Saturday 21 September 2013

Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia


Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasan belajar dan pross pembelajaran agar peserta didik dapat secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan darinya dan masyarakat

Pendidikan di Indonesia adalah seluruh pendidikan yang diselenggarakan di Indonesia, baik itu secara terstruktur maupun tidak terstruktur. Secara terstruktur, pendidikan di Indonesia menjadi tanggung jawab Kementerian Pendidikan Nasional Republik Indonesia (Kemdiknas), dahulu bernama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Depdikbud). Di Indonesia, semua penduduk wajib mengikuti program wajib belajar pendidikan dasar selama sembilan tahun, enam tahun di sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah dan tiga tahun di sekolah menengah pertama/madrasah tsanawiyah.

Indonesia sebagai Negara dengan penduduk beragama Islam terbesar tentu sangat banyak menyimpan sejarah tentang Islam, mulai dari proses masuknya pendidikan Islam dan perkembangan Islam itu sendiri.

Pendidikan Islam merupakan satu tolok ukur pertama dari perkembangan Islam di suatu daerah atau suatu negara. Islam masuk di Indonesia sekitar abad ke-7 masehi dari Arab, Persia dan India. Jalur yang digunakan dalam masuknya Islam pertama di Indonesia meliputi perdagangan, dakwah, perkawinan, pendidikan dan kesenian.

Pendidikan telah dimulai dari masa awal masuknya Islam sampai masa kerajaan-kerajaan Islam dan terus berlanjut hingga saat ini. Tiap-tiap daerah di Indonesia memiliki sejarah sendiri dalam proses dan berlangsungnya pendidikan Islam karena memiliki karakteristik sendiri-sendiri.

A. Pendidikan Sebelum Kedatangan Islam

Dari catatan sejarah, proses pendidikan di tanah air dibarengi proses masuknya agama-agama dari luar masuk ke wilayah kita. Kebanyakan sumber tentang pendidikan di zaman kerajaan Hindu-Budha berasal dari Cina. Pendidikan tersebut dimulai dengan masuknya peradaban dan agama Hindu dan Buddha yang bisa kita lihat pada abad ke-5 Masehi melalui wilayah Kutai, Kalimantan.

Dimulai dari prasasti yang ada di Kutai, isi antara lain menceritakan upacara pengorbanan terhadap dewa. Upacara tersebut ditujukan agar para raja, leluhur, dan keturunannya mendapatkan perlindungan dari dewa. Upacara dilakukan oleh kaum Brahmana. Upacara itu menunjukkan adanya ajaran agama Hindu-Buddha.[1] 

Kemudian kita melihat kerajaan di Jawa Barat, Tarumanegara, melalui prasastai batu bertulis di dekat Desa Batutulis, Bogor. Batu bertulis mengabarkan kepada dunia bahwa di situ pernah berdiri sebuah kerajaan bernama Tarumanegara dengan rajanya yang memerintah, Purnawarman. Kerajaan ini diperkirakan berdiri pada abad ke-5 Masehi, sementara agama yang banyak dianut adalah Hindu.

Lalu bagaimana narasi pendidikan saat itu, berkaitan dengan tempat dan waktu, alat-alat tulisnya, murid dan gurunya, serta proses belajarnya? Sayangnya, belum ada sumber kuat dan valid yang bisa menjelaskan hal tersebut. Akan tetapi, dengan adanya bukti prasati tertulis tersebut, sudah dapat dipastikan dan menunjukkan bahwasanya di saat itu sudah mengenal dan bisa baca tulis. Dari baca tulisnya, bangsa kita sudah mampu berhubungan, bertukar pengetahuan, dan berdagang dengan bangsa lain, antara lain Cina dan India.

Jika dilhat dari hurufnya, prasasti Batu Tulis memakai huruf palawa-palawascrift. Asal mula huruf ini berasal dari tanah Hindu. Saat itu kerajaan Tarumanegara telah menjalin hubungan dengan kerajaan luar negeri; Tiongkok, dengan seringnya negara tersebut dutanya ke negara tersebut. Jelas para duta tersebut sudah mendapat pendidikan mengenai keahliannya, berkaitan soal bahasa dan budaya dan tata pemerintahan. Hal demikian membuktikan bahwa pada masa tersebut telah terdapat proses, institusi, kebijakan pendidikan, yang tentunya tidak bisa disamakan dengan konteks sekarang.[2]

Kemudian dari sumber I-Tsing dapat diketahu bahwa di Sumatera terdapat kerajaan yang kuat serta berpengaruh bernama Sriwijaya yang pusat pemerintahannya terletak di sekitar Palembang sekarang. I-Tsing dalam perjalanannya dari Kanton ke India pada 671 M singgah lagi di Sriwijaya untuk menyalin dan menerjemahkah kitab-kitab agama Buddha. Karena tidak sanggup mengerjakan pekerjaan raksasa itu sendirian, ia pulang ke Kanton menjemput empat orang untuk membantunya dan dibawa ke Sriwijaya. Di samping kitab-kitab agama yang digarapnya, ia berhasil menulis dua biografi musafir-musafir pendahulunya dan suatu karya berbobot lainnya mengenai pelaksanaan agama Buddha di India dan di Semanjung Melayu. Karya-karya ilmiahnya dikirim ke Cina melalui ulama-musafir pada 692 M. Sedangkan, I-Tsing pulang ke Kanton pada 695 M.

