Sunday 16 November 2014

Pemerintahan Khalifah Ali Bin Abi Thalib

A.    LATAR BELAKANG MASALAH
Salah satu sifat/watak manusia selaku makhluk yang berkesadaran ialah bercita-cita dan berikhitiar, harapan yang paling esensial dari usaha tersebut ialah memenuhi setiap kebutuhannya, entah itu primer atau pun sekunder. Kaitannya dengan cita-cita, adalah merupakan hal yang mungkin sifatnya bahwa terdapat segelintir orang yang membangun suatu kesadaran orientasi hidup yang tak hanya dibatasi pada kepentingan individualitasnya, melainkan jauh kedepan mereka memikirkan kepentingan-kepentingan kolektif. Konsekuensi logis dari kesadaran yang seperti ini ialah terbentuknya jejaring tindakan-tindakan kelompok yang bertujuan memenuhi kepentingan bersama.
Kemungkinan ini dapat diuji dilapangan (kehidupan sehari-hari), meski dalam aspek nilai bukan merupakan hal yang mudah untuk diidentifikasi, akan tetapi paling tidak segala sesuatu punya standarisasi/kaidah dimana penilaian disandarkan. Pada posisi ini dapat dimengerti bahwa sesungguhnya terdapat ruang bagi manusia untuk menetapkan satu stigma pada sesuatu, termasuk dalam hal ini ialah realitas sejarah.
Sejarah sebagai sesuatu yang rill, meski kenyataan sesungguhnya telah berlalu, tapi tidak berarti bahwa nilai-nilai yang dikandungnya ikut terkubur. Bahkan menurut penulis bahwa nilai tersebut berkemungkinan besar mempengaruhi pola hidup/sikap kehidupan umat manusia hari ini (bukan dalam artian determinis akan tetapi reflektif). Pada posisi ini sejarah dianggap sebagai bagian terpenting dalam diskursus keilmuan untuk memproyeksikan masa depan, dan karenanya ia pun menjadi niscaya untuk dikaji, ditelaah dan dimengerti.
Membangun sikap antipati terhadap sejarah sama halnya mengeberi nilai kemanusiaan yang pernah terjadi. Bahkan lebih ekstrim penulis bisa bahasakan bahwa setiap kita (generasi hari ini) adalah produk sejarah. Persoalannya kemudian ialah bagaimana membangun dan mengambil sikap terhadapnya.
Berangkat dari kesadaran ini penulis berupaya mengangkat salah satu fakta sejarah khususnya perjalanan yang telah dilalui oleh Ali bin Abi Thalib kaitannya dengan perjuangan hidupnya saat berhadapan dengan Khawarij, Klan Thalha CS dan Mu’awiyah.

PEMBAHASAN

Sebagaiman yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa tak satu pun peristiwa yang pernah dan akan terjadi bisa lepas dari hukum kausalitas, atau bisa dikatakan sebagai variabel terkait yang menjadi pemicunya. Oleh karenanya, memahami pemicu tersebut merupakan prasyarat utama bagi terpahaminya secara logis kenapa kemudian suatu peristiwa dapat mewujud.
Ungkapan ini dipertegas oleh Hegel (salah seorang pemikir jerman) bahwa nalar adalah hukum dunia, oleh karena itu dalam sejarah dunia segala sesuatu yang terjadi secara rasional. Lebih jauh Ia mengatakan bahwa nalar adalah substansi (hakikat), karena dengan nalar segala realitas mempunyai wujud.[1] Dari pernyataan ini penulis menangkap suatu makna bahwa dengan memahami sejarah secara objektif, akan dimengerti corak pemikiran yang menguasai peradaban pada saat itu.
Demikian halnya dengan peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi pada zaman Ali bin Abi Thalib saat berhadapan dengan Khawarij, klan Thlaha Cs dan Mu’awiyah. Sebagai sebuah kenyataan historis, patut untuk ditealaah dan dikaji lebih jauh, tapi tentunya tetap berdasar pada kaidah keilmuan (objektif).
Dan demi menjaga sistematisasi pembahasan, penulis akan mengklasifikasikan pembahasan makalah ini seabagai berikut :

