Tuesday 23 December 2014

Filsafat sejarah Murtadha Mutahhari


Menurut Muhammad Qutb, sejarah Islam yang berkembang dewasa ini memiliki tiga corak, yaitu; pertama, sejarah Islam yang diwarnai oleh dan diambil dari sumber-sumber Arab kuno. Kedua, sejarah Islam yang diambil dan diwarnai oleh sumber-sumber Barat melalui formulasi para orientalis yang juga menimba bahan-bahannya dari sumber Arab kuno. Ketiga, memutarbalikkan maksud nash (teks) secara sengaja dengan tujuan membuat kesimpulan-kesimpulan yang tidak ada hubungannya dengan nash tersebut atau dengan cara menambah atau menghilangkan beberapa kalimat sehingga nash tersebut memberikan makna yang tidak ada lagi kaitannya dengan nash itu sendiri. Di samping itu, mereka juga mempergunakan riwayat-riwayat lemah yang tidak terdapat dalam referensi-referensi Islam yang belum disaring, lalu dijadikan sebagai pegangan pokok sementara riwayat lain yang kuat dikesampingkan.

Melihat fenomena sejarah Islam tersebut, Muhammad Qutb mengungkapkan bahwa sejarah Islam perlu ditulis ulang. Alasannya agar sejarah dapat direkonstruksikan dengan apa adanya. Dalam penulisan tersebut, al-Qur’an dapat dijadikan sebagai titik berangkat dan paradigma. Menurut Mazheruddin Shiddiqi, al-Qur’an mendasarkan konsep sejarahnya pada manifestasi sifat individu dan sosial manusia dalam sejarah.2 Al-Qur’an tidak menelusuri evaluasi suatu masyarakat ataumemisahkan fase-fase yang berbeda-beda yang telah dilalui oleh masyarakat itu. Bahkan, Islam tidak memberikan kita suatu hukum tertentu tentang pertumbuhan dan kehancuran kebudayaan, tetapi hanya memperlihatkan dan menunjukkan fakta-fakta yang pasti tetap tentang sifat manusia dalam aspek kelompoknya dan memberikan tekanan tertentu pada faktor-faktor moral sosial yang mengakibatkan perusakan motivasi manusia dan penghancuran masyarakat yang telah rusak.

Al-Qur’an sebagai paradigma untuk perumusan teori, baik sejarah maupun ilmu pengetahuan yang lainnya juga diungkapkan oleh Kuntowijoyo. Menurutnya, paradigma al-Qur’an berarti suatu konstruksi pengetahuan yang memungkinkan untuk memahami realitas sebagaimana al-Qur’an memahaminya.3 Konstruksi pengetahuan itu dibangun oleh al-Qur’an pertama-tama dengan tujuan agar memiliki hikmah yang atas dasar itu dapat dibentuk perilaku yang sejalan dengan nilai-nilai normatif al-Qur’an, baik pada level moral maupun sosial. Akan tetapi, konstruksi pengetahuan itu juga memungkinkan kita merumuskan desain besar mengenai sistem Islam termasuk dalam hal sistem ilmu pengetahuan. Jadi, di samping memberikan gambaran aksiologis, paradigma al-Qur’an juga dapat berfungsi untuk memberikan wawasan epistemologis.

Salah seorang tokoh yang mampu memformulasikan konsep al-Qur’an dalam paradigma yang jelas terutama berkaitan dengan filsafat sejarah adalah Murtadha Muthahhari. Dia adalah ulama intelektual abad ke-20 yang dijadikan sebagai salah seorang model sarjana Islam yang telah memenuhi tiga syarat yang banyak diimpikan, tetapi jarang bertemu dalam satu pribadi, yaitu akar yang kokoh pada studi Islam tradisional, penguasaan memadai atas ilmu-ilmu nonagama, dan sebagai penulis prolifik yang memiliki karya-karya nyata di bidang sosial. Selain itu, Muthahhari juga memiliki latar belakang yang kuat dalam filsafat dan irfan (gnosis). Dia telah berupaya menerapkan kedua hal tersebut pada tataran realitas sosial kontemporer.

