Di Labala, hampir semua seremonial adat berhubungan dengan air; air sungai, air laut dan air hujan. Di sungai misalnya, sepanjang aliran sungai, mulai dari wai mata (sumber mata air) sampai wai lei (muara sungai). Begitupun di laut, Orang Labala memiliki seremoni adat tula re (berdamai dengan laut). Bahkan di Labala pun Orang Labala memiliki seremoni adat teppa bala (memanggil hujan) bila terjadi kemarau berkepanjangan sehingga terancam gagal panen.
Dilihat dari berbagai seremonial adat yang dilakukan Orang Labala, bila dikaitkan dengan ilmu pengetahuan, upacara seremonial adat ini menggambarkan siklus perjalanan air sebagai sumber kehidupan. Dalam ilmu pengetahuan kita mengenal istilah siklus air, dimana air laut (hari lewa/tula ree) sebagai sumber air utama menguap karena panas matahari (sumber energi keilahian/ketuhanan) kemudian menjadi uap/awan. Selanjutnya, awan mendung yang mengandung titik-titik air kemudian jatuh sebagai hujan (teppa bala), lalu hujan yang turun kebumi membentuk mata air (wai mata), kemudian mata air mengalir menjadi sungai menuju muara (wai lei/pao oma) dan kembali lagi ke laut (hari lewa/tula ree).
Dari sedikit penggambaran di atas, maka dapat kita pahami, bahwa kepercayaan akan ular naga sebagai simbol air, merupakan sebua upaya manusia menjalin keselarasan hidup dengan alam yang memberinya kehidupan. Bukankah terjadinya aneka mala dan bencana akibat dari ulah manusia yang seenaknya saja memperlakukan alam?
Sebagaimana yang disinyalir dalam Kitab Suci al-Quran:
“Telah nampak kerusakan (bencana) di darat dan di laut akibat ulah tangn-tangan manusia, agar Allah merasakan kepada mereka akibat dari perbuatannya itu dan agar mereka mau kembali (sadar)”
Naga Bumi-Naga Langit; Simbol Keseimbangan Kosmis
(Naga Langit; Simbol Alam Ilahiah/Alam Malakut/Alam Gaib. Naga Bumi; Simbol Alam Semesta/Alam Makhluk/Alam Nyata)
Sebagaimana hukum alam (sunnatullah), segala sesuatu diciptakan Tuhan selalu berpasangan. Langit dan bumi adalah pasangan telur kosmis, sumber keyakinan Orang Lamaholot terkhusus Orang Labala, yang meyakini kuasa Lera-wulan Tanah Ekan (Tuhan Sang Pemilik Langit dan Bumi). Dari pasangan kosmis keilahian (Langit dan Bumi), selanjutnya terbentuklah pasangan kosmis kemanusiaan (makhluk) yaitu keblake-keberwae (laki-laki dan perempuan) atau manusia yang oleh Tuhan diberi amanah menjadi khalifah (penghubung kosmis keilahian dengan kosmis alam semesta) beserta segala hal lain di alam raya yang juga tercipta berpasang-pasangan.
Pasangan adalah gambaran kesetimbangan/keseimbangan. Pasangan juga adalah simbol eksistensi/keberlangsungan hidup.Tak akan ada keteraturan/keseimbangan bila segala sesuatu tak tercipta berpasangan. Kelestarian manusia akan tetap terjaga bila manusia tercipta dari pasangan lelaki dan perempuan. Lampu bahlon tak akan menyala bila tak ada aliran energi positif dan negatif dan masih banyak contoh keseimbangan kosmis lainnya.
Kita menyebut keseimbangan/ keselarasan dengan keadilan. Itulah mengapa Tuhan dikatakan Maha Seimbang (al-Adil) tak memihak karena Tuhan tak punya kepentingan-apa-apa dari makhluknya. Tuhan juga disebut Maha Bijaksana (al-Hakim) selalu memberi jalan keluar untuk mengoreksi dan memperbaiki kesalahan/dosa hamba-Nya.
Adil adalah gambaran ketegasan hukum, sedangkan bijaksana adalah gambaran pengampunan/pemaafan/kasih sayang. Keadilan dan kebijaksanaan ini, dalam khasanah tradisi dan budaya, Orang Lamaholot menyebutnya dengan Keniki-Pelatin dan geleten-gelaran.
Ungkapan Keniki-Pelatin dan Geleten-Gelaran adalah gambaran keseimbangan kosmis kehidupan. Keniki-Pelatin dan Geleten-Gelaran juga adalah perwakilan dari sifat kosmis keilahian/ketuhanan dan sifat kosmis alam/makhluk. Secara bahasa, keniki-pelatin artinya panas atau pedis sebagai simbol ketegasan/keadilan. Sedangkan Geleten-Geelaran artinya dingin atau sejuk sebagai simbol pengampunan/pemaafan/kasih sayang.