A.    BIOGRAFI SINGKAT ALI BIN ABI THALIB
Ali adalah salah seorang figur yang tersohor dengan berbagai kepiawaiannya dalam perjalanan sejarah, khususnya bagi kaum muslimin itu sendiri. Kehadirannya sebagai aktor dalam panggung sejarah kemanusiaan memiliki keunikan dan esesnsialitasnya sendiri, sehingga membicarakan sejarah Islam dianggap tidak sempurna jika tidak menjadikan beliau sebagai salah satu sorotan. Kondisi ini mengantar kita hingga pada suatu pertanyaan bahwa siapakah Ali itu sesungguhnya? Dan dalam menjawab pertanyaan ini, tidak bisa tidak harus dimuali dengan pelacakan terhadap biografinya, meski demikian muatan makalah ini hanya akan menggambarkan hal tersebut secara singkat.
Ali bin Abi Thalib adalah seorang putra yang lahir dari pertautan syar’i antara Abu Thalib bin Abdul Muthalib dengan Fatimah binti As’ad bin Hasyim bin Abdul Manaf. Ia lahir disaat peta sosial masyarakat Arab saat itu dalam keadaan berhadapan-hadapan, disatu sisi terdapat barisan Rasulullah Saw yang dengan milisinya terus melakukan internalisasi kesadaran religius bagi masyarakat yang nota benenya masih dominan menyembah berhala, dan disisi lain terdapat klan-klan kekuatan penolak yang secara sadar menolak tawaran-tawaran Rasulullah Saw tersebut.
Menurut Ibnu Saad bahwa Ali dilahirkan malam 12 rajab tahun 30 dari tahun gajah pada abad ke-6M. Abu Thalib adalah saudara kandung Abdullah ayah Nabi Muhammad Saw, karena itu pula Ali tergolong sebagai keturunan keluarga Hasyimiyah, sama dengan garis keturunan Nabi Muhammad Saw, dan garis keturunan inilah yang menduduki kekuasaan tertinggi atas Ka'bah dan sekitarnya sebelum Nabi lahir.[2]
Ketika berusia 6 tahun, Ali diambil sebagai anak asuh oleh Nabi s.a.w. sebagaimana beliau pernah diasuh oleh ayahnya (Abi Thalib). Ali adalah orang kedua yang menerima da'wah Islam setelah Khadijah binti Khuwailid, isteri Nabi s.a.w. sejak itu ia selalu bersama Rasulullah dan banyak menyaksikan Rasulullah s.a.w menerima wahyu. Sebagaimana anak asuh Nabi, ia banyak menimbah ilmu mengenai rahasia ketuhanan maupun persoalan keagamaan, entah itu teoritis atau pun praktis. Pada tahun ke-2 hijriah, tepatnya ketika Ali berusia 21 tahun 5 bulan, Ia dinikahkan dengan Fatimah al-Zahra yang berusia 15 tahun.[3]
Ali dikenal cerdas dan menguasai masalah keagamaan secara mendalam, sebagaimana tergambar dari sabda Nabi s.a.w., "Aku kota ilmu pengetahuan sedang Ali  pintu gerbangnya"[4] ia juga dikenal sebagai panglima perang yang gagah perkasa.[5] Ia adalah sosok pemuda yang keberaniaanya luar biasa dalam perjuangan membela Islam.
Setelah Nabi s.a.w. wafat, Ali banyak mendukung pemerintahan Abu Bakar.  Ketika muncul Nabi-nabi palsu, ia turut ambil bagian dalam mengamankan stabilitas Madinah. Setelah Abu Bakar wafat ia segera membai'at Umar sebagai khalifah ke dua. Untuk mempererat  hubungan persaudaraan, Ali memperkenankan menikahi salah seorang  putrinya, yakni ummi Kalsum. Ia selalu membantu Umar dalam mengatur pemerintahan Islam, ketika terjadi pencalonan khalifah ketiga Ali menyampaikan dukungan suaranya terhadap Usman. Dan ketika Usman terkepung oleh gerombolan pemberontak dan memerintahkan putranya yang bernama Hasan untuk menjaga keamanan pintu rumah Usman.
B.     KEPMIMPINAN ALI BIN ABI THALIB (35-40H/656-661M)
Hal yang paling substansial menjadi perdebatan Setelah kepergian Rasulullah Saw ialah persoalan kepemimpinan, khususnya tentang siapa yang berhak menjadi pengganti beliau dalam melanjutkan kepemimpinan dan menjaga serta melestarikan nilai-nilai  yang telah diajarkan peribadi agung ini dalam kehidupan individu maupun sosial kemasyarakatan.
Beragam gagasan dan konsepsi tentang kasus ini telah mewarnai perjalanan sejarah umat terdahulu, mulai dari pengangkatan Abu Bakar As-Shiddiq di Balariung Sakifah melalui musyawarah oleh segelentir kaum muslimin, penunjukan Abu Bakar kepada Umar bin Khattab sebagai pengganti, penetapan dewan syura’ oleh Umar bin Khattab untuk mengurus penggantinya (terpilih Usman bin Affan), dan baiat secara massal dari publik kepada Ali bin Abi Thalib setelah Usman bin Affan.
Meski dalam putaran roda waktu tersebut, sejarah Islam awal (pasca wafatnya Rasulullah) telah diwarnai dengan beragam pola/skema penetapan kepemimpinan (bahkan ada yang berujung pada konflik yang berkepanjangan), tapi paling tidak terdapat satu hal yang menjadi perekat dari semuanya, yakni kesepakatan oleh kaum Muslimin akan pentingnya pemimpin dan kepemimpinan dalam Islam.
Konflik internal yang kontras dalam catatan sejarah umat Islam awal ialah setelah terbunuhnya Khalifah ke tiga (Usman bin Affan). Khawatir akan terjadinya fitnah yang berujung pada perpecahan berlarut, maka masyarakat Madinah tidak membiarkan kesenjangan ini, dan bergegas memilih Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin pengganti, dan memang selaku kandidat terkuat menurut pengamatan dewan syura’ bentukan Umar bin Khattab yang masih hidup. Bahkan para sejarawan bersepakat bahwa Ali dipilih secara aklamasi, dan menuntut baiat (pengakuan/legitimasi) di masjid secara terbuka dengan kesepakatan seluruh hadirin.[6] Maka dari itu bisa dipahami bahwa Ali adalah khalifah pertama dan satu-satunya yang terpilih secara umum dalam sejarah kekhalifaan.
Kekhawatiran kaum muslimin akan terjadinya fitnah dan konflik internal pasca terbunuhnya Usman bin Affan, pun ternyata tidak dapat dibendung. Kaum muslimin terkotak-kotakkan kedalam bebarapa kelompok, dan masing-masing dari mereka membangun sistem pemekirian tersendiri. Tidak hanya sampai disitu, saling mengintrik antara satu komuntisa yang satu dengan komunitas yang lainnya pun terkumandangkan, endingnya adalah pertentangan dan perang. Dan inilah fase tantangan yang harus dihadapi oleh Ali bin Abi Thalib as.
C.    PERGOLAKAN POLITIK PADA KEKHALIFAAN ALI
Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya bahwa pada kepemimpinan Ali bin Abi Thalib, konflik internal mewarnai perjalanan historisnya. Konflik ini tak hanya berbau politis melainkan telah mengaitkan persoalan-persoalan teologis (mazhab-mazhab mulai terbentuk). Kilasan tantangan Ali bin Abi Thalib penulis urai sebagai berikut :
1.      Khawarij
Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah bahwa kelompok ini pada awalnya adalah satu barisan dengan Ali bin Abi Thalib, namun dalam putaran waktu kelak, kelompok ini memilih untuk keluar dari barisan Ali, dan memilih untuk membuat kelompok baru  dengan pola dan sistem sosial, teologi, serta kepemimpinan yang baru.
Benih perlawanan dari kelompok ini mulai nampak saat Amr Ibn al-As’ (klan Mu’awiyah) mengacungkan al-Qur’an di ujung tombak di perang Shiffin, pengacungan ini dimaksudkan untuk berdamai melalui arbitrase. Kelompok ini menekan khalifah Ali bin Abi Thalib agar menerima tawaran tersebut. Dan demi menjaga ritme barisan, Ali bin Abi Thalib pun menerima tawaran itu dan meminta Abudllah Ibn Abbas (sebagai arbitrator), namun kelompok (yang cikal bakal jadi khawarij ini) menolak nama yang diusulkan oleh Ali dengan alasan bahwa yang dimaksudkan adalah bagian dari keluarga Ali bin Abi Thalib. Penolakan tersebut diiringi dengan penawaran nama baru, yakni Abu Musa al-Asy’ari.[7]