Biografi Singkat Murthada Muthahhari

Murthada Muthahhari adalah salah seorang tokoh arsitek utama revolusi Iran. Sumbangan utama Muthahhari bagi keberhasilan revolusi tersebut adalah menyiapkan landasan ideologisnya. Minat Muthahhari terhadap filsafat sangat berperan dalam perkembangan pemikirannya. Dia lahir dalam suatu lingkungan di mana tradisi pemikiran filsafat dan agama berkembang secara harmonis. Lingkungan tradisi intelektual Syi’ah merupakan satu-satunya lingkungan dalam dunia Islam yang senantiasa mengembangkan pemikiran filsafat tanpa pernah mengalami kemandegan.

Filsafat mendapat kedudukan khusus dalam diri Muthahhari sejak masa remajanya.4 Bagi Muthahhari, filsafat jauh lebih daripada sekadar alat polemik atau disiplin intelektual, melainkan juga suatu pola religiositas dan suatu jalan untuk memahami dan merumuskan Islam.

Murthada Muthahhari lahir pada 2 Februari 1919 di Khurasan. Ayahnya Hujjatul Islam Muhammad Husain Muthahhari adalah seorang ulama terkemuka yang belajar di Najaf dan menghabiskan beberapa tahun di Mesir dan Hijaz sebelum kembali ke Pariman. Ayahnya merupakan guru pertama dan orang yang banyak memberikan pengaruh kepada Murthada Muthahhari.

Pada usia 12 tahun, Muthahhari mulai belajar agama secara formal di lembaga pengajaran di Masyhad. Di Masyhad, Muthahhari mendapatkan figur yang menjadi curahan dirinya, yakni Mierza Mahdi Syahidi Razavi, seorang ahli filsafat.5 Setelah Razavi meninggal pada tahun 1936, Muthahhari hijrah ke Qum dan belajar di bawah bimbingan sejumlah ulama terkemuka, di antaranya Ayatullah Burujerdi dan Ayatullah Rohullah al-Musawi al-Khomaeni.

Pada tahun 1946-1950, Muthahhari belajar dengan Ayatullah Khomaeni. Dari pertemuan tersebut hubungan Muthahhari dengan Imam Khomaeni semakin dekat hingga tahun 70-an. Selanjutnya, pada tahun 1950 hingga 1952, Muthahhari belajar dengan seorang mufasir besar, Ayatullah Muhammad Husain Thabathaba’i, pengarang tafsir al-Mizan.

Pada tahun 1952, Muthahhari meninggalkan Qum menuju Teheran. Di sana ia menikah dengan putri Ayatullah Ruhani, dan mulai mengajar filsafat di Madrasah-yi Marvi, salah satu lembaga utama pengetahun di Teheran. Pada tahun yang sama ia mendirikan dewan mahasiswa Islam (Islamic Council of University Student) di Teheran.

Selanjutnya, pada tahun 1954 ia diminta untuk mengajar di fakultas teologi dan ilmu-ilmu keislaman di Universitas Teheran. Ia mengajar di sana selama 20 tahun. Pada tahun 1960, Muthahhari aktif bersama Imam Khomaeni di dunia politik hingga akhir hayatnya pada tanggal 1 maret 1979.

Pengabdian Muthahhari kepada bangsa dan agamanya berakhir dengan tragis di tangan seorang pembunuh dari anggota kelompok Furgan, kelompok kecil radikal yang jumlah anggotanya tidak lebih dari 50 orang yang didirikan pada tahun 1963 oleh seorang siswa Hawzah (seminari) yang kecewa dan menolak otoritas religius ulama, serta tidak menerima Khomeini dan pendukung-pendukungnya sebagai pemimpin revolusi Islam.

