahkan penentang agama macam Fir’aun, Hamman dan Jaluth. 

Umat Islam telah mengalami kemajuan dalam penulisan sejarah, bahkan tidak ada bangsa lain yang menulis sejarah seperti halnya kaum muslimin. Para sejarawan muslim telah menulis ribuan buku dengan variasi judul dan isinya. Jumlah karya sejarah banyak sekali, sehingga tidak mungkin bisa dihitung.

Bangsa Arab pra Islam dikenal dalam sejarah dengan sebutan Arab Jahiliyah. Istilah ini biasa diartikan sebagai masa kebodohan dan identik dengan kehidupan nomaden, barbar, dan sarat dengan peperangan dan pertumpahan darah. Bangsa Arab pra Islam merupakan suatu masyarakat primitif yang mempunyai kepercayaan serba dewa. Kehidupan mereka nomaden serta mempunyai etnis dan genealogis tersendiri juga menghasilkan historiografi genealogis pula , mereka menyebutkan dengan nasab.

Karena masyarakat Arab pra Islam tidak mempunyai budaya tulis, maka sumber-sumber sejarah yang menjelaskan periode ini hanyalah riwayat, legenda, peribahasa, dan terutama syair-syair . Arab pra Islam terkenal dengan syair-syair yang menceritakan kisah-kisah peperangan gerilya, kehidupan digurun pasir yang tandus, pertumpahan darah karena masalah lahan, peternakan, dan clin (antar suku). Sejarah orang-orang Arab yang dipenuhi dengan kisah peperangan, perampokan, persengketaan, pembunuhan, ini yang disebut dengan ayyam al ‘Arab atau hari-hari orang Arab.

MENGENAL SEJARAH ARAB PRA ISLAM

Bangsa Arab sebelum Islam biasanya disebut Arab Jahiliyah, bangsa yang bodoh dan tidak mengenal aksara. Akan tetapi walaupun bangsa Arab pra Islam disebut bangsa jahiliyah atau bangsa yang bodoh, namun mereka telah memiliki kemampuan yang tinggi terutama dalam kesusastraan. Terutama bangsa Arab bagian Utara dikenal sebagai orang-orang yang memiliki kemampuan yang tinggi dalam menggubah syair, dan syair-syair itu diperlombakan dan yang unggul di antaranya ditulis untuk digantung di Ka’bah. Melalui tradisi sastera tersebut diketahui bahwa peristiwa-peristiwa besar dan penting secara faktual ikut memberi pengaruh pada kehidupan mereka dan mengarahkan perjalanan sejarah mereka. Nilai-nilai yang menyertai peristiwa-peristiwa penting itu mereka abadikan dengan berbagai cara, seperti kisah, dongeng, nasab, nyanyian, syair, dan sebagainya. 

Akan tetapi, bangsa Arab terutama Arab bagian Utara dikenal sebagai orang-orang yang memiliki kemampuan tinggi dalam menggubah syair, dan syair-syair itu diperlombakan dan yang unggul diantaranya ditulis untuk digantung di Ka’bah. Melalui tradisi sastera tersebut diketahui bahwa peristiwa-peristiwa besar dan penting secara faktual ikut memberi pengaruh pada dan mengarahkan perjalanan sejarah mereka. Nilai-nilai yang menyertai peristiwa-peristiwa penting itu mereka abadikan dengan berbagai cara, seperti kisah, dongeng, nasab, nyanyian, syair, dan sebagainya.

Bangsa Arab sebelum Islam, hidup bersuku-suku (kabilah-kabilah) dan berdiri sendiri-sendiri. Satu sama lain kadang-kadang saling bermusuhan. Mereka tidak mengenal rasa ikatan nasional. Yang ada pada mereka hanyalah ikatan kabilah. Dasar hubungan dalam kabilah itu ialah pertalian darah. Rasa asyabiyah (kesukuan) amat kuat dan mendalam pada mereka, sehingga bila mana terjadi salah seorang di antara mereka teraniaya maka seluruh anggota-anggota kabilah itu akan bangkit membelanya. Semboyan mereka “ Tolong saudaramu, baik dia menganiaya atau dianiaya “.

Pada hakikatnya kabilah-kabilah ini mempunyai pemuka-pemuka yang memimpin kabilahnya masing-masing. Kabilah adalah sebuah pemerintahan kecil yang asas eksistensi politiknya adalah kesatuan fanatisme, adanya manfaat secara timbal balik untuk menjaga daerah dan menghadang musuh dari luar kabilah.

Kedudukan pemimpin kabilah ditengah kaumnya, seperti halnya seorang raja. Anggota kabilah harus mentaati pendapat atau keputusan pemimpin kabilah. Baik itu seruan damai ataupun perang. Dia mempunyai kewenangan hukum dan otoritas pendapat, seperti layaknya pemimpin dictator yang perkasa. Sehingga adakalanya jika seorang pemimpin murka, sekian ribu mata pedang ikut bicara, tanpa perlu bertanya apa yang membuat pemimpin kabilah itu murka.

Kekuasaan yang berlaku saat itu adalah system dictator. Banyak hak yang terabaikan. Rakyat bisa diumpamakan sebagai ladang yang harus mendatangkan hasil dan memberikan pendapatan bagi pemerintah. Lalu para pemimpin menggunakan kekayaan itu untuk foya-foya mengumbar syahwat, bersenang-senang, memenuhi kesenangan dan kesewenangannya. Sedangkan rakyat dengan kebutaan semakin terpuruk dan dilingkupi kezhaliman dari segala sisi. Rakyat hanya bisa merintih dan mengeluh, ditekan dan mendapatkan penyiksaan dengan sikap harus diam, tanpa mengadakan perlawanan sedikitpun.

Kadang persaingan untuk mendapatkan kursi pemimpin yang memakai sistem keturunan paman kerap membuat mereka bersikap lemah lembut, manis dihadapan orang banyak, seperti bermurah hati, menjamu tamu, menjaga kehormatan, memperlihatkan keberanian, membela diri dari serangan orang lain, hingga tak jarang mereka mencari-cari orang yang siap memberikan sanjungan dan pujian tatkala berada dihadapan orang banyak, terlebih lagi para penyair yang memang menjadi penyambung lidah setiap kabilah pada masa itu, hingga kedudukan para penyair itu sama dengan kedudukan orang-orang yang sedang bersaing mencari simpati.

Ditilik dari silsilah keturunan dan cikal bakalnya, para sejarawan membagi kaum-kaum Bangsa Arab menjadi Tiga bagian, yaitu :
  1. Arab Ba’idah, yaitu kaum-kaum Arab terdahulu yang sejarahnya tidak bisa dilacak secara rinci dan komplit. Seperti Ad, Tsamud, Thasn, Judais, Amlaq dan lain-lainnya.
  2. Arab Aribah, yaitu kaum-kaum Arab yang berasal dari keturunan Ya’rub bin Yasyjub bin Qahthan, atau disebut pula Arab Qahthaniyah. 
  3. Arab Musta’ribah, yaitu kaum-kaum Arab yang berasal dari keturunan Isma’il, yang disebut pula Arab Adnaniyah.
Saat Islam lahir dan bangkit, terdapat empat peradaban yang eksis saat itu, yaitu Byzantium di Eropa Timur dengan agama Cristio-Hellenistic, Persia di lembah Mesopotamia yang menganut Zoroaster (Majusi), India di Asia Tengah dengan Hiduisme-nya dan negeri Tiongkok di Asia Timur dengan filsafat Confusius. Gesekan-gesekan intelektual ini merupakan salah satu pemantik berkembangnya peradaban Islam di kemudian hari.

Dalam arasy historiografi, Islam mendapatkan kontribusi berarti dari warisan kuno budaya Arab berupa al-Anshab dan al-Ayyam. Dua bentuk pokok ini merupakan instrumen pewarisan turun-temurun cerita tentang kepahlawanan seseorang, kemenangan di medan perang serta tuturan dan sedikit catatan tentang silsilah keluarga. 

Secara umum, terdapat masalah yang dihadapi oleh historiografi masa awal Islam dan hingga kini belum tuntas. Antara legenda-legenda dan tradisi-tradisi populer Arab masa pra-Islam dengan sejarah yang relatif ilmiah dan eksak yang muncul pada abad kedua hijriyah, masih terbentang satu jurang yang belum dapat dijelaskan. 

Kemungkinan sebab terjadinya hal ini, ada dua pendapat. Pertama, para penulis pada masa itu mengikuti pola penulisan Buku Raja-raja (Khuday-Nama), yang ditulis oleh orang Persia. Kedua, kemungkinan hal ini muncul dari gabungan beberapa arus komposisi sejarah dan quasi sejarah.
Karena itu, perlu dikaji lebih lanjut tentang bentuk dasar historiografi Islam untuk dapat memahami konsepsi keilmuan sejarah dalam khasanah intelektual Islam. Sekaligus untuk menjembatani jurang catatan sejarah yang selama ini terbentang lebar. 

Sejarah penulisan sejarah Islam ternyata telah melalui proses yang sedemikian panjang dalam lintasan sejarah manusia. Dengan pedoman pada kitab suci al-Quran dan al-Hadits. Hadits sendiri memiliki disiplin keilmuan yang hampir sama dengan disiplin historiografi. Karena dalam al-Hadits, musti ada check and re-check bagi setiap statemen, bahkan terdapat penilaian bagi individu narator dan transmiter materi (perawi) yang disebut dengan al-jarh wa al-ta’dil.

Bersamaan dengan pengembangan keilmuan internal, hitoriografi Islam terus berkembang melalui interaksinya dengan peradaban sekitar yang telah memiliki sejarah intelektual dan catatan historiografi cukup panjang. Di sinilah, sejarawan muslim menimba ilmu dan mengembangkan bentuk penulisan yang khas Islam; dengan spirit Islam dan materi-materi sekitar kaum muslimin.

Warisan intelektual itu, hingga saat ini masih bisa dinikmati pada peminat sejarah. Sangat membantu bagi ilmuwan yang akan meperdalam historiografi Islam dengan berbagai bentuknya. Pada masa Arab pra Islam belum dikenal istilah tulisan atau tulisan sejarah dengan pengertian sebenarnya. Sumber-sumber sejarah pada masa pra Islam selain dari sumber sastera, juga banyak diperoleh dari peninggalan arkeologis. 

Tidak ada penulisan sejarah di masa lalu yang dapat lepas dari intervensi penguasa. Hampir seluruh catatan sejarah adalah cerita tentang kekuasaan, kemenangan perang dan kepahlawanan sang pendiri dinasti serta anak cucunya. Bahkan banyak terdapat biografi-biografi khusus yang menulis tentang raja-raja itu. 

Misalnya karya al-Qudla’i yang berjudul ‘Uyun al-Ma’arif. Maka tidak heran jika muncul adagium bahwa sesungguhnya sejarah adalah milik penguasa. Rakyat kecil maupun bawahan hanya menjadi footnote (catatan kaki) yang kadang malah tidak tertulis sama sekali. Namun, bagaimanapun, biografi dinasti dan penguasanya merupakan sebuah bentuk dasar historiografi Islam. 

Dunia Arab pra Islam merupakan kancah peperangan terus menerus. Akibat peperangan yang terus menerus kebudayaan mereka tidak berkembang. Karena itu bahan-bahan sejarah Arab pra Islam sangat langka didapatkan di dunia Arab dan dalam bahasa Arab. Pengetahuan tentang Arab pra Islam diperoleh melalui syair-syair yang beredar di kalangan para perawi syair. Dengan begitulah sejarah dan sifat masyarakat Arab pra Islam dapat diketahui, antara lain bersemangat tinggi dalam mencari nafkah, sabar dalam menghadapi kekerasan alam, dan juga dikenal sebagai masyarakat yang cinta kebebasan. 

Kisah-kisah kepahlawanan, biografi raja-raja dengan keberhasilan ekspansi kekuasaannya selalu digambarkan pada peninggalan-peninggalan arkeologi. Atau kisah-kisah peperangan itu dimuat dalam bentuk karya sastra berupa kisah dan legenda. Tujuan utamanya adalah untuk membangga-banggakan satu kabilah dengan kabilah yang lain. Bahkan bagi kabilah yang memenangkan peperangan, mereka buat gubahan syair dan digantungkan di dinding Ka’bah. 

Kisah-kisah yang berhubungan dengan peristiwa penting bangsa Arab yang terekam dalam gubahan syair, legenda maupun prosa disebut al ayyam. Tradisi al ayyam ini sudah berlangsung sangat lama. Hal ini ditunjukkan oleh kenyataan adanya bagian-bagian sejarah tertua yang tertuang dalam Taurat yang juga dikisahkan oleh adab al ayyam. 

