Agama Islam merupakan agama yang sempurna, dalam hal syariat. sebagaimana yang telah diterangkan dalam Kitabullah SWT. yang berbunyi :
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي
وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.[1]
Dalam kehidupan keberagamaan khususnya bagi ummat Islam, sering terjadi kesalahan dalam menjalankan syariat agama sesuai dengn yang telah digariskan oleh Allah dan Rasulullah saw. baik yang diketahui maupun yang samar-samar bahkan telah muncul hal-hal yang baru yang dianggapnya sebagai perbuatan ibadah yang tidak ada kerangan mengenai hal atau perbuatan tersebut dalam agama kita (Islam). Demikianlah yang selanjutnya oleh kalangan ulama menyebutnya sebagai perbuatan Bid’ah.
Oleh karena kurangnya pengkajian terhadap al-Din utamanya pengkajian tentang kaidah ushuluiyah sehingga terkadang pada masalah tertentu tidak dapat membedakan antara perkara yang satu dengan perkara yang lain apabila hanya diperhatikan secara sepintas lalu. Sebagai contoh antara bid’ah dan mashlahah mursalah yang merupakan bahan bahasan pemakalah pada kesempatan ini.
A. Pengertian Bid’ah
Pengertian bid’ah secara bahasa berarti membuat sesuatu yang baru yang belum pernah ada contoh sebelumnya.[2]
البدعة : ما اخترع على غير مثال سابق
Seperti firman Allah SWT. ;
بَدِيعُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ
Yang menciptakan langit dan bumi[3]
Maksudnya : Allah yang menciptakan langit dan bumi dengan rupa dan bnetuk tanpa ada contoh sebelumya, dan dalam keadaan yang sebaik-baiknya dan seindah-indahnya.[4]
Apabila dikatakan orang :
إِبْتَدَعَ فُلاَنٌ بِدْعَة
“Si Fulan telah berbuat bid’ah”
Artinya: Si Fulan telah memulai mengadakan (membuat) suatu cara yang belum pernah didahului oleh orang lain atau belum pernah ada orang yang mendahuluinya.
Dan seperti kata sahabat ‘Umar bin al-Khaththab r.a.:
نِعْمَتِ اْلبِدْعَةُ هَذِهِ
“Sebagus-bagus bid’ah ialah ini”
yakni : shalat tarawih pada tiap-tiap malam dalam bulan Ramadhan dengan jama’ah, dikerjakan bersama-sama dengan seorang imam.
Perkataan atau perbuatan mengadakan bid’ah dalam bahasa Arab dikatakan “Ibtida’” (إبتداع), barang yang diadakan (dbuat) demkian juga rupa dan kelakuannya dikatakan “Bid’ah” (بدعة) dan orang yang mengadakan perbuatan bid’ah diktakan “Mubtadi’” (مبتدع).[5]
Adapun pengertian bid’ah menurut Syari’at jalan baru dalam agama yang diserupakan dengan syariat dengan tujuan untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah SWT.
البدعة هي عبادة عن طريقة في الدين مخترعة تضاهي الشرعية يقصد بالسلوك عليها المبالغة في التعبد لله سبحانه 6].
Sebagai contoh dari perbuatan bid’ah antara lain :
- Shalat nishfu Sya’ban , yaitu shalat seratus rakaat pada malam tanggal 15 bulan Sya’ban, dengan cara-cara tertentu.
- Shalat sehabis shalat shubuh dan shalat sehabis shalat ashar.
- Mengerjakan adzan dan iqamat shalat hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha)[7]
B. Pengertian Mashlahah Mursalah
Secara etimologi, mashlahah sama dengan manfaat, baik dari segi makna maupun lafal. Mashlahah juga berarti manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat. Apabila dikatakan bahwa perdagangan iutu suatu kemaslahatan dan menuntut ilmu itu suatu kemaslahatan, maka hal tersebut berarti bahwa perdagangan dan menunutut ilmu itu penyebab diperolehnya manfaat lahir dan bathin.[8]
Secara terminologi, Imam Al-Ghazali mengemukakan bahwa pada prinsipnya mashlahah adalah “mengambil manfaat dan menolak kemudharatan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’.”[9]
Adapun maksud dan tujuan syara’ ada lima perkara :
- Memelihara agama mereka;
- Memelihara jiwa mereka;
- Memelihara akal-fikiran mereka;
- Memelihara keturunan mereka,
- Memelihara harta benda mereka.
Oleh sebab itu, maka segala yang mengandung tujuan lima perkara ini , dapatlah dikatakan “mashlahat”, dan jika tidak mengandung lima perkara ini, maka tidaklah dapat dikatakan “mashlahat”. Dengan pengerian ini, maka kata “mashlahat mursalah” itu dapat juga diartikan untuk memudahkan kata dengan arti : “kemaslahatan umum”, kebaikan untuk bersama, dengan tujuan “memelihara maksud syara’ (agama)”.[10]
PERBEDAAN ANTARA MASHLAHAH MURSALAH DAN BID’AH
Sebagian ulama ( yang kurang pengertian tentang ushul fiqh) ada yang samar-samar pengertiannya tentang yang dinamakan mashlahah mursalah dan yang dinamakan bid’ah. sebabnya timbul kesamaran itu, karena “mashlahah mursalah” itu, tidak ada persesuaian yang di tunjukkan oleh dalil yang tertentu tidak ada syahid dari syara’ untuk menentukan. Dengan demikian, maka timbullah kesamaran, lalu orang menyamakan saja antara yang dinamakan bid’ah dan yang dinamakan marsalah mursalah.
Orang memandang, bahwa bid’ah dan marsalah mursalah itu mengalir dari satu sumber, karena kedua-duanya tidak ada dalil tertentu dari syara’. Perbuatan bid’ah adalah perbuatan yang tidak ada dalil dari syara’, sedang mashlahah mursalah itu demikian juga, tidak ada dalil tertentu dari syara’.
Agar tidak timbul fikiran samar-samar yang demikian, dan dapat membedakan antara yang dinamakan “mashlahah mursalah” dan yang dinamakan “bid’ah”, baiklah dibawah ini diurikan duduk persoalannya.[11]
Para ulama ahli ushul telah membagi segi keberadaan mashlahah menurut syara’ kedalam tiga bagian, yakni ;
- Mashlahah al-Mu’tabarah (المصلحة المعتبرة), yaitu kemaslahatan yang didukung oleh syara’. Maksudnya, adanya dalil khusus yang menjadi dasar bentuk dan jenis kemaslahatan tersebut. Misalnya, hukuman atas orang yang meminum minuman keras dalam hadis Rasulullah saw. dipahami secara berlainan oleh para ulama’ fiqh, disebabkan perbedaan alat pemukul yang dipergunakan Rasulullah saw. ketika melaksanakan hukuman bagi orang yang meminum minuman keras. Ada hadits yang menunjukkan bahwa alat yang diergunakan Rasul saw. adalah sandal/alas kakinya sebanyak 40 kali (H.R. Ahmad ibn Hanbal dan al-Baihaqi) dan ada kalanya dengan pelepah pohon kurma juga sebanyak 40 kali (H.R. al-Bukhari dan Muslim). Oleh sebab itu, ‘Umar ibn al-Khaththab, setelah bermuyawarah dengan para sahabat lain menjadikan hukuman dera bagi orang yang meminum minuman keras tersebut sebanyak 80 kali dera. ‘Umar ibn al-Khaththab mengqiaskan orang yang meminum minuman keras kepada orang yang menuduh orang lain berbuat zina. Logikanya adalah, seseorang yang meminum minuman keras apabia mabuk, bicaranya tidak bisa terkontrol dan diduga keras akan menuduh orang lain berbuat zina. Hukuman bagi seseorang yang menuduh orang lain berbuat zina adalah 80 kali dera (Q.S. al- Nur,24: 4). Oleh karena adanya dugaan keras menuduh orang lain beruat zina akan muncul dari orang mabuk, maka Umar ibn Khaththab dan ‘Ali ibn Abi Thalib mengatakan bahwa hukuman bagi orang yang meminum minuman keras sama hukumannya dengan orang yang menuduh orang lain berbuat zina.
- Mashlahah al-Mulghah (المصلحة الملغاة), yaitu kemaslahatan yang ditolak oleh syara’. Misalnya, syara’ menentukan bahwa orang yang melakukan hubungan seksual di siang hari di bulan Ramadhan dikenakan hukuman dengan memerdekakan budak, atau puasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan 60 orang fakir miskin (H.R. al-Bukhari dan Muslim). Al-Laits ibn Sa’ad (94-275 H/ahli fiqh Maliki di Spanyol), menetapkan hukuman puasa dua bulan berturut-turut bagi seseorang (penguasa Spanyol) yang melakukan hubungan seksual dengan istrinya di siang hari Ramadhan. Para ulama memandang hukum ini bertentangan dengan hadis Rasulullah saw. di atas, karena bentuk-bentuk hukuman itu harus di terapkan secara berturut-turut. Apabila tidak dapat memerdekakan budak , baru dikenakan hukuman puasa berturut-turut. Oleh sebab itu para ulama ushul fiqh memandang mendahulukan hukuum puasa dua bulan berturut-turut dari memerdekakan hamba sahaya merupakan kemaslahatan yang betentangan dengan kehendak syara’; hukumnya batal. Kemaslahatan seperti ini, menurut kesepakatan para ulama, di sebut dengan Kemashlahatan al-Mulghah dan tidak bisa dijadikan landasan hukum.