Pengertian Sejarah dan Filsafat Sejarah

Sejarah berasal dari bahasa Arab “syajaratun” yang berarti pohon. Kata ini memberikan gambaran pendekatan ilmu sejarah yang lebih analogis karena memberikan gambaran pertumbuhan peradaban manusia dengan “pohon” yang tumbuh dari biji yang kecil menjadi pohon yang rindang dan berkesinambungan. Oleh karena itu, untuk dapat menangkap pelajaran atau pesan-pesan sejarah di dalamnya memerlukan kemampuan pesan-pesan yang tersirat sebagai ibarat atau ibroh di dalamnya.6

Menurut Muthahhari, ada tiga cara mendefinisikan sejarah dan ada tiga disiplin kesejarahan yang saling berkaitan, yaitu pertama, sejarah tradisional (tarikh naqli) adalah pengetahuan tentang kejadian-kejadian, peristiwa-peristiwa dan keadaan-keadaan kemanusiaan di masa lampau dalam kaitannya dengan keadaan-keadaan masa kini. Kedua, sejarah ilmiah (tarikh ilmy), yaitu pengetahuan tentang hukum-hukum yang tampak menguasai kehidupan masa lampau yang diperoleh melalui pendekatan dan analisis atas peristiwa-peristiwa masa lampau. Ketiga, filsafat sejarah (tarikh falsafi), yaitu pengetahuan tentang perubahan-perubahan bertahap yang membawa masyarakat dari satu tahap ke tahap lain, ia membahas hukum-hukum yang menguasai perubahan-perubahan ini. Dengan kata lain, ia adalah ilmu tentang menjadi masyarakat, bukan tentang mewujudnya saja.7

Pendapat lain tentang sejarah dikemukakan oleh Hugiono dan Poerwantara bahwa dalam penulisan sejarah perlu dibedakan terlebih dahulu antara sejarah dalam kerangka ilmiah, dan sejarah dalam kerangka filosofis.8 Sejarah dalam kerangka ilmiah adalah sejarah sebagai ilmu, artinya sejarah sebagai salah satu bidang ilmu yang meneliti dan menyelidiki secara sistematis keseluruhan perkembangan masyarakat serta kemanusiaan di masa lampau beserta seluruh kejadian-kejadian, dengan maksud untuk menilai secara kritis seluruh hasil penelitian dan penyelidikan tersebut, untuk akhirnya dijadikan pedoman bagi penilaian dan penentuan keadaan sekarang serta arah program masa depan.

Sejarah dalam kerangka filosofis adalah sejarah dalam pengertian sebagai filsafat sejarah. Filsafat sejarah mengandung dua spesialisasi. Pertama, sejarah yang berusaha untuk memastikan suatu tujuan umum yang mengurus dan menguasai semua kejadian dan seluruh jalannya sejarah. Usaha ini sudah dijalankan berabad-abad lamanya. Kedua, sejarah yang bertujuan untuk menguji serta menghargai metode ilmu sejarah dan kepastian dari kesimpulan-kesimpulannya.

Dalam kajian-kajian modern, filsafat sejarah menjadi suatu tema yang mengandung dua segi yang berbeda dari kajian tentang sejarah. Segi yang pertama berkenaan dengan kajian metodologi penelitian ilmu ini dari tujuan filosofis. Ringkasnya, dalam segi ini terkandung pengujian yang kritis atas metode sejarawan. Pengujian yang kritis ini termasuk dalam bidang kegiatan analitis dari filsafat, yakni kegiatan yang mewarnai pemikiran filosofis pada zaman modern dengan cara khususnya, di mana si pemikir menaruh perhatian untuk menganalisis apa yang bisa disebut dengan sarana-sarana intelektual manusia. Ia mempelajari tabiat pemikiran, hukum-hukum logika, keserasian dan hubungan-hubungan antara pikiran-pikiran manusia dengan kenyataan, tabiat, realitas, dan kelayakan metode yang dipergunakan dalam mengantarkan pada pengetahuan yang benar.

Dari segi yang lain, filsafat sejarah berupaya menemukan komposisi setiap ilmu pengetahuan dan pengalaman umum manusia. Di sini perhatian lebih diarahkan pada kesimpulan dan bukannya pada penelitian tentang metode atau sarana-sarana yang digunakan seperti yang digunakan dalam metode analitis filsafat. Dalam kegiatan konstruktif, filosof sejarah bisa mencari pendapat yang paling komprehensif yang bisa menjelaskan tentang makna hidup dan tujuannya.

