Islam sebagai fenomena sejarah, mencoba menyampaikan berbagai informasi, sebagai acuan untuk menata masa depan. Alquran cukup banyak menyampaikan kisah para Nabi, Rasul, dan para Tokoh, serta sebagai peristiwa terdahulu. Hal ini menjadi gambaran bahwa, sejarah bukan hanya sekedar aksentuasi, tetapi eksistensinya menjadi sangat penting bagi kehidupan manusia.
Pasca Khulafaur al-Rasyidin, pemerintahan Islam memasuki babakan baru dalam sejarah. Dinasti Umayah di bawah kepemimpinan Mu’awiyah, tampil sebagai rezim baru dalam memegang kekuasaan politik Islam, yang membawa perubahan fundamental dalam sistem pemerintahan Islam. Sistem pemerintahan yang bercorak demokratis dan partisipatif yang telah dibangun oleh Rasulullah saw, yang kemudian dilanjutkan oleh para Khulafaur al-Rasyidin, kandas di tengah jalan. Mulai pada saat itu bergantilah sistem pemerintahan yang bersifat tertutup, hirarkis dan otoriter di bawah kekuasaan Mu’awiyah Bin Abi Sufyan, karena beliau menerapkan sistem kerajaan secara turun temurun.[1] Umayah juga sekaligus memproklamerkan dirinya sebagai khalifah pertama[2]
Kebijakan politik Mu’awiyah yang kontroversi itu, telah mengundang banyak kalangan untuk memprotesnya. Namun demikian, pemerintahan Dinasti Umayah tetap bertahan dan eksis dalam pentas sejarah, selama kurun waktu sembilan dasawarsa. Hal ini terjadi karena kepandaian Muawiyah bergaul dengan berbagai karakter manusia.[3] Keberhasilan yang cukup gemilang diukir oleh para khalifahnya dengan melakukan pembangunan di berbagai bidang. Demikian pula beberapa ekspansi yang dilakukannya, yang membuat wilayah Islam semakin luas yang melintasi bernua Asia Afrikadan Eropa.[4] Bahkan jika dirunutkan daerah-daerah yang dikuasainya mencakup: Spanyol, Afrika Utara, Syiria, Palestina, Jazirah Arab, Irak, Asia Kecil, Persia, Afganistan, Pakistan, Uzbekistan, dan Kirgistan.[5] Keberhasilan itu didukung pula oleh keberhasilan yang lain dibidang ilmu pengetahuan dan tekhnologi.[6]
Dengan keberhasilan tersebut, Dinasti Umayah telah berhasil membangun suatu negara yang sangat bergengsi di mata dunia ketika itu. Kemajuan yang dicapai ketika itu meliputi berbagai bidang, seperti politik, sastera, militer, ilmu pengetahuan, ekonomi, dan lain-lain.
Dalam usaha penulis dalam memberikan jawaban terhadap kedua permasalahan di bawa, maka satu-satunya pendekatan yang digunakan adalah pendekatan historis (kesejarahan). Dengan pendekatan yang dimaksud, diharapkan hasilnya dapat menjadi pertimbangan dan kerangka acuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
A. Biografi Muawiyah Bin Abi Sofyan
Dalam usaha penulis dalam memberikan jawaban terhadap kedua permasalahan di bawa, maka satu-satunya pendekatan yang digunakan adalah pendekatan historis (kesejarahan). Dengan pendekatan yang dimaksud, diharapkan hasilnya dapat menjadi pertimbangan dan kerangka acuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
A. Biografi Muawiyah Bin Abi Sofyan
Nama lengkapnya adalah Muawiyah Bin Abi Sofyan Syskhr Bin Harb Bin Umayyah Bin Abd. Syam Bin Abdi Manaf Bin Qushay Al-Quraysi Al-Amawi, ibunya bernama Hindun binti Utbah binti Rabiah binti Abd. Syams. Lahir di Mekkah kira-kira 15 tahun sebelum hijrah, dan wafat dalam usia kurang dari 80 tahun ( w. 60 H/ 680 M ).[7] Muawiyah keturunan ketiga dari Umayyah, salah seorang pemimpin suku Qurasy, sehingga anak cucu dari anak keturunan Umayyah ini dihubungkan dengan nama bani Umayyah.[8] Sebagaiman nabi Muhammad saw dinisbahkan kepada nabi Hasyim. Kedua kelompok elite suku quraiys ini masi ada hubungan darah yang bertemu pada kakeknya, Abdy Manaf.
Muawiyah memeluk Islam waktu usia 23 tahun bersama ayahnya Abu Sufyan, saudaranya Yazin bin Abu Sufyan dan Ibunya, Hindun srta beberapa penduduk Makkah lainnya ketika terjadi penaklukan Makkah (Fathumakkah).[9] Menurut Ahmad Syalabi, Nabi Muhammad SAW berusaha mendekatkan orang yang baru masuk Islam diantara pemimpin keluarga ternama kepadanya, agar perihatin kepada Islam benar-benar tertanam dihati mereka.[10] Disamping itu, karena Muawwiyah memiliki kecerdasan, pandai baca tulis, sehingga dalam waktu singkat dapat bergaul dengan Nabi dan sahabat lainnya dan diberi kepercayaan untuk menjadi salah seorang salah seorang penulis wahyu. Selain itu, Muawiyah juga banyak meriwayatkan hadis, baik baik langsung dari Nabi maupun dari para sahabat dan saudara parempuannya, Habibah binti Abu Sufyan (isteri Nabi).[11]
Pengalaman demi pengalaman terus ia miliki, beliau banyak mengikuti kifrah perjalanan Nabi dan sahabat dan terlibat dalam berbagai penaklukan ke beberapa negeri musuh Islam sejak pemerintahan Abu Bakar as-shiddiq sampai Utsman bin Affan. Karir militrernya telah dimulai dengan cemerlang pada masa Abu Bakar, dimana ia diamanahi memimpin pasukan Islam ke zona tempur Syiria, Untuk memperkuat pasukan saudaranya, Yazid biun Abu Sufyan yang sedang berperan di front damaskus. Sementara karir politiknya telah dimulai pada masa pemerintahanUmar bin Khattab, sewaktu Umar mengangkatnya menjadi Distrik Damsyik, menggantikan saudaranya bin Abu Sufyan yang sudah meninggal dunia.[12]
Setelah Ustman menjadi khalifah, daerah kekuasaan Muawiyah diperluas yang meliputi wilayah Syiria, Palestina dan Libanon. Untuk itu, bila dilihat dari sudut kekuasaan dan kekuatan, muawiyah ketika itu hampir-hampir menyamai kekuasaan khalifah. Selain itu, daerah kekuasaannya sangat subur dan kaya raya, maka apa yang telah dicapai oleh Muawiyah inilah yang merupakan asset berharga dalam membentuk nama besarnya sebagai negarawan dan politikus ulung.[13]
Kalau dilaihat dari perjalanan karirnya, Muawiyah memenag sosok pemimpin yang mempunyai kecakapan dan berkat keberhasilan kepemimpinannya ia diangkat menjadi gubernur yang menguasai seluruh wilayah propinsi SyiriaOleh khalifah Umar. Ketika Ustman memegang tampuk kekhalifahan, ia tetap dikukuhkan sebagai gubernur Syiria dan selama masih jabatannya, ia giat melancarkan perluasan wilayah kekuasaan Islam sampai pada perbatasan kekuasaan Bizantium[14].
