Islam Di Domba Hitamkan

Ditengah kekacauan,Fitnah, teror dan kekerasan,umat Islam tetap tabah berdiri mempertahankan keyakinannya, dengan memperkenalkan agamanya dengan cara-cara damai dan menyejukkan.

Akhirnya Sunni dan Syiah Bersatu

Bukankah mereka mengimani tuhan yang sama, Mencintai Nabi dan Rosul yang sama, memiliki Kitab suci yang sama, Mempunyai Syahadah yang sama ?, Kemudian mereka saling fitnah dan menumpahkan darah.

Pengaruh Peradaban Islam Terhadap dunia Modern

Pada masa lampau, peradaba Islam memberikan sumbangan besar terhadap kemajuan dunia Barat, kini Islam dan Barat saling menghunus pedang, Islam sebagai Tokoh Kegelapan, sedangkan Barat sebagai Tokoh Peradaban.

Jihad Dan Terorisme dalam Prespektif Islam

Siapa mereka yang mengatakan terorisme merupakan bagian dari jihad fi sabilillah ?? sedangkan teror sangat ditentang oleh teks rujukan utama umat Islam.

Lagenda Assasin "Penebar Maut Lembah Alamut"

Asyhasin(assassin) Antara Lagenda dan Mitos, Siapa Sangka Assassin yang terkenal sebagai Game, adalah Kisah Nyata Pasukan Khusus sekte pecahan Syiah Ismailiyah.

Showing posts with label Kerajaan Islam Nusantara. Show all posts
Showing posts with label Kerajaan Islam Nusantara. Show all posts

Monday, 21 March 2016

Naga; Perspektif Al-Quran & Tradisi Mistis Orang Labala

Ular Naga Menurut Perspektif Al-Quran

Harus diketahui, menciptakan manusia dari tiada, membentuknya dan meniupkan padanya dari ruh-Nya, dan mengokohkan alam semesta, juga segenap keajaiban yang terkandung di dalamnya, adalah yang Maha Kuasa juga yang menciptakan luar angkasa dan makhluk yang ada di dalamnya.

Al-Quran juga telah menunjukkan adanya makhluk-makhluk yang tidak diketahui manusia di masa kenabian (Muhammad SAW). Demikian juga menunjukkan peran dari penemuan ilmiah, bahwa setiap berita akan ada waktu kemunculannya (pembuktiannya), sepanjang manusia berusaha tetap memanfaatkan potensi akal yang dimiliki untuk membuktikannya (mencari, menelusuri dan menemukannya).


"Dan Dia (Allah) telah menciptakan kuda, bagal, keledai agar kamu menungganginya (dan menjadikannya perhiasan). Dan Allah juga menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya." (QS. An-Nahl: 8)


Keyakinan kepada hal-hal yang tak terjangkau (yang belum dipahami akal) manusia, yang dalam istilah al-quran di sebut dengan hal yang gaib (malaikat, jin, iblis, makhluk luar angkasa, termasuk hari pembalasan, dll) adalah salah satu sendi keimanan (Rukun Iman) dalam Islam.


Kita sering mendengar, membaca berita/cerita tentang penampakan hal-hal gaib atau fenomena alam yang terjadi diluar jangkauan nalar/logika manusia. Sayangnya, hanya karena tak terjangkau atau tak terpahami oleh logika, maka kadang dengan angkuh dan sombongnnya kita menganggap semua berita/cerita itu hanya sekadar mitos/tahayul/legena/dongeng semata, tanpa mau berikhtiar menelusuri jejak sejarah atau jalan cerita yang sebenarnya.


Lagi pula, sesuatu yang dianggap gaib belum tentu tak ada. Sesuatu yang dianggap cerita mitos, tahayul, legenda, dongeng dsb, belum tentu berarti cerita itu tak pernah terjadi. Kendalanya hanya ada pada keterbatasan kemampuan akal manusia yang belum mampu menguaknya. Sesuatu yang gaib adalah sesuatu yang misteri, sesuatu yang masih menjadi rahasia, sesuatu yang masih ditabiri. Dan tabir utama yang menjadi penghalang itu adalah keterbatasan pengetahuan kita sebagai manusia.

Pada tulisan ini saya hanya akan sedikit membahas tentang adanya isyarat dalam al-Quran yang menjelaskan kemungkinan adanya kehidupan makhluk berupa hewan melata (ular, kadal dsb) yang bila ditelusuri, sedikit banyak membantu menguak misteri akan keberadaan makhluk berupa hewan melata yang selama ini hanya dianggap cerita mitos/tahayul/legenda/dongeng. Makhluk berupa hewan melata yang saya maksud adalah ular naga yang hingga kini menjadi tradisi mistis dalam adat dan budaya Orang Labala.


Berikut saya mengutip beberapa ayat dalam al-quran yang menjadi signal/isyarat keberadaan makhluk yang diiptakan Allah SWT dari jenis hewan melata yang kita tidak/kita belum mengetahui dan memahaminya. Misalnya dalam al-quran diisyaratkan kemungkinan adanya kehidupan makhluk diluar angkasa dan di bumi (entah sejenis manusia, jin atau hewan melata dll.).


"Diantara tanda-tanda-Nya ialah Dia menciptakan langit dan bumi, dan makhluk-makhluk yang melata yang disebarkan pada keduanya (langit dan bumi) dan Dia Maha Kuasa mengumpulkan semuanya apabila dikehendakiNya." (QS. Asy-syura: 29)


Kata "makhluk yang melata" yang dalam teks asli al-quran disebut dengan "dabbah". Oleh sebagian ulama menerjemahkannya dengan "makhluk melata", yaitu makhluk yang berjalan atau bergerak berpindah tempat dengan tidak menggunakan kaki atau tangan atau sayap. Dalam pengertian umum, binatang yang punya ciri melata yaitu berjalan/berpindah dengan perut atau otot perutnya adalah ular.

Kata "dabbah" dalam al-quran memiliki kemiripan dengan kata "Deppa" dalam bahasa Lamaholot Labala yang juga memiliki arti yang sama yaitu bergerak atau berjalan dengan perut atau melatah ditanah. Dari kata "Deppa" dalam bahasa Labala, kemudian terbentuk kata "Geppa" yang digunakan untuk nama binatang seperti kemodo/biawak yang bila berjalan terlihat seperti melata dengan menyeret perut di tanah. Selain itu, dalam banyak anggapan, komodo/biawak biasa disebut juga dengan naga darat.


Kata lain yang bersinonim dengan kata "Deppa" dalam bahasa labala adalah "doro" yang berarti melatah dipohon. Tapi kata deppa dan doro umumnya digunakan untuk aktifitas berpindah tempat atau bertumbuh pada binatang dan tumbuhan yang melata di tanah atau di pohon seperti ular atau seperti hura jawa (ketela rambat) dimu (semangka/mentimun) dll


Dalam al-quran juga ditegaskan bahwa, makhluk melata yang disebut dengan "dabbah' (ular) ini tak hanya berada dan hidup di bumi, tapi juga berada dan hidup di pelanet/galaksi/alam lain di langit.


"Dan kepada Allah sajalah bersujud segala makhluk melata yang berada di langit dan semua makhluk melata yang ada di bumi dan juga para malaikat. Sedangkan mereka (malaikat) tidak menyombongkan diri." (QS. An-Nahl: 49)


Dengan isyarat ayat seperti di atas, maka sebagian ulama mengatakan bahwa tak ada salahnya penjelasan ayat al-quran di atas menjadi isyarat bahwa ada wujud kehidupan alam lain yang memiliki makhluk yang barangkali juga memiliki kemiripan dengan kehidupan di bumi tempat kita hidup.

Tak bisa dipungkiri, kitab suci tiada lain hanyalah kitab pedoman yang menuntun manusia untuk memahami dan memaknai kebesaran dan kekuasaan Sang Pencipta. Kitab suci bukanlah seperti buku ilmiah yang menjelaskan secara terperinci fenomena dan nomena semesta, namun kitab suci juga mengandung signal/isyarat ilmiah yang bisa dijadikan dasar mencari dan menemukan kebebenaran yang masih ditutup kabut misteri.


Ular Naga Dalam Tradisi Mistis Orang Labala

(Ular Naga Adalah Simbol Air dan Siklus Kehidupan)


Sebagai Orang Labala, saya tak asing dengan cerita ular naga. Tak hanya berupa cerita yang banyak orang menganggapnya sekadar mitos, namun juga ular naga dalam cerita sejarah, adalah penyebab utama pelarian Orang Labala dari Lepan-Batan. Selain itu, ritual adat yang berhubungan dengan ular naga yang dilakukan oleh Orang Labala, menjadi alasan mengapa mitos tentang ular naga ini tak asing bagi saya.
Bila ditelusuri dari jalan ceritanya dan diamati dari upacara adat berupa ritual Pao Oma (pao= memberi/membujuk/memberi makan, Oma/ume= jatah/bagian) yang di lakukan Orang Labala, Ular Naga tak lain adalah simbol yang merupakan unsur penting kehidupan yang sangat lekat dengan kehidupan manusia. Simbol yang saya maksudkan adalah Air. Air adalah salah satu unsur terpenting yang juga menjadi salah satu kebutuhan pokok manusia. Bahkan menurut kajian ilmu pengetahuan, air disinyalir sebagai asal mula kehidupan semua makhluk.

Di Labala, hampir semua seremonial adat berhubungan dengan air; air sungai, air laut dan air hujan. Di sungai misalnya, sepanjang aliran sungai, mulai dari wai mata (sumber mata air) sampai wai lei (muara sungai). Begitupun di laut, Orang Labala memiliki seremoni adat tula re (berdamai dengan laut). Bahkan di Labala pun Orang Labala memiliki seremoni adat teppa bala (memanggil hujan) bila terjadi kemarau berkepanjangan sehingga terancam gagal panen.

Dilihat dari berbagai seremonial adat yang dilakukan Orang Labala, bila dikaitkan dengan ilmu pengetahuan, upacara seremonial adat ini menggambarkan siklus perjalanan air sebagai sumber kehidupan. Dalam ilmu pengetahuan kita mengenal istilah siklus air, dimana air laut (hari lewa/tula ree) sebagai sumber air utama menguap karena panas matahari (sumber energi keilahian/ketuhanan) kemudian menjadi uap/awan. Selanjutnya, awan mendung yang mengandung titik-titik air kemudian jatuh sebagai hujan (teppa bala), lalu hujan yang turun kebumi membentuk mata air (wai mata), kemudian mata air mengalir menjadi sungai menuju muara (wai lei/pao oma) dan kembali lagi ke laut (hari lewa/tula ree).
Dari sedikit penggambaran di atas, maka dapat kita pahami, bahwa kepercayaan akan ular naga sebagai simbol air, merupakan sebua upaya manusia menjalin keselarasan hidup dengan alam yang memberinya kehidupan. Bukankah terjadinya aneka mala dan bencana akibat dari ulah manusia yang seenaknya saja memperlakukan alam?

Sebagaimana yang disinyalir dalam Kitab Suci al-Quran:
“Telah nampak kerusakan (bencana) di darat dan di laut akibat ulah tangn-tangan manusia, agar Allah merasakan kepada mereka akibat dari perbuatannya itu dan agar mereka mau kembali (sadar)”
Naga Bumi-Naga Langit; Simbol Keseimbangan Kosmis
(Naga Langit; Simbol Alam Ilahiah/Alam Malakut/Alam Gaib. Naga Bumi; Simbol Alam Semesta/Alam Makhluk/Alam Nyata)

Sebagaimana hukum alam (sunnatullah), segala sesuatu diciptakan Tuhan selalu berpasangan. Langit dan bumi adalah pasangan telur kosmis, sumber keyakinan Orang Lamaholot terkhusus Orang Labala, yang meyakini kuasa Lera-wulan Tanah Ekan (Tuhan Sang Pemilik Langit dan Bumi). Dari pasangan kosmis keilahian (Langit dan Bumi), selanjutnya terbentuklah pasangan kosmis kemanusiaan (makhluk) yaitu keblake-keberwae (laki-laki dan perempuan) atau manusia yang oleh Tuhan diberi amanah menjadi khalifah (penghubung kosmis keilahian dengan kosmis alam semesta) beserta segala hal lain di alam raya yang juga tercipta berpasang-pasangan.

Pasangan adalah gambaran kesetimbangan/keseimbangan. Pasangan juga adalah simbol eksistensi/keberlangsungan hidup.Tak akan ada keteraturan/keseimbangan bila segala sesuatu tak tercipta berpasangan. Kelestarian manusia akan tetap terjaga bila manusia tercipta dari pasangan lelaki dan perempuan. Lampu bahlon tak akan menyala bila tak ada aliran energi positif dan negatif dan masih banyak contoh keseimbangan kosmis lainnya.

Kita menyebut keseimbangan/ keselarasan dengan keadilan. Itulah mengapa Tuhan dikatakan Maha Seimbang (al-Adil) tak memihak karena Tuhan tak punya kepentingan-apa-apa dari makhluknya. Tuhan juga disebut Maha Bijaksana (al-Hakim) selalu memberi jalan keluar untuk mengoreksi dan memperbaiki kesalahan/dosa hamba-Nya.

Adil adalah gambaran ketegasan hukum, sedangkan bijaksana adalah gambaran pengampunan/pemaafan/kasih sayang. Keadilan dan kebijaksanaan ini, dalam khasanah tradisi dan budaya, Orang Lamaholot menyebutnya dengan Keniki-Pelatin dan geleten-gelaran.