Dari tulisannya dapat diketahui ciri-ciri agama Budha pada waktu itu. Begitu pula, bahwa Siwijaya adalah pusat ilmu pengetahuan tempat para sarjana dan teolog Buddha sangat dihormati dan dihargai. Oleh sebab itu, para musafir dan ulama senang mendalami ilmu pengethuan di Sriwijaya, baik yang bersumber dari agama Buddha Mahayana maupun Hinayana. Salah seorang di antara tujuh dosen yang mempunyai reputasi internasional adalah Sakyakirti. Sampai kini karya-karya Sakyakirti masih dipelajari orang di Srilanka, Tibet, Kamboja dan Jepang.
Seorang mahaguru Sriwijaya yang termasyhur bernama Dharmapala adalah guru besar yang pernah memberikan kuliah-kuliahnya pada "universitas" Nalanda di Benggala (India Utara) selama 30 tahun. Perguruan tinggi yang ada di Siwijaya tidak kalah mutunya dengan yang ada di tanah suci India. Maka dari itu, banyak teolog dan muusafir Buddha belajar pula di Sriwijaya.[3]

Pada abad ke-7, Dharmapala datang di Sumatera dan memberi pelajaran agama Buddha Mahayana kepada penduduk di daerah tersebut, yang semula menganut Hinayana. Keterangan-keterangan ini diperoleh dari seorang Tiongkok yang bernama I-Tsing, yang pada 672 dan 685 M berdiam di Palembang untuk belajar. Dari ini jelaslah bahwa dasar pendidikan pada waktu itu ialah agama. Atau, dengan perkataan lain, pendidikan memusatkan perhatiannya kepada agama. Menurut I-Tsing, "universitas" di Sriwijaya dapat menampung beratus-ratus mahasiswa biarawan Buddha dan dapat belajar dengan tenang. Mereka tinggal di asrama-asrama khusus. Sistem dan metode sesuai benar dengan yang ada di India sehingga biarawan Cina dapat belajar di Sriwijaya sebelum melanjutkan studinya ke India.[4]

Kemudian pada abad ke-8 di Jawa Tengah berdiri Kerajaan Kalingga dengan rajanya bernama Sanjaya. Peninggalan ini berbentuk batu tulis (lingga) yang ditemukan di Desa Canggal (Karesidenan Kedu). Kemudian kerajaan itu di perintah oleh Raja Rakai Panangkaran dari wangsa Syailendara yang beragama Buddha. Waktu raja ini berkuasa, dibangunlah Candi Borobudur, Candi Sari, dan Candi Kalasan. Di dekat Candi Borobudur tersebut dibangun suatu tempat pendidikan agama Buddha yang dipimpin oleh seorang pendeta terkenal bernama Janabadra. Sekolah ini memakai sistem asrama (biara), yaitu guru dan murid-muridnya tinggal di asrama. Akan tetapi, murid-muridnya hanya dari keluarga raja dan pendeta, rakyat biasa sama sekali tidak dapat mengeyam pendidikan formal.[5]

Di salah satu tembok Candi Borobudur, terlihat suatu lukisan di atas batu, yang menggambarkan suatu sekolah, seperti yang berlaku pada waktu sekarang. Kita melihat pendopo besar dan di tengah-tengah pendopo tampak di mata kita seorang Brahmana, sedang di kanan-kirinya dan dimukanya murid-murid, yang membuat lingkaran. Para siswa-siswa memegang buku, terlihat sedang menerima pelajaran membaca. Buku apa yang sedang dibaca, tidak dapat diketahu secara pasti. Sistem yang dipakai pada waktu itu ialah sistem asrama. Siswa-siswa berdiam bersama-sama dengan Brahmana (gurunya) dalam suatu rumah. Para pendidik saat itu tidak menerima gaji, seperti zaman sekarang. Hidupnya terjamin oleh para siswanya, yang pada waktu-waktu tertentu memberikan kepadanya apa yang perlu untuk hidupnya.

Para siswa bekerja di samping belajar sehingga mereka dapat menjamin kehidupan gurunya. Buku pelajaran yang dipegang oleh para siswa terbentuk/tersusun dari rangkaian daun lontar, seperti yang sampai sekarang dapat kita lihat di Bali atau di museum. Adanya buku ini menjadi bukti bahwa bangsa kita pada waktu itu telah pandai membaca bahasa Sansekerta atau bahasa Kawi. Adapun huruf yang dipakai ilah huruf Jawa yang berlaku pada waktu itu.

Saat itu para pelajar atau peserta didik memiliki istilah cantrik, djedjangan, dan putut, dari berbagai jenis istilah pelajar tersebut terdapat kemungkinan bahwa pada waktu itu telah ada pengajaran rendah, menengah, dan tinggi. Dasar-dasar pendidikan dan pengajaran ialah agama Buddha atau agama Brahma. Kesimpulan ini dapat diambil penulis dari adanya agama Buddha dan agama Brahma di tanah Jawa Tengah (Borobudur dan Prambanan).

B. Pendidikan Islam Pada Masa Permulaan di Indonesia

Sejak awal perkembangan Islam pendidikan menjadi prioritas utama masyarakat muslim Indonesia. Disamping karena bersarnya arti pendidikan, kepentingan Islamisasi mendorong umat Islam melaksanakan penagajaran Islam kendati dalam sistem yang sederhana, dimana pengajaran diberikan dengan sistem halaqah yang dilakukan di tempat-tempat ibadah semacam masjid, mushalla, bahkan juga di rumah-rumah ulama. Kebutuhan terhadap pendidikan mendorong masyarakat Islam di Indonesia menagadopsi dan mentransfer lembaga-lembaga keagamaan dan sosial yang sudah ada kedalam lembaga pendidikan Islam di Indonesia.[6]

Pada tahap awal pendidikan Islam di indonesia berlangsung secara informal. Kontak-kontak personl antara mubaligh dan masyarakat sekitar yang tidak terancang dan terstruktural secara jelas dan tegas. Pergaulan keseharian yang di dalamnya mengandung unsur pendidikan, seperti keteladanan yang diberikan oleh para muballigh menampakkan ketertarikan masyarakat sekitar terhadap agama Islam.[7]

Pendidikan awal Islam informal tidak ada jadwal waktu tertentu, tidak ada hari tertentu dan tidak ada tempat khusus sehingga hal ini tidak terprogram secara ketat. Hal ini yang memicu munculnya pendidikan formal. Pendidikan yang terencana, punya waktu, tempat dan materi tertentu.