Pada masa pemerintahan Ali, Muawiyah terlibat konflik dengan Ali untuk mempertahankan kedudukannya sebagai gubernur Syiria dan pada saat itulah mulailah timbul ambisinya untuk menjadi khalifah dengan mendirikan pemerintahan Dinasti Bani Umayyah.[15]
Keberhasilan Umayyah mendirikan Dinasti Umayyah disebabkan dalam dirinya terkumpul sifat-sifat penguasa, politikus dan administrator. Ia pandai bergaul dengan berbagai karakter dan tempramen manusia, sehingga ia dapat mengakumulasikan berbagai kecakapan tokoh-tokoh pendukungnya.[16]
Muawiyah juga adalah seorang peneliti yang tekun akan sifat dan karakter manusia dan memperoleh wawasan yang luas tentang pikiran orang lain. Dia juga berhasil memanfaatkan para pemimpin, administrator dan politikus yang paling ahli pada saatr itu. Disamping itu Muawiyah juga adalah seorang ahli pidato dan orator yang paling ulung.[17]
Disamping itu Muawiyah juga memiliki basis rasional yang solid bagi landasan karir politiknya dimasa depan dan pada masanya. Faktanya adalah beberapa dukungan yang kuat dari rakyat Syiria dan dari keluarganya sendiri, demikian ia juga memliki basis rasional yang solid bagi landasan karir politiknya dimasa depan pada masanya. Faktanya adalah beberapa dukungan dari rakyat Syiria dan dari keluarganya sendiri, demikian ia juga memiliki kebijaksanaan dalam menempatkan orang-orangya pada jabatan penting.[18]
B. Pembentukan Dinasti Umayah
Kelompok Bani Umayyah sejak semula menginginkan kursi khalifah dapat dipegang oleh mereka tetapi karena sebagian besar dari mereka dan tokoh-tokoh memeluk agama islam setelah pembebasan kotah Mekkah maka berhalanglah mereka untuk meraih kursih khalifah dengan cepat kemungkinan unruk meraih khalifah itu besar sekali ketika Ustman Banyak mengangkat kaum kerabatnya dari dari Bani Umayyah sebagai pejabat dan orang kepercayaannya. Sedangkan Muawiyyah bin Abi Sofyan sejak umar bin Khattab diangkat sebagai Gubernur seluruh wilayah Syam selama 20 Tahunsejak masa Usman inilah merupakan peluang yang besar bagi kelompok Bani Umayyah untuk meraih kursi Khalifah pada masa-masa berikutnya.[19]
Ketika Ali Menjadi Khalifah, beliau memecat pejabat-pejabat daerah yang diangkat oleh Ustman dan mengambil kembali tanah-tanah yang diberikan Ustman kepada kaum kerabatnya. Dengan demikian kebijaksanaan Ali tersebut menimbulkan rasa tidak puas Kelompok Banu Umayyah yang merasa dirugikan. Oleh sebab itu, oleh sebab itu kelompok ini berusaha mengambil ali kursi khalifah dari Ali, cara ini tidak berhasil akhirnya menempuh jalan Tahkim sampai terpecah kekuatan Ali , sementara kekuatan mereka dibawa kepemimpinan Muawiyah bin abi Sofyan Sampai Ali terbunuh.[20]
Setelah Khalifah ‘Ali bin Abi Tholib wafat, maka gubernur Syam waktu menjadi penguasa Islam yang kuat. Masa kekuasaannya, merupakan cikal bakal kedaulatan Bani Umayah. Mu’awiyah bin Abi Sufyan bin Harb adalah pendiri Bani Umayah yang sekaligus sebagai khalifah pertama.[21] Ia memimdahkan ibu kota kekuasaan Islam dari Kufah ke Damascus. Upaya strategis yang ditempuh Mu’awiyah dalam rangka untuk dapat merebut kekuasaan dan sekaligus mendirikan Dinasti Umayah adalah:
1. Pembentukan Kekuatan Militer di Syiria
Selama kurang lebih 20 tahun menjadi gubernur di Syiria, ia melihat Syiria sebagai daerah yang subur dan kuat ekonominya, ia menguasai seluruh sumber ekonomi yang ada diwilayah tersebut membuat Mu’awiyah mampu mengkonsolidasikan seluruh potensi dan kekuatan untuk dapat memperkuat posisinya dalam memegang kekuasaan, baik ketika ia menjadi gubernur maupun ketika ia mulai mendirikan dinasti bani umayyah.
Langkah strategis yang ditempu ole muawiyah selama menjadi gubernur Syiriah antara lain merekrut tentara bayaran baik dari kalangan masyarakat pribumi Syiriah maupun masyarakat imigran arab yang mayoritas dari keluarganya sendiri, disamping itu ia juga merangkul lawan-lawan politiknya yang mempunyai kcakapan selanjutnya ia menjadikan kedudukan yang penting kepada tokoh-tokoh yang berpengaruh jika ia kelak menjadi khalipah, misalnya ia berhasil merangkul sahabat Amr bin Ash mantang gubernur Mesir pada masa pemerintahan Ustman bin Affan.
2. Politisasi Tragedi Pembunuhan Ustman
Khalifah ‘Ali harus mengusut sebab-sebab kematian ‘Ustman dan sekaligus menghukumnya. Jika tuntutan ini tidak dipenuhi, maka dianggap bersekongkol dengan ‘Ali, sementara itu Khalifah ‘Ali tergolong pihak yang harus dihukum. Karenanya, ia harus dicopot dari jabatannya sebagai khalifah. Politisasi tragedi pembunuhan ‘Ustman ini adalah suatu hal, yang menurut Mu’awiyah, sangat efektif untuk menumbuhkan simpatik masyarakat Syiria dalam mendukung perjuangannya.
3. Tipu Muslihat dalam Arbiterase (Tahkim)
Ajakan perdamaian yang dilakukan muawiyah merupakan bagian dari langkah strategis untuk memecah bela kekuatan Ali, yang akhirnya peristiwa itu melahirkan kelompok-kelompok kecil yang menentang kebijakan Ali dan menjadi lawan Ali. Keputusan Ali menerimah ajakan perundingan tersebut mengecewakan sebagian pengikutnya karena mereka merasa sudah mendekati kemengana dalam peperangan. Ali senantiasa mengwmbalikan kelompok kecil yang menetangnya tapi tidak berhasil.
Dalam perundingan tersebut muawiyah diwakili oleh diplomat kawakan Amr Bin Ash sedang pihak ali diwakili oleh sahabat Abu Musa al-asyari. Hasil perundingan tersebut menetapkan bahwa kedudukan khalifah harus dilepaskan dan selanjutnya harus dipilih khalifah baru.
Secara de jure, perundingan yang terjadi meningkatkan kedudukan Mu’awiyah setingkat dengan kedudukan ‘Ali sebagai khalifah,[22] dengan demikian jelaslah bahwa perundingan ini hanya semata-mata tipu muslihat Muawiyah dengan mengeco diplomasi dengan pihak Ali.
Mu’awiyah meperoleh kursi kekhalifahan secara sah, setelah Hasan bin ‘Ali berdamai dengannya pada tahun 41 H. Umat Islam membaiat Hasan, ketika ayahnya ‘Ali meninggal. Namun Hasan menyadari kelemahannya, sehingga ia melakukan perdamaian dan menyerahkan kepemimpinan umat kepada Mu’awiyah dengan beberapa persyaratan. Tahun perdamaian itu dikenal dengan istilah ‘amul jamaah’ (tahun persatuan). Adapun persyaratan yang diajukan oleh Hasan kepada Mu’awiyah adalah:
Dengan dasar perdamaian ini, Hasan kemudian mengundurkan diri dan menyerahkan jabatan kekhalifahannya kepada Mu’awiyah, yang kemudian diumumkannya bahwa ia taat dan patuh kepada Mu’awiyah.[24] Sejak saat itu, Mu’awiyah dibaiat oleh umat Islam, termasuk Hasan dan Husain yang bertempat tinggal di Kufah.