Ungkapan Keniki-Pelatin dan Geleten-Gelaran adalah gambaran keseimbangan kosmis kehidupan. Keniki-Pelatin dan Geleten-Gelaran juga adalah perwakilan dari sifat kosmis keilahian/ketuhanan dan sifat kosmis alam/makhluk. Secara bahasa, keniki-pelatin artinya panas atau pedis sebagai simbol ketegasan/keadilan. Sedangkan Geleten-Geelaran artinya dingin atau sejuk sebagai simbol pengampunan/pemaafan/kasih sayang.

Bila ditelusuri lebih mendalam, ungkapan keniki-pelatin dan geleten-gelaran berakar dari keyakinan Orang Lamaholot akan Koda-Kiri. Koda sebagai sabda (kebenaran), kiri sebagai firman (kesucian). Koda-Kiri adalah Kalam/Kata-kata/Sabda/Firman dari Lera-wulan Tanah-Ekan (Tuhan/Allah SWT). Koda-kiri diyakini sebagai asal muasal dari asbab penciptaan alam semesta (langit dan bumi beserta isinya, termasuk manusia). Yang dalam istilah agama islam dikenal dengan, Kun, Fayakuun (Jadilah! Maka terjadilah apa yang dikehendaki-Nya)

Koda-kiri adalah keseimbangan yang pantang/tabu untuk dilanggar apalagi diabaikan. Bila dijalani dengan benar menurut tujuan penciptaan, maka akan tercipta keseimbangan/keselarasan (kedamaian) kosmis. Namun bila dilanggar atau diabaikan, maka yang terjadi adalah ketidaseimbangan/kekacauan (bencana) kosmis.

Dari keyakinan akan koda-kiri ini kemudian melahirkan filosofi (kearifan) Koda keniki-pelatin sili-lia mean, Kiri geleten-gelaran keru-baki buran. Bahwa kebenaran koda-kiri (kata/kalam/firman) adalah sesuatu yang sakral. Pelanggaran terhadap kebenaran koda-kiri akan menyebabkan nalan (dosa), nedin (bencana), elan/elen (kesalahan), milan (tercemar/kekotoran), dan haban (tersesat). Oleh karena itu, nalan/nedin/elen/milan/haban hanya bisa terampuni/termaafkan/tersucikan apabila manusia mau menyadari kesalahannya dan melakukan pertaubantan/penyucian/permaafan yang dalam istilah adat Orang Lamaholot disebut huku/hoko mehi (pemulihan darah) untuk kembali berdamai dengan Lera wulan-Tanah Ekan (Tuhan Sang Pencipta)

Filosofi Koda keniki-pelatin sili lia mean dan Kiri geleten-gelaran keru baki buran ini kemudian menjadi pedoman/pegangan dalam setiap aktifitas kehidupan sehari-hari Orang Lamaholot, termasuk di Labala yang diwujudkan dengan ritual adat Pao Omadan Tula Ree yang disimbolkan dengan ular naga langit dan ular naga bumi. Ular naga langit sebagai perwakilan kosmos keilahian/alam malakut/alam gaib, sedangkan ular naga bumi sebagai perwakilan kosmos alam semesta/alam makhluk/alam nyata. Lebih dari pada itu, ritual pao oma dan tula ree merupakan ikhtiar manusia untuk berdamai dengan alam agar tercipta keseimbangan.
Manusia, dengan potensi lahir dan batin, akal dan nurani yang dikaruniakan Tuhan, dipilih oleh-Nya untuk mengemban amanat suci sebagai Khalifah (wakil Tuhan di bumi) untuk menjadi pemimpin, menjadi pengayom dan penjaga keseimbangan kosmos, menjadi penghubung langit dan bumi, yang diaplikasikan dengan menjalin hubungan baik dengan Tuhan dan menjalin hubungan baik dengan sesama dan alam semesta. Dengan demikian, maka akan tercipta tatanan kehidupan yang rahmatan lil alamin yaitu kehidupan seimbang yang menjadi penyebab rahmamat/kasih sayang Tuhan selalu menyertai.
Keyakinan akan keseimbangan kosmos yang disimbolkan dengan ular naga sebagai air kehidupan dan sebagai keseimbangan kosmis antara kosmis keilahian (ketuhanan/gaib) dengan kosmis kemakhlukkan sebagai ciptaan, senantiasa menjadi kearifan dan nilai luhur yang unik bagi orang lamaholot, terkhusus Orang Labala yang tetap mempertahankan tradisi mistis religius ini. 

Mengabaikan kearifan leluhur tanpa didahului dengan perenungan dan kajian mendalam akan makna dibalik ritual-ritual mistis ini, adalah sebentuk kesombongan iman bagi mereka yang mengaku beragama dan kecongkakan intektual bagi mereka yang mengaku sebagai cendekiawan.

Akhirnya, tak semua adat leluhur dan tradisi nenek-moyang dengan aneka ritual mistisnya harus dicap sebagai musyrik oleh mereka yang mengaku beragama, atau dianggap mitos oleh mereka yang mengaku akademisi. Toh segala sesuatu yang dianggap musyrik dan mitos tak serta merta dicap sebagai kuno, kafir dsb sebelum bisa dibuktikan dengan hujja (dalil) yang sahih. Menyalahkan tanpa pernah membuktikan kesalahan itu sendiri adalah sebentuk kemunafikan orang-orang yang mengaku beragama dan kebodohan intelektual bagi mereka yang mengaku cerdik cendekia. (**)
~AtaLabala~

Catatan: Tulisan ini hanyalah menurut persepsi penulis yang berusaha memaknai adat dan budaya yang diwariskan oleh nenek moyang. Apa yang penulis sajikan ini bukanlah kebenaran mutlak yang harus juga diyakini oleh pembaca, karena kebenaran mutlah hanyalah milik Tuhan. Jika bermanfaat, silahkan diambil. Bila tak bermanfaat, silahkan diabaikan saja. Wassalam...

Tulisan ini pernah dimuat di http://www.kompasiana.com/muhammadbaran/ular-naga-perspektif-al-quran-tradisi-mistis-orang-labala_56eec7f3c2afbd6113a6941a

Oleh : Muhammad Baran

Thursday, 19 February 2015

Kerajaan Islam di Jawa

Sebelum berdirinya kerajaan-kerajaan Islam, di Jawa telah berdiri kerajaan-kerajaan Hindu-Budha yang cukup kokoh, kuat dan tangguh, bahkan sampai saat ini hasil peradabannya masih dapat disaksikan. Misalnya, candi Borobudur yang merupakan peninggalan Budha Mahayana dan candi Roro Jonggrang di desa Prambanan. Demikian juga halnya dari segi literatur, seperti buku Pararaton dan Negara Kertagama. Wajarlah jika Vlekke menyebut kerajaan-kerajaan pra-Islam, khususnya Singosari dan Majapahit, sebagai Empire Builders of Java.


Setelah agama Islam datang di Jawa dan Kerajaan Majapahit semakin merosot pengaruhnya di Masyarakat, terjadilah pergeseran di bidang politik. Menurut Sartono Kartodirjo, islamisasi menunjukkan suatu proses yang terjadi cepat, terutama sebagai hasil dakwah para wali sebagai perintis dan penyebar agama Islam di Jawa. Di samping kewibawaan rohaniah, para wali juga berpengaruh dalam bidang politik, bahkan ada yang memegang pemerintahan. Otoritas kharismatis mereka merupakan ancaman bagi raja-raja Hindu di pedalaman.

Oleh karena itu, ada beberapa hal yang dilakukan oleh para wali dalam mengembangkan politiknya.
  1. Seorang wali tidak mengembangkan wilayah dan tetap menjalankan pengaruh secara luas, umpamanya Sunan Giri.
  2. Seorang wali tidak mengembangkan pengaruh politik, dan selanjutnya kekuasaan politik ada di tangan raja, umpamanya di Demak dan Kudus.
  3. Seorang wali mengembangkan wilayah dan melembagakannya sebagai kerajaan, tanpa mengurangi kekuasaan religius, umpamanya Sunan Gunung Jati.
Pengembangan politik para wali yang semula berkedudukan di pantai-pantai, ternyata tidak dipertahankan oleh penerusnya. Akhirnya, pusat aktivitas politiknya pindah ke pedalaman yang semula kuat ke-Hinduannya bahkan sampai ke Madura dan kota-kota lain di Nusantara.

A.Kerajaan Demak (1500-1550)

Pada waktu Sunan Ampel (Raden Rahmat) wafat, maka para wali songo berkumpul di Ampel Denta, Surabaya, mereka sepakat untuk mendirikan sebuah pusat pemerintahan yang mengatur urusan-urusan umat Islam, juga sepakat untuk mendirikan masjid di Bintaro.

Raden Patah adalah anak Raja Prabu Brawijaya V (Raja Majapahit). Beliau mempunyai saudara laki-laki, Raden Damar yang menjadi penguasa Majapahit di Palembang. Kepada beliau inilah Prabu Brawijaya menitipkan ibu Raden Patah yang sedang hamil, ia adalah seorang selir Prabu Brawijaya, maka lahirlah putra yang diberi nama Raden Joyowiseno. Setelah besar, dia ke Jawa dan belajar kepada Sunan Ampel. Dan Sunan Ampellah yang memberi nama Abdul Fatah artinya pembuka pintu gerbang kemenangan.

Raden Patah (Pangeran Jimbun) kemudian dikawinkan dengan cucu raden Rahmat. Setelah beberapa lama berguru kepada Raden Rahmat, diutuslah beliau ke Bintaro. Di sana beliau hidup bersama isterinya mengepalai satu masyarakat kecil kaum Islam. Keberangkatannya ke Bintaro adalah hasil kesepakatan para wali, hendak membuat Bintaro sebagai pusat kegiatan umat Islam. Akhirnya atas usul para wali Raden Patah diangkat menjadi adipati Bintaro (Demak) pada tahun 1462 M. Dan atas perintah Sunan Ampel, Raden Patah ditugaskan mengajar agama Islam serta membuka pesantren di desa Glagat Wangi (Demak).

Lama-kelamaan Demak semakin penting karena menjadi pusat penyiaran agama Islam tempat masjid Agung yang didirikan oleh Raden Patah bersama para wali. Dijadikan pesantren tempat mendidik dan mengajar kader-kader Islam dan menjadi pusat kegiatan dalam lapangan politik bagi umat Islam. Sekarang masjid tersebut masih berdiri dengan megahnya. Inilah masjid yang paling suci di mata orang Islam di Jawa. Tiap tahun banyak orang pergi ziarah untuk mengenang dan menghormati pejuang-pejuang Islam yang telah menumbangkan agama Hindu.

Akhirnya Raden Patah secara terang-terangan memutuskan segala ikatannya dengan Majapahit, di tengah suasana interen kerajaan terjadi konflik yang sedang dirobek oleh komplotan golongan petualang dalam istana. Dengan bantuan daerah-daerah lainnya di Jawa Timur yang sudah Islam, seperti Jepara, Tuban ,dan Gresik, akhirnya dapat merobohkan Kerajaan Majapahit. Kemudian, beliau memindahkan semua alat upacara kerajaan dan pusaka-pusaka Majapahit ke Demak. Dengan demikian, para wali di Surabaya menetapkan atau mengangkat Raden Patah sebagai sultan pertama Kerajaan Demak dengan gelar Sultan Alam Akbar Al-Fatah. Pada tahun 1478 Demak diproklamirkan menjadi Kerajaan Islam pertama di Jawa dengan beliau sebagai sultan pertamanya. Kerajaan ini bertahan sampai tahun 1546 setelah terjadi perebutan kekuasaan antara Arya Panangsang dengan Adiwijoyo. Sunan Kudus ulama yang besar rupanya memihak kepada Arya Panangsang karena memang dia yang berhak melanjutkan kesultanan. Akan tetapi Arya Panangsang dibunuh oleh Adiwijoyo (Joko Tingkir). Dengan tindakan ini berakhirlah Kerajaan Demak dan Joko Tingkir memindahkannya ke Pajang.

B. Kerajaan Pajang 

Secara resmi Keraton Demak dipindahkan ke pajang pada tahun 1568 sebagai tanda berdirinya Kerajaan Pajang. Joko Tingkir atau Sultan Adiwijoyo menjadi raja pertama Kerajaan Pajang (dekat Solo sekarang). Kedudukannya disyahkan oleh Sunan Giri dan segera mendapat pengukuhan dari adipati-adipati di seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sultan Adiwijoyo mengangkat pula Arya Pengiri anak Sunan Prawoto (cucu Trenggono) menjadi adipati di Demak, kemudian dikawinkannya dengan putrinya.

Peralihan kekuasaan politik dari keturunan Sultan Demak kepada Sultan Pajang Adiwijoyo diikuti oleh perubahan pusat pemerintahan dari pinggir laut yang bersifat maritim, ke pedalaman yang bersifat pertanian (agraris).

Selama pemerintahan Joko Tingkir, kesusastraan dan kesenian keraton yang sudah maju peradabannya di Demak dan Jepara, lambat laun dikenal di pedalaman Jawa Tengah. Kesusastraan berkembang dengan pesat dan seorang pujangga terkenala adalah Pangeran Karang Gayam.

Kyai Gede Pamanahan adalah pengikut Joko Tingkir yang paling banyak jasanya dalam pembunuhan Arya Panangsang. Atas jasanya itulah dihadiahkan daerah Mataram sekitar kota Gede Yogyakarta sekarang. Dalam waktu singkat kota ini menjadi sangat maju. Ia meninggal 1575 M. Anaknya Sutowijoyo menggantikannya dan melanjutkan usaha ayahnya membangun kota tersebut. Ia orang yang gagah berani, mahir dalam peperangan oleh karena itu, ia terkenal dengan nama Senopati Ing Alaga (Panglima Perang).