Kritik Muthahhari terhadap Konsep Sejarah Kaum Marxis

Ada tiga hal yang dikritik oleh Muthahhari terhadap kaum marxisme, yaitu sifat sejarah, hukum sejarah, dan perkembangan sejarah. Menurut Muthahhari, sifat sejarah bukan hanya bersifat bendawi, melainkan ada wujud yang bersifat nonbendawi dan suprabendawi. Yang dimaksud dengan nonbendawi adalah keberadaan sejati manusia sebagai dirinya sendiri, sedangkan supra bendawi adalah apa yang ada di atas diri manusia.

Hukum sejarah yang dianut oleh kaum Marxis termuat dalam pandangannya tentang determinisme sejarah. Menurut kaum Marxis, hukum sejarah adalah menentukan, ttdak dapat diganggu gugat dan di luar kehendak manusia. Dengan kata lain, kaum Marxis memaknai hukum sejarah adalah hukum alam yang menggunakan prinsip kemestian sejarah.

Sementara itu, menurut Muthahhari, ada tiga bentuk hukum sejarah dari al-Qur’an. Pertama, hukum determinisme, yaitu hukum sejarah yang berjalan menurut hukum-hukum umum dan secara natural tidak bertentangan dengan kebiasaan di dalam alam. Teori ini merujuk kepada Al-Qur’an surat [35]: 43, [48]: 23, [17]: 77, [33]: 62, dan sebagainya. Kedua, hukum ketuhanan, yaitu hukum-hukum sejarah terikat dan terkait dengan Allah (sunnatullah). Hukum ini bertujuan untuk mengikatkan manusia dengan Tuhannya dan manusia dapat mengambil manfaat dan meminta bantuan untuk menyempurnakan perkembangan sejarah. Hal itu sesungguhnya merupakan penampakan hukum Allah, kebaikan takdirnya, dan bangunan dalam perkembangan sejarah. Ketiga, hukum ikhtiar manusia. Hukum ini berkaitan dengan konsep al-bada’ (perubahan perjalanan hidup yang telah ditentukan). Maksudnya, Allah tidak menentukan bentuk yang pasti dan final bagi perjalanan sejarah manusia. Manusialah yang bertanggung jawab memenuhi ketentuan Tuhan, dapat memajukan atau menghentikan perjalanan sejarah. 

Kritik ketiga dari Muthahhari terhadap kaum Marxis berkenaan dengan perkembangan sejarah. Dalam pandangan Marx, keputusan manusia tidak dibuat oleh pilihan dan keinginan bebas manusia karena manusia kebanyakan dikuasai oleh kepentingan bebas. Oleh karena itu, keputusan-keputusan mereka yang menyangkut kehidupan masyarakat merupakan hasil dari kelas mereka. Sementara itu, Muthahhari mengakui adanya tahapan-tahapan perkembangan sejarah yang terus berproses menuju kesempurnaannya. Ia menjelaskan bahwa masalah perkembangan zaman adalah masalah yang tidak perlu diragukan lagi. Komunitas manusia mirip dengan kafilah yang terus bergerak maju tanpa henti. Manusia dan masyarakat tidak pernah tetap berada pada satu masalah. Kalau kita berusaha menghentikan gerak manusia dan masyarakat dalam perjalanan sejarahnya, maka berarti kita menentang hukum alam.11 Oleh karena itu, kata Muthahhari, dari masa ke masa manusia dan masyarakat bergerak menyempurnakan dirinya, dan yang menjadi titik awal penyempurnaannya adalah masa lampaunya. Islam tidak menganggap masa lampau dengan pesimisme secara total

Tujuan Sejarah

Penjelasan Muthahhari tentang tujuan sejarah diambil dari al-Qur’an yang menjelaskan adanya dua eksistensi manusia, yaitu sebagai individu, dan sebagai anggota masyarakat. Tindakan manusia sebagai individu memiliki dua dimensi, yaitu sebab aktif, dan sebab material. Tindakan manusia sebagai anggota masyarakat memiliki tiga dimensi, yaitu sebab aktif (pelaku), sebab ideal (tujuan), dan sebab material (tindakannya). Meskipun ada dua eksistensi dan tindakan, namun al-Qur’an tidak memisahkan secara objektif antara tindakan pribadi manusia secara individual dengan tindakan manusia sebagai aktivitas masyarakat.13