Tujuan historiografi Islam adalah untuk menunjukan perkembangan konsep sejarah baik di dalam pemikiran maupun di dalam pendekatan ilmiah yang dilakukannya disertai dengan uraian mengenai pertumbuhan, perkembangan, dan kemunduran bentuk-bentuk ekspresi yang dipergunakan dalam penyajian bahan-bahan sejarah. Perkembangan peradaban Islam merupakan pencerminan besar dalam sejarah. Beberapa hal yang mendorong perkembangan pesat bagi penulisan sejarah Islam antara lain adanya konsep Islam sebagai agama yang mengandung sejarah, dan adanya kesadaran sejarah yang dipupuk oleh nabi Muhammad. Perkembangan sejarah Islam terjadi dalam 2 tahap yaitu awalnya informasi disampaikan secara lisan, kemudian metode penyampaian lisan tersebut dilengkapi dengan catatan tertulis yang tidak dipublikasikan. 

Namun, persoalannya, apakah bangsa Arab sebelum Islam itu meninggalkan karya-karya tulis sastera atau semacamnya, yang menggambarkan secara faktual masyarakatnya, baik masyarakat menetap maupun masyarakat nomad (Badui) ?

Tidak ada jalan lain, untuk mengetahui secara mendalam sejarah perjalanan dan warisan asli penduduk Arab pada masa pra Islam (Jahiliyyah), perhatian harus diarahkan kepada tradisi lisan itu. Orang-orang Arab sebelum Islam memang telah mengenal tradisi yang menyerupai bentuk sejarah lisan itu. Itulah yang disebut dengan al Ayyam yang arti semantiknya adalah hari-hari perang.

PENULISAN SEJARAH AL AYYAM

Sejarah merupakan didiplin ilmu yang memiliki metode (mazhab) mantap, aspek penggunaan yang sangat banyak, dan memiliki sasaran yang mulia. Sejarah membuat kita faham akan hal ihwal bangsa-bangsa terdahulu, yang terefleksi diri dalam perilaku kebangsaan mereka. Sejarah membuat kita mengetahui biografi para nabi, serta negara dan kebijaksanaan para raja. 

Pada masa jahiliyah, belum dikenal apa yang dinamakan dengan tulisan sejarah dalam pengertian sebenarnya, termasuk kalangan penduduk negeri yang dianggap sudah berperadaban yang diduga bahwa mereka cukup mempunyai perhatian terhadap upaya mempertahankan dan menulis tentang kehidupan dan kemajuan yang mereka capai. Negeri-negeri yang lebih maju seperti Yaman, Kerajaan Hirah, kerajaan Ghassan, juga tidak mewariskan tulisan-tulisan sejarah. Oleh karena itu, ketika mereka berusaha menuliskannya pada masa Islam, yaitu ketika mempunyai minat untuk menuliskan sejarah mereka yang terlupakan ini, tulisan-tulisan itu banyak disusupi mithos dan dongeng. Tidak mungkin mempercayainya sebagai kebenaran secara keseluruhan.

Penulisan sejarah (historigrafi) membutuhkan sumber yang bergama, dan pengetahuan yang bermacam-macam. ia juga dibuthkan perhitungan yang tepat, dan ketekunan. Kedua sifat ini membawa sejarawan pada kebenaran, dan menyelamatkan mereka dari ketergelinciran dan kesalahan. Dalam sejarah Islam terdapat kisah israiliyyat dan merupakan suatu bahaya bagi kemurnian agama Islam. Berdasarkan hal itu maka kritik yang sering digunakan pada buku sejarah dan para sejarawan adalah banyaknya kisah tersebut dalam karya mereka.namun terlepas dari semuanya itu sejarah sesungguhnya tetap mendapat tempat yang amat penting dalam keilmuan Islam.

Ayyam al Arab berasal dari bahasa Arab yang berarti perang-perang antar kabilah-kabilah Arab. Di kalangan masyarakat Arab pra Islam (Jahiliyah) sering terjadi konflik antar kabilah karena perselisihan dalam mencapai kepemimpinan, perebutan sumber-sumber air dan padang rumput untuk pengembalaan ternak. Konflik itu seringkali menyebabkan peperangan yang menumpahkan darah. Hari-hari peperangan itu dikenal dengan Ayyam al “arab (secara etimologis berarti hari-hari penting bangsa Arab). Disebut “hari-hari penting bangsa Arab” karena peperangan itu berlangsung di siang hari. Ketika malam tiba, peperangan dihentikan sampai fajar menyingsing. 

Ayyam Al-Arab adalah peristiwa-peristiwa penting yang menimpa masyarakat Arab, dan Al-Ansab (genealogi) secara umum menjadi simbol kebanggan masyarakat Arab. Ayyam Al-Arab merekam peristiwa-peristiwa atau peperangan-peperangan yang pernah terjadi antar kabilah atau antar suku. Sedangakan Al-Ansab memuat silsilah keturunan, dan mereka merasa bangga apabila berasal dari keturunan yang terhormat. Dua jenis pengetahuan ini banyak tersimpan dalam karya sastra, baik berupa syair maupun prosa.

Dalam sejarah kesusasteraan Arab, munculnya prosa lebih awal dari pada syair, karena prosa tidak terikat dengan aturan-aturan sebagaimana yang ada dalam syair. Pernyataan ini berbeda dengan Thaha Husein dalam Ahmad Muzakki menyatakan sebaliknya, bahwa syair lebih dahulu dari pada prosa, karena syair terikat dengan rasa sastra dan imajinasi yang tinggi. Perkembangan ini baru berkembang dengan perkembangan setiap individu dan kelompok masyarakat. Sementara Ulama Lughah dan para kritikus sastra berpendapat bahwa keberadaan prosa lebih dulu dari pada syair. Karena prosa merupakan karya sastra yang bebas, tidak terikat (mthlaq), sedangkan syair adalah karya sastra yang terikat dengan aturan (muqayyad). 

Persengketaan itu menyebabkan seringnya terjadi perampokan dan penyerangan, memunculkan sejumlah pahlawan lokal, para pemenang dari suku-suku yang bersengketa, serta menghasilkan perang syair yang penuh kecaman di antara para penyair yang berperan sebagai juru bicara setiap pihak yang bersengketa. Meskipun selalu siap untuk berperang, orang-orang Arab Badui tidak serta merta berani mati. Jadi, mereka bukanlah manusia yang haus darah seperti yang mungkin dikesankan dari kisah-kisah yang kita baca. Ayyam al Arab merupakan cara alami untuk mengendalikan jumlah populasi orang-orang badui, yang biasanya hidup dalam kondisi semi kelaparan, dan yang telah menjadikan peperangan sebagai jatidiri dan watak sosial. Berkat Ayyam al Arab itulah pertarungan antar suku menjadi salah satu institusi sosial keagamaan dalam kehidupan mereka. 

Syair-syair Arab yang terkenal pada zaman jahiliyah adalah syair al-mualaqat yang berbentuk qasidah panjang. Sebagian sastrawan Arab mengatakan bahwa qasidah yang dikodifikasikan oleh Hammad Al-Rawiyah di sebut dengan mu’allaqat, karena ia digantung pada dinding Ka’bah. Hal ini dilakukan karena qasidah tersebut mempunyai nilai-nilai yang agung, penting, dan berharga. Para sastrawan, kririkus sastra, dan sejarawan dalam memberikan penilaian terhadap keshahihan sanad dan matanya karya sastra pada prinsipnya mengikuti jejak atau metode seperti yang dikembangkan para ahli hadis, baik yang terkait dengan sanad atau matan. 

Salah satu peperangan antara suku-suku badui yang paling awal dan paling terkenal adalah perang Basus yang terjadi pada akhir abad ke kelima antara Banu Bakr dan keluarga dekat mereka dari Banu Taghlib di Arab sebelah Timur laut. 
Secara lebih lengkap, perang-perang yang terkenal dalam legenda dan syair-syair Arab pra Islam adalah :
  1. Perang Al Basus terjadi sebelum Islam tepatnya di akhir abad kelima. Kisah legenda peperangan ini diabadikan dalam bentuk syair dengan judul al-Zayr Salim.
  2. Perang Dahis dan al Ghabra. Peperangan ini terjadi antara kabilah “Abas dan kabilah Zabyan, keduanya putra Baghidh ibn Rabats ibn Ghatfan.
  3. Yawm (Peperangan Fujjar, yaitu peperangan yang terjadi pada bulan-bulan Haram (Rajab, Zulqaidah, Zulhijjah, dan Muharram) antara kabilajh-kabilah di Hijaz.
  4. Peperangan yang lebih kecil yaitu Yawm al Khazaz yaitu perang antar kabilah Rabi’ah dan Yaman, Yawm Thakhfah perang antara kabilah al Munzir ibn Ma’ al Sama’ dan kabilah Yarbu, Yawm Uwarah I, dan Yawm Uwarah II, Yawm Zhuhr al Dahna, Yawm Kulab, Yawm Hawzah, Yawm al Liwa, dan lain-lain yang jumlahnya sangat banyak. 
Kisah-kisah al ayyam ini terus berlangsung sampai awal kebangkitan Islam. Pada prinsipnya kisah al ayyam lebih merupakan karya sastera daripada sejarah. Kisah-kisah itu diriwayatkan terutama adalah untuk menghibur dan menimbulkan rasa gembira bagi para pendengar, disamping untuk tujuan pewarisan nilai-nilai tertentu. Namun hal itu tidak perlu menyebabkan kita mengingkari bahwa kisah-kisah ini mengandung unsur-unsur sejarah yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa besar dan penting di atas. 

Secara umum, ciri-ciri khas al ayyam sebagai karya sastera yang mengandung informasi sejarah, di antaranya :
  1. Perhatian khususnya terletak pada kehidupan masyarakat kabilah. Kisah peperangan diturunkan secara lisan dalam bentuk prosa yang diselang selingi dengan syair. Syair itu mempunyai peran pokok karena memberikan dinamika dan pengaruh mendalam. Dalam perkembangan selanjutnya, syair-syair itu justru menjadi sumber sejarah (nasab) dan rujukan bahasa Arab sebelum Islam.
  2. Penggubah syair-syair yang terdapat dalam kisah-kisah al ayyam itu tidak dikenal lagi, sehingga riwayat tau kisah kabilah yang diturunkan secara lisan itu sudah menjadi milik bersama kabilah bersangkutan.
  3. Kronologi peristiwa-peristiwa peperangan sangat ruwet, karena itu tidak dapat dikatakan sebagai sebuah karya sejarah.
  4. Objektivitasnya diragukan karena ia digubah untuk tujuan memuliakan satu kabilah, merendahkan kabilah lain, dan menurunkan nilai-nilai sosial tertentu kepada pendengar. Dengan kata lain kisah al ayyam digubah justru untuk kepentingan fanatisme kabilah.
  5. Meskipun demikian, di dalamnya terdapat kebenaran faktual dan historis. 
Penting diketahui pula bahwa tradisi al ayyam masih tetap berlangsung pada awal kebangkitan Islam dan banyak mempengaruhi langgam penulisan sejarah Islam pada masa berikutnya.
Peristiwa-peristiwa perang antar kabilah-kabilah Arab itu diabadikan dalam banyak gubahan syair atau kisah yang diselang-selingi syair, yang dimaksudkan untuk tujuan membangga-banggakan kabilah terhadap kabilah-kabilah lainnya. Syair atau kisah dalam bentuk prosa pada masa Arab pra Islam diwariskan secara turun temurun melalui lisan. Syair-syair dan prosa itu pada awal Islam dihimpun secara tertulis pada abad ke 2 Hijrah (ke 8 M) dalam buku-buku, terutama sastera.
Kadang-kadang kisah peperangan itu dinamakan sesuai dengan nama lokasinya atau nama sumber air yang menyebabkan peperangan, seperti Yawm “Ayn Abagh atau perang/hari sumber air Abagh, Yawm Dzi Qar atau perang/hari Dzi Qar nama sebuah kampung dan Yawm Syi”ib Jabalah atau perang Jabalah yaitu nama sebuah kampung. Kadang-kadang hari-hari peperangan itu dinamakan juga dengan nama orang atau hewan atau apa saja yang menjadi latar belakang terjadinya peperangan itu, seperti Yawm al Basus yakni nama seorang wanita tua dan Yawm Dabis yakni nama kuda jantan atau Yawm al Ghabra’ nama unta betina.
Kisah-kisah yang berhubungan dengan peristiwa penting bangsa Arab yang terekam dalam adab al ayyam ini menyatakan kepada kita bahwa tradisi al ayyam ini sudah berlangsung sangat lama. Hal itu ditunjukkan oleh kenyataan adanya bagian-bagian sejarah tertua yang tertuang dalam Taurat juga dikisahkan oleh adab al ayyam itu. Peristiwa itu kelihatannya pada mulanya lebih merupakan cerita legenda sebelum masuk kepada kisah-kisah historis. Dengan menunjuk kepada contoh-contoh yang terdapat di dalam Taurat itu, terlihat bagaimana pentingnya makna kesusasteraan al ayyam itu bagi bangsa Arab, baik dalam bentuk syair maupun dalam bentuk prosa. Akan tetapi, dari sana terlihat pula bahwa sastera al ayyam itu tidak disandarkan pada sumber-sumber tertulis.
Meskipun al ayyam merupakan karya sastera yang mengandung informasi sejarah dan bertolak dari realitas, peristiwa-peristiwa yang direkam di dalamnya tidak sistematis, terputus-putus dan setiap potongan informasi berdiri sendiri, sama sekali mengabaikan waktu, tidak kronologis, tidak mempertimbangkan hukum kausalitas sejarah, apalagi teori-teori sejarah tertentu. Pada masa pra Islam, bangsa Arab tidak memiliki kalender yang tetap. Mereka memakai ingatan atau catatan sejarah yang berhubungan dengan kejadian penting di masa mereka. Misalnya, penduduk Hijaz dan sekitarnya, mencatat tanggal berdasarkan sebuah peristiwa al ayyam yang terkenal, seperti Perang Basus atau Perang Fujjar. Ketika peristiwa besar terulang kembali, peristiwa lama dilupakan, dan tahun kembali dimulai dari peristiwa yang baru. Oleh karena itu, menurut Muhammad Ahmad Tarhini, adanya kisah-kisah al ayyam itu tidak dapat dijadikan alasan untuk menyatakan bahwa kesadaran sejarah sudah muncul di kalangan bangsa Arab sebelum Islam. 
Tujuan historiografi Islam adalah untuk menunjukan perkembangan konsep sejarah baik di dalam pemikiran maupun di dalam pendekatan ilmiah yang dilakukannya disertai dengan uraian mengenai pertumbuhan, perkembangan, dan kemunduran bentuk-bentuk ekspresi yang dipergunakan dalam penyajian bahan-bahan sejarah. Perkembangan peradaban Islam merupakan pencerminan besar dalam sejarah. Beberapa hal yang mendorong perkembangan pesat bagi penulisan sejarah Islam antara lain adanya konsep Islam sebagai agama yang mengandung sejarah, dan adanya kesadaran sejarah yang dipupuk oleh nabi Muhammad. Perkembangan sejarah Islam terjadi dalam 2 tahap yaitu awalnya informasi disampaikan secara lisan, kemudian metode penyampaian lisan tersebut dilengkapi dengan catatan tertulis yang tidak dipublikasikan. 
Sebagai hasil kegiatan sastera, kumpulan syair dan prosa yang diselang-selingi oleh syair yang bercerita tentang perang Bangsa Arab itu mempunyai ciri tersendiri, yang berbeda dengan syair-syair yang datang setelah masa Islam. Dilihat dari sisi ilmu bahasa Arab, syair-syair yang terdapat dalam ayyam al Arab mempunyai ciri-ciri yang membedakannya dari syair-syair yang datang kemudian. Ciri-ciri itu adalah : (1) al madh (pujian) yaitu memuji-muji kepahlawanan seseorang, terutama yang berasal dari kabilah penggubah, (2) al haja” (hinaan), yaitu merendahkan kabilah musuh, (3) al ghazl (rayuan), (4) fanatisme kabilah.