Bila ditelusuri lebih mendalam, ungkapan keniki-pelatin dan geleten-gelaran berakar dari keyakinan Orang Lamaholot akan Koda-Kiri. Koda sebagai sabda (kebenaran), kiri sebagai firman (kesucian). Koda-Kiri adalah Kalam/Kata-kata/Sabda/Firman dari Lera-wulan Tanah-Ekan (Tuhan/Allah SWT). Koda-kiri diyakini sebagai asal muasal dari asbab penciptaan alam semesta (langit dan bumi beserta isinya, termasuk manusia). Yang dalam istilah agama islam dikenal dengan, Kun, Fayakuun (Jadilah! Maka terjadilah apa yang dikehendaki-Nya)
Koda-kiri adalah keseimbangan yang pantang/tabu untuk dilanggar apalagi diabaikan. Bila dijalani dengan benar menurut tujuan penciptaan, maka akan tercipta keseimbangan/keselarasan (kedamaian) kosmis. Namun bila dilanggar atau diabaikan, maka yang terjadi adalah ketidaseimbangan/kekacauan (bencana) kosmis.
Dari keyakinan akan koda-kiri ini kemudian melahirkan filosofi (kearifan) Koda keniki-pelatin sili-lia mean, Kiri geleten-gelaran keru-baki buran. Bahwa kebenaran koda-kiri (kata/kalam/firman) adalah sesuatu yang sakral. Pelanggaran terhadap kebenaran koda-kiri akan menyebabkan nalan (dosa), nedin (bencana), elan/elen (kesalahan), milan (tercemar/kekotoran), dan haban (tersesat). Oleh karena itu, nalan/nedin/elen/milan/haban hanya bisa terampuni/termaafkan/tersucikan apabila manusia mau menyadari kesalahannya dan melakukan pertaubantan/penyucian/permaafan yang dalam istilah adat Orang Lamaholot disebut huku/hoko mehi (pemulihan darah) untuk kembali berdamai dengan Lera wulan-Tanah Ekan (Tuhan Sang Pencipta)
Filosofi Koda keniki-pelatin sili lia mean dan Kiri geleten-gelaran keru baki buran ini kemudian menjadi pedoman/pegangan dalam setiap aktifitas kehidupan sehari-hari Orang Lamaholot, termasuk di Labala yang diwujudkan dengan ritual adat Pao Omadan Tula Ree yang disimbolkan dengan ular naga langit dan ular naga bumi. Ular naga langit sebagai perwakilan kosmos keilahian/alam malakut/alam gaib, sedangkan ular naga bumi sebagai perwakilan kosmos alam semesta/alam makhluk/alam nyata. Lebih dari pada itu, ritual pao oma dan tula ree merupakan ikhtiar manusia untuk berdamai dengan alam agar tercipta keseimbangan.
Manusia, dengan potensi lahir dan batin, akal dan nurani yang dikaruniakan Tuhan, dipilih oleh-Nya untuk mengemban amanat suci sebagai Khalifah (wakil Tuhan di bumi) untuk menjadi pemimpin, menjadi pengayom dan penjaga keseimbangan kosmos, menjadi penghubung langit dan bumi, yang diaplikasikan dengan menjalin hubungan baik dengan Tuhan dan menjalin hubungan baik dengan sesama dan alam semesta. Dengan demikian, maka akan tercipta tatanan kehidupan yang rahmatan lil alamin yaitu kehidupan seimbang yang menjadi penyebab rahmamat/kasih sayang Tuhan selalu menyertai.
Keyakinan akan keseimbangan kosmos yang disimbolkan dengan ular naga sebagai air kehidupan dan sebagai keseimbangan kosmis antara kosmis keilahian (ketuhanan/gaib) dengan kosmis kemakhlukkan sebagai ciptaan, senantiasa menjadi kearifan dan nilai luhur yang unik bagi orang lamaholot, terkhusus Orang Labala yang tetap mempertahankan tradisi mistis religius ini.
Akhirnya, tak semua adat leluhur dan tradisi nenek-moyang dengan aneka ritual mistisnya harus dicap sebagai musyrik oleh mereka yang mengaku beragama, atau dianggap mitos oleh mereka yang mengaku akademisi. Toh segala sesuatu yang dianggap musyrik dan mitos tak serta merta dicap sebagai kuno, kafir dsb sebelum bisa dibuktikan dengan hujja (dalil) yang sahih. Menyalahkan tanpa pernah membuktikan kesalahan itu sendiri adalah sebentuk kemunafikan orang-orang yang mengaku beragama dan kebodohan intelektual bagi mereka yang mengaku cerdik cendekia. (**)
~AtaLabala~
Catatan: Tulisan ini hanyalah menurut persepsi penulis yang berusaha memaknai adat dan budaya yang diwariskan oleh nenek moyang. Apa yang penulis sajikan ini bukanlah kebenaran mutlak yang harus juga diyakini oleh pembaca, karena kebenaran mutlah hanyalah milik Tuhan. Jika bermanfaat, silahkan diambil. Bila tak bermanfaat, silahkan diabaikan saja. Wassalam...
Tulisan ini pernah dimuat di http://www.kompasiana.com/muhammadbaran/ular-naga-perspektif-al-quran-tradisi-mistis-orang-labala_56eec7f3c2afbd6113a6941a