Tujuan-tujuan utama dalam kehidupan adalah satu-satunya faktor yang menciptakan sejarah. Pada gilirannya, mereka memiliki pondasi yang mendalam di dalam kandungan batin manusia, yakni cita-cita utama kehidupannya. Cita-cita ini merupakan tiang utama semua tujuan yang menggerakkannya. Makin tinggi dan luhur suatu cita-cita masyarakat, makin layak dan luas tujuan-tujuannya atau sebaliknya. Oleh karena itu, cita-cita yang besar dari suatu masyarakat adalah titik tolak dari pembentukan batin masyarakat manusia. Cita-cita utama masyarakat bergantung pada konsepsinya tentang kehidupan dan dunia.14 Dalam hal ini, Muthahhari meyakini benar perlunya mengenal masa depan sebagai tujuannya. Sejarah bagi Muthahhari berperan untuk membuka jalan bagi masa depan.15

Jika manusia tidak mengenali masa depan dan tidak mempunyai rencana tentangnya serta tidak memberikan perhatian pada tanggung jawabnya untuk membuat sejarah, maka manusia berhak mendapatkan celaan dari generasi mendatang. Sejarah dibuat oleh manusia dan bukannya manusia dibuat sejarah. Jika manusia tidak mempunyai rencana tentang masa depan, tidak seorang pun dapat menjanjikan bahwa bahtera ini akan mencapai tujuannya secara otomatis.

Selain tujuan sejarah untuk mengetahui masa depan, juga bertujuan untuk membangun idealisme sejati. Idealisme sejati itu akan mampu membuat perubahan pada proses perjalanan sejarah karena kemampuannya memberikan kekuatan pada subjek sejarah. Semangat itu bukan berupa kekuatan fisik, melainkan berupa spirit yang bergejolak dalam jiwa manusia sebagai penyebab penggerak (active cause) untuk menghasilkan langkah-langkah konkrit dalam memecahkan problematika manusia.

Perjalanan sejarah manusia untuk mencapai idealisme sejati yang mampu menciptakan dinamika bentuk dan proses perjalanan itu sendiri sangat bergantung pada beberapa prinsip sebgai berikut:
Bergantung pada konsep yang jelas baik dilihat dari pikiran dan ideologinya terhadap idealisme sejati;
Harus mempunyai kekuatan spiritual yang bersumber pada idealisme itu agar kekuatan spiritual ini bisa menjadi sumber motivasi abadi bagi tindakan manusia dalam dinamika gerak sejarah; Ia harus berbeda dengan idealisme lain yang hanya bersifat siklus pengulangan. Dengan dasar ideologi ini sebagai objek yang terlepas dari subjektivitas manusia, bukan bagian dari manusia dan bukan pula hasil olah budi manusia, tetapi harus memiliki benang merah yang menghubungkannya dengan manusia;
Prinsip kelembagaan terhadap nilai-nilai yang telah dirumuskan oleh para Nabi dalam berbagai bentuk pranata sosial kemasyarakatan.

Gerak Sejarah

Jiwa dari teori-teori sejarah beranggapan bahwa sejarah itu merupakan suatu gerak yang tumbuh dan berkembang secara evolusi atau perubahan secara alami.16 Menurut Muthahhari, pengertian evolusi secara sederhana dapat diartikan sebagai kemajuan dan transformasi. Secara terminologi oleh sebagian orang diartikan sebagai suatu proses yang di dalamnya terdapat suatu proses pelipatgandaan bagian-bagian yang diikuti oleh pembagian yang ditandai oleh suatu gerakan dari homogenitas ke arah heterogenitas.17

Dalam proses evolusi sejarah, peran manusia sangat menentukan sekali. Bahkan, manusia menjadi inti masalah dari gerak sejarah itu sendiri. Oleh karena manusia eksistensinya begitu kompleks, maka para sejarawan berbeda pendapat dalam menentukan gerak sejarah. Secara garis besar dan ringkas konsepsi gerak sejarah dapat diterangkan sebagai berikut.

Pandangan sosial yang individualistis cenderung pada anggapan bahwa kerja individulah yang menggerakkan perkembangan umat manusia. Pendapat ini menitikberatkan pada karya pribadi yang menggerakkan atau mendorong gerak perkembangan masyarakat. Individu-individu yang berbuat dan berlaku serta mencipta kebudayaan, sedangkan masyarakat merupakan latar belakangnya dan bersifat abstrak.
Gerak sejarah merupakan kesadaran umat manusia. Manusia adalah makhluk budaya. Pikiran dan kesadaran manusia berkembang dari tingkat yang bersahaja ke tingkat yang tinggi. Perkembangan pikiran dan kesatuan manusia ini menjadi tenaga penggerak kemajuan manusia.

Pengaruh alam terhadap kehidupan manusia. Perbedaan antara kebudayaan dapat dilihat dari segi perbedaan tempat. Cara hidup ini membentuk corak kebudayaan. Gerak sejarah dipersamakan dengan gerak kebudayaan. Kekuatan penggerak sejarah berada dalam bangsa. Perbedaan ruhani ataupun watak di antara bangsa-bangsa menimbulkan perbedaan cara berpikir dan perasaan, begitu pula tingkah-laku dan perbuatan. Hasrat yang ada pada suatu bangsa menimbulkan daya cipta, hasrat untuk mengubah dan mengambil alih dari bangsa lain. Aliran ini membuka jalan bagi Cauvinisme.

Teori evolusionisme atau Darwinisme. Darwin berpendapat bahwa setiap makhluk itu berkembang dan berubah secara alami dari tingkat yang lebih rendah ke tingkat yang sempurna sesuai dengan alam lingkungannya. Proses perubahan ini adalah proses penyesuaian diri, baik yang bersifat ruhani maupun jasmaninya. Perubahan ini dapat diterapkan dalam perkembangan bangsa dan negara.

Teori historis materialisme. Teori ini berdasarkan pada paham determinisme ekonomi. Gerak sejarah ditentukan oleh cara-cara menghasilkan barang untuk keperluan masyarakat. Cara produksi ini menentukan perubahan-perubahan dalam masyarakat yang bertentangan satu sama lain. Tujuan gerak sejarah menurut paham ini adalah mewujudkan masyarakat tanpa pertentangan kelas. Dari berbagai pendapat tentang gerak sejarah, Muthahhari memandang bahwa gerak sejarah dari arti active cause, yakni pemahaman tentang determinisme sejarah dan arti ideal cause, yakni pandangan tentang masa depan manusia.

Bagi Muthahhari, determinisme sejarah dipahami dari dua makna yang saling terkait. Makna ini diambil dari ayat al-Qur’an surat [35]: 43 “Maka engkau sekali-kali tidak akan mendapatkan pergantian di dalam sunnatullah”, dan di dalam al-Qur’an surat [13]: 11 “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai kaum itu sendiri yang mengubah diri mereka sendiri”. Ayat pertama determinisme sejarah dipahami sebagai “undang-undang hidup manusia yang tidak berubah”. Ayat kedua determinisme sejarah dipahami bahwa “nasib perjalanan hidup manusia berhubungan dengan kondisi jiwa, pikiran, dan akhlak manusia itu sendiri”. Selagi semuanya belum berubah, maka mustahil keadaan mereka akan berubah.

Sementara itu, tentang pandangan masa depan manusia ada yang bersifat pesimis, optimis, atomistik, dan sosialis. Bagi Islam, masa depan manusia ditanggapi dengan dua sikap. Pertama, Islam tidak menganggap masa lalu dengan pesimis secara total. Kedua, Islam tidaklah demikian sinis terhadap watak manusia.19 Dengan kata lain, Islam memandang masa depan manusia dengan sikap optimisme.