PENUTUP
Satu-satunya keunggulan artistik bangsa Arab pra Islam adalah dalam bidang sastera. Pada bidang itulah mereka menuangkan ekspresi dan bakat-bakat terbaiknya. Kecintaan orang-orang Arab pra Islam terhadap syair merupakan salah satu aset kultural mereka. Dari sinilah diketahui historiografi masyarakat Arab Jahiliyah sebelum Islam.
Penggalan sastera dalam bentuk puisi yang paling tua yang berhasil ditemukan ditulis sekitar seratus tiga puluh tahun sebelum hijrah yang mengisahkan perang Basus. Dari penggalan puisi itu kita melihat adanya sebuah perkembangan panjang dalam berkespresi dan dalam mengkomunikasikan pesan lewat bahasa lisan yang akhirnya dituangkan dalam bentuk prosa.
Para penyair Islam terdahulu masih memandang bahwa karya para penyair kuno (pra Islam) sebagai model karya yang keunggulannya tak tertandingi. Karya sastera yang mengandung unsur sejarah itu terus dilestarikan dalam ingatan, ditransmisikan melalui tradisi lisan dan akhirnya dicatat dalam bentuk tulisan pada abad kedua dan ketiga Hijrah. Penelitian kritik modern membuktikan bahwa beragam perbaikan, penyuntingan dan modifikasi telah dilakukan untuk disesuaikan dengan semangat historiografi Islam.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik dan Abdurrachman Surjomihardjo (Ed), Ilmu Sejarah dan Historiografi : Arab dan Perspektif, Jakarta, PT. Gramedia, 1985

Gottschalk, Louis. Understanding History : A Primer of Historical Methode, diterjemahkan oleh Nugroho Notosusanto dengan judul Mengerti Sejarah (Cet. IV), Jakarta, UI Press, 1985. 

Hitti, K. Philip, History of The Arabs, diterjemahkan oleh R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, Jakarta : Serambi Ilmu Semesta, 2005

Muzakki, Akhmad, Kesusasteraan Arab Pengantar Teori dan Terapan. Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2006

Shiddiqie, Nourouzzama, Pengantar Sejarah Muslim. Jakarta, Nur Cahaya, 1983

Umar, A. Mu’in, Historiografi Islam. Jakarta: Rajawali Press, 1992

Yatim, Badri, Historiografi Islam. Jakarta: Logos, 1997

Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II. Jakarta : Rajawali Pers, 1995



Thursday 9 April 2015

MENGENAL ALIRAN MU'TAZILAH

Sumber Foto : alhudawattuqo.blogspot.com
Dalam sejarah, Islam adalah sebuah peradaban yang gemilang. Sebuah peradaban yang mampu membawa umatnya menjadi umat yang terbaik di antara umat-umat yang lain. Bahkan pada saat Islam maju, peradaban Eropa pada saat itu terpuruk. Hal ini dapat dicapai karena landasan peradaban Islam berdiri di atas sebuah kebenaran yang datang dari Tuhan alam semesta yakni Alquran dan al-Sunnah. Kedatangan Islam merupakan awal baru bagi dunia baru. Islam adalah sebuah cahaya yang menyinari kegelapan umat manusia.


Peradaban Islam telah meletakkan dasar istimewa, berdiri di atas dasar yang tiada duanya, menyediakan petunjuk yang melimpah ruah.[1] Namun demikian dibalik kegemilangan tersebut, ulama sebagai pewaris para Nabi berbeda pendapat tentang ajaran Islam. Tidak bisa dipungkiri bahwa setelah Nabi wafat, umat Islam berpecah belah. Hal inipun memuncak pada masa Ali sebagai khalifah. Masalah politik pada masa khalifah Ali sangatlah memanas, terlebih lagi setelah Usman terbunuh. Bahkan perang saudara pun tak terelakkan. Yang lebih parahnya lagi, masalah politik akhirnya merembes kepada masalah-masalah keagamaan. Akhirnya timbullah berbagai macam aliran-aliran teologi untuk menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi umat Islam, termasuk salah satunya adalah Muktazilah.

A. Sejarah Munculnya Aliran Muktazilah

Al-Muktazilah berasal dari akar kata اعتزل- يعتزل yang berarti memisahkan diri atau menjauhi atau menyisikan diri. Al-Muktazilah atau al-Muktazilin berarti orang-orang yang memisahkan diri atau menyisihkan diri. Menurut arti ini, semua orang yang memisahkan atau menyisihkan diri dari jama’ah disebut al-Muktazilah atau al-Muktazilin.[2] Hal serupa pula yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Harun Nasution, bahwa nama Muktazilah yang diberikan kepada mereka berasal dari kata i’tazala yang berarti mengasingkan diri. Menurut suatu teori, nama itu diberikan atas dasar ucapan Hasan al-Bashri, setelah melihat Washil memisahkan diri.[3]

Selain itu, kata Muktazilah atau al-Muktazilin juga digunakan untuk menyebut sekelompok sahabat Nabi yang menjauhkan diri dari pertikaian antara golongan pendukung Ali Bin Abi Thalib di satu pihak dan Muawiyah Bin Abi Sufyan di pihak lain.[4] Mereka menghindarkan diri dari kemungkinan tersebarnya fitnah di kalangan kaum muslim. Abu al-Fida sebagaimana dikutip oleh al-Ghurabi, menyatakan bahwa kaum muslim yang tidak mau membai’at Ali Bin Abi Thalib, padahal mereka bukan pula pendukung Utsman Bin Affan, juga disebut kaum al-Muktazilah karena mereka menjauhkan diri dari membaiat Ali Bin Abi Thalib.[5] Dengan demikian dapat dimengerti bahwa penggunaan kata “al-Muktazilah” dalam hal seperti ini adalah masalah politik dan bukan masalah agama atau aqidah.

Ada beberapa analisis tentang sejarah timbulnya aliran teologi al-Muktazilah sebagai berikut:

1. Washil Bin Atha’ memisahkan diri dari Hasan al-Bashri

Washil selalu mengikuti pengajian-pengajian Hasan al-Bashri di mesjid Bashrah. Suatu ketika, ada seorang murid mendatangi pengajian itu dan bertanya kepada Hasan al-Bashri, bagaimana pendapat anda wahai guru kami tentang orang yang melakukan dosa besar? Sebab sebagaimana diketahui kaum al-Khawarij memandang pembuat dosa besar itu kafir, sedangkan kaum al-Murjiah memandang mereka tetap mukmin. Ketika Hasan al-Bahsri sedang berfikir, Washil Bin Atha’ mengeluarkan pendapatnya sendiri dan mengatakan: “Saya berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah mukmin dan bukan kafir, tetapi berada pada posisi antara mukmin dan kafir”. Washi berdiri dan menjauhkan diri dari halaqah Hasan al-Bashri, kemudian pergi ke belahan mesjid lain untuk menegaskan kembali pendirian kepada sekelompok murid Hasan al-Bashri. Atas peristiwa tersebut, Hasan al-Bashri berkata: اعتزل عنا واصل : Washil memisahkan diri dari kita).[6] Dengan demikian, Washil dan teman-temannya disebut kaum al-Muktazilah.

Demikian pula dijelaskan oleh Yunasril Ali dalam bukunya bahwa munculnya aliran Muktazilah diawali dengan perbedaan pendapat antara seorang murid dengan gurunya dalam masalah mukmin yang melakukan dosa besar. Sang murid yang bernama Washil Bin Atha berpendapat bahwa orang tersebut bukan mukmin lagi, namun tidak pula jatuh menjadi kafir, tetapi disebut “fasik”. Sedangkan gurunya Hasan al-Bashri masih tetap menganggap orang itu adalah mukmin, hanya saja ia telah jatuh ke lebah dosa (‘ashy). Perbedaan pendapat tersebut terus membaw ketegangan, sehingga Washil memisahkan dirinya dari majelis pengajian al-Hasan di suatu sudut di Jami’ al-Bashrah. Pengajian ini semakin lama semakin meluas juga sehingga Washil pun dapat mengembangkan fahamnya kepada murid-muridnya, yang selanjutnya menjadi satu aliran tersendiri dalam agama.[7]

2. Pertikaian antara Hasan al-Bashri dan Washi serta Amr.

Versi ini dituturkan oleh al-Baghdadi, seperti yang dikutip oleh Harun Nasution bahwa Washil dan Amr Bin Ubaid Bin Bab diusir oleh Hasan al-Bahsri dari mejelisnya karena berselisih paham mengenai qadar dan kedudukan orang mukmin yang berdosa besar. Keduanya menjauhkan diri dari Hasan al-Bashri. Maka mereka dan para pengikutnya disebut kaum al-Muktazilah karena dianggap menjauhkan diri dari paham umat Islam tentang posisi orang mukmin yang berdosa besar.[8]

3. Majelis Amr Bin Ubaid Memisahkan Diri dari Hasan al-Bashri

Tasy Kubra Zadah memberi keterangan bahwa Qatadah Bin Da’amah pada suatu hari masuk mesjid Bashrah menuju majlis Amr Bin Ubaid yang semula disangkanya majelis Hasan al-Bashri, ia berdiri dan meninggalkan tempat itu sambil berkata: “Ini kaum Muktazilah.” Semenjak itu, mereka disebut kaum al-Muktazilah.[9]

4. Pendapat bahwa orang berdosa besar terpisah dari Peristiwa Mukmin     dan Kafir.

Mas’udi tidak mengaitkan pemberian nama al-Muktazilah dengan peristiwa perselisihan paha Washil dan Amr dengan Hasan al-Bashri. Mas’udi berpendapat bahwa Washil dan para pengikutnya disebut kaum al-Muktazilah karena mereka membuat orang yang berdosa besar menjadi jauh atau terpisah dari golongan mukmin dan kafir.[10]

Al-Qadhi Abdul Jabbar, seorang tokoh al-Muktazilah seperti yang dituturkan oleh al-Razi, umpamanya mengatakan bahwa kata-kata اعتزل yang terdapat dalam Alquran mengandung arti menjauhi hal-hal yang salah dan tidak benar. Dengan demikian, al-Muktazilah mengandung arti pujian.[11]

Dari penjelasan di atas terlihat bahwa penamaan al-Muktazilah tidak dapat dipastikan. Namun dapat dipahami bahwa nama al-Muktazilah diberikan kepada Washil Bin Atha’ dan kelompoknya. Pemberian nama al-Muktazilah kepada Washil Bin Atha’ dan para pengikutnya sebenarnya belum jelas pula dari siapa hal itu berasal. Ada yang mengatakan lawanlah yang memberikan nama itu kepada mereka. Namun ada pula yang menilai bahwa nama itu diberikan oleh mereka sendiri atau sekurang-kurangnya mereka setuju dengan nama itu. 