Ketika Joko Tingkir wafat, ia digantikan oleh Arya Pengiri, namun banyak masyarakat yang tidak menyukainya. Kesempatan itu dipergunakan oleh Pangeran Benawa putra Joko Tingkir untuk merebut kembali kekuasaannya. Ia minta bantuan kepada Senopati Mataram yang dianggapnya sebagai kakak yang memang juga menginginkan lenyapnya Kerajaan Pajang.


Terjadilah perang antara Pajang dan Mataram. Sultannya menyerah, sedangkan Pangeran Benawa mengakui kekuasaan Senopati Sutowijoyo. Segala alat kebesaran Majapahit dalam istana Pajang dibawa ke Mataram. Maka daerah Pajang dapat dipersatukan dengan Mataram dan mulailah riwayat Mataram pada tahun 1586 M.

C.Kerajaan Mataram 

Sutowijoyo adalah merupakan raja pertama (1586-1601) dengan gelar Panembahan Senapati Sayyidin Panotogomo (yang dipertuan mengatur agama) dengan ibu kotanya Kota Gede (Yogyakarta). Pada masa pemerintahannya, dia bercita-cita mempersatukan seluruh Jawa di bawah kekuasaan Mataram sebelum niat tersebut tercapai dia wafat. Lalu digantikan oleh Mas Jolong atau Panembahan Seda Ing Krapyah dengan gelar Sultan Anyokrowati (1601-1613).

Pada masa dia memerintah Mataram goncang. Demak dan Ponorogo berontak namun beliau dapat mengatasinya. Tahun 1612, Surabaya tidak bersedia lagi mengakui kedaulatan Mataram. Akhirnya sultan menduduki Mojokerto, merusak Gresik dan membakar desa-desa sekitar Surabaya. Namun Surabaya tetap bertahan, sultan mengalami kegagalan dan wafat pada tahun 1613.

Sebagai penggantinya Raden Rangsang dengan gelar Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1645). Ia dikenal orang yang kuat, jujur dan adil. Pada masanya, Mataram mengalami kejayaan sebagai kerajaan yang terhormat dan disegani, tidak saja di pulau Jawa tetapi juga di pulau-pulau lainnya. Sebagai orang muslim taat, beliau patuh menjalankan ibadah tidak pernah melalaikan sembahyang Jumat ke Masjid bersama pembesar keraton dan alim ulama. Para alim ulama sering dimintai pertimbangan-pertimbangan mengenai soal-soal keagamaan dan pemerintahan. Dan pada masa beliau Jawa Timur, Jawa Tengah dan di luar Jawa di bawah kekuasaan beliau.

Pada masa pemerintahan beliau, usaha-usahanya antara lain:
  1. Mempersatukan Jawa di bawah satu pemerintahan di Mataram
  2. Perayaan Grebeg yang telah menjadi tradisi nenek moyang sejak sebelum Islam, disesuaikan dengan perayaan hari raya Idul Fitri dan Maulid Nabi Muhammad, Saw.
  3. Sejak Tahun 1633, ia mengadakan tareh baru. Tahun 1633 itu adalah tahun caka 1555. Perhitungan tahun baru ini kemudian disebut tahun Jawa Islam.
  4. Gamelan Sekaten yang semula hanya dibunyikan pada Grebeg Maulid itu, atas kehendak beliau dipukul di halaman masjid besar.
  5. Memperluas daerah pertanian dengan memindahkan penduduk dari Jawa Tengah ke daerah lainnya.
  6. Perdagangan dengan luar negeri tetap dijalankan melalui pelabuhan-pelabuhan besar seperti Cirebon (Jawa Barat), Pekalongan dan Gresik.
Tahun 1645, beliau wafat di gantikan anaknya, Amangkurat I atau Sunan Tegalwangi yang memerintah selama 32 tahun (1645-1677). Amangkurat I terkenal sebagai raja yang lalim dan curiga terhadap siapa saja. Sementara itu terjadi juga pemberontakan Trunojoyo yang mendapat bantuan dari beberapa daerah seperti Banten. Pada tanggal 2 Juli 1677 Mataram jatuh ke tangan Trunojoyo. Namun Amangkurat II pada tahun 1677-1679 yang memerintah. Dia hendak merebut Mataram dengan meminta bantuan Belanda, maka orang-orang Jawa yang kuat Islamnya tidak mau mengakui Amangkurat II sebagai rajanya. Sebaliknya mereka memandang Trunojoyo sebagai pelindung agama Islam.

Amangkurat II tetap bertekad untuk merebut kembali Mataram, akhirnya cita-citanya terkabul. Adapun Trunojoyo dengan pengiringnya melarikan diri dan pada tahun 1679 mereka menyerah kepada Belanda. Kejayaan Mataram semakin menurun semasa pemerintahan Amangkurat II. Satu demi satu wilayah kekuasaan Mataram dikuasai oleh VOC (Belanda). Kemudian raja memindahkan pusat pemerintahan dari Mataram ke Kartasura. Di tempat baru itu ia menjalankan pemerintahan terhadap sisa-sisa wilayah Mataram, sampai ia wafat 1702. Keruntuhan Mataram sudah diambang pintu. Tahun 1755, dengan campur tangan VOC, kerajaan Mataram dibagi menjadi dua wilayah melalui perjanjian Giyanti, yaitu sebagai berikut;
  1. Kesultanan Yogyakarta atau Ngayogyakarta Hadiningrat diperintah oleh Mangkubumi dengan gelar Sri Sultan Hamengkubuwono I.
  2. Kesultanan Surakarta atau Kasunanan Surakarta diperintah oleh Sri Susuhunan Pakubuwono III.
Pada tahun 1757, kembali dengan campur tangan VOC, Mataram terpecah belah lagi melalui perjanjian Salatiga. Mataram menjadi kerajaan kecil sebagai berikut:
  1. Kesultanan Yoyakarta
  2. Kesultanan Surakarta
  3. Kadipaten Pakualaman
  4. Kadipaten Mangkunegaran.
Sehingga Kerajaan Mataram Islam akhirnya tinggal nama saja sedangkan kekuasaan mutlak tetap di tangan Belanda. 

D.Kerajaan Banten 

Kedatangan Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah ke Banten dari Demak adalah untuk meletakkan dasar bagi pengembangan agama Islam dan perdagangan orang-orang Islam. Setelah itu, beliau kembali dan menetap di Cirebon kemudian Banten diserahkan kepada putranya, yaitu Hasanuddin. Sejak saat itu, Hasanuddin resmi menjadi sultan pertama di Banten tahun 1552-1570 dan Banten diumumkan sebagai kerajaan Islam (kesultanan) di Jawa. 

Sumber lain menyebutkan bahwa Hasanuddin menikah dengan putri raja Demak dan kemudian dinobatkan sebagai penguasa Banten pada tahun 1552. Pada tahun 1568, saat terjadi perebutan/peralihan kekuasaan ke Pajang, Hasanuddin melepaskan diri dari kekuasaan Demak. Dengan demikian, Hasanuddin merupakan pendiri dan sekaligus sebagai raja pertama Kerajaan Banten.

Di bawah pemerintahannya, agama Islam serta pemerintahan Banten makin lama makin kuat. Pelabuhan Banten menjadi Bandar dan pusat perdagangan yang ramai dikunjungi saudagar-saudagar dari luar negeri seperti dari Gujarat, Persia, Tiongkok, Turki, Pegu(Selatan Myanmar), Keling, dan Portugis. Orang-orang Tiongkok ke Banten dengan membawa porselin, sutra, beledru, benang mas, jarum, sisir, paying, slop, kipas, kertas dan lain-lain. Sedangkan dari Banten mereka membeli lada, nila, cendana, cengkeh, buah pala, penyu, dan gading. Orang-orang Persia membawa permata dan obat-obatan. Orang Gujarat menjual kain-kain kapas, sutra, batik koromandel, kain putih, kain mona kemudian dibatik atau disulam oleh wanita-wanita Banten. Di Banten merekapun membeli rempah-rempah dan lain-lain.

Sultan Hasanuddin menanamkan pengaruhnya di Daerah Lampung. Pada tahun 1570 Sultan Hasanuddin wafat. Penggantinya Pangeran Yusuf (1570-1580) anak beliau sendiri. Beliau menaklukan Pajajaran yang masih belum Islam tahun 1579. Memajukan pertanian dan pengairan. Mendirikan masjid Agung Banten dan membuat benteng dari batu bata. Tahun 1580, beliau wafat, meninggalkan kerajaan yang sudah kuat dan luas.

Maulana Muhammad (1580-1596) yang baru berumur 9 tahun menggantikan ayahnya, didampingi oleh mangkubumi sebagai walinya. Dalam tahun1596, beliau melancarkan serangan terhadap Palembang, dengan maksud agar hasil bumi berada dalam kekuasaannya. Tetapi, beliau tertembak mati, sehingga mengalami kegagalan.

Pada tanggal 22 juni 1596, mendaratlah orang Belanda di pelabuhan Banten di Bawah Pimpinan Cornelis de Houtman. Kedatangan Bangsa Belanda ini merupakan titik awal dari hari depan Indonesia yang gelap. Yang memerintah pada waktu itu adalah anak Sultan Muhammad yang baru berumur 5 bulan yang bernama Abu Mufakhir Mahmud Abdul Kadir dengan didampingi oleh walinya/mangkubumi yang bernama Jayanegara. Kemudian diganti oleh Abu Ma’ali. Abu Ma’ali digantikan oleh Sultan Agung Tirtayasa. Di bawah pemerintahannya, kerajaan Banten mencapai puncak kejayaannya. Dalam upaya mempertahankan Banten sebagai salah satu pusat perdagangan di Nusantara, Sultan Agung Tirtayasa berani bersikap tegas terhadap persekutuan dagang Belanda, Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) yang berkedudukan di Batavia. Sultan Agung Tirtayasa menolak kemauan VOC untuk menerapkan monopoli perdagangan rempah-rempah.

Jarak antara Banten dan Batavia yang dekat membuka peluang meletusnya konflik sewaktu-waktu. Konflik itu dapat berupa perampokan, perusakan, bahkan pertempuran. Misalnya, rakyat Banten membuat kewalahan Belanda dengan mengadakan perusakan terhadap aset-aset milik VOC.

Ternyata sikap tegas Sultan Agung Tirtayasa terhadap VOC tidak diteruskan oleh putranya, Sultan Haji, ia cenderung berkompromi dengan VOC. Perbedaan sikap itu memuncak terjadi perang saudara. Dalam perang tersebut Sultan Haji dibantu oleh VOC, akibatnya Sultan Agung Tirtayasa terdesak dan kemudian tertangkap. Peristiwa kemenangan Sultan Haji menandai berakhirnya kejayaan Kerajaan Banten. Setelah itu, Banten berada di bawah pengaruh VOC.

Kerajaan Islam di Sumatera

A.Kerajaan Perlak

Pemandangan Indah Pulau Lembata, NTT Tidak ada Hubungannya dengan Isi Blogg Hahahahahahahahah
Perlak adalah sebuah daerah yang terletak di Aceh Timur atau Perlak adalah nama suatu daerah di wilayah Aceh Timur yang banyak ditumbuhi kayu atau Perlak berasal dari kata Peureulak adalah suatu daerah di wilayah Aceh Timur yang banyak ditumbuhi Kayei Peureulak. Sehingga wilayah ini banyak didatangi oleh orang luar untuk membeli kayu tersebut. Mereka menyebut daerah tempat pembelian dengan nama kayu yang dihasilkannya sehingga terkenal dengan nama sebutan negeri Perlak.

Sebagai sebuah pelabuhan perniagaan yang maju dan aman pada abad ke-8 M., Perlak menjadi tempat persinggahan kapal-kapal niaga orang-orang Arab dan Persia. Seiring dengan berjalannya waktu di daerah ini terbentuk dan berkembang masyarakat Islam terutama sebagai akibat perkawinan di antara saudagar-saudagar muslim dengan perempuan-perempuan anak negeri. Perkawinan ini menyebabkan lahirnya keturunan-keturunan muslim dari percampuran darah antara Arab, Persia dengan putri-putri Perlak. Hal inilah yang kemudian menyebabkan berdirinya Kerajaan Islam Perlak yang pertama pada hari Selasa, 1 Muharram 225 H/840 M., dengan rajanya yang pertama Syed Maulana Abdul Azia Shah (peranakan Arab Quraisy dengan putri Perlak) atau yang terkenal dengan gelar Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Azis Shah. Pada saat itu pula ibu kota kerajaan diubah dari Bandar perlak menjadi Bandar Khalifah. Hal ini dilakukan untuk mengenang jasa nahkoda Khalifah yang telah membudayakan Islam pada masyarakat Asia Tenggara yang dimulai dari Perlak. Adapun para sultan yang memimpin Kerajaan Perlak adalah: 
  1. Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Azis Shah (225-249H/840-864M).
  2. Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Rahim Shah (249-285H/864-888M).
  3. Sultan Alaiddin Syed Maulana Abbas Shah (285-300H/888-913M).
Masa pemerintahan ketiga sultan ini disebut sebagai pemerintahan Dinasti Syed Maulana Abdul Azis Shah. Pada masa pemerintahan beliau (aliran Syi’ah), aliran ahlus Sunnah wal Jamaah mulai berkembang dalam masyarakat dan hal ini sangat tidak disukai aliran Syi’ah. Pada akhir pemerintahan sultan ketiga terjadi perang saudara antara dua golongan tersebut yang menyebabkan setelah kematian sultan selama dua tahun tidak ada sultan.