Setelah penentapan nama tersebut dari mereka, proses arbitrase antara klan Mu’awiyah dengan klan Ali bin Abi Thalib dilaksanakan, dan keputusan yang dilahirkan dari seremoni itu rupanya ditolak oleh barisan yang sama dengan alasan bahwa keputusan itu tidak sesuai dengan hukum Allah. Kelompok inilah kemudian nantinya yang dinamai dengan Khawarij (berasal dari kata kharaja : keluar). Dari mereka adalah al-Asy’asy Ibn Qais al-Kindi, Mas’ar ibn Fudaki at-Tamami dan Zaid ib Husain ath-Thai.[8]
Senada denga apa yang diungkapkan oleh Muhammad ‘Ali al-Sayis bahwa penerimaan tahkim oleh pihak ‘Ali bin Abi Thalib merupakan sumber lahirnya golongan Khawarij, yaitu orang-orang dari pihak ‘Ali bin Thalib yang tidak menyetujui keputusan ‘Ali bin Abi Thalib untuk menerima tahkim itu. Karena menganggap praktek seperti itu tidak pernah dicontohnkan di masa Rasulullah SAW dan juga tidak ada dalilnya dalam Alquran, maka perbuatan tersebut dinilai sebagai prilaku yang menyalahi hukum Allah. Mereka keluar dari barisan ‘Ali bin Abi Thalib dan mengancam akan melawan balik kecuali jika beliau secara resmi mengakui kesalahannya dan membatalkan semua syarat yang dikemukakan oleh pihak Mu’awiyah, dan terus menggempur hingga hancur atau kembali kepada jalan yang diridhai oleh Allah.[9]
Keluarnya kelompok ini dari barisan Ali menandakan tidak sepakatnya dengan kepemipinan Ali bin Abi Thalib beserta klan Mu’awiyah. Konsekuensi logis dari kenyataan ini ialah mereka menetapkan pemimpin sendiri dari kalangan mereka, dan dipililah Abdullah Ibn Wahb Al-Rasidi sebagai amirul mukininnya.[10] Dari sini dapat dilihat bahwa dalam perspektif historis, dasar awal yang menyebabkan munculnya golongan Khawarij adalah arbitrase (tahkim).[11] Pengamat Barat W. Montgomery juga mengajukan hipotesa tersebut sebagai gambaran asal mula sekte-sekte Islam.[12]
Akhir dari proses ini ialah semakin menajamnya konflik internal dikalangan umat Islam, bahkan posisi Ali bin Abi Thalib pun mulai tersudut karena kelompok ini juga menyatakan perang kepadanya, pun dengan klan Mu’awiyah.
2.      Thalha CS
Menurut Mahmoud M. Ayoub bahwa kasus Thalah dan Al-Zubair adalah kasus yang sangat khas dan menarik, oleh karena keduanya termasuk sahabat yang pertama kali membaiat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah dan mereka pula yang pertama kali menyatakan perang terhadapnya.[13]
Ya’qubi meriwayatkan bahwa keduanya mengeluh pada Ali karena jatuh miskin setelah wafatnya Nabi dan meminta Ali agar menjadikan keduanya sebagai sekutu dalam kekuasaan. Ali menjawab “Sungguh, kalian adalah sekutu dalam kekuatan dan kejujuran, serta penolongku saat kelemahan dan ketidakmampuan”. Dan setelah itu Ali menulis surat pengangkatan untuk Thalha sebagai Gubernur Yaman dan Al-Zubair sebagai gubernur wilayah Yamamah dan Bahrain. Tapi keduanya rupanya tidak puas dengan keputusan Ali tersebut, mereka malah meminta bagian yang lebih besar dari bait al-mal sebagai perwujudan kebaikan kepada keluarga dekat. Lalu dengan murka Ali membatalkan pengangkatan mereka sambil mengatakan, “Bukankah aku telah menunjukkan kebaikan kepadamu dengan mengangkatmu sebagai pemegang  amanat atas urusan kaum Muslimin?!”.[14]
Pembatalan yang dilakukan oleh Ali terhadap posisi yang tadinya diberikan kepada dua orang tersebut (Thalha dan al-Zubair), menyulut kebencian keduanya terhadap Ali. Akhirnya mereka pun memilih untuk banting setir menentang Ali bin Abi Thalib, dengan cara menggalang dukungan politis dari berbagai pihak yang menurutnya bisa dimanfaatkan untuk meronrong kepemimpinan Ali bin Abi Thalib.
Langkah awal yang mereka lakukan ialah berangkat ke Mekkah untuk berdiplomasi dengan Aisyah (dan disinyalir memang punya hubungan keluarga dengan Thalhah), setelah mereka berhasil meyakinkan Aisyah maka Aisyah kemudian bertanaya “apa yang harus saya lakukan?” Dengan tangkas Thalha dan Zubair menjawab bahwa “sampaikan kepada masyarakat bahwa Usman telah dibunuh secara zalim, dan urusan harus diserahkan kepada Dewan Muslim yang dibentuk Umar ibn Khattab”.[15]
Bergabungnya Aisyah dalam barisannya, jelas merupakan langkah maju bagi Thalha dan Zubair, apalagi dengan dideklarasikannya penanggung jawab pengusutan kasus kematian Usman bin Affan kepada Dewam Muslim yang juga dianggotai oleh Thalha, Zubair dan Sa’ad bin Abi Waaqqash.
Menurut Ibn Abi Al-Hadid bahwa salah satu motif yang menguatkan posisi Thalhah dan Zubair untuk melakukan pemberontakan karena hasutan dari Mu’awiyah, isu yang ditawarkan oleh Mu’awiyah kepadanya untuk diangkat sebagai legitimasi pemberontakan ialah menuntut balas atas kematian Usman. Dan setelah meyakinkan Zubair  akan loyalitas masyarakat Suriah terhadapnya sebagai khalifah, Mu’awiyah melanjutkan bahwa segeralah ke Kufah dan Bashrah sebelum Ali bin Abi Thalib mendahuluimu kesana, karena kalian tidak akan memperoleh apa-apa jika kalian kehilangan kedua kota tersebut.[16]
Akhir dari kualisi-kualisi taktis politis ini ialah meletusnya perang Jamal di Basrah pada tanggal 16 Jumadil Tsani 36 H / 6 Desember 656M.[17] Dikatakan perang Jamal, karena Aisyah ikut serta dalam peperangan ini dengan mengendarai unta. Dan saat perang tersebut berlangsung Zubair berkata kepada Ali bahwa anda tidak lebih berhak atau tidak lebih memenuhi syarat untuk memegang jabatan khalifah, melainkan kami (Zubair, Thalhah dan Sa’ad bin Abi Waqqas) pun sama-sama memiliki hak dan sama-sama memenuhi syarat untuk itu.[18]
Meski dukungan demi dukungan mereka berhasil dapatkan untuk melakukan konfrontasi di Perang Jamal nantinya, tapi fakta dalam sejarah membuktikan bahwa mereka ternyata berhasil ditaklukkan oleh barisan Ali bin Abi Thalib. Tokoh-tokoh penggerak perang tersebut dapat dipatahkan, hingga dalam sejarah tercatat bahwa Thalhah terbunuh  oleh anak panah yang dibidikkan oleh Marwan ibn Al-Hakam. Melihat nasib sekutunya, Zubair segera meninggalkan medan perang, namun ia diburuh dan dibunuh oleh seorang suku Tamim atas suruhan al-Ahnaf ibn Qais (pemuka Anshar/pendukung setia Ali bin Abi Thalib).[19]
3.      Mu’awiyah
Salah satu tantangan berat yang dihadapi oleh Ali bin Abi Thalib pada masa kepemimpinannya ialah tekanan yang dilakukan oleh Mu’waiyah kepadanya. Tekanan ini besumber dari bangunan asumsi yang diyakini oleh Mu’waiyah bahwa dirinya merupakan pewaris (wali) Utsman dalam menuntut balas atas darahnya (kematiannya). Bahkan lebih jauh Mu’wiyah berkeyakinan bahwa dirinya juga adalah khalifah yang sah (pengganti Usman bin Affan) berdasarkan bai’at yang dilakukan oleh masyarakat Suriah terhadapnya setelah Ali bin Abi Thalib memangku jabatan tersebut.[20]