Selain nama al-Muktazilah, golongan ini juga memiliki nama lain, yaitu: Ahl al-Tauhid, al-Muwahhidah, al-Adliyah, Ahl al-Adl, al-Wa’diyah wa al-Wa’diyah, al-Munaziliyah, al-Qadariyah, al-Munazzihah dan Ahl al-Tanzih. Selain itu, nama lain yang diberikan oleh lawan mereka yaitu: al-Nufat, al-Mua’ththilah, al-Jahmiyah, Makhanis al-Khawarij, dan al-Mubtadi’ah.[12]

Orang-orang Muktazilah sendiri meskipun mereka menyebut diri Ahl al-Tauhid wa Ahl al-Adl, tidak menolak nama Muktazilah itu. Bahkan dari ucapan-ucapan pemuka Muktazilah dapat ditarik kesimpulan bahwa mereka sendirilah yang menimbulkan nama itu.[13]

B. Sekte-Sekte Aliran Muktazilah serta Tokoh-Tokohnya

1. Aliran Bashrah 

a. Washil Bin Atha‘ (80-131 H.)

Washil lahir di Madinah dan mendapatkan pendidikan dasar agama di sana, kemudian ia pindah ke Bashrah dan berguru kepada Hasan al-Bashri dan yang lainnya. Ia menjadi orang yang pandai berpidato, tegas dalam berbicara, dan kata-katanya mudah dipahami.[14] Washil adalah seorang ahli sejarah, hukum Islam, tasawuf, dan teologi.[15]

Pada mulanya ajaran Washil disampaikan oleh muridnya yang bernama Bisyr Bin Sa’id dan Abu Utsman al-Za’farani. Pemimpin Muktazilah lainnya, Abu Huzaifah al-Allaf dan Bisyr Bin al-Mu’tamar belajar kepada kedua murid Washil tersebut.[16]

Washil adalah orang pertama yang membina aliran al-Muktazilah. Ajaran –ajaran Washil dapat kita simpulkan sebagai berikut:
  1. Paham Nafy al-sifat, Washil berpendapat bahwa Allah tidak mempunyai sifat karena apabila Allah mempunyai sifat, sifat tersebut bersifat qadim, ini berarti Allah tidak Esa lagi. Peniadaan sifat ini dimaksudkan agar tidak ada ta’ddud al-qudama‘ sehingga Tuhan bukan satu lagi, tetapi banyak.[17] Harun Nasution dalam bukunya menjelaskan bahwa Muktazilah meniadakan sifat-sifat tersebut hanya untuk mengatasi paham syirik. Ini tidak berarti bahwa Washil dan para pengikutnya menolak ayat-ayat yang menggambarkan sifat-sifat Tuhan, seperti al-Rahman, al-Rahim, al-Qadir dan sebagainya, akan tetapi mereka mengganggap bahwa ini bukanlah sifat Tuhan melainkan aspek dari Dzat atau esensi Tuhan.[18]
  2. Paham al-Qadariyah. Paham ini oleh Washil diperoleh dari Ma’bad al-Juhani dan Ghailan yang menyatakan bahwa manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya.[19]
  3. Paham al-Manzilah bain al-Manzilatain, yaitu mencari jalan tengah bagi orang-orang yang berbuat dosa besar. Hasan al-Bashri memandang orang tersebut masih termasuk mukmin, tetapi ia menanggung dosa dari perbuatan yang dilakukannya, sedangkan aliran al-Khawarij al-Azariqah menganggapnya musyrik. Washil berpendapat bahwa orang tersebut tidak mukmin, tetapi fasik.[20]
  4. Washil berpendapat bahwa bai’at Abu Bakar itu adalah sah, pembunuhan Utsman adalah merupakan kekeliruan. Golongan yang terlibat dalam peperangan Shiffin melawan Ali telah melakukan dosa besar. Dalam hal ini al-Muktazilah membela Ali.[21]

b. Amr Bin Ubaid (Wafat 143 H.)

Amr adalah salah satu dari pemuka al-Muktazilah yang pertama. Ia adalah ipar dari Washil, tetapi pengetahuannya lebih rendah dari Washil sebagaimana dikatakan oleh istri Washil bahwa perbedaan di antara mereka seperti langit dan bumi. Namun demikian, amr terkenal di zamannya sebagai orang yang berakhlak mulia dan bertakwa.[22]

Amr memandang bahwa semua golongan yang terlibat dalam perang Jamal tidak dapat dinyatakan pihak mana yang bersalah, tetapi mesti ada yang bersalah. Karena menurutnya, Ali, Thalhah, Zubair, dan Aisyah adalah orang-orang yang betul-betul beriman dan berjasa bagi Islam baik dalam berjihad dengan harta benda maupun jiwa. Washil dan Amr menyerahkan masalah ini kepada Allah Swt.[23]

c. Abu Huzail al-Allaf (Wafat 235 H.)

Ia adalah pemimpin muktazilah pada zamannya, dan telah berjasa dalam memasukkan prinsip-prinsip filsafat (ilmu kalam) ke dalam ajaran al-Muktazilah. Ia hidup di masa kejayaan Dinasti Abbas dan menjadi guru khalifah al-Ma’mun. Ia telah mempelajari filsafat Yunani dan mengislamkan beberapa ajaran asing tersebut.

Ajaran-ajaran Abu Huzail sebagai berikut:
  1. Peniadaan sifat Allah. Ia berpendapat bahwa Allah Maha Mengetahui dengan pengetahuan-Nya, dan pengetahuan-Nya ini adalah Allah sendiri.[24]
  2. Kehendak Allah. Iradat ialah satu sifat perbuatan, yaitu sifat yang mengandung arti adanya hubungan antara Allah dan makhluknya. Kehendak Allah adalah cabang dari pengetahuan dan ilmu-Nya, bukan sifat yang berdiri sendiri.[25]
  3. Manusia dapat mengetahui hal-hal yang baik dan yang buruk melalui akalnya, walaupun ia belum mengetahui syariat agama.[26]
  4. Paham al-shalah wa al-ashlah. Allah menciptakan segala yang baik-baik (al-shalah) dan bermanfaat bagi manusia (al-ashlah).[27]
d. Al-Nazzam (Wafat 231 H.)

Murid Abu Huzail yang terkenal cerdik dan rasional adalah Ibrahim Bin Sayyar Bin Hani al-Nazzam. Al-Nazzam berpendapat bahwa “praduga terhadap sesuatuyang meragukan adalah pengetahuan”. Orang awam akan menerima suatu berita tanpa praduga, tetapi kaum khawas akan ragu-ragu dahulu barulah mereka menerima atau menolak. Pengetahuan juga dapat diketahui melalui eksperimen, khususna dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Al-Nazzam tidak percaya akan takhayul dan pesimisme karena ia selalu mempergunakan pikiran yang tenang dan akalnya. Dengan demikian ia berpendapat bahwa manusia tidak dapat melihat jin yang berbeda susunannya dengan manusia.[28]

Al-Nazzam juga berpendapat bahwa kemukjizatan Alquran terletak pada berita-berita gaibnya, adapun mengenai bentuk dan susunannya, manusia pun mampu membuatnya apabila Allah tidak menghalanginya.[29]

e. Al-Jahiz (Wafat 256 H.)

Nama lengkapnya adalah Amr Bin Bakar Abu Utsman al-Jahiz. Ia adalah seorang sastrawan, ahli teologi, ilmu kalam, filsafat asing, ahli geografi dan ilmu jiwa.[30] Al-Jahiz adalam murid al-Nazzam. Pendapat al-Jahiz yang terkenal adalah dalam masalah perbuatan dan pengetahuan manusia. Dalam hal perbuatan, manusia mempunyai kemampuan menciptakan perbuatannya sendiri, sedangkan pengetahuan bukanlah bahagian dari perbuatan manusia karena pengetahuan itu lahir dari indra atau melalui penalaran. Manusia dalam perbuatannya hanya menyatakan kehendaknya untuk berbuat, dan pengetahuan yang akan ia peroleh adalah perbuatan natur.[31]

f. Al-Jubba’i (Wafat 303 H.)

Pendapat al-Jubba’i yang sangat tekenal adalah pengingkarannya terhadap sifat Allah karena menurutnya Allah mengetahui, berkuasa, dan hidup melalui esensinya. Kewajiban akal adalah mengetahui yang baik dan buruk, walaupun tanpa bantuan wahyu.[32]

2. Aliran Baghdad

a. Bisyr Bin al-Mu’tamar (Wafat 210 H.)

Ia pindah dari Bashrah ke Baghdad setelah menerima ajaran dari Washil Bin Atha‘. Pendapat yang penting adalah berkenaan dengan pertanggungjawaban perbuatan manusia. Perbuatan anak kecil menurutnya tidak akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah. Selain itu, ia berpendapat bahwa orang yang melakukan perbuatan dosa besar jika mengulangi perbuatannya, maka ia akan disiksa, meskipun ia telah bertobat sebelumnya, namun jika ia bertobat dan tidak lagi mengulanginya, maka taubatnya dapat menghapus dosanya.[33]

b. Abu Musa al-Murdar (Wafat 226 H.)

Pemimpin aliran Baghdad yang sangat ekstrem adalah Abu Musa al-Murdar karena pendapatnya yang mudah mengkafirkan seseorang. Ia menyatakan bahwa orang yang mengatakan Allah dapat dilihat dengan mata kepala adalah kafir, demikian pula bagi orang yang berpendapat bahwa perbuatan manusia itu diciptakan oleh Allah. Orang yang memandang tidak jelasnya kekuasaan manusia, orang yang memberikan sifat kepada Allah seperti yang dimiliki oleh makhluknya, dan juga orang yang memandang bahwa manusia itu terpaksa dalam melakukan perbuatannya, semuanya adalah kafir.[34]

c. Sumamah Bin al-Asyras (Wafat 213 H.)

Ia telah berjasa menyebarkan paham Muktazilah. Sumamah mempunyai pengaruh yang besar tehadap al-Ma’mun karena pendapat-pendapatnya, sehingga khalifah menuruti dan melaksanakan segala yang diusulkan olehnya. Ia berpendapat bahwa orang fasik akan didera jika ia tak bertaubat.[35]

d. Ahmad Bin Abi Du’ad (Wafat 240 H.)