Dengan demikian ada beberapa lembaga pendidikan islam formal pertama yang muncul di Indonesia[8]:

Masjid dan Langgar

Sebagai implikasi dari terbentuknya masyarakat muslim di suatu tempat maka secara serta merta mereka membutuhkan Masjid dan Langgar tempat melaksankan ibadah. Fungsi masjid dan langgar tersebut diperluas selain sebagai tempat ibadah (shalat) juga tempat pendidikan. Di tempat terseburt dilaksanakan pendidikan untuk orang dewasa dan anak.

Menurut Hasbullah pengajian Al Qur'an pada pendidikan Langgar dibedakan menjadi dua macam:

Tingkat Rendah, merupakan tingkat pemula. Yaitu mulai mengenal huruf Al Qur'an sampai bisa membacanya, diadakan pada tiap-tiap kampung dan anak-anak hanya belajar pada malam hari dan pagi hari setelah sholat subuh,

Tingkat atas, pelajarannya selain di tingkat pemula diatas, ditambah lagi dengan pelajaran lagu qasida, berjanzi, tajwid serta mengaji kita-kitab.[9]

Pesantren

Belum ditemukan tahun yang pasti kapan pesantren pertama kali didirikan, banyak pendapat mengatakan bahwa pesantren muncul pada zaman Walisongo dan Maulana Malik Ibrahim dipandang sebagai orang yang pertama mendirikan pesantren.

Di Jawa sebelum Islam masuk telah dikenal adanya lembaga pendidikan Jawa kuno yang diberi nama Pawiyatan, ditempat tersebut tinggal bersama Ki Ajar dan Cantrik. Ki Ajar yang mengajar dan Cantrik murid yang diajar. Di Pawiyatan berlangsung pendidikan sepanjang hari dan malam. Sistem ini mirip dengan sistem pesantren. Jadi dengan demikian sistem pendidikan pesantren itu telah ada di Jawa sebelum datangnya Islam. Setelah Islam masuk maka sistem ini termasuk yang diislamkan.

CC Berg berpendapat bahwa santri berasal dari istilah Shastri , yang dalam bahasa India, orang-orang yang tahu buku0buku suci Agama Hindu atau seorang sarjana ahli kitab suci Agama Hindu. Kata Shastri berasal dari Shastra yang berarti buku suci, buku-buku agama atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan.[10]

Meunasah, rangkang dan dayah

Secara Etimologi, meunasah berasal dari perkataan madrasah, tempat belajar atau sekolah. Sebagai pendidikan awal bagi anak-anak yang dapat disamamakan dengan tingkat Sekolah Dasar. Meunasah ini dipimpin atau diasuh oleh seorang Tengku Meunasah (Guru) yang bertugas untuk membina dan mengajarkan ilmu agama kepada para murid.[11]

Di setiap gampong (kampung) di Aceh ada mennasah sebagai tempat belajar bagi anak-anak. Pada dasarnya mennasah memiliki multi fungsi yaitu fungsi ibadah, sosial dan pendidikan.

Rangkang adalah tempat tinggal murid yang dibangun di sekitar masjid karena murid perlu mondok dan tinggal, maka perlu dibangun tempat tinggal untuk mereka di sekitar masjid.

Snoucch Hurgronje, mendeskripsikan Rangkang dalam bentuk rumah kediaman, tetapi lebih sederhana, memiliki satu lantai saja di kanan kiri gang pemisah (blok) masing-masing untuk 1-3 murid. Kadang-kadang rumah yang tidak dipakai lagi oleh orang saleh diwakafkan untuk siswa. rumah tersebut diserahkan kepada guru untuk dijadikan rengkang.[12]

Lembaga berikutnya adalah dayah. Dayah berasal dari bahasa Arab zawiyah merujuk pada sudut dari suatu bangunan dan sering dikaitkan dengan masjid. Di sudut Masjid itulah berlangsungnya proses pendidikan dalam bentuk halaqah atau juga zawiyah dikaitkan juga dengan tarekat sufi. Di mana Syeikh atau Mursyid melakukan pendidikan sufi.

Hasjmy menjelaskan tentang dayah adalah sebuah lembaga pendidikan yang mengajarkan mata pelajaran agama yang bersumber dari Bahasa Arab, misalnya Tauhid, Fiqh, Tasawuf, Bahasa Arab dan lain-laqin. pendidikan setingkat SLTA.[13]

Surau

Dalam Kamus Bahasa Indonesia, surau diartikan tempat (rumah) umat Islam melakukan Ibadah (sembahyang, mengaji dan lain-lain). Christin Pobbin memberi pengertian bahwa surau adalah rumah yang didiami para pemuda setelah aqil baligh terpisah dari rumah keluarganya yang menjadi tempat tinggal wanita dan anak-anak.

Jadi surau adalah tempat aktifitas masyarakat sehari-hari dalam hal peribadatan, pendidikan dan sosial budaya. Intinya bahwa surau memiliki multifungsi bagi masyarakat dan sangat penting keberadaannya di masyarakat itu sendiri.

Jadi jelas bahwa dalam pendidikan Islam di Indonesia juga terjadi akulturasi-akulturasi budaya, baik berupa istilah-istilah, ataupun budaya langsung. Karena memang sesuai sejarah Islam masuk ke Indonesia dalam keadaan telah memeluk agama (Hindu dan Budha) ataupun kepercayaan (Animisme dan Dinamisme) yang telah melekat kuat di masyarakat Indonesia. Maka tidak mungkin terjadi penghapusan secara ekstrim terhadap apa yang telah melekat di masyarakat itu, melainkan dengan cara mengadopsi dan akulturasi budaya dengan ajaran Islam, sehingga Islam bisa diterima dengan damai di Indonesia.