Meskia demikian, perjalanan sejarah mencatat bahwa terdapat berbagai keputusan politis praktis yang Mu’awiyah tempuh untuk memuluskan ambisi kuasanya. Diantaranya ialah, saran yang disampaikan melalui Jarir (utusan Ali untuk meminta bai’at pada masyarakat Suriah, namun tidak membuahkan  hasil yang signifikan) agar Ali memberikan Suriah dan Mesir kepadanya dan Ali mengambil Irak dan Hijaz sebagai wilaya kekuasaan.[21]
Bahkan menurut Rasul Ja’farian bahwa setelah Jarir tiba di Damaskus, Jarir meminta kepada Mu’awiyah untuk menghentikan sikap pembangkanannya dan upayanya menghasut masyarakat, hingga bergabung dalam barisan umat Islam. Tapi kemudian Mu’awiyah meminta masyarakat berkumpul di masjid, lalu berpidato dengan memulai pembicaraan lewat pujian terhadap Damaskus sebagai “Kawasan Suci”. Setelah itu Mu’awiyah melanjutkan pidatonya dengan mengatakan bahwa aku ini adalah khalifah kalian yang mewakili Umar bin Khattab dan Usman bin Affan. Aku ini penjaga dan pelindung darah Usman, dan Usman adalah orang yang telah dibunuh secara zalim. Bagaimana pandangan kalian tentang darah Usman?  Masyarakat Damaskus yang hadir serentak menyatakan dukungan bagi langkah Mu’awiyah untuk menuntut balas atas kematian Usman. Hasil pertemuan ini pulalah yang dijadikan tanggapan Mu’awiyah kepada Ali bin Abi Thalib.[22]
Dari keadaan tersebut terdapat dua hal yang menjadi motif konprontasi Mu’awiyah terhadap Ali bin Abi Thalib, dalam hal ini ialah pengusutan para pembunuh khalifah sebelumnya dan yang kedua ialah isu dualisme kepemimpinan (Ali dan dirinya).
Kedua hal ini dijadikan sebagai penguat alasan oleh Mu’awiyah untuk terus menerus melakukan tekanan kepada Ali bin Abi Thalib selaku khalifah resmi. Tuntutan yang paling jelas sebagaimana yang ditegaskan oleh Harun Nasution ialah mengusut tuntas serta mengeksesui pembunuh Usman bin Affan. Disisi lain, Mu’awiyah bahkan menuduh Ali bin Abi Thalib sebagai salah satu agen dalam proses pembunuhan tersebut.[23]
Tekanan yang terus dipompakan oleh Mu’awiyah kepada Ali bin Abi Thalib berujung pada konflik di Shiffin, dimana pada perang tersebut tangan kanan Mu’awiyah (Amr bin Ash) berhasil mengkudeta posisi kekahlifaan Ali bin Abi Thalib melalui arbitrase dengan Abu Musa Al-Asy’ari (arbitrator Ali) dan mengukuhkan Mu’awiyah sebagai khalifah pengganti.
D.     AKHIR RIWAYAT HIDUP ALI BIN ABI THALIB
 Masa kekhalifahan Ali penuh dengan pergolakan, cita-cita Ali ingin mengadakan konsolidasi interen dalam pemerintahannya tidak tercapai. Kemungkinan hal ini terjadi karena Ali menjalankan pemerintahan dengan pendekatan revolusioner atau hanya menerima sisa-sisa kekecewaan akibat sistem pemerintahan yang dijalankan Usman bin Affan.
Pada waktu Ali bersiap-siap hendak mengirim pasukan sekali lagi untuk memerangi Mu'awiyah, terbentuklah suatu komplotan untuk mengakhiri hidupnya. Kelompok itu terdiri dari tiga orang Khawarij yang bersepakat hendak membunuh Ali, Mu'awiyah serta Amr  bin Ash yang dilakukan pada malam yang sama. Barak ibnu Abdullah al-Tamimi menuju Syam untuk membunuh Amr bin Ash dan Ibnu Muljam yang berhasil membunuh Ali yang sedang memanggil orang untuk shalat[24].
Diceritakan dalam sebuah riwayat bahwa Ibn Muljam adalah satu dari tiga orang yang bersumpah didepan ka’bah bahwa pada hari yang sama mereka akan membersihkan  komonitas Islam dari tiga tokoh pengacau: Ali, Mu’awiyah, dan Amr ibn Ash. Tempat terpencil di dekat Kufah yang menjadi makam Ali, kini masyhad Ali di Najaf berkembang menjadi salah satu pusat ziarah terbesar dalam agama Islam.[25]

PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Berangkat dari pembahasan terdahulu maka pada poin penutup ini penulis dapat menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
1.      Kekhalifaan Ali bin Abi Thalib adalah kekhalifaan yang bermaksud mengejawantahkan pesan-pesan Rasulullah yang dia peroleh selama bersamanya.
2.      Konprontasi dari berbagai pihak (Khawarij, Thalha CS dan Mu’awiyah) adalah bukti sejarah Islam yang memilukan karena lebih banyak tergerakkan oleh motif-motif material ketimbang kemanusiaan dan agama.
DAFTAR PUSTAKA

Ali al-Sayis, Muhammad. Tarikh li Fiqh al-Islami, Kairo : Maktabah ‘Ali Sabih wa Auladuh, tth.

Al-Nadawy, Abu al-Hasan. kehidupan Nabi Muhammad s.a.w dan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib R.A. Cet. I ; semarang : al-Syifa 1992.

Al Syahrastani, Muhammad Bin Abdul Karim. Al-Milal wa Al-Nihal. terj. Asywadie Syukur, Aliran-Aliran Teologi dalam Sejarah Umat Manusia. Cet. I; Surabayah : PT. Bina Ilmu, t.t.

Ensiklopedi Islam, Tim penyusun. Ensiklopedi Islam Cet III; Jakarta : Ictiar Baru Van Hoeve, t.t.

Hegel. Hegel : Reason ini History. terj. Salahuddin, Nalar dalam Sejarah. Cet. I; Jakarta Selatan : PT. Mizan Publikan, 2005.

Ja’farian, Rasul Ja’farian, History of the caliphs : From the Death of  the messenger to the decline of the Umayyad Dynasty. terj. Ilyas Hasan, Sejarah Islam : Sejak Wafat Nabi Saw hingga runtuhnya Dinasti Bani Umayyah. Cet. II, Jakarta : PT. Lentera Basritama, 2009 M.

K. Ali, A study of Islamic History. terj. A. Mas'adi dengan judul " Sejarah Islam dari awal sampai runtuhnya dinasti Usmani (Tarikh pra modern). Cet. II; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997.

K. Kitti, Philip. History of The Arabs; From the Earliest Times to the Present. terj. Dedi Slamet Riyadi, History of the Arabs. Cet. I; Jakarta : PT. Serambi Ilmu Semesta, 2008.