Pandangan masa depan ini sangat terkait dengan pemahaman hukum-hukum sejarah. Hukum-hukum sejarah memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan Kitab Allah dalam kedudukannya sebagai petunjuk suci yang akan mengantarkan manusia dari kegelapan menuju pada terangnya kebenaran. Apabila pandangan tentang masa depan manusia dan hukum-hukum sejarah yang mengitari proses dinamika sejarah ini diambil makna esensialnya, maka akan terlihat secara jelas sifat-sifat dari gerak sejarah itu sendiri, yakni bersifat progresif. Hal ini disebabkan adanya kepercayaan yang tinggi kepada kebaikan esensial (fitrah) manusia. Meskipun demikian, kita tidak mampu menentukan bentuk fisik masa depan sejarah manusia.

Penggerak Sejarah

Di dalam al-Qur’an surat ar-Ra’du [13] ayat 11; “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah kondisi (objektif) suatu bangsa, hingga bangsa tersebut mau mengubah kondisi (subjektif) yang ada pada mereka sendiri” menggambarkan bahwa manusia memainkan peran penting dalam gerak sejarah. Selain itu, dalam ayat tersebut juga tergambar hubungan kausalitas dalam hukum sejarah, yakni antara perubahan yang ada di dalam diri manusia dengan perubahan yang ada di luar manusia.


Konsepsi Islam dan al-Qur’an meyakini bahwa dua proses perubahan ini harus berjalan beriringan. Proses pembangunan manusia terhadap pribadi, semangat, dan pikirannya harus seiring dengan pembangunan fisik dan sosial budayanya. Jika pembangunan mental berjalan jauh di depan pembangunan fisik, maka yang akan terjadi adalah menara gading yang tidak berpondasi. Demikian pula sebaliknya, jika pembangunan fisik meninggalkan pembangunan mental, maka yang terjadi adalah istana megah yang kropos. Penjelasan Muthahhari tentang peran manusia dalam menggerakkan sejarah tidak hanya bersifat umum, tetapi beliau menjelaskan secara lebih rinci terutama tentang kecenderungan yang dimiliki manusia. Penjelasan ini dimaksudkan untuk melawan pendapat kaum Marxis yang mengatakan bahwa kecenderungan pokok dalam diri manusia hanya satu jalan, yakni ekonomi.

Muthahhari menyatakan bahwa Islam mengakui manusia pada hakikatnya lebih komitmen kepada keimanan dan ideologi daripada kepada kepentingan material yang cenderung buruk seperti kelemahan (Q.S. [4]: 20), sentimentalisme (Q.S. [11]: 9-11), sifat membangkang (Q.S. [18]: 54), dan tergesa-gesa (Q.S. [21]: 37).

Meskipun manusia memiliki seluruh kecenderungan ke arah nafsu, hal-hal inderawi, korupsi dan kejahatan, wujudnya (manusia) dianugerahi suatu percikan suci yang secara esensial menentang kejahatan, pertumpahan darah, kepalsuan, korupsi, kehinaan, degradasi, dan penghinaan serta penekanan dan kezaliman. Manusia memiliki kecenderungan kepada kesempurnaan.

Ada kecenderungan lain pada diri manusia selain dari kecenderungan pada perbuatan baik, yaitu kecenderungan untuk tetap hidup, menghilangkan rasa lapar, kecenderungan pada makanan dan kelezatan, kecenderungan seksual, kecenderungan pada seni dan keindahan, serta kecenderungan pada ilmu pengetahuan. Kecenderungan yang beragam tersebut, menurut Muthahhari, semuanya dapat dijadikan sebagai motor penggerak. Alasannya, dalam realitas kehidupan manusia, segala macam bentuk pertentangan, perselisihan, dan tidak adanya keserasian bersumber dari satu kenyataan bahwa dalam diri manusia tidak hanya satu motor penggerak. Jika memang benar dalam masyarakat hanya ada satu motor penggerak, maka mustahil akan timbul segala macam bentuk pertentangan dan perselisihan dalam masyarakat. Penyebab paling mendasar bagi timbulnya pertentangan dan perselisihan karena berbagai naluri dalam diri manusia selalu berperang satu sama lain.