Pada tahun 302-305H/915-918M., naiklah Syed Maulana Ali Mughayat Shah sebagai sultan. Setelah kurang lebih tiga tahun, pada akhir masa pemerintahannya pergolakan antara dua golongan terjadi lagi. Kemenangan ada dipihak ahlus Sunnah wa Jama’ah sehingga sultan yang diangkat untuk memerintah Perlak diambil dari golongannya yaitu dari keturunan Meurah Perlak asli (syahir Nuwi). Adapun urusan sultan yang memerintah adalah sebagai berikut:
  1. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Kadir Shah Johan Berdaulat (306-310H/928-932M). 
  2. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah Johan Berdaulat (310-334H/932-956M).
  3. Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Shah Johan Berdaulat (334-362H/956-983M).
Pada akhir pemerintahan sultan yang ketiga ini terjadi lagi peperangan di antara kedua aliran selama empat tahun yang diakhiri dengan perdamaian dengan membagi wilayah kerajaan menjadi dua bagian. Perlak pesisir bagi golongan Syi’ah dan Perlak pedalaman untuk golongan ahlus Sunnah wal Jama’ah. Perlak pesisir mengangkat Alaiddin Syed Maulana Shah yang memerintah dari tahun 365-377H/976-988M., Sebagai sultan. Perlak pedalaman mengangkat Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat yang memerintah (365-402H/986-1023M) sebagai sultan. Pada waktu Sriwijaya menyerang Perlak, sultan Perlak pesisir mangkat sehingga seluruh Perlak di bawah kekuasaan Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat dan ia melanjutkan perjuangannya melawan Sriwijaya sampai tahun 395H/1006M. Setelah itu beliau diganti oleh:
  1. Sultah Makhdum Alaiddin Malik Mahmud Shah Johan Berdaulat (402-450H/1023-1059M).
  2. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mansur Shah Johan Berdaulat (450-470H/1059-1078M).
  3. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdullah Shah Johan Berdaulat (470-501H/1078-1109M).
  4. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ahmad Shah Johan Berdaulat (501-527H/1109-1135M).
  5. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud Shah Johan Berdaulat (527-552H/1135-1160M).
  6. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Usman Shah Johan Berdaulat (552-565H/1160-1173M).
  7. Sultah Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Shah Johan Berdaulat (565-592H/1173-1200M).
  8. Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Jalil Shah Johan Berdaulat (592-622H/1200-1230M).
  9. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah II Johan berdaulat (622-659H/1230-1267M). Sultan mempunyai dua puteri yaitu puteri Ratna Kamala dan puteri Ganggang. Puteri pertama dikawinkan dengan raja Malaka yaitu Sultan Muhammad Shah sedang puteri kedua dikawinkan dengan Raja Samudera Pasai yaitu Al-Malik Al-Shaleh.
  10. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Shah Johan Berdaulat (662-692H/1263-1292M). Beliau merupakan sultan terakhir dari kerajaan perlak. Setelah sultan mangkat Kerajaan Perlak disatukan dengan Kerajaan Samudera Pasai pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Malik Al Zahir putera Al Malik Al-Saleh.
B.Kerajaan Samudera Pasai 

Salah satu sumber menyebutkan bahwa Kerajaan Samudera Pasai berdiri sejak tahun 433H/1024M., pendirinya adalah Meurah Khair yang telah menjadi raja bergelar Maharaja Mahmud Syah. Beliau memerintah sampai tahun 470H/1078M. Setelah itu pemerintahan dipegang oleh:
  1. Maharaja Mansur Syah (470-527H/1078-1133M)
  2. Maharaja Ghiyasyuddin syah, cucu Meurah Khair(527-550H/1133-1155M) 
  3. Maharaja Nuruddin atau Meurah Noe atau Tengku Samudra atau Sultan Al-Kamil (550-607H/1155- 1210M).
Beliau merupakan sultan terakhir dari keturunan Meurah Khair. Setelah kemangkatannya kerajaan menjadi rebutan pembesar-pembesarnya karena tidak memiliki keturunan. Sekitar lima puluh tahunan Samudera Pasai dalam konflik akhirnya tampillah Meurah Silu mengambil kekuasaan dengan mendasarkan bahwa dinastinya telah memerintah Perlak lebih dari dua abad dan kemudian disatukan dengan Samudera Pasai pada masa Sultan Muhammad Al-Zahir (1289-1326M). 

Sumber lain yaitu berita dari Cina dan catatan Ibnu Battutah pengembara dari Maroko menyebutkan kerajaan ini berdiri pada tahun 1282 M., pendirinya Al-Malik Al-Saleh. Pada waktu itu beliau mengirimkan utusan ke Quilon, yang terletak di pantai barat India, dan bertemu duta-duta dari Cina. Di antara nama duta yang dikirim adalah Husien dan sulaiman (nama-nama muslim). Kemudian ketika Marcopolo berkunjung di Sumatera 1346 M., menyatakan bahwa di sana Islam sudah sekitar satu abad disiarkan, kesalehan, kerendahan hati, dan semangat keagamaan raja dan rakyatnya serta madzab yang diikuti yakni madzab Syafi’i. Selain itu Samudera Pasai juga menjadi pusat studi agama Islam dan tempat berkumpulnya para ulama dari berbagai negeri untuk membicarakan masalah keagamaan dan keduniaan. Lebih lanjut Ibnu Battutah mengatakan Samudera Pasai mempunyai peranan penting dalam mengislamkan Malaka maupun pulau Jawa. Bahkan Sultan Al-Malik al-Zahir adalah pecinta teologi dan ia senantiasa memerangi orang kafir dan menjadikan mereka memeluk agama Islam. 

E.Gerini mengatakan bahwa Samudera didirikan pada tahun1270 M.,dan Islam masuk ke sana antara tahun 1270-1275 M. Sumber lain juga menyebutkan bahwa Kerajaan Samudera Pasai berdiri pada tahun 1297 M., Raja pertamanya adalah Al-Malik al-Saleh, itu berdasarkan batu nisan yang ditemukan dan bertuliskan bahwa raja pertama wafat pada bulan Ramadhan 696H/1297M. Hal itu juga diketahui dalam Hikayat Raja-raja Pasai (Sejarah Melayu). 

Basis perekonomian Kerajaan Samudera Pasai lebih kepada pelayaran dan perdagangan. Pengawasan terhadapnya merupakan kekuasaan yang memungkinkan kerajaan memperoleh penghasilan dan pajak yang besar. Ditinjau dari segi geografis dan ekonomi pada waktu itu Samudera Pasai merupakan suatu daerah penghubung antara pusat perdagangan yang ada di kepulauan Indonesia, India, Cina dan Arab dan adanya mata uang sebagai alat pembayaran menandakan kerajaan ini marupakan kerajaan yang makmur.

Disebutkan bahwa Kerajaan Samudera Pasai telah ditaklukan oleh Kerajaan Majapahit sehingga merupakan bagian wilayah Kerajaan Majapahit. Sebelum bala tentara Majapahit meniggalkan Samudera Pasai dan kembali ke Jawa, pembesar-pembesar Majapahit telah sepakat mengangkat seorang raja dari bangsawan Pasai yang dapat dipercaya untuk memerintah kerajaan. Adapun yang ditunjuk adalah Ratu NuruIlah atau Malikah NuruIlah binti Sultan Al-Malik Al-Zahir.

Tahun mangkat Malikah NuruIlah 1380 M., bertepatan dengan masa pemerintahan Kerajaan Majapahit yang dipimpin oleh Raja Hayam Wuruk. Pada masa itu Majapahit berada dalam puncak kejayaannya berkat pimpinan Mahapatih Gajah Mada.

Adapun nama-nama raja yang pernah memerintah di kerajaan Islam Samudera Pasai, yaitu:
  1. Sultan Al-Malik Al-Saleh (1297 M)
  2. Muhammad Malik Al-Zahir (1297-1326 M)
  3. Muhammad Malik Al-Zahir II (1326-1345M)
  4. Manshur Malik Al-Zahir (1345-1345M)
  5. Ahmad Malik Al-Zahir (1345-1383M)
  6. Zainal Abidin Malik Al-Zahir (1383-1405M)
  7. Nahrasiyah (1405-?)
  8. Abu Zaid Malik Al-Zahir (?-1455M)
  9. Mahmud Malik Al-Zahir (1455-1477)
  10. Zainal Abidin (1477-1500M) 
  11. Abdullah Malik Al-Zahir (1501-1513M)
  12. Zainal Abidin (1513-1524M). Pada masa sultan terakhir ini tahun 1521 M., Samudera Pasai dikuasai oleh Portugis selama tiga tahun. Tahun 1524 penguasaan atas Samudera Pasai digantikan Kerajaan Aceh Darussalam.
C.Kerajaan Malaka 

Menurut Sejarah Melayu, Parameswara adalah keturunan dari Sang Nila Utama (anak Sang Sapurba dari Palembang yang dikawinkan dengan Sri Beni Putri permaisuri Iskandar Syah ratu Bintan) yang hijrah ke Tumasik dan diangkat sebagai raja dangan gelar tribuwana. Pada masa kekuasaan Parameswara dating serangan dari Majapahit sehingga raja melarikan diri ke Semenanjung Melayu (Trengganu), hidup di sana dan mendirikan Kerajaan Malaka, sekitar tahun 1400 M dan setelah masuk Islam bergelar Megat Iskandar Syah dan wafat pada tahun 1424 M., Penggantinya adalah Sultan Muhammad Syah (1414-1444 M), kemudian Sultan Mahmud (1511 M), pada saat itu Malaka jatuh ke tangan Portugis. Akhirnya beliau mengungsi ke Pahang yang kemudian tinggal di Muara Pulau Bintan. Dari sini beliau terus berusaha melakukan serangan ke Malaka namun selalu gagal. Pada Oktober 1512 serangan terhadap Bintan dilancarkan Portugis dengan dipimpin oleh Albuquerque. Akan tetapi karena pertahanan terlalu kuat Albuquerque mengalami kekalahan. Serangan selanjutnya dilakukan Portugis 1523 dipimpin oleh Henriquez dan tahun 1524 dipimpin oleh De Souza, keduanya mengalami kekalahan. Pada tahun 1525, Bintan berhasil dikuasai Portugis setelah bersekutu dengan Lingga dan Sultan Mahmud mengungsi ke Johor.

Meskipun Sultan Mahmud selalu berusaha untuk dapat merebut Malaka kembali dari tangan Portugis, tetapi sampai akhir hayatnya usaha itu tidak pernah berhasil. Atas usaha putranya Kerajaan Melayu berhasil dilanjutkan dengan berpusat di Johor. Sebagai Sultan Johor pertama ia memakai gelar Sultan Alaudin Riayat Syah II (1528-1564M). Pada masa pemerintahan Sultan Ibrahim (1677-1685M) pusat kerajaan dipindahkan ke Bintan, tepatnya pada tahun 1678 M.

D.Kerajaan Aceh Darussalam 

Menjelang akhir abad ke-15 arus penjajahan Barat ke Timur sangat derasnya, terutama penjajahan Barat Kristen terhadap Timur Islam. Nafsu untuk mendapat harta yang banyak dengan cara yang haram telah mendorong orang-orang Eropa berlomba-lomba ke Dunia Timur terutama sekali setelah Columbus menemukan benua Amerika dan Vasco da Gama menginjakkan kakinya di India. Di antara bangsa Eropa Kristen yang pada waktu itu sangat haus tanah jajahan, yaitu Portugis, di mana setelah mereka dapat merampok Goa di India, mata penjajahannya diincarkan ke Malaka.

Sehingga Malaka tahun 1511 jatuh ke Tangan Portugis. Setelah Malaka jatuh ke tangannya, Portugis mengatur rencana tahap demi tahap. Langkah yang diambilnya, yaitu mengirim kakitangan-kakitangannya ke daerah-daerah pesisir utara Sumatera untuk menimbulkan kekacauan dan perpecahan dalam negeri sehingga dapat menimbulkan perang saudara dengan demikian ada pihak-pihak yang meminta bantuan kepada mereka, hal mana menjadi alasan bagi mereka untuk melakukan intervensi.

Tahap kedua mereka langsung melakukan penyerangan dan seterusnya mendudukinya dan tahap berikutnya memaksa raja yang telah menyerah untuk menandatangani kontrak pemberian hak monopoli dagang kepada mereka.

Menjelang akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16. Portugis telah dapat memaksakan nafsu penjajahannya kepada raja-raja seperti Kerajaan Islam Jaya, Kerajaan Islam Pidier (pertengahan abad ke-14 M) dan Samudera Pase. Dalam wilayah kerajaan-kerajaan tersebut mereka mendirikan kantor dagang dan menempatkan pasukan.

Dalam kondisi seperti itulah muncul seorang tokoh mencoba mempersatukan dari enam kerajaan yang ada yaitu, Perlak, Samudera Pasai, Tamiang, Pidie, Indra Purba dan Indra Jaya. Maka pada 1514, Ali Mughayat Syah dilantik sebagai Sultan (1514-1530M) dengan nama Kerajaan Aceh Darussalam, yang daerah wilayahnya meliputi Aru sampai ke Pancu di pantai utara dan jaya sampai ke barus di pantai Barat dengan ibu kota Banda Aceh Darussalam. Beliau terus menetapkan satu tekad untuk mengusir Portugis dari seluruh daratan pantai Sumatera Utara.

Terjadilah beberapa kali pertempuran dengan tentara Portugis (1521, 1526, 1528 dan 1542 M). Dalam pertempuran-pertempuran di berbagai medan dapat dicatat, bahwa armada Portugis benar-benar telah dihancur lumatkan dan banyak perwira tingginya mati konyol seperti Laksamana Jorge de Brito dan Simon de Souza.

Setelah selesai membersihkan negara dari anasir penjajahan yang datang dari luar dan pengacau dari dalam, dan setelah meletakkan fondasi yang kuat bagi Kerajaan Aceh Darussalam, dan setelah menciptakan bendera kerajaan yang bernama Alam Zulfiqaar (bendera cap pedang) yang berwarna merah darah dengan pedang putih membelintang di atasnya; maka setelah itu Sultan Ali Mughaiyat Syah berpulang ke rahmatullah pada hari Selasa tanggal 12 Zulhijjah 936H/7 Agustus 1530M.