Keberhasilan Mu’awiyah mendirikan Dinasti Umayah, tidak hanya karena akibat diplomasi siffin dan meninggalnya Ali, tetapi sebagai landasan politik di masa depan, memang telah dimotori oleh beberapa hal, yaitu :
Dukungan yang sangat kuat dari rakyat Syiria serta dari Bani Umayah sendiri;
Sebagai seorang administrator, Mu’awiyah sangat bijaksana dalam menempatkan para pembantunya dalam jabatan-jabatan penting, seperti ‘Amr bin As pemimpin militer, Mugirah bin Syu’bah menjadi gubernur di Kufah, dan Yazid bin Abihi menjadi gubernur di Basrah
Karena Mu’awiyah memiliki kemampuan sebagai negarawan sejati.[25]
Silsilah Khalifah-Khalifah Daulah Bani Umayyah sebagai berikur:[26]
Dinasti Umaiyah berkuasa hampir satu abad, tepatnya selama 90 tahun. Ibu kota negara dipindahkan Muawiyah dari Madinah ke Damaskus tempat ia berkuasa sebagai gubernur sebelumnya ada 14 orang khalifah diawali oleh Muawiyah ibnu Abi Sofyan dan diakhiri oleh Marwan ibn Muhammad. Di antara mereka ada pemimpin-pemimpin besar yang berjasa di dalam berbagai bidang sesuai dengan kehendak zamannya, sebaliknya ada pula khalifah yang tidak patut dan lemah[27].
Berikut akan diuraikan urutan nama-nama khalifah Umaiyah yang memegang pemerintahan (berkuasa) selama dalam priode Damaskus dan Cordoba. Dan khusus mengenai priode di Cordoba pada makalah ini tidak diuraikan panjang lebar, karena titik pembahasannya hanya pada priode Umaiyah di Damaskus.
Adapun urutan nama khalifah Umayyah pada priode Damaskusadalah sebagai berikut
1. Muawiyah bin Abu Sofyan ( 40-60 H = 660-680 M )
2. Yazid I ( Ibnu Muawiyah) ( 60-64 H = 680-684 M)
3. Muawiyah II (Ibnu Yazid) ( 64 H 684 M )
4. Marwan I ( Ibnu Hakam) ( 64 – 65 H = 684 – 685 M )
5. Abdul Malik bin Marwan ( 65 – 86 H = 685 – 705 M )
6. Walid I (Ibnu Abdul Malik) ( 86 – 96 H = 705 – 715 M)
7. Sulaiman ibn Abdul Malik ( 96 – 99 H = 715 –1718 M)
8. Umar ibn Abdul Azis ( 99 – 101 H = 718 – 720 M)
9. Yazid II (ibn Abdul Malik ( 101 – 105H = 720 – 724 M)
10. Hisyam ibn Abdul Malik (105 – 125 H = 724 – 743 M)
11. Al-Walid II (Ibn Yazid II) (127 – 132 H = 745 – 750 M)
12. Ibrahim ibn Al-Walid II ( 132 H = 750 M)[28]
13. Marwan II (ibn Muhammad) (127 – 132 = 745 – 750 M).
Setelah Ustman menjadi khalifah, daerah kekuasaan Muawiyah diperluas yang meliputi wilayah Syiria, Palestina dan Libanon. Untuk itu, bila dilihat dari sudut kekuasaan dan kekuatan, muawiyah ketika itu hampir-hampir menyamai kekuasaan khalifah. Selain itu, daerah kekuasaannya sangat subur dan kaya raya, maka apa yang telah dicapai oleh Muawiyah inilah yang merupakan asset berharga dalam membentuk nama besarnya sebagai negarawan dan politikus ulung.[13]
Kalau dilaihat dari perjalanan karirnya, Muawiyah memenag sosok pemimpin yang mempunyai kecakapan dan berkat keberhasilan kepemimpinannya ia diangkat menjadi gubernur yang menguasai seluruh wilayah propinsi SyiriaOleh khalifah Umar. Ketika Ustman memegang tampuk kekhalifahan, ia tetap dikukuhkan sebagai gubernur Syiria dan selama masih jabatannya, ia giat melancarkan perluasan wilayah kekuasaan Islam sampai pada perbatasan kekuasaan Bizantium[14].
Pada masa pemerintahan Ali, Muawiyah terlibat konflik dengan Ali untuk mempertahankan kedudukannya sebagai gubernur Syiria dan pada saat itulah mulailah timbul ambisinya untuk menjadi khalifah dengan mendirikan pemerintahan Dinasti Bani Umayyah.[15]
Keberhasilan Umayyah mendirikan Dinasti Umayyah disebabkan dalam dirinya terkumpul sifat-sifat penguasa, politikus dan administrator. Ia pandai bergaul dengan berbagai karakter dan tempramen manusia, sehingga ia dapat mengakumulasikan berbagai kecakapan tokoh-tokoh pendukungnya.[16]
Muawiyah juga adalah seorang peneliti yang tekun akan sifat dan karakter manusia dan memperoleh wawasan yang luas tentang pikiran orang lain. Dia juga berhasil memanfaatkan para pemimpin, administrator dan politikus yang paling ahli pada saatr itu. Disamping itu Muawiyah juga adalah seorang ahli pidato dan orator yang paling ulung.[17]
Disamping itu Muawiyah juga memiliki basis rasional yang solid bagi landasan karir politiknya dimasa depan dan pada masanya. Faktanya adalah beberapa dukungan yang kuat dari rakyat Syiria dan dari keluarganya sendiri, demikian ia juga memliki basis rasional yang solid bagi landasan karir politiknya dimasa depan pada masanya. Faktanya adalah beberapa dukungan dari rakyat Syiria dan dari keluarganya sendiri, demikian ia juga memiliki kebijaksanaan dalam menempatkan orang-orangya pada jabatan penting.[18]
B. Pembentukan Dinasti Umayah
Kelompok Bani Umayyah sejak semula menginginkan kursi khalifah dapat dipegang oleh mereka tetapi karena sebagian besar dari mereka dan tokoh-tokoh memeluk agama islam setelah pembebasan kotah Mekkah maka berhalanglah mereka untuk meraih kursih khalifah dengan cepat kemungkinan unruk meraih khalifah itu besar sekali ketika Ustman Banyak mengangkat kaum kerabatnya dari dari Bani Umayyah sebagai pejabat dan orang kepercayaannya. Sedangkan Muawiyyah bin Abi Sofyan sejak umar bin Khattab diangkat sebagai Gubernur seluruh wilayah Syam selama 20 Tahunsejak masa Usman inilah merupakan peluang yang besar bagi kelompok Bani Umayyah untuk meraih kursi Khalifah pada masa-masa berikutnya.[19]
Ketika Ali Menjadi Khalifah, beliau memecat pejabat-pejabat daerah yang diangkat oleh Ustman dan mengambil kembali tanah-tanah yang diberikan Ustman kepada kaum kerabatnya. Dengan demikian kebijaksanaan Ali tersebut menimbulkan rasa tidak puas Kelompok Banu Umayyah yang merasa dirugikan. Oleh sebab itu, oleh sebab itu kelompok ini berusaha mengambil ali kursi khalifah dari Ali, cara ini tidak berhasil akhirnya menempuh jalan Tahkim sampai terpecah kekuatan Ali , sementara kekuatan mereka dibawa kepemimpinan Muawiyah bin abi Sofyan Sampai Ali terbunuh.[20]
Setelah Khalifah ‘Ali bin Abi Tholib wafat, maka gubernur Syam waktu menjadi penguasa Islam yang kuat. Masa kekuasaannya, merupakan cikal bakal kedaulatan Bani Umayah. Mu’awiyah bin Abi Sufyan bin Harb adalah pendiri Bani Umayah yang sekaligus sebagai khalifah pertama.[21] Ia memimdahkan ibu kota kekuasaan Islam dari Kufah ke Damascus. Upaya strategis yang ditempuh Mu’awiyah dalam rangka untuk dapat merebut kekuasaan dan sekaligus mendirikan Dinasti Umayah adalah:
1. Pembentukan Kekuatan Militer di Syiria
Selama kurang lebih 20 tahun menjadi gubernur di Syiria, ia melihat Syiria sebagai daerah yang subur dan kuat ekonominya, ia menguasai seluruh sumber ekonomi yang ada diwilayah tersebut membuat Mu’awiyah mampu mengkonsolidasikan seluruh potensi dan kekuatan untuk dapat memperkuat posisinya dalam memegang kekuasaan, baik ketika ia menjadi gubernur maupun ketika ia mulai mendirikan dinasti bani umayyah.