Dapat dimengerti bahwa pendidikan Islam dimasa awal di indonesia amat fleksibel dan mudah nerasu kedalam budaya masyaraakat denagan menggunakan fasilitas-fasilitas yang sederhana, namun ternyata Islam dapat diterima dan mampu berkembang secara dinamis di negeri Nusantara ini. Ini juga sebagai bukti bahwa Islam menjadi Agama yang Universal (Rahmatan Lil 'Alamin), bisa diterima di berbagai tempat dalam suasana dan keadaan apapun

Pendidikan Islam Pada Masa Wali Songo

Kata wali berasal dari bahasa Arab ولي – والى artinya kekasih,- ولي والى artinya penguasa. Para wali songo ditinjau dari kepribadian dan dakwahnya termasuk kekasih Allah. Dan ditinjau dari tugas dan fungsinya dalam kerajaan Demak, mereka mendapat gelar Susuhunan (Sunan), yaitu sebagai penasihat dan pembantu raja. Dengan demikian maka sasaran pendidikan dan dakwah Islam meliputi rakyat umum dan kalangan pemerintah.

Adapun Walisongo itu ialah :

Maulana Malik Ibrahim = Maulana Syeikh Maghribi

Sunan Ampel = Raden Rahmat

Sunan Bonang = Maulana Ibrahim

Sunan Derajad = Raden Qasim

Sunan Giri = Raden Ainulyaqin

Sunan Kudus = Raden Amin Haji = Ja’far Shadiq

Sunan Muria = Raden Prawoto = Raden Said

Sunan Kalijogo = Raden Syahid

Sunan Gunung Jati = Raden Abd. Qadir = Syarif Hidayatullah = Falatehan = Fatahillah

Jika ditinjau lebih lanjut kata Wali Sanga tidak semata-mata Wali (Auliya') yang berjumlah sembilan. Namun wali sanga adalah suatu lembaga dakwah yang dilegalisasikan dibawah naungan kerajaan demak, atu juga anggota Dewan yang mengurus penyebaran Islam di Jawa. Kata Sanga (Sembilan) itu sendiri memilioki berbagai pengertian. Seperti diketahui bahwa para wali berdakwah juga menggunakan Budaya, Kesenian dan lain-lain. Dan kata Sanga pun juga memiliki berrbagai implikasi dengan media yang digunakan oleh para wali tersebut.

Jika ditinjau dari Walisanga sebagai dewan, maka ini dapat dimengerti wali yang sembilan tersebut adalah wali-wali pokok yang menjadi tokoh sentral dalam dewan tersebut, selain juga para murid-murid dari wali pokok tersebut dan wali sanga sendiri terdiri dari beberapa periode atau dekade, dan yang menjadi wali pokoknya jelas mengalami pergantian.

Jadi Walisongo adalah orang-orang yang saleh yang tingkat taqwanya kepada Allah sangat tinggi, pejuang dakwah Islam dengan keahlian yang berbeda. Ada yang menonjol ilmu tasawufnya, ada seni budayanya, ada yang memegang pemerintahan dan militer secara langsung. Semuanya diabdikan untuk pendidikan dan dakwah Islam.[14]

C. Pendidikan Islam Pada Masa Kerajaan - Kerajaan Islam 

Kerajaan Samudera Pasai

Dari berbagai catatan sejarah, bahwa kerajaan Islam pertama di Indonesia adalah Kerajaan Samudra Pasai yang didirikan pada abad ke-10 M, dengan raja pertama adalah Al Malik Ibrahim bin Mahdum.(a) pengembara dari maroko Ibnu Batutah sempat singgah di Kerajaan Pasai pada masa pemerintahan Malik Az Zahir pada tahun 1345 M, Ibnu Batutah menuturkan bawa ia sangat mengagumi akan keadaan Kerajaan Pasai, dimana rajanya sangat Alim dan ilmu Agama, dengan menganut mazhab Syafi'im serta mempraktekan pola hidup yang sangat sederhana.[15]

Kedatangan Ibnu batutah tersebut dapat ditarik kesimpulan pendidikan yang berlaku di zaman kerajaan Samudera Pasai adalah sebagai berikut : a) materi pendidikan dan pengajaran agama bidang syari’at adalah fiqh madzhab syafi’i; b) Sistem pendidikannya secara informal berupa majlis ta’lim dan halaqah; c) Tokoh pemerintahan merangkap sebagai tokoh agama; d) biaya pendidikan berasal dari negara.

Menurut Ibnu Batutah juga Pasai pada abad ke-14 M sudah merupakan pusat studi Islam di Asia Tenggara dan banyak berkumpul ulama-ulama dari negara-negara Islam. Ibnu Batutah mengatakan bahwa Sultan Malik Zahir adalah orang yang cinta kepada para ulama dan ilmu pengetahuan. Bila hari jum’at tiba Sultan sembahyang di Masjid menggunakan pakaian ulama. Setelah sembahyang mengadakan diskusi dengan para alim pengetahuan agama antara lain Amir Abdullah dari Delhi dan Tajuddin dari Isfahan. Bentuk pendidikan dengan cara diskusi disebut majlis taklim atau halaqah. Sistem halaqah yaitu para murid mengambil posisi melingkari guru. Guru duduk ditengah-tengah lingkaran murid dengan posisi seluruh wajah murid menghadap guru[16].

Kerajaan Perlak

Kerajaan Islam kedua di Indonesia adalah Perlak di Aceh. Rajanya bernama Sultan Alaudin (tahun1161 -1186 H / abad ke-12 M). Antara Pasai dan Perlak terjalin kerja sama yang baik sehingga seorang raja Pasai menikah dengan putri raja Perlak.[17]

Rajanya yang ke enam Sultan Mamdum Alauddin Muhammad, adalah seorang Ulama' yang mendirikan perguruan tinggi Islam, suatu lembaga majelis Taklim yang dihadiri khusus oleh para murid yang sudah Alim. Yang diajarkan adalah kitab-kitab yang berbobot pengetahuan tinggi, misalnya Al Um karya Imam Syafi'i.

