Thursday 26 September 2013

Manajemen Sumber Daya Manusia

Perkembangan gagasan dan pendekatan kepemimpinan senantiasa mengalami evolusi sepanjang sejarah. Demikianlah dalam teori kepemimpinan dikenal pengertian dan model kepemimpinan dari klasik, tradisional, modern hingga model kepemimpinan yang dibutuhkan di abad ke-21 saat ini. Pemahaman mengenai kepemimpinan tentunya akan terus berkembang lagi di masa depan.

Perhatian para ahli atau orang kebanyakan berkenaan dengan kepemimpinan sangat besar. Saat ini saja bila kita mengetik kata kepemimpinan pada mesin pencari informasi, google, ditemukan sebanyak 5, 590, 000 items tentang kepemimpinan. Sementara, dalam laporan ahli kepemimpinan Warren Bennis dan Burt Nanusdalam buku mereka, Leaders Strategies for Taking Charge, melaporkan bahwa mereka telah menemukan lebih dari 850 rumusan tentang kepemimpinan. Barangkali karena kenyataan ini sehingga James MaC Gregor Burns berani menyimpulkan bahwa kepemimpinan merupakan fenomena yang paling banyak diperhatikan orang, namun sangat sedikit dipahami.

Kepemimpinan Model Klasik

Perhatian atas pentingnya peran kepemimpinan itu sebetulnya bukan hal baru. Jauh di masa silam, tepatnya pada zaman Mesir Kuno, kepemimpinan mendapat perhatian penuh. Sejarah Yunani Kuno juga mengajarkan bahwa kepemimpinan merupakan hal yang paling penting bagi kemakmuran rakyat.

Dari era Mesir kuno, kita memperoleh gambaran tentang bagaimana mempersiapkanFiraun untuk menjadi pemimpin. Sejumlah Ide besar, pemikiran-pemikiran besar dan analisis disiapkan untuk mendukung tampilnya Firaun.

Jejak lainnya dapat ditemukan dari tulisan salah satu filsuf berpengaruh dari Yunani, yakni Plato. Dalam karya klasiknya The Republic, Plato meyakini hanya sedikit orang yang memiliki talenta kepemimpinan, yaitu orang-orang yang memiliki kode kepemimpinan dalam jiwanya.

Plato membagi kode jiwa dalam tiga bentuk yakni; pertma, appetitif; nafsu, gairah. Orang yang berkode jiwa demikian terdorong oleh kesenangan fisik. Mereka yang mendasarkan kehidupannya pada usaha untuk kesenangan secara fisik, seperti artisan (pekerja tangan yang ahli: tukang batu, tukang kayu), seniman. Mereka dipandangnya sebagai orang yang hanya mencari kemewahan, yang semata-mata digerakan oleh nafsu daripada akal, orang-orang yang mengukur kesuksesan dalam akumulasi kekayaaan, kedua, mereka yang lebih didorong oleh spirit seperti pejuang, prajurit, orang-orang yang fisiknya kuat. Mereka adalah tipe manusia pencari kekuasaan, orang yang berjuang untuk meraih kemenangan demi kemenangan, dan,ketiga, orang yang lebih rasional berkaitan dengan akuisisi pengetahuan. Kerja mereka hanya mencari kebijaksanaan dan pengertian. Orang-orang macam ini senang bekerja mencari pengertian dan pengetahuan dan visinya demi kebaikan yang lebih tinggi. Manusia-manusia tipe tersebut menurut Plato adalah penjaga-penjaga, pelindung dalam masyarakat. Merekalah philosopher-king. Pada masa kini tipe-tipe orang seperti itu seperti, corporate manager, pemimpin-pemimpin politik, imam, dan para jenderal. Kepemimpinan merupakan talenta, bakat alami mereka. Mereka termasuk orang yang memiliki kode kepemimpinan dalam jiwanya.

Sementara murid Plato, Aristoteles yang berperan besar dalam mendidik, menggembleng Alexander Agung, pemimpin yang diorbitkan untuk menguasai masa depan kekaisaran menjelaskan bahwa tidak semua manusia mempunyai kapasitas intelektual yang sama sehingga bisa berpartisipasi dalam kehidupan kebahagiaan sejati.

