Islam Di Domba Hitamkan

Ditengah kekacauan,Fitnah, teror dan kekerasan,umat Islam tetap tabah berdiri mempertahankan keyakinannya, dengan memperkenalkan agamanya dengan cara-cara damai dan menyejukkan.

Akhirnya Sunni dan Syiah Bersatu

Bukankah mereka mengimani tuhan yang sama, Mencintai Nabi dan Rosul yang sama, memiliki Kitab suci yang sama, Mempunyai Syahadah yang sama ?, Kemudian mereka saling fitnah dan menumpahkan darah.

Pengaruh Peradaban Islam Terhadap dunia Modern

Pada masa lampau, peradaba Islam memberikan sumbangan besar terhadap kemajuan dunia Barat, kini Islam dan Barat saling menghunus pedang, Islam sebagai Tokoh Kegelapan, sedangkan Barat sebagai Tokoh Peradaban.

Jihad Dan Terorisme dalam Prespektif Islam

Siapa mereka yang mengatakan terorisme merupakan bagian dari jihad fi sabilillah ?? sedangkan teror sangat ditentang oleh teks rujukan utama umat Islam.

Lagenda Assasin "Penebar Maut Lembah Alamut"

Asyhasin(assassin) Antara Lagenda dan Mitos, Siapa Sangka Assassin yang terkenal sebagai Game, adalah Kisah Nyata Pasukan Khusus sekte pecahan Syiah Ismailiyah.

Showing posts with label Aliran dalam Islam. Show all posts
Showing posts with label Aliran dalam Islam. Show all posts

Sunday, 28 February 2016

Etika Islam Menurut Imam Al Gazali

Latar Belakang

Secara prinsipil perbuatan moral dalam pola pikir orang Islam tak bisa dipisahkan dengan pandangan agama, unsur teologi bernuansa religius. Hal itulah yang menjadi karakteristik khas dari filsafat Islam sejak semula. Inti pemikiran Islam yang diajarkan adalah Allah yang Esa dan sosok Nabi Muhammad sebagai teladan hidup sempurna bagi manusia (insan al’kamil).[1]

Dalam pandangan filsafat, etika biasanya dimengerti sebagai refleksi filosofis tentang moral, etika lebih merupakan wacana normatif, tetapi tidak selalu harus imperatif, karena bisa juga hipotesis, yang membicarakan pertentangan antara yang baik dan yang buruk, yang di anggap sebagai nilai relatif. Etika ingin menjawab pertanyaan “Bagaimana hidup yang baik?” Jadi etika lebih dipandang sebagai seni hidup yang mengarah kepada kebahagiaan dan memuncak kepada kebijakan. Para filosof Yunani kuno membedakan pengetahuan (knowledge) dari hikmah (wisdom), di mana pengetahuan itu dipahami untuk kemudian menjadi sesuatu yang dapat diajarkan. Pengetahuan itu penting dan dibutuhkan untuk memperoleh hikmah. Tetapi tidak dengan sendirinya pengetahuan akan menjamin hadirnya kebijaksanaan, unsur-unsur lain yang dibutuhkan selain pengetahuan adalah pemahaman, wawasan, penilaian yang baik dan mengasah kemampuan untuk hidup dengan baik dan perilaku baik. 

Banyak orang berpendidikan, pada kenyataannya, tidak layak dalam membuat keputusan praktis dalam kehidupan mereka dan mereka tidak terasa lebih baik secara moral dalam menjalani kehidupan. Mereka memiliki pengetahuan, tetapi kurang kebijaksanaan. Melalui filsafat moral, orang diharapkan akan senantiasa cinta dan mengejar kebijaksanaan dalam hal moral. Ilmu pengetahuan telah merangsang manusia untuk berpikir lebih imajinatif dan kreatif. Daya berpikir inilah yang memampukan manusia menemukan disiplin ilmu baru: manusia tidak hanya stagnan pada keberhasilan-keberhasilan para pendahulunya. Namun, ketika manusia mampu mencipta dan daya berpikirnya semakin canggih, manusia kadangkala jatuh ke lembah kesombongan, saat itulah nilai-nilai moral dan norma-norma tradisional semakin merosot.

Membahas ihwal etika, tak bisa dipungkiri bahwa kedudukannya sangat penting dalam kehidupan manusia. Dengan adanya etika, kehidupan manusia akan lebih terarah karena adanya suatu hukum yang mengatur dan menjelaskan ketentuan mana yang baik dan yang buruk. Namun, dalam praktiknya, dasar atau teori penggunaan etika yang dianut oleh tiap manusia berbeda-beda. Dalam hal ini, kita sebut saja etika barat yang cenderung menggunakan teori antroposentris dalam penerapan etikanya, sementara di etika Islam menggunakan teori theosentris.

Etika teologis yang dipakai oleh etika Islam tak terlepas dari adanya pemikiran-pemikiran dan pandangan ahli pikir Islam, salah satunya adalah Imam Al-Ghazali. Beliau adalah salah seorang teolog yang memberikan sumbangan besar kepada masyarakat dan pemikiran manusia dalam semua hal. Dalam membahas etika, beliau juga menyumbangkan pemikirannya yang luar biasa, salah satunya lewat karyanya Ihya’ Ulum Al-Din yang sangat terkenal. Pemikirannya ini sampai saat ini digunakan sebagai rujukan bagi banyak orang untuk beretika dengan baik.

A. Riwayat Hidup Al-Ghazali

Beliau bernama Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali ath-Thusi asy-Syafi'i. Namanya kadang diucapkan Ghazzali (dua z) artinya tukang pintal benang, karena pekerjaan ayah Al-Ghazali adalah tukang pintal benang. Sedangkan yang lazim adalah Ghazali (satu z), diambil dari kata Ghazalah, nama kampung halamannya.[2] Beliau lahir pada tahun 450 H/ 1058 M di desa Thus, wilayah Khurasan, Iran,dan meninggal di Thus pada 1111 M / 14 Jumadil Akhir 505 H dengan umur 52–53 tahun.

Al-Ghazali adalah seorang ulama, ahli fikir, filosof dan teolog muslim Persia yang terkemuka yang banyak memberi sumbangan bagi perkembangan kemajuan manusia. Beliau dikenal sebagai Algazel di dunia Barat abad Pertengahan. Beliau adalah pemikir ulung Islam yang menyandang gelar “Pembela Islam” (Hujjatul Islam), “Hiasan Agama” (Zainuddin), “Samudra yang Menghanyutkan” (Bahrun Mughriq), dan lain-lain.[3] Beliau berasal dari keluarga yang miskin. Ayahnya mempunyai cita-cita yang tinggi yaitu ingin anaknya menjadi orang alim dan saleh. Imam Al-Ghazali adalah. Beliau pernah memegang jawatan sebagai Naib Kanselor di Madrasah Nizhamiyah, pusat pengajian tinggi di Baghdad.

Masa muda Al-Ghazali bertepatan dengan bermunculannya para cendekiawan, baik dari kalangan bawah, menengah, sampai elit. Kehidupan saat itu menunjukkan kemakmuran tanah airnya, keadilan para pemimpinnya, dan kebenaran para ulamanya. Sarana kehidupan kala itu sangat mudah didapat, masalah pendidikan sangat diperhatikan, pendidikan dan biaya hidup para penuntut ilmu ditanggung oleh pemerintah dan pemuka masyarakat.[4]

Walaupun ayah Al-Ghazali seorang buta huruf dan miskin, beliau amat memeperhatikan asalah pendidikan anak-anakanya. Sesaat sebelum meninggal, ia berwasiat kepada salah seorang sahabatnya yang sufi agar memeberikan pendidikan kepada kedua anaknya, Ahmad dan Al-Ghazali.

Kesempatan emas ini dimanfaatan oleh al-Ghazali untuk memperoleh pendidikan setinggi-tingginya. Mula-mula beliau belajar agama sebagai pendidikan dasar pada seorang ustad setempat, Ahmad bin Muhammad Razkafi. Kemudian beliau pergi ke Jurjan dan menjadi santri Abu Nasr Ismaili.

Setelah menamatkan studi di Thus dan Jurjan, Al-Ghazali melanjutkan dan meningkatkan pendidikannya di Naisabur dan bermukim di sana. Tak berapa lama kemudian, mulailah beliau mengaji kepada al-Juwain Imam Al Haramain hingga meninggalnya terakhir pada 478 H/1085 M. Beberapa lain disebutkan, tapi kebanyakan tidak jelas. Yang jelas adalah Abu ‘Ali Al Farmadhi. Dari Naisabur pada 478 H/1085 M, beliau pergi ke kampus Nizam Al Mulk yang menarik banyak sarjana. Di sana beliau diterima dengan kehormatan dan kemuliaan. Sebelum perpindahannya ke Bagdad, Al Ghazali mengalami fase skeptisisme, dan menimbulkan awal pencarian yang penuh semangat terhadap sikap intelektual yang lebih memuaskan dan cara hidup yang lebih berguna.[5]

Pada 484 H/ 1091 H, Al Ghazali diutus oleh Nizam Al Mulk manjadi guru besar di Madrasah Nizhamiyyah yang didirikan di Bagdad. Beliau menjadi salah satu dari orang yang paling terkenal di Bagdad, dan selama empat tahun memberikan kuliah pada peserta yang jumlahnya mencapai lebih dari tiga ratus mahasiswa. Pada saat yang sama, beliau menekuni kajian filsafat lewat bacaan pribadi dan menulis sejumlah buku. Namun, pada 488 H/ 1095 M beliau menderita penyakit jiwa yang membuatnya secara fisik tak dapat lagi member kuliah. Motif-motif pengunduran diri Al Ghazali masih didiskusikan sampai saat ini. Alasan yang beliau berikan adalah untuk melaksanakan ibadah haji, namun ada yang mengatakan bahwa beliau ingin meninggalkan status guru besar dan kariernya secara keseluruhan sebagai ahli hukum dan teolog.

Sejak kepergiannya dari Bagdad, Al Ghazali telah menghabiskan waktu sekitar sepuluh sampai sebelas tahun untuk mengembara. Beliau menghabiskan beberapa waktu di Damaskus, lalu pergi ke Madinah dan Makkah lewat Jerussalem dan Hebron sambil melaksanakan haji pada 489 H/ November-Desember 1096 M. Kemudian beliau kembali ke Damaskus dan pernah pula dilaporkan terlihat di Bagdad pada bulan Jumada Al-Tsaniyah 490 H/ Mei-Juni 1097 M, tetapi ini mungkin hanya singgah sejenak dalam rangkaian perjalanan ke kampung halamannya, Thus.[6]

Pada periode pengunduran dirinya di Damaskus dan Thus, Al Ghazali hidup sebagai sufi yang miskin, selalu menyendiri, menghabiskan waktunya dengan meditasi dan pelatihan ruhaniah-ruhaniah lainnya. Pada periode inilah beliau menulis Ihya Ulum Al-Din, karya besarnya tentang etika. Pada 499 H/ 1105-6 M, Fakr Al-Mulk, putra Nizam Al-Mulk, dan wazir Sanjar, penguasa Saljukiah di Khurasan, menekan Al Ghazali untuk kembali ke kerja akademik. Beliau menyerah atas penekanan ini, sebagian di dorong oleh kepercayaan bahwa beliau ditakdirkan untuk menjadi pembantu agama (mujaddid). Pada bulan Dzulqadah/ Juli-Agustus 1106 M, al Ghazali mulai mengajar di Nizamiyah di Nasyabur dan tidak lama setelah itu menulis autobiografis Al-Munqidz min Al-Dhalal. Namun, sebelum meninggal beliau berhenti kembali mengajar dan kembali ke Thus.[7]

B. Karya-karya Al-Ghazali

Al-ghazali adalah seorang ulama dan ahli pikir Islam yang memiliki ketinggian ilmu. Beliau mempuni di berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Banyak karya yang diciptakannya melalui pengetahuannya yang luas itu.

Karangan al-Gazali berjumlah kurang lebih dari 100 buah. Karangan-karangannya mengikuti berbagai macam lapangan ilmu pengetahuan., seperti ilmu kalam (teologi Islam), Fiqh (hukum Islam, Tasawuf, akhlak dan autobiografi. Sebagian besar dari karangannya adalah berbahasa arab dan sebagian lagi berbahasa persia.