- Mashlahah al-Mursalah (المصلحة المرسلة), yaitu kemashlahatan yang keberaadaannya tidak di dukung Syara’ dan tidak pula dibatalkan /titolak syara’ melalui dalil yang rinci.[12] Hanya dapat difahamkan dari jurusan maksud-maksud syara’ yang umum, lalu di pergunakan untuk mencapai maksud-maksud syara’ itu.
Alasan Jumhur Ulama dalam menetapkan Mashlahah dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum, antara lain adalah:
Hasil induksi terhadap ayat atau hadits menunjukkan bahwa setiap hukum mengandung kemashlahatan bagi umat manusia. Dalam hubungan ini, Allah berfirman:
وما أرسلناك إلا رحمة للعالمين
“Kami tidak mengutus engkau (Muhammad), kecuali untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam”.[13]
Menurut jumhur ulama’, rasuliullah itu tidak akan menjadi rahmat apabila bukan dalam rangka memenuhi kemaslahatan ummat manusia. Selanjutnya ketentuan dalam ayat al-Qur’an dan sunnah Rasulullah, di dunia dan di akhirat. Oleh sebab itu, memberlakukan mashlahah terhadap hukum-hukum yang lain yang juga mengandung kemaslahatan adalah legal.
Kemashlahatan manusia akan senantiasa dipengaruhi perkembangan tempat, zaman dan lingkungan mereka sendiri. Apabila syariat Islam terbatas pada hukum-hukum yang ada saja, akan membawa kesulitan.
Jumhur Ulama juga beralasan dengan merujuk kepada beberapa perbuatan shahabat, seperti Umar Ibn Al-Khaththab tiidak memberi bagian kepada para muallaf (orang yang baru masuk islam), karena menurut Umar, kemashlahatan orang banyak menuntut untuk hal itu. Abu Bakar mengumputlkan al-Qur’an atas saran Umar ibn Khaththab , sebagai salah satu kemaslahatan untuk melestarikan al-Qur’an dan menuliskan al-Qur’an pada satu logat bahasa di zaman ‘Usman bin Affan demi memelihara tidak terjadinya perbedaan bacaan al-Qur’an itu sendiri.[14]
Berdasarkan uraian diatas maka kami dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa;
- Antara bid’ah dan mashlahah mursalah memiliki kesamaan yakni kedua-duanya tidak ada dalil tertentu dari syara’.
- Bid’ah menurut syari’at jalan baru dalam agama yang diserupakan dengan syariat dengan tujuan untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah swt. Sedangkan mashlahah mursalah adalah “kemaslahatan umum”, kebaikan untuk bersama, dengan tujuan “memelihara maksud syara’ (agama)”
KEPUSTAKAAN
Khalil, Munawar, Kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah, Jakarta: PT. Bulan-Bintang, 1993.
Haroen, Nasrun, Ushul Fiqh 1, Jakarta: Logos, 1996.
Bin Baz, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah, Waspada Terhadap Bid’ah, Jakarta: Yayasan al-Asofwa, 2001.
Al-Faqihi, Ali bin Muhammad Nashir, Kriteria Bid’ah & dampak Negatifnya terhadap Umat, Jakarta: Al-Qowam, 2002.
[1] Al-Qur’an dan Terjemahannya surat Al-Maidah(5) : 3
[2] Ali bin Muhammad Nashir al-Faqihi, “Kriteria bid’ah dan dampaknya terhadap umat”, ( Cet.1 ; Jakarta: Al-Qowam, 2002), h. 25
[3] Al-Qur’an dan Terjemahannya surat al-Baqarah(2) : 117
[4] Moenawar Chalil, “Kembali kepada al-Qur’an dan As-Sunnah”, ( Cet. 9; Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1993), h.225
[5] Ibid, h. 227
[6] Op.Cit., h. 229
[7] Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, “Waspada terhadap Bid’ah”, (Jakarta: Yayasan Al- Sofwa, 2001), h. 23
[8] Nasrun Haroen, “Ushul Fiqh 1” , (Cet. 1; Jakarta: Logos, 1996), h. 114
[9] Ibid., h. 114
[10] Op. cit., h. 257
[11] Ibid., h. 259
[12] Op. Cit., h. 119
[13] Al-Qur’an dan terjemahannya Surat al-Anbiya’, 21: 107
[14] Op. Cit., h. 124
0 komentar:
Post a Comment