Masa Sultan Ali Mughaiyat Syah, Sultan Alaiddin Riayat Syah II, Sultan Iskandar Muda Darmawangsa Perkasa Alam Syah dan Sultanah Sri Ratu Tajul Alam safiatuddin Johan Berdaulat adalah dikenal sebagai “Zaman Gemilang”. Setelahnya itu adalah masa suram yang terus menurun. Kerajaan Aceh Darussalam menjadikan Islam sebagai dasar negaranya. Ada 31 raja yang pernah memerintah dan raja terakhir adalah Sultan Alaiddin Muhammad Daud Syah (1870-1904M). Sultan Aceh yang terakhir, setelah berperang selama 29 tahun, baginda ditawan oleh Belanda, dan tidak pernah menyerahkan “kedaulatan” negaranya.

Thursday, 4 December 2014

MASUKNYA ISLAM DI TELLUMPOCCOE (Pengaruh Perjanjian Politik Terhadap Proses Islamisasi di Tellumpoccoe)


Berangkat dari sejarah masuknya Islam di Indonesia yang mempunyai tiga konsep pengertian tentang masuknya Islam di suatu daerah, yang bersangkut paut dengan keadaan umum pada zaman itu yakni hubungan perdagangan antar daerah dan hubungan sosio-politik dalam kerajaan-kerajaan feodal yang telah ada di daerah tersebut.

Konsep masuknya Islam di suatu daerah, dapat mengandung tiga pengertian yaitu:
  1. Hadirnya atau datangnya orang yang beragama Islam di daerah tersebut.
  2. Adanya penduduk Asli yang memeluk atau menerima agama Islam.
  3. Agama Islam Dijadikan Agama Resmi Kerajaan kemudian disusul oleh proses Islamisasi.
Penyebaran agama Islam dalam pengertian masuk untuk pertama kali seseorang beragama Islam masuk ke daerah itu dengan melalui sarana perdagangan. Pedagang-pedagang yang sudah beragama Islam mendatangi pelabuhan-pelabuhan dan kota-kota perdagangan yang terpenting untuk berdagang, dengan sendirnya telah membawa pula agama mereka ke daerah-daerah yang belum di Islamkan, maka demikian pengaruh Islam mulai masuk ke daerah itu.[1]

Dalam pengertian penerimaan Islam untuk pertama kalinya oleh suatu kerajaan, mula-mula seorang raja memeluk Islam dan memeluk agama Islam dan menyatakan bahwa Islam sebagai agama resmi kerajaan.

Kerajaan yang telah menerima Islam itu menjadi pusat pengislaman kepada daerah-daerah sekitarnya, dengan memanfaatkan pengaruh dan kekuasaan politik untuk meng-Islamkan daerah yang ada di sekitarnya. 

Kerajaan Gowa dan Tallo menerima Islam sekaligus menjadi pusat penyebaran Islam di Sulawesi-Selatan, yang pertama dilakukannya adalah mengirim utusan dan menyerukan kepada raja-raja yang lain agar mereka menerima Islam sebagai agamanya. Berdasarkan pada perjanjian yang disepakati antara raja Gowa dengan raja-raja Bugis yang maksudnya barang siapa menemukan jalan yang terbaik berjanji untuk memberi tahukan yang baik itu kepada negeri-negeri lain.[2]

Seruan itu pada akhirnya sampai kepada daerah-daerah bugis antaranya Bone, Soppeng, dan Wajo yang tergabung dalam suatu aliansi yang disebut Tellumpoccoe menolak ajakan tersebut secara tegas sehingga Gowa mengangkat senjata menyatakan perang yang oleh orang Bugis menyebutnya “Musu’ Asellengeng”(=Perang pengislaman).[3] Namun, pada akhirnya satu persatu kerajaan Bugis takluk oleh Gowa dan kemudian masuk Islam melalui suatu perjanjian oleh Tellumpoccoe di Timurung yang disebut perjanjian “Lamumpatue ri Timurung” sebagai tanda masuknya Islam di kerajaan Bugis.

A. Proses Islamisasi di Tellumpoccoe

Proses Islamisasi di Sulawesi Selatan yang resmi diterima sebagai agama kerajaan pada tanggal 22 September 1605 bertepatan dengan 9 Jumadil awal 1014 H oleh Raja Gowa dan Tallo I mangngerangi Daeng Manrabbia dan I malingkaang Daeng Manyonri Karaeng Timenanga ri Bontobbiraeng sebagai mangkubumi kerajaan Gowa.[4]

Kerajaan Gowa sebagai salah satu kerajaan besar yang disegani sehingga kerajaan-kerajaan kecil disekitarnya dapat di ajak masuk Islam, namun tatkala ajakan itu sampai kepada daerah-daerah Bugis hal tersebut tidak diterimanya secara damai ,maka Gowa memaklumkan perang.

Rappeng sebagai salah satu kerajaan besar yang tergabung dalam Lima Ajattappareng, setelah mendapat serangan Kerajaan Gowa secara praktis menyatakan diri masuk Islam yang di ikuti oleh seluruh rakyatnya pada tahun 1609 dan resmilah agama Islam diterima sebagai agama di Rappeng.

Akan halnya juga Kerajaan Soppeng yang tergabung dalam Tellumpoccoe setelah terjadinya pertempuran di Tanete Soppeng mengalami kekalahan dari pasukan Kerajaan Gowa yang dibantu oleh orang-orang Rappeng. Raja Soppeng XIV Beowe memeluk Islam pada tahun 1609 serta seluruh masyarakat Soppeng.

Kurang lebih satu tahun kemudian Raja Gowa bersama Datu Soppeng, mengirim utusan menemui Arung Matoa Wajo La Sangkuru Petau untuk mengajaknya masuk Islam secara damai akan tetapi arung Matoa menolaknya maka peperangan tak dapat dihindari, pasukan gabungan Gowa, Rappeng menyerbu Wajo, dalam waktu yang sangat singkat wajo ditaklukkan, maka Arung Matoa Wajo mengutus Pilla, Patola, dan Cakkuridi (Bate Lompo), menyampaikan permintaan damai.[5]

Setelah agama Islam di terima di Wajo, Raja Gowa mengutus Datuk Sulaiman (Khatib Sulung) mengajarkan agama Islam di Wajo atas permintaan Arung Matoa Wajo La Sangkuru Patau untuk memperdalam pengetahuannya tentang Islam. Dalam perkembangan selanjutnya Arung Matoa Wajo menambah struktur pemerintahannya dengan memasukkan Sara’ sebagai salah satu lembaga yang mengurusi masalah-masalah keagamaan. Dato Sulaiman dipercayakan untuk mengorganisir urusan Sara’ di Tana Wajo.

Setelah kerajaan Soppeng dan Wajo memeluk Islam, Raja Bone La Tenri Tuppu berangkat ke Sidenreng secara diam-diam dengan maksud mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan Islam. Raja La Tenri Tuppu memeluk Islam sebelum diserang penyakit yang menyebabkan dia Wafat sedangkan Bone pada Waktu itu belum masuk Islam.

Pada masa pemerintahan Raja Bone XI La Tenri Ruwa pasukan Gowa yang dibantu oleh seluruh kerajaan menyerang Bone. Namun saat pasukan itu tiba di Cenrana, Raja La Tenri Ruwa mengumpulkan Ade pitue untuk menyampaikan bahwa Raja Gowa Sultan Alauddin bermaksud menunjukkan kita ke jalan yang terang dan untuk itu beliau datang karena menganggap bahwa Islam adalah suatu kebaikan maka hal itu disampaikannya pula kepada kita, sebagai realisasi perjanjian luhur kita dengan Raja Gowa tempo dahulu.

Akan tetapi ajakan Raja La Tenri Ruwa di tolak oleh Ade Pitue maka beliau meninggalkan Bone, dan pindah menetap di Pattiro bersama keluarganya dan pengikut setianya. Dan untuk menggantikannya rakyat dan Ade Pitue sepakat mengangkat La Tenri Pale Arung Timurung yang bergelar To Akkepeang menjadi Raja Bone XII.

Karena ajakan Raja Gowa ditolak oleh Raja Bone XII maka pertempuran tak dapat dihindari sehingga Bone takluk dan akhirnya memeluk Islam pada 23 Ramadhan 1021 H (1610 M). Setelah La Tenri Pale memeluk Islam, beliau berangkat ke Gowa untuk mempelajari agama Islam kepada Khatib Tunggal Datuk ri Bandang, da diberi gelar Sultan Abdullah sampai akhirnya beliau meninggal di Tallo.

Pada perkembangannya di Kerajaan Bone struruktur pemerintahan yang ada dilengkapi dengan memasukkan Sara’ sebagai suatu lembaga yang mengurusi masalah-maslah agama yang kemudian digelar Petta Kallie (Qadi) dan dietiap Palili diangkat imam yang dibantu oleh seorang “Khatib” dan seorang “Bilal”. 

B. Pengaruh Perjanjian Lamumpatue Terhadap Proses Islamisasi di Tellumpoccoe

Istilah Lamumpatue ri Timurung merupakan perjanjian tiga kerajaan yang dikokohkan dengan menanam batu sebagai pertanda perjanjian tersebut telah disepakati bersama. Peristiwa ini bertujuan untuk menanggulangi politik ekspansi Kerajaan Gowa yang hendak menanamkan pengaruhnya sekaligus untuk memperluas wilayahnya. 

Nampaknya kerajaan yang tergabung dalam Tellumpoccoe mengadakan suatu perjanjian atau persekutuan antara Raja Bone, Soppeng, dan Wajo, sebab Tellumpoccoe khawatir akan pengaruhnya dibidang politik yakni kekuasaan perluasan pemerintahan, yang sementara itu Kerajaan Bone, Soppeng, dan Wajo masing-masing mempunyai otonomi pemerintahan tersendiri. Oleh karena itu, asumsi yang menganggap bahwa Lamumpatue ri Timurung atau perjanjian Tellumpoccoe merupakan persekutuan yang menghambat penyiaran Islam di Sulawesi-Selatan khususnya di wilayah Tellumpoccoe.

Hal ini dapat dibuktikan terhadap keberadaan Raja Gowa untuk menjalin persahabatan dengan kerajaan-kerajaan yang tergabung dalam Tellumpoccoe dengan mengajaknya ke dalam suatu agama yaitu agama Islam seperti berikut ini: “ Berkatalah utusan Raja Wajo, hanya saja yang amat diharapkan saudaramu Gowa ialah bersatu padunya kita semua layaknya orang-orang berkerabat. Jangan hendaknya kita saling bertikai antara saudara sendiri, saling mengangkat senjata, sebab kalau kamu bertikai antara orang Bugis dan Makssar, apabila ada orang yang merusakkan agama. Satulah orang Bone, Soppeng, dan Wajo.[6]

Keterangan di atas mengandung arti dan maksud terutama mengangkat senjata semata-mata untuk memerangi orang yang ingin merusak laju perkembangan agama Islam khususnya dalam wilayah Tellumpoccoe.

Dengan demikian Raja Bone ketika itu ialah La Tenri Ruwa menyampaikan kepada selurh rakyatnya ikut memeluk agama baru yaitu agama Islam, sehingga dengan sendirinya mempengaruhi kehidupan keagamaan yang ada di wilayah Tellumpoccoe. Sehingga terlihat Islam mulai dianut masyarakat secara umum. Hal ini disebutkan karena Raja-raja di Tellumpoccoe tidak sekaligus dalam artian menerima Islam sebagai agama resmi kerajaan dalam wilayah masing-masing. Seperti diketahu bahwa raja Soppeng menerima Islam pada tahun 1609 M, dan Wajo pada tahun 1610 sedangkan Bone baru menerima Islam pada tahun 1611 sebagai agama resmi kerajaan.[7]

Kesimpulan

  1. Proses Islamisasi di daerah-daerah Bugis tidak lepas dari pengaruh dan peranan kerajaan Gowa sebagai salah satu kerajaan besar yang menerima Islam sebagai agama resmi Kerajaannya pada tahun 1605 M.
  2. Perjanjian Tellumpoccoe di Timurung itu membawa pengaruh terhadap Proses Islamisasi di Soppeng, Wajo dan Bone, sehingga Islam sebagai agama resmi kerajaan yang secara berturut-turut memeluk Islam mulai pada tahun 1609 di Soppeng, Wajo tahun 1610, dan Bone pada tahun 1611.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik., Agama dan Perubahan Sosial, Jakarta: CV. Rajawali, 1983

Hamid, Pananrangi. Sejarah Daerah Gowa. Ujungpandang: Balai Kajian Sejarah dan Nilai-Nilai Tradisional, 1984.

Kartodirjo, Sartono. Sejarah Nasional Indonesia. Jilid III ,Jakarta: Balai Pustaka, 1975.

Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia; Jakarta: Djambatan, 1984.

Mattulada, Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar dalam Sejarah .Cet. I; Ujungpandang: Bakti Baru-Berita Utama, 1982.

Nur, Azhar. Trialianci Tellumpoccoe . Cet. II; Yogyakarta: Cakrawala, 2010

[1] Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia; (Jakarta: Djambatan, 1984), h. 272. 

[2] Mattulada, Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar dalam Sejarah (Cet. I; Ujungpandang: Bakti Baru-Berita Utama, 1982), hal. 33-41. 

[3] Azhar Nur, Trialianci Tellumpoccoe (Cet. II; Yogyakarta: Cakrawala, 2010) , hal. 122. 