Di antara berbagai karya itu ada beberapa yang kurang mendapat perhatian di kalangan ulama Indonesia. Namun sangat dikenal oleh negeri barat. Yaitu di antaranya buku yang menyebabkan polemik di antara ahli filsafat, buku tersebut adalah Maqasidul Falasifah (tujuan para ahli filsafat) dan Tahafut al-Falasifah (kesesatan kaum filosof). Buku yang terakhir ini dikenal sebagai kitab paling penting untuk mengkritik pemikiran para filosof. Sebagamana dicatat Miska Muhammad Amin: “dalam bidang filsafat, karyanya yang sempat mengejutkan dunia kefilsafatan berjudul Tahafut al-Falasifah (kesesatan kaum filsuf). Dalam buku ini al-Gazali mengkritik beberapa kesalahan dan kesesatan para filsuf islam dimasa itu”[8]

Kitabnya yang terkenal yaitu Ihya Ulumuddin, yang artinya menghidupkan ilmu-ilmu agama, dan yang dikarangnya selama beberapa tahun dalam berpindah-pindah antara Syam, yerussalem, hijaz dan Yus dan berisi paduan indah antara fiqh, tasawuf dan falsafah, bukan saja terkenal di kalangan kaum muslimin, tapi juga di dunia barat.[9] Masih banyak karya al-Gazali lainnya yang terkenal maupun yang tidak begitu populer. Dia meninggalkan sejumlah besar karya bagi kaum muslimin dan dunia pada umumnya.

Disiplin Ilmu 

Karya 

Tasawuf 

a) Ihya Ulumuddin (Kebangkitan Ilmu-Ilmu Agama), merupakan karyanya yang terkenal 

b) Kimiya as-Sa'adah (Kimia Kebahagiaan) 

c) Misykah al-Anwar (The Niche of Lights) 


Filsafat 

a) Maqasid al-Falasifah 

b) Tahafut al-Falasifah, buku ini membahas kelemahan-kelemahan para filosof masa itu, yang kemudian ditanggapi oleh Ibnu Rushdi dalam buku Tahafut al-Tahafut (The Incoherence of the Incoherence). 


Fiqh 

a) Al-Mushtasfa min `Ilm al-Ushul 

Logika 

a) Mi`yar al-Ilm (The Standard Measure of Knowledge) 

b) Al-Qistas al-Mustaqim (The Just Balance) 

c) Mihakk al-Nazar fi al-Manthiq (The Touchstone of Proof in Logic)[10]

Karya pertama Al-Ghazali yang membahas tentang etika adalah Maqashid Al-Falasifah. Buku ini ditulis ketika beliau sedang mengkaji filsafat pada waktu senggangnya selama periode kurang dari dua tahun, yaitu setelah tahun 484 H/ 1091-2 H dan sebelum tahun 486 M/ 1094 M. Pernyataan pertama Al-Ghazali mengenai etika terungkap di dalam sebuah konteks yang member kesan bahwa etika itu dipungut dari para filosof. Pernyataan yang lebih personal dan positif ditemukan dalam dua karya yang lain, yag secara kronologis diikuti satu sama lain, yaitu Mi’yar Al-‘Ilm dan Mizan Al-‘Amal.[11]

Karya Al-Ghazali yang terpenting mengenai etika adalah Ihya’ Ulum Ad-Din, terutama jilid III dan IV. Mizan Al-‘Amal dan Ihya’ Ulum Ad-Din adalah dua risalah Al-Ghazali yang membahas teorietika secara terperinci. Bedanya adalah karya yang terdahulu merupakan ringkasan dari karya yang belakangan. Kemudian, Al-Ghazali membahas masalah universalitas norma etika ditulis dalam Al-Mustasyfamin Al-Ushul. Beliau juga menjelaskan secara panjang lebar makna etika normative mengenai baik dan buruk dalam karya ini.[12]

C. Pemikiran Al-Ghazali tentang Etika 

Al-Ghazali merupakan tokoh yang memainkan peranan penting dalam memadukan sufisme dengan syariah, yang tidak bisa dipungkiri bahwa ini adalah bagian dari efek atas ketertarikannya terhadap sufisme sejak berusia masih belia. Ia juga tercatat sebagai sufi pertama yang menyajikan deskripsi sufisme formal dalam karya-karyanya.[13]

Al-Ghazali adalah salah satu tokoh Asy’ariyah yang banyak mengembangkan teori etika di dunia Islam. Gagasan etikanya dibangun melalui perhubungan paradigm wahyu dengan tindakan moral, stressingnya bahwa kebahagiaan adalah pemberian dan anugerah Tuhan. Keutamaan-keutmaan merupakan pertolongan Tuhan yang niscaya sifatnya terhadap jiwa. Tidak ada keutamaan lain yang dapat dicapai tanpa pertolongan Tuhan, usaha mandiri manusia dalam mencari keutamaan akan sia-sia dan bahkan dapat membawa kepada sesuatu yang salah dan dosa.[14]

Penegasan tersebut membuktikan bahwa al-Ghazali bermaksud menyamakan pengertian etika atau moralitas sama halanya dalam teologi Islam yang jatuh pada reduksionisme teologis. Artinya al-Ghazali menempatkan wahyu al-Quran menjadi petunjuk utama atau bahkan satu-satunya dalam tindakan etis, dan dengan keras menghindari intervensi rasio dalam merumuskan prinsip-prinsip dasar universal tentang petunjuk ajaran al-Quran bagi kehidupan manusia (etika mistis lawan etika rasional spekulatif).[15]

Perdebatan teologi juga berimplikasi pada perdebatan tentang etika dalam Islam. Sebagian besar kontroversi bidang etika dalam filsafat Islam adalah bersumber dari perdebatan-perdebatan teologi yang paling pokok. Perdebatan antara kelompok Asy’ariyah dan Mu’tazilah adalah salah satu contoh yang pernah menghiasi sejarah pemikiran Islam.

Menurut kalangan Asy’ariyah, makna etika murni bersifat subyektif, bisa mempunyai makna apabila ada subyek (Allah). Satu-satunya tujuan bertindak moral adalah untuk mematuhi Allah. Bagi mereka, makna moralitas hanya bisa dipahami apabila mampu bertindak selaras dengan kehendak dan perintah Allah. Sedangkan kalangan Mu’tazilah berpendapat bahwa semua perintah Allah benar adanya, dan sifat benarnya terpisah dari perintah Allah. Dia memerintahkan kita untuk melakukan sesuatu yang benar lantaran memang benar adanya, berdasarkan landasan-landasan obyektif, bukan pada perintah Allah. Allah tidak dapat menunut kita untuk melakukan sesuatu yang benar karena aturan-aturan moralitas bukanlah ha-hal yang berada di bawah kendali-Nya.

Perdebatan dua madzhab tersebut masih berlanjut hingga kini. Kalangan Asy’ariyah memandang moralitas berada di bawah kontrol Tuhan, atau dengan pengertian lain moralitas itu mengandaikan agama. Akantetapi, kalangan Mu’tazilah berpandangan sebaliknya. Mereka memandang moralitas adalah sebuah tindakan rasional manusia dalam melihat mana yang baik dan mana yang buruk, tidak semata ditentukan oleh tuntutan agama.

Salah satu tokoh Asy’ariyah yang banyak mengembangkan teori etika di dunia Islam adalah al-Ghazali. Beliau menghubungkan wahyu dengan tindakan moral. Al-Ghazali menyarankan kepada kita untuk memandang kebahagiaan sebagai pemberian anugerah Tuhan. Al-Ghazali menganggap keutamaan-keutamaan dengan pertolongan Tuhan adalah sebuah keniscayaan dalam keutamaan jiwa. Jadi, dengan menerapkan istilah keutamaan kepada pertolongan Tuhan, Al-Ghazali bermaksud menghubungkan keutamaan dengan Tuhan. Tidak ada keutamaan lain yang dapat dicapai tanpa pertolongan Tuhan. Bahkan, al-Ghazali menegaskan bahwa tanpa pertolongan Tuhan, usaha manusia sendiri dalam mencari keutamaan sia-sia, dan dapat membawa kepada sesuatu yang salah dan dosa.[16]

Rupanya, al-Ghazali ingin menyamakan pengertian etika atau moralitas sama halnya dalam teologi Islam. Menurut Amin Abdullah, al-Ghazali jatuh pada “reduksionisme teologis”. Artinya, al-Ghazali menempatkan wahyu al-Qur’an menjadi petunjuk utama --atau bahkan satu-satunya-- dalam tindakan etis, dan dengan keras menghindari intervensi rasio dalam merumuskan prinsip-prinsip dasar universal tentang petunjuk ajaran al-Qur’an bagi kehidupan manusia. Titik perbedaan antara filsafat etika al-Ghazali dan Kant terletak pada penggunaan rasionalitas. Al-Ghazali menyusun teori etika mistik, sedang Kant membangun sistem etika rasional yang teliti untuk menggantikan doktrin metafisika-dogmatik-spekulatif.[17]

Menurut al-Ghazâlî akhlak adalah keadaan batin yang menjadi sumber lahirnya suatu perbuatan di mana perbuatan itu lahir secara spontan, mudah, tanpa menghitung untung rugi. Orang yang berakhlak baik, ketika menjumpai orang lain yang perlu ditolong maka ia secara spontan menolongnya tanpa sempat memikirkan resiko. Demikian juga orang yang berakhlak buruk secara spontan melakukan kejahatan begitu peluang terbuka.[18]

Etika atau akhlak menurut pandangan al-Ghazali bukanlah pengetahuan (ma’rifah) tentang baik dan jahat atau kemauan (qudrah) untuk baik dan buruk, bukan pula pengamalan (fi’il) yang baik dan jelek, melainkan suatu keadaan jiwa yang mantap. Al-Ghazali berpendapat sama dengan Ibn Miskawaih bahwa penyelidikan etika harus dimulai dengan pengetahuan tentang jiwa, kekuatan-kekuatan dan sifat-sifatnya. Tentang klasifikasi jiwa manusia pun al-Ghazali membaginya ke dalam tiga; daya nafsu, daya berani, dan daya berfikir, sama dengan Ibn Miskawaih.[19] Menurut al-Ghazali watak manusia pada dasarnya ada dalam keadaan seimbang dan yang memperburuk itu adalah lingkungan dan pendidikan. Kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan itu tercantum dalam syariah dan pengetahuan akhlak. Tentang teori Jalan Tengah Ibn Miskawaih, al-Ghazali menyamakannya dengan konsep Jalan Lurus (al-Shirât al-Mustaqîm) yang disebut dalam al-Qur’an dan dinyatakan lebih halus dari pada sehelai rambut dan lebih tajan dari pada mata pisau. Untuk mencapai ini manusia harus memohon petunjuk Allah karena tanpa petunjuk-Nya tak seorang pun yang mampu melawan keburukan dan kejahatan dalam hidup ini.[20]

Al-Ghazali untuk pertama kalinya menghancurkan otoritas Aristoteles dan pada saat yang sama menabur bibit-bitit filsafat mekanika, fondasi metafisika untuk sains modern. Maka kontribusinya itu tidak hanya deskruktif, tetapi juga konstruktif. Alih-alih menghambat perkembangan sains, al-Ghazali adalah seorang agen dalam memfasilitasi kemajuan yang lebih jauh. Sebagai seorang individu ia telah mencapai untuk pertama kalinya antara tahun 1094 dan 1108 hal-hal yang sama seperti apa dicapai orang-orang eropa selama lima abad 12 hingga abad 17.

Dengan demikian al-Ghazali mensimbolisasikan individualisme (suatu pemikiran yang bernilai pada zaman renaisans) dalam cara yang paling baik, dan menyerang atau menghancurkan ide-ide bid’ah Aristoteles dan paham Aristotelianisme dalam tiga tahun, yaitu tahun 1092 hingga 1095. Perlu dicatat bahwa Al-Ghazali berbicara pada tataran tinjauan teologi Islam sementara kebanyak pemikir etika barat sedikit banyaknya mengambil manfaat dari ide-ide al-Ghazali.[21]

Selain itu berdsarkan pandangan teologis al-Ghazali menolak pandangan kausalitas dalam tindakan etis. Dia tidak dapat membenarkan hubungan kausal antara sanksi dan pahala karena tidak bersifat rasional. Dari pemahaman dasar ini dia menyatakan bahwa kebaikan dan kejahatan hanya dapat diketahui melalui wahyu dan menolak bahwa perintah-perintah Tuhan dalam al-Quran memiliki tujuan tertentu. Akhlak seseorang, disamping bermodal pembawaan sejak lahir, dia juga dibentuk oleh lingkungan dan perjalanan hidupnya. Nilai-nilai akhlak Islam yang universal bersumber dari wahyu, disebut al-khayr, sementara nilai akhlak rasional bersumber dari budaya setempat disebut al-ma’ruf, atau sesuatu yang diketahui masyarakat sebagai kebaikan dan kepatuhan.[22]

Sedangkan aklhak yang bersifat lahir disebut adab, tatakrama, sopan santun atau etika. Selain itu juga terdapat aklha universal yang berlaku untuk seluruh manusia sepanjang zaman, dan hal tersebut berjalan sesuai dengan keragaman manusia. Disisi lain, juga dikenal ada akhlak yang spesifik, misalnya akhlak anak kepada kepada orang tua dan sebaliknya, akhlak murid kepada guru dan sebaliknya, akhlak pemimpin kepada yang dipimpin dan sebagainya.[23]

Seorang dapat menjadi pemimpin dari orang banyak manakala ia memiliki tiga kriteria berikut:

1. Memiliki kelebihan disbanding yang lain, sehingga dengan kelebihan tersebut ia bisa memberi.

2. Memiliki keberanian dalam memutuskan sesuatu, dan

3. Memiliki kejelian dalam memandang masalah sehingga ia bisa bertindak arif dan bijaksana.[24]

Menurut etika keagamaan, seorang pemimpin pada hakekatnya adalah pelayan dari orang banyak yang dipimpinnya. Pemimpin yang akhlaknya rendah pada umumnya lebih menekankan dirinya sebagai penguasa, sementara pemimpin yang berakhlak baik lebih menekankan dirinya sebagai pelayan masyarakat.

Dampak dari keputusan pemimpin akan sangat besar implikasinya pada rakyat yang dipimpin. Jika keputusannya tepat, maka kebaikan akan meratakepada rakyatnya, tetapi jika keliru maka rakyat banyak akan menanggung derita karenanya. Oleh karena itu pemimpin yang baik disebut oleh Nabi dengan pemimpin yang baik (Imanum Adil) sementara pemimpin yang buruk digambarkan dalam al-Quran dan juga al-Hadist sebagai pemimpin yang salim (Imamum Zhalim). Adil artinya menempatkan sesuatu pada tempatnya, sebaliknya pemimpin salim menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya.

Kisah dalam al-Quran yang menyebut Nabi Sulaiman yang memperhatikan suara semut mengandung pelajaran bahwa betapapun seseorang menjadi pemimpin besar, tetapi ia tidak boleh melupakan rakyat kecil yang dimisalkan semut itu.[25] Meneladani kepemimpinan Rasulullah saw. meniscayakan keteladanan yang baik terutama dalam kehidupan pribadi, seperti: hidup bersih, sederhana dan mengutamakan orang lain. Ini merupakan sebuah alasan mengantarkan Al-Ghazali dianggap sebagai seorang filsuf walaupun dia tidak suka disebut sebagai seorang filsuf.

Secara sosial pemimpin adalah penguasa, karena ia memiliki otoritas dalam memutuskan sesuatu yang mengikat orang banyak yang dipimpinnya.[26] Secara sosial etika Islam memiliki peran yang sangat besar bagi perbaikan atas kehidupan umat manusia. Etika sosial Islam mempunyai dua ciri yang sangat mendasar, yaitu keadilan dan kebebasan. Dua ciri ini penting untuk menggerakkan Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan kemanusiaan. Perbuatan kita mesti diorientasikan pada tindakan-tindakan yang mengarah pada keadilan dan juga memandang kebebasan mutlak setiap individu. Karena, kebebasan individu ini berimplikasi pada tindakan sosial dan syariat kolektif.

Sudah semestinya, etika Islam tidak hanya dimaknai sebagai etika individual saja, tapi juga perlu dipahami sebagai ajaran sosial. Kehidupan umat manusia perlu dibangun dengan perspektif agama yang lebih memperdulikan pada persoalan-persoalan kemanusiaan dan keadilan. Jadi, Islam tidak semata diartikan sebagai ritualisasi ibadah dan etika individual semata, tapi juga sebagai agama yang penting untuk memperbaiki kehidupan sosial secara lebih luas.

Dalam kitabnya Ihya’ Ulum Al-Din, Imam Al-Ghazali mengungkapkan pandangan etikanya antara lain:
  1. Akhlak berarti mengubah bentuk jiwa dari sifat-sifat yang buruk kepada sifat-sifat yang baik sebagaimana perangai ulama, syuhada’, shiddiqin, dan Nabi-nabi. Oleh karenanya, Al-Ghazali mengedepankan konsep tashfiyat al-nafs(penjernihan jiwa) sebagai proses pembersihan hati dari berbagai sifat yangmadzmumah, dan takmil al-nafs (penyempurnaan jiwa) dengan berbagai sifat yang mahmudah.[27]
  2. Akhlak yang baik dapat mengadakan perimbangan antara tiga kekuatan dalam diri manusia, yaitu kekuatan berfikir, kekuatan hawa nafsu, dan kekuatan amarah. Akhlak yang baik acapkali menentang apa yang digemari manusia.
  3. Akhlak itu adalah kebiasaan jiwa yang tetap yang terdapat dalam diri manusia yang secara mudah dan tanpa perlu berpikir menumbuhkan perbuatan dan tingkah laku manusia. Apabila lahir tingkah laku yang indah dan terpuji, maka dinamakan akhlak baik, dan apabila yang lahir itu tingkah laku yang keji, dinamakanlah akhlak yang buruk.[28]

d. Tingkah laku seseorang itu adalah lukisan batinnya.

e. Berbicara tentang “kebiasaan”, Al-Ghazali mengemukakan bahwa kepribadian manusia pada dasarnya dapat menerima suatu pembentukan, tetapi lebih condong kepada kebajikan dibanding dengan kejahatan. Jika kemudian diri manusia membiasakan yang jahat, maka menjadi jahatlah kelakuannya. Demikian juga sebaliknya, jika membiasakan kebaikan maka baiklah tingkah lakunya.

f. Berbicara tentang pentingnya latihan dan pendidikan akhlak, al-Ghazali mengutarakan bahwa jiwa itu dapat dilatih, dikuasai dan diubah kepada akhlak yang mulia dan terpuji. Tiap sifat tumbuh dari hati manusia dan memancarkan akibatnya kepada anggotnya. Seseorang yang ingin menulis bagus, pada mulanya harus memaksakan tangannya menulis bagus. Apabila kebiasaan itu sudah lama, maka paksaan itu tidak diperlukan lagi karena digerakkan oleh jiwa dan hatinya.[29]

g. al-Ghazali menempatkan kebahagiaan jiwa manusia sebagai tujuan akhir dan kesempurnaan dari akhlak. Kebahagiaan tertinggi dari jiwa berarti mengenal adanya Allah tanpa keraguan (ma’rifatullah).[30]

Kesimpulan 

Berpijak dari pembahasan yang telah dikemukakan di atas maka pada bagaian penutup ini penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:
  1. Etika Islam tidak bisa terlepas dari salah satu ahli pikir Islam termasyhur, Imam Al-Ghazali. Beliau memiliki semangat untuk belajar tinggi meskipun berasal dari keluarga yang kurang mampu. Semangat belajar inilah yang menghantarkannya memliki keilmuan tinggi yang bermanfaat bagi umat manusia sampai sekarang ini. Lantaran semangat belajar ini pula, beliau mampu menguasai berbagai disiplin ilm pengetahuan dan menyumbangkan emikirannya di setiap disiplin ilmu tersebut.
  2. Kehebatan Al-Ghazali dapat diketahui melalui pembuktian yang diusungnya lahirnya gagasan orisinil melalui beberapa kitab karangannya sendiri.
  3. Dalam membahas etika, Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulum Al-Din menerangkan bahwa akhlak berarti mengubah bentuk jiwa dari sifat-sifat buruk kepada sifat-sifat baik. Akhlak tersebut didorong oleh kekuatan pikir, hawa nafsu, dan amarah dimana akhlak yang baik dapat menyeimbangkan ketiga hal tersebut. Tingkah laku manusia menggambarankan keadaan batin manusia tersebut. Tingkah laku yang buruk dapat diubah dengan latihan dan pendidikan akhlak agar mampu mencapai akhlak yang mulia dan terpuji. Dan yang tak kalah penting adalah membiasakan diri dalam hal-hal yang baik, sehingga akan menjadi baik pula tingkah lakunya. Sehingga dalam hal ini dapat dilihat al-Ghzali mengusung pemikiran etikanya berlandaskan al-Quran dan sunnah, sedangkan akal atau rasionalitas menurut al-Ghazali hanya dipandang sebagai instrument argumentatif turunan dari kedua asas tersbut.
B. Implikasi

Dalam pandangan filsafat, etika biasanya dimengerti sebagai refleksi filosofis tentang moral, etika lebih merupakan wacana normatif, tetapi tidak selalu harus imperatif, karena bisa juga hipotesis, yang membicarakan pertentangan antara yang baik dan yang buruk, yang di anggap sebagai nilai relatif. Jadi etika lebih dipandang sebagai seni hidup yang mengarah kepada kebahagiaan dan memuncak kepada kebijakan. Berangkat dari moral yang mendorong seseorang melakukan perbuatan yang baik, etika adalah sebuah rambu-rambu didalam bertindak yang akan membimbing dan mengingatkan kita untuk melakukan perbuatan yang terpuji yang harus selalu dipatuhi dan dilaksanakan. Sebagaman pemikiran etika al-Ghazali yang berorientasi lebih pada penyelamatan individu di akhirat berdasarkan doktrin agama. Dan karena penilaiannya rendah terhadap rasio dalam wacana etika, metode al-Ghazali hanya sedikit membuka ruang bagi pengetahuan dalam wilayah wilayah lain dalam kehidupan manusia.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Hadziq, M.A., Rekonsiliasi Psikologi Sufistik dan Humanistik, Semarang: RaSAIL, 2005

Amin M. Abdullah, Antara Al Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam, Bandung: Mizan, 2002.

Barsihannor Etika Islam Cet. I; Makassar: Alauddin University Press, 2012.

Bertens K., Etika Cet. I; Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993

Darul Dida Ulum, Filsafat Etika antara Ibn Miskawaih dan Al-Ghazali dalam Barsihannor Etika Islam Cet. I; Makassar: Alauddin University Press, 2012.

al-Ghazāli. Ihyâ’ ‘ulûm al-dîn, vol 10. (Revival of the Religious Sciences). Terj. Sabih Ahmad Kamali, Cairo: Mu’assasat al-Halabî wa-Shurakâ’hu, 1968.

Hidayat Komaruddin, Kontekstualisasi Islam dalam Sejarah Cet. I; Jakarta: Paramadina, 1996.

Ibnu Abidin Rusn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.

Mahjuddin, Kuliah Akhlak-Tasawuf Cet. II; Jakarta: Kalam Mulia, 1994.

Muhammad Miska Amin, Epistemologi Islam Pengantar Filsafat Pengetahuan Islam, Jakarta: UIP, 1984.

Mustafa, Filsafat Islam Untuk Fakultas Tarbiyah, Syariah, Dakwah dan Ushuluddin Komponen Mkdk, Bandung: Pustaka Setia, 1999.

Mondin Battista, A History of Mediaeval Philosophy Roma: Urbaniana University Press, 1991.

Ohoitimur Johanis, Sejarah Filsafat Abad Pertengahan, Traktat Kuliah STF Seminari Pineleng, 2009

Putjowijatno, Etika, Filsafat, Tingkahlaku Cet. II; Jakarta: Rineka Cipta, 2003.

Quasem M. Abul dan Kamil. Etika Al-Ghazali: Etika Majemuk di dalam Islam. Terj. J. Mahyudin. Bandung: Pustaka, 1988.