Kerajaan Islam perlak juga mempunyai pusat pendidikan Islam Dayah Cut Kala. Dayah disamakan dengan perguruan tinggi, materi yang diajarkan yaitu : bahasa Arab, tauhid, tasawuf, akhlak, ilmu bumi, ilmu bahasa dan sastra Arab, sejarah dan tata negara, mantiq, ilmu falaq dan filsafat. Daerahnya kira-kira dekat dengan Aceh Timur sekarang. Pendirinya adalah ulama Pangeran Tengku Chik M. Amin pada akhir abad ke-3 H / abad ke-10 M. Inilah pusat pendidikan pertama. Rajanya Sultan Muhammad Alaudin Muhammad Amin (1245 – 1267) mendirikan perguruan tinggi islam yaitu Majlis Ta’lim. Lembaga tersebut juga mengajarkan kitab-kitab agama yang berbobot pengetahun tinggi, misalnya Al-Umm karya Imam Syafi’i.

Kerajaan Aceh Darussalam

Kerajaan Aceh Darussalam yang diproklamirkan pada tanggal 12 Dzulkaedah 916 H (1511 M), menyatakanag perang terhadap buta huruf dan buta ilmu. proklamasi Kerajaan Aceh Darussalam tersebut adalah hasil peleburan Kerajaan Islam Aceh dibelahan Barat dan Kerajaan Islam Samudra Pasai, dibelahan Timur Putra Sultan Abidin Syamsu Syah diangkat menjadi raja dengan nama Sultan Alauddin Ali Mughayat Syah (1507-1522).

Jenjang pendidikan yang ada di kerajaan Aceh darussalam diawali pendidikan terendah mennasah(madrasah) yang berarti tempat belajar atau sekolah, terdapat disetiap gampong (kampung) dan mempunyai multi fungsi antara lain : a) sebagai tempat belajar Al-Qur’an; b) sebagai sekolah dasar dengan materi yang diajarkan yaitu menulis dan membaca huruf Arab, ilmu agama dan bahasa Melayu, akhlak dan sejarah Islam; c) sebagai fungsi untuk kehidupan sehari-hari seperti beribadah dan musyawarah.

Selanjutnya sistem pendidikan di dayah (pesantren) seperti mennasah tetapi materi yang diajarkan adalah kitab nahwu, yang diartikan kitab yang dalam bahasa Arab, meskipun arti ilmu nahwu sendiri adalah tata bahasa (Arab).

Pendidikan di Aceh Darussalam sangat diperhatikan, terdapat lembaga-lembaga negara yang khusus menaungi pendidikan dan ilmu pengetahuan yaitu :

Tokoh ulama kerajaan Aceh Darussalam antara lain Hamzah Fansuri, Syamsuddin As-Sumatharani, Syeikh Nuruddin Ar-Raniri. Pada masa kejayaan Aceh pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636) banyak didirikan Masjid untuk tempat ibadah, salah satunya Masjid Baiturrahan yang juga dijadikan perguruan tinggi dan mempunyai 17 dars (fakultas).
Balai Sentra Hukama, merupakan lembaga ilmu pengetahuan, tempat berkumpulnya para ulama ahli pikir dan cerdik cendekiawan untuk membahas dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
Balai Sentra Ulama, merupakan jawatan pendidikan yang bertugas mengurus masalah-masalah pendidikan dan pengajaran.
Balai Himpunan Jama’ah Ulama, merupakan kelompok studi tempat para ulama dan sarjana berkumpul untuk bertukar pikiran membahas persoalan pendidikan dan ilmu pengetahuan.

Jenjang pendidikan yang ada antara lain :
  1. Meunasah (setingkat Sekolah Dasar): Mempelajari menulis dan membaca huruf Arab, Ilmu Agama, Bahasa Jawi/Melayu, Akhlak dan Sejarah Islam.
  2. Rangkang (setingkat Tsanawiyah): Mempelajari pelajaran Bahasa Arab, Ilmu Bumi, Sejarah, berhitung (Hisab), akhlak, fiqih dan lain-lain.
  3. Dayah (setingkat Madrasah Aliyah):Mempelajari tentang Fiqh (hukum Islam), Bahasa Arab, Tauhid, Tasawuf/Akhlak, Ilmu Bumi, Sejarah/Tata Negara, Ilmu pasti dan Faraid.
  4. Dayah Teuku Cik (setingkat Perguruan Tinggi): Mempelajari Fiqh, Tafsir, Hadits, tauhid (Ilmu Kalam), Akhlak (Tasawuf), Ilmu Bumi, Ilmu Bahasa dan Sastra Arab, Sejarah dan Tata Negara, Mantiq, Ilmu Falak dan Filsafat.