Ia adalah seorang yang berpendirian yang kuat, al-Ma’mun berwasiat kepada anaknya, al-Mu’tasim agar menjadikannya wazir, begitu pula al-wasiq mengambilnya sebagai qadi al-qudah.[36]

C. Pokok-Pokok Ajaran al-Mu’tazilah.

1. Al-Tauhid

Al-Tauhid adalah intisari dan merupakan ajaran terpenting dari al-Mu’tazilah. Golongan ini berusaha secara maksimal untuk menyucikan Tuhan dari segala sesuatu yang dapat mengurangi nilai ke-Maha Esaan Tuhan. Bagi al-Muktazilah, Tuha itu betul-betul Esa dan tak ada sesuatu yang dapat menimbulkan pengertia berbilangnya Tuhan ditolak oleh al-Muktazilah. Menurut al-Muktazilah yang qadim hanya Tuhan. Selain dari Tuhan tidak ada yang qadim. Satu-satunya sifat Tuhan yang tidak ada pada yang lain adalah sifat qadim itu.[37]

Penolakan terhadap sifat-sifat Tuhan dalam paham al-Muktazilah dimaksudkan adalah apabila sifat-sifat itu berdiri sendiri terpisah dari Dzat. Dengan kata lain, Dzat di satu pihak dan sifat di pihak lain. Komposisi seperti ini melahirkan dua yang qadim, yaitu dzat dan sifat. Adanya dua yang qadim berarti adanya dua Tuhan, dan ini tidak bias diterima oleh mereka. Washil Bin Atha’ menganggap bahwa orang yang menetapkan sifat itu adalah qadim, maka orang demikian menetapkan adanya dua Tuhan.[38]

Bagi al-Muktazilah, apa yang disebut sebagai sifat Tuhan bukanlah berdiri di luar Dzat, melainkan sifat itulah yang merupakan Dzat atau esensi-Nya.[39] Dengan demikian kata sifat-sifat itu adalah Dzat-Nya yang tak dapat dipisahkan.[40]

2. Al-‘Adl

Ajaran pokok al-Muktazilah yang kedua adalah al-‘adl yang berarti keadilan Tuhan. Al-‘Adl adalah konsep yang mengandung arti bahwa segala sesuatu yang dilakukan oleh Tuhan adalah baik dan Dia tidak melakukan yang buruk. Tuhan juga tidak akan meninggalkan sesuatu yang wajib dikerjakannya. Apabila ternyata ada sesuatu yang terjadi di alam ini yang tampaknya buruk, maka dibalik itu semua ada hikmah yang baik, karena Tuhan tidak menghendaki keburukan.[41]

3. Al-Wa’d wa al-Wa’id

Tuhan Maha Adil dan Maha Bijaksana. Karena itu Tuhan tidak akan menyalahi janji-Nya. Janji Tuhan berupa pahala dan ancama Tuhan berupa siksa yang pasti akan terjadi. Demikian pula penerimaan taubat nasuha dari orang-orang yang bertaubat atas kesalahan yang dilakukannya, pasti akan berlaku.[42] Prinsip yang dipegang al-Muktazilah dalam hal ini adalah “siapa yang berbuat baik akan dibalas dengan kebaikan, dan siapa yang berbuat jahat, akan disiksa dengan siksaan yang pedih.[43]

4. Al-Manzilah Bain al-Manzilatain.

Al-Manzilah bain al-Manzilatain berarti “Posisi di antara dua posisi.” Yang dimaksud di sini ialah di antara mukmin dan kafir, bukan di antara dua tempat, surga dan neraka.[44] Menurut ajaran ini, orang yang berdosa besar tidak kafir karena masih percaya kepada Tuhan dan Nabi Muhammad, tetapi tidak pula mukmin karena imannya tidak sempurna[45] Washil menyebut orang yang melakukan dosa besar itu sebagai fasik[46] dalam arti tidak mukmin dan tidak pula kafir.

5. Al-‘Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy’al al-Munkar.

Sebenarnya, kewajiban untuk melaksanakan al-amr bi al-ma ‘ruf wa al-Nahy’al al-munkar bukan hanya dimiliki oleh al-Muktazilah, tetapi juga dimiliki oleh golongan lain. Perbedaan di antara mereka Cuma dari segi pelaksanaanya. Ada yang berpendapat harus dilaksanakan dengan kekerasan, ada pula tidak cukup dengan seruan dan penjelasan saja.[47]

Pada dasarnya kaum al-Muktazilah berpendapat bahwa kegiatan itu dilakukan dengan seruan saja, namun jika memang diperlukan dapat dengan kekerasan.[48]

Berdasarkan pemaparan-pemaparan sebelumnya dalam pembahasan ini, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
  1. Secara umum, sejarah munculnya al-Muktazilah memiliki dua versi berbeda, versi pertama mengatakan bahwa munculnya Muktazilah berawal dari Perang Shiffin antara Ali dan Muawiyah. Golongan yang menghindar dari ke dua orang tersebut disebut al-Muktazilah. Versi yang kedua adalah pada saat pengajian Hasan al-Bashri di Bashrah, yang mana Washil Bin Atha’ memisahkan diri dari Hasan al-Bashri karena Washil berbeda pendapat tentang posisi seorang muslim yang berdosa besar, sehingga ia disebut al-Muktazilah. Jadi menurut penulis kata al-Muktazilah mungkin sudah digunakan pada saat Ali dan Muawiyah berselisih, namun belum berbentuk aliran, karena golongan tersebut memisahkan diri dari keduanya dalam persoalan politik, dan bukan masalah keagamaan. Aliran al-Muktazilah dalam artian aliran muncul pada versi yang kedua.
  2. Secara garis besar, sekte al-Muktazilah terbagi dua, Aliran Bashrah dan Aliran Baghdad.
  3. Tokoh-tokoh aliran Bashrah terdiri dari : Washil Bin Atha’, Amr Bin Ubaid, Abu Huzail al-Allaf, al-Nazzam, al-Jahiz, al-Jubba’I, dan tokoh-tokoh aliran Baghdad terdiri dari: Bisyr Bin al-Mu’tamar, Abu Musa al-Murdar, Sumamah Bin al-Asyras, Ahmad Bin Abi Du’ad.
  4. Paham al-Muktazilah terdiri dari masalah tauhid, al-‘Adl, al-Wa’d wa al-Wa’id, al-Manzilah bain al-Manzilatain, al-‘Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy’al al-Munkar.
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Yunasril. Perkembangan Pemikiran Falsafi Dalam Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1991.

Abdul Karim, Abu al-Fath Muhammad. al-Milal wa al-Nihal. Beirut: Dar al-Fikr, t.th.

Amin, Ahmad. Fajr al-Islam. Kairo: Maktabah al-Nahdah al-Misriyah, 1965.

Amin, Ahmad. Dhuha Islam. Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Misriyah, 1964.

Brill, E. J. First Encyclopedi of Islam. Leiden: t.p, 1987.

Dahlan, Abdul Aziz. Sejarah Perkembangan Pemikiran dalam Islam. Jakarta: Beunebi Cipta, 1987.

Al-Ghurabi, Ali Musthafa. Tarikh al-Firaq al-Islamiyah. Mesir: Maktabah wa Matba’ah Muhammad Ali Subaih, t.th.

Nasution, Harun. Islam Rasional. Bandung : Mizan, 1998.

Nasution, Harun. Teologi Islam: Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI Press, 1972.

Nurdin, M. Amin dan Afifi Fauzi Abbas. Sejarah Pemikiran Islam : Teologi Ilmu Kalam. Jakarta: Amzah, 2012.

Al-Qadhi, Abdul Jabbar . al-Muniyyat wa al-Amal, dikomentari oleh ‘Isamuddin Muhammad Ali. Iskandariyah: Dar al-Ma’rifat al-Jami’iyah, 1985.

Al-Qadhi, Abdul Jabbar. Syarh al-Ushul al-Khamsah. Kairo: Maktabah al-Wahbiyah, 1965.

Al-Sirjani, Raghib. Madza Qaddamal Muslimuna lil ‘Alam Ishaamatu al-muslimin fi al-Hadharah al-Insaniyah, terj. IKAPI, Sumbangan Peradaban Islam Pada Dunia. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2011.

Zahrah, Muhammad Abu. Tarikh Mazahib al-Islamiyah fi al-Siyasah wa al-‘Aqaid. Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1971.

[1] Raghib al-Sirjani, Madza Qaddamal Muslimuna lil ‘Alam Ishaamatu al-muslimin fi al-Hadharah al-Insaniyah, terj. IKAPI, Sumbangan Peradaban Islam Pada Dunia (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2011), h. 39. 


[2] M. Amin Nurdin dan Afifi Fauzi Abbas, Sejarah Pemikiran Islam: Teologi Ilmu Kalam (Jakarta: Amzah, 2012), h. 53. 


[3] Harun Nasution, Islam Rasional (Bandung: Mizan, 1998), h. 128. 


[4] Ali Musthafa al-Ghurabi, Tarikh al-Firaq al-Islamiyah (Mesir: Maktabah wa Matba’ah Muhammad Ali Subaih, t.th), h. 48-49. 


[5] Ibid. 


[6] Abu al-Fath Muhammad Abdul Karim Bin Abi Bakar Ahmad al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), h. 47-48. 


[7] Yunasril Ali, Perkembangan Pemikiran Falsafi Dalam Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h. 15. 


[8] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1972), h. 38. 


[9] Ibid. 


[10] Abdul Aziz Dahlan, Sejarah Perkembangan Pemikiran dalam Islam (Jakarta: Beunebi Cipta, 1987), h. 69. 

[11] Abdul Jabbar al-Qadhi, al-Muniyyat wa al-Amal, dikomentari oleh ‘Isamuddin Muhammad Ali, (Iskandariyah: Dar al-Ma’rifat al-Jami’iyah, 1985), h. 6-7. 

[12] M. Amin Nurdin dan Afifi Fauzi Abbas, op.cit., h. 57. 

[13] Harun Nasution, Islam Rasional, op.cit., h. 129 

[14] Ahmad Amin, Fajr al-Islam (Kairo: Maktabah al-Nahdah al-Misriyah, 1965), h. 296. 

[15] E. J. Brill, First Encyclopedi of Islam (Leiden: t.p, 1987), h. 1128. 


[16] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan , op.cit., h. 45. 

[17] M. Amin Nurdin dan Afifi Fauzi Abbas, op.cit., h. 66. 

[18] Harun Nasution, Islam Rasional, op.cit., h. 130-131. 

[19] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan , op.cit., h. 43. 

[20] Abdul Jabbar al-Qadhi, Syarh al-Ushul al-Khamsah (Kairo: Maktabah al-Wahbiyah, 1965), h. 697. 

[21] Ahmad Amin, Dhuha Islam (Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Misriyah, 1964), h. 79. 

[22] M. Amin Nurdin dan Afifi Fauzi Abbas, op.cit., h. 68. 

[23] Ibid. 

[24] Ibid. 

[25] Ahmad Amin, Dhuha Islam., op.cit., h. 102. 

[26] Abdul Jabbar al-Qadhi, op.cit., h. 431. 

[27] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan , op.cit., h. 47. 

[28] M. Amin Nurdin dan Afifi Fauzi Abbas, op.cit., h. 69. 

[29] Ahmad Amin, op.cit., h. 126. 

[30] E. J. Brill, op.cit., h. 1001. 

[31] M. Amin Nurdin dan Afifi Fauzi Abbas, op.cit., h. 71. 

[32] Ibid. 

[33] Ahmad Amin, op.cit., h. 145. 

[34] M. Amin Nurdin dan Afifi Fauzi Abbas, op.cit., h. 73. 

[35] Ibid. 

[36] Ibid. 

[37] Abdul Jabbar al-Qadhi, op.cit., h. 196. 

[38]Abu al-Fath Muhammad Abdul Karim Bin Abi Bakar Ahmad al-Syahrastani, op.cit., h. 46. 

[39] M. Amin Nurdin dan Afifi Fauzi Abbas, op.cit., h. 77. 

[40] Ibid., h. 78. 

[41] Ibid., h. 80. 

[42] Muhammad Abu Zahrah, Tarikh Mazahib al-Islamiyah fi al-Siyasah wa al-‘Aqaid (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1971), h. 142. 

[43] Ibid. 

[44] M. Amin Nurdin dan Afifi Fauzi Abbas, op.cit., h. 82. 

[45] Harun Nasution, op.cit., h. 55. 

[46] Ali Musthafa al-Ghurabi, op.cit., h. 93. 

[47] M. Amin Nurdin dan Afifi Fauzi Abbas, op.cit., h. 84. 

[48] Harun Nasution, op.cit., h. 56.

OLEH MUHAMMAD IQBAL AL-MAKASSARY

Monday 6 April 2015

Jihad dan Terorisme dalam Prespektif Islam


Kehadiran agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw diyakini dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin. Petunjuk-petunjuk agama mengenai berbagai kehidupan manusia, sebagaimana terdapat di dalam sumber ajaranya, alqur’an dan hadist tampak ideal dan agung. Di dalam Al-qur’an dan Hadist Allah memerintahkan berjihad untuk menegakkan syariat islam sebagaimana yang telah di lakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Namun Allah juga memerintahkan untuk saling mengasihi dan menghormati antar umat beragama.


Penduduk Indonesia saat ini sedang mengalami dilema dalam menyikapi berbagai aksi dan propaganda, aksi-aksi radikal, aksi-aksi pemboman dan terorisme. Dilema ini dirasakan oleh hampir semua lapisan tidak terkecuali oleh umat Islam baik para intelektualnya sampai kepada umat Islam yang awam.
Berbagai perbedaan pandangan dan sikap diatas adalah biasa terjadi, karena Jihad dan Terorisme saat ini masih menjadi perbincangan panjang. Sebarapa dekatkah jarak antara jihad dan jahat?, dan mengapa kata jihad begitu menyeramkan bagi sebagian orang tidak luput oleh kaum muslimin sendiri?, mestikah jihad dianggap sebagai teror dari sebuah agama? Benarkah jihad bisa dilakukan oleh siapapun, kapanpun, dimanapun dan terhadap siapapun, sedangkan dalam Al-Quran Jihad disandingkan dengan kata “Fi sabilillah” sehingga timbul pertanyaan, seperti apa jihad sebenarnya yang sesuai dengan jalan Allah tersebut.

Masalah-masalah tersebut merupakan perdebatan yang akan membutuhkan waktu yang panjang. Berdiam diri dan hanya menkritik atau mencela salah golongan saja merupakan suatu tindakan yang kurang bijak. Oleh karena itu prenyusun makalah ini mencoba untuk memberikan penjelasan untuk menjawab berbagai spekulasi dengan menyampaikan beberapa pandangan dari para ahli dan referensi mengenai Jihad dan Terorisme.

Terkait pada pembahasan tentang terorisme hingga kini menjadi perdebatan yang panjang, baik yang pro maupun yang kontra. Menurut pendapat yang mendukung tentang terorisme ini, terorisme merupakan bagian dari jihad fi sabilillah. Sedangkan disisi lain,, ada yang kontra mengenai hal ini dengan alasan bahwa terorisme bertolak belakang dengan ajaran Islam. 

Sumber Gambar : freedomfighters-da.deviantart.com
1. Pengertian Jihad

Jihad ( جهاد ) adalah berjuang dengan sungguh-sungguh menurut syariat Islam. Jihad dilaksanakan untuk menjalankan misi utama manusia yaitu menegakkan agama Allah atau menjaga agama tetap tegak, dengan cara-cara yang sesuai dengan garis perjuangan para Rasul dan Al-Quran. Jihad yang dilaksanakan Rasul adalah berdakwah agar manusia meninggalkan kemusyrikan dan kembali kepada aturan Allah, menyucikan qalbu, memberikan pengajaran kepada ummat dan mendidik manusia agar sesuai dengan tujuan penciptaan mereka yaitu menjadi khalifah Allah di bumi. 

Arti kata Jihad sering di salahpahami oleh orang yang tidak mengenal prinsip-prinsip agama Islam sebagai 'perang suci' (holy war); istilah untuk perang adalah Qital, bukan Jihad. Jihad dalam bentuk perang dilaksanakan jika terjadi fitnah yang membahayakan eksistensi ummat (antara lain berupa serangan-serangan dari luar).

Pada dasar kata arti jihad adalah "berjuang" atau "ber-usaha dengan keras" , namun bukan harus berarti "perang dalam makna "fisik". Jika sekarang jihad lebih sering diartikan sebagai "perjuangan untuk agama", itu tidak harus berarti perjuangan fisik. Jika mengartikan jihad hanya sebagai peperangan fisik dan extern, untuk membela agama, akan sangat ber-bahaya, sebab akan mudah di-manfaat-kan dan rentan terhadap fitnah.

Jika mengartikan Jihad sebagai "perjuangan membela agama" , maka lebih tepat bahwa berJihad adalah : "perjuangan menegakkan syariat Islam" . Sehingga berjihad haruslah dilakukan setiap saat, 24 jam sehari, sepanjang tahun, seumur hidup.

Jihad bisa berarti berjuang "Menyampaikan atau menjelaskan kepada orang lain mengenai kebenaran Ilahi".Kata jihad dan derivatnya (turunan kata) digunakan sebanyak 35 kali dalam al-Quran. Jihad secara leksikal bermakna “usaha memberdayakan serta mengerahkan kekuatan dan kemampuan untuk mewujudkan satu tujuan”. Akan tetapi, karena derivasinya berasal dari kata mufa’ala, biasanya ia digunakan dalam hal-hal yang didalamnya terdapat semacam korporasi, kerjasama, persyarikatan, dan pertemanan

Jihad menurut bahasa berasal dari kata jaahada, yujaahidu, mujaahadatan dan jihaadan. Jadi jihad berarti bekerja dengan sepenuh hati. Lebih lanjut Mansur (1982:1) menjelaskan di dalam Agama islam sendiri “bekerja dengan sepenuh hati” itu melalui tiga syarat yang harus ditempuh yaitu :

  1. Adanya roh suci yang menghubungkan makhluk dengan khaliknya.
  2. Roh suci itu menimbulkan tenaga dinamis aktif yang tahu berbuat seperti tempat, waktu, dan keadaan.
  3. Dimulai dengan ilmu yakin, yang dengan peningkatan iman sampai kepada haqqul yakin.
Sedangkan menurut istilah, jihad adalah sesuatu yang lebih memberatkan adanya (benarnnya) sesuatu yang tidak ada, sebab tanda-tanda dan dalil-dalil yang menyatakan atau menerangkan adanya (benarnya) sesuatu tersebut, belum sampai kepada derajat yakin.

Rasulullah pernah bersabda: “Barangsiapa yang mati dan belum pernah berjihad atau tidak meniatkan dalam dirinya untuk berjihad, ia mati pada salah satu cabang kemunafikan.” (HR. Muslim)

2. Hukum Jihad

Semua ahli hukum Syi’ah dan sebagian besar ahli hukum sunni, apalagi pada zaman modern ini berpendapat bahwa jihad hanya boleh untuk mempertahankan diri (difa’i) dan tidak dapat dilakukan untuk inisiatif penyerangan (ibtida’i). Berkanaan dengan pendapat Syi’ah Imam Dua Belas, disepanjang abad hingga sekarang, semua tokoh terkemuka kelompok ini telah menegaskan bahwa jihad, kecuali untuk membela diri, adalah haram, yaitu dilarang dalam hukum Islam selama masa ketiadaan sosok yang ma’shum, yang bebas dosa, yang dalam kontens Syi’ah adalah Nabi dan para Imam.

Mayoritas ulama seperti Hanafiah, Malikiyah, dan Hanabilah berpendapat bahwa Jihad dalam bentuk perang dilakukan dengan alasan untuk mencegah dan menahan serangan.sedangkan Imam Syafi’i berpendapat bahwa Jihad dalam bentuk perang karena bentuk kekafiran mereka.

Makna jihad yang multi tafsir, membuat banyak intelektual yang mencoba memberikan penafsiran dan landasan hukum mengenai pentingnya jihad, seperti pada hadits-hadits dibawah ini yang lebih menengahkan hadits-hadits Qital yang diambil dari kitab “Jihad” karangan Imam Hasan al-Bana dalam buku Jihad karangan Prof.Dr. Nasaruddin Umar, M.A, yaitu:

  1. Diceritakan dari Abi Hurairah ra. Sesungguhnya Nabi bersabda: “Demi dzat dimana aku berada dalam kekuasaan-Nya, tidak seorangpun terluka di jalan Allah kecuali Allah tahu orang yang terluka dijalan-Nya akan datang besok di hari kiamat dengan warna seperti warna darah dan beraroma seperti aroma minyak Misk.”
  2. Dari Abdullah bin Abi Aufa ra. Bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda: “syurga adalah berada dalam bayang-bayang pedang.” (HR. Bukhari Muslim dan Abu Daud).
  3. Hadis diceritakan dari Zaid bin Khalidal-Junha ra. Sesungguhnya Nabi bersabda: “Barang siapa telah bersiap untuk bertemput dijalan Allah, maka ia telah bertempur. Dan barang siapa meninggalkan perang dalam jalan Allah dengan kebajikan, maka ia telah berperang,” (HR. Bukhari Muslim, Abu Daud dan Tirmidzi)
  4. Diceritakan dari Sa’id al-Khudri ra. ia berkata: Nabi bersabda: “Maukah aku beritahu mengenai sebaik-baik orang dan seburuk-buruk orang? Sesungguhnya diantara sebaik orang laki-laki adalah orang yang beramal dijalan Allah diatas punggung kudanya, atau diatas punggung untanya, atau berjalan diatas kakinya sampai maut menjemput, dan diantara seburuk-buruk manusia adalah orang yang membaca kitab Allah dan tidak mengambil pelajaran sedikitpun darinya,”(HR. Nasa’i).
  5. Dari Ibnu Abbas ra. Ia berkata: Aku dengar Nabi bersabda: “ Dua mata yang tidak tersentuh oleh api neraka adalah, mata yang menangis karena takut kepada Allah, dan mata yang senantiasa dipergunakan untuk berjuang pada jalan Allah,” (HR.Tirmidzi).
  6. Dari Abi Umairah ra. Ia berkata: Nabi telah bersabda: “ Terbunuh di jalan Allah lebih aku sukai dari pada aku memiliki pengikut dari orang-orang berperadaban maupun orang-orang badui,” (HR. Dikeluarkan oleh Nasa’i).
  7. Dari Abu Hurairah ra. ia berkata: Nabi telah bersabda: “ orang yang mati tidak terdapat bekas-bekas berjihad, maka ia menghadap Allah dengan terdapat retak-retak bibirnya,” (HR. Tirmidzi dan Ibn Majah).
  8. Dari Anas RA. Ia berkata: Nabi telah bersabda: “ Barangsiapa mencari kesyahidan dengan sungguh-sungguh, Allah akan memberikannya pahalanya meski ia tidak menemukannya kesyahidan itu,” (HR. Muslim)
  9. Dari Ustman bin Affan RA. dari Nabi, beliau bersabda: “ barangsiapa yang mengikat malam dalam jalan Allah, maka malam tersebut setara dengan seribu malam beserta puasa dan salat malamnya,” (HR. Ibnu Majah)
Hadis-hadis diatas atau yang senada, itulah yang dipergunakan mereka untuk mendukung paham Jihad yang terdapat dalam kitab “Jihad” karangan Hasan al-Bana. Menurut Prof.Dr. Nasaruddin Umar,M.A (2006:145) beliau berkata bahwa hadits-hadits ini harus kita letakkan dalam kerangka Qurani yang sangat luas dan memberikan padanya makna yang plural, dengan mengakui adanya perbedaan, dan menjaga perbedaan serta mengakui keberadaan agama lain, hal itu menyebabkan diamalkannya sebagian hadits dengan meninggalkan sebagian yang lain, terlebih atas hadits-hadits yang tidak mencapai tarap Sahih.

3. Tujuan Jihad

Berikut beberapa pendapat ulama’ mengenai tujuan-tujuan jihad:
  1. ibnu taimiyah menyatakan:”maksud tujuan jihad adalah meninggikan kalimat allah dan menjadikan agama seluruhnya hanya untuk Allah”
  2. Syaikh Abdur Rohman bin Nashir Al sa’di menyatakan:”jihad ada dua jenis pertama jihad dengan tujuan untuk kebaikan dan perbaikan kaum mukminin dalam akidah, ahlaq, adab (perilaku), dan seluruh perkaraa dunia dan akhirat mereka serta pendidikan mereka baik ilmiah dan amaliah. Jenis ini adalah induk jihad dan tonggaknya serta menjadi dasar bagi jihad yang ke dua yaitu jihad dengan maksud menolak orang yang menyerang islam dan kaum muslimin dari kalangan orang kafir, munafiqin, mulhid, dan seluruh musuh-musuh agama dan menentang mereka”
  3. Syaikh abdul aziz bin baaz menyatakan:”jihad terbagi menjadi dua yaitu jihad At tholab(menyerang) dan jihad Ad daf’u(bertahan). Maksud tujuan ke duanya adalah menyampaikan agama allah dan mengajak orang mengikutinya, mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya islam dan meninggikan agama Allah di muka bumi serta menjadikan agama ini hanya untuk Allah semata.
B. TERORIS

1. Pengertian Teroris

Terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Aksi terorisme tidak tunduk pada tatacara peperangan, seperti waktu pelaksanaannya yang selalu tiba-tiba dan target korban jiwa yang acak serta seringkali merupakan warga sipil.

Istilah teroris oleh para ahli kontraterorisme dikatakan merujuk kepada para pelaku yang tidak tergabung dalam angkatan bersenjata yang dikenal, atau tidak menuruti peraturan angkatan bersenjata tersebut. Aksi terorisme juga mengandung makna bahwa serang-serangan teroris yang dilakukan tidak berperikemanusiaan dan tidak memiliki justifikasi.

Akibat makna-makna negatif yang dikandung oleh perkataan "teroris" dan "terorisme", para teroris umumnya menyebut diri mereka sebagai separatis, pejuang pembebasan, pasukan perang salib, militan, mujahidin, dan lain-lain. Tetapi dalam pembenaran dimata terrorism : "Makna sebenarnya dari jihad, mujahidin adalah jauh dari tindakan terorisme yang menyerang penduduk sipil padahal tidak terlibat dalam perang". Padahal Terorisme sendiri sering tampak dengan mengatasnamakan agama.

Terorisme tidak bisa dikategorikan sebagai Jihad, Jihad dalam bentuk perang harus jelas pihak-pihak mana saja yang terlibat dalam peperangan, seperti halnya perang yang dilakukan Nabi Muhammad yang mewakili Madinah melawan Makkah dan sekutu-sekutunya. Alasan perang tersebut terutama dipicu oleh kezaliman kaum Quraisy yang melanggar hak hidup kaum Muslimin yang berada di Makkah (termasuk perampasan harta kekayaan kaum Muslimin serta pengusiran).