Langkah strategis yang ditempu ole muawiyah selama menjadi gubernur Syiriah antara lain merekrut tentara bayaran baik dari kalangan masyarakat pribumi Syiriah maupun masyarakat imigran arab yang mayoritas dari keluarganya sendiri, disamping itu ia juga merangkul lawan-lawan politiknya yang mempunyai kcakapan selanjutnya ia menjadikan kedudukan yang penting kepada tokoh-tokoh yang berpengaruh jika ia kelak menjadi khalipah, misalnya ia berhasil merangkul sahabat Amr bin Ash mantang gubernur Mesir pada masa pemerintahan Ustman bin Affan.
2. Politisasi Tragedi Pembunuhan Ustman
Khalifah ‘Ali harus mengusut sebab-sebab kematian ‘Ustman dan sekaligus menghukumnya. Jika tuntutan ini tidak dipenuhi, maka dianggap bersekongkol dengan ‘Ali, sementara itu Khalifah ‘Ali tergolong pihak yang harus dihukum. Karenanya, ia harus dicopot dari jabatannya sebagai khalifah. Politisasi tragedi pembunuhan ‘Ustman ini adalah suatu hal, yang menurut Mu’awiyah, sangat efektif untuk menumbuhkan simpatik masyarakat Syiria dalam mendukung perjuangannya.
3. Tipu Muslihat dalam Arbiterase (Tahkim)
Ajakan perdamaian yang dilakukan muawiyah merupakan bagian dari langkah strategis untuk memecah bela kekuatan Ali, yang akhirnya peristiwa itu melahirkan kelompok-kelompok kecil yang menentang kebijakan Ali dan menjadi lawan Ali. Keputusan Ali menerimah ajakan perundingan tersebut mengecewakan sebagian pengikutnya karena mereka merasa sudah mendekati kemengana dalam peperangan. Ali senantiasa mengwmbalikan kelompok kecil yang menetangnya tapi tidak berhasil.
Dalam perundingan tersebut muawiyah diwakili oleh diplomat kawakan Amr Bin Ash sedang pihak ali diwakili oleh sahabat Abu Musa al-asyari. Hasil perundingan tersebut menetapkan bahwa kedudukan khalifah harus dilepaskan dan selanjutnya harus dipilih khalifah baru.
Secara de jure, perundingan yang terjadi meningkatkan kedudukan Mu’awiyah setingkat dengan kedudukan ‘Ali sebagai khalifah,[22] dengan demikian jelaslah bahwa perundingan ini hanya semata-mata tipu muslihat Muawiyah dengan mengeco diplomasi dengan pihak Ali.
Mu’awiyah meperoleh kursi kekhalifahan secara sah, setelah Hasan bin ‘Ali berdamai dengannya pada tahun 41 H. Umat Islam membaiat Hasan, ketika ayahnya ‘Ali meninggal. Namun Hasan menyadari kelemahannya, sehingga ia melakukan perdamaian dan menyerahkan kepemimpinan umat kepada Mu’awiyah dengan beberapa persyaratan. Tahun perdamaian itu dikenal dengan istilah ‘amul jamaah’ (tahun persatuan). Adapun persyaratan yang diajukan oleh Hasan kepada Mu’awiyah adalah:
- Agar Mu’awiyah tidak menaruh dendam kepada penduduk Irak;
- Menjamin keamanan dan memaafkan kesalahan mereka;
- Agar pajak negeri Ahwaz diperuntukkan kepadanya dan diberikan setiap tahunnya;
- Agar Mu’awiyah membayar kepada saudaranya, Husain, 2 juta dirham; dan
- Pemberian kepada Bani Hasyim haruslah lebih banyak daripada pemberian kepada Bani ‘Abd al-Syams.[23]
Dengan dasar perdamaian ini, Hasan kemudian mengundurkan diri dan menyerahkan jabatan kekhalifahannya kepada Mu’awiyah, yang kemudian diumumkannya bahwa ia taat dan patuh kepada Mu’awiyah.[24] Sejak saat itu, Mu’awiyah dibaiat oleh umat Islam, termasuk Hasan dan Husain yang bertempat tinggal di Kufah.
Keberhasilan Mu’awiyah mendirikan Dinasti Umayah, tidak hanya karena akibat diplomasi siffin dan meninggalnya Ali, tetapi sebagai landasan politik di masa depan, memang telah dimotori oleh beberapa hal, yaitu :
Dukungan yang sangat kuat dari rakyat Syiria serta dari Bani Umayah sendiri;
Sebagai seorang administrator, Mu’awiyah sangat bijaksana dalam menempatkan para pembantunya dalam jabatan-jabatan penting, seperti ‘Amr bin As pemimpin militer, Mugirah bin Syu’bah menjadi gubernur di Kufah, dan Yazid bin Abihi menjadi gubernur di Basrah
Karena Mu’awiyah memiliki kemampuan sebagai negarawan sejati.[25]
Silsilah Khalifah-Khalifah Daulah Bani Umayyah sebagai berikur:[26]
Dinasti Umaiyah berkuasa hampir satu abad, tepatnya selama 90 tahun. Ibu kota negara dipindahkan Muawiyah dari Madinah ke Damaskus tempat ia berkuasa sebagai gubernur sebelumnya ada 14 orang khalifah diawali oleh Muawiyah ibnu Abi Sofyan dan diakhiri oleh Marwan ibn Muhammad. Di antara mereka ada pemimpin-pemimpin besar yang berjasa di dalam berbagai bidang sesuai dengan kehendak zamannya, sebaliknya ada pula khalifah yang tidak patut dan lemah[27].
Berikut akan diuraikan urutan nama-nama khalifah Umaiyah yang memegang pemerintahan (berkuasa) selama dalam priode Damaskus dan Cordoba. Dan khusus mengenai priode di Cordoba pada makalah ini tidak diuraikan panjang lebar, karena titik pembahasannya hanya pada priode Umaiyah di Damaskus.
