Sumber Gambar : alifbraja.wordpress.com |
Setiap manusia yang terlahir di dunia memiliki fitrah yang sangat jelas yakni beriman kepada Tuhan. Proses pembentukan serta pengembangan keimanan terhadap Tuhan bukanlah suatu proses yang mudah. Keimanan terhadap Allah swt. serta menjadi seorang muslim dalam diri setiap orang telah dimuncul sejak mereka dilahirkan. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. diriwayatkan oleh Bukhari bahwa “setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka bapak ibunyalah (yang akan berperan)) mengubah anak itu menjadi seorang Yahudi, Nasrani atau Majusi...”. Fitrah hadits tersebut dapat kita pahami sebagai Islam, karena Rasulullah saw. hanya menyebutkan kedua orang tua bisa berperan me-Yahudi-kan, me-Nasrani-kan, atau me-Majusi-kan tanpa menyebut “meng-Islam-kan”.[1]
Meskipun demikan, dalam perjalanan hidup setiap orang, keimanan bukanlah sesuatu yang terkontrol secara stagnan oleh Yang Maha Kuasa. Hal ini disebabkan oleh karena Yang Maha Kuasa sebagai tujuan atau sebagai cinta utama manusia memberikan kesempatan terhadap manusia mencari jalannya yang berbeda-beda. Akan tetapi, jalan yang diharapkan tetap satu tujuan kepada Yang Menjadi Tujuan “Ghayah”.[2]
Oleh karena itu, ummat muslim sejak Nabi Muhammad saw. berpulang ke Rahmatullah, mereka dalam usaha memperkokoh keimanan terhadap Allah swt. mereka serta berusaha menjaga hablu min Allah berusaha mencari jalannya masing-masing. Seperti ummat muslim pada golongan Muktazillah yang terkenal dengan penggunaan akal atau rasionalitas mereka terhadap agama dan prinsip ketauhidan. Pada sisi lain, para kaum sufi berlomba-lomba mencari jalan mereka sendiri dengan konsep tasawwuf mereka yakni dengan jalan mengasingkan diri.
Tasawwuf yang tidak hanya sebagai jalan menyucikan diri kepada Tuhan, tapi berguna pula sebagai pembaharuan akhlak seseorang dan membangun kehidupan jasmani dan rohani dengan cara “pengasingan diri seorang sufi.”[3] Pada akhirnya setiap sufi ini memiliki pengikut-pengikut yang turut serta dalam menjalankan serta mengembangkan jalan ke-sufi-an mereka dalam sebuah konsep tasawuf yang melembaga yang disebut tarekat atau thariqah. Pada era saat ini tarekat banyak berkembang di Indonesia, sebagai sebuah cara atau jalan dalam mendekatkan diri kepada Allah swt. Hal inilah yang menarik untuk diketahui dan perlu dibahas lebih lanjut mengenai keberadaan tarekat dan pemikirannya.
A. Pengertian dan Aspek Tarekat
Sebelum membahas persoalan tarekat lebih lanjut, kami perlu menjabarkan beberapa definisi atau pengertian mengenai tarekat. Secara etimologis kata tarekat berarti jalan (tariqah- taraiq); cara (al-kaifiyah); metode, sistem (al-uslub); mazhab, aliran, haluan (al-mazhab). Menurut istilah tasawuf, tarekat berarti perjalanan seorang salik (pengikut tarekat) menuju Tuhan dengan cara menyucikan diri atau perjalanan yang harus ditempuh oleh seseorang untuk dapat mendekatkan diri sedekat mungkin kepada Tuhan.[4]
Adapun definisi tarekat lainnya adalah “jalan” yang ditempuh para sufi, dan digambarkan sebagai jalan yang berpangkal dari syariat, sebab jalan utama disebut syar’ sedangkan anak jalan disebut tariq. Kata turunan ini menunjukkan bahwa menurut anggapan para sufi, pendidikan mistik merupakan cabang dari jalan utama yang terdiri dari ajaran Ilahi, tempat berpijak setiap muslim.[5] Dalam konteks ini syariat mengacu pada aspek lahiriah dan tarekat pada laku batiniah/ sufisme. [6]Dapat diketahui dari definisi ini tarekat merupakