Islam Di Domba Hitamkan

Ditengah kekacauan,Fitnah, teror dan kekerasan,umat Islam tetap tabah berdiri mempertahankan keyakinannya, dengan memperkenalkan agamanya dengan cara-cara damai dan menyejukkan.

Akhirnya Sunni dan Syiah Bersatu

Bukankah mereka mengimani tuhan yang sama, Mencintai Nabi dan Rosul yang sama, memiliki Kitab suci yang sama, Mempunyai Syahadah yang sama ?, Kemudian mereka saling fitnah dan menumpahkan darah.

Pengaruh Peradaban Islam Terhadap dunia Modern

Pada masa lampau, peradaba Islam memberikan sumbangan besar terhadap kemajuan dunia Barat, kini Islam dan Barat saling menghunus pedang, Islam sebagai Tokoh Kegelapan, sedangkan Barat sebagai Tokoh Peradaban.

Jihad Dan Terorisme dalam Prespektif Islam

Siapa mereka yang mengatakan terorisme merupakan bagian dari jihad fi sabilillah ?? sedangkan teror sangat ditentang oleh teks rujukan utama umat Islam.

Lagenda Assasin "Penebar Maut Lembah Alamut"

Asyhasin(assassin) Antara Lagenda dan Mitos, Siapa Sangka Assassin yang terkenal sebagai Game, adalah Kisah Nyata Pasukan Khusus sekte pecahan Syiah Ismailiyah.

Monday 24 November 2014

K.H. HASYIM ASY’ARI Pembaharu pemikiran Islam Indonesia)


A. Pendahuluan

Ketokahan K. H. Hasyim Asy’ari sering kali diceburkan dalam persoalan sosial politik. Hal ini dapat dipahami bahwa sebagian dari sejarah kehidupan K. H. Hasyim Asy’ari juga dihabiskan untuk merebut kedaulatan bangsa Indonesia melawan hegemoni kolonial Belanda dan Jepang. Lebih-lebih organisasi yang didirikannya, Nahdatul Ulama, pada masa itu cukup aktif melakukan usaha-usaha sosial politik.

Akan tetapi, K. H. Hasyim Asy’ari sejatinya merupakan tokoh yang piawai dalam gerakan dan pemikiran kependidikan. Sebagaimana dapat disaksikan, bahwa K. H. Hasyim Asy’ari mau tiak mau bisa dikategorikan sebagai generasi awal yang mengembangkan sistem pendidikan pesantren, terutama di Jawa.[1]

B. Biografi

Nama lengkap K. H. Hasyim Asy’ari adalah Muhammad Hasyim Asy’ari ibn ‘Abd Al-Wahid. Ia lahir di Gedang, sebuah desa di daerah Jombang, Jawa Timur, pada hari selasa kliwon 24 Dzu Al-Qa’idah 1287 H. bertepatan dengan tanggal 14 Februari 1871.[2] Asal-usul dan keturunan K.H M.Hasyim Asy’ari tidak dapat dipisahkan dari riwayat kerajaan Majapahit dan kerajaan Islam Demak. Silsilah keturunannya, sebagaimana diterangkan oleh K.H. A.Wahab Hasbullah menunjukkan bahwa leluhurnya yang tertinggi ialah neneknya yang kedua yaitu Brawijaya VI. Ada yang mengatakan bahwa Brawijaya VI adalah Kartawijaya atau Damarwulan dari perkawinannya dengan Puteri Champa lahirlah Lembu Peteng (Brawijaya VII).[3]

Menurut penuturan ibunya, tanda kecerdasan dan ketokohan Hasyim Asy’ari sudah tampak saat ia masih berada dalam kandungan. Di samping masa kandung yang lebih lama dari umumnya kandungan, ibunya juga pernah bermimpi melihat bulan jatuh dari langit ke dalam kandungannya. Mimpi tersebut kiranya bukanlah isapan jempol dan kembang tidur belaka, sebab ternyata tercatat dalam sejarah, bahwa pada usianya yang masih sangat muda, 13 tahun, Hasyim Asy’ari sudah berani menjadi guru pengganti (badal) di pesantren untuk mengajar santri-santri yang tidak jarang lebih tua dari umurnya sendiri.[4]

Bakat kepemimpinan Kiai Hasyim sudah tampak sejak masa kanak-kanak. Ketika bermain dengan teman-teman sebayanya, Hasyim kecil selalu menjadi penengah. Jika melihat temannya melanggar aturan permainan, ia akan menegurnya. Dia membuat temannya senang bermain, karena sifatnya yang suka menolong dan melindungi sesama.[5] Semasa hidupnya, ia mendapatkan pendidikan dari ayahnya sendiri, terutama pendidikan di bidang ilmu-ilmu Al-Qur’an dan literatur agama lainnya. Setelah itu, ia menjelajah menuntut ilmu ke berbagai pondok pesantren, terutama di Jawa, yang meliputi Shone, Siwilan Buduran, Langitan Tuban, Demangan Bangkalan, dan Sidoarjo, ternyata K. H. Hasyim Asy’ari merasa terkesan untuk terus melanjutkan studinya. Ia berguru kepada K. H. Ya’kub yang merupaka kiai di pesantren tersebut. Kiai Ya’kub lambat laun merasakan kebaikan dan ketulusan Hasyim Asy’ari dalam perilaku kesehariannya, sehingga kemudian ia menjodohkannya dengan putrinya, Khadijah. Tepat pada usia 21 tahun, tahun 1892, Hasyim Asy’ari melangsungkan pernikahan dengan putri K. H. Ya’kub tersebut.

Setelah nikah, K. H. Hasyim Asy’ari bersama istrinya segera melakukan ibadah haji. Sekembalinya dari tanah suci, mertua K. H. Hasyim Asy’ari menganjurkannya menuntut ilmu di Mekkah. Dimungkinkan, hal ini didorong oleh tradisi pada saat itu bahwa seorang ulama belumlah dikatakan cukup ilmunya jika belum mengaji di Mekkah selama bertahun-tahun. Di tempat itu, K. H. Hasyim Asy’ari mempelajari berbagai macam disiplin ilmu, diantaranya adalah ilmu fiqh Syafi’iyah dan ilmu Hadits, terutama literatur Shahih Bukhari dan Muslim.

Disaat K. H. Hasyim Asy’ari bersemangat belajar, tepatnya ketika telah menetap 7 bulan di Mekkah, istrinya meninggal dunia pada waktu melahirkan anaknya yang pertama sehingga bayinya pun tidak terselamatkan. Walaupun demikian, hal ini tidak mematahkan semangat belajarnya untuk menuntut ilmu. K. H. Hasyim Asy’ari semasa tinggal di Mekkah berguru kepada Syekh Ahmad Amin Al-Athar, Sayyid Sultan ibn Hasyim, Sayyid Ahmad ibn Hasan Al-Athar, Syekh Sayyid Yamani, Sayyid Alawi ibn Ahmad As-Saqqaf, Sayyid Abbas Maliki, Sayid ‘Abd Allah Al-Zawawi. Syekh Shaleh Bafadhal, dan Syekh Sultan Hasyim Dagastani.

Ia tinggal di Mekkah selama 7 tahun. Dan pada tahun 1900 M. atau 1314 H. K. H. Hasyim Asy’ari pulang ke kampung halamannya. Di tempat itu ia membuka pengajian keagamaan yang dalam waktu yang relatif singkat menjadi terkenal di wilayah Jawa.[6] Tanggal 31 Januari 1926, bersama dengan tokoh-tokoh Islam tradisional, Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul Ulama, yang berarti kebangkitan ulama. Organisasi ini pun berkembang dan banyak anggotanya. Pengaruh Kiai Hasyim Asy’ari pun semakin besar dengan mendirikan organisasi NU, bersama teman-temannya. Itu dibuktikan dengan dukungan dari ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

K. H. Hasyim Asy’ari dikenal sebagai salah seorang pendiri NU (Nahdatul Ulama). Pada masa pendudukan Jepang, Hasyim Asy’ari pernah ditahan selama 6 bulan, karena dianggap menentang penjajahan Jepang di Indonesia. Karena tuduhan itu tidak terbukti, ia dibebaskan dari tahanan, atas jasa-jasanya dalam perjuangan melawan penjajah Belanda dan Jepang, Hasyim Asy’ari dianugerahi gelar pahlawan kemerdekaan nasional oleh Presiden RI.

Pada tahun 1926 K. H. Hasyim Asy’ari mendirikan partai Nahdatul Ulama (NU). Sejak didirikan sampai tahun 1947 Rais ‘Am (ketua umum) dijabat oleh K. H. Hasyim Asy’ari. Ia pernah menjabat sebagai kepala Kantor Urusan Agama pada zaman pendudukan Jepang untuk wilayah Jawa dan Madura. K. H. Hasyim Asy’ari wafat pada tahun 1947 di Tebuireng, Jombang Jawa Timur. Hampir seluruh waktunya diabdikan untuk kepentingan agama dan pendidikan.[7]

Pemikiran K. H. Hasyim Asy’ari tentang Pendidikan

Tepat pada tanggal 26 Rabi’ Al-Awwal 120 H. bertepatan 6 Februari 1906 M., Hasyim Asy’ari mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng. Oleh karena kegigihannya dan keikhlasannya dalam menyosialisakan ilmu pengetahuan, dalam beberapa tahun kemudian pesantren relatif ramai dan terkenal.[8]

Menurut Abu Bakar Aceh yang dikutip oleh editor buku Rais ‘Am Nahdlatul Ulama hal.153 bahwa KH. Hasyim Asy’ari mengusulkan sistem pengajaran di pesantren diganti dari sistem bandongan menjadi sistem tutorial yang sistematis dengan tujuan untuk mengembangkan inisiatif dan kepribadian para santri. Namun hal itu ditolak oleh ayahnya, Asy’ari dengan alasan akan menimbulkan konflik di kalangan kiai senior.

Pada tahun 1916 – 1934 Hasyim Asy’ari membuka sistem pengajaran berjenjang. Ada tujuh jenjang kelas dan dibagi menjadi ke dalam dua tingkatan. Tahun pertama dan kedua dinamakan siffir awal dan siffir tsani yaitu masa persiapan untuk memasuki masa lima tahun jenjang berikutnya. Pada siffir awal dan siffir tsani itu diajarka bahasa Arab sebagai landasan penting pembedah khazanah ilmu pengetahuan Islam. Kurikulum madrasah mulai ditambah dengan pelajaran-pelajaran bahasa Indonesia (Melayu), matematika dan ilmu bumi, dan tahun 1926 ditambah lagi dengan mata pelajaran bahasa Belanda dan sejarah.

Kiai Hasyim terkenal sebagai ulama yang mampu melakukan penyaringan secara ketat terhadap sekian banyak tradisi keagamaan yang dianggapnya tidak memiliki dasar-dasar dalam hadis dan ia sangat teliti dalam mengamati perkembangan tradisi ketarekatan di pulau Jawa, yang nilai-nilainya telah menyimpang dari kebenaran ajaran Islam. Menurut hasyim Asy’ari, ia tetap mempertahankan ajaran-ajaran mazhab untuk menafsirkan al-Qur’an dan hadis dan pentingnya praktek tarikat.[9]

Sebagaimana diketahui dalam sejarah pendidikan Islam tradisional, khususnya di Jawa, peranan kiai Hasyim yang kemudian terkenal dengan sebutan Hadrat Asy-Syaikh (guru besar di lingkungan pesantren), sangat besar dalam pembentukan kader-kader ulama pimpinan pesantren. Banyak pesantren besar yang terkenal, terutama, yang berkembang di Jawa Timur dan Jawa Tengah, dikembangkan oleh para kiai hasil didikan kiai Hasyim.[10]

Beliau menyebutkan bahwa tujuan utama ilmu pengetahan adalah mengamalkan. Hal itu dimaksudkan agar ilmu yang dimiliki menghasilkan manfaat sebagai bekal untuk kehidupan akhirat kelak. Terdapat dua hal yang harus diperhatikan dalam menuntut ilmu, yaitu : pertama, bagi murid hendaknya berniat suci dalam menuntut ilmu, jangan sekali-kali berniat untuk hal-hal duniawi dan jangan melecehkannya atau menyepelikannya. Kedua, bagi guru dalam mengajarkan ilmu hendaknya meluruskan niatnya terlebih dahulu, tidak mengharapkan materi semata. Agaknya pemikiran beliau tentang hal tersebut di atas, dipengaruhi oleh pandangannya akan masalah sufisme (tasawuf), yaitu salah satu persyaratan bagi siapa saja yang mengikuti jalan sufi menurut beliau adalah “niat yang baik dan lurus”.[11]

Salah satu karya monumental K. H. Hasyim Asy’ari yang berbicara tentang pendidikan adalah kitab Adab Al-‘Alim wa Al-Muta’allum wa ma Yataqaff Al-Mu’allimin fi Maqamat Ta’limih yang dicetak pertama kali pada tahun 1415 H. sebagaimana umumnya kitab kuning, pembahasan terhadap masalah pendidikan lebih ditekankan pada masalah pendidikan etika. Meski demikian tidak menafikan beberapa aspek pendidikan lainnya. Keahliannya dalam bidang hadits ikut pula mewarnai isi kitab tersebut.[12] Belajar menurut Hasyim Asy’ari merupakan ibadah untuk mencari ridha Allah, yang mengantarkan manusia untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Karenanya belajar harus diniatkan untuk mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai Islam, bukan hanya untuk sekedar menghilangkan kebodohan. Pendidikan hendaknya mampu menghantarkan umat manusia menuju kemaslahatan, menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Pendidikan hendaknya mampu mengembangkan serta melestarikan nilai-nilai kebajikan dan norma-norma Islam kepada generasi penerus umat, dan penerus bangsa. Umat Islam harus maju dan jangan mau dibodohi oleh orang lain, umat Islam harus berjalan sesuai dengan nilai dan norma-norma Islam.[13]

Catatan yang menarik dan perlu dikedepankan dalam membahas pemikiran dan pandangan yang ditawarkan oleh Hasyim Asy’ari adalah etika dalam pendidikan, dimana guru harus membiasakan diri menulis, mengarang dan meringkas, yang pada masanya jarang sekali dijumpai. Dan hal ini beliau buktikan dengan banyaknya kitab hasil karangan atau tulisan beliau. Betapa majunya pemikiran Hasyim Asy’ari dibanding tokoh-tokoh lain pada zamannya, bahkan beberapa tahun sesudahnya. Dan pemikiran ini ditumbuh serta diangkat kembali oleh pemikir pendidik zaman sekarang ini, yaitu Harun Nasution, yang mengatakan hendaknya para dosen-dosen di Perguruan Tinggi Islam khususnya agar membiasakan diri untuk menulis.[14]

Selain mumpuni dalam bidang agama, Kiai Hasyim juga ahli dalam mengatur kurikulum pesantren, mengatur strategi pengajaran, memutuskan persoalan-persoalan actual kemasyarakatan, dan mengarang kitab. Pada tahun 1919, ketika masayarakat sedang dilanda informasi tentang koperasi sebagai bentuk kerjasama ekonomi, Kiai Hasyim tidak berdiam diri. Beliau aktif bermuamalah serta mencari solusi alternatif bagi pengembangan ekonomi umat, dengan berdasarkan pada kitab-kitab Islam klasik. Beliau membentuk badan semacam koperasi yang bernama Syirkatul Inan li Murabathati Ahli al-Tujjar.[15]

Menurut Hasyim Asya’ri ada beberapa hal yang harus dimiliki oleh seorang pendidik Islam, beberapa hal tersebut adalah adab atau etika bagi alim / para guru. Paling tidak menurut Hasyim Asy’ari ada dua puluh etika yang harus dipunyai oleh guru ataupun calon guru.

Pertama, selalu berusah mendekatkan diri kepada Allah dalam keadaan apapun, bagaimanapun dan dimanapun.

Kedua, mempunyai rasa takut kepada Allah, takut atau khouf dalam keadaan apapun baik dalam gerak, diam, perkataan maupun dalam perbuatan.

Ketiga, mempunyai sikap tenang dalam segala hal.

Keempat, berhati-hati atau wara dalam perkataan,maupun dalam perbuatan.

Kelima, tawadhu, tawadhu adalah dalam pengertian tidak sombong, dapat juga dikatakan rendah hati.

Keenam, khusyu dalam segala ibadahnya.

Ketujuh, selalu berpedoman kepada hokum Allah dalam segala hal.

kedelapan, tidak menggunakan ilmunya hanya untuk tujuan duniawi semata.

kesembilan, tidak rendah diri dihadapan pemuja dunia.

Kesepuluh, zuhud, dalam segala hal.

Kesebelas, menghindarai pekerjaan yang menjatuhkan martabatnya.

Kedua belas, menghindari tempat –tempat yang dapat menimbulkan maksiat.

ketigabelas, selalu menghidupkan syiar islam.

Keempat belas, menegakkan sunnah Rasul.

Kelimabelas, menjaga hal- hal yang sangat di anjurkan.

Keenam belas, bergaul dengan sesame manusia secara ramah,

ketujuhbelas, menyucikan jiwa. Kedelapan belas selalu berusaha mempertajam ilmunya.

Delapan belas, terbuka untuk umum, baik saran maupun kritik.

Sembilan belas,selalu mengambil ilmu dari orang lain tentang ilmu yang tidak diketahuinya.

Duapuluh, meluangkan waktu untuk menulis atau mengarang buku.

Dengan memiliki dua puluh etika tersebut diharapkan para guru menjadi pendidikan yang baik, pendidik yang mampu menjadi teladan anak didik. Di sisi lain, ketika pendidik mempunyai etika, maka yang terdidik pun akan menjadi anak didik yang beretika juga, karena keteladanan mempunyai peran penting dalam mendidik akhlak anak. Untuk itu perlu kiranya para calon pendidik maupun yang telh menjadi pendidik untuk memiliki etika tersebut.[16]

Pemikiran K. H. Hasyim Asy’ari tentang Sosial
Aktivitas K. H. Hasyim Asy’ari di bidang sosial lainnya adalah mendirikan organisasi Nahdatul Ulama, bersama dengan ulama besar di Jawa lainnya, seperti Syekh ‘Abd Al-Wahhab dan Syekh Bishri Syansuri.[17] Mengenai orientasi pemahaman dan pemikiran keislaman, kiai Hasyim sangat dipengaruhi oleh salah seorang guru utamanya: Syekh Mahfuz At-Tarmisi yang banyak menganut tradisi Syekh Nawawi. Selama belajar di Mekkah, sebenarnya, ia pun mengenal ide-ide pembaharuan Muhammad Abduh. Tetapi ia cenderung tidak menyetujui pikiran-pikiran Abduh, terutama dalam hal kebebasan berpikir dan pengabaian Mazhab. Menurutnya kembali langsung ke Al-Qur’an dan As-Sunnah tanpa melalui hasil-hasil Ijtihad para imam mazhab adalah tidak mungkin. Menafsirkan Al-Qur’an dan Hadits secara langsung, tanpa mempelajari kitab-kitab para ulama besar dan imam mazhab, hanya akan menghasilkan pemahaman yang keliru tentang ajaran Islam. Latar belakang orientasi pemahaman keislaman seperti inilah yang membuat kiai Hasyim menjadi salah seorang pendiri dan pemimpin utama Nadhatul Ulama. Tidak kurang dari 21 tahun ia menjadi Rais ‘Am, ketua umum Nadhatul Ulama (1926-1947).[18]

KH Hasyim Asy’ari menganjurkan kepada para kiai dan guru-guru agama agar memiliki perhatian serius kepada masalah ekonomi untuk kemaslahatan; “kenapa tidak kalian dirikan saja satu badan usaha, yang setiap wilayah ada satu badan usaha yang mandiri.” Demikian pernyataan KH Hasyim Asy’ari ketika mendeklarasikan berdirinya Nahdlah at-Tujjar. Berangkat dari kesadaran itulah Nahdlah at-Tujjar didirikan, dengan satu badan usaha yang ketika itu disebut Syirkah al-Inan, yang kemudian hari ketika NU berdiri wadah ekonomi tersebut berganti nama dengan Syirkah al-Mu’awanah.[19]

Ketika organisasi sosial keagamaan masyumi dijadikan partai politik pada 1945, Kiai Hasyim terpilih sebagai ketua umum. Setahun kemudian, 7 September 1947 (1367 H), K. H. Muhammad Hasyim Asy’ari, yang bergelar Hadrat Asy-Syaikh wafat. Berdasarkan keputusan Presiden No. 29/1964, ia diakui sebagai seorang pahlawan kemerdekaan nasional, suatu bukti bahwa ia bukan saja tokoh utama agama, tetapi juga sebagai tokoh nasional.

Pada tahun 1930 dalam muktamar NU ke-3 kiai Hasyim selaku Rais Akbar menyampaikan pokok-pokok pikiran mengenai organisasi NU. Pokok-pokok pikiran inilah yang kemudian dikenal sebagai Qanun Asasi Jamiah NU (undang-undang dasar jamiah NU).[20]

Karya K. H. Hasyim Asy’ari

Disamping aktif mengajar, berdakwah, dan berjuang, Kiai Hasyim juga penulis yang produktif. Beliau meluangkan waktu untuk menulis pada pagi hari, antara pukul 10.00 sampai menjelang dzuhur. Waktu ini merupakan waktu longgar yang biasa digunakan untuk membaca kitab, menulis, juga menerima tamu. Karya-karya Kiai Hasyim banyak yang merupakan jawaban atas berbagai problematika masyarakat. Misalnya, ketika umat Islam banyak yang belum faham persoalan tauhid atau aqidah, Kiai Hasyim lalu menyusun kitab tentang aqidah, diantaranya Al-Qalaid fi Bayani ma Yajib min al-Aqaid, Ar-Risalah al-Tauhidiyah, Risalah Ahli Sunnah Wa al-Jama’ah, Al-Risalah fi al-Tasawwuf, dan lain sebagainya. Kiai Hasyim juga sering menjadi kolumnis di majalah-majalah, seperti Majalah Nahdhatul Ulama’, Panji Masyarakat, dan Swara Nahdhotoel Oelama’. Biasanya tulisan Kiai Hasyim berisi jawaban-jawaban atas masalah-masalah fiqhiyyah yang ditanyakan banyak orang, seperti hukum memakai dasi, hukum mengajari tulisan kepada kaum wanita, hukum rokok, dll. Selain membahas tentang masail fiqhiyah, Kiai Hasyim juga mengeluarkan fatwa dan nasehat kepada kaum muslimin, seperti al-Mawaidz, doa-doa untuk kalangan Nahdhiyyin, keutamaan bercocok tanam, anjuran menegakkan keadilan, dan lain-lain.[21]

Sebagai seorang intelektual, K. H. Hasyim Asy’ari telah menyumbangkan banyak hal yang berharga bagi pengembangan peradaban, diantaranya adalah sejumlah literatur yang berhasil ditulisnya. Karya-karya tulis K. H. Hasyim Asy’ari yang terkenal adalah sebagai berikut: (1) Adab Al-‘Alim wa Al-Muta’allimin, (2) Ziyadat Ta’liqat, (3) Al-Tanbihat Al-Wajibat Liman, (4) Al-Risalat Al-Jami’at, (5) An-Nur Al-Mubin fi Mahabbah Sayyid Al-Mursalin, (6) Hasyiyah ‘Ala Fath Al-Rahman bi Syarh Risalat Al-Wali Ruslan li Syekh Al-Isam Zakariya Al-Anshari, (7) Al-Durr Al-Muntatsirah fi Al-Masail Al-Tis’i Asyrat, (8) Al-Tibyan Al-Nahy’an Muqathi’ah Al-Ikhwan, (9) Al-Risalat Al-Tauhidiyah, (10) Al-Qalaid fi Bayan ma Yajib min Al-‘Aqaid.

Kitab ada Al-‘Alim wa Al-Muta’allimin merupakan kitab yang berisi tentang konsep pendidikan. Kitab ini selesai disusun hari Ahad pada tanggal 22 Jumadi Al-Tsani tahun 1343. K. H. Hasyim Asy’ari menulis kitab ini didasari oleh kesadaran akan perlunya literatur yang membahas tentang etika (adab) dalam mencari ilmu pengetahuan. Menuntut ilmu merupakan pekerjaan agama yang sangat luhur sehingga orang yang mencarinya harus memperlihatkan etika-etika yang luhur pula.[22]

Analisis 
Mengajar merupakan profesi yang di tekuni oleh K. H. Hasyim Asy’ari sejak muda. Sejak masih di pondok pesantren ia sering dipercayakan mengajar santri-santri yang baru masuk oleh gurunya. Bahkan, ketika di Mekkah ia pun sudah mengajar. Sepulang dari Mekkah ia membantu ayahnya mengajar di pondok ayahnya, pondok Nggedang. Kemudian ia mendirikan pondok pesantren sendiri di desa Tebuireng, Jombang. Hasyim Asy’ari sengaja memilih lokasi yang penduduknya dikenal banyak penjudi, perampok, dan pemabuk. Mulanya pilihan itu ditentang oleh sahabat dan sanak keluarganya. Akan tetapi, Hasyim Asy’ari meyakinkan bahwa mereka bahwa dakwah Islam harus lebih banyak ditujukan kepada masyarakat yang jauh dari kehidupan beragama. Demikianlah pada tahun 1899 di Tebuireng berdiri sebuah pondok yang sangat sederhana. Bertahun-tahun kiai Hasyim membina pesantrennya, menghadapi berbagai rintangan dan hambatan, terutama dari masyarakat sekelilingnya. Akhirnya, pesantren itu tumbuh dan berkembang dengan pesat.

Kesimpulan

Dari pemaparan di atas, dapatlah diketahui bahwa ketokohan kiai Hasyim Asy’ari dikalangan masyarakat dan organisasi Islam tradisional bukan saja sangat sentral tetapi juga menjadi tipe utama seorang pemimpin, sebagaimana diketahui dalam sejarah pendidikan tradisional, khususnya di Jawa. Peranan kiai Hasyim Asy’ari yang kemudian dikenal dengan sebutan Hadrat Asy-Syaikh (guru besar di lingkungan pesantren).

Peranan kiai Hasyim Asy’ari sangat besar dalam pembentukan kader-kader ulama pemimpin pesantren, terutama yang berkembang di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Dalam bidang organisasi keagamaan, ia pun aktif mengoganisir perjuangan politik melawan kolonial untuk menggerakkan masa, dalam upaya menentang dominasi politik Belanda.

Dan pada tanggal 7 September 1947 (1367 H), K. H. Hasyim Asy’ari, yang bergelar Hadrat Asy-Syaikh wafat. Berdasarkan keputusan Presiden No. 29/1964, ia diakui sebagai seorang pahlawan kemerdekaan nasional, suatu bukti bahwa ia bukan saja tokoh utama agama, tetapi juga sebagai tokoh nasional.


Daftar Pustaka

[1] A. Mujib, Dkk. Entelektualisme Pesantren, PT. Diva Pustaka. Jakarta. 2004 h. 319


[2] Ibid, h. 319


[3] httpwapedia.mobimsHasyim_Asy%27ari.htm


[4] httphabibah-kolis.blogspot.com200801hasyim-asyari.html


[5] httppesantren.tebuireng.netindex.phppilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=30.htm


[6] A. Mujib, Dkk, Op Cit. h. 319-320


[7] Ensiklopedia Islam, Departemen Agama, Jakarta 1993. h. 138-139


[8] A. Mujib, Dkk, Op Cit. h. 320


[9]httplppbi-fiba.blogspot.com200903komparasi-pemikiran-kh-ahmad-dahlan-dan.html


[10] Ensiklopedia Islam, Departemen Pendidikan Nasional. (PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Jakarta. 2003). h. 309


[11] httphabibah-kolis.blogspot.com200801hasyim-asyari.html


[12] Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, (PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. 2005). h. 218


[13] httphabibah-kolis.blogspot.com200801hasyim-asyari.html


[14] httphabibah-kolis.blogspot.com200801hasyim-asyari.html


[15] httppesantren.tebuireng.netindex.phppilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=30.htm


[16] httpriwayat.wordpress.com20080707etika-pendidik-islam-menurut-kh-hasyim-asy%E2%80%99ari.htm


[17] A. Mujib, Dkk, Op Cit. h. 320


[18] Ensiklopedia Islam, Op Cit. h. 309




[19] Nuril M Nasir Alumnus Ma’had al-Islamiyyah as-Salafiyyah asy-Syafi’iyah, Pamekasan, Madura httpopiniindonesia.comopinip=content&id=155&edx=TWVuZ2dlcmFra2FuIEVrb25vbWkgV2FyZ2EgTlU=.htm


[20] Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam. Ensiklopedia Islam, (Cet IV. PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Jakarta 1997). h. 102


[21]httppesantren.tebuireng.netindex.phppilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=30.htm


[22] A. Mujib, Dkk, Op Cit. h. 321 


Oleh: 

NUR FADILAH 

KIKI ERWINDA

Sunday 23 November 2014

K.H. ABDURRAHMAN WAHID

Latar belakang

Dalam banyak kesan, Gus Dur mungkin bisa digambarkan dengan kata-kata yang singkat saja, kompleks dan nyeleh. Oleh karena itu, pribadi Gus Dur sulit untuk dipahami, terutama alam satu sudut tafsir atau kata itu, tergantu RI, sempat muncul anekdot tentang tiga mesteri Tuhan, bahwa ada tiga misteri Tuhan yang tidak bisa dipahami atau diketahui manusia sebelum hal itu terjadi, yakni jodoh, kematian, dan Gs Dur. Bagi orang awam dan para pengikutnya, bahkan bagi ilmuan yang misterius, tak terduga, dan weruh sak durunge winarah (bisa mengetahui sesuatu sesudah itu terjadi). Sebuah kata-kata jawa yang memiliki makna sangat dalam, sarat dengan hikmah dan misteri.

Yang paling penting untuk emahami Gus Dur adalah selalu mencoba mencari apa yang tersirat. Pada umumnya, tidaklah bijak untuk meremehkan Gus Dur karena pada dirinya itu selalu terdapat sesuatu yang lebih daripada apa yang kasatmata. Namun demikian, adalah juga tidak bijasana untuk memahami apa yang di ucapkannya secara tealu harfiah. Sering kali, apa yang di ucapkan Gus Dur bukanlah apa yang diketahui, melainkan lebih merupakan apa yang diinginkannya sebagai sesuatu yang benar. Anggapan atas dia, dia akan menjadi seorang optimis yang tak terkalahkan. Seburuk-buruknya, dia akan terlihat sebagai orang yang kurang tulus atau suka menipu, atau kedua-duanya.[1]

A. Riwayat hidup

Abdurrahman Wahid lahir dengan nama Abdurrahman ad-Dhakhil, dari maknanya, “ad-Dhakhil” berarti “Sang Penakluk”, sebuah nama yang diambil K.H. A. Wahid Hasyim, orang tuanya, dari seorang perintis Dinasti Umayyah yang telah membawa kejayaan Islam di Spanyol selama berabad-abad. Pada proses perjalanan waktu, kata “ad-Dhakhil” tidak cukup dikenal dan diganti nama “Wahid”, Abdurrahman Wahid, dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. “Gus” adalah panggilan untuk seorang anak kiyai. “Gus” sebenarnya kependekan dari ucapan “bagus”, sebuah harapan seorang ayah kepada anaknya agar menjadi bagus.Selain itu “Gus” adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak kiyai yang berati “abang” atau “mas”.

Gus Dur (panggilan akrab dari K.H. Abdurrahman Wahid) lahir pada tanggal 4 Agustus 1940 di Denanyar Jombang, anak pertama dari enam bersaudara (lima saudara Gus Dur secara berurutan adalah `Aisyah “Ny. Hj. `Aisyah Hamid Baidlawi”, Sholahuddin “Ir. H. Sholahuddin Wahid”, Umar “dr. H. Umar Wahid”, Khodijah dan Hasyim “H.M. Hasyim Wahid”). Ayahnya , K.H. Abdul Wahid Hasyim, adalah putra dari K.H. Hasyim Asy`ari, pendiri pondok pesantren Tebuireng dan pendiri Jam`iyah Nahdlatul Ulama (NU), organisasi terbesar di Indonesia, bahkan barangkali di Dunia. Ibunya, Ny Hj Sholehah, juga putri tokoh besar NU, K.H. Bisri Syansuri, pendiri pondok pesantren Denanyar Jombang dan Rois `Aam syuriah PBNU.Dengan demikian secara genetik, Gus Dur memang keturunan darah biru dan menurut istilah Clifford Geertz, ia tergolong santri dan priyayi sekaligus.

Gus Dur, baik dari darah ayah maupun ibu adalah sosok yang menempati strata sosial tinggi dalam masyarakat Indonesia, ia adalah cucu dari dua Ulama terkemuka NU dan tokoh besar bangsa Indonesia. Lebih dari itu Gus Dur adalah keturunan Brawijaya IV (Lembu Peteng) lewat dua jalur, yakni Ki Ageng Tarub I dan Joko Tingkir. Meskipun demikian, perjalanan kehidupan Gus Dur tidak mencerminkan kehidupan seorang Ningrat. Dia berproses dan hidup sebagaimana layaknya masyarakat pada umumnya.[1]

Gus Dur pada masa kecil belajar di pondok pesantren Tebuireng Jombang, dalam usia lima tahun, ia sudah lancar membaca al-Qur`an. Gurunya waktu itu adalah kakeknya sendiri, K.H. Hasyim Asy`ari. Gus Dur kecil tidak seperti kebanyakan anak-anak seusianya, ia tidak tinggal bersama ayahnya, akan tetapi ikut bersama kakeknya. Semasa di rumah kakeknya itulah Gus Dur kecil mulai mengenal dunia politik, dari orang-orang yang tiap hari hilir mudik di rumah kakeknya. Pada akhirnya, Gus Dur harus pindah ke Jakarta, ketika ayahnya diangkat sebagai Menteri Agama Republik Indonesia, yakni pada tahun 1950, lima tahun setelah Indonesia Merdeka.Gus Dur pun menyelesaikan sekolah dasarnya di Jakarta. Untuk menambah pengetahuannya Gus Dur pun dikirim untuk mengikuti kursus-kursus pilihan yang ditentukan oleh orang tuanya, seperti les privat bahasa Belanda dan oleh Willem Buhl gurunya disuguhi selingan musik-musik klasik barat.Buku, bola, catur, musik dan film adalah lima hal yang tak pernah lepas dari sosok Gus Dur ketika masih kecil.

Pada saat kecil Gus Dur pernah bercita-cita menjadi tentara, masuk AKABRI. Namun, cita-cita itu kandas, sebab pada usia 14 tahun, ia harus memakai kaca mata minus. Selang kandasnya cita-citanya, membuat Gus Dur semakin semangat “gila” dalam bergelut dengan Buku, bola, catur, musik dan film. Pada akhirnya Gus Dur yang ketika itu masih kecil merumuskan kembali cita-citanya yang sangat sederhana, menjadi Guru ! “ saya hanya ingin menjadi guru bangsa, seperti Ki Hajar, Ki Mangunsarkoro, Kakek saya Kiai Hasyim, dan sebagainya,” ucapnya suatu ketika. Setelah menamatkan dari sekolah dasar di Jakarta, Gus Dur melanjutkan ke SMEP di Tanah Abang Jakarta, akan tetapi setelah setahun, dia dipindahkan ke SMEP Gowongan Yogyakarta. Ibunya berharap, kepindahannya ke Yogya selain agar ia bisa melepaskan diri dari lingkungan lama di Jakarta, juga kembali pada latar belakangnya sebagai anak kiai: mendekati pondok pesantren.[2]

Memang sebenarnya Gus Dur sudah mengalami pendidikan santri atau pesantren dan religiusitas dari kedua orang tuanya. Ia belajar bahasa Arab ketika kecil dan mempunyai cukup pengetahuan untuk dapat membaca Al-Qur`an dengan suara keras. Setelah beranjak remaja pun ia belajar bahasa Arab secara sistematik. Ketika Gus Dur sekolah di SMEP Yogya, diusahakan pula dan diatur bagaimana ia dapat pergi ke pesantren Al-Munawwir di Krapyak tiga kali. Di sini ia belajar bahasa Arab dengan K.H. Ali Ma`sum. Di Kota Jogjalah minat baca dan kehausan Gus Dur akan ilmu pengetahuan muncul dan semakin melesat jauh. Kota Jogja merupakan kota pelajar, dengan kehadiran universitas dan banyak toko buku, atau buku-buku yang dimiliki kenalan gurunya atau gurunya sendiri, ataupun milik sang bapak kos. Dari sinilah Gus Dur mengalami masa mencintai buku dan sering mengunjungi toko buku secara rutin. Di kota ini pula Gus dur menyukai pertunjukan wayang kulit. Selain itu kebiasaan lamanya yang suka sekali menonton film menjadi rutinitas yang tak pernah ditinggalkannya. Setelah menamatkan sekolah di SMEP Yogya pada tahun 1957, Gus Dur pindah ke Magelang di Pesantren Tegalrejo di bawah asuhan kiai karismatik, kiai Khudori, dari sinilah Gus Dur mempelajari secara penuh dunia pesantren berserta keilmuannya. Pada saat yang sama, selama dua tahun Gus Dur juga belajar paro waktu di Pesantren Denanyar Jombang di bawah bimbingan kakeknya dari pihak ibu, Kiai Bisri Syansuri.setelah itu Gus Dur melanjutkan ke pondok Pesantren Tambak Beras, di bawah asuhan Kiai Wahab Hasbullah, dari pesantren ini hubungan Gus Dur dan Kiai Wahab Hasbullah sangat kental, sehingga Ia mendapat dorongan untuk berproses dalam tahap belajar mengajar, bahkan Gus Dur pernah menjadi kepala madrasah Modern. Dari pesantren inilah minat Gus Dur mulai bertambah, tidak hanya pada studi ke-Islaman, tetapi tertarik pada studi tradisi sufistik dan mistik dari kebudayaan dan tradisi Islam. Inilah awal dari kebiasaan Gus Dur yang sering berkunjung ke makam-makam para wali, kiai, dan ulama pada tengah malam. Pada akhirnya Gus Dur menyelesaikan studinya yang ia geluti di Indonesia dan selanjutnya melanjutkan proses belajarnya ke luar negeri. Sebagaimana dari keturunannya, Gus Dur memang dari keluarga yang haus akan ilmu pengetahuan, jadi wajar bila Gus Dur harus melanjutkan studinya sampai ke luar negeri. Awal belajar di luar negeri, pada tahun 1964-1969. Gus Dur masuk di Departement of Higher Islamic and Arabic Studies, Al-Azhar Islamic University, Cairo Mesir.

Perjalanan proses belajar Gus Dur di Mesir tidak semulus dan semudah dijalankan, karena memang harus terganjal dengan pengurusan terhadap pengakuan ijazahnya dan mata kuliah yang sudah dipelajarinya di Indonesia. Gus Dur merasa banyak hal dalam pelajaran yang diulang ketika belajar di Mesir, sehingga ia begitu enggan melakukan studi formalnya dan sering tidak masuk kuliah. Di sinilah ia sering menyalurkan hobinya mengikuti pertandingan sepak bola, membaca di perpustakaan-perpustakaan yang besar, menonton film-film Perancis, dan ikut serta dalam diskusi di kedai-kedai kopi yang sangat menarik.Dengan kondisi yang sedemikian, rupanya membuat Gus Dur agak kecewa dan bosan, sehingga ia memutuskan untuk keluar dari Al-Azhar dan pindah ke Baghdad. Kemudian pada tahun 1970-1972 Gus Dur pindah kuliah di Fakultas Sastra Universitas Baghdad Irak.Di sinilah Gus Dur mempunyai jadwal yang cukup ketat, mulai dari memfokuskan diri pada riset mengenai sejarah Islam di Indonesia dan ia pun diberikan akses yang mudah untuk pelaksanan tahapan risetnya. Ia juga mempelajari bahasa Perancis di kota ini, yang tidak dilupakannya adalah sering melakukan ziarah kubur ke makam-makam wali kelas dunia dan mempertajam ilmu tasawufnya. Gus Dur tetaplah Gus Dur, meskipun tidak lagi melakukan diskusi-diskusi di kedai kopi, karena ketatnya jadwalnya akan tetapi ia menyempatkan menonton film di bioskop.

Setelah menamatkan masa studinya di Timur Tengah, Gus Dur kemudian pindah ke Eropa untuk melanjutkan studi pascasarjananya. Pada mulanya Gus Dur tinggal di Belanda dan berkeinginan masuk di Universitas Leiden, akan tetapi yang terjadi pada beberapa universitas Eropa termasuk Leiden tidak dapat menerima lulusan dari Universitas Baghdad. Gus Dur pun kecewa dengan hal ini, untuk mengurangi beban kekecewaannya ia pun berkelana selama setahun di Eropa dan pada pertengahan tahun 1971 Gus Dur balik ke Indonesia.

Sekembalinya dari Eropa ke Indonesia, Gus Dur pun masih saja tidak putus asa untuk melanjukan studinya ke negeri Eropa, akhirnya Ia mendapatkan informasi adanya beasiswa ke McGill, namun begitu niat sudah tertancap tapi urung terjadi, dikarenakan harus melangsungkan resepsi pernikahannya. Kemudian setelah itu Gus Dur tinggal di Jombang dan memulai langkah-langkah untuk mencari format perubahan yang harus dilakukannya dengan cara berkeliling “silaturahim” Jawa, yang nantinya membuat Gus Dur benar-benar mengurungkan niatnya untuk melanjutkan studinya ke luar negeri. Gus Dur menjadi pelajar keliling di Eropa, belajar dari satu universitas ke universitas yang lain, pada akhirnya juga sempat menetap di Belanda dan mendirikan Perkumpulan Pelajar Muslim Indonesia dan Malaysia yang tinggal di Eropa.

Pada masa kuliahnya di luar negeri Gus Dur juga memiliki masa-masa dalam bekerja, ketika di Mesir ia pernah mendapat pekerjaan di kedutaan Indonesia untuk Mesir, kemudian ketika di Baghdad ia bekerja di Ar-Ramadhani, perusahaan ini mengkhususnya impor tekstil dari Eropa dan Amerika, ketika di Eropa Ia juga bekerja di binatu milik orang Cina.ketika menetap di Belanda Gus Dur dua kali sebulan pergi ke pelabuhan untuk bekerja sebagai pembersih kapal tanker. Beragam ilmu pengetahuan dan segala prosesnya dalam kemandirian, seorang Gus Dur mampu menembus batas-batas sisi kemanusiaan yang wajar, bahkan upaya untuk dapat mandiri dalam hidupnya pun ia mampu. Begitulah Gus Dur dalam kisahnya mencari ilmu, selain diajar oleh guru informal yang kuat, bisa jadi Gus Dur juga diberi karunia oleh Allah sehingga dapat cepat memahami sebuah bacaan dan memiliki ingatan yang luar biasa akan bacaan tersebut. Mungkin inilah yang menjadi dasar bagi seorang calon pemimpin di masa mendatang.[3]

Dalam berproses membangun dan membina rumah tangga Gus Dur, boleh dibilang cukup unik, perkenalannya di Jombang sebagai guru dan murid kemudian melewati jarak yang cukup jauh, Gus Dur di Kairo dan Nuriyah di Jombang. awalnya selama beberapa tahun di kairo, Gus Dur terus menghubungi Nuriayah lewat surat menyurat yang sangat teratur pada akhirnya Nuriyah pun menerima Gus Dur sebagai teman hidupnya hingga melangsungkan pertunangan selama kurun waktu dua tahun, setelah itu Gus Dur pun menikahi Nuriyah. Gus Dur dikaruniai empat anak perempuan, mereka yaitu, Alissa Qotrunnada, Zannuba Arifah Chafsoh, Anita Hayatunnufus, dan Inayah Wulandari. Dalam mendidik anaknya Gus Dur juga selalu menerapkan praktik demokrasi, tidak otoriter terhadap persoalan yang dihadapi anak-anaknya, Gus Dur hanya mengarahkan dan memberikan saran-saran dengan segala konsekwensi terhadap beragam pilihannya. Masa perjuangan seorang Gus Dur memang sangat panjang, berawal tapi bukan awal yang diinginkannya, proses itu mengalir mulai dari sejak berada di Indonesia sampai di luar negeri pun dilakukannya, mulai dari mengajar, menjadi kepala madrasah, membidangi banyak aktifitas di luar negeri, menjadi komentator sosial dengan menulis di berbagai media cetak, bergerak dalam lingkup LSM LP3ES, ketua PBNU, hingga menjadi Presiden RI ke-4. kesadaran Gus Dur akan pergerakan untuk menemukan perubahan yang ideal cukup kuat, ia sangat anti kekerasan, teguh, tangguh dan konsisten. Gus Dur menderita banyak penyakit, bahkan sebelum menjabat sebagai Presiden sampai setelahnya, penyakit yang ia alami seperti stroke, diabetes dan lainnya. Gus Dur wafat pada hari Rabu, 30 Desember 2009, di rumah sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, pukul 18.45 wib, dikarenakan oleh penyakit yang dideritanya sejak lama.[4]

Gus Dur wafat bertepatan dengan ulang tahun ke-27 putri bungsunya, Inayah Wulandari, yang lahir pada 31 desember 1982, selama Gus Dur dirawat di Rumah sakit RSCM, Inayah Termasuk salah satu putri Gus Dur yang paling rajin menjaga Gus Dur. Menurut cerita, K.H. Salahudin Wahid, yang akrab dipanggil Gus Sholah ia bertemu kakaknya, Gus Dur terakhir kali di Jombang, sepekan sebelum wafatnya, yaitu Gus Dur ketika sedang berziarah ke makam keluarga, saat itu Gus Sholah sudah memiliki firasat tidak enak. Gus Sholah merasa kaget dan heran ketika Gus Dur bilang ”Dik, mengko tanggal 31 jemputen aku nang kene ! (dik, nanti tanggal 31 jemput saya disini)dan begitu juga banyak cerita mengenangi sebelum wafatnya Gus Dur dan setelah Gus Dur wafat banyak yang sadar bahwa Gus Dur sudah mengetahui waktu wafatnya. Semoga amal ibadah Beliau diterima oleh Allah Swt. Itulah yang terjadi pada sosok Gus Dur, kesaktiannya hanya orang-orang tertentu yang mengetahuinya bahkan beliau sanggup menyembunyikannya dengan baik, tanpa perlu harus diketahui banyak orang. Sekarang bila kita mengamati, banyak orang yang melayat ke kuburannya seperti layaknya makam-makam para Wali Allah “Wali Songo”, banyak orang merasa kehilangan, menangisi kepergiannya. Beliau memang guru spiritual baru beberapa kalangan muslim, begitu juga kalangan beda agama di Indonesia maupun di Dunia.

B. Gagasan pemikiran

Gus Dur memang memiliki pemikiran yang cukup unik dan jernih. Boleh dibilang pemikirannya mampu melewati zamannya, karena banyak orang harus memikirkan dengan keras apa yang menjadi pemikirannya. Ia juga dikenal sangat kontroversial. Gus Mus menyebut pemikiran Gus Dur sebagai pelajaran Tuhan, sampai saat ini, pastilah belum−atau tak pernah−ada orang yang bisa menandingi Gus Dur dalam banyaknya mengumpulkan julukan. Keluasan pergaulan dan perhatian Gus Dur niscaya sangat berperan dalam pengumpulan julukan itu. Mereka yang melihat betapa Gus Dur begitu `fanatik` dan gigihnya menyesuaikan sikapnya dengan firman Allah “Walaqod karramna banii Adama…”(Q. 17:70), mungkin akan menjulukinya humanis.[5] Mereka yang melihatnya begitu `taat` dan gigih mengikuti jejak orang tua dan kakeknya dalam mencintai tanah air, mungkin akan menjulukinya nasionalis, mereka yang melihatnya sebagai orang yang memiliki tingkat kualitas spiritual, mungkin akan menjulukinya seorang wali. Demikian seterusnya,Perjuangan pemikiran Gus Dur mampu melewati semua jenis disiplin ilmu, mulai dari agama, filsafat, tasawuf, tata bahasa, kebudayaan dan kesenian, humor, demokrasi, pluralisme, humanisme, nasionalisme. Dengan ide-idenya yang cemerlang, pemikiran Gus Dur mampu menjadi komentator sosial yang mampu membuat gelisah dan menyadarkan banyak kalangan terutama pemerintahan saat itu. Perkembangan intelektual Gus Dur dibentuk oleh pendidikan Islam klasik dan pendidikan barat modern. Faktor-faktor ini merupakan prasyarat baginya untuk mengembangkan ide-idenya. Dalam kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan perjalanan, membaca, dan memperdebatkan ide, Gus Dur mensintesiskan kedua dunia pendidikan ini. Mungkin ia mengerjakan hal ini lebih lengkap daripada mayoritas intelektual di Indonesia, yang kemudian membuat Gus Dur menjadi bagian dari gerakan baru dalam pemikiran Islam di Indonesia. Penekanan pemikiran Gus Dur lebih mengisyaratkan pada hal-hal yang lebih substansial, mengajarkan kepada kita untuk selalu toleran, terbuka, dan inklusif.

Menurut Greg Barton, pemikiran Gus Dur, ia kategorikan dalam salah satu cendekiawan Neo-Modernis. Di antara karakter intelektual yang digolongkannya dalam kelompok Neo-modernis bahwa dalam memahami ajaran Islam banyak mewarisi semangat Muhammad Abduh dalam rasionalisme berijtihad secara konstekstual. Berusaha memuat sintesis antara khazanah klasik dengan keharusan berijtihad, serta apresiatif dengan gagasan barat terutama dalam ilmu-ilmu social dan humaniora. Neo-Modernis sangat mengedepankan pemahaman Islam yang terbuka, inklusif terutama dalam menerima realitas faktual pluralisme masyarakat yang ada, condong untuk menekankan sikap toleran dan harmoni dalam hubungan antar komunitas. Keluwesan Gus Dur dalam mengkonstruksikan pemikirannya tidak dapat dipungkiri. Seperti halnya perihal negara “Indonesia” yang harus diIslamkan, Gus Dur jelas-jelas mempertanyakan konsep ini, baginya negara yang dikonsepkan menurut Islam tidak memiliki kejelasan formatnya. Nabi meninggalkan Madinah tanpa ada kejelasan mengenai bentuk pemerintahan bagi kaum muslimin. Tentang negara Islam yang dipikirkan sebagian orang itu hanya memandang Islam dari sudut institusionalnya saja. Selama tidak ada kejelasan tentang hal di atas, sebenarnya sia-sia saja diajukan klaim bahwa Islam memiliki konsep kenegaraan.

Kemudian Gus Dur berhasil menyelesaikan pertentangan antara negara dan masyarakat, dimana pada masa orde baru Negara terlalu kuat atau otoritarian, sementara masyarakat terlalu lemah. Ia dengan pemikiran dan pengembangan gerakan kemasyarakatan berhasil mengurangi sifat otoritarianisme negara dan pada saat yang sama sukses memberdayakan masyarakat dengan munculnya kekuatan masyarakat sipil (civil society). Perjuangan Gus Dur terhadap demokrasi untuk negara, sudah bukan menjadi rahasia lagi, banyak orang yang mengetahui dan mengenal. Pemikiran Gus Dur tentang Indonesia yang dicita-citakan adalah menjadi negara yang demokrasi yang memiliki pengaruh kecil terhadap militer dan tidak ada fundamentalisme dalam agama. Baginya di kehidupan yang modern ini demokrasilah yang dapat mempersatukan beragam arah kecenderungan kekuatan-kekuatan bangsa. Demokrasi menjadi sedemikian penting dalam sebuah negara yang pluralistik karena ternyata dalam berkehidupan kebangsaan yang utuh hanya bisa tercapai dan tumbuh dalam suasana demokratis meskipun demokrasi untuk saat ini di Indonesia masih menjadi proses diskusi, tapi suatu saat akan tercapai demokrasi yang sebenarnya.

Gus Dur sebagai satu-satu nya orang yang pertama kali mensuarakan kembali terhadap gagasan pribumisasi Islam. Dengan artian yang dipribumikan itu manifestasi kehidupan Islam, bukan ajaran yang menyangkut inti keimanan dan peribadatan formalnya. Bukan upaya menghindarkan timbulnya perlawanan dari kekuatan-kekuatan budaya setempat, tetapi justru agar budaya itu tidak hilang. Ini yang telah dilakukan para pelopor dakwah “wali songo” dalam proses Islamisasi di Indonesia. Bisa dilihat bahwa pemikiran dan gerakan Gus Dur tidak jauh berbeda dengan para wali bisa disebut juga sufi.

Gus Dur menyatukan kebudayaan dan keberagamaan, menurutnya, agama “Islam” dan budaya mempunyai independensi masing-masing, tetapi keduanya mempunyai wilayah tumpang tindih. Manusia tidak dapat beragama tanpa budaya, karena kebudayaan merupakan kreativitas manusia yang dapat menjadi salah satu bentuk ekspresi keberagaman. Tetapi tidak dapat disimpulkan bahwa agama adalah kebudayaan. Di antara keduanya terjadi tumpang tindih dan saling mengisi namun tetap memiliki perbedaan. Agama bersumber pada wahyu dan memiliki norma-norma sendiri. Norma-norma agama bersifat normatif, karenanya ia cenderung menjadi permanen. Sedangkan budaya adalah kreativitas manusia, karenanya ia berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan cenderung untuk selalu berubah. Perbedaan ini tidak menghalangi kemungkinan manifestasi kehidupan beragama dalam bentuk budaya. Perspektif demikian menempatkan agama dalam fungsinya sebagai wahana pengayoman tradisi bangsa dan pada saat yang sama agama menjadikan kehidupaan berbangsa sebagai wahana pematangan dirinya.

Gus Dur dikenal juga sebagai sosok yang humoris. Pemikiran dan sikap kritisnya terhadap realitas kehidupan sering disampaikan melalui humor, sehingga yang setuju maupun tidak sama-sama tertawa. Bahkan ia disejajarkan dengan filsuf Yunani, Socrates, yang gemar melontarkan komentar-komentar humoristis. Perlawanan yang Gus Dur lakukan mungkin banyak tidak diketahui orang, bahwa sebenarnya ia sedang mengadakan perubahan dan kritik besar besaran yang disampaikannya lewat lelucon. Di dunia internasional pun pemikiran Gus Dur diterima banyak kalangan intelektual dunia. Bahkan banyak yang melakukan penelitian secara khusus terhadap pola dan gaya pikirannya. Tidak aneh pula bila beragam penghargaan didapatkan Gus Dur dari dunia internasional.

Gus Dur adalah representasi paling genuin dari dua kultur yang terus menerus bertahan dan berkembang di lingkungan NU. Yang pertama adalah kultur kiai dengan pesantrennya yang menjadi jagad kecilnya NU. Yang kedua adalah kultur kaum muda NU yang menandai konvergensi NU dengan dunia modern. Ia juga membangun pemikirannya sebagai gerakan sosial yang secara cerdas bisa menempatkan NU dalam posisi yang strategis. Lewat NU juga Gus Dur melakukan perubahan besar-besaran dan mendasar terhadap NU sendiri maupun bangsa dan negara.

Pemikiran Gus Dur memiliki kekuatan aroma sufistik. Seperti gagasannya tentang Tuhan tidak perlu dibela, ia menuturkan bahwasannya, Al-Hujwiri mengatakan, bila engkau menganggap Allah ada hanya karena engkau yang merumuskannya, hakikatnya engkau sudah menjadi kafir. Allah tidak perlu disesali kalau “Ia menyulitkan” kita. Juga tidak perlu dibela kalau orang menyerang hakikat-Nya, Yang di takuti berubah adalah persepsi manusia atas hakikat Allah, dengan kemungkinan kesulitan yang diakibatkannya. Gus Dur menghiasi serta menjalankan jalan pikirannya sama halnya dengan guru tarekat itu.

Dalam pemikiran spiritual Gus Dur bisa disebut sebagai sufi sejati. Ia pemaaf, meski kepada musuh yang jahat sekalipun. Meski dicaci karena membela non-muslim ia sabar dan tenang, tidak pernah menaruh dendam kepada siapapun, tidak pernah takut menghadapi apapun, ikhlas, tampa pamrih, dan sebagainya yang mencorakkan Gus Dur pada sisi sufistik. Seorang sufi selalu menggabungkan kerja keras dan kepasrahan kepada Tuhan secara total. Gus Dur dianggap wali “sufi” di mata pengikutnya dan orang-orang teraniaya. Pemikiran, pembelaan dan perjuangan Gus Dur sepanjang hidupnya, menunjukkan bahwa ia memiliki sifat-sifat seorang wali, tanpa harus dipaksakan atau diperdebatkan untuk disebut sebagai wali.

Gus Dur memang sudah menjadi fenomena yang menarik sekaligus unik, terutama dalam kancah pemikiran Islam di Indonesia bahkan diperhitungkan dalam wacana politik. sementara itu, ia mampu mengadakan perubahan besar-besaran di kalangan Nahdliyyin. Menjadikan dirinya sebagai sebuah tumpuan tempat berkonsultasi, menyampaikan keluhan, dan mencari informasi, kadang-kadang juga dimintai restu dari berbagai pihak dan lapisan masyarakat. Gus Dur tampaknya bukan lagi seorang figur, ia sudah menjadi simbol atau bahkan sebuah mitos. Bagi Gus Dur seorang tokoh akan diketahui tingkat keberhasilannya dengan jelas dalam memajukan umat, jika produk-produk ijtihad-nya dapat dirasakan implikasinya bagi dinamika kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

A. Kesimpulan

  1. Prinsip utama pemikiran Gus Dur adalah kemanusiaan. Dalam arti tiga hal. Pertama, penghormatan martabat manusia di atas lembaga, otoritas, dan tradisi apapun. Termasuk otoritas dan tradisi keagamaan. Kedua, perlindungan hak-hak dasar manusia. Ketiga, perjuangan untuk memenuhi hak dasar tersebut. 
  2. Prinsip kemanusiaan ini diterangi oleh dua perspektif. Perspektif pertama adalah Islam yang Gus Dur pijakkan pada perlindungan atas lima hak dasar manusia dalam tujuan utama syari’at (maqashid al-syari’ah). Yakni hak hidup, beragama, berpikir, kepemilikan, dan keturunan. 
  3. Dua perspektif kemanusiaan ini yang Gus Dur sebut sebagai “yang universal” dan “yang kosmopolitan”. “Yang universal” mengacu pada lima hak dasar manusia dalam maqashid al-syari’ah. Sementara “yang kosmopolitan” adalah peradaban modern, yang merujuk pada rasionalitas, demokrasi, dan keadilan. Dalam praksisnya, “yang kosmopolitan” menjadi “kondisi pemungkin” bagi perwujudan universalisme Islam. 
  4. Kesatuan antara universalisme Islam dan kosmopolitanisme modern inilah yang Gus Dur sebut sebagai pandangan-dunia (Weltanschauung) Islam. Yakni pandangan dunia yang mengacu pada tiga nilai, keadilan (‘adalah), demokrasi (syura) dan persamaan (musawah). Keadilan merupakan asupan nilai dari tradisi humanisme Marxian. Sementara persamaan (hukum) merupakan asupan nilai dari humanisme liberal Pencerahan. 


DAFTAR PUSTAKA

Barton, Greg. Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid. Cet. II; Yogyakarta: LkiS, 2002.

INCReS, Beyond The Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur, h. 4.

Geertz, Clifford. The Religion of Java (Glencoe, III.: Free Press, 1960)., dalam INCReS, Beyond The Symbols, h. 27.

Rifai, Mohammad. Gus Dur: Biografi Singkat 1940-2009 (Jogjakarta: Garasi, 2010), h. 31.

Bisri, Mustofa. “Gus Dur sebagai Pelajaran Tuhan,” prawacana, dalam Institute of Culture and religion Studies (INCReS), Beyond The Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gusdur (Bandung: INCReS, 2000), h. iii.



[1]Greg Barton,  Biografi Gus Dur, (cet II;  Yokyakarta: LkiS Group, 2002), h. 7.

[1] Greg Barton, Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, penerjemah Lie Hua (Yogyakarta: LkiS, 2003), h. 33.


[2] INCReS, Beyond The Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur, h. 4.


[3] Clifford Geertz, The Religion of Java (Glencoe, III.: Free Press, 1960)., dalam INCReS, Beyond The Symbols, h. 27.


[4] Mohammad Rifai, Gus Dur: Biografi Singkat 1940-2009 (Jogjakarta: Garasi, 2010), h. 31.


[5] KH. Abdurrahman Wahid, “Pemikir Islam yang Brilian”, dalam Badiatul Roziqin, dkk., 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia (Yogyakarta: e-Nusantara, 2009), h. 38.

Saturday 22 November 2014

Sejarah Pengumpulan Al-Quran

Alquran adalah wahyu yang diturunkan oleh Allah swt. kepada Nabi Muhammad saw. melalui malaikat Jibril as. Sejarah penurunannya selama kurang lebih 23 tahun secara berangsur-angsur telah memberi kesan yang sangat besar dalam kehidupan seluruh manusia. Di dalamnya terkandung berbagai ilmu, hikmah dan pengajaran yang tersurat maupun tersirat.

Sebagai umat Islam, kita haruslah berpegang kepada Alquran dengan membaca, memahami dan mengamalkan serta menyebarluaskan ajarannya. Bagi mereka yang mencintai dan mendalaminya akan mengambil iktibâr serta pengajaran, lalu menjadikannya sebagai panduan dalam meniti kehidupan dunia menuju akhirat yang kekal abadi.

Setiap Nabi menerima wahyu, maka Nabi saw. menghapalnya sebelum disampaikan kepada para sahabat, karena Nabi saw. adalah tuannya para penghapal, dan pengumpul yang paling pertama.[1] Hanya saja, penghapalan Alquran pada masa Nabi saw. sangat ditekankan, karena para sahabat memiliki kekuatan hapalan yang sangat luar biasa. Sementara penulisannya tidak terlalu ditekankan karena masih terbatasnya alat-alat tulis. Di samping itu Alquran diturunkan secara munajjaman (berangsur-angsur)[2] dan tentunya setiap ada ayat yang turun, para sahabat tidak selamanya membawa bekal berupa alat tulis menulis.

Pengumpulan dan penyusunan Alquran dalam bentuk seperti sekarang ini, terjadi bukan hanya dalam satu masa, akan tetapi berlangsung selama beberapa tahun atas upaya beberapa orang dan berbagai kelompok.[3] Mushaf Alquran yang ada di tangan kita sekarang ternyata telah melalui perjalanan panjang yang berliku-liku selama kurun waktu lebih dari 1400 tahun yang silam dan mempunyai latar belakang sejarah yang menarik untuk diketahui.

A. Pengertian Jām’ al-Qur ān

Jām’ al-Qur’ān (pengumpulan Alquran) oleh para ulama mempunyai dua pengertian. Pertama, pengumpulan dalam arti hifzhuhu (menghapalnya dalam hati) .[4] Inilah makna yang dimaksudkan dalam firman Allah kepada Nabi-Nabi senantiasa menggerak-gerakkan kedua bibir dan lidahnya untuk membaca Alquran. Ketika Alquran itu turun kepadanya sebelum Jibril selesai membacakannya, karena ingin menghapalnya. Sebagaimana diinformasikan dalam QS. Al-Qiyâmah (75):16 – 19:


Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Alquran karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya. Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, Sesungguhnya atas tanggungan kamilah penjelasannya.[5]


Orang-orang yang hapal Alquran disebut juga dengan Jummā’ al-Qur’ān atau Huffazhu al-Qur’ān.[6] Maka adapun penghimpunan Alquran dalam arti penghapalannya dan penyemayamannya dengan mantap dalam hati, sesungguhnya Allah telah mengaruniakan kepada Rasul-Nya terlebih dahulu sebelum kepada yang lain. Beliau dikenal sebagai Sayyid al-huffazh dan sebagai Awwal al-Jummā’.[7]

Kedua, pengumpulan dalam arti kitabatuhu kullihi (penulisan Alquran semuanya) baik dengan memisah-misahkan ayat-ayat dan surah-surahnya ,atau menertibkan ayat-ayat semata dan setiap surah ditulis dalam satu lembaran secara terpisah, ataupun menertibkan ayat-ayat dan surah-surahnya dalam lembaran-lembaran yang terkumpul yang menghimpun semua surah, sebagaimana ditulis sesudah bagian yang lainnya.[8]


B. Pengumpulan Alquran pada Masa Nabi


Sebenarnya kitab Alquran telah ditulis seutuhnya pada zaman Nabi Muhammad saw. Hanya saja belum disatukan dan surat-surat yang ada juga masih belum tersusun. Penyusunan dalam mushaf utama belum dilakukan karena wahyu belum berhenti turun sebelum Nabi Muhammad wafat.[9] 

Pengumpulan ayat-ayat Alquran di masa Nabi saw. terbagi atas dua kategori, yakni pertama; pengumpulan dalam dada, yaitu dengan cara menghapal, menghayati dan mengamalkan; kedua, pengumpulan dalam dokumen, dengan cara menulis pada kitab, atau diwujudkan dalam bentuk ukiran.[10] 

1. Pengumpulan Alquran melalui hapalan

Alquran Karim turun kepada Nabi yang ummi[11]. Karena itu, perhatian Nabi hanyalah untuk sekedar menghapal dan menghayatinya, agar beliau dapat menguasai Alquran persis sebagaimana halnya Alquran yang diturunkan. Setelah itu, beliau membacakannya kepada umatnya sejelas mungkin agar mereka pun dapat menghapal dan memantapkannya. Hal ini karena Nabi pun diutus Allah di kalangan orang-orang yang ummi pula. Biasanya orang-orang yang ummi itu mengandalkan kekuatan hafalan dan ingatannya. Pada masa diturunkannya Alquran bangsa Arab berada dalam martabat yang begitu tinggi dan sempurna daya ingatnya. Mereka sangat kuat dalam hafalannya serta daya pikirannya begitu terbuka. Mereka bahkan banyak yang menghapal beratus-ratus ribu syair dan mengetahui silsilah serta nasab (keturunannya). Mereka dapat mengungkapkannya di luar kepala dan mengetahui sejarahnya. Jarang sekali di antara mereka yang tidak bisa mengungkapkan silsilah dan nasab tersebut, tidak hafal “Almuallaqatul Asyār” yang begitu banyak syairnya lagipula sulit dalam menghapalnya.[12]

Rasulullah sangat menyukai wahyu, ia senantiasa menungu penurunan wahyu dengan rasa rindu, lalu menghapal dan memahaminya, persis seperti dijanjikan Allah dalam QS.Al-Qiyamah (75): 17:


Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.[13] 


Oleh sebab itu, ia adalah hāfidz (penghapal) Alquran pertama dan merupakan contoh paling baik bagi para sahabat dalam menghafalnya, sebagai realisasi kecintaan mereka kepada pokok agama dan sumber risalah. Alquran diturunkan selama dua puluh tahun lebih. Proses penurunannya terkadang hanya turun satu ayat dan terkadang turun sampai sepuluh ayat. Setiap kali sebuah ayat turun, dihafal dalam dada dan ditempatkan dalam hati, sebab bangsa Arab secara kodrati memang mempunyai daya hapal yang kuat. Hal ini karena umumnya mereka buta huruf, sehingga dalam penulisan berita-berita, syair-syair dan silsilah mereka dilakukan dengan catatan di hati mereka.[14]

Dalam kitab shahih-nya Bukhari telah megemukakan tentang adnaya tujuh hafidz, melalui tiga riwayat. Mereka adalah Abdullah bin Mas’ud, Salim bin Ma’qal bekas budak Abu Huzaifah, Mu’az bin Jabal, Ubai bin Ka’b, Zaid bin Sabit, Abu Zaid bin Sakkan dan Abu Darda’.[15]

Pembatasan tujuh orang sebagaimana disebutkan Bukhari tersebut, diartikan bahwa mereka itulah yang hapal seluruh isi Alquran di luar kepala dan telah menunjukkan hapalannya di hadapan Nabi, serta isnad-isnadnya sampai kepada kita. Sedanag para hafiz alquran lainnya - yang berjumlah banyak – tidak memenuhi hal-hal tersebut; terutama karena para sahabat telah tersebar di berbagai wilayah dan sebagian mereka menghafal dari yang lain. Cukuplah sebagai bukti tentang hal ini bahwa para sahabat yang terbunuh dalam pertempuran di sumur “Ma’unah”, semuanya disebut qurra’, sebanyak tujuh puluh orang sebagaimana disebutkan dalam hadis shahih. al-Qurtūbi mengatakan: “Telah terbunuh tujuh puluh orang qāri’ pada perang Yamamah; dan terbunuh pula pada masa Nabi sejumlah itu dalam pertempuran di sumur Ma’unah”[16]

Dalam mengomentari riwayat Anas yang menyatakan, “Tidak ada yang hafal Alquran kecuali empat orang”, al-Mawardi[17] berkata: “Ucapan Anas yang menyatakan bahwa tidak ada yang hapal Alquran selain empat orang itu tidak dapat diartikan bahwa kenyataannya memang demikian. Sebab mungkin saja Anas tidak mengetahui ada orang lain yang menghafalnya. Bila tidak, maka bagaimana ia mengetahui secara persis orang-orang yang hafal Alquran sedangkan para sahabat amat banyak jumlahnya dan tersebar di berbagai wilayah. Pengetahuan Anas tentang orang-orang yang hapal Alquran itu tidak dapat diterima kecuali kalau ia bertemu dengan setiap orang yang menghafalnya dan orang itu menyatakan kepadanya bahwa ia belum sempurna hafalannya di masa Nabi. Yang demikian ini amat tidak mungkin terjadi menurut kebiasaan. Karena itu bila yang dijadikan rujukan oleh Anas hanya pengetahuannya sendiri maka hal ini tidak berarti bahwa kenyataanya memang demikian. Di samping itu syarat kemutawatiran juga tidak menghendaki agar semua pribadi hapal, bahkan bila kolektifitas sahabat telah hapal – sekalipun secara distributif – maka itu sudah cukup”[18] 

Abu ‘Ubaid[19] telah menyebutkan dalam kitab al-Qirā’at sejumlah qāri’ dari kalangan sahabat. Dari kaum Muhajirin, ia menyebutkan empat orang khalifah, Thalhah, Sa’d, Ibn Mas’ud, Huzaifah, Salim, Abu Hurairah, Abdullah as-Sa’ib, empat orang bernama Abdullah,[20] Aisyah, Hafsah dan Ummu Salāmah; dari kaum Anshār: ‘Ubādah bin Sāmit, Mu’az yang dijuluki Abu Halimah. Majma’ bin Jariyah, Fudalah bin ‘Ubaid dan Maslamah bin Mukhallad. Ditegaskannya bahwa sebagian mereka itu menyempurnakan hafalannya sepeninggal Nabi.[21]

Al-Hafiz az-Zahābi[22] menyebutkan dalam Tabāqatul Qurra’ bahwa jumlah qari’ tersebut adalah jumlah mereka yang menunjukkan hafalannya di hadapan Nabi dan sanad-sanadnya sampai kepada kita secara bersambung. Sedangkan sahabat yang hapal Alquran namun sanadnya tidak sampai kepada kita, jumlah mereka itu banyak.

Senada dengan hal itu, Ibnu Atsir Al Jazary dalam kitab an-Nasyr, sebagaimana dikutip oleh Hasbi Ash-Shiddieqy dalam bukunya Sejarah dan Pengantar Ilmu Alqur-an/Tafsir menyebutkan bahwa sahabat yang menghapal Alquran di masa Nabi masih hidup banyak sekali. Mereka tidak memerlukan menulis Alquran disebabkan karena mereka sangat baik hapalannya.[23]

Kata As-Sayuthy: “Saya telah mendapati pula seorangwanita shahabiyah yang menghapalkan seluruh Alquran yang tidak dimasukkan namanya ke dalam barisan penghapal seluruh Alquran yaitu Ummu Warāqah binti ‘Abdillah ibn Al-Harits. Seringkali Rasulullah mengunjunginya dan menamainya Syahidah. Beliau telah menghafal seluruh Alquran di zaman Nabi dan beliau dijadikan imam untuk seisi rumahnya. Beliau ini terbunuh dalam masa pemerintahan ‘Umar. Hampir menjelang ‘Umar wafat , beliau pernah berkata: “Telah benar apa yang diterangkan Rasul. Rasul sering berkata: “Mari kita pergi ke rumah wanita Syahidah”.[24]


An-Nuwairy dalam syarahnya terhadap kitab Ath-Thaiyibah: “Kalau anda berkata, apabila ditetapkan bahwa yang mengumpulkan Alquran di masa Rasulullah saw. Sahabat-sahabat yang telah disebut namanya, maka bagaimana kita kumpulkan keterangan itu dengan perkataan Anas, bahwa yang mengumpulkan Alquran di masa Rasul ada empat orang. Dalam suatu riwayat, yang mengumpulkan Alquran hanya empat orang yaitu Ubay, Zaid ibn Tsabit, Abu Zaid, dan Muadz, pada suatu riwayat Abud Darda’, maka saya berkata: “Riwayat pertama tidak berlawanan dengan keterangan ini, karena riwayat pertama itu tidak menentukan penghafal Alquran hanya 4 orang saja. Riwayat yang kedua karena tidak dapat diambil lahirnya, berlawanan dengan keterangan yang telah lalu, perlulah ditakwilkan. Maka dimaksudkan dengan hanya empat orang saja menghapalnya, ialah hanya 4 orang saja yang menghapal dalam seluruh Qiraat (macamnya), atau yang menerima langsung dari Rasul, atau yang terus menerima pada tiap-tiap turun ayat.[25]

Berdasar pada penjelasan dan keterangan-keterangan di atas, maka jelaslah bahwa para penghapal Alquran di masa Rasulullah amat banyak jumlahnya dan sebagai ciri khas umat pada masa ini ialah mereka berpegang pada hapalan dalam penukilan. Ibn Jazari[26], guru para qari pada masanya menyebutkan: “Penukilan Alquran dengan berpegang pada hafalan – bukannya pada mushaf-mushaf dan kitab-kitab – merupakan salah satu keistimewaan yang diberikan Allah kepada umat ini”

2. Pengumpulan Alquran dalam bentuk tulisan

Keistimewaan yang kedua dari Alquran ialah pengumpulan dan penulisannya dalam lembaran. Rasulullah saw. Mempunyai beberapa orang sekretaris wahyu. Setiap turun ayat Alquran, beliau memerintahkan kepada mereka untuk menulisnya dalam rangka memeperkuat catatan dan dokumentasi dalam kehati-hatian beliau terhadap kitab Allah Azza Wa Jalla, sehingga penulisan tersebut dapat memudahkan penghapalan dan memperkuat daya ingat.[27]

Upaya pelestarian Alquran pada masa Nabi Muhammad saw. dilakukan oleh Rasulullah sendiri, setiap kali beliau menerima wahyu dari Allah. Setelah beliau secara langsung mengingat dan menghapalnya, beliau menyampaikannya kepada para sahabatnya, lalu sahabat menyampaikannya secara berantai kepada sahabat lainnya. Demikanlah seterusnya. Sebagian sahabat itu selain langsung menghapalnya, juga mencatatnya dalam berbagai benda yang ditemuinya, seperti pelapah korma atau tulang belulang binatang. Catatan tersebut bukan untuk orang lain tetapi untuk koleksi pribadi.[28]

Para penulis wahyu adalah sahabat pilihan Rasul dari kalangan sahabat yang terbaik dan indah tulisannya sehingga mereka benar-benar dapat mengemban tugas yang mulia ini. Di antara mereka adalah Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab, Muadz bin Jabal, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Khulafaur Rasyidin, dan sahabat-sahabat lain.[29]

Beliau menyuruh mereka mencatat setiap wahyu yang turun, sehingga Alquran yang terhimpun dalam dada mereka menjadi kenyataan tertulis. Di samping itu sebagian sahabat pun menulis Alquran yang turun itu atas kemauan sendiri, tanpa diperintah oleh Nabi. Mereka menuliskannya pada pelepah korma, lempengan batu, kulit atau daun kayu , pelana, potongan tulang-tulang binatang dan sebagainya. Hal itu karena belum ada pabrik kertas di kalangan orang Arab. Pada saat itu pabrik kertas hanya terdapat di Parsi dan Romawi. Itu pun masih sangat kurang dan tidak disebarkan. Itulah sebabnya, orang-orang Arab menulisnya sesuai dengan perlengkapan yang dimiliki dan dapat dipergunakan untuk menulis. Diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit r.a. bahwa ia berkata, “Kami menulis Alquran di hadapan Nabi pada kulit ternak”. Maksudnya adalah mengumpulkannya agar sesuai dengan petunjuk Nabi saw. dan menurut perintah dari Allah swt. Para ulama sepakat bahwa pengumpulan Alquran adalah tauqifi (menurut ketentuan) artinya susunannya sebagaimana yang kita lihat sekarang ini. Telah disebutkan bahwa Jibril a.s. bila membawakan sebuah atau beberapa ayat kepada Nabi, ia mengatakan, “Hai Muhammad! Sesungguhnya Allah memerintahkan kepadamu untuk menempatkannya pada urutan kesekian surat anu…” Demikian pula halnya Rasul memerintahkan kepada para sahabat, “Letakkanlah pada urutan ini.” [30]

Ini menunjukkan betapa besar kesulitan yang dipikul para sahabat dalam menuliskan Alquran. Alat–alat tulis tidak cukup tersedia bagi mereka, namun demikian penulisan Al-quran ini semakin menambah hapalan mereka.

Kitab Alquran mencakup surat-surat panjang dan yang terpendek terdiri dari tiga ayat, sedengkan yang paling panjang 286 ayat. Beberapa riwayat menyebutkan bahwa Nabi Muhammad memberi instruksi kepada para penulis tentang letak ayat pada setiap surat. Usman menjelaskan baik wahyu itu mencakup ayat panjang ataupun pendek, Nabi Muhammad selalu memanggil penulisnya dan berkata; Letakkan ayat–ayat tersebut ke dalam surat seperti yang beliau sebut. Zaid bin Tsabit menegaskan kami akan kumpulkan Alquran di depan Nabi Muhammad . Menurut Uthman bin Abi Al’as, Malaikat Jibril menemui Nabi Muhammad memberi perintah akan penempatan ayat tertentu.[31] 

Pada masa Nabi Muhammad saw. belum ada upaya yang dilakukan untuk unifikasi dan kodifikasi Alquran. Selain karena wahyu masih terus turun, juga belum ada kebutuhan yang mendesak untuk melakukan upaya itu. Mesjid Nabi di Madinah merupakan tempat yang paling strategis dan efektif dalam memasyarakatkan Alquran. Di mesjid ini, para sahabat memperoleh informasi langsung dari Rasulullah saw. Tentang wahyu yang baru turun. Para sahabat juga dapat mengonfirmasikan hapalan dan qiraat mereka melalui bacaan dan tadarus yang dilakukan para sahabat senior. Bahkan mereka memperoleh infirmasi tentang tata urutan ayat dan surah dari Nabi Muhammad saw. di mesjid itu pula.[32] 

Perlu diketahui, bahwa pada masa Nabi, Alquran belum ditulis dan dibukukan dalam satu mushaf disebabkan beberapa kemungkinan sebagai berikut:
  • Tidak ada faktor pendorong untuk dibukukan Alquran , dalam satu mushaf sebagaimana pada masa Abu Bakar dan Usman bin Affan. Hal ini disebabkan kerena pada masa Nabi para sahabat penghapal Alquran masih lengkap dan cukup banyak, tidak adanya unsur-unsur yang diduga akan mengganggu kelestarian Alquran, sementara kecendrungan dan kebiasaan menghapal saat itu lebih dominan dibanding dengan kecendrungan menulis.
  • Oleh karena Alquran diturunkan secara berangsur-angsur mulai dari Nabi saw. diangkat menjadi Rasul sampai menjelang akhir wafatnya, maka satu hal yang logis bila Alquran baru bisa dibukukan dalam satu mushhaf setelah wafat beliau.[33]
Dari keterangan-keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa Jam’ al-Qu’ ān wa kitābuhu telah dimulai sejak masa Nabi Muhammad saw., yakni penghapalannya dalam dada dengan penuh kesungguhan dan menulisnya secara terpisah-pisah dan dalam berbagai bahan yang serba sederhana.


C. Pengumpulan Alquran pada Masa al-Khulafā’ al-Rasyidūn


1. Pengumpulan Alquran pada masa Abu Bakar

Rasulullah saw. berpulang ke rahmatullah setelah beliau selesai menyampaikan risalah dan menyampaikan amanat serta memberi petunjuk kepada umatnya untuk menjalankan agama yang lurus.[34] Abu Bakar menjalankan urusan Islam sesudah Rasulullah. Ia dihadapkan kepada peristiwa-peristiwa besar berkenaan dengan kemurtadan sebagian orang Arab. Karena itu ia segera menyiapkan pasukan dan mengirimkannya untuk memerangi orang-orang yang murtad itu. Peperangan Yamamah yang terjadi pada tahun dua belas Hijriah melibatkan sejumlah besar sahabat yang hapal Alquran. Dalam peperangan ini tujuh puluh qari dari para sahabat gugur. Umar bin Khattab marasa sangat khawatir melihat kenyataan ini, lalu ia menghadap Abu Bakar dan mengajukan usul kepadanya agar mengumpulkan dan membukukan Alquran karena dikhawatirkan akan musnah, sebab peperangan Yamamah telah banyak membunuh para qari.[35]

Pada awalnya, Abu Bakar merasa ragu, namun setelah dijelaskan oleh Umar tentang nilai-nilai positifnya, ia menerima usul tersebut. Dan Allah melapangkan dada Abu Bakar untuk melaksanakan tugas yang mulia tersebut. Ia mengutus Zaid bin Tsabit dan menyuruhnya agar segera menangani dan mengumpulkan Alquran dalam satu mushaf. Mula-mula Zaid pun merasa ragu, kemudian ia pun dilapangkan Allah sebagaimana halnya Allah melapangkan dada Abu Bakar dan Umar.[36] 
Pengumpulan Alquran pada masa Utsman bin Affan 

Latar belakang pengumpulan Alquran pada masa usman berbeda dengan faktor yang ada pada masa Abu Bakar. Daerah kekuasaan Islam pada masa usman telah meluas dan orang-orang Islam telah terpencar di berbagai daerah dan kota. Di setiap daerah telah popular bacaan sahabat yang mengajar mereka. Penduduk Syam membaca Alquran mengikuti bacaan Ubay Ibnu Ka’ab, penduduk kufah mengikuti bacaan Abdullah Ibnu Mas’ud, dan sebagian yang lain mengikuti bacaan Abu Musa Al-Asy’ari. Di antara mereka terdapat perbedaan tentang bunyi huruf, dan bentuk bacaan. Masalah ini membawa mereka kepada pintu pertikaian dan perpecahan antarsesama. Hampir satu sama lainnya saling mengkufurkan karena perbedaan pendapat dalam bacaan.[37]

Masa kekhalifahan Usman bin Affan, pengumpulan Alquran dilator belakangi antara lain, meluasnya daerah islam dan semakin banyaknya umat memeluk agama islam secara berbondong-bondong. Dan terpisah-pisahnya para sahabat di berbagai daerah kekuasaan dan dari merekalah masyarakat mempelajari Alquran. Dan tidak diragukan lagi terjadi perbedaan dalam cara membaca Alquran. Seperti penduduk Syam membaca dengan qiraat Ubai bin ka’ab, penduduk kuffah membaca dengan Qiraat Abdullah bin Mas’ud dan yang lain memakai qiraat Abu musa Al-as’ari. Perbedaan ini membawa kepada pertentangan dan perpecahan di antara merteka sendiri. Bahkan sebagian mereka mengkafirkan sebagian yang lain.[38]

Inisiatif Usman bin Affan untuk segera membukukan dan menggandakan Al qur an muncul setelah ada usulan dari Khuzaifah. Kemudian, Khalifah Usman bin Affan yang isinya meminta agar Hafshah mengirimkan mushaf yang disimpannya untuk disalin kembali menjadi beberapa mashaf. Setelah itu, Khalifah Usman bin Affan memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin ‘Ash, dan Abdurrahman bin Harits untuk bekerjasama menggandakan Al qur an. Usman bin Affan berpesan bahwa “jika terjadi perbedaan di antara kalian mengenai Al qur an, tulislah menurut dialeg Quraisy karena Al qur an diturunkan dalam bahasa mereka.[39]

Setelah tim tersebut berhasil menyelesaikan tugasnya, Khalifah Usman bin Affan mengembalikan mushaf orisinil (master) kepada Hafsah. Kemudian, beberapa mushaf hasil kerja tim dikirimkan ke berbagai kota, sementara mushaf-mushaf lainnya yang masih ada pada waktu itu diperintahkan Khalifah Usman bin Affan untuk segera dibakar. Pembakaran mushaf ini dilakukan untuk mencegah terjadinya pertikaian di kalangan umat karena setiap mushaf yang dibakar mempunyai kekhususan. Para sahabat penulis wahyu pada masa Nabi SWA. tidak diikat oleh ketentuan penulisan yang seragam dan baku sehingga perbedaab antara koleksi seorang sahabat dan sahabat lainnya masih mungkin terjadi. Ada yang kelihatannya mencampurbaurkan antara wahyu dengan penjelasan-penjelasan Nabi atau sahabat senior, walaupun sesungguhnya yang bersangkutan dapat mengenali dengan pasti mana ayat dan mana penjelasan ayat, misalnya dengan membubuhi kode-kode tertentu yang mungkin hanya diketahui yang bersangkutan.[40]

Usman bin Affan lalu mengirim Mushaf Al-qur an ke beberapa wilayah yaitu, Kufah, Basrah dan Syam serta ditinggalkan satu di Madinah sebagai Mushaf Imam. Penamaan Mushaf Imam ini sesuai dengan apa yang terdapat dalam riwayat-riwayat terdahuhlu di mana ia mengatakan; bersatulah wahai sahabat-sahabat Muhammad, dan tulislah untuk semua orang satu Imam ( mushaf Al-qur an pedoman) Kemudian ia memerintahkan membakar semua bentuk lembaran atau mushaf selain itu. Umat pun menerima perintah itu dengan patuh. Ibnu Jarir mengatakan berkenaan dengan apa yang telah dilakukan Usman Bin Affan : Ia telah menyatukan umat islam dalam satu Mushaf, sedang Mushaf yang lain disobek. Ia memerintahkan dengan tegas agar setiap orang yang mempunyai mushaf yang berlainan dengan mushaf yang disepakati ia membakar mushaf tersebut . Umat pun mendukungnya dengan taat , dan mereka melihat dengan begitu Usman telah bertindak sesuai dengan petunjuk dan sangat bijaksana.[41]

Perbedaan antara pengumpulan mushaf Abu Bakar dan Usman adalah. Pada masa Abu Bakar adalah bentuk pemindahan dan penulisan Al qur an kedalam satu mushaf yang ayat-ayatnya sudah tersusun, berasal dari tulisan yang terkumpul dari kepingan-kepingan batu,pelepah-pelepah korma dan kulit binatang, adapun latarbelakangnya karena banyaknya huffazh yang gugur. Sedangkan pengumpulan Alquran pada masa Usman menyalin kembali yang telah tersusun pada masa Abu Bakar, dengan tujuan untuk dikirimkam keseluruh Negara Islam. Latar belakangnya adalah disebabkan karena adanya perbedaan dalam hal membaca Alquran.[42]


D. Pemeliharaan Alquran Pasca al-Khulafa al-Rasyidun


Sejak Mushaf Alqur’an masuk ke kota-kota besar, kaum muslimin menerima dengan menyalinnya. Dan mereka menyalinnya dengan jumlah yang cukup banyak dan tidak ada keraguan.

Ketika membaca tulisan Al-mas’udi, di sana membicarakan tentang perang Shiffin yang terjadi antara Ali dengan Muawiyah dan yang diisyaratkan oleh Amr bin ‘Ash dalam mengangkat Mushaf ketika terasa olehnya akan kemenangan Ali atasnya, dimana 500 Mushaf diangkat dari laskar muawiyah.

Banyak yang tidak menduga kaum muslimin saat itu mempunyai mushaf sejumlah itu. Dugaan waktu itu apa yang ada pada mereka tidak mencapai jumlah sebanyak itu, karena Usman menulis mushaf Al-Imam dan mengirimkannya ke kota-kota besar dengan jumlah sangat sedikit sekali. Namun demikian Usman memberikan kesempatan kepada kaum muslimin untuk menulis Alquran sebanyak-banyaknya dengan berpedoman kepada mushaf Al-Imam.[43]

Ketika wilayah Islam sudah semakin luas dan menjangkau daerah non Arab, seperti Turki, India, Persia, Afrika dan Timur Jauh, kesulitan membaca Alquran berkenaan dengan mushaf tanpa tanda baca semakin terasa. Suatu ketika seorang non Arab membaca surat At Taubah (9):3


“Sesungguhnya Allah dan Rasulnya berlepas diri dari orang-orang musyrik”


Namun dibaca dengan:


“Sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musyrik dan Rasul-Nya”


Perbedaan bacaan ini terjadi karena tidak adanya tanda baca. Ini memperlihatkan bahwa perbedaan bacaan bisa menimbulkan perbedaan makna yang sangat besar, dan ini sangat berbahaya bagi perjuangan kebenaran. Berangkat dari kenyataan ini Khalifah Marwan (685-705 M) memerintahkan ulama besar Al-Hajjaj binYusuf as- Saqati untuk segera member tanda baca (Syakal) pada Al qur an. Tanda baca hasil karya al-Hajjaj bin Yusuf as-Saqati ini kemudian distandarkan penggunaannya. Dalam menyelesaikan proyek besar ini, al-Hajjaj bin Yusuf as-Saqati dibantu Nashar bin ‘Ashim dan Yahya bin Ma’mur, dua murid tersohor Abu al-Aswad ad-Duwali.[44] 

Perbaikan bentuk penulisan tidak terjadi sekaligus, tetapi terjadi secara berangsur-angsur mengalami perkembangan dari generasi ke generasi hingga mencapai puncak keindahan dan kesempurnaannya akhir abad III H. sehingga menurut Abu ‘Amar ad Dani bahwa tidaklah benar kalau ada yag mengatakan barwa Abul Aswad ad-Duwali secara sendiri-sendiri meletakkan kaedah syakal dan titik dalam penulisan Alquran. Az-Zakarsyi dalam al-Burhān mengatakan bahwa Abul Aswad ad-Duwali dikenal karena dialah yang pertama kali meletakkan kaedah tata bahasa Arab atas perintah Khalifah Ali bin Abi Thalib. 

Sedangkan menurut As-Suyuthi bahwa sebagian jumhur berpendapat bahwa Abul Aswad ad Duali membuat tanda baca berupa titik tersebut atas instruksi dari khalifat Abdul Malik bin Marwan. Sehingga menurut sebagian ulama, penemuan akan cara penulisan Alquran dengan huruf-huruf bertitik adalah melanjutkan tradisi yang pernah dilakukan oleh Abul Aswad ad-Duali.[45]

Hal-hal baru yang pada mulanya tidak disukai dan dianggap Bid’ah oleh para ulama, tetapi kemudian dianggap baik adalah penulisan tanda-tanda pada setiap awal surat , peletakkan tanda-tanda yang memisahkan ayat-ayat dan pembagian Al qur an ke dalam juz-juz tersebut. Semua yang dilakukan itu adalah sebuah usaha dan kerja yang sangat mulia dan akan mendapatkan ganjaran dari Allah swt.[46]

Alquran pertama kali di cetak di kota Bunduqiyah (Venesia, Italia Utara), tahun 1530 M. kemudian tahun 1694 M Hinkelman mencetak Alquran di Hambourg Jerman dan berikutnya Marraci pada tahun 1698 M di kota Padoue (Italia Utara). Waktu itu belum ada percetakan dalam dunia Islam, baru pada tahun 1787 berdirilah percetakan Islam di kota Saint petersbourg Rusia didirika Maulaya Usman (Sultan Ottoman Turki). Kemudian pada tahun 1342 H (1923) muncul Alquran mungil dan halus dicetak di Mesir dibawah pengawasan Syeikh Al-Azhar, yang disahkan oleh Raja Fuad I.[47]


E. Rasm al-Qur’ān


1. Pengertian Rasm Alquran

Rasm berasal dari kata rasama-yarsamu yang artinya menggambar atau melukis. Istilah rasm dalam Ulumul Quran diartikan sebagai pola penulisan Alquran yang digunakan oleh Utsman bin ‘Affan dan sahabat-sahabatnya ketika menulis dan membukukan Alquran. Lalu, pola penulisan itu menjadi gaya penulisan standar dalam penulisan kembali atau penggandaan mushaf Alquran. Pola penulisan ini kemudian lebih populer dengan nama Rasm Utsmani.[48]

Yang dimaksud dengan Rasm Alquran atau Rasm ‘Utsmani atau rasm ‘Utsman adalah tata cara menuliskan Alquran yang ditetapkan pada masa Khalifah ‘Utsman bin Affan. Istilah rasm ‘Utsman lahir bersamaan dengan lahirnya Mushaf ‘Utsman, yaitu mushaf yang ditulis oleh panitia empat yang terdiri dari atas Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin Al’Ash, dan ‘Abdurrahman bin Al-Harits. Mushaf ‘Utsman ditulis dengan kaidah-kaidah tertentu.[49] Para ulama meringkas kaidah itu menjadi enam istilah, yaitu:

  1. Al-Hadz (membuang, menghilangkan, atau meniadakan huruf). Contohnya, menghilangkan huruf alif pada ya’ nida’ ياايهاالناس , dari ha tanbih هاانتم , pada lafazh jalalah الله , dan dari kata na انجينكم.
  2. Al-Jiyadah (penambahan), seperti menambahkan huruf alif setelah wawu atau yang mempunyai hukum jama’ (بنوااسراءيل) dan menambah alif setelah hamzah marsumah (hamzah yang terletak di atas tulisan wawu) (تفتوا تالله).
  3. Al-Hamzah, salah satu kaidahnya berbunyi bahwa apabila hamzah berharakat sukun, ditulis dengan huruf berharakat yang sebelumnya, contoh “ i’dzan” (ئذن ا ) dan “u’tumin” (اؤتمن ).
  4. Badal (penggantian), seperti alif ditulis dengan wawu sebagai penghormatan pada kata الحيوة, الزكوة, الصلوة.
  5. Washal dan Fashl (penyambungan dan pemisahan), seperti kata kul yang diiringi kata ma ditulis dengan disambung (كلما).[50]
  6. Kata yang dapat dibaca dua bunyi. Penulisan kata yang dapat dibaca dua bunyi disesuaikan dengan salah satu bunyinya. Di dalam mushaf ‘Utsmani, penulisan kata semacam ini ditulis dengan menghilangkan alif, misalnya "ملك يوم الدين “. Ayat ini boleh dibaca dengan menetapkan alif (yakni dibaca dua alif), boleh juga dengan hanya menurut bunyi harakat (yakni baca satu alif).[51]
2. Pendapat Para Ulama sekitar Rasm Alquran

a. Mengenai status atau kedudukan Rasm Alquran (tata cara penulisan Alquran), para ulama berbeda pendapat. Mereka mempertanyakan benarkah pola penulisan tersebut merupakan petunjuk Nabi saw.(tawqifi) ataukah hanya ijtihad sahabat?. Dalam hal ini, terdapat beberapa pendapat, di antaranya sebagai berikut:

Sebagian dari mereka berpendapat bahwa rasm ‘Utsmani bersifat tauqifi,[52] yakni bukan merupakan produk budaya manusia yang wajib diikuti oleh siapa saja ketika menulis Alquran. Mereka bahkan sampai pada tingkat menyakralkannya. Untuk menegaskan pendapatnya, mereka merujuk pada sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi pernah berpesan kepada Mu’awiyah, salah seorang seretarisnya

“Letakkanlah tinta. Pegang pena baik-baik. Luruskan huruf ba’. Bedakan huruf sin. Jangan butakan huruf min. perbaguslah (tulisan) Allah. Panjangkan (tulisan) ar-rahman dan perbaguslah (tulisan) ar-rahim. Lalu letakkan penamu di atas telinga kirimu, karena itu akan membuatmu lebih ingat.”[53] 

Mereka juga mengutip pernyataan Ibn Al-Mubarak:


“Sahabat dan yang lainnya, sama sekali tidak campur tangan dalam urusan Rasm Mushaf, sehelai rambut sekalipun. Itu adalah ketetapan Nabi. Beliaulah yang menyuruh mereka menulisnya seperti dalam bentuknya yang dikenal, dengan menambahkan alif dan menghilangkannya karena adanya rahasia yang tidak dapat dijangkau akal. Hal itu merupakan salah satu rahasia yang khusus diberikan Allah untuk kitab suci-Nya yang tidak diberikan pada kitab samawi lainnya. Sebagaimana halnya susunan Alquran itu mukjizat, rasm (tulisannya) pun mukjizat pula”[54]


Berdasarkan sabda Nabi dan pernyataan Ibn Al-Mubarak tersebut, mereka memandang bahwa Rasm ‘Utsmani memiliki rahasia yang sekaligus memperlihatkan maknanya yang tersembunyi. Umpamanya adalah penambahan huruf ya pada penulisan kata “‰&ƒr & pada ayat:


Dan langit itu kami bangun dengan kekuasaan (kami) dan Sesungguhnya kami benar-benar berkuasa[55]


Mengomentari pendapat di atas, Al-Qaththan berpendapat bahwa tidak ada satu riwayat pun dari Nabi yang dapat dijadikan alasan untuk menjadikan Rasm ‘Utsmani sebagai tauqifi. Rasm Utsmani murni merupakan kreatif panitia empat atas persetujuan ‘Ustman sendiri. Yang dijadikan pedoman cara penulisan yang digunakan panitia itu adalah pesan ‘Utsman kepada tiga orang di antara panitia yang berasal dari suku Quraisy, yaitu: “Jika kalian berbeda pendapat (ketika menulis Mushaf) dengan Zaid bin Tsabit, maka tulislah dengan lisan Quraisy karena dengan lisan itulah Alquran turun” [56]

b. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa Rasm ‘Utsmani bukan tauqifi, tetapi merupakan kesepakatan cara penulisan (ishtilahi) yang disetujui ‘Utsman dan diterima umat, sehingga wajib diikuti dan ditaati siapapun ketika menulis Alquran.[57] Banyak ulama terkemuka yang menyatakan perlunya konsistensi menggunakan Rasm ‘Utsmani. Asyhab berkata bahwa ketika ditanya tentang penulisan Alquran, apakah perlu menulisnya seperti yang dipakai banyak orang sekarang, Malik menjawab,”Aku tidak berpendapat demikian. Seseorang hendaklah menulisnya sesuai dengan tulisan pertama.[58]


Imam Ahmad bin Hanbal pernah berkata: “Haram hukumnya menyalahi khath Mushaf ‘Utsmani dalam soal wawu, alif, ya’, atau huruf lainnya”[59]


c. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa Rasm ‘Utsmani bukanlah tauqifi. Tidak ada halangan untuk menyalahinya tatkala suatu generasi sepakat menggunakan cara tertentu untuk menulis Alquran yang berlainan dengan Rasm Utsmani.[60] Dalam hal ini, Al-Qādhi Abu Bakar Al-Baqillāni berkata, “Adapun mengenai tulisan, sedikitpun Allah tidak mewajibkan kepada umat. Alllah tidak mewajibkan juru tulis-juru tulis Alquran dan kaligrafer mushaf-mushaf untuk menggunakan suatu bentuk tertentu dan mewajibkan mereka meninggalkan jenis tulisan lainnya. Sebab, keharusan untuk menerapkan bentuk tertentu harus ditetapkan berdasarkan Alquran atau hadis. Padahal, tidak ada di dalam nash-nash Alquran, tidak juga tersirat dari suatu (mafhum)-nya yang mengatakan bahwa rasm dan dhabith Alquran hanya dibenarkan dengan cara tertentu dan keterangan tertentu. Tidak juga disebutkan dalam sunnah yang mewajibkan dan menunjukkan hal itu, dan tidak pula ditunjukkan qiyas syar’i. bahkan, sunnah menunjukkan bolehnya menuliskan (mushaf) dengan cara yang termudah sebab Rasulullah dahulu menyuruh menuliskannya tanpa menjelaskan kepada mereka bentuk (tulisan) tertentu. Oleh karena itu, telah terjadi perbedaan khath mushaf-mushaf (yang ada). Ada di antara mereka yang menulis kalimat berdasarkan makhraj lafazh dan ada pula yang menambah dan menguranginya berdasarkan pengetahuannya bahwa Rasm ‘Utsmani hanyalah merupakan istilah semata. Jelasnya, siapa saja mengatakan wajib mengikuti cara penulisan tertentu ketika menulis Alquran, hendaklah ia mendukungnya dengan berbagai argumentasi. Dan kami siap membantahnya”.[61]

Berkaitan dengan ketiga pendapat di atas, Al-Qaththan memilih pendapat kedua karena lebih memungkinkan untuk memelihara Alquran dari perubahan dan penggantian hurufnya. Seandainya setiap masa diperbolehkan menulis Alquran sesuai dengan trend tulisan pada masanya, perubahan tulisan Alquran terbuka lebar pada setiap masa. Padahal, setiap kurun waktu memiliki trend tulisan yang berbeda-beda. Mengomentari pendapat Al-Baqilani di atas, Al-Qaththan menegaskan bahwa perbedaan khath pada mushaf-mushaf yang ada merupakan satu hal dan cara menulis huruf merupakan hal lain. Yang pertama berkaitan dengan bentuk huruf, sedangkan yang kedua berkaitan dengan cara penulisan huruf.[62] Untuk memperkuat pendapatnya, Al-Qaththan mengutip ucapan Al-Baihaqi di dalam kitab Syu’b Al-Iman, “Siapa saja yang hendak menulis Mushaf, hendaknya memperhatikan cara mereka yang pertama kali menulisnya. Janganlah berbeda dengannya. Tidak boleh mengubah sedikitpun apa-apa yang btelah mereka tulis karena mereka lebih banyak pengetahuannya, ucapan dan kebenarannya lebih dipercaya, serta lebih dapat memegang amanat daripada kita. Jangan ada di antara kita yang merasa dapat menyamai mereka”.[63] 

A. Kesimpulan

Dari analisis pembahasan pada bab-bab sebelumnya, akhirnya penulis sampai pada beberapa kesimpulan sebagai berikut;

  1. Jam’ al-Qur’ān (pengumpulan Alquran) oleh para ulama mempunyai dua pengertian. Pertama, pengumpulan dalam arti hifzhuhu (menghapalnya dalam hati). Kedua, pengumpulan dalam arti kitabatuhu kullihi (penulisan Alquran semuanya) baik dengan memisah-misahkan ayat-ayat dan surah-surahnya, atau menertibkan ayat-ayat semata dan setiap surah ditulis dalam satu lembaran secara terpisah, ataupun menertibkan ayat-ayat dan surah-surahnya dalam lembaran-lembaran yang terkumpul yang menghimpun semua surah, sebagaimana ditulis sesudah bagian yang lainnya.
  2. Para penghapal Alquran di masa Rasulullah amat banyak jumlahnya dan sebagai ciri khas umat pada masa ini ialah mereka berpegang pada hapalan dalam penukilan. Di samping itu, dengan penuh kesungguhan, para sahabat menulisnya secara terpisah-pisah dan dalam berbagai bahan yang serba sederhana. 
  3. Pada masa Abu Bakar, motivasi penulisan Alquran disebabkan karena kekhawatiran sirnanya Alquran dengan syahidnya beberapa penghapal Alquran pada Perang Yamamah. Hal itu dilakukan dengan mengumpulkan tulisan-tulisan Alquran yang terpencar-pencar pada pelepah kurma, kulit, tulang, dan sebagainya. Sedangkan pada masa ‘Utsman bin ‘Affan, motivasi penulisan diakibatkan karena terjadinya banyak perse4lisihan di dalam cara membaca Alquran, dan hal itu dilakukan dengan menyederhanakan tulisan mushaf pada satu huruf dari tujuh huruf yang dengannya Alquran turun.
  4. Pada periode setelah masa Khulafaur Rasyidūn, pemeliharaan Alquran ditandai dengan dilengkapinya titik dan harakat, serta percetakan Alquran di berbagai Negara.
  5. Istilah rasm dalam Ulumul Quran diartikan sebagai pola penulisan Alquran yang digunakan oleh Utsman bin ‘Affan dan sahabat-sahabatnya ketika menulis dan membukukan Alquran yang kemudian lebih populer dengan nama Rasm Utsmani. Para ulama berbeda pendapat mengenai status atau kedudukan Rasm Alquran (tata cara penulisan Alquran). Sebagian dari mereka berpendapat bahwa Rasm ‘Utsmani bersifat tauqifi, dan sebagiannya lagi berpendapat bukan tauqifi, tetapi merupakan kesepakatan cara penulisan (ishtilahi) yang disetujui ‘Utsman dan diterima umat, sehingga wajib diikuti dan ditaati siapapun ketika menulis Alquran. 

B. Saran Dan Implikasi


Diharapkan melalui tulisan ini, kita semakin tahu dan sadar bahwa ternyata Kitab Alquran yang ada sekarang ini telah melalui sebuah proses sejarah yang cukup panjang dan keotentikannya tetap terjaga hingga kini karena Allah sendiri yang menjaganya. Wallahu a’lam bis-shawwab.



DAFTAR PUSTAKA


Abu Syahbah, Muhammad bin Muhammad. Al-Madkhal li Dirasat al-Qur’ān Al-Karīm. Kairo: Maktabah As-Sunnah, Kairo, 1992.


Al-Abyari, Ibrahim. Kitab Tarikh al-Qur’an, terj. St. Amanah, Sejarah Al-Qur’an. Cet. 1; Semarang: Toha Putra, 1993.


Amal, Taufik Adnan. Rekonstrusi Sejarah al-Qur an. Cet. 1; Yogyakarta: Forum Kajian Budaya dan Agama, 2001.


Anwar, Rosihan. Ulumul Qur’an. Cet.3; Bandung: Pustaka Setia, 2006.


Al-A’zami, M.M. The History of the Qur anic Text, terj. Sohirin Solihin & Anis Malik Thaha, Sejarah Teks Al-qur an. Cet. 1; Jakarta: Gema Insani Press, 2005.


Al-Hafidz, Ahsin W. Kamus Ilmu Alquran. Cet.1; Jakarta: Amzah, 2005.


Hasanuddin AF, Perbedaan Qiraat dan Pengaruhnya terhadap Istinbath Hukum dalam Al-Qur’an. Cet. 1; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.


Izzan, Muhammad. Ulūmul Qur an: Telaah Tekstualitas dan Kontestualitas Alqur’an. Cet. 3; Bandung; Tafakur, 2009.


Mahmud, Adnan & Hamid Loanso. Ulumul Qur an. Cet. 1; Jakarta: Tim Restu Ilahi, 2005.


Ma’rifat, M. Hadi. Tarikh al-Qur’ān, terj. Thoha Musawa, Sejarah Al-Quran. Cet.2; Jakarta: Al-Huda, 2007.


Al-Qaththan, Manna’ Khalil. Mabahits fi’Ulum al-Qur’an. Mansyurat Al-Ashr Al-Hadis, 1973.


Al-Qaththan, Manna’ Khalil, Mabâhits fi ‘ulumi Al-qur an, terj. Mudzakir AS, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur an. Cet.10; Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2007.


Ash-Shaabuniy, Muhammad Ali. At-Tibyaan Fii Ulum al-Qur’an, terj.Aminuddin, Studi Ilmu Al-Qur’an. Cet.1; Bandung: Pustaka Setia, 1998.


Ash-Shabuny, Muhammad Ali. Al-Thibyan Fi ‘Ulumi Al-Qur an. Bairut: Daru al-Irsyad), terj. Moch Chudari Umar dan Moh Matsna H.S, Pengantar Studi Al Qur an. Cet. 4; Bandung: Al Ma’arif, 1996.


as-Shalih, Shubhi. Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an. Cet. 9; Beirut: Dâr Al-‘ilmi, t.th.


Ash-Shiddieqy, T.M.Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Alqur-an/Tafsir. Cet.8; Jakarta: Bulan Bintang, 1980.


Shihab, M. Quraish. Membumikan Al- Qur’an. Cet.12; Bandung: Mizan, 1996.


As-Suyuthi, Jalaluddin. Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an. Beirut: Dar al-Fikr, t.th.


As-Suyuthi, Jalaluddin. Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an. Jilid 1; Cairo: Babil Halabi, 1951.


Az-Zanjani, Abu Abdullah. Tarikh al-Qur’an , terj. Kamaluddin Marzuki Anwar & A. Qurtubi Hasan, Wawasan Baru Tarikh Al qur an. Cet. 2; Bandung: Mizan, 1991.


Al-Zarqani, Muhammad ‘Abdul ‘Azim. Manhilu Al-‘irfan fi ‘Ulumi Al-qur an. Tab’u bi Mathba’ati al-Bâbi: t.th.

[1]Shubhi as-Shalih, Mabahits fi ‘ulûm al-Qur’ān (Cet. 9; Beirut : Dâr Al-‘ilmi), h.65.


[2]M. Quraish Shihab, Membumikan Al- Qu’ an (Cet.12; Bandung: Mizan, 1996), h.35.


[3]M. Hadi Ma’rifat, Tarikh al-Qur’ān, terj. Thoha Musawa, Sejarah Al-Quran (Cet.2; Jakarta: Al-Huda, 2007), h. 129.


[4]Mannā’ Khalil al-Qattān, Mabâhits fi ‘ulūm al-Qur’ān, terj. Mudzakir AS, Studi ilmu-ilmu Al-Qur an, (Cet.10, Bogor ; Pustaka Litera antar nusa, 2007), h. 178.


[5]Program Alquran Word.


[6]Shubhi as-Shalih, loc. cit.,


[7] Ibid, h. 65


[8] Mannā’ Khalil al-Qaththān, op. cit. h. 179.


[9] M.M Al-A’zāmi, The History of the Qur’anic Text, terj. Sohirin Solihin & Anis Malik Thaha, Sejarah Teks Al-Qur’an (Cet. 1; Jakarta: Gema Insani Press, 2005), h. 83.


[10]Muhammad Ali Ash-Shabūniy, At-Tibyān Fii Ulūm al-Qur’ān, terj. Aminuddin, Studi Ilmu Al-Qur’an (Cet.1; Bandung: Pustaka Setia, 1998), h. 93.


[11]Term ummi terdapat dalam QS.Al-A’râf (7): 157 dan 158, yaitu Nabiyyi Al-Ummiy (Nabi yang tidak tahu membaca dan menulis), sedang istilah Ummiyyîn/Ummiyyûn dapat ditemukan dalam QS.Al-Baqarah (2): 78, QS. ‘Ali ‘Imran (3): 20 dan 75 serta QS. Al-Jumu’ah (62): 2. Adapun yang dimaksud dengan Ummiyyin adalah orang-orang yang tidak tahu membaca dan menulis. Kebanyakan orang-orang Arab pada masa Rasulullah saw. berkeadaan demikian. Lihat Ahsin W. Al-Hafidz, Kamus Ilmu Alquran (Cet.1; Jakarta: Amzah, 2005), h. 302.


[12]Op.cit., h. 94.


[13]Program Alquran Word.


[14]Mannā’ Khalil al-Qaththān, Mabāhis fi ‘Ulūm al-Qur’an, terj. Mudzakir, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an (Cet.8; Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2004), h. 179.


[15]Ibid., h. 180.


[16]Ibid., h. 183.


[17]Almawardi ialah Abul Hasan Ali bin Habib asy-Syafi’i, pengarang Kitab al-Ahkāmus Sulthāniyyah dan Adābud-Dunyā wad īin; w. 450 H.


[18]Lihat Jalaluddin As-Suyūthi, Al-Itqān fi ‘Ulūm Qur’an ( Jilid 1; Cairo: Babil Halabi, 1951), h.72.


[19]Abu ‘Ubaid adalah al-Qāsim bin Salam al-Harāwi al-Azdi al-Khuza’i; seorang ahli hadis dan bahasa terkemuka serta pengarang kitab al-Amwāl yang terkenal itu. w. 224 H.


[20]Empat orang berbama Abdullah yang terkenal dengan fatwanya, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin ‘Amr bin ‘as, Abdullah bin Umar dan Abdullah bin Zubair.


[21]As-Suyuthi, op.cit., h.72.


[22]Namanya Muhammad bin Ahmad bin ‘Usman; salah seorang tokoh ahli hadis pada abad kedelapan; wafat 748 H.


[23]T.M.Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Alqur-an/Tafsir (Cet.8; Jakarta: Bulan Bintang, 1980), h. 84.


[24]Ibid., h. 86.


[25]Ibid., h. 86-87.


[26]Ia adalah Muhammad bin Muhammad, terkenal dengan nama Ibnul Jazari, pengarang kitab an-Nasyr fil Qirā’atil ‘Asyr; w. 833 H.


[27]Muhammad Ali Ash-Shabūniy, op.cit., h. 98.


[28]Muhammad Izzan, Ulūmul Qur an: Telaah Tekstualitas dan Kontestualitas Al-Qur’an, (Cet.3; Bandung: Tafakur, 2009), h. 69.


[29]Op.cit., h. 99.


[30]Ash-Shabūniy, op.cit., h. 99.


[31]M.M Al-A’zami, The History of The Qur’anic Text, terj. Sohirin Solihin & Anis Malik Thaha, Sejarah Teks Al-Qur’an (cet. I, Jakarta; Gema Insani Press, 2005), h. 75.


[32]Ahmad Izzan, op. cit. h. 71.


[33]Hasanuddin AF, Perbedaan Qiraat dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum dalam Al qur an, (Cet. I, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), h. 50.


[34]Ash-Shabuuniy, op.cit., h. 100.


[35]Lihat Al-Qaththan, op.cit., h. 188. Bandingkan dengan Muhammad Ali Ash-Shaabuuniy, op.cit., h. 100.


[36]Ash-Shabuuniy, op.cit., h.100.


[37]Ash-Shabuuniy, op.cit., h. 108.


[38] Muhammad ‘Abdul ‘Azim Al-zarqani, Manahilu Al-‘irfan fi ‘Ulumi Al-qur an, (Tab’u bi mat’ba’ati al-bâbi), h. 255.


[39]Ahmad Izzan, op. cit , h. 73.


[40] Ibid.


[41]Manna’ Khalil Al-qattan, op. cit. h. 196.


[42] Muhammad Aly Ash Shabuny, Al-Thibyan Fi ‘Ulumi Al-Qur an, (Bairut: Daru al-Irsyad), terj. Moch Chudari Umar dan Moh Matsna H.S, Pengantar Studi Al qur an, (Cet. IV, Bandung: Al Ma’arif, 1996), h. 96.


[43]Ibrahim Al Abyari, Kitab Tarikhul Qur an, terj. St. Amanah, Sejarah Al-qur an, (Cet. 1, Semarang; Toha Putra, 1993), h. 120.


[44] Ahmad Izzan, op. cit., h. 74.


[45] Adnan Mahmud & Hamid Loanso, Ulumul Qur’an, (Cet. 1, Jakarta: Tim Restu Ilahi, 2005), h. 21-22.


[46]Ibid.


[47]Shubhi Ash-Shalih, op. cit, h. 99-100.


[48]Ahmad Izzan, op.cit., h. 110.


[49]Rosihan Anwar, Ulumul Qur’an (Cet.3; Bandung: Pustaka Setia, 2006), h. 50.


[50]Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah, Al-Madkhal li Dirāsat Al-Quran Al-Karim (Kairo: Maktabah As-Sunnah, Kairo, 1992), h. 302-307.


[51]Op.cit., h. 51-52.


[52]Yaitu bukan produk manusia, tetapi sesuatu yang ditetapkan berdasarkan wahyu Allah, yang Nabi sendiri tidak memiliki otoritas untuk menyangkalnya. 


[53]Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fi’Ulum al-Qur’an (Mansyurat Al-Ashr Al-Hadis, 1973), 146-147.


[54]Ibid., h. 147.


[55]Program Alquran Word.


[56]Al-Qaththan, op.cit., h. 147.


[57]Ibid.,


[58]Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), h. 167.


[59]Ibid.,


[60]Al-Qaththan, op.cit., h. 148.


[61]Ibid.,


[62]Ibid., h. 149.


[63]Ibid., h. 150.
HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html