[4] Sartono Kartodirjo, et. al, Sejarah Nasional Indonesia. Jilid III (Jakarta: Balai Pustaka, 1975), h. 98. 

[5] Pananrangi Hamid, Sejarah Daerah Gowa (Ujungpandang: Balai Kajian Sejarah dan Nilai-Nilai Tradisional, 1984), h. 104. 

[6] Azhar Nur, op. cit., h. 68. 

[7] Taufik Abdullah ed, Agama dan Perubahan Sosial, (Jakarta: CV. Rajawali, 1983) h. 245

Wednesday, 30 October 2013

Kerajaan Kertanegara ing Martadipura

Kerajaan Kutai islam dikenal juga dengan kerajaan Kertanegara ing Martadipura yang berdiri setelah peperangan besar dengan kerajaan Kutai Martapura di Muara Kaman kira-kira tahun 1605 M, dengan terjadinya peprangan tersebut penyatuan antara kedua kerajaan tersebut terjadi setelah kerajaan Kutai Martapura mengalami kekalahan. Kerajaan ini berdiri pada awal abad ke-13 di tepian batu atau Kutai lama, yaitu daerah yang dekat dengan Samarinda sekarang, pemilihan lokasi ini lebih disebabkan karena kutai lama adalah sebuah daerah yang dilalui oleh sungai Mahakam yang juga berfungsi sebagai jalur perdagangan serta terkenal akan kesuburan tanah yang cocok untuk iklim pertanian. Dengan rajanya yang pertama yaitu Aji Batara Agung Dewa Sakti (1300-1325).

Meninjau ulang kerajaan Kutai Mulawarman (Martadipura) didirikan oleh pembesar kerajaan Campa (Kamboja) bernama Kudungga, yang selanjutnya menurunkan Raja Asmawarman, Raja Mulawarman, sampai 27 (dua puluh tujuh) generasi Kerajaan Kutai Mulawarman yaitu sebagai berikut: Kudungga, Asmawarman, Mulawarman, Sri Warman, Mara Wijaya Warman, Gayayana Warman, Wijaya Tungga Warman, Jaya Naga Warman, Nala Singa Warman, Nala Perana Warmana Dewa, Galingga Warman Dewa, Indara Warman Dewa, Sangga Wirama Dewa, Singa Wargala Warmana Dewa, Candra Warmana, Prabu Mulia Tungga Dewa, Nala Indra Dewa, Indra Mulia Warmana Tungga, Srilangka Dewa, Guna Perana Tungga, Wijaya Warman, Indra Mulia, Sri Aji Dewa, Mulia Putera, Nala Pendita, Indra Paruta Dewa, dan Darma Setia.

Sementara itu pada abad XIII di muara Sungai Mahakam berdiri Kerajaan bercorak Hindu Jawa yaitu Kerajaan Kutai Kertanegara yang didirikan oleh salah seorang pembesar dari Kerajaan Singasari yang bernama Raden Kusuma yang kemudian bergelar Aji Batara Agung Dewa Sakti dan beristerikan Putri Karang Melenu sehingga kemudian menurunkan putera bernama Aji Batara Agung Paduka Nira.
Proses asimilasi (penyatuan) dua kerajaan tersebut telah dimulai pada abad XIII dengan pelaksanaan kawin politik antara Aji Batara Agung Paduka Nira yang mempersunting Putri Indra Perwati Dewi yaitu seorang puteri dari Guna Perana Tungga salah satu Dinasti Raja Mulawarman (Martadipura), tetapi tidak berhasil menyatukan kedua kerajaan tersebut. Baru pada abad XVI melalui perang besar antara kerajaan Kutai Kertanegara pada masa pemerintahan Aji Pangeran Sinum Panji Ing dengan Kerajaan Kutai Mulawarman (Martadipura) pada masa pemerintahan Raja Darma Setia.

Dalam pertempuran tersebut Raja Darma Setia mengalami kekalahan dan gugur di tangan Raja Kutai Kertanegara Aji Pangeran Sinum Panji, yang kemudian berhasil menyatukan kedua kerajaan Kutai Tersebut sehingga wilayahnya menjadi sangat luas dan nama kerajaannyapun berubah menjadi Kerajaan Kutai Kertanegara Ing Martadipura yang kemudian menurunkan Dinasti Raja-raja Kutai Kertanegara sampai sekarang.

Menurut silsilah (Raja-raja dalam negeri) Kutai (Kertanegara), bahwa cikal bakal kerajaan Kutai Kertanegara ialah: Aji Batara agung Dewa Sakti, ditinjau dari segi mitosnya bahwa beliau turun dari langit dan memiliki kesaktian membawa sebuah telur dan sebuah keris yang bernama keris Burit Kang. Aji Batara Agung kawin dengan Putri Karang Melenu yang lahir dari buih Sungai Mahakam, dengan segala kebesaran duduk di atas gong yang di angkat oleh Lembu Suana yang berdiri di atas kepala naga besar. Tangan kanan memegang emas dan tangan kiri telur ayam.

Kita dapat mengetahui bahwa pada masa akhir kerajaan Kutai Martapura terjadi suatu pemberontakan-pemberontakan, baik yang dilakukan oleh keluarga raja sendiri maupun pihak luar disebabkan melemahnya keuatan dalam segala aspek pemerintahan seningga dinilai tidak lagi dapat menjalankan pemerintahan dengan baik. Jadi hal ini perlu suatu revisi, baik dari raja, sistemnya, serta mungkin agamanya yang menjadi anutan para penguasa raja Hindu-Buddha khususnya Kerajaan Kutai. Hal itu mungkin dapat memicu terjadinya suatu peperangan yang terjadi antara Kerajaan Kutai Martapura dan Kerajaan Kutai Kartanegara.

Pada masa ini kerajaan Kutai Kartanegara belum terjadi suatu perubahan yang sangat mencolok, artinya disaat pemerintahan Aji Batara Agung Dewa Sakti keadaan pemerintahan masih seperti raja kerajaan Kutai Martapura karna masih awal perkembangannya dan juga masih beragama Hindu cumin letak kerajaannya yang berbeda

Sistem Pemerintahan Kerajaan Kutai Kartanegara

Dalam system ini Sultan/raja membawahi mangkubumi, jabatan yang biasanya dipegang oleh keluarga dekat raja/sultan misalnya paman. Tugas mangkubumi mewakili raja dalam sebuah acara apabila raja berhalangan hadir dan memangku jabatan raja untuk menggantikan kedudukan putra mahkota apabila putra mahkota tersebut belum berumur 21 tahun dan ini tercantum dalam Undang-Undang pasal 9(soeton 1975 : 54).

Kedudukan di bawah raja yang setara dengan Mangkubumi adalah majelis orang-orang besar arif dan bijaksana. Majelis berisi kaum bangsawan dan rakyat biasa yang mengerti adat-istiada Kutai, majelis ini bertugas membuat rancangan peraturan dan di ajukan pada raja. Apabila peraturan tersebut disetujui maka akan di berlakukan kepada seluruh rakyat Kutai Kartanegara ing Martadipura dan ini juga disebut “adat yang diadatkan”.

Menteri berkedudukan dibawah raja dan bertugas sebagai mediator antara raja dan mangkubumi dengan rakyat, punggawa, dan petinggi (Kepala Kampung). Menteri diangkat dari keluarga dekat raja atau keturunan bangsawan, kedudukan dan fungsi menteri diatur dalam Undang-Undang kerajaan yang dikenal dengann “Panji salaten”. Tugas dari menteri ini adalah menjalankan perintah raja dan mangkubumi, memberikan nasehat kepada raja ketika menjalankan hokum dan adat bersama senopati, dan punggawa agar hokum berjalan dengan baiak, menghukum gantung hulubalang dan senopati yang berkhianat pada kerajaan, menyelenggarakan kesejahteraan rakyat, dan menyanggah pendapat rakyat yang zalim dan berbuat sewenang-wenang.

Senopati kedudukannya berada di bawah menteri dan bertugas menjaga keamanan dan ketentraman kerajaan, menjalankan perintah raja, mangkubumi, menteri, dan pelaksana acara adat.

Punggawa merupakan ketua dalam sebuah perkampungan dan berada dibawah menteri dan sejajar dengan senopati, akan tetapi punggawa lah yang berhubungan langsung dengan rakyat jadi hubungannya dekat dengan meneri.

Sedangkan kedudukan paling bawah dalam pemerintahan adalah jabatan petinggi atau kepala kampung, dan diangkat berdasarkan jasa terhadap kerajaan dan berlaku pada kaum biasa, dan kedudukan berada di bawah punggawa, serta sebagai penyambung inspirasi rakyat untuk disampaikan kepada punggawa dan di atasnya.


Berakhirnya Kesultanan Kutai Kartanegara

Pada masa Aji Muhammad Parkesit (1920-1960). Pada masa selanjutnya, kekuasaan politik dan ekonomi Kesultanan secara berangsur-angsur dan sistematis dipangkas oleh pemerintah kolonial Hindia-Belanda dan Pendudukan Jepang melalui serangkaian perjanjian, pemberian hak monopoli dagang, maupun pemberian hak penarikan pajak dan cukai. Demikian pula pada masa kemerdekaan RI, kedudukan Kutai Kartanegara turun tingkatannya atau hilang sama sekali, secara bertahap dari kesultanan menjadi Daerah Istimewa, lalu sebagai Daerah Swapraja, dan akhirnya sebagai Kabupaten dengan wilayah yang lebih sempit dari pada sebelumnya.Sultan beserta keturunan tak secara otomatis menjadi kepala pemerintahan yang turun-temurun.

Pada tanggal 27 Desember 1949, Dewan Kesultanan tergabung ke dalam Republik Indonesia Serikat. Lalu pada tahun 1953, Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura diubah menjadi Daerah Istimewa Kutai melalui UU Darurat No.3 Th.1953 menjadi daerah otonomi tingkat kabupaten.

Berdasarkan UU No. 27 tahun 1959 tentang “Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II di Kalimantan”, wilayah Daerah Istimewa Kutai dipecah menjadi 3 Daerah Tingkat II, yaitu:

1. Daerah Tingkat II Kutai dengan ibukota Tenggarong

2. Kotapraja Balikpapan dengan ibukota Balikpapan

3. Kotapraja Samarinda dengan ibukota Samarinda.

Pada tanggal 20 Januari 1960, APT Pranoto selaku Gubernur Kalimantan Timur, atas nama Menteri Dalam Negeri melantik ketiga kepala Daerah Tingkat II, salah satunya adalah Aji Raden Padmo sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kutai. Sehari kemudian, 21 Januari 1960, bertempat di Balairung Keraton Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura di Tenggarong, diadakan Sidang Khusus DPRD Daerah Istimewa Kutai. Inti dari acara ini adalah serah terima pemerintahan dari Kepala Kepala Daerah Istimewa Kutai, Sultan Aji Muhammad Parikesit kepada Aji Raden Padmo sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kutai, Kapten Soedjono (Walikota Samarinda), dan A.R. Sayid Mohammad (Walikota Balikpapan). Dengan serah terima pemerintahan tersebut berarti Pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara dibawah Aji Sultan Muhammad Parikesit berakhir.

Adapun beberapa faktor yang menyebabkan berakhirnya kekuasaan kerajaan Kutai Kertanegara, diantaranya yaitu:

Sedikit Sekali Adanya Usaha Kerajaan untuk Mengadakan Integrasi dengan Masyarakat

Raja yang tadinya dihormati dan dijunjung tinggi oleh rakyat sebagai tempat mengadukan nasib malang dirinya, yang dianggap sebagai juru penyelamat dan menjamin kesejahteraan rakyat, namun tidak dapat berbuat apa-apa stelah mendapat tekanan dari pihak Kolonial Belanda. Padahal hasil yang diterima oleh kerajaan masih cukup besar.

Tetapi semua hasil yang diperoleh kerajaan, sepenuhnya hanya dipergunakan untuk menyelenggarakan kesejahteraan pribadi raja beserta seluruh keluarganya saja. Tiap-tiap tahun diadakan ramaian erau untuk menyanjung kemegahan keluarga raja-raja Kutai. Kenyataan tersebut terbanding terbalik dengan keadaan rakyat Kutai sendiri, dimana rakyat jelata tetap melarat dan nasibnya kurang diperhatikan. Kenyataan yang diterima oleh rakyat ini menimbulkan ketidaksenangan terhadap sultannya yang dianggap tidak mampu memberikan kesejahteraan bagi rakyat dan tidak berniat untuk mengubah nasib rakyatnya.

Adanya Tuntutan yang gigih dari Rakyat Kutai Sendiri untuk Menhapuskan Swapraja

Faktor ini timbul akibat adanya perbedaan sosial yang mencolok, antara kehidupan raja serta keluarganya yang mewah di satu pihak, dan kehidupan rakyat yang melarat di lain pihak. Sehingga rakyat Kutai sendiri merasakan bahwa tidak ada gunanya menyongkong kelangsungan hidup kerajaan yang tidak membawa keuntungan apa-apa bagi rakyat. Selain itu, pada umumnya rakyat Kutai sendiri sangat bersimpati terhadap Republik Indonesia.


Dihidupkannya Kembali Kesultanan Kutai Kertanegara

Ada upaya kembali dari Bupati Kartanegara, Syaukani, Syaukani Hasan Rais, Untuk kembali menghidupkan Kesultana Kutai Kartanegara pada era reformasi. Upaya ini dimulai tepatnya pada tahun 1999. Upaya ini ditempuh dengan alas an untuk membangun pariwisata dan menjaga cagar budaya.