Dengan kerangka pemikiran ini, Aristoteles mengembangkan pandangan kepemimpinanya. Dalam pandangannya, ada dua tipe manusia: mereka yang hidupnya bijak, berbudi luhur, suci, dan rasional dan mereka yang diarahkan olehpassion, tingkah dan konvensi sosial. Tipe pertama dianugerahi kewarganegaraan utama di dalam komunitas, karena mereka mempunyai kemampuan untuk memberdayakan komunitas mencapai tujuan-tujuannya. Tipe yang kedua adalah mereka yang ditaklukan pada perintah atau hukuman manusia tipe pertama (freeman). Menurut Aristoteles, perempuan, buruh, artis, dan petani-petani kurang mampu untuk berpartisipasi dalam kehidupan yang baik. Karena hidup mereka diarahkan oleh nafsu, gairah, keinginan, kerakusan, dan kebutuhan fisik. Dalam diri mereka kebajikan, sifat baik itu dinilainya kurang. Mereka kurang mampu dan juga waktu untuk mengkontemplasikan kebaikan yang lebih tinggi. Secara singkat, pada Aristoteleskita tidak melihat adanya egalitarianisme dalam pandanganya atas kepemimpinan. Baginya, manusia tidak diciptakan secara sama baik oleh sifat dasarnya maupun oleh hukum.

Agustinus, teolog besar abad abad pertengahan memandang pemimpin sebagai orang yang ditakdirkan oleh Allah untuk memimpin. Sementara Thomas Aquinasmemandang kepemimpinan harus bersekutu dengan ajaran-ajaran kerajaan Allah.Hanya orang baik dan bijak yang memimpin: raja atas kerajaanya, tuan atas budaknya, ayah terjadap anak-anaknya, suami memerintah istrinya. Dan pengikut harus patuh, taat, karena mengingkari kepemimpinan seseorang berarti membangkang terhadap Allah.

Sementara, Thomas Hobbes, berpendapat bahwa pemimipin adalah seorang yang memiliki kemampuan untuk melindungi rakyat. Menurutnya, kepemimpinan tidak dibangun di atas dasar visi kebaikan bersama. Kebajikan dan kebaikan tidak dianggapnya absolut. Baik bagi seseorang belum tentu baik bagi yang lain. Baginya, tidak ada kebajikan dan kebaikan. Yang ada adalah setiap manusia menjadi musuh bagi orang lainya. Hobbes tidak setuju dengan pandangan bahwa ada yang dilahirkan lebih superior dari yang lainnya, dan karenanya tunduk kepada mereka. Dia berargumen bahwa kesederajatan, kesamaan dan ketidaksamaan terletak pada perjuangan manusia. Hal Ini karena semua manusia adalah sama. Tidak ada orang baik laki maupun perempuan rela menjadi budak dari yang lain. Kemampuan seseorang dalam memimpin ditentukan oleh kemampuannya melindungi pengikut-pengikutnya. Dia mengidealkan seorang raja hebat yang baik.

Setelah membaca pandangan Locke, kesimpulan yang bisa di dapat adalah bahwa tidak ada pemimpin. Yang ada adalah kepercayaan, pelayan, pengabdi. Fungsi mereka bukan untuk memimpin melainkan menjadikan kehendak rakyat sebagi undang-undang. Konsekuensinya, hak pemimpin tidak ada bedanya dari hak pengikut. Pemimpin tidak memiliki privilese. Semua memiliki hak untuk hidup, kebebasan dan kepemilikan pribadi. Tidak ada orang yang menjadi subjek dari kehendak yang lain, dan hukum masyarakat menjamin bahwa hak ini akan dilindungi.

Dalam tradisi nusantara, kepemimpinan juga mendapatkan bobot perhatian penting. Pandangan kepemimpinan dalam tradisi nusantara beranggapan, benih unggul pemimpin adalah (1) trahing ngawirya: keturunan pahlawan, pembawa pahala bagi sesama misalnya berkat kebijaksanaan, kesaktian atau kekayaanya; (2) wijining atapa: keturunan petapa, orang yang khusuk laku lahir-batin untuk menyelami dan mengamalkan kehendak Ilahi; atau (3) titisan kusuma rembesing madu: keturunan atau titisan raja.

Pendekatan Tradisional Tentang Kepemimpinan

Melompat ke tahun 1900-an, kepemimpinan dilihat sebagai kualitas yang hanya ada dalam individu tertentu. Semua orang besar memilikinya dan orang-orang mengagumi individu-individu yang luar biasa ini. Kepemimpinan dipandang semata sebagai kualitas individu yang dilahirkan dengan kualitas yang ada dalam diri si manusia.

Pandangan atas kepemimpinan sedikit bergeser pada tahun 1930-an. Hal ini bisa dilihat dari batasan kepemimpinan sebagai suatu karakteristik di mana orang dapat mempelajarinya dan mengembangkanya dengan bantuan mentor yang dihormati.

Definisi kepemimpinan terus berkembang. Kepemimpinan dalam batasan Omer N. Bradley (1948) adalah “…seni mempengaruhi tingkahlaku manusia, melalui kemampuan untuk mempengaruhi orang-orang secara langsung dan menggerakan mereka kepada sebuah tujuan tertentu.” Pada tahun 1958, Maxwell D. Taylormerumuskan kepemimpinan sebagai seni mempengaruhi dan mengarahkan manusia dalam cara-cara untuk mendapatkan kemauan, kepatuhan, kepercayaan, penghormatan dan kerjasama yang loyal agar mencapai misi organisasi. John Wicklers (1986) memandang kepemimpinan sebagai, “proses di mana seorang individu menentukan arah dan mempengaruhi yang lainya untuk mencapai misi organisasi.

Dari sejumalah definisi yang ada, kita menyimpulkan bahwa pandangan kepemimpinan semata kualitas yang ada dalam diri orang-orang tertentu dan fokus kepemimpinan masih pada individu si pemimpin. Pemimpin-pemimpin ini tidak hanya menggunakan talenta-talenta dan pengalaman mereka untuk mempengaruhi orang lain, mereka juga fokus hanya pada aktivitas-aktivitas yang sepenuhnya bisa mencapai hasil yang diinginkan. Pemimpin mendorong orang lain untuk meyakini pada visi, tujuan dan sasaran organisasi. Pemimpin menentukan area tugas dan menyediakan kerangka kerja untuk mendukung tim mereka. Pemimpin juga mengidentifikasi prioritas-prioritas dan menyediakan pengarahan untuk menuntaskan pekerjaan tepat pada waktunya. Jadi, ukuran utama keberhasilan kepemimpinan adalah pada hasil akhir. Setiap pemimpin seratus persen bertanggungjawab atas keseluruhan hasil kerja tim. Demikian juga, pemimpin menjadi orang yang pertama-tama memberi kredit kepada hasil akhir tim, dan menjadi orang pertama yang disalahkan bila tim gagal dalam kinerjanya.

Pandangan Moderen Tentang Kepemimpinan

Ide-ide yang lebih baru memandang bahwa kemampuan-kemampuan yang dipelajari, keadaan atau situasi tertentu dapat membuat pembedaan utama dalam kepemimpinan. Seorang sersan yang dipercayakan memimpin pasukan dalam masa perang, office boy yang bekerja keras berkembang menjadi presiden perusahaan, para visioner yang menyuburkan ide menjadi usahawan besar, hakim yang berani melakukan terobosan hukum pada situasi tanpa keputusan dan bertanggungjawab untuk membebaskan terdakwa. Ini semua contoh bagaimana orang-orang bisa menjadi pemimpin. Kualitas kepemimpinan muncul dalam diri orang-orang dalamsituasi atau konteks tertentu.

Perubahan dalam pendekatan ke arah pengembangan kepemimpinan ini terjadi karena adanya pergeseran dalam ide kepemimpinan itu sendiri. Sebagaimana asumsi bahwa kepemimpinan semata-mata dilahirkan, digeser oleh ide bahwa kepemimpinan bisa dipelajari dan dilakukan, jika situasi membutuhkan. Demikian juga pendekatan atas pengembangan kepemimpinan berkembang dari soal memupuk kemampuan yang tidak dikembangkan, lalu seorang pemimpin melihat kebutuhan untuk menghormati dan memahami pengikutnya dan mencoba memotivasi mereka melalui pendekatan rasional dan emosional. Inilah yang dimaksudkan dengan kepemimpinan transaksional (Bass, 1985). Burns mendefinisikan kepemimpinan transaksional sebagai bentuk hubungan yang mempertukarkan jabatan atau tugas tertentu jika bawahan mampu menyelesaikan dengan baik tugas tersebut. Jadi, kepemimpinan transaksional menekankan proses hubungan pertukaran yang bernilai ekonomis untuk memenuhi kebutuhan biologis dan psikologis sesuai dengan kontrak yang telah mereka setujui bersama

Di abad ke duapuluh, evolusi gagasan modern tentang model kepemimpinanmerefleksikan suatu pemahaman atas kemanusiaan yang memiliki motif psikologis baik ke dalam maupun ke luar, dalam hal ini pada kepedulian sosial. Gagasan modern tentang kepemimpinan adalah menanamkan di dalam diri individu komitmen yang mendalam terhadap tujuan-tujuan sosial, mentransformasikan kepentingan pribadi ke dalam kepentingan yang lebih luas atau keprihatinana sosial yang lebih besar. Pendekatan model ini dinamakan kepemimpinan transformasional (Bass, 1985).Konsep awal tentang kepemimpinan transformasional telah diformulasi oleh Burns(1978) dari penelitian deskriptif mengenai pemimpin-pemimpin politik. Burns, menjelaskan kepemimpinan transformasional sebagai proses yang padanya “para pemimpin dan pengikut saling menaikkan diri ke tingkat moralitas dan motivasi yang lebih tinggi”, seperti kemerdekaan, keadilan, dan kemanusiaan, dan bukan di dasarkan atas emosi, seperti misalnya keserakahan, kecemburuan sosial, atau kebencian (Burns, 1997).

Kepemimpinan Abad XXI

Beberapa pandangan tentang kepemimpinan dan peran kepemimpinan dikemukakan oleh beberapa ahli kepemimpinan berikut, menunjukan suatu pergeseran baru, yang nampaknya mewarnai kepemimpinan di abad XXI:

• Kepemimpinan sebagai sebuah proses bersama yang setara antara pemimpin dan pengikut; (Joseph Drost, 1991)
  • Kepemimpinan sebagai pembentukan makna, keberartian (Drath dan Palus, 1994);
  • Ronal Heifetz (1994) menerangkan kepemimpinan sebagai suatu proses membuat adaptasi yang membutuhkan orang-orang untuk memeriksa dan merumuskan kembali asumsi-asumsi dasar mereka;
  • Cooper dan Sawaf (1997), mendefinisikan kepemimpinan sebagai kemampuan seseorang pimpinan dalam merasakan, memahami, dan secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi, dan pengaruh yang manusiawi;
  • Bethel mengemukakan kepemimpinan merupakan pola keterampilan, bakat, dan gagasan yang selalu berkembang, bertumbuh, dan berubah;
  • White Hodgson, dan Crainer (1997), berpendapat kepemimpinan masa depan adalah pemimpin yang terus belajar, memaksimalkan energi dan menguasai perasaan yang terdalam, kesederhanaan, dan multifokus. Oleh karena itu, dinyatakan bahwa kualitas menjadi penting dan kuantitas tidak lagi menjadi keunggulan bersaing. Mencari pengetahuan dan menggali ilmu harus terus dilakukan bagi pemimpin masa depan, hal ini sangat penting sebab ilmu pengetahuan merupakan energi vital bagi setiap organisasi;
  • Sejalan dengan pendapat ini, Kotter (1998), mengemukakan bahwa kemampuan seseorang pemimpin masa depan meliputi kemampuan intelektual dan interpersonal untuk mencapai tujuan organisasi secara efisien;
  • Ronald Heifetz dan Laurie (1998) berpendapat, kepemimpinan masa depan adalah seorang pemimpin yang adaptif terhadap tantangan, peraturan yang menekan, memperhatikan pemeliharaan disiplin, memberikan kembali kepada para karyawan, dan menjaga kepemimpinannya. Ditambahkan, kepemimpinan harus selalu menyiapkan berbagai bentuk solusi dalam pemecahan masalah tantangan masa depan. Dalam kaitannya dengan adaptasi terhadap perubahan, ditekankan pada pemanfaatan sumber daya manusia. Untuk itu, perlu dikembangkan peraturan-peraturan baru, hubungan dan kerjasama yan baru, nilai-nilai baru, perilaku baru, dan pendekatan yang baru terhadap pekerjaan.

Di dalam masing-masing perubahan ide dan praktek kepemimpinan ini, tampaknya ada kecenderungan yang konsisten pada meningkatnya kesamaan antara pemimpin dan pengikut. Dari ide klasik bahwa pemimpin merupakan penguasa absolut, ke gagasan di mana pekerjaan pemimpin ialah mempengaruhi orang untuk melakukan apa yang dilihat pemimpin sebagai kebutuhan untuk dilakukan, lalu bergeser ke pandangan di mana pemimpin dan pengikut mesti membagi komitmen mendalam kepada kepentingan/tujuan yang lebih besar; kesenjangan antara kekuasaan dan peran pemimpin dan pengikut semakin kecil.

Ada beberapa kecenderungan dewasa ini di mana ide dan praktek kepemimpinan sedang mengarah ke perubahan pendekatan kepemimpinan berikutnya. Meskipun bentuk baru masih belum jelas, perubahan dalam kepemimpinan saat ini menunjukan semakin berkurangnya jarak antara pemimpin dan pengikut. Saat ini tampaknya ada kecenderungan, kepemimpinan dipahami sebagai sebuah proses yang memerankan tindakan resiprokal. Maksudnya adalah orang yang bekerja bersama, apapun peran kewenangan dan kekuasaan mereka dipandang sebagai partners, mitra yang saling membutuhkan dalam menentukan bersama apa yang masuk akal, bagaimana menyesuaikan dengan perubahan, arah-visi penuntun, yang dulunya disediakan oleh seorang pemimpin individu.

Evolusi ini tidak berarti bahwa pengertian lama ditinggalkan sama sekali. Misalnya, konsep dominasi dalam pengertian kepemimpinan model klasik masih hidup juga saat ini dalam hal atau kepentingan tertentu, peran pemimpin dominan. Pengertian-pengertian baru dalam kepemimpinan muncul karena adanya beberapa keterbatasan atau sudah usangnya beberapa dari gagasan-gagasan atau model kepemimpinan sebelumnya. Sebagaimana contoh tadi, dalam hal ide dominasi sebagaimana dipraktekan banyak diktator, mempunyai kelemahan dalam hal kekuatan untuk benar-benar memotivasi orang lain. Pengikut seringkali menuruti atau patuh semata-mata menghindari hukuman. Menanggapi kelemahan ini, ide kepemimpinan sebagai pengaruh dikembangkan.

Demikian juga, gagasan modern dari kepemimpinan sebagai upaya menciptakan komitmen yang lebih dalam untuk mencapai tujuan bersama muncul sebagai tanggapan terhadap keterbatasan dari gagasan kepemimpinan sebagai pengaruh tadi. Kepemimpinan sebagai pengaruh dibatasi oleh kapasitas pemimpin untuk menciptakan motivasi sebenarnya karena tarikan kebutuhan eksternal dan rewardsemata.

Gagasan kepemimpinan menciptakan komitmen lebih dalam untuk mencapai tujuan bersama menambahkan ide bahwa motivasi akan diperkuat jika orang yang bekerja sama mencapai mimpi atau goal bersama termasuk kepentingan pribadi mereka juga. Di sini hakekat sejatinya motivasi benar-benar berfungsi. Peran pemimpin kemudian adalah mengolah proses pembudayaan, artikulasi dan mendapatkan komitmen untuk mencapai kepentingan bersama. Jadi, kepemimpinan sebagai pengaruh tidak ditinggalkan, karena seorang pemimpin sering memakai pengaruhnya di dalam proses.Dengan demikian, pengertian kepemimpinan merupakan suatu yang rumit, kompleks dan lapisan pembentukannya dibangun sepanjang jalannya sejarah.

0 komentar:

HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html