Adapun urutan nama khalifah Umayyah pada priode Damaskusadalah sebagai berikut
1. Muawiyah bin Abu Sofyan ( 40-60 H = 660-680 M )
2. Yazid I ( Ibnu Muawiyah) ( 60-64 H = 680-684 M)
3. Muawiyah II (Ibnu Yazid) ( 64 H 684 M )
4. Marwan I ( Ibnu Hakam) ( 64 – 65 H = 684 – 685 M )
5. Abdul Malik bin Marwan ( 65 – 86 H = 685 – 705 M )
6. Walid I (Ibnu Abdul Malik) ( 86 – 96 H = 705 – 715 M)
7. Sulaiman ibn Abdul Malik ( 96 – 99 H = 715 –1718 M)
8. Umar ibn Abdul Azis ( 99 – 101 H = 718 – 720 M)
9. Yazid II (ibn Abdul Malik ( 101 – 105H = 720 – 724 M)
10. Hisyam ibn Abdul Malik (105 – 125 H = 724 – 743 M)
11. Al-Walid II (Ibn Yazid II) (127 – 132 H = 745 – 750 M)
12. Ibrahim ibn Al-Walid II ( 132 H = 750 M)[28]
13. Marwan II (ibn Muhammad) (127 – 132 = 745 – 750 M).
Tempat di antara khalifah memegang kekuasaan sepanjang 70 tahun, yaitu Muah, Abdul Malik al-Walid I dan Hisyam. Sedangkan sepuluh khalifah sisanya hanya memerintah dalam jangka waktu 20 tahun saja. Para pencatat sejarah umumnya sependapat bahwa khalifah-khalifah terbesar mereka ialah: Muawiyah, Abdul Malik dan Umar ibn Abdul Aziz.[29] Sedangkan pada priode Cordoba (Spanyol) adalah sebagai berikut:
1. Abdurrahman I (139-172 H=756-788 M)
2. Hisyam I (172-180 H=788-796 M)
3. al-Hakam I (180-207 H=796-822 M)
4. Abdurrahman II (207-238 H=822-852 M)
5. Muhammad I (238-273 H=852-886 M)
6. al-Mundir (273-275 H=886-888 M)
7. Abdullah (275-300 H=888-912 M)
8. Abdurrahman III (300-350 H=912-961 M)
9. al-Hakam II (350-366 H=961-976 M)
10. Hisyam II (366-391 H=976-1000 M)
11. Muhammad II (391-400 H=1000-1009 M)
12. Sulaiman I (400-401 H=1009-1010 M)
13. Hisyam III (401-404 H=1010-1013 M)
14. Sulaiman II (404-407 H=1013-1016 M)
15. Abdurrahman IV (409 H = 1018 M)
16. Abdurrahman V (414 H = 1023 M)
17. Muhammad III (414-416 H=1023-1025 M)
18. Hisyam IV (418-423 H=1027-1031 M).
C. Perkembangan Politik Bani Umayah
Tampilnya Mu’awiyah sebagai pemegang tampuk kekuasaan dan sekaligus mengakhiri sistem pemerintahan yang telah ada sebelumnya (sistem pemerintahan yang demokratis), maka sistem kekhalifahan menjadi semacam monarchy heredities (kerajaan turun temurun). Kursi kepemimpinan diperoleh melalui pedang, diplomasi dan tipu daya, sehingga jabatan kekuasaan tidak lagi diperoleh melalui pemilihan dengan suara terbanyak. Hal itu terlihat ketika Mu’awiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan kesetiaan kepada anaknya, Yazid, sebagai putera mahkota. Karenanya, penggantian khalifah secara turun temurun dimulai pada saat itu.[30]
Dengan memperhatikan sepintas lalu pergumulan Mu’awiyah di pentas politik, terutama pada saat genting berhadapan dengan ‘Ali, maka dengan sendirinya akan tampak kelicikan-kelicikannya, Mu’awiyah yang merupakan sosok cerdik dalam strategi, pemimpin yang tegas dalam berucap dan tidak mengenal kata tidak; ia berhasil mermpengaruhi ‘Amr bin al-As, gubernur dan penakluk Mesir untuk bekerja sama menggulingkan ‘Ali.[31]
Mu’awiyah sangat berambisi untuk menjadi khalifah, ambisi tersebut mendapat momentum yang sangat baik ketika Khalifah ‘Ustman terbunuh. Saat itu ia tidak setuju kalau ‘Ali menjadi khalifah, karena itu ia justeru menjadikan kematian Khalifah ‘Uutman sebagai alat provokasi untuk menjatuhkan ‘Ali, dengan alasan ingin menuntut balas atas kematian ’Ustman. Selanjutnya Mu’awiyah membentuk partai oposisi, dengan tokoh utamanya adalah para gubernur yang telah dipecat oleh ‘Ali. Selain itu, ia juga berusaha membangkitkan amarah rakyat yang mendukungnya untuk menentang ‘Ali, dengan cara memperlihatkan barang-barang milik ‘Ustman yang berlumuran darah. Ia juga memperlihatkan potongan jari dari isteri ‘Ustman, Naila, di Mesjid Damascus. Dramatisasi yang dilakukan Mu’awiyah atas pembunuhan ‘Ustman, sangat efektif untuk menimbulkan fanatisme masyarakat Syiria dalam memberikan dukungan atas perjuangan Mu’awiyah.[32]
Selain dramatisasi tersebut, juga langkah-langkah strategis yang dilakukan Mu’awiyah adalah dengan cara merekrut lawan-lawan politik yang dianggap cakap, dengan tidak segan-segan menawarkan kekayaan, bahkan menjanjikan jabatan penting dalam pemerintahannya jika kelak ia bisa menjadi khalifah.
Pada saat terjadi pertempuran antara pasukan Mu’awiyah dengan pasukan ‘Ali, ia merasa terdesak, maka orang-orang kepercayaannya, yaitu ‘Amr bin al-as tampil menawarkan tahkim (arbiterase) yang kemudian berhasil memecah belah kekuatan pasukan ‘Ali. Tampaknya upaya arbiterase yang dilakukan oleh ‘Amr bin al-As ini semakin memperkuat dukungan dan posisi Mu’awiyah. Sementara itu, pasukan ‘Ali sebagai musuh utamanya semakin berada dalam posisi yang terjepit dan lemah, karena ditinggalkan oleh pasukannya yang tidak menyetujui arbiterase tersebut. Bahkan mereka ini kemudian justeru kembali menyerang, sehingga pasukan ‘Ali semakin berkurang. Di sisi lain, Mu’awiyah tetap saja berkuasa di Damascus, sehingga setelah ‘Ali wafat, dengan mudah Mu’awiyah memperkuat kedudukannya sebagai khalifah pada tahun 661 M.[33]
Dengan tampilnya Mu’awiyah menjadi khalifah menandai berakhirnya sistem pemerintahan era Khulafa al-Rasyidin dan tradisi pengangkatan khalifah dengan jalan musyawarah pun berakhir. Mu’awiyah memperoleh kedudukan, tidak lagi berdasarkan persetujuan tokoh-tokoh masyarakat atau dukungan suara terbanyak. Akan tetapi, jabatan itu diperoleh melalui usaha-usaha yang licik, kemudian setelah beliau meninggal, ia digantikan oleh anaknya, Yazid, yang juga tidak dengan persetujuan dari umat Islam.[34] bahkan ketika Yazid akan dilantik sejumlah tokoh Islam menolak pelantikan tersebut dan menolak menyatakan setia kepadanya.[35] Bahkan beberapa kelompok tabiĆn melakukan pemberontakan seperti yang dilakukan oleh Abdullah ibn Zubair.[36]
Selain itu, masa pemerintahan Muawiyah juga ditandai dengan pertentangan keras dari etnis-etnis yang ada. Kelompok etnis yang paling sering muncul dalam pertarungan ini adalah suku utara dan suku selatan. Pertentangan ini diperparah dengan keberpihakan khalifah pada satu kelompok etnis.[37]
Seperti yang digambarkan dalam kesuksesannya Muawiyyah bin Abi Sofyan disaat memegang kekuasaan berpendapat cara yang paling baik untuk mengalihkan perhatian kaum muslim in masalah pertikaian dalam negeri khususnya yang menyangkut masalah “sia[pa yang paling berhak dalam menduduki kursi khilafah” adalah mengirimkan tentara Islam kenegeri-negeri yang belum termasuk wilayah Islam dalam rangka merealisasi penyiaran Islam. Oleh sebab itu beliau membangun armada Islam besar dan dilengkapi dengan sejumlah kapal besar , lalu beliau membentuk pasukan dingin dan panas untuk mengembang misinya itu.