Upaya tersebut menunai hasil pada tahun 2001, ketika Pemerintah Republik Indonesia melalui Presiden Abdurrahman Wahid mengizinkan dan mengakui pendirian kembali Kesultanan Kartanegara ing Martadipura yang ditandai dengan pengangkatan Putra Mahkota, H. Aji Pangeran Praboe Anoem Soerya Adiningrat diangkat sebagai sultan di Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura dengan gelar sulatan Haji Aji Muhammad Salehuddin II.

Silsilah Sultan Kartanegara:

Aji Batara Agung Dewa Sakti (1300-1325)

Aji Batara Agung Paduka Nira (1325-1360)

Aji Maharaja Sultan (1360-1420)

Aji Raja Mandarsyah (1420-1475)

Aji Pangeran Tumenggung Bayabaya (1475-1545)

Aji Raja Mahkota Mulia Alam (1545-1610)

Aji Dilanggar (1610-1635)

Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa ing Martapura (1635-1650)

Aji pangeran Dipati Agung ing Martapura (1650-1665)

Aji Pangeran Dipati Maja Kusuma ing Martapura (1665-1686)

Aji Ragi Gelar Ratu Agung (1686-1700)

Aji Pangeran Dipati Tua (1700-1710)

Aji Pangeran Anum Panji Mendapa ing Martapura (1710-1735)

Aji Muhammad Idris (1735-1778)

Aji Muhammad Aliyeddin (1778-1780)

Aji Muhammad Muslihuddin (1780-1816)

Aji Muhammad Salehuddin (1816-1845)

Aji Muhammad Sulaiman (1850-1899)

Aji Muhammad Alimuddin (1899-1910)

Aji Muhammad Parikesit (1920-1960)

Haji Aji Muhammad Salehuddin (1999-sekarang)

Dalam Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura, gelar kebangsawanan yang digunakan oleh keluarga kerajaan adalah Aji. Gelar Aji diletakkan didepan nama anggota keluarga kerajaan. Dalam gelar kebangsawanan Kutai Kartanegara dikenal penggunaan gelar sebagai berikut:

Aji Sultan
Digunakan untuk penyebutan nama Sultan bagi kerabat kerajaan

Aji Ratu
Gelar yang diberikan bagi permaisuri Sultan

Aji Pangeran
Gelar bagi putera Sultan.

Aji Puteri
Gelar bagi puteri Sultan. Gelar Aji Puteri setara dengan Aji Pangeran.

Aji Raden
Gelar yang setingkat diatas Aji Bambang.

Gelar ini diberikan oleh Sultan hanya kepada pria bangsawan Kutai yang sebelumnya menyandang gelar Aji Bambang.

Aji Bambang
Gelar yang setingkat lebih tinggi dari Aji.

Gelar ini hanya dapat diberikan oleh Sultan kepada pria bangsawan Kutai yang sebelumnya menyandang gelar Aji saja.

Aji
Gelar bagi keturunan bangsawan Kutai. Gelar Aji hanya dapat diturunkan oleh pria bangsawan Kutai.

Wanita Aji yang menikah dengan pria biasa tidak dapat menurunkan gelar Aji kepada anak-anaknya

Jika pria Aji menikah dengan wanita dari kalangan bangsawan Kutai sendiri atau dari kalangan rakyat biasa maupun suku lain, maka putra-putrinya berhak menyandang gelar Aji. Namun jika wanita Aji menikah dengan pria yang bukan keturunan bangsawan Kutai, maka putra-putrinya tidak dapat memperoleh gelar Aji, kecuali jika wanita Aji tersebut menikah dengan bangsawan keturunan Arab (Sayid).

Jika wanita Aji menikah dengan keturunan Arab (Sayid), maka putra-putrinya memperoleh gelar sebagai berikut:

Aji Sayid
Gelar ini diturunkan kepada putera dari wanita Aji yang menikah dengan pria keturunan Arab.

Aji Syarifah
Gelar ini diturunkan kepada puteri dari wanita Aji yang menikah dengan pria keturunan Arab.

Gelar Aji Sayid maupun Aji Syarifah tetap setara dengan gelar Aji biasa. Artinya gelar ini tetap dibawah Aji Bambang maupun Aji Raden.

Daftar PUSTAKA

Soetoen, A. 1975. Dari Swapraja ke Kabupaten Kutai. Kabupaten Kutai: Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai.

http://iid.wikipedia.org . Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura. Diakses pada tanggal 20 Oktober 2013.

http://kesultanan.kutaikartanegara.com . Sejarah Kesultanan Kutai Kartanegara. Di akses pada tanggal 20 Oktober  2013





Sunday, 13 October 2013

Bangsa Asing dan Masa Awal Islam di Sulewesi Selatan.

a. Orang melayu

Orang melayu di Makassar, juga sebagaimana yang tercatat dalam lontara’, mempunyai kedudukan resmidalam kerajaan Gowa kira-kira pada tahun 1561, yaitu pada saat pemerintahan raja Gowa X Tunipallangga (1546-1565), namun dapat dikatakan bahwa setengah abad sebelum itu, telah banyak orang Melayu datang ke Gowa untuk berdagang. Begitu banyaknya orang Melayu yang berdatangan, maka mereka mengutus Naakhoda Bonang untuk menghadap pada raja Gowa agar mereka dapat diberi tempat kediaman untuk menetap.

Untuk lebih meyakinkan raja Gowa dan agar mereka itu dapat diberi tempat kediaman menetap, maka ketika menghadap, mereka membawa beberapa persembahan yang terdiri dari sepucuk bedil yang bernama “Kamaleti”, 80 perangkat pinacu, satu kodi kain sakalat, satu kodi kain beludru, dan setengah kodi kain cindai (sutera berbunga). Permohonan mereka diperkenankan oleh raja Gowa dengan resmi, bahkan mereka mendapat empat jaminan dari raja Tunipallangga.

Jadi sebelum pertengahan abad XVI para pedagang Melayu tinggal di pelabuhan –pelabuhan pantai barat sulawesi. Disinilah awal munculnya koloni dagang orang Melayu yang berasal dari sebahagian daerah di semenanjung Melayu, yang sangat penting bagi perkembangan budaya dan ekonomi di tempat itu.Hubungan yang dibangun dengan orang-orang Melayu sangatakrab dengan pihak kerajaan, begitu akrabnya sehingga orang-orang Melayu turut membantu memperbaiki peraturan-peraturan di dalam istana, di antaranya mengatur tata cara berpesta, mengajarkan kepada para pemuda kesenian Melayu, permainan pencak, lenggo, dan lain-lain.

Selain itu peranan orang Melayu sejak awal kehadirannya di kerajaan Gowa, juga terlihat dalam penulisan dan penyalinan buku-buku agama islam dari bahasa Melayu ke dalam bahasa Makassar dan Bugis. Kitab-kitab yang diterjemahkan seperti: Lontara’ perkawinan sayyidina Ali dengan Fatimah Az-Zahrah, Lontara’ Nabi Yusuf, Lontara’ percintaan Qais dan Laila Majnun, Sura’ Bukkuru’ yang dalam bahasa Bugis dikenal dengan “Paupaunna Sultanul Injilai”, Budi Istihara, dan lain-lain.

Sampai dengan masa pertumbuhan abad XVII sebagian besar perdagangan dan perkapalan Makassar berada di tangan orang-orang Melayu, namun di samping itu juga orang-orang Makassar ikut terlibat. Para raja dan bangsawannya tampil sebagai penyandang dana dan melancarkan ekspedisi dagang sendiri. Selain dengan pedagang-pedagang dari Melayu, kerajaan Gowa juga mengadakan kontak dagang dengan bangsa-bangsa lain, yakni Portugis, Belanda, Inggris, dan Denmark.

b. Orang Portugis

Masuknya bangsa portugis di sulawesi selatan khususnya di kerajaan Gowa, telah banyak memberi dampak positif pada perkembanganya kemudian. Hal ini di karenakan oarang portugis dapat menjalin susana persahabatan, bukan saja dengan bangsawan-bangsawan Makassar tetapi jaga dengan banfsawa-bangsawan Bugis pada jaman itu. Hal ini dapat di lihat dari keluasan-keluasan yang di berikan oleh raja-raja di Gowa dan di beberapa daerah Bugis untuk penyebarang agama yang di bawah oleh meraka.

Sejak perkenalannya yang pertama kali (pra islam) antara orang-orang Portugis dan orang-orang Makassar. Telah terjadi kontrak perdagangan yang juga dimanfaatkan olah orang Portugis untuk menyebarkan agama. Pada tahun 1573 kapal Ortiz de Tavora mengalami kecelakaan di pantai pulau Selayar. Raja Makassar memberikan pertolongan dan mengirimnya kembali ke Maluku. Setelah Malaka jatuh ke tangan Belanda pada tahun 1641. Makassar di banjiri oleh orang-orang Portugis dan tidak sedikit pula di antara mereka yang menetap.

Oleh Sultan Muhammad Said (1639-1653) oarang-orang portugis di ijinkan berdangan secara bebas di Makassar dan merekapun bebas menganut agama mereka. Seperti yang telah di laporkan oleh para pedangang Inggris yang telah mengunjungi Batavia, bahwa antara 10 dan 22 kapal Portugis di Madiun dan Makassar yang detiap tahunya datang dari Macoa, Malaka dan pelabuhan-pelabuhan Coromandel. Disana kadang-kadang ada 500 portugis, meraka diberikan jebebasan dalam menjalankan agamanya oleh pihak penguasa. Meraka tiba pada bulan November-Desember dan pada bulan Mei berikutnya, lalu menjadikan Makassar sebagai entrepot (gudang barang) bagi penjualan beberapa barang dangangan yang dibawa.

Dalam perdangan, Portugis vsebagian besar membawabbarang-baran, yakni berupa kain-kain dari daerah Benggali, bahan menta sutera, sejumlah emas, serta barang-barang dangangan lain dari Cina. Sejumlah besar kain di jual di Makassar dan kain ini di jual orang-orang Malayu. Oleh penduduk dari sana di bawa ke seluruh daerah-daerah di sekitarnya dan beberapa daerah kepulauan. Di makassar, portugis membeli barang-barang dari Maluku, Ambon, sandelwood (sandal kayu) lilin, kulit, kura-kura, dan batu bezoar dari kalimantan, bersama-sama dengan berbagai jenis barang dangangan lainnya.

Pada masa pemerintahan Karaeng Tunipalanggaya (1546-1565), di samping raja memberi ijin orang Portugis mendirika perwakila-perwakilan dangan di Makassar juga sebaliknya banyak bangsawan-bangsawan Gowa memperajari perdaban dan bahasa mereka. Selain itu dengan keadaan portugis, pihak Gowa memperoleh keuntungan dalam pengingkatan sarana-sarana fisik bagi perkembangan dalam berbagai bidang keahlian. Seperti membangun benteng dan rumah-rumah di dalam lingkungan kratong. Dengan hubungan itu pulalah mengakibatkan bandar Sombaopu menjadi semakin ramai dan besar seperti yang terlihat pada abad XVI hingga awal abad XVII.

Persahabatan antara orang-orang Portugis yang beragama Katolik dan orang-orang Makassar yang menganut agama Islam menjadi bertambah erat dengan semakin meningkatnya kekuatan Belanda di perairan Indonesia. Persahabatan itu juga tumbuh terutama karena tidak di senanginya usaha-usaha Belanda untuk mengadakan menopoli perdangangan rempah-rempah dari Maluku. Bahkan senjata yang sebenarnya tidak boleh di jual bebas, namun atas dispensasi paus, Portugis diperbolehkan menjualnya pada orang-orang Makassar

Darri sudut pandang politik praktis murni, orang Makassar memandang oarang Portugis sebagai sekutu paling terpercaya dibandingkan dengan Belanda, yang pada tahun 1630-an semakin yakin bahwa akhirnya satu-satunya cara yang bisa mereka lakukan untuk menguasai perdanganggan Makassar adalah lewat kekerasan. Orang Portugis, ketika di usir dari pangkalannya di Indonesia Timur satu persatu, memandang persekutuan dengan Makassar sebagai kebutuhan untuk mempertahankan kepentingan komersil yang ada pada kawasan itu. Oleh sebab itu tidak meragukan, bila persekutuan ini bertahan sampai kejatuhan Makassar kepada Belanda.

C. Orang belanda

Tujuan belanda datang ke indonesia, pertama-tama adalah untuk berdagang yaitu mendapatkan rempah-rempah yang harganya mahal di eropa, perseroan amsterdam mengirim armada kapal dagangnya yang pertama di bawah pimpinan Cornelis de Houtman pada tahun 1595 terdiri dari empat kapal. Melihat keuntungan yang melimpah, banyak perseroan yang tertarik untuk berlayar ke nusantara, pada tahun 1602 perseroan-perseroan tersebut bergabung kedalam satu organisasi perseroan yang di beri nama Vereenigde Oost Indische Compagnie (Voc).

Dalam perjalanan pertama ke nusantara mereka hanya menyingahi pulau jawa, serta maluku. Makassar belum memikat hati mereka untuk singgah. Nanti pada tahun 1603 orang belanda mulai tertarik setelah mereka mempelajari arti penting makasar sebagai tempat persinggahan kapal-kapal dan juga sebagai pusat perdagangan rempah-rempah. Ketertarikan ini di tandai oleh ketika orang belanda mengirim surat kepada raja gowa untuk berdagang. Permohonan itu di kabulkan dengan senan hati tetapi dengan tambahan “hanya untuk berdagang”.

Pada tahun 1607 orang-orang belanda di bawah laksamana Belanda Cornelis Matelijf berlabuh di sekitar patai Selatan Sulawesi, dekata kampung rakeka (tanakeke), akan tetapi tidak melakuna sesuatu dan terus ke maluku. Di perintahkannya dua orang pegawainya pada tahun ini, yaitu Paulus van Doldt dan jacquestl Hermite singgah di makassar guna meminta gowa untuk tidak mengirim beras ke malaka dan membukapelabuhannya[1], tetapi gowa tidak mematuhinya, selain itu juga melakukan pemeriksaan kantor perwakilan dagangnya di makassar.