 Pendidikan Islam masa Kerajaan di pulau Kalimantan

Islam mulai masuk kalimantan mulai abad ke-15 M dengan cara damai, dibawa oleh muballigh dari Jawa. Sunan Bonang dan Sunan Giri mempunyai santri-santri dari Kalimantan, Sulawesi dan Maluku. Sunan Giri ketika berumur 23 tahun, pergi ke Kalimantan bersama saudagar kamboja bernama Abu Hurairah. Gubahan Sunan Giri bernama Kalam Muyang dan gubahan Sunan Bonang bernama Sumur Serumbung menjadi buah mulut di Kalimantan. Muballigh lain dari Jawa adalah Sayid Ngabdul Rahman alias Kahtib Daiyan dari Kediri.
Perkembangan yang sangat menggembirakan pada tahun 1710 M (tepatnya 13 Shafar 1122 H) kerajaan Islam Banjar ke 7 dibawah pemerintahan Sultan Tahmillah (1700-1748) lahir seorang terkenal Syekh Mahmud Arsyad Al Banjari di desa Kalampayan Martapura. Sejak kecil diasuh Sultan Tahmillah, belajar agam sampai di Mekkah sekitar 20 tahun.22 Selain Syekh ahmad Aryad Al Banjari ada tokoh yang terkenal yakni Syekh Mahmud Nafis bin Idris Al Banjari yang mengarang sebah kitab tasawuf "Addarunnafis".
Pada waktu kecil ia diasuh dan diangkat oleh Sultan Tahmilillah dan diirim untuk belajar ke Makkah dan Madinah selama 30 tahun. Ia wafat pada masa Sultan Sulaiman.
Kawan-kawan seangkatanya adalah Abdul Rahman Masri Jakarta, Abdul Samad Palembang, Abdul Wahab Pangkejene, Sulawesi Selatan.
Guru-guru di Makkah Syikh Attaillah, di Madinah Iman al-Haramain dan Syikh Sulaiman al-Kurdi al-Misri. Pada waktu akan pulang ke Indonesia ia belajar ilmu tasawuf kepada Syekh Abdul Karim Samman al-Madany. Sultan Tahmidillah mengangkat Syekh Arsyad sebagai mufti besar Kerajaan Banjar. Ia mendirikan pondok pesantren di kampung Dalam Pagar. Putranya bernama Syekh Syihabuddin juga keluaran Makkah dan pernah menjadi muballig kerajaan Riau. Dua orang cucunya juga menjadi ulama terkenal adalah Tuan Guru Muhammad As’ad dan Ustadh Fatimah yang mengarang kitab Perukunan dalam bahasan Melayu (dipelajari di hampir seluruh Indonesia). Sistem pengajaran Kitab di Pesantren Kalimantan sama dengan sistem pengajian kitab di pondok pesantren Jawa terutama cara-cara menterjemahkannya ke dalam bahasa daerah. Salah satu tokoh Islam yang masuk di kalimantan Barat adalah Syarif Abdurrahman Al-Kadri dari Hadramaut pada tahun 1735 M dan kawin dengan putra Dayak yang akhirnya mewarisi kerajaan di kalimantan Barat di Pontianak.
Salah seorang pejuang Islam lain dari Kalimantan Selatan adalah Pangeran Antasari lahir pada tahun 1790 M – 1862 H cucu dari pangeran Amir, putera Sultan Tahmidillah I. Pangeran Antasari melawan belanda untuk membela agama Islam dan tanah air. Ia diberi gelar oleh rakyat sebagai Khalifah Amirul Mukminin.

Pendidikan Islam masa Kerajaan di Sulawesi

Agama Islam masuk Sulawesi mula-mula adalah dibagian Jazirah sebelah selatan. Daerah ini didiami oleh suku Makasar dan Bugis. Pada abad ke-16 berdiri di daerah itu Kerajaan Gowa yang meliputi seluruh daerah-daerah kediaman suku Makasar.

Kerajaan mula-mula yang berdasarkan Islam di Sulawesi adalah Goa dan Tallo pada tahun 1605, Rajanya bernama I Mailengkang Daeng Manyonri, masuk Islam berganti nama Sultan Abdullah Awwalul Islam. Setelah itu raja Gowa Sultan Aluddin masuk Islam. Dalam waktu dua tahun seluruh rakyatnya telah memeluk Islam. Mubaligh Islam yang berjasa adalah murid Sunan Giri yakni Abdul Qadir Khatib Tunggal bergelar Dati Ribandang, ia berasal dari Minangkabau dibantu oleh Dato Sulaiman alias Dato Pattimang dan Dato Ri Tirto alias Kahtib Bungsu yang telah berjasa menyuburkan Islam di Sulawesi.

Maka tersebutlah riwayat tiga orang anak Minangkabau yaitu Datuk Ribandang, Datuk Patimbang, Datuk Ri Tirto datang merantau ke daerah Makasar. Di antara yang ketiga itu yang paling besar jasanya ialah Datuk Ri Bandang. Datuk Ri Bandang itulah yang telah mengadakan perhubungan dengan Raja Goa, sehingga akhirnya Raja goa itu memeluk agama Islam (kurang lebih tahun 1600 M). Baginda pemeluk agma Islam dan dipakai nama Sultan Alaudin Anwamul Islam, bersama baginda wazir besarnya Karaeng Matopia turut pula memeluk Agama Islam kemudian diikuti oleh pembesar-pembesarnya dan rakyat umunya.

Kemudian ketiga datuk itu terus juga menyiarkan agama Islam ke dalam kerajaan Bugis yang lain, ke Wojo, Sopeng, Sidenreng, Ternate dan lain-lain sehingga tersiarlah agama islam di daerah situ. Sampai sekarang ketiga nama Datuk itu masih menjadi ingatan yang mulia bagi orang Bugis dan Makasar.