Ya’qub Hazah, Etika Islam: Pembinaan Akhlakul Karimah (Suatu Pengantar), Bandung: CV Diponegoro, 1988.

http: //www.wikipedia.com. disadur pada tanggal 4 Januari 2016 pukul 10.23 wib.


[1]Battista Mondin. A History of Mediaeval Philosophy (Roma: Urbaniana University Press, 1991), h. 222. 

[2]Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 9. 

[3]Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan. h. 9 

[4]Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan. h. 9-10 

[5]M. Amin Abdullah, Antara Al Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam, (Bandung: Mizan, 2002), h. 28-29. 

[6]M. Amin Abdullah, Antara Al Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam, h. 29-30. 

[7]M. Amin Abdullah, Antara Al Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam, h. 30-31. 

[8]Miska Muhammad Amin Epistemologi Islam Pengantar Filsafat Pengetahuan Islam (Jakarta: UIP, 1984). h. 49 

[9]Mustafa Filsafat Islam Untuk Fakultas Tarbiyah, Syariah, Dakwah Dan Ushuluddin Komponen Mkdk (bandung; pustaka setia, 1999), h.220 

[10]http: //www.wikipedia.com. disadur pada tanggal 4 Januari 2016 pukul 10.23 wib. 

[11]M. Amin Abdullah, Antara Al Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam, h. 32. 

[12]M. Amin Abdullah, Antara Al Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam, h. 32. 

[13]Dida Darul Ulum, Filsafat Etika antara Ibn Miskawaih dan Al-Ghazali dalam Barsihannor Etika Islam (Cet. I; Makassar: Alauddin University Press, 2012), h. 236 

[14]K. Bertens, Etika (Cet. I; Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), h. 13 

[15] Amin Abdullah, Antara Al Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam, h. 11 

[16]K. Bertens, Etika dalam Barsihannor Etika Islam (Cet. I; Makassar: Alauddin University Press, 2012), h. 236 

[17]Amin Abdullah, Filsafat Etika Islam: Antara al-Ghazali dan Kant, h. 11 

[18]Komaruddin Hidayat, Kontekstualisasi Islam dalam Sejarah (Cet. I; Jakarta: Paramadina, 1996), h. 22. 

[19]Barsihannor Etika Islam, h.237 

[20]Dida Darul Ulum 

[21]Barsihannor Etika Islam, h.238 

[22]Mahjuddin, Kuliah Akhlak-Tasawuf (Cet. II; Jakarta: Kalam Mulia, 1994), h. 21 

[23]Barsihannor, Etika Islam, h. 239. 

[24]Putjowijatno, Etika, Filsafat, Tingkahlaku (Cet. II; Jakarta: Rineka Cipta, 2003), h. 35. 

[25]Lihat Q.S 27:16 

[26]Pudjowijatno, Etika, Filsafat Tingkah Laku, h. 35. 

[27]H. Abdullah Hadziq, M.A., Rekonsiliasi Psikologi Sufistik dan Humanistik, (Semarang: RaSAIL, 2005), h. 216-217. 

[28]al-Ghazāli. Ihyâ’ ‘ulûm al-dîn, vol 10. (Revival of the Religious Sciences). Terj. Sabih Ahmad Kamali. (Cairo: Mu’assasat al-Halabî wa-Shurakâ’hu, 1968), h. 96. Lihat juga M. Abul Quasem dan Kamil. Etika Al-Ghazali: Etika Majemuk di dalam Islam, terj. J. Mahyudin. (Bandung: Pustaka, 1988), h. 81-82. 

[29]H. Hazah Ya’qub, Etika Islam: Pembinaan Akhlakul Karimah (Suatu Pengantar), (Bandung: CV Diponegoro, 1988), h. 91-92. 

[30]Johanis Ohoitimur, Sejarah Filsafat Abad Pertengahan” (Traktat Kuliah STF Seminari Pineleng, 2009), h. 98.

Monday, 30 November 2015

KHAWARIJ DAN TAFSIR

cahayawahyu.files.wordpress.com
Perkembangan Tafsir sebagai salah satu upaya para Mufassirin dalam menginterpretasi ayat-ayat suci Al-Qur’an mengalami pasang surut seiring masa dimana upaya ijtihad tersebut dikerahkan. Fenomena tersebut terus mewarnai karya para Mufassirin sejak masa Rasulullah SAW, para sahabat, para tabi’in, para tabi’ tabi’in, bahkan sampai pada mereka yang hidup pada masa modern sekarang ini. 

Napak tilas tentang tafsir yang berkembang pada kaum Khawarij adalah suatu obyek bahasan yang patut untuk diperbincangkan dalam menjelajahi dinamika perkembangan tafsir dari masa ke masa. Hal ini disebabkan karena adanya pertempuran yang terjadi antara dua golongan, Ali dan Mu’awiyah. Pemicu semua ini adalah tangan kanan Mu’awiyah sendiri, Amr bin ‘Ash yang terkenal sebagai orang licik dengan meminta jalan damai dengan mengangkat Al-Qur’an keatas Qurra’ dengan mengadakan arbitrasi.

Peristiwa ini merugikan bagi Ali dan menguntungkan bagi Mu’awiyah, sungguhpun dalam keadaan terpaksa, tidak disetujui oleh sebagian tentaranya. Mereka berpendapat bahwa hal serupa itu tidak dapat diputuskan oleh arbitrasi manusia. Putusan hanya datang dari Allah dengan kembali kepada hukum-hukum yang ada dalam Al-Qur’an. “ La hukma illa lillah “ (tidak ada hukum selain dari hukum Allah) atau “ La hakama illa Allah “ (tidak ada pengantara selain dari Allah), menjadi semboyan mereka.[1]

Mereka memandang Ali bin Abi Thalib telah berbuat salah, dan oleh karena itu, mereka meninggalkan barisannya. Golongan mereka inilah dalam sejarah Islam terkenal dengan nama Al-Khawarij yaitu orang yang keluar dan memisahkan diri atau seceders.[2]

 Rumusan Masalah
  1. Apa pengertian, sejarah dan Firqah Khawarij ?
  2. Bagaimana orientasi Khawarij dalam tafsir ?
  3. Apa karya-karya tafsir Khawarij ?
A. Pengertian, Sejarah dan Firqah Khawarij 

Kaum Khawarij adalah suatu kelompok yang memisahkan diri dari Amirul Mu’minin (pemimpin orang mu’min) Ali bin Abi Thalib pada tingkatan derajat kebebasan dan juga memisahkan diri dari Mu’awiyah ibn Abi Sufyan yang telah menebarkan permusuhan dibawah pengaruhanya[3] sabagai lawan politik didalam menyelesaikan sengketa dalam masalah ketatanegaraan dimana Ali bin Abi Thalib telah menerima arbitrase. Dengan demikian kaum Khawarij memandang diri mereka sebagai orang yang meninggalkan rumah dari kampung halamannya untuk mengabdikan diri kepada Allah dan rasulnya.

Seperti dikemukakan sebelumnya, kaum Khawarij terdiri atas pengikut-pengikut Ali bin Abi Thalib dalam menerima arbitrase sebagai jalan untuk menyelesaikan persengketaan tentang khalifah dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Nama Khawarij berasal dari kata kharaja yang berarti keluar. Nama itu diberikan kepada mereka, karena mereka keluar dari barisan Ali. Tetapi ada pula pendapat yang mengatakan bahwa pemberian nama itu didasarkan atas ayat 100 dari Surah Al-Nisa’, yang didalamnya disebutkan “ keluar dari rumah lari kepada Allah dan rasulnya”[4]

Ungkapan “Tiada hukum kecuali hukum Allah” adalah merupakan f argon madzhab Khawarij. Interpretasi terhadap ungkapan ini ternyata berbeda-beda sesuai dengan jumlah cabang-cabang khawarij. Bertolak dari pemahaman yang keliru terhadap ungkapan diatas dan penakwilan yang sembrono terhadap nash-nash Al-Qur’an, mereka telah banyak melakukan kemungkaran dan kerusakan-kerusakan dimuka bumi. Mereka membunuh dan merampas harta kaum muslimin dengan anggapan bahwa orang yang berada diluar mereka bukanlah muslim sehingga darah dan hartanya menjadi halal. Aliran mereka adalah aliran yang pertama kali diantara ummmat Islam sendiri[5]

Berikut ini sekilas gambaran kelompok-kelompok Khawarij:

1. Al-Muhakkimah

Golongan Khawarij asli dan terdiri dari pengikut-pengikut Ali, yang disebut golongan al-Muhakkimah. Bagi mereka, Ali, Muawiyah, kedua pengantara ‘Amr Ibn ‘Ash dan Abu Musa al-Asy’ari dan semua orang yang menyetujui arbitrase bersalah dan menjadi kafir. Selanjutnya hukum kafir ini mereka luaskan artinya sehingga termasuk kedalamnya tiap orang yang berbuat dosa besar.

2. Al-Azariqah 

Golongan yang dapat menyusun barisan baru dan besar lagi kuat sesudah golongan al-Muhakkimah hancur adalah golongan al-Azariqah. Daerah kekuasaan mereka terletak diperbatasan Irak dengan Iran. Nama ini diambil dari Nafi’ Ibn al-Azraq. Pengikutnya, menurut al-Baghdadi, berjumlah lebih dari 20 ribu orang. Khalifah pertama yang mereka pilih adalah Nafi’ sendiri dan kepadanya mereka beri gelar Amir al-Mu’minin.

Subsekte ini sikapnya lebih radikal dari la-Muhakkimah. Mereka tidak lagi memakai tern kafir, tetapi tern Musyrik atau Palyteist. Dan didalamnya merupakan dosa yang terbesar, lebih besar dari kafir.

3. Al-Nadjat

Nadjah Ibn ‘Amir al-Hanafi dari Yamamah dengan pengikut-pengikutnya pada mulanya ingin menggabungkan diri dengan golongan al-Azariqah. Tetapi dalam golongan yang tersebut akhir ini timbul perpecahan. Sebagian dari pengikut-pengikut Nafi; Ibn al-Azraq, diantaranya Abu Fudaik, Rasyid al-Tawil dan Ataih al-Hanafi, tidak dapat menyetujui paham bahwa orang Azraqi yang tak mau berhijrah kedalam lingkungan al-Azariqah adalah musyrik. Demikian pula mereka tak setuju dengan pendapat tentang boleh dan halalnya dibunuh anak istri orang-orang Islam yang tak sepaham dengan mereka.

Nadjah, berlainan dengan kedua golongan diatas, berpendapat bahwa orang berdosa besar yang menjadi kafir dan kekal dalam neraka hanyalah orang Islam yang tak sepaham dengan golongannya. Adapun pengikutnya jika mengerjakan dosa besar, betul akan mendapat siksaan, tetapi bukan dalam neraka dan kemudian akan masuk dalam surga.

4. Al-‘Ajaridah

Mereka adalah pengikut dari Abd al-Karim Ibn ‘Ajrad yang menurut al-Syahrastani merukan salah satu teman dari ‘Atiah al-Hanafi.

Kaum al-‘Ajaridah bersifat lebih lunak karena menurut paham mereka berhijrah bukanlah merupakan kewajiban sebagaimana diajarkan oleh Nafi’ ibn al-Azraq dan Najdah,tetapi hanya merupakan kebajikan. Dengan demikian kaum Ajaridah boleh tinggal diluar daerah kekuasaan mereka dengan tidak dianggap menjadi kafir. Disamping itu harta yang boleh dijadikan rampasan perang hanyalah harta orang yang telah mati terbunuh.

Selanjutnya kaum ajaridah ini mempunyai paham puritanisme Surah Yusuf dalam al-Quran membawa cerita cinta dan al-Qur’an sebagai kitab suci, kata mereka, tidak mungkin mengandung cerita cinta. Oleh karena itu, mereka tidak mengakui Surah Yusuf sabagai bagian dari al-Qur’an. 