Kedatangan belanda di makassar di sambut dengan baik, meskipun belum mendapat izin untuk menetap di daratan makassar lain halnya dengan orang asing lainya yang telah mendapat izin untuk menetap di makassar seperti inggris, portugis, denmark. Kepada Orang Belanda, makassar menolak izin untuk tinggal di daratan oleh karena Makassar menaruh kecurigaan kepada belanda apalagi usaha-usaha gigih VOC untuk memonopoli perdagangan, proses penebangan phon pada tahun 1625-1656 di ambon menctuskan kehkawatiran dan perhatian.

Daya tarik dan pentingnya makassar bagi belanda tercermin dari catatan belanda tertanggal 27 Oktober 1625, yang mengeluh atas persaingan orang-orang Denmark dan inggris, laporan itu mengatakan:

Sejak kita (belanda) berlayar di sekitar malaka, kota makassar telah berkembang pesat dan mengenai perdagangan di daerah timur ini, seperti kalimantan, jawa, solor, timor, ambon kepulauan maluku, dan tempat-tempat lain, lokasi makassar jauh lebih baik dari pada malaka.....(terj.)[2]

Secara garis besar antara makassar dan belanda telah menyulut terjadinya peristiwa menuju perang, di antara peristiwa itu adalah di gambarkan sebagi berikut: 

  1. peritiwa tahun 1636, tatkala belanda memblokir kota makassar, di akhiri dengan di capainya perjanjian perdamaian tahun 1637.
  2. perang terbuka pada tahun 1655, ketiak makassar berusaha mengambil buton dari tangan belanda. 
  3. peristiwa tahun 1660, ketika belanda menyerang makasar dan menduduki benteng panakukan, diakhiri dengan perjanjian perdamain tahun 1660.
  4.  perang tahun 1666 yang terkenal dengan perang makassar, diakhiri dengan perjanjian tahun 1667 dengan di tandatanganinya perjanjian bungayya.
Peristiwa pertama, kedua, ketiga tidak banyak menggoncangkan makassar, walaupun perjanjian yang dicapai mengandung tuntutan dan tekanan terhadapnya. Peristiwa terakhir yaitu perang makassar yang diakhiri dengan perjanjian bungaya, mempunyai akibat besar terhadap kedudukan makassar sebagai satu kekuatan maritim yang banyak menggantungkan kemajuannya di lautan. Perjanjian ini mengahiri posisi dominan makassar dalam perdagangan dan politik indonesia timur. 

d. Orang Inggris 

tahun 1613. John jourdain dalam perjalanannya kembali kebanten dari ekspedisi yang gagal untuk mendirikan loci di Maluku, ia singgah di makassar. Dia di etrimah dengan ramah oleh Sultan Alauddin dan dibolehkan untuk membangun loji diwilayah kerajaannya, tetapi dengan syarat dia mengakui dan menghormati adat kerajaan Gowa. Seperti yang telah dilakukan oleh orang Belanda dan oarang-orang Kristen yang lain. 

Kemudian pada tahun 1615 orang-orang inggris kembali muncul di Makassar. Tiga tahun kemudian perdagangan di buka dengan Makassar. Kesaksian dari saudagar Belanda Hendrik Kerckringh mengai keberadaan oarang-orang inggris, yang berlayar pada bulan desember, januari, februari, melalui Buton menuju Ambon denagn sasaran Makassar sambil membawa banyak pakaian, beras, peralatan porselin, tetapi kebanyakan membawa rempah-rempah. Dia mengatakan :

......kira-kira seperempat mil dari Somba Opu di sisi Selatan terletak sebuah Benten yang di sebut Garessik atau Panakukkang. Orang Inggris dan Demark juga memiliki temapat pemukiman yang layak di sisi Utara BentengSomba Opu. Orang Melayu di sana memiliki pemukiman yang baik, orang-orang melayu dalam jumlah yang besar di sana. Mereka merupakan kelas menengah rumah-rumahnya berkolompok dalam Negri diantara pemukiman orang makassar.....Pertugis tinggal di sisi utara, dekat Benteng dalam rumah yang terbuat dari bambu. Sebuah rumah untuk melakukan ibadah di sedikan oleh raja. Di sisi utara Benteng Somba Opu antara Loji Inggris dan benteng itu, raja membangun sebuah rumah bagi utusan komponi Belanda agar bisa di tampung di sana ...( terj).

kantor loji Inggris di Makassar dibuka secara resmi pada tanggal 18 september 1625 dengan pimpinannya, yakni Mr.Siort. selanjutnya mengembangkan hubungan khusus pada tahun 1630-an, sebagai pemasok senjata dan amunisi, serta kain India.

Seorang Inggris menyatakan bahwa perdangannya setiap tahun berhasil membawa 500.000 barang, perahu Macao sendiri mengambil 60.000 potong barang. Dia menambahkan seorang portugis melihat Makassar sebagai Malaka kedua yang lebih baik,dan dia merasa seolah-seolah tidak memiliki musuh di India, karena mereka tidak diserang di sini.

Bagi orang Inggris, dan para pedagang Eropa lain di khawasan ini, nilai utama Makassar terletak pada posisinya sebagai pelabuhan yang berada di jalur laut bagi kepulauan rempah-rempah. Tempat mereka dapat membeli cengkeh, fuli dan pala. Sejak awal mereka banyak bersaing dari pada bekerjasama dengan Belanda untuk ikut andil dalam perdagangan rempah-rempah. Perjanjian Inggris Belanda yang dibuat pada tahun 1619 untuk mengatur perdagangan ini tetap tidak efektif, sebagian karena Belanda tidak mampu memunkinkan penerapan monopoli yang berusaha di tegakkan. Lojo-loji Inggris terpaksa mengambil rempah- rempah sejarah tidak langsung dari Makassar, yakni ada perdagangan yang tumbuh dari rempah-rempah gelap yang berasal dari Maluku. 

Pada tahun 1627 terjadi persaingan dagang antara orang Portugis, dan Inggris sehingga para pimpinan kompeni Inggris menekankan tindakan yang lebih tegas terhadap orang-orang Portugis, namun di jawab oleh raja Gowa, yakni raja menuntut agar orang Portugis dan Inggris sama-sama saling bebas di pelabuhan Makassar.

Rupanya loji Inggris di Makassar menjadi pusat utama untuk menangani cengkeh selundupan dan dianggap oleh EIC Inggris sebagai salaha satu bangsa paling mekar di kebung mereka. Pada tahun 1632 EIC mencatat bahwa dengan menjual pantai Coramandel di pasar Makassar menanam modal dalam cengkeh, kulit penyu dan kayu cendana, para pedangan mereka bisa meraih keuntungan sampai 50%. 

Sebelum ajaran Islam berkembang, telah ada upaya di lakukan untuk mengembangkan agama Islam. Bangsa Portugis yang merupakan bangsa Barat pertama yang datang ketimur (termasuk di sulawesi selatan) didorong oleh tiga motif utama, yaitu menyebarkan agama Kristen. Mendapatkan rempah-rempah dan kemasyuran nama. 

Pada seperempat abad XVI. Di sulawesi selatan telah ada upaya-upaya terselubung untuk memasukkan ajaran Kristen. Disana dia menjumpai penduduk yang hidup dalam kondisi yang tidak beraturan dan sikap memusuhi, sehingga dia tidak dapat melakukan pembaptisan, karenanya mereka hanya tinggal sebantar dan berangkat ketempat lain mungkin ke Maluku.

Dua belas tahun kemudian pada tahun 1327 suatau uasaha di lakukan tetapi kini tidak di Sulawesi Selatan melainkan di Ternate. Antaonio Galfao saat itu menjadi panglima benteng Portugis di sana. Dua orang bangsawan muda bersama rombonganya dari salah satu daerah di kepulauan Makassar mengunjungi Ternate untuk membuka hubungan persahabatandan di sambut dengan kehormatan.

Pada tahun 1544, agama Kristen masuk ke Makassar, Namun kini dari Malaka. Tokoh utama agama itu adalah saudagar Portugis Antonio de Payva dikirim ke Sulawesi Selatan pada bulan februari 1544 untuk mengangkut kayu cendana. De Payva berlabuh di Suppa (Teluk Pare Pare di Pantai Barat Sulawesi Selatan) dan di sambut oleh penguasa setempat. Di sini de Payva sempat menyampaikan beberapa hal yang menyangkut ajaran Kristen. 

Dari Suppa iya berlayar ke siang. Pada kesempatan sebelumnya di Siang, di sambut dengan penuh keramahan dan selama sakit di rawat di istana Siang pada saat itu de Payva yang mengetahui bahasa lokal, banyak membicarakan masalh agama dan mengajak para penguasa di daerah itu untuk masuk Kristen. Dakwa Kristen yang di lakukannya menarik hati, raja dan para bangsawan, namun meminta waktu berpikir selama 10 hari ketika belum ada jawaban dari raja siang, tiba-tiba muncul raja Suppa dengan armadanya dan meminta de Payva untuk membaptisnya dan di beri nama Don Luis. Sekali pun membaptisan di tentang oleh para bissu (rohaniawan kerajaan).

Pada tahun berikutnya 1545 ekspedisi lain dikirim ke Sulawesi Selatan. Beberapa oarang Portugis disertai seorang pastor yang bernamaVicenta Viegas, tiba tiba di pelabuhan Machoquique pada tanggal 1 pebruari. Di sana ia di sambut oleh persahabatan oleh lapitou. Raja daerah ini dan juga oleh raja Suppa dan raja Linta (alitta).mereka di kumpulkan di sana dan kemudian di baptis. Mereka berdua kemudian berganti nama dengan baptis Don Juan Tubinanga untuk raja Suppa dan Don Manuel untuk raja Alitta.

Setelah peristiwa itu, hubungan Malaka portugis dan Sulawesi Selatan terganggu selama 14 tahun di sebabkan seorang pejabat Portugis telah membawa lari seorang putri bangsawan dari kerajaan Suppa, ketika hubungan dilanjutkan para penguasa Suppa, Alitta dan Bacukiki yang telah di baptis sudah meninggal dan wilayah mereka kehilangan kemerdekaan karena di jajah oleh kerajaan Gowa yang kuat. Bagaimana kondisi raja tallo yang juga menjadi mangkubumi pertama kerajaan Gowa, tidak di dapatkan informasi, namun dalam beberapa surat yang ditulis oleh orang Portugis dia masih disebut-sebut sebagai Kristen.

Ada hal yang aneh karena sejak peristiwa tersebut, beberapa kali orang-orang Kristen lokal mengirim surat agar diutus seorang paderi untuk mengajar mereka, namun selama beberapa tahun tidak seorang pun yang meresponsnya. Bahkan tidak ditemukan keterangan mengenai 4 orang pengeran muda yang dikirim pada tahun 1545 menuju sekolah tinggi Jesuit di Goa India. Dua hari pangeran tersebut manurut Lontara sukku’na ri wajo adalah bangsawan Gowa. Ketika mandengar tentang perkembangan Kristen baik di Sulawesi Selatan, Franciscus Xaverius sangat berhasrat untuk mengunjinginya, namun ia masih menunggu kabar dari pastor Vicenta Viegas yang di tugaskan ke Makassar, namun karena keterlambatan kedatangan Vicenta Viegas yang disebabkan karena menunggu bertiupnya angin Timur Laut tahun 1546, untuk mangantarnya kembali ke Malaka, maka Xaverias akhirnya mengubah rencananya dan memutuskan berlayar menuju Ambon dan tidak singgah di Makassar.

Ada sebuah surat yang menarik dari sebuah surat yang ditulis oleh seorang Portugis yakni, Manuel Pinto menyatakan bahwa raja Jawa, raja berkata, bila usaha ini berhasil, ia akan manjadi segundo turco, maksudnya menjadi Sultan Turki II, setaraf dengan suleman I (1520-1566). Ia mengira akan dapat dengan mudah menjatuhkan Malaka. Ia berkata juga bahwa sedang mempertimbangkan untuk mengirimkan ekspedisi ke Sulawesi Selatan dengan maksud menaklukkan dan mengislamkan daerah itu. Mnuel Pinto berusaha supaya raja membuang pikirantersebut karena khawatir kalau-kalau ekspedisi tentara Jawa akan merugikan PastorVicenta Viegas yang pada waktu itu juga sedang berusaha memperkenalkan agama Kristen di Sulawesi Selatan.

Yang menarik dari imformasi-informasi ini. Jika benar beberapa penguasa di Sulawesi Selatan telah masuk Kristen, apakah betul-betul mereka menjalankan ibadah seperti yang dianjurkan oleh agamanya, ataukah ini hanya merupakan siasat politik dari para penguasa untuk menarik simpati dari orang-orang portugis agar mereka tetap bisa mengadakan kontak dagang yang tentunya akan menguntungkan pihak kerajaan dan penguasa setempat. Hal ini disebabkan sampai saat ini tidak diketemukan bukti-bukti arkeologis, dan keterangan tentang “ perilaku kultural” yang dapat memberikan petunjuk akan hal tersebut, baik dari sumber asing maupun dalam bentuk naskah lokal, jauh berbeda dengan informasi yang ada ketika Islam masuk ke pulau ini.

[1] ANRI Bundel Makassar No. 359, lembar 16. 


[2] A.B. Lapian. “perebutan samudra: Laut sulawesi pada abad xvi dan xvii”. Dalam majalah prisma 11, (Jakarta: LP3ES. 1984). Hlm. 36.
HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html