Perang yang mengatasnamakan penegakan Islam namun tidak mengikuti Sunnah Rasul tidak bisa disebut Jihad. Sunnah Rasul untuk penegakkan Islam bermula dari dakwah tanpa kekerasan, hijrah ke wilayah yang aman dan menerima dakwah Rasul, kemudian mengaktualisasikan suatu masyarakat Islami (Ummah) yang bertujuan menegakkan Kekuasaan Allah di muka bumi.
Terorisme di dunia bukanlah merupakan hal baru, namun menjadi aktual terutama sejak terjadinya peristiwa World Trade Center (WTC) di New York, Amerika Serikat pada tanggal 11 September 2001, dikenal sebagai “September Kelabu”, yang memakan 3000 korban. Serangan dilakukan melalui udara, tidak menggunakan pesawat tempur, melainkan menggunakan pesawat komersil milik perusahaan Amerika sendiri, sehingga tidak tertangkap oleh radar Amerika Serikat. Tiga pesawat komersil milik Amerika Serikat dibajak, dua diantaranya ditabrakkan ke menara kembar Twin Towers World Trade Centre dan gedung Pentagon.

Dalam Islam pengertian teroris dijabarkan olehAsy Syaikh Sholih Bin Ghonim As-SadlanFatwa Syeikh Sholih Bin Ghonim As-SadlanDalam wawancara Harian “Asy-Syarq Al-Ausath” dgn Syeikh Sholih bin Ghonim As-Sadlan mengenai masalah irhab beliau berkata : “Bila kita hendak berbicara tentang irhab sudah selayaknya untuk meletakkan gambaran tentang makna irhab. secara istilah.Al-Irhab secara bahasa adalah melakukan sesuatu yang menyebabkan kepanikan ketakutan membuat gelisah orang-orang yang aman menyebabkan kegoncangan dalam kehidupan dan pekerjaan mereka dan menghentikan aktivitas mereka serta menimbulkan gangguan dalam keamanan kehidupan dan interaksi.Adapun maknanya dalam syari’at adalah segala sesuatu yang menyebabkan goncangan keamanan pertumpahan darah kerusakan harta atau pelampauan batas dgn berbagai bentuknya. Semua ini dinamakan irhab
Selain itu, ada beberapa definisi tentang terorisme antara lain:

  1. Menurut Konvensi PBB tahun 1937, terorisme adalah segala bentuk tindak kejahatan yang ditujukan langsung kepada negara dengan maksud menciptakan bentuk teror terhadap orang-orang tertentu atau kelompok orang atau masyarakat luas.
  2. Menurut US Federal Bureau of Investigation (FBI), terorisme adalah penggunaan kekuasaan tidak sah atau kekerasan atas seseorang atau harta untuk mengintimidasi sebuah pemerintahan, penduduk sipil dan elemen-elemennya untuk mencapai tujuan-tujuan sosial atau politik.
  3. Menurut Muhammad Mustofa, terorisme adalah tindakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang ditujukan kepada sasaran secara acak (tidak ada hubungan langsung dengan pelaku) yang berakibat pada kerusakan, kematian, ketakutan, ketidakpastian dan keputusasaan massal.
Jadi kesimpulannya dari beberapa definisi diatas, terorisme merupakan suatu cara untuk mencapai tujuan tertentu dengan menggunakan ancaman kekerasan guna menimbulkan rasa takut dan menjatuhkan korban sebanyak-banyaknya secara tidak beraturan.

2. Hukum Teroris

Hukum melakukan teror adalah haram, baik dilakukan oleh perorangan, kelompok, maupun negara. Berdasarkan firman Allah Swt:

”…Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia seluruhnya…”, (QS. Al Maidah [05]: 32)
Rasulullah Saw juga bersabda:
”Tidak halal bagi seorang muslim menakut-nakuti orang muslim lainnya” (HR. Abu Dawud)
Dari penjelasan di atas tentang pengertian teror dan ayat Al-Quran yang melarang manusia membuat kerusakan dimuka bumi serta Hadis Nabi yang melarang menakuti-menakuti dapat kita simpulkan, bahwa tidak ada kaitan antara perilaku/aktivitas terorisme dengan jihad. Terorisme bukanlah jihad, jihad juga bukan terorisme.

Sehingga memang jihad yang paling urgen saat itu adalah mengembalikan hak kemerdekaan rakyat dalam berpolitik dengan menumbangkan penjajahan yang dilakukan oleh kaum penindas, sementara jihad yang tepat untuk kita perjuangkan hari ini adalah pembebasan negeri dan rakyat dari cengkraman subordinasi ekonomi, keterbelakangan, keterpurukan, serta bagaimana bisa menyikapi arus globalisasi yang berkembang dengan pesatnya. Sehingga motto jihad masa lalu adalah “siapa yang mau berbaiat padaku untuk mati dijalan Allah”, maka untuk motto jihad saat ini adalah “ siapa yang mau berbaiat padaku untuk hidup dijalan Allah.

3. Sejarah Teroris

Berkembangnya terorisme ditandai dengan bentuk fanatisme aliran kepercayaan yang kemudian berubah menjadi pembunuhan, baik yang dilakukan secara perorangan maupun oleh suatu kelompok terhadap penguasa yang dianggap sebagai tiran. Pembunuhan terhadap individu ini sudah dapat dikatakan sebagai bentuk murni dari Terorisme dengan mengacu pada sejarah Terorisme modern. Walaupun istilah Teror danTerorisme baru mulai populer abad ke-18, namun fenomena yang ditujukannya bukanlah baru. Menurut Grant Wardlaw dalam buku Political Terrorism (1982), manifestasi Terorisme sistematis muncul sebelum Revolusi Perancis, tetapi baru mencolok sejak abad ke-19. Dalam suplemen kamus yang dikeluarkan Akademi Perancis tahun 1798, terorisme lebih diartikan sebagai sistem rezim terror.

Kata Terorisme berasal dari Bahasa Perancis ”le terreur” yang semula dipergunakan untuk menyebut tindakan pemerintah dari hasil Revolusi Perancis yang mempergunakan kekerasan secara brutal dan berlebihan dengan cara memenggal 40.000 orang yang dituduh melakukan kegiatan anti pemerintah.
Selanjutnya kata Terorisme dipergunakan untuk menyebut gerakan kekerasan anti pemerintah di Rusia. 

Dengan demikian kata Terorisme sejak awal dipergunakan untuk menyebut tindakan kekerasan oleh pemerintah maupun kegiatan yang anti pemerintah. Terorisme muncul pada akhir abad ke-19 dan menjelang terjadinya Perang Dunia-I, terjadi hampir di seluruh belahan dunia. Sejarah mencatat pada tahun 1890-an aksi terorisme di Armenia melawan pemerintah Turki, yang berakhir dengan bencana pembunuhan masal terhadap warga Armenia pada Perang Dunia I. Pada dekade tersebut, aksi terorisme diidentikkan sebagai bagian dari gerakan sayap kiri yang berbasiskan ideologi karena Mereka percaya bahwa terorisme adalah cara yang paling efektif untuk melakukan revolusi politik maupun sosial, dengan cara membunuh orang-orang yang berpengaruh.

Kemudian setelah pasca Perang Dunia II, dunia tidak pernah mengenal “damai”. Berbagai pergolakan berkembang dan berlangsung secara berkelanjutan. Konfrontasi negara adikuasa yang meluas menjadi konflik Timur – Barat dan menyeret beberapa negara Dunia Ketiga ke dalamnya menyebabkan timbulnya konflik Utara – Selatan sehinggadapat membuat dunia bergejolak. Ketidakstabilan dunia dan rasa frustasi dari Negara Berkembang dalam menuntut hak-hak yang dianggap fundamental dan membuka peluang untuk muncul dan meluasnya terorisme. Fenomena terorisme meningkat sejak permulaan dasa warsa 70-an. Terorisme dan teror telah berkembang dalam sengketa ideologi, fanatisme agama, perjuangan kemerdekaan, dan pemberontakan. Bahkan juga terorisme oleh pemerintah dianggap sebagai cara dan sarana menegakkan kekuasaannya. Terorisme gaya baru mengandung beberapa karakteristik;
  1. Ada maksimalisasi korban yang sangat mengerikan.
  2. Keinginan untuk mendapatkan liputan di media massa secara internasional dengan cepat.
  3. Tidak pernah ada yang membuat klaim terhadap terorisme yang sudah dilakukan.
  4. Serangan terorisme itu tidak pernah bisa diduga karena sasarannya sama dengan luasnya seluruh permukaan bumi.
  5. Komponen Teroris Dalam Al-Qur’an Ayat-ayat yang terkait dengan terorisme mengacu pada Surat Al-Baqarah ayat 205, 218, 251, dan 279, Surat Ali-Imran ayat 110 dan 156, Surat An-Nisa ayat 66, 71, 91-92 dan 95, Surat Al-Maidah ayat 32, Surat Al-Anfaal ayat 57, 61, dan 73-74, Surat At-Taubah ayat 13, 20, 38-39, 41 dan 48, Surat Hud ayat 116, Surat Al-Hujurat ayat 15, Surat Muhammad ayat 4, Surat Al-Qashash ayat 77. Tetapi disini penulis akan mengkaji lebih mendalam terhadap Surat Al-Baqarah ayat 205, dan 218, Surat Al-Maidah ayat 32, dan Surat At-Taubah ayat 13.

1. Surat Al-Baqarah ayat 205:
Artinya: dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk Mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan. (QS. Al-Baqarah: 205)

Tafsir ayat
Golongan manusia semacam ini, apabila ia telah berlalu dan meninggalkan orang yang ditipunya itu, ia melaksanakan tujuannya yang sebenarnya. Ia melakukan kerusakan-kerusakan diatas bumi: tanaman-tanaman dan buah-buahan dirusak dan binatang ternak dibinasakan, apalagi kalau mereka sedang berkuasa, dimana-mana mereka berbuat sesuka hatinya, wanita-wanita dinodai. Tidak ada tempat yang aman dari perbuatan jahatnya. Fitnah dimana-mana mengancam, masyarakat merasa ketakutan, dan rumah tangga serta anak-anak berantakan karena tindakannya yang salah.

Analisis
Sifat-sifat yang semacam ini, tidak disukai Allah SWT sedikitpun. Dia murka terhadap orang-orang yang berbuat demikian, begitu juga terhadap orang-orang yang perbuatannya kotor, dan menjijikan. Allah itu memandang kepada ikhlasnya hati dan maslahatnya sesuatu perbuatan bukan memandang dari cantik rupanya dan menarik kata-kata.

2. Surat Al-Baqarah ayat 218:
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Baqarah: 218).

Tafsir ayat
Ayat ini menerangkan bagi orang-orang yang kuat imannya mengahadapi segala cobaan dan ujian. Begitu juga balasan bagi orang-orang yang hijrah meninggalkan negerinya yang dirasakan tidak aman, ke negeri yang aman untuk menegakkan agama Allah sepertinya hijrahnya Nabi Muhammad SAW bersama pengikut-pengikutnya dari Mekah ke Madinah, dan balasan bagi orang-orang yang berjihad fi sabilillah, baik dengan hartanya maupun jiwanya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang.

Analisis
Mereka itu semuanya mengharapkan rahmat Allah dan ampunan-Nya, dan sudah sepantasnya mereka memperoleh kemenangan dan kebahagiaan sebagai balasan atas perjuangan mereka.

Surat Al-Maidah ayat 32:

Artinya: Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia seluruhnya. dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. dan Sesungguhnya telah datang kepada mereka Rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi. (QS. Al- Maidah : 32)

Tafsir ayat
Pada ayat ini diterangkan suatu ketentuan bahwa membunuh seseorang manusia berarti membunuh manusia seluruhnya, sebagaimana memelihara kehidupan seorang manusia berarti memelihara manusia seluruhnya. Ayat ini menunjukan keharusan adanya kesatuan umat dan kewajiban mereka masing-masing terhadap yang lain yaitu harus menjaga keselamatan hidup dan kehidupan bersama dan menjauhi hal yang membahayakan orang lain. Hal ini dapat dirasakan karena kebutuhan setiap manusia tidak dapat dipenuhinya sendiri sehingga mereka sangat memerlukan bantuan terutama hal yang menyangkut kepentingan umum. Sesungguhnya orang-orang Bani Israel telah demikian banyak kedatangan Para Rasul dengan membawa keterangan yang jelas, tetapi banyak diantara kalian itu melampaui batas ketentuan dengan berbuat kerusakan di muka bumi. Akhirnya mereka kehilangan kehormatan , kekayaan, dan kekuasaan yang kesemuanya itu pernah miliki masa lampau.