Penjelasan Muthahhari tentang manusia sebagai penggerak sejarah tidak hanya dilihat dari setting individual yang terpisah, melainkan juga dari sisi masyarakat. Muthahhari membedakan secara jelas tindakan individu dengan tindakan kolektif. Tindakan individu mengandung dua dimensi (sebab aktif dan sebab material), sedangkan tindakan kolektif mengandung tiga dimensi (sebab aktif, material, dan sebab akhir).

Penutup

Muthahhari dalam kajian sejarahnya lebih memfokuskan pada kajian yang bersifat filosofis. Kajian ini dimaksudkan untuk menampilkan filsafat sejarah perspektif al-Qur’an. Selain itu, kajiannya dimaksudkan untuk melawan pemikiran-pemikiran sejarah yang ada, khususnya Marxisme. Untuk membedakan filsafat sejarahnya dengan filsafat-filsafat sejarah yang ada, Muthahhari mengawali pembahasannya tentang sifat sejarah yang bukan hanya bersifat bendawi, melainkan bersifat non-bendawi dan suprabendawi. Sifat inilah yang menjadi dasar dalam pembahasan filsafat sejarah berikutnya, khususnya tentang tujuan sejarah, gerak sejarah, dan penggerak sejarah.

Endnote


1 Muhammad Qutb, Perlukah Menulis Ulang Sejarah Islam (Jakarta: Gema Insani Press, 1992), hal. 20-21.

2 Mazheruddin Siddiqi, Konsep Qur’an tentang Sejarah (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986), hal. 178.

3 Kuntowijoyo, Paradigma Islam (Bandung: Mizan, 1993), hal. 327.

4 Hamid Algar, The Roots of the Islamic Revolution (London: The Open Press, 1983), hal. 9.

5 Haidar Bagir, Murthada Muthahhari, Sang Mujahid, Sang Mujtahid (Bandung: Yayasan Muthahhari,1988), hal. 27.

6 Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah (Bandung: Mizan, 1995), hal. 20.

7 Murthada Muthahhari, Perspektif al-Qur’an tentang Manusia dan Agama (Bandung: Mizan, 1984), hal. 65-67.

8 Hugiono dan Poerwantara, Pengantar Ilmu Sejarah (Semarang: Rineka Cipta, 1992), hal. 4.

9 Effat Al-Sarqawi, Filsafat Kebudayaan Islam (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1981), hal. 114-115.

10 Murthada Muthahhari, Menguak Masa Depan Manusia Suatu Pendekatan Filsafat Sejarah (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1991), hal. 22-23.

11 Muthahhari, Kritik Islam terhadap Faham Materialisme (Jakarta: Risalah Masa, 1992), hal. 89.

12 Murthada Muthahhari, Falsafah Kenabian (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1991), hal. 45.

13 Muhammad Baqir Shadr, Tafsir Modern (Jakarta: Risalah Masa, 1992), hal. 86.

14 Muhammad Baqir Shadr, Sejarah, hal. 126.

15 Murthada Muthahhari, Menguak, hal. 150.

16 Hugiono dan Poerwantara, Pengantar, hal. 47.

17 Murthada Muthahhari, Menguak, hal. 25.

18 Murthada Muthahhari, Islam dan Tantangan Zaman (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1996), hal. 329.

19 Murthada Muthahhari, Menguak, hal. 45.

20 Murthada Muthahhari, Islam dan, hal. 344.

21 Murthada Muthahhari, Islam dan, hal. 347.

Daftar Pustaka

Algar, Hamid. 1985. The Roots of the Islamic Revolution. London: The Open Press.

Bagir, Haidar. 1988. Murthada Muthahhari, Sang Mujahid, Sang Mujtahid. Bandung: Yayasan Muthahhari.

Hugiono dan Poerwantara. 1992. Pengantar Ilmu Sejarah. Semarang: Rineka Cipta.

Kuntowijoyo. 1993. Paradigma Islam. Bandung: Mizan.

Muthahhari, Murthada. 1984. Perspektif al-Qur’an tentang Manusia dan Agama. Bandung: Mizan.

Makassar Indonesia Makassar, Indonesia

0 komentar:

HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html