Setelah Raja goa memeluk agama Islam, maka dalam waktu yang tidak lama daerah selatan pulau Kaliamantan telah tunduk dan memeluk agama Islam. Tak lama kemudian Kerajaan Goa menaklukkan Bone (1606 M), Bima (1616, 1618 dan 1626), Sumbawa (1618, 1626), Buton (1626). Dengan takluknya daerah-daerah tersebut maka agama Islam ikut dibelakangnya tersebar di seluruh daerah itu. Dengan demikin dapat disimpulkan bahwa agama Islam mula-mula datang di Sulawesi Selatan kemudian kerajaan Goa menyempurnakan penyebarannya sehingga sampai ke Nusa Tenggara. Sekarang keadaan agama Islam di Sulawesi sebagai berikut :

Di Sulawesi Utara terdapat penduduk beragama Islam kecuali di daerah Minahasa yang hanya terdapat di sana kurang lebih 25.000 orang Islam. Di Pulau Sulawesi selatan boleh dikatakan seluruh penduduknya beragama Islam. Sedangkan di Sulawesi Tenggara di diami oleh orang-orang yang memiliki bermacam-macam kepercayaan, seperti Agama Nasrani, Agama Islam dan kepercayaan daerah.[18]

Di antara ulama besar kelahiran Sulawesi sendiri ialah Syekh Maulana Yusuf yang belajar ke Makkah pada tahun 1644 M. Ia pulang ke Indonesia dan menetap di Banten. Banyak santrinya yang datang dari Makasar, kemudian karena memberontak dibuang oleh Belanda ke Sri Langka dan wafat di Afrika Selatan. Jenazahnya dipulangkan ke Makasar dan dikubur di sana. Ia mengarang kitab tasawuf dalam bahasa Arab, Bugis, Melayu dan Jawa.

Pendidikan Islam Pada Masa Mataram

Perpindahan kekuasaan dari Demak ke Pajang (1568 M) tidak menyebabkan perubahan yang berarti tentang sistem pendidikan dan pengajaran Islam. Setelah pusat kerajaan Islam berpindah dari Pajang ke Mataram (1586 M) maka tampak beberapa macam perubahan, terutama pada zaman Sultan Agung (1613 M).
Sesudah mempersatukan Jawa Timur dengan Mataram serta daerah-daerah yang lain maka Sultan Agung sejak tahun 1630 mencurahkan tenaganya untuk membangun negara, seperti mempergiat perdagangan dan persawahan serta memajukan perdagangan dengan luar negeri. Pada zaman beliau telah maju dan memuncak kebudayaan, kesenian dan kesusastraan. Atas kebijaksanaan Sultan Agung kebudayaan lama yang berdasarkan Indonesia asli dan Hindu dapat disesuaikan dengan agama dan kebudayaan Islam, yaitu :

Gerebeg disesuaikan dengan hari raya Idul Fitri dan Maulid Nabi. Sejak saat itu terkenal dengan gerebeg poso dan gerebeg maulud.
Gamelan sekaten yang haanya dibunyikan pada gerebeg mulud atas kehendak Sultan Agung di pukul di halaman Masjid besar.
Karena hitungan tahun caka (Hindu) yang dipakai di Indonesia (Jawa) berdasarkan perhitungan matahari berbeda dengan tahun hijriyah yang berdasarkan pada perjalanan bulan, maka pada tahun 1633 M atas perintah Sultan Agung tahun caka yang telah berangka 1555 caka, tidak lagi ditambah dengan hitungan matahari, melainkan dengan hitungan perjalanan bulan sesuai dengan tahun hijriyah. Tahun yang beru dususun tersebut dinamakan tahun jawa dan sampai sekarang tetap digunakan.
Pada zaman pemerintahan Sultan Agung, kehidupan keagamaan mengalami kemajuan pesat, upaya-upaya Sultan Agung menunjukkan agama cukup baik. Hal ini dapat dilihat dari usaha memakmurkan masjid, yaitu denagan cara mendirikan Masjid Raya (Masjid Agung) di setiap kabupaten yang dikepalai oleh seorang Penghulu, pada setiap ibu kota Distrik ada sebuah Masjid Kawedanan, dikepalai Seorang Naib, dan juga di setiap Desa dibangun Masjid Desa yang dikepalai oleh seorang Modin.

Pegawai pengulu 40 orang itu dibagi atas 4 golongan : Juru tulis dan bendahara, Ketib (Khatib), Modin (Muazzin), dan Merbot (garim di Minangkabau)

Pekerjaan khatib ialah khutbah jum’at di Masjid serta keluar ke tempat-tempat yang dipandang perlu mengadakan khutbah (tabligh) dan memberi nasihat keagamaan yang dibantu oleh Modin.

Dalam Pendidikan Islam masa Sultan Agung, membagi pesantren menjadi berapa tingkatan, yakni:

Tingkatan pengajian Al-Qur'an, tingkatan ini terdapat di setiap desa yang diajarkan adalah huruf hijaiyah, membaca Al-Qur'an, Berzanji, rukun iman, dan rukun Islam.

Tingkat pengajian kitab, santri yang mengaji pada tingkatan ini adalah yang telah Khatam Al-Qur'an. Twempatnya biasanya di serambi masjid da mereka umumnya mondok. Guru yang mengajar diberi gelar Kiai Anom. Kitab-kitab mula-mula yang dipelajari adalah 6 kitab dengan 6 Bismillahirrahmanirrahim, kemudian matan Taqrib dan Bidayatul Hidayah.

Tingkatan pesantren besar, diadakan di daerah Kabupaten sebagai lanjutan dari desa. Kitab yang dipelajari adalah kitab-kitab besar berbahasa arab yang diterjemahkan kedalam bahsa daerah. Cabang-cabang ilmu yang diajarkan adalah fiqh, tafsir, hadis, ilmu kalam tasawuf dan lain-lain.

Kesimpulan

Dari beberapa teori dan pendapat mengenai kapan masuknya Islam pertama di Indonesia, kuat kemungkinan bahwa Islam masuk ke Indonesia sekitar abad ke-7 M. Daerah pertama penyebaran agama Islam adalah sepanjang pesisir bagian utara dan barat pulau Sumatera.
Pendidikan Islam diawal permulaan di Indonesia berupa pendidikan informal. Kontak-kontak person antara muballigh dan masyarakat dengan sistem halaqah. Sedangkan pendidikan formal pertama di Indonesia yang ada antara lain : Masjid dan langgar, pesantren, mennasah, dayah, rangkang dan surau.