1. Abdurrahman I (139-172 H=756-788 M)
2. Hisyam I (172-180 H=788-796 M)
3. al-Hakam I (180-207 H=796-822 M)
4. Abdurrahman II (207-238 H=822-852 M)
5. Muhammad I (238-273 H=852-886 M)
6. al-Mundir (273-275 H=886-888 M)
7. Abdullah (275-300 H=888-912 M)
8. Abdurrahman III (300-350 H=912-961 M)
9. al-Hakam II (350-366 H=961-976 M)
10. Hisyam II (366-391 H=976-1000 M)
11. Muhammad II (391-400 H=1000-1009 M)
12. Sulaiman I (400-401 H=1009-1010 M)
13. Hisyam III (401-404 H=1010-1013 M)
14. Sulaiman II (404-407 H=1013-1016 M)
15. Abdurrahman IV (409 H = 1018 M)
16. Abdurrahman V (414 H = 1023 M)
17. Muhammad III (414-416 H=1023-1025 M)
18. Hisyam IV (418-423 H=1027-1031 M).
C. Perkembangan Politik Bani Umayah
Tampilnya Mu’awiyah sebagai pemegang tampuk kekuasaan dan sekaligus mengakhiri sistem pemerintahan yang telah ada sebelumnya (sistem pemerintahan yang demokratis), maka sistem kekhalifahan menjadi semacam monarchy heredities (kerajaan turun temurun). Kursi kepemimpinan diperoleh melalui pedang, diplomasi dan tipu daya, sehingga jabatan kekuasaan tidak lagi diperoleh melalui pemilihan dengan suara terbanyak. Hal itu terlihat ketika Mu’awiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan kesetiaan kepada anaknya, Yazid, sebagai putera mahkota. Karenanya, penggantian khalifah secara turun temurun dimulai pada saat itu.[30]
Dengan memperhatikan sepintas lalu pergumulan Mu’awiyah di pentas politik, terutama pada saat genting berhadapan dengan ‘Ali, maka dengan sendirinya akan tampak kelicikan-kelicikannya, Mu’awiyah yang merupakan sosok cerdik dalam strategi, pemimpin yang tegas dalam berucap dan tidak mengenal kata tidak; ia berhasil mermpengaruhi ‘Amr bin al-As, gubernur dan penakluk Mesir untuk bekerja sama menggulingkan ‘Ali.[31]
Mu’awiyah sangat berambisi untuk menjadi khalifah, ambisi tersebut mendapat momentum yang sangat baik ketika Khalifah ‘Ustman terbunuh. Saat itu ia tidak setuju kalau ‘Ali menjadi khalifah, karena itu ia justeru menjadikan kematian Khalifah ‘Uutman sebagai alat provokasi untuk menjatuhkan ‘Ali, dengan alasan ingin menuntut balas atas kematian ’Ustman. Selanjutnya Mu’awiyah membentuk partai oposisi, dengan tokoh utamanya adalah para gubernur yang telah dipecat oleh ‘Ali. Selain itu, ia juga berusaha membangkitkan amarah rakyat yang mendukungnya untuk menentang ‘Ali, dengan cara memperlihatkan barang-barang milik ‘Ustman yang berlumuran darah. Ia juga memperlihatkan potongan jari dari isteri ‘Ustman, Naila, di Mesjid Damascus. Dramatisasi yang dilakukan Mu’awiyah atas pembunuhan ‘Ustman, sangat efektif untuk menimbulkan fanatisme masyarakat Syiria dalam memberikan dukungan atas perjuangan Mu’awiyah.[32]
Selain dramatisasi tersebut, juga langkah-langkah strategis yang dilakukan Mu’awiyah adalah dengan cara merekrut lawan-lawan politik yang dianggap cakap, dengan tidak segan-segan menawarkan kekayaan, bahkan menjanjikan jabatan penting dalam pemerintahannya jika kelak ia bisa menjadi khalifah.
Pada saat terjadi pertempuran antara pasukan Mu’awiyah dengan pasukan ‘Ali, ia merasa terdesak, maka orang-orang kepercayaannya, yaitu ‘Amr bin al-as tampil menawarkan tahkim (arbiterase) yang kemudian berhasil memecah belah kekuatan pasukan ‘Ali. Tampaknya upaya arbiterase yang dilakukan oleh ‘Amr bin al-As ini semakin memperkuat dukungan dan posisi Mu’awiyah. Sementara itu, pasukan ‘Ali sebagai musuh utamanya semakin berada dalam posisi yang terjepit dan lemah, karena ditinggalkan oleh pasukannya yang tidak menyetujui arbiterase tersebut. Bahkan mereka ini kemudian justeru kembali menyerang, sehingga pasukan ‘Ali semakin berkurang. Di sisi lain, Mu’awiyah tetap saja berkuasa di Damascus, sehingga setelah ‘Ali wafat, dengan mudah Mu’awiyah memperkuat kedudukannya sebagai khalifah pada tahun 661 M.[33]
Dengan tampilnya Mu’awiyah menjadi khalifah menandai berakhirnya sistem pemerintahan era Khulafa al-Rasyidin dan tradisi pengangkatan khalifah dengan jalan musyawarah pun berakhir. Mu’awiyah memperoleh kedudukan, tidak lagi berdasarkan persetujuan tokoh-tokoh masyarakat atau dukungan suara terbanyak. Akan tetapi, jabatan itu diperoleh melalui usaha-usaha yang licik, kemudian setelah beliau meninggal, ia digantikan oleh anaknya, Yazid, yang juga tidak dengan persetujuan dari umat Islam.[34] bahkan ketika Yazid akan dilantik sejumlah tokoh Islam menolak pelantikan tersebut dan menolak menyatakan setia kepadanya.[35] Bahkan beberapa kelompok tabiĆn melakukan pemberontakan seperti yang dilakukan oleh Abdullah ibn Zubair.[36]
Selain itu, masa pemerintahan Muawiyah juga ditandai dengan pertentangan keras dari etnis-etnis yang ada. Kelompok etnis yang paling sering muncul dalam pertarungan ini adalah suku utara dan suku selatan. Pertentangan ini diperparah dengan keberpihakan khalifah pada satu kelompok etnis.[37]
Seperti yang digambarkan dalam kesuksesannya Muawiyyah bin Abi Sofyan disaat memegang kekuasaan berpendapat cara yang paling baik untuk mengalihkan perhatian kaum muslim in masalah pertikaian dalam negeri khususnya yang menyangkut masalah “sia[pa yang paling berhak dalam menduduki kursi khilafah” adalah mengirimkan tentara Islam kenegeri-negeri yang belum termasuk wilayah Islam dalam rangka merealisasi penyiaran Islam. Oleh sebab itu beliau membangun armada Islam besar dan dilengkapi dengan sejumlah kapal besar , lalu beliau membentuk pasukan dingin dan panas untuk mengembang misinya itu.
Pertama, beliau mengirim pasukan kenegeri Sind.
Kedua, tentara Islam dapat mamasuki daerah khurasan, kota Bukhara dan Samarkand sehingga Negeri-negeri tersebut dapat dikuasai setelah melalui peperangan yang sengit.
Ketiga , Muawiyyah Mengirim pasukannya ke Konstantinopel.
Kedua, tentara Islam dapat mamasuki daerah khurasan, kota Bukhara dan Samarkand sehingga Negeri-negeri tersebut dapat dikuasai setelah melalui peperangan yang sengit.
Ketiga , Muawiyyah Mengirim pasukannya ke Konstantinopel.
Keempat, pada tahun 50 masehi Muawiyah mengutus 10.000 pasukan kepada Uqban bin Nafi’yan menjadi penguasa dibargah pada saat Amr menjadi Gubernur Mesir.[38]
KESIMPULAN
Dengan bertolak dari pembahasan terdahulu, maka dapat disimpulkan bahwa, yang menjadi cikal bakal terbentuknya Dinasti Umayah adalah dengan adanya arbiterase yang dimenangkan Mu’awiyah. Dengan terbunuhnya ‘Ali, memberikan peluang yang besar bagi Mu’awiyah untuk memproklamirkan diri sebagai khalifah.
Jadi kekuasaan Mu’awiyah berawal dari kekuasaan Dinati Umayah, pemerintahan yang bersifat demokratis berubah menjadi sistem pemerintahan yang monarchy heredities (kekuasaan turun temurun).
Kekuasaan Daulah Umayah berlangsung dalam kurun waktu selama 90 tahun, dengan sejumlah kemajuan yang berhasil dicapainya, dan salah satu di antaranya adalah dalam bidang politik.
Kekuasaan Mu’awiyah mendirikan Dinasti Umayah, bukan hanya diperoleh dengan kemenangannya melalui arbiterase yang licik, tetapi juga mendapat dukungan dari rakyat Syiria dan keluarganya yang memiliki kemampuan yang menonjol sebagai negarawan sejati.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, K. Sejarah Islam (Tarikh Pramodern). Cet.II; Jakarta: Rajawali Grafindo Persada, 1997.
Ali Maghribi, Muhammad, Tarikh al-Daulah al-Umayyah, Juz II, Cetakan I, Kairo: al-Madani, 1989
Amin Mansu Muhammad. Sejarah Peradaban Islam, Pt: Indonesia Peradaban Islam, Bandung, 2004.
Hasan, Hasan Ibrahim. Islamic History and Cultutral from 632-1968, diterjemahkan dengan judul “Sejarah dan Kebudayaan Islam: 632-1968”. Yogyakarta: Kota Kembang, 1989.
Mufrodi, Ali. Islam di Kawasan Kebudayaan Arab. Cet.III; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1985.
Sayyid al-Waqil, Muhammad, Wajah Dunia Islam Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1998
Shaban, M.A, Sejarah Islam Cetakan I, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1993
Sumanto, Musyrifah, Sejarah Islam Klasik (Cetakan I, Jakarta: Prenada Media, 2003)
Syadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara. Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1990.
Syalaby, A. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Cet.III; al-Husna Zikra, 1995.
Syaraf, Muhammad Jalil dan ‘Ali ‘Abd al-Mu’ty. Al-Fikr al-Siysi f³ al-Islam Syakhiyah wa Mahib. Iskandariyah: Dr al-Jam’ah al-Miriyyah, 1978.
Watt, Montgomery. Majesty that was Islam, diterjemahkan oleh Hartono Hadi Kusumo dengan judul “Kejayaan Islam dari Tokoh Orientalis”. Cet.I; Jakarta: Tiara Wacana, 1990.Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Cet XVI, Jakarta; Rajagrafindo Persada, 2004
Hitti k. Philip, History of the Arabs, Cet. I Jakarta; PT Serambi Ilmu Semesta, 2008.
Mufrodi, Ali. Islam di Kawasan Kebudayaan Arab. Cet.III; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1985.
Sayyid al-Waqil, Muhammad, Wajah Dunia Islam Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1998
Shaban, M.A, Sejarah Islam Cetakan I, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1993
Sumanto, Musyrifah, Sejarah Islam Klasik (Cetakan I, Jakarta: Prenada Media, 2003)
Syadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara. Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1990.
Syalaby, A. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Cet.III; al-Husna Zikra, 1995.
Syaraf, Muhammad Jalil dan ‘Ali ‘Abd al-Mu’ty. Al-Fikr al-Siysi f³ al-Islam Syakhiyah wa Mahib. Iskandariyah: Dr al-Jam’ah al-Miriyyah, 1978.
Watt, Montgomery. Majesty that was Islam, diterjemahkan oleh Hartono Hadi Kusumo dengan judul “Kejayaan Islam dari Tokoh Orientalis”. Cet.I; Jakarta: Tiara Wacana, 1990.Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Cet XVI, Jakarta; Rajagrafindo Persada, 2004
Hitti k. Philip, History of the Arabs, Cet. I Jakarta; PT Serambi Ilmu Semesta, 2008.
[1]Muammad Jall Syaraf dan ‘Ali ‘Abd al-Mu’ty, al-Fikr al-Siysi fi al-Islam Syakh¡iyah wa Mahtib (Iskandariyah: Dar al-Jama’ah al-Mi¡riyyah, 1978), h. 135-136.
[2]Ali Mafrodi, Islam di kawasan Kebudayaan Arab, (cetakan I, Jakarta: Logos, 1997), h. 69
[3] K. Ali, Sejarah Islam (Tarikh Pramodern) (Cetakan III, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000), h. 167
[4]Daerah-daerah yang dikuasai waktu itu meliputi: Spanyol, Afrika Urata, Syiria, Palestina, Semenanjung Arabia, Irak, sebagian dari wilayah Asia Kecil, Persia, Pakistan, Armenia, Uzbekistan, dan Kingis. Lihat Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1985), Jilid I, h. 62.
[5] Badri yatim, Sejarah Peradaban Islam (Cetakan XVI, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), h. 44
[6] Sumanto, Musyrifah, Sejarah Islam Klasik (Cetakan I, Jakarta: Prenada Media, 2003), h. 41
[7] Ah. Shalabi , sejarah Kebudayaan Islam, Jiid II,(Cet III; al-Huzna Zikra: Jkarta 1995), h. 20
[8] Ah, Shalabi, Ibid. h, 23 [9] Hasan Ibrahim, Sejarah Kebiudayaan Islam, (Cet, I. Yogyakarta, 1989), h. 18
[10] A. syalabi, op,cit. h. 21
[11] Prof. K Ali, Sejarah Islam , (Tarikh Paramodrn), (Cet. IV; PT. Raja Grafino Persada : Jakarta, 2003). H, 257
[12] A. Syalabi, Op. Cih. 21
[13] Ibid
[14] Taha Husain, Mala Petaka Terbesar Dalam Sejarah Islam , (Jakarta,: Pustaka Jaya, 1985), h. 161
[15] K Ali, Sejarah Islam , (Tarikh Paramodrn), (Cet. IV; PT. Raja Grafino Persada : Jakarta, 2003). h. 257
[16] Ibid. h. 258
[17] Syed Mahmud n Nasir, Islam; Its Concept and History, diterjemahkan oleh Adang Affandi dng judul : Islam Konsepsi dan Sejarahnya, (Cet. II; PT. Remaja Rosda Karya: Bandung, 1991)h. 203
[18] Ibid, h. 204
[19] Drs Muhammad Mansur Amin, Sejarah Peradaban Islam , Tc, Pt: Bandung; Indonesia Spirit Foundation, 2004), h. lihat juga: Philip k. Hitti Histori of the Arabs, (Cet. I Jakarta; PT Serambi Ilmu Semesta, 2008), h. 235-240.
[20]Masyhur Amin ibid, h. 8
[21]Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab (Cet.III; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 69
[22]K.Ali, Sejarah Islam (Tarikh Pramodern) (Cet.II; Jakarta: Rajawali Grafindo Persada, 1997), h. 167-169.
[23]Ali Mufrodi, Of Cit, h. 73
[24]A.Syalaby, Sejarah dan Kebudayaan Islam (Cet.III; al-Husna Zikra, 1995), Jilid II, h. 35.
[25] Idham, Karya Ilmiah, h, 5.[27] Ibid., h. 72.
[28]A. Jamil, op. cit., h. 165.
[29]Ali Mfrodi, op. cit., h. 73.
[30]Hasan Ibrahim Hasan, Islamic History and Cultutral from 632-1968, diterjemahkan dengan judul “Sejarah dan Kebudayaan Islam: 632-1968” (Yogyakarta: Kota Kembang, 1989), h. 66.
.[31] K.Ali, Op.Cit., h. 174.
[32] Ibid., h. 168.
[33]Harun Nasution, op.cit., h. 95.
[34] Munawir Syadzali, Islam dan Tata Negara (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1990), h. 34.
[35] Muhamad Sayyid al-Waqil, Wajah Dunia Islam (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1998) h. 47
[36] M.A Shaban, sejarah Islam (Cetakan I, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1993), h. 77
[37]Ali Maghribi, Muhammad, Tarikh al-Daulah al-Umayyah, (Juz II, Cetakan I, Kairo: al-Madani, 1989), h. 1290
[38]Muh. Masyur Amin, Op.cit, h. 88-89
[2]Ali Mafrodi, Islam di kawasan Kebudayaan Arab, (cetakan I, Jakarta: Logos, 1997), h. 69
[3] K. Ali, Sejarah Islam (Tarikh Pramodern) (Cetakan III, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000), h. 167
[4]Daerah-daerah yang dikuasai waktu itu meliputi: Spanyol, Afrika Urata, Syiria, Palestina, Semenanjung Arabia, Irak, sebagian dari wilayah Asia Kecil, Persia, Pakistan, Armenia, Uzbekistan, dan Kingis. Lihat Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1985), Jilid I, h. 62.
[5] Badri yatim, Sejarah Peradaban Islam (Cetakan XVI, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), h. 44
[6] Sumanto, Musyrifah, Sejarah Islam Klasik (Cetakan I, Jakarta: Prenada Media, 2003), h. 41
[7] Ah. Shalabi , sejarah Kebudayaan Islam, Jiid II,(Cet III; al-Huzna Zikra: Jkarta 1995), h. 20
[8] Ah, Shalabi, Ibid. h, 23 [9] Hasan Ibrahim, Sejarah Kebiudayaan Islam, (Cet, I. Yogyakarta, 1989), h. 18
[10] A. syalabi, op,cit. h. 21
[11] Prof. K Ali, Sejarah Islam , (Tarikh Paramodrn), (Cet. IV; PT. Raja Grafino Persada : Jakarta, 2003). H, 257
[12] A. Syalabi, Op. Cih. 21
[13] Ibid
[14] Taha Husain, Mala Petaka Terbesar Dalam Sejarah Islam , (Jakarta,: Pustaka Jaya, 1985), h. 161
[15] K Ali, Sejarah Islam , (Tarikh Paramodrn), (Cet. IV; PT. Raja Grafino Persada : Jakarta, 2003). h. 257
[16] Ibid. h. 258
[17] Syed Mahmud n Nasir, Islam; Its Concept and History, diterjemahkan oleh Adang Affandi dng judul : Islam Konsepsi dan Sejarahnya, (Cet. II; PT. Remaja Rosda Karya: Bandung, 1991)h. 203
[18] Ibid, h. 204
[19] Drs Muhammad Mansur Amin, Sejarah Peradaban Islam , Tc, Pt: Bandung; Indonesia Spirit Foundation, 2004), h. lihat juga: Philip k. Hitti Histori of the Arabs, (Cet. I Jakarta; PT Serambi Ilmu Semesta, 2008), h. 235-240.
[20]Masyhur Amin ibid, h. 8
[21]Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab (Cet.III; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 69
[22]K.Ali, Sejarah Islam (Tarikh Pramodern) (Cet.II; Jakarta: Rajawali Grafindo Persada, 1997), h. 167-169.
[23]Ali Mufrodi, Of Cit, h. 73
[24]A.Syalaby, Sejarah dan Kebudayaan Islam (Cet.III; al-Husna Zikra, 1995), Jilid II, h. 35.
[25] Idham, Karya Ilmiah, h, 5.[27] Ibid., h. 72.
[28]A. Jamil, op. cit., h. 165.
[29]Ali Mfrodi, op. cit., h. 73.
[30]Hasan Ibrahim Hasan, Islamic History and Cultutral from 632-1968, diterjemahkan dengan judul “Sejarah dan Kebudayaan Islam: 632-1968” (Yogyakarta: Kota Kembang, 1989), h. 66.
.[31] K.Ali, Op.Cit., h. 174.
[32] Ibid., h. 168.
[33]Harun Nasution, op.cit., h. 95.
[34] Munawir Syadzali, Islam dan Tata Negara (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1990), h. 34.
[35] Muhamad Sayyid al-Waqil, Wajah Dunia Islam (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1998) h. 47
[36] M.A Shaban, sejarah Islam (Cetakan I, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1993), h. 77
[37]Ali Maghribi, Muhammad, Tarikh al-Daulah al-Umayyah, (Juz II, Cetakan I, Kairo: al-Madani, 1989), h. 1290
[38]Muh. Masyur Amin, Op.cit, h. 88-89
4 komentar:
jujur dan ber imbang,sy setuju dgn tulisan ini yg mngambil latar belakang dr sejarah,jd jelas utk org2 yg selama ini mem bid'ah kan org yg benci ama muawiyah,siapa sesungguhnya muawiyah itu,
banyak orang yang menyalahkan, membenci, bahkan mengkafirkan orang lain tanpa mengetahui ilmunya heheheheh Miris......
makasih sobat..
kunjungi juga http://pacujalur2015.blogspot.co.id/2015/10/cara-meningkatkan-traffic-pengunjung.html dan http://pacujalur2015.blogspot.co.id/2015/10/cara-mendapatkan-uang-dari-blog-anda.html
jadi dari sejarah, memang muawiyah dengan ali itu bermusuhan ya?
tapi yang menang muawiyah..
ali di sisi jahat ya berarti?
Post a Comment