M. Ayoub, Mahmoud. The Crisis of Muslim History : Religion and Politics in Early Islam. terj. Munir A. Muin, The Crisis of Muslim History : Akar-akar krisis politik dalam Sejarah Muslim. Cet. I; Bandung : Mizan, 2004.

Muhammad bin jarir al-Tabariy, Abu Ja’far. Tarikh al-Umam wa al-Mulk, juz IV. Cet.I; Bairut: Dar al-Fikr, 1987.

Nasution, Harun. Teologi Islam; Aliran-aliran sejarah analisa perbandingan. Cet. V; Jakarta : Universitas Indonesia, 1986.




[1] Hegel, Hegel : Reason ini History. terj. Salahuddin, Nalar dalam Sejarah, (Cet. I; Jakarta Selatan : PT. Mizan Publikan, 2005), h. 15.

[2] Abu al-Hasan al-Nadawy, kehidupan Nabi Muhammad s.a.w dan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib R.A ( semarang: al-Syifa 1992), h. 483.
[3] Ibid., h. 492.
[4] Tim penyusun ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam Cet III; (Jakarta: Ictiar Baru Van Hoeve).
[5] Ibid..
[6] Mahmoud M. Ayoub, The Crisis of Muslim History : Religion and Politics in Early Islam. terj. Munir A. Muin, The Crisis of Muslim History : Akar-akar krisis politik dalam Sejarah Muslim. (Cet. I; Bandung : Mizan, 2004), h. 129.
[7]  Muhammad Bin Abdul Karim Al Syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal. terj. Asywadie Syukur, Aliran-Aliran Teologi dalam Sejarah Umat Manusia, (Surabayah : PT. Bina Ilmu, t.t), h. 101.
[8] Ibid., h. 102.
[9]  Muhammad ‘Ali al-Sayis, Tarikh li Fiqh al-Islami, (Kairo : Maktabah ‘Ali Sabih wa Auladuh, tth.), h. 61.
[10] Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-aliran sejarah analisa perbandingan, (Cet. V ; Jakarta : Universitas Indonesia, 1986), h. 12.
[11]Inti arbitrase adalah persetujuan dari khalifah Ali setelah memperoleh kemenangan terhadap Muawiyah dalam peperangan di Siffin tahun 37 H. 648 M. Ali menerima Arbitrase, mereka mengingkarinya meski Ali dipihak yang benar. Lihat Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Tabariy, Tarikh al-Umam wa al-Mulk, juz IV (Cet.I; Bairut: Dar al-Fikr, 1987), h. 664.
[12] M. Montrogomerry Watt, Islamic Theologi and Philosofhy (Endirburg: Endirburg University Press, 1979), h. 4-8.
[13]. Mahmoud M. Ayoub, op.cit., h. 133.
[14] Ibid.,
[15] Rasul Ja’farian, History of the caliphs : From the Death of  the messenger to the decline of the Umayyad Dynasty. terj. Ilyas Hasan, Sejarah Islam : Sejak Wafat Nabi Saw hingga runtuhnya Dinasti Bani Umayyah. (Cet. II, Jakarta : PT. Lentera Basritama, 2009 M), h. 307.
[16] Mahmud M. Ayoub, op.cit., h. 134.
[17] K. Ali, A study of Islamic History. terj. A. Mas'adi dengan judul " Sejarah Islam dari awal sampai runtuhnya dinasti Usmani (Tarikh pra modern),  (Cet. II; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997)  h. 138.
[18] Rasul Ja’farian, op.cit., h. 308.
[19] Mahmoud M. Ayoub., op.cit., h. 135-136.
[20] Mahmoud M. Ayoub, op.cit., h. 142.
[21] Ibid., h. 153.
[22] Rasul Ja’farian, op.cit., h. 340.
[23] Harun Nasution, op.cit., h. 4-5.
[24]Murtadha, op. cit, h. 26-27.
[25]Philip K. Hitti, op. cit., h. 227

1 komentar:

Anonymous said...

Di permudah lagi kata katanya agar pengunjung yg belajar sejarah islam mudah mengerti

HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html