Pendidikan Islam pada masa kerajaan di Sumatera meliputi :

Kerajaan Samudera Pasai

Pada masa ini (abad ke-14 M) sudah merupakan pusat studi Islam di Asia Tenggara, bentuk pendidikan dengan cara diskusi yang disebut dengan Majlis Taklim / halaqah.

Kerajaan Perlak

Sebagai kerajaan Islam kedua di Indonesia setelah Samudera Pasai pendidikan pada masa ini juga mendapat prioritas, terbukti dengan adanya pusat pendidikan Islam Dayah Cut Kola sama dengan perguruan tinggi.

Kerajaan Aceh Darussalam

Pendidikan sangat diperhatikan dengan adanya lembaga khusus agama yang menangani masalah pendidikan dan ilmu pengetahuan. Tokoh-tokoh Islam yang ada pada masa kerajaan Aceh Darussalam seperti : Hamzah Fansuri, Syamsuddin As-Sumatharani, Syeikh Nuruddin Ar-Raniri.

Di pulau Jawa Islam masuk sekitar abad ke-14 dibawa oleh pedagang-pedagang Islam yang singgah di jawa. Tempat-tempat persinggahan mereka adalah antara lain : Sunda Kelapa (Jakarta), Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Tuban, Jepara, Gresik, Surabaya dan lain-lain.

Walisongo sebagai penyebar Islam di pulau Jawa yang sukses dengan adanya kerajaan Demak sebagai kerajaan Islam menguntungkan Islam berkembang di Jawa.

Adapun Walisongo adalah satu nama dewan yang terdiri atas sembilan wali sebagai pemuka agama adalah Maulana Malik Ibrahim / Maulana Syekh Maghribi, Sunan Ampel / Raden Rahmat, Sunan Bonang / Maulana Ibrahim, Sunan Derajad / Raden Qasim, Sunan Giri / Raden Ainulyaqin, Sunan Kudus / Raden Amin Haji / Ja’far Shadiq, Sunan Muria / Raden Prawoto / Raden Said, Sunan Kalijogo / Raden Syahid, Sunan Gunung Jati / Raden Abd. Qadir / Syarif Hidayatullah / Falatehan / Fatahillah.

Islam masuk di Kalimntan sekitar abad ke- 15 M, dengan cara damai di bawa oleh muballigh-muballigh dari Jawa pada tahun 1710, di Kalimantan terdapat seorang ulama besar yaitu Sayid Ngabdul Rahman alias Kahtib Daiyan dari Kediri.

Di mulai dari jazirah Selatan Kalimantan, Islam masuk ke daerah Sulawesi yang didiami suku Makasar dan Bugis. Pada abad ke-16 masehi. Berdiri kerajaan Goa, kerajaan inilah yang menyebarkan Islam lebih luas di Sulawesi.

Pendidikan Islam masa Mataram dimulai dari perpindahan kekuasaan dari Demak ke Pajang (sekitar tahun 1586). Susunan pendidikan pada masa mataram sebagai berikut : Pengajian Qur’an (sebagai tingkat rendah),Pesantren (pengajian kitab), desa (tingkat menengah),Pesantren besar (sebagai tingkat lanjut),Pesantren keahlian (takhasus) dan perguruan thariqat (tingkat tinggi).

DAFTAR PUSTAKA

Asegaf, Abdurrahman. Pendidikan Islam Di Indonesia.Yogyakarta:Suka Press,2007.

Asrohah, Hanun. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta : Logos, 1999.

Bradjanagara, Sutedjo. Sejarah Pendidikan Indonesia. Jakarta: Rajawali Press. 1956.

Daulay, Haidar Putra, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana. 2007

Depdikbud. 1985. Pendidikan Indonesia dari Zaman Ke Zaman.

Fahmi, Asma Hasan. Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta : Bulan-Bintang, 1979.

Hasbullah. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1996.

http://forum.dudung.net/index.php/topic.5369.0/prev_next_new

Mahmud Yunus. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta:Hidakarya Agung,1996

Mustafa, A dan Abdullah Aly. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (SPII). Bandung:Pustaka Setia,1998.

Soemanto, Wasty dan F.X. Soeyarno.1983. Landasan Historis Pendidikan Indonesia. Surabaya: Usaha Nasional.

Yunus, Muhammad. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta : Mutiara, 1979.

Zuhairini dkk. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta : Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1986.


[1]Soemanto, Wasty dan F.X. Soeyarno, Landasan Historis Pendidikan Indonesia. (Surabaya: Usaha Nasional, 1983). h. 25. 

[2]Sutedjo Bradjanagara, Sejarah Pendidikan Indonesia. (Jakarta: Rajawali Press, 1956), h. 10-11.

[3] Depdikbud, Pendidikan Indonesia dari Zaman Ke Zaman. (Yogyakarta , 1985), h. 56-58. 

[4] Ibid, h. 60. 

[5] Soemanto, Wasty dan F.X. Soeyarno, op. cit., h. 27 

[6] Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta : Logos, 1999), h. 144 

[7] Haidar Putra Daulay,Dinamika Pendidikan, h. 12. 

[8] Haidar Putra Daulay, Dinamika Pendidikan, h. 12-15. 

[9] Hasbullah, Sejarah Pendidikan, h. 22-23. 

[10] Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia (JakartaKencana.2007), h. 61. 

[11] Haidar Putra Daulay. Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 23-24. 

[12] Ibid, h. 24. 


[13] Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1996), h. 53-54. 


[14] Zuhairini dkk. Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1986), h. 137-141. 


[15] Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1996), h. 53-54. 

[16] http://forum.dudung.net/index.php/topic,5369.0.html),diakses tanggal 30 Nopember 2009, Juni 14, 2007 

[17] A Mustafa dan Abdullah Aly. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (SPII),(Bandung: Pustaka Setia,1998), h. 54. 

[18]Muhammad Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung,1996), h. 322-323

0 komentar:

HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html