Analisis
Berdasarkan dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa Islam melarang membunuh seseorang, malah Islam mengajarkan untuk memelihara kehidupan manusia. Selain itu, Islam tidak mengajarkan kekerasan dan terorisme itu bertolak belakang dengan ajaran Islam.

Surat At-Taubah ayat 13:
Artinya: Mengapakah kamu tidak memerangi orang-orang yang merusak sumpah (janjinya), Padahal mereka telah keras kemauannya untuk mengusir Rasul dan merekalah yang pertama mulai memerangi kamu?. Mengapakah kamu takut kepada mereka Padahal Allah-lah yang berhak untuk kamu takuti, jika kamu benar-benar orang yang beriman. (QS. At-Taubah: 13)

Tafsir ayat
Pada ayat ini Allah menggalakkan semangat orang-orang mukmin supaya melaksanakan dengan sungguh perintah memerangi kaum musyrikin. Allah menyebutkan tiga sebab utama yang membuktikan bahwa orang-orang musyrik tidak bisa didiamkan dan dibiarkan saja, yaitu:
  1. Mereka melanggar perjanjian Hudaibiyah yang telah mereka adakan dengan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya untuk tidak berperang selama 10 tahun dan saling tidak boleh mengganggu antara kedua belah pihak dan sekutunya. Tetapi tidak lama berselang setelah perjanjian itu diadakan, maka pihak musyrikin Quraisy telah membantu sekutunya dari Bani Bakar untuk menganiaya suku Khuza’ah dari sekutu Nabi yang tinggal di Mekah.
  2. Sebelum Nabi Muhammad hijrah ke Madinah, kaum musyrikin telah berusaha keras untuk mengusir Nabi Muhammad dari Mekah, memenjarakan atau membunuhnya dengan mempergunakan kekuatan dari suku Quraisy agar keluarga Nabi Muhammad sukar mengadakan penuntutan bela.
  3. merekalah yang memulai lebih dahulu memerangi kaum mukminin di Badar, Uhud, Khandaq, dan lain-lainnya.
Setelah Allah menerangkan tiga sebab utama tersebut, maka Allah memerintahkan agar jangan takut terhadap orang-orang musyrikin itu karena Allah-lah yang lebih berhak untuk ditakuti jika mereka benar-benar beriman.

Analisis
Allah menyebutkan tiga sebab utama yang membuktikan bahwa orang-orang musyrik tidak bisa didiamkan dan dibiarkan saja. Orang-orang yang benar-benar beriman kepada Allah dan Rasul-Nya harus berani dan berkorban demi kepentingan agama dan kebenaran tanpa dibayangi oleh suatu keraguan yang menimbulkan ketakutan dan kemunduran yang sangat merugikan mereka sendiri.

5. Teroris dalam Perspektif Al-Qur’an

Islam sebagai agama rahmat bagi seluruh alam tidak mendasarkan diri kepada pemaksaan apalagi kekerasan. Islam sebagai agama damai menganjurkan pemeluknya untuk berdakwah dengan penuh hikmah dan argumentasi yang logis. Sebagaimana diterangkan dalam firman-Nya dalam Surat Al-Baqarah ayat 256 yang artinya: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut (syaitan, baik dalam bentuk jin maupun manusia) dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. (QS. Al-Baqarah:256).

Selain itu, Agama Islam yang suci ini dibawa oleh Rasulullah yang mempunyai kepribadian yang suci pula, serta memiliki akhlaqul karimah dan sifat-sifat yang terpuji, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat Al-Imran ayat 159:

Artinya: Maka disebabkan rahmat dari Allah lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. [QS. Ali Imran : 159]

Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW memiliki sifat lemah-lembut serta hati beliau terasa amat berat atas penderitaan yang menimpa pada manusia, maka beliau berusaha keras untuk membebaskan dan mengangkat penderitaan yang dirasakan oleh manusia tersebut. Rasulullah SAW bersabda:

Artinya: Kejahatan dan perbuatan jahat, keduanya sama sekali bukan ajaran Islam. Dan orang yang paling baik Islamnya ialah yang paling baik akhlaqnya. [HR. Ahmad juz 7, hal. 410, no. 20874].

Setelah kita cermati kembali tentang Islam sekaligus peribadi Rasulullah SAW yang diamanati oleh Allah SWT untuk menyebarkan Islam ke seluruh umat manusia, maka jelas sekali bahwa terorisme sama sekali tidak dikenal, bahkan bertolak belakang dengan ajaran Islam. Terorisme dengan menggunakan kekerasan, kekejaman serta kebengisan dan cara-cara lain untuk menimbulkan rasa takut dan ngeri pada manusia untuk mencapai tujuan. Sedangkan Islam dengan lemah-lembut, santun, membawa khabar gembira tidak menjadikan manusia takut dan lari, serta membawa kepada kemudahan, tidak menimbulkan kesusahan, dan tidak ada paksaan. Memang kedua hal tersebut mempunyai tujuan yang berbeda. terorisme biasanya digunakan untuk tujuan politik, dan kekuasaan. Sedangkan Islam bertujuan untuk menuntun manusia dalam mencapai kebahagiaan hidupnya dengan dilandasi rasa kasih sayang hanya semata-mata mengharap ridha Allah SWT. Jadi dengan demikian, jelas dan teranglah bahwa terorisme dalam pandangan agama Islam tidak dibenarkan, dan jauh dari tuntunan Islam.

C. JIHAD YANG SEBENARNYA

Allah ta’ala berfirman, “Orang-orang yang sungguh-sungguh berjuang/berjihad di jalan Kami niscaya Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang berbuat baik/ihsan.” (QS. al-’Ankabut: 69). al-Baghawi menyebutkan riwayat dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma, beliau berkata tentang tafsiran ayat ini, “Yaitu orang-orang yang berjuang dengan sungguh-sungguh di dalam ketaatan kepada Kami niscaya Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan untuk meraih pahala dari Kami.” (Ma’alim at-Tanzil [6/256] as-Syamilah) Ketahuilah saudaraku, sesungguhnya seorang mujahid sejati

D. ISLAM AGAMA PERDAMAIAN

Islam selalu mengajak orang kepada perdamaian dan kerukunan. Islam tidak pernah mengizinkan seseorang untuk memerangi siapa pun yang tidak bersalah. Bahkan dalam konsep Islam, eksistensi sebuah agama diakui meski bukan untuk dibenarkan. Sehingga ide-ide untuk mengatakan bahwa semua agama adalah benar agar tidak terjadi bentrok sesama pemeluk agama, bukanlah ide yang bisa diterima dalam pandangan Islam. Karena konsep dasar Islam adalah mengakui eksistensi agama apapun serta menghormati para pemeluknya. Dan juga memberikan kebebasan untuk menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya. Tetapi tanpa harus mengobral aqidah dengan mengatakan bahwa semua agama itu sama atau semua agama itu benar.

Sejarah telah membuktikan kepada kita bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang mampu menghimpun semua pemeluk agama dalam sebuah masyarakat yang rukun, toleran dan hidup berdampingan dengan damai. Semua itu selama para pemeluk agama itu tidak melancarkan serangan dan permusuhan dengan umat Islam.

Namun dalam kondisi dimana umat Islam diperangi, maka Islam pun mengenal peperangan melawan kebatilan dengan melakukan kontak senjata. Dengan catatan bahwa peperangan dalam Islam adalah satu-satunya jenis peperangan yang paling beradab yang ada di muka bumi. Kalau pun harus terjadi kontak senjata melawan orang kafir, maka harus jelas dulu perjanjian dan syarat-syarat yang diajukan.

Selain itu jauh sebelum perang diizinkan, harus ada dakwah kepada mereka terlebih dahulu, baik dengan lisan mapun tulisan. Sehingga tidak terjadi perang sebelum mereka tahu persis apa itu Islam dan tahu bahwa agam mereka itu salah. Kalau pun mereka mengangkat senjata, mereka lakukan bukan karena tidak tahu apa itu Islam, tapi karena gengsi dan takabbur saja, sementara dalam hati mereka tidak bisa menolak kebenaran Islam.

E. REAKSI YANG KELIRU

Sebagian orang yang telah termakan oleh pemberitaan media massa yang tidak tepat menganggap bahwa lelaki yang berjenggot dan bercelana di atas mata kaki atau perempuan yang mengenakan cadar adalah bagian dari jaringan teroris. Padahal, anggapan semacam itu adalah anggapan yang kekanak-kanakan.
Semata-mata memiliki jenggot atau mengenakan cadar jelas tidak ada hubungannya dengan terorisme.

Tidakkah kita ingat bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kaum lelaki untuk memelihara jenggot? Nabi pun menegaskan bahwa mengenakan pakaian yang melebihi mata kaki adalah terlarang, sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Bukhari. Tidakkah kita juga ingat bahwa para isteri Nabi pun mengenakan cadar? Apakah dengan penampilan seperti itu kemudian kita mengatakan bahwa Nabi dan isteri-isterinya terlibat dalam jaringan teroris?! Tentu saja anggapan yang demikian itu tadi adalah sesuatu yang terlalu berlebihan, bahkan mengada-ada.

KESIMPULAN

Jihad adalah berjuang dengan sungguh-sungguh menurut syariat Islam. Jihad dilaksanakan untuk menjalankan misi utama manusia yaitu menegakkan agama Allah atau menjaga agama tetap tegak, dengan cara-cara yang sesuai dengan garis perjuangan para Rasul dan Al-Quran.
Sedangkan Terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat.Terorisme tidak bisa dikategorikan sebagai Jihad, Jihad dalam bentuk perang harus jelas pihak-pihak mana saja yang terlibat dalam peperangan, Alasan perang tersebut terutama dipicu oleh kezaliman kaum Quraisy yang melanggar hak hidup kaum Muslimin
Islam selalu mengajak orang kepada perdamaian dan kerukunan. Islam tidak pernah mengizinkan seseorang untuk memerangi siapa pun yang tidak bersalah. Namun dalam kondisi dimana umat Islam diperangi, maka Islam pun mengenal peperangan melawan kebatilan dengan melakukan kontak senjata, dengan syrat harus ada dakwah kepada mereka terlebih dahulu, baik dengan lisan mapun tulisan.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Abidin Hammad dan Suhailah Zain, ”Bagaimana Mengatasi Terorisme”, (Jakarta: Grafindo, 2005).
H. Abdul Zulfidar Akaha, LC, ”Terorisme Konspirasi Anti Islam”, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005).
Khafi, Syahdatul, ”Terorisme Ditengah Arus Global Demokrasi”, (Jakarta: 2006)
Suradji, Adjie, ”Terorisme” ( Jakarta: Grafindo, 2006).
Muladi, “Demokrasi, HAM dan Reformasi Hukum di Indonesia”, (Jakarta: The Habibie Center, 2002).
Muhammad Mustofa, “Memahami Terorisme: SuatuPerspektif Kriminolog, Jurnal KriminologiIndonesia FISIP UI, (Jakarta: 2002).
Majmu’ fatawa 15/170
Wujub Al ta’awun baina al muslimin-merupakan bagian dari al Majmu’ah Al kaamilah jilid 5/186
Majmu’ fatawa wamaqaalat mutanawi’ah 18/70
Rikard, Bangun, “Indonesia di Peta Terorisme Global”,
Universitas Islam Indonesia, (Al-Qur’an dan Tafsirnya, jilid I).
Loudewijk. F. Paulus, Terorisme”,
Muladi, “Demokrasi HAM dan Reformasi Hukum di Indonesia”, Op.cit.,hal:172.
Muhammad Mustofa, “Memahami Terorisme: SuatuPerspektif Kriminolog, Jurnal KriminologiIndonesia FISIP UI, (Jakarta: 2002).
Rikard, Bangun, “Indonesia di Peta Terorisme Global”,
Muhammad, Mustofa, “Memahami Terorisme:, SuatuPerspektif Kriminolog, Jurnal KriminologiIndonesia FISIP UI, (Jakarta: 2002).
Abdul, Zulfidar Akaha, LC, “Terorisme Konspirasi Anti-Islam”, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), hal: 160.
Suradji, Adjie, “Terorisme”, (Jakarta: Grafindo, 2006), hal:45.
Universitas Islam Indonesia, (Al-Qur’an dan Tafsirnya, jilid I, juz 1-2-3), hal 340-342.
Universitas Islam Indonesia, (Al-Qur’an dan Tafsirnya, jilid I, juz 1-2-3), hal 363-364.
Universitas Islam Indonesia, (Al-Qur’an dan Tafsirnya, jilid I, juz 4-5-6), hal 132.
Universitas Islam Indonesia, (Al-Qur’an dan Tafsirnya, jilid I, juz 9-10-11), hal 86-87.
HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html