B. Orientasi Khawarij dalam Tafsir

Tujuan utama Khawarij dalam penafsiran al-Qur’an adalah pengimplementasikan dari prinsip-prinsip ajaran Khawarij yang mereka propagandakan. Adapun yang mereka propagandakan berupa prinsip-prinsip ajaran Khawarij disela-sela ayat suci al-Qur’an dapat terlihat dari usaha yang mereka tempuh dalam menafsirkan ayat-ayat suci al-Qur’an yang banyak untuk menguatkan pendapat mereka bahwa orang-orang muslim yang melakukan dosa besar adalah kafir. Begitupula orang-orang muslim yang selalu berbuat dosa secara terus menerus tanpa bertobat dari dosa-dosa itu, sehingga disitu dapat kita lihat bahwa dosa besar sama saja dengan dosa kecil yang dilaksanakan terus menerus bisa membuat seseorang menjadi kafir. Contoh penafsiran Khawarij yang bisa didapatkan dalam penafsiran ayat-ayat suci al-Qur’an, manakala Allah SWT berfirman:

Artinya : “ Dia-lah yang menciptakan kamu, maka di antara kamu ada yang kafir dan di antaramu ada yang beriman. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan ” (Surah at-Thagabun : 2)[6]

Khawarij menafsirkan ayat ini bahwa manusia itu hanya ada dua macam yaitu orang yang beriman dan orang yang kafir, serta tidak ada golongan selain dari itu termasuk orang fasik, karena bagi mereka orang fasik itu adalah kafir bukan orang mukmin. 

Dan firman Allah SWT:

Artinya : “ Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang hitam muram. adapun orang-orang yang hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan): "Mengapa kamu kafir sesudah kamu beriman? Karena itu rasakanlah azab yang disebabkan kekafiranmu itu " (Surah Ali Imran : 106)[7]

Dalam menafsirkan ayat ini Khawarij berpendapat bahwa tidak mungkin orang-orang fasik menjadi golongan yang putih mukanya karena pada hari itu orang yang putih mukanya adalah orang yang beriman sedangkan orang yang hitam mukanya adalah orang kafir.[8]

C. Karya-Karya Tafsir Khawarij 

Dr. Azzahaby RA menjelaskan dalam ruang lingkup bahasanya yang berbicara tentang hasil-hasil karya tafsir golongan Khawarij dengan bertanya kepada golongan Ibadiah modern, dengan mendapatkan keterangan bahwa golongan Khawarij memiliki hasil karya yang sedikit dalam tafsir dibandingkan dengan golongan-golongan yang lain dalam Islam. Dan hasil-hasil karya tersebut hanya disimpan oleh sebagian ulama Ibadiah yang terdahulu dan modern. Dr. Azzahady menjelaskan bahwa diantara karya-karya tafsir Khawarij itu anatara lain adalah :
  1. Tafsir Abd Rahman Ibn Rastum al-Farisy, abad ke-3 hijriah 
  2. Tafsir Hud Ibn Muhakkam al-Hawary, abad ke-3 hijriah
  3. Tafsir Abu Ya’kub Yusuf Ibn Ibrahim al-Wajalany, abad ke-6 hijriah
  4. Tafsir Humayya Azzady ila Daril Ma’adi oleh Syekh Muhammad Ibn Yusuf Attalbah, abad ke-6 hijriah
Dengan demikian tafsir-tafsir mereka atas usul atau dasar yang telah terdahulu kita tetapkan dari golongan ini, dan tujuannya adalah mengokohkan syariat mereka pada aqidah, politik dan syariat-syariat.[9]

Kesimpulan
  • kaum Khawarij adalah suatu kelompok yang memisahkan diri dari pemimpin orang mukmin Ali bin Abi Thalib pada tingkatan derajat kebebasan dan juga memisahkan diri dari Muawiyah Ibn Abi Sufyan yang telah menebarkan permusuhan dibawah pengaruhnya, dimana kaum Khawarij ini memandang diri mereka, sebagai orang yang meninggalkan rumah dari kampung halamannya untuk mengabdikan diri kepada Allah dan rasulnya.
  • Adapun kelompok-kelompok kaum Khawarij itu adalah :
          a. Al-Muhakkimah

          b. Al-Azariqah

          c. Al-Najdat

         d. Al-Ajaridah
  • Orientasi Khawarij dalam menafsirkan al-Qur’an bertujuan untuk mengimplementasikan dari prinsip-prinsip ajarannya yang mereka propagandakan.
  • Adapun karya-karya tafsir Khawarij yang dinyatakan oleh Dr Azzahady antara lain :
  1. Tafsir Abd Rahman Ibn Rastum al-Farisy, abad ke-3 hijriah 
  2. Tafsir Hud Ibn Muhakkam al-Hawary, abad ke-3 hijriah
  3. Tafsir Abu Ya’kub Yusuf Ibn Ibrahim al-Wajalany, abad ke-6 hijriah
  4. Tafsir Humayya Azzady ila Daril Ma’adi oleh Syekh Muhammad Ibn Yusuf Attalbah, abad ke-6 hijriah
DAFTAR PUSTAKA

Ø Al-Qur’an al-Karim

Ø Al-Tabari, Tarikh al-Tabari, Kairo, Dar al-Ma’arif, Jilid IV

Ø Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahannya, Bandung, CV Penerbit J-ART, 2005

Ø Harun Nasution, Teologi Islam : Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta, Penerbit UI-Press, Cet V, 1986

Ø Muhammad Mahzum, Meluruskan Sejarah Islam : Studi kritis Peristiwa Tahkim, Tarjamah, Tahqiq Mawaqif Ash-Shahabah Fi al-Fitnah, Bandung, CV Pustaka Setia, Cet I, 1994

Ø Muhammad Sayyid Jibril, Mudkhla ila Manahijil Mufassirin, Kairo, Ba-bul Akhdar al-Musyahhid al-Husaini, 1408 H – 1987 M


[1] Tarikh Al-tabari (selanjutnya disebut Tarikh), Kairo, Dar Al-Ma’arif, jilid III, h. 55 dan 57.

[2] Harun Nasution, “Teologi Islam“ Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta, Penerbit Iniversitas Indonesia (UI-Press), cet. V, 1986, h. 8.

[3] Muhammad Sayyid Jibril, Makalah ila Manahijil Mufassirin, Kairo, Ba-bul Akhdar AL-Musyahhid AL-Husain, 1408 H - 1987 M, h. 164

[4] Op. Cit, h. 13

[5] Muhammad Mahzum, Meluruskan Sejarah Islam: Studi Kritis Peristiwa Tahkim, Tarjamah, Tahqiq Mawaqif Ash-Shahabah Fi al-Fitnah, Bandung, CV. Pustaka Setia, cet I, 1994, h.58

[6] Departemen Agama RI, al-Qur’an dan terjemahannya, Bandung, Cv Penerbit J-ART, 2005, h. 556

[7] Ibid, h. 63

[8] Op, cit. h

[9] Ibid, h

Thursday, 2 July 2015

Sejarah Tarekat Dalam Islam

Sumber Gambar : alifbraja.wordpress.com
Setiap manusia yang terlahir di dunia memiliki fitrah yang sangat jelas yakni beriman kepada Tuhan. Proses pembentukan serta pengembangan keimanan terhadap Tuhan bukanlah suatu proses yang mudah. Keimanan terhadap Allah swt. serta menjadi seorang muslim dalam diri setiap orang telah dimuncul sejak mereka dilahirkan. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. diriwayatkan oleh Bukhari bahwa “setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka bapak ibunyalah (yang akan berperan)) mengubah anak itu menjadi seorang Yahudi, Nasrani atau Majusi...”. Fitrah hadits tersebut dapat kita pahami sebagai Islam, karena Rasulullah saw. hanya menyebutkan kedua orang tua bisa berperan me-Yahudi-kan, me-Nasrani-kan, atau me-Majusi-kan tanpa menyebut “meng-Islam-kan”.[1]


Meskipun demikan, dalam perjalanan hidup setiap orang, keimanan bukanlah sesuatu yang terkontrol secara stagnan oleh Yang Maha Kuasa. Hal ini disebabkan oleh karena Yang Maha Kuasa sebagai tujuan atau sebagai cinta utama manusia memberikan kesempatan terhadap manusia mencari jalannya yang berbeda-beda. Akan tetapi, jalan yang diharapkan tetap satu tujuan kepada Yang Menjadi Tujuan “Ghayah”.[2]

Oleh karena itu, ummat muslim sejak Nabi Muhammad saw. berpulang ke Rahmatullah, mereka dalam usaha memperkokoh keimanan terhadap Allah swt. mereka serta berusaha menjaga hablu min Allah berusaha mencari jalannya masing-masing. Seperti ummat muslim pada golongan Muktazillah yang terkenal dengan penggunaan akal atau rasionalitas mereka terhadap agama dan prinsip ketauhidan. Pada sisi lain, para kaum sufi berlomba-lomba mencari jalan mereka sendiri dengan konsep tasawwuf mereka yakni dengan jalan mengasingkan diri.

Tasawwuf yang tidak hanya sebagai jalan menyucikan diri kepada Tuhan, tapi berguna pula sebagai pembaharuan akhlak seseorang dan membangun kehidupan jasmani dan rohani dengan cara “pengasingan diri seorang sufi.”[3] Pada akhirnya setiap sufi ini memiliki pengikut-pengikut yang turut serta dalam menjalankan serta mengembangkan jalan ke-sufi-an mereka dalam sebuah konsep tasawuf yang melembaga yang disebut tarekat atau thariqah. Pada era saat ini tarekat banyak berkembang di Indonesia, sebagai sebuah cara atau jalan dalam mendekatkan diri kepada Allah swt. Hal inilah yang menarik untuk diketahui dan perlu dibahas lebih lanjut mengenai keberadaan tarekat dan pemikirannya.

A. Pengertian dan Aspek Tarekat

Sebelum membahas persoalan tarekat lebih lanjut, kami perlu menjabarkan beberapa definisi atau pengertian mengenai tarekat. Secara etimologis kata tarekat berarti jalan (tariqah- taraiq); cara (al-kaifiyah); metode, sistem (al-uslub); mazhab, aliran, haluan (al-mazhab). Menurut istilah tasawuf, tarekat berarti perjalanan seorang salik (pengikut tarekat) menuju Tuhan dengan cara menyucikan diri atau perjalanan yang harus ditempuh oleh seseorang untuk dapat mendekatkan diri sedekat mungkin kepada Tuhan.[4]

Adapun definisi tarekat lainnya adalah “jalan” yang ditempuh para sufi, dan digambarkan sebagai jalan yang berpangkal dari syariat, sebab jalan utama disebut syar’ sedangkan anak jalan disebut tariq. Kata turunan ini menunjukkan bahwa menurut anggapan para sufi, pendidikan mistik merupakan cabang dari jalan utama yang terdiri dari ajaran Ilahi, tempat berpijak setiap muslim.[5] Dalam konteks ini syariat mengacu pada aspek lahiriah dan tarekat pada laku batiniah/ sufisme. [6]Dapat diketahui dari definisi ini tarekat merupakan sebuah jalan yang berbeda atau dapat dikatakan jalan yang tidak umum ditempuh oleh sebahagian umat muslim.

Selanjutnya dijelaskan bahwa tariq atau jalan itu lebih sempit dan lebih sulit dijalani serta membawa santri – disebut salik, atau pengembara – dalam suluk atau pengembaraannya melalui berbagai persinggahan (maqam), sampai cepat atau lambat akhirnya ia mencapai tujuannya, yaitu tauhid sempurna; yaitu pengakuan berdasarkan pengalaman bahwa Tuhan adalah Esa.[7] Penjelasan lebih lanjut sebelumnya mengenai tarekat, sebenarnya agak sedikit membingungkan dalam membedakan antara tarekat dan tasawuf itu sendiri.

Mengenai tarekat lebih lanjut, secara harfiah sekali lagi berarti jalan yang mengacu pada suatu sistem latihan meditasi maupun amalan-amalan (muraqabah, wirid, zikir, dan sebagainya) yang dihubungkan dengan sederet guru sufi. Tarekat juga berarti organisasi yang tumbuh seputar metode sufi yang khas. Pada masa permulaan, setiap guru sufi dikelilingi oleh lingkaran murid mereka dan beberap dari murid ini kelak akan menjadi guru pula. Boleh dikatakan bahwa tarekat itu mensistemsikan ajaran dan metode-metode tasawuf.[8] Berdasarkan penjelasan sebelumnya, maka semakin jelaslah perbedaan antara tasawuf dan tarekat itu sendiri. Sebagai gambaran sederhana, tasawuf adalah konsep yang dianut seorang sufi dalam mendekatkan diri kepada Tuhan, sedangkan tarekat adalah konsep tasawuf yang melembaga.

Perlu dipahami bahwa dalam ajaran tarekat tidak dibenarkan meninggalkan syariat, bahkan pelaksanaan tarekat merupakan pelaksanaan syariat agama. Oleh karena itu, melakukan tarekat tidak bisa sembarangan. Orang yang bertarekat haruslah dibimbing oleh seorang guru yang disebut mursyid (pembimbing) atau syekh. Syekh inilah yang bertanggung jawab terhadap murid-muridnya yang melakukan tarekat. Ia mengawasi murid-muridnya dalam kehidupan lahiriah serta rohaniah dan pergaulan sehari-hari. Bahkan ia menjadi “perantara” antara murid dengan Tuhan dalam beribadah. Karena itu, seorang syekh hruslah sempurna suluknya dalam syariat dan hakikat menurut al-Qur’an, al-Hadits dan ijma’.[9] Ad-din nasiha “Agama adalah nasihat yang baik” demikianlah hadits yang digemari oleh para kaum sufi[10] dan hadits ini pula yang menjadi dasar bahwasanya dalam menjalankan tarekat haruslah ada seorang guru yang terpercaya, ibaratnya hadits haruslah ada rawi atau sanad yang jelas kredibilitasnya.

Seorang syekh dalam membawa ajaran perlu mempertimbangkan beberapa hal, sebagai berikut: 1) haruslah alim dan ahli dalam memberi tuntunan kepada murid-muridnya dalam ilmu pengetahuan agama yang pokok; 2) mengenali segala sifat-sifat kesempurnaan hati dan hal-hal yang berkaitan dengannya; 3) memiliki rasa belas kasih terhadap kaum muslimin, terutama kepada murid-muridnya; 4) pandai menyimpan rahasia murid-muridnya; 5) tidak menyalah gunakan amanah muridnya: 6) tidak menyuruh murid-muridnya, kecuali terhadap sesuatu yang layak dikerjakan; 7) tidak terlalu bergaul atau bercengkrama dengan murid-muridnya; 8) mengusahakan segala ucapannya bersih dari segala nafsu dan keinginan; 9) lapang dada dan ikhlas; 10) memerintahkan berkhalwat kepada murid yang memperlihatkan kebesaran dan ketinggian hati karena terlalu dekat bergaul dengan dirinya; 11) memelihara kehormatan dirinya dan kepercayaan murid-muridnya; 12) memberikan petunjuk untuk memperbaiki keadaan murid-muridnya; 13) memperhatikan dengan sunguh-sungguh terjadinya kebanggaan rohani yang timbul pada murid-muridnya yang masih dalam proses pendidikan; 14) melarang murid-muridnya banyak berbicara kepada teman-temannya, kecuali sangat penting; 15) melarang muridnya berhubungan dengan syekh dari tarekat lain jika akan membahayakan; 16) melarang muridnya sering berhubungan dengan pejabat yang dapat membangkitkan nafsu duniawi; 17) menggunakan kata-kata yang lembut dan tepat dalam khotbahnya; 18) bersikap tenang dan sabar ketika bersama muridnya.[11] Dari sekian banyak kriteria seorang syekh atau mursyid tadi, dapat diambil kesimpulan pada dasarnya seorang syekh atau mursyid haruslah memiliki kepribadian yang adl dan betul-betul menjalankan konsep tasawuf sebagaimana seorang sufi, lalu mengajarkannya kepada murid tarekatnya.

Berikut membahas mengenai murid dalam tarekat. Perjalanan seorang murid dalam tarekat tidaklah mudah, syekh perlu menguji seberapa mampu seorang murid menjalani kesulitan-kesulitan yang akan dialami dalam thariq atau jalan. Biasanya diperlukan pengabdian selama tiga tahun sebelum murid diterima secara resmi dikelompok gurunya, satu tahun dalam pengabdian kepada umat manusia, satu tahu pengabdian kepada Tuhan dan satu tahun dalam menjaga hatinya sendiri.[12]

Setelah murid menyelesaikan pengabdiannya selama tiga tahun , ia dianggap pantas menjadi calon sufi.[13] Selain itu, seorang murid tidak boleh mencari keringanan dalam melaksanakan amaliah yang ditetapkan dan harus terus menerus mengekang hawa nafsunya untuk menghindari perbuatan dosa yang dapat merusak amal. Murid perlu pula memperbanyak dzikir, wirid dan doa dan terus-menerus belajar ilmu agama.[14]

Biasanya untuk melaksanakan tarekat secara baik, pengikut tarekat dimasukkan kedalam suatu tempat khusus yang dinamakan ribat (tempat belajar), zawiyat (tempat ibadah kaum sufi) atau khaqah. Pada tempat inilah setiap amaliah tarekat dilaksanakan baik berupa zikir, ratib (mengucap kalimat La ilaha illa Allah berulang-ulang), pembacaan wirid-wirid atau syair-syair tertentu yang biasanya diringi oleh gerakan atau rebana, maupun pengaturan nafas yang berisi zikir tertentu.[15]

Dari sekian penjabaran mengenai pengertian dan aspek-aspek mengenai tarekat, maka sekali lagi dapat dipahami bahwa tarekat adalah tasawuf yang melembaga. Lebih jelasnya, seorang sufi yang telah menemukan jalan memberikan pelajaran kepada murid-muridnya dalam sebuah tarekat. Sehingga jalan yang diajarkan dapat pula dijalani oleh muridnya. Disinilah letak perbedaan tasawuf sebagai konsep individu dan tarekat yang lebih terbuka atau bersifat sosial “meskipun minim”.

B. Sejarah Singkat Keberadaan Tarekat

Tarekat sebagai sebuah kelanjutan kegiatan sufisme baru muncul pada abad 5 H atau 13 Masehi. Hal ini ditandai dengan setiap silsilah tokoh sufi atau nama pendiri yang lahir pada abad itu.[16] Pada periode ini tasawuf memiliki aturan-aturan, prinsip-prinsip, dan sistem khusus; sedangkan sebelumnya tasawuf diterapkan secara individual disana-sini tanpa adanya ikatan satu sama lain.[17] Ini terjadi karena didasari amalan-amalan kaum sufi bukan lagi pada dirinya saja akan tetapi telah memperhatikan aspek sosial, sehingga al-mukimin mir’at al-mukminin “orang mukmin adalah cermin bagi sesamanya” menjadi pedoman yang sangat baik di dalam hubungan sosial. Dari kegiatan sosial yang berkembang inlah muncul sikap baru dari kaum sufi untuk merubah tingkah atau pola kaum sufi sebagai kelompok eksklusif menjadi gerakan massa yang menyebarkan ajarannya ke seluruh tingkat masyarakat.[18] Bahkan ada beberapa gerakan tarekat yang juga melibatkan diri pada kegiatan politik seperti Tarekat Sanusiyah yang menentang penjajahan Italian di Libya, Tarekat Tijaniyah yang menentang penjajahan Perancis di Afrika Utara serta Tarekat Safawiyah yang mendirikan Kerajaan Safawi di Persia.[19]

Awal kemuculan tarekat, ditandai dengan munculnya tarekat Qadariyah yang dikembangkan oleh Syaikh Abdul Qadir Jailani di Asia Tengah Tibristan tempat kelahiran dan kegiatannya, kemudian berkembang ke Iran, Turki, Arab Saudi sampai ke Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, India dan Tiongkok. Muncul pula Tarekat Rifa’iyah di Maroko dan Aljazair. Disusul Tarekat Suhardawiyah di Afrika Utara, Afrika Tengah, Sudan dan Nigeria.[20]

Organisasi Tarekat dalam sejarah pernah mempunyai pengaruh yang cukup besar di dunia Islam. Setelah khalifah Abbasiyah runtuh oleh bangsa Mongol tahun1258 M, tugas memelihara kesatuan Islam dan menyiarkan Islam ke tempat-tempat yang jauh beralih ke tangan sufi, termasuk ke Indonesia.[21] Ketika berdiri Daulah Usaminayah, peranan tarekat sangat besar baik dalam bidang politik maupun militer. Demikian juga Afrika Utara, peranan Tarekat Sanusiyah sangat besar terutama di negeri Aljazair dan Tunisia, sedangkan di Sudan berpengaruh Tarekat Syadziliyah. Khusus di Indonesia, pengembangan Islam pada abad ke-16 dan selanjutnya, sebagian besar adalah atas usaha kaum sufi sehingga tidak heran pada waktu itu pemimpin-pemimpin spiritual di Indonesia bukanlah ahli syariah tetapi syaikh tarekat.[22]

Mengenai sejarah singkat keberadaan tarekat yang ada, telah dibahas. Selanjutnya perlu dibahas mengenai tarekat-tarekat yang muktabarah (sah) dalam artian tidak melenceng dari ketentuan agama khususnya yang berkembang di Indonesia. Contoh tarekat yang tidak muktabarah seperti tarekat atau aliran Ahmadiyah di India yang dibawa oleh Mirza Ghulam Ahmad. Pada dasarnya mereka meyakini bahwa ada kitab selain al-Qur’an yakni Tadzkirah, dan hal seperti ini jelas melanggar syariat agama.

C. Tarekat-Tarekat Muktabarah 

Seperti yang telah diterangkan sebelumnya, kami tidak akan membahas secara rinci tiga tarekat besar yang terkenal yakni Qadariyah, Naqsyabandiyah dan Khalwatiyah. Oleh karena telah menjadi pembahasan pada makalah yang berbeda. Maka kami akan memfokuskan pembahasan tarekat-tarekat yang berkembang hanya pada tarekat muktabarah dan khususnya yang berkembang di Indonesia.

1. Tarekat Syadziliyah

Tarekat Syadziliyah adalah tarekat yang dipelopori oleh Syekh Abul Hasan Asy Syadzili. Ia adalah keturunan langsung dari Hasan bin Ali bin Abi Thalib r.a dan Fatimah al-Zahra binti Rasulullah SAW.[23] Syadzili sendiri tidak mengenal atau menganjurkan murid-muridnya untuk melakukan aturan atau ritual yang khas dan tidak satupun yang berbentuk kesalehan populer yang digalakkan. Namun, bagi murid-muridnya tetap mempertahankan ajarannya. Para murid melaksanakan Tareqat Syadziliyah di zawiyah-zawiyah yang tersebar tanpa mempunyai hubungan satu dengan yang lain.[24] Tareqat ini mempunyai pengaruh yang besar di dunia Islam. Sekarang tareqat ini terdapat di Afrika Utara, Mesir, Kenya, dan Tanzania Tengah, Sri langka, Indonesia dan beberapa tempat yang lainnya termasuk di Amerika Barat dan Amerika Utara.[25]

Hizb al-Bahr, Hizb Nashor, Hizb Barr disamping Hizib al-Hafidzah, merupakan Hizib-Hizib yang terkenal dari as-Syadzilli. Menurut laporan, hizib ini dikomunikasikan kepadanya oleh Nabi SAW. Sendiri. Hizib ini dinilai mempunyai kekuatan adikodrati, yang terutama dugunakan untuk melindungi selama dalam perjalanan dan bermanfaat dalam meningkatkan kadar ibadah kepada Allah. Hizib-hizib dalam Tareqat Syadzilliyah, di Indonesia, juga dipergunakan oleh anggota tareqat lain untuk memohon perlindungan tambahan (Istighotsah), dan berbagai kekuatan hikmah, seperti debus di Pandegelang, yang dikaitkan dengan tareqat Rifa'iyah, dan di Banten utara yang dihubungkan dengan tareqat Qadiriyah. Akan tetapi yang utama adalah Hizb tersebut dipergunakan untuk meningkatkan kadar ibadah yang sebenarnya kepada Allah.

Para ahli mengatakan bahwa hizib, bukanlah doa yang sederhana, ia bukan hanya merupakan mantera megis yang Nama-nama Allah Yang Agung (Ism Allah A'zhim) dan, apabila dilantunkan secara benar, akan mengalirkan berkah dan menjamin respon supra natural dan yang terpenting adalah mendapatkan ridha Allah. Menyangkut pemakaian hizib, wirid, dana doa, para syekh tareqat biasanya tidak keberatan bila doa-doa, hizib-hizib (Azhab), dan wirid-wirid dalam tareqat dipelajari oleh setiap muslim untuk tujuan personalnya. Akan tetapi mereka tidak menyetujui murid-murid mereka mengamalkannya tanpa berlandaskan Al Qur'an dan tuntunan Rosululloh SAW, sebab murid tersebut sedang mengikuti suatu pelatihan dari sang guru untuk dapat beribadah kepada Allah dengan benar. Yang menarik dari filosufi Tasawuf Asy-Syadzily, justru kandungan makna hakiki dari Hizib-hizib itu, memberikan tekanan simbolik akan ajaran utama dari Tasawuf atau Tharekat Syadziliyah. Jadi tidak sekadar doa belaka, melainkan juga mengandung doktrin tingkah laku islami, pemahaman, adab hati, penyaksian, pembuktian yang sangat dahsyat.[26]

2. Tarekat Syattariyah

Tarekat Syattariyah adalah sebuah tarekat yang dinisbatkan kepada Syaikh Abd Allah al-Syathhari (w. 890 H/ 1485 M), seorang ulama yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Syihab al-Din Abu Hafsh, Umar Suhrawardi (639-632 H/ 1079-1168 M) ulama yang mempopulerkan Tarekar Suhrawardi.[27] Tarekat Syattariyah penah menduduki posisi penting karena tarekat ini merupakan salah satu tarekat yang besar pengaruhnya terhadap dunia Islam, khususnya di Indonesia.[28]

Tarekat ini muncul pertama kali di pada abad ke 15 M. Tarekat ini pada awal kemunculannya memiliki tujuan yang sama dengan tarekat yang berakar di India lainnya yakni melakukan berbagai gerakan keagamaan yang lebih memfokuskan misinya pada ekspansi dakwah Islam ke kalangan nonmuslim. Gerakan ini lebih menitik fokuskan pada peningkatan nilai moral dan spiritual melalui penyebaran berbagai ajaran Islam. Dalam hal ini, Syekh Abd Syattar dengan pengikutnya mengembangkan kecenderungan untuk beradaptasi atau menyesuaikan diri dengan tradisi dan ritual masyarakat setempat yang masih banyak dipengaruhi agama Hindu.[29] Konsep ini berpotensi positif untuk menggalang dengan cepat masyarakat nonmuslim dalam memeluk Islam, sementara potensi negatif memungkinkan adanya konsep-konsep yang berakibat melenceng dari tasawuf atau tarekat itu sendiri.

Sepeninggal Syekh Abd Syattar, salah satu murid yang paling berperan dalam mengembangkan dan menjadikan Tarekat Syattariah adalah Muhammad Gaus dari Gwalior (w. 1562). Sampai akhir abad ke-16, tarekat ini sudah memiliki pengaruh yang luas dari India hingga ke Indonesia.[30] Ajaran tarekat Syattariah seperti halnya tarekat lain menonjolkan aspek zikir dalam ajarannya. Zikir dalam tarekat Syattar terbagi dalam tiga kelompok, yaitu: menyebut nama-nama Allah swt. yang berhubungan dengan keagungannya, menyebut nama-nama Allah swt. yang berhubungan dengan keindahannya dan menyebut nama-nama Allah swt. yang merupakan gabungan dari sifat itu. Dalam mencapai tujuan-tujuan mistik, para pengikut ajaran ini perlu melalui kehidupan asketisme atau zuhud. Untuk mencapainya, seseorang terlebih dahulu harus mencapai tingkat akhyar (orang-orang terpeilih) dan abrar (orang-orang terbaik) serta mengusai rahasia-rahasia zikir. Satu hal yang perlu diketahui bahwa, dalam mencapai atau menguasai zikir perlu bimbingan syekh atau mursyid yang ahli pada persoalan zikir ini.[31]

3. Tarekat Sammaniyah

Tarekat Sammaniyah didirikan oleh Syekh Muhammad bin Abdul Karim al-Madani al-Syafi’i al-Samman (1130-1189 H/ 1718-1775 M). Ia lahir di Madinah dari kalangan Quraisy. Dikalangan murid-muridnya ia dikenal dengan nama al-Samman atau Muhammad Samman. Syekh Samman tidak hanya menguasai bidang tarekat tapi menguasai pula sejumlah bidang-bidang ilmu Islam.[32] Perjalanan Syekh Samman dalam mempelajari berbagai ilmu Islam juga membawanya mempelajari dan memasuki berbagai tarekat seperti Tarekat Khalwatiyah, Naqsyabandiyah, Qadariyah dan Syadziliyah. Dari berbagai ajaran itu, ia padukan menjadi satu ajaran dengan meracik teknik zikir, bacaan-bacaan dan ajaran mistis semua tarekat dengan tambahan qasidah dan bacaan lain yang ia susun sendiri.[33]

Tarekat ini pada akhirnya berhasil membangun jaringan yang sangat luas dan mempunyai pengaruh besar di Afrika Utara, yaitu dari Maroko sampai Mesir. Bahkan memperoleh banyak pengikut di Suriah dan Arabia.[34] Ciri- ciri khas tarekat ini adalah zikirnya yang keras dengan suara melengking dari pengkit-pengikutnya sewaktu melakukan zikir la ilaha illa Alla. Diantara ajarannya yang terkenal antara lain ialah: a) memperbanyak salat dan zikir; b) bersikap lemah lembut kepada fakir miskin; c) tidak mencintai dunia; d) menukarkan akal basyariah dengan akal rabbaniyah; e) mentauhidkan Allah swt. dalam zat, sifat dan af’al-Nya.[35]

4. Tarekat Tijaniyah

Tarekat Tijaniyah adalah tarekat yang didirikan oleh Syekh Ahmad bin Muhammad al-Tijani (1150-1230 H/ 1737- 1815 M) yang lahir di ‘Ain Madi, Aljazair Selatan dan meninggal di Fez, Maroko dalam usia 80 tahun. Syeikh Ahmad Tijani diyakini oleh kaumnya sebagai wali agung yang memilki derajat tertinggi dan memiliki banyak keramat.[36] Kelahiran tarekat ini sangat diyakini berkaitan erat dnegan kedudukan Syeikh ahmad Tijani sebagai wali al-qutb al-az’ham. Derajat kewalian Ahmad Tijani diyakini telah melalui proses panjang yakni pada usia 31 tahun mulai mengamalkan ilmu-ilmu kesufian dan kewalian dan pada usia 46 tahun mulai menenggelamkan diri pada amalan-amalan para wali.[37]

Dalam menyampaikan ajarannya, Ahmad Tijani menyampaikan ajaran dengan cukup sederhana. Namun dia menekankan, seperti halnya tarekat yang lain, perlu adanya perantara (wasilah) antara manusia dengan Tuhan. Perantara itu adalah dirinya sendiri dan para pengganti/wakil/ naibnya. Pengikut-pengikut dilarang keras mengikuti wali manapun selain dirinya. Karena itu, Tarekat Tijaniah hanya memiliki satu silsilah guru/ syekh lebih lanjut.[38] Karena menurut pengakuannya, Ahmad Tijani memilki nasab langsung ke Nabi Muhammad melalui Sitti Fatimah al-Zahra.[39]

Tarekat Tijaniyah juga berkembang di Indonesia, dibawa oleh Ali bin Abdullah at-Tayyib al-Azhari dari Madinah pada tahun 1928.[40] Tarekat ini segera mendapatkan banyak pengikut karena ajaran dan aturan masuk dalam tarekat ini dipermudah. Pada tarekat ini lebih menyederhanakan aspek ritual dan lebih menekankan niat dan perbuatan baik. Sehingga tarekat ini mendapatkan banyak tantangan dari tarekat-tarekat lama yang telah ada, seperti Naqsyabandiyah, Qadariyah, Syadziliyah dan Khalwatiyah. Hal yang permasalahkan adalah: a) ajaran yang mengajarkan bahwa zikir secara teratur hingga ajalnya tidak akan dihisab dan akan masuk surga beserta keluarga (anak istri); b) larangan bagi pengikutnya menjadi anggota bagi tarekat lain.[41]

5. Tarekat Chistiyyah

Tarekat ini dinisbatkan namanya kepada pendirinya yang bernama Khwajah Muin al-Din Hasan, yang lebih popular dipanggil Muin al-Din Chisyti. Informasi tentang awal kehidupannya tidak diketahui. Berdasarkan tanggal kematiannya, 6 Rajab 63 H/ 16 Maret 1236 M, dihitung dari usianya yang dikenal mencapai 97 tahun, maka dapat dipastikan bahwa dia lahir pada 536 H/ 1141-1142 M di Sijistan (Sistan).[42]

Tarekat ini menyebar dengan cepat. Pada masa itu, banyak orang islam yang memeluk agama Islam berkat kerja keras para wali Chisyti. Khutbah-khutbah mereka yang sederhana sekaligus di iringi dengan tindakan yang nyata yang menunjukkan rasa cinta yang mendalam terhadap Allah dan sesama manusia. Hal ini mampu mengundang simpatik orang-orang hindu, terutama mereka yang berasal dari kasta rendah. Anggota dari kasta yang lebih tinggi pun banyak yang terkesan. Kenyataan bahwa khanaqah Chisytiyah menghindari diskriminasi antar murid dan menjalankan paham masyarakat tak berkelas ternyata berhasil menarik anggota baru kepada tarekat mereka. Mu’in al-din menyederhanakan paham ajaranya dalam tiga asas, yang mula-mula di susun oleh abu yazid al-busthami (w. 261 H./874 M.) yaitu bahwa seorang sufi harus memiliki ‘’kemurahan hati, watak yang halus, dan kerendahan hati’’. Meskipun di perbatasan India terkadang msih ada tentara muslim yang berbatasan dengan kaum ‘’kafir’’, namun islamisasi Negara India dicapai terutama dengan dakwa sufistik para ulama, bukan dengan pedang. Begitulah sejarah tarekat Chisytiyah yang berkembang pesat di India.[43]

6. Tarekat Mawlawiyah

Nama Mawlawiyah berasal dari kata Mawlana (guru kami) yaitu gelar yang diberikan murid-muridnya kepada seorang sufi penyair terbesar Persia yakni Muhammad Jalal al-Din al-Rumi ( w. 1273). Oleh karena itu, jelas bahwa Rumi adalah pendiri tarekat ini yang didirikan 15 tahun sebelum Rumi meninggal dunia. Salah satu mursyidnya yang terkenal dan bermarkas di California, Amerika Serikat adalah Syekh Kabir Helminski.[44]

Tentang ajaran Rumi, pada dasarnya dirangkum dalam tiga trilogi metafisik, yaitu Tuhan, Alam dan Manusia. Tuhan dalam pemahaman Rumi adalah Yang Awal, Yang Akhir, Yang Lahir dan Yang Batin. Yang Awal bagi Rumi adalah akumulasi dari rasa rindu yang mendalam manusia terhadap asal-usul mereka yang sering tidak mereka sadari, dalam hal ini manusia sebagai pecinta dan Tuhan sebagai Kekasih. Yang Akhir dimaknai Rumi sebagai sebuah daya tarik luar biasa dan memesona sehingga dapat menarik apapun yang ada kembali kepada-Nya (dalam hal ini Allah sebagai Tujuan). Yang Lahir bagi Rumi adalah alam fisik ini adalah Tuhan dalam penyamaran. Ia adalah fenomena yang memberi isyarat pada realitas yang terdalam. Dalam hal ini dunia yang lahir adalah petunjuk bagi dunia yang batin. Sehingga Yang Batin bagi Rumi adalah realitas yang paling mendasar dan memerlukan mata lain yang lebih peka.[45]

Alam sendiri bagi Rumi diciptakan oleh Tuhan dengan motif cinta. Cinta Tuhan merembas kepada seluruh alam dan berbalik mencinta Sang Pencipta. Selanjutnya, manusia dalam pandangan Rumi adalah tujuan akhir dari segala penciptaan. Manusia diciptakan sebagai wakil Tuhan di muka bumi dan manusia perlu mengembangkan dan mengaktualkan setiap potensi yang dimilikinya.[46]

Lalu mengenai ajaran pada tarekat, salah satunya ialah mempraktekkan ritual sama’ (tarian berputar para darwis) yang biasanya diadakan seusai shalat jum’at. Tarian ini diiringi oleh musik dan nyanyian, tentu dimulai dengan pujian penghormatan terhadap Nabi Muhammad saw. dan berakhir dengan nyanyian dengan nada pendek dan penuh semangat dalam bahasa Turki. Ritual sama’ menurut Rumi adalah makanan rohani seperti zikir yang didalamnya manusia berputar mengitari pusat gaya berat rohani, yaitu Tuhan. Menjadi anggota Mawlawiyah diharuskan mempelajari al-Masnawi selama latihannya yaitu pembacaan yang benar, teknik tarian berputar dan silsilah dari guru hingga ke Rasulullah saw.[47]

7. Tarekat Ni’matullah

Tarekat Ni’matullah dirikan oleh Syekh Nuruddin Muhammad Ni’matullah dilahirkan di Aleppo pada tanggal 14 Rabiul Awwal 731 H (1331 M) dan wafat pada tahun 1431 di Mahan dekat Kirman baratdaya Iran. Para pengikutnya terutama terdapat di Iran dan India.[48] Tarikat Ni’matullahiyah tersebar ke India pada masa hayat Syah Ni’matullah melalui perantara cucunya, Syah Nurullah dan tak mengherankan, akhirnya sangat aktif di Iran. Sekarang khanaqah-khanaqah dari cabang tarikat tersebut terdapat di beberapa kota besar dan kecil di Amerika Serikat, Eropa Barat (termasuk Inggris), Australia dan Afrika. Karena itu tidak berlebihan untuk dikatakan bahwa sekarang tarikat Ni’matullahiyah merupakan tarikat internasionalyang diikuti oleh dunia internasional dari banyak bangsa.[49]

Sebelum pencari jalan (sufi) memasuki apa yang diistilahkan sebagai ‘lingkaran kemiskinan spritual’, dia dituntut untuk menyatakan lima komitmen kepada Syaikh. Dia harus (1) mengikuti dan mentaati syari’ah, dengan ujian, jika belum memeluk Islam sebelumnya dengan mengucapkan syahadat dan menambahnya dengan kesaksian lain bahwa “Ali adalah wali Allah”; (2) menyatakan komitmen untuk berbuat baik kepada semua makhluk Allah; (3) bersumpah kepada diri sendiri untuk menjaga rahasia Tarikat; (4) setuju melayani dan mematuhi syaikh tanpa mempertanyakannya dan (5) menyatakan dalam hati untuk berkorban dan menyiapkan makan khusus dari daging biri-biri untuk dibagi-bagikan kepada saudara sesamanya. Selanjutnya, Tarikat Ni’matullahiyah secara khas mengidentifikasikan lima prinsip yang harus dilaksanakan oleh setiap pengikutnya. Prinsip-prinsip itu terdiri dari (1) zikr, (2) fikr, (3) muraqabah, (4) muhasabah, dan (5) wirid.[50]

8. Tarekat Sanusiyah

Tarekat Sanusiyah adalah sebuah tarekat yang didirikan oleh Muhammad bin Ali al-Sanusi yang biasa dipanggil Sanusi Agung. Sanusi dilahirkan di Wasita, Oran, Aljazair. Mengenai tahun kelahirannya masih menjadi perdebatan, tapi secara pasti ia dilahirnya pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal atau 22 Desember. Secara nasab ia adalah keturunan Nabi Muhammad saw dari Hasan bin Ali bin Abu Thalib. Sebelum wafat pada tahun 1856, Sanusi sempat mengembangkan hingga ke Aljazair, Tunisia, Hijaz dan Sudan[51] bahkan sempat kembali ke Makkah meskipun sebelumnya ia telah pergi dari sana akibat perselisihannya dengan ulama Makkah. Sebelum wafat, ia memindahkan pusat ajarannya ke kota Jaghbub.[52]

Selain berdakwah kepada masyarakat Islam tarekat Sanusiyah juga aktif berdakwah kepada beberapa suku Afrika yang masih menyembah berhala. Perlu diketahui, tarekat Sanusiyah diikat oleh satu ajaran yang ketat mengenai ketauhidan. Adapun ajaran tersebut ialah: a) penyembahan hanya dilakukan terhadap Allah swt, sedangkan penyembahan terhadap wali atau ziarah ke kuburan haram; b) dilarang minum kopi dan merokok; c) harus memutuskan segala bentuk hubungan dengan Yahudi dan Kristen; d) menyerahkan sebagian penghasilannya untuk dana sosial; e) berusaha menggalang segenap daya untuk mengembangkan Islam; f) menolak pengaruh Barat.[53]

kesimpulan yang akan dipaparkan, sebagai berikut:
  1. Secara etimologis kata tarekat berarti jalan (tariqah- taraiq); cara (al-kaifiyah); metode, sistem (al-uslub); mazhab, aliran, haluan (al-mazhab). Menurut istilah tasawuf, tarekat berarti perjalanan seorang salik (pengikut tarekat) menuju Tuhan dengan cara menyucikan diri atau perjalanan yang harus ditempuh oleh seseorang untuk dapat mendekatkan diri sedekat mungkin kepada Tuhan. Perlu pula dipahami bahwa tasawuf adalah konsep yang dianut seorang sufi dalam mendekatkan diri kepada Tuhan, sedangkan tarekat adalah konsep tasawuf yang melembaga.
  2. Terdapat beberapa tarekat yang dibahas dalam makalah ini yaitu, Tarekat Syadziliyah, Tarekat Syattariah, Tarekat Sammaniyah, Tarekat Tijaniyah, Tarekat Chistiyyah, Tarekat Mawlawiyah, Tarekat Ni’matullah dan Tarekat Sanusiyah. Dari sekian tarekat yang ada, secara keseluruhan memiliki konsep yang sama dalam ajarannya yakni mengenai zikir dan wirid meskipun berbeda tata caranya. Terdapat pula kesamaan pada beberapa tarekat mengenai persoalan pengasingan diri dari kehidupan dunia dan sikap seorang murid atau salik terhadap syekh atau mursyid.

DAFTAR PUSTAKA

Azra, Azyumardi. Renaisans Islam Asia Tenggara. Cet. I: Bandung; Rosda Karya, 1999.

Bruinessen, Marten Van. Kitab Kuning; Pesantren dan Tarikat. Bandung; Mizan, 1999.

Departemen Pendidikan Nasional, Ensiklopedia Islam (Jakarta, Bagian Proyek Pengembangan Sistem dan Standar, 2003.

Haeri, Syekh Fadhlullah. Belajar Mudah Tasawuf. Jakarta; Lentera, 2000. 

Ilyas, Yunahar. Kuliah Aqidah Islam. Cet. XIII: Yogyakarta; LPPI, 2010.

Mulyati, Sri. et.al., Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia Cet. II: Jakarta; Kencana, 2005.

Mustafa, Mustari. Agama dan Bayang-Bayang Etis Syaikh Yusuf Al-Makassari. Cet. I: Yogyakarta; PT. LKIS Printing Cemerlang, 2011.

Nasr, Sayyid Husein. Tasawuf Dulu Dan Sekarang. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991. 

Schimmel, Annemarie. Dimensi Mistik dalam Islam. Cet. II: Jakarta; Pustaka Firdaus, 2000.

Rizvi, Sayyid Athar Abbas. Tarekat Chisitiyah, dalam Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam. Bandung; Mizan, 2003. 

Ziadeh, Nicola A . Tarekat Sanusiyah.Cet. I: Jakarta; PT Raja Grafindo, 2001.


[1]Yunahar Ilyas, Kuliah Aqidah Islam (Cet. XIII: Yogyakarta; LPPI, 2010), h. 11 

[2]Ibid., h. 23. 

[3]Departemen Pendidikan Nasional, Ensiklopedia Islam Jilid V (Jakarta, Bagian Proyek Pengembangan Sistem dan Standar, 2003) 

[4]Ibid., h. 66 

[5]Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam (Cet. II: Jakarta; Pustaka Firdaus, 2000), h. 123. 

[6]Mustari Mustafa, Agama dan Bayang-Bayang Etis Syaikh Yusuf Al-Makassari (Cet. I: Yogyakarta; PT. LKIS Printing Cemerlang, 2011), h. 53. 

[7]Ibid. 

[8]Sri Mulyati, et.al., Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia (Cet. II: Jakarta; Kencana, 2005), h. 8. 

[9]Departemen Pendidikan Nasional, loc.cit. 

[10]Annemarie Schimmel, op. cit., h. 126. 

[11]Departemen Pendidikan Nasional, op.cit., h. 66-68. 

[12]Annemarie Schimmel, op. cit., h. 126-127. 

[13]Ibid., h. 128. 

[14]Departemen Pendidikan Nasional, op. cit., h. 68. 

[15]Ibid. 

[16]Sri Mulyati, op. cit., h. 6. 

[17]Departemen Pendidikan Nasional, loc.cit. 

[18]Annemarie Schimmel, op. cit., h. 289-293. 

[19]Departemen Pendidikan Nasional, loc. cit. 

[20]Sri Mulyati, op.cit., h. 7. 

[21]Lihat Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara (Cet. I: Bandung; Rosda Karya, 1999), h. 34. Dalam Sri Mulyati, loc.cit. 

[22]Ibid. 

[23]Ihsan Ilahi Dhahir, Dirasat fi al-Attasawuf, (Lahore-Pakistan: Idara Tarjuman, 1988), h. 271. 

[24] Fazrurrahman, Islam, (Chicago and London: University of Chicago Press, 1979), h. 162. 

[25] Sayyid Husein Nasr, Tasawuf Dulu Dan Sekarang, terj. Abd hadi W.M, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991), h. 67 

[26] Abd. Halim Mahmud, Abul Hasan al-Syadzili dari Kutub al-Haditsah, Mesir, t.th., h. 180-183. 

[27]Sri Mulyati, op.cit., h. 155. 

[28]Departemen Pendidikan Nasional, Jilid 5, op. cit., h. 1 

[29]Sri Mulyati, op.cit., h. 154. 

[30]op. cit., h. 1. 

[31]Ibid., h. 2. 

[32]Sri Mulyati, op. cit., h. 182. 

[33]Ibid., h. 183. 

[34]Departemen Pendidikan Nasional. Jilid 4., op. cit., h. 245 

[35]Ibid., h. 246. 

[36]Sri Mulyati, op. cit., h. 217. 

[37]Ibid., h. 220. 

[38]Departemen Pendidikan Nasional, Jilid 5., op.cit., h. 103. 

[39]Sri Mulyati, loc.cit. 

[40]Departemen Pendidikan Nasional, Jilid 5., loc. cit., 

[41]Ibid., h. 104. 

[42]Sayyid Athar Abbas Rizvi, Tarekat Chisitiyah, dalam Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam, (Bandung; Mizan, 2003), h.175. 

[43]Azis mansuri, Ensiklopedia 22 Tarekat dalam Tasawuf, (Imtiyaz, Surabaya, 2011), h. 94. 

[44]Sri Mulyati, op.cit., h. 321. 

[45]Ibid., h. 326-327. 

[46]Ibid., h. 328-330. 

[47]Departemen Pendidikan Nasional, Jilid 3, op. cit., h. 210-211. 

[48] Syekh Fadhlullah Haeri, Belajar Mudah Tasawuf, terj. Muhammad Hasyim Assagaf, (Jakarta; Lentera, 2000), h.. 28. 

[49] Marten Van Bruinessen, Kitab Kuning; Pesantren dan Tarikat, (Bandung; Mizan, 1999), h. 213. 

[50]Sri Mulyati, op.cit., h. 367. 

[51] Ibid., h. 376-379. 
[52]Nicola A Ziadeh, Tarekat Sanusiyahi (Cet. I: Jakarta; PT Raja Grafindo, 2001), h. 161. 

[53]Departemen Pendidikan Nasional, Jilid 4, op. cit., h. 250.

written by "Chaerul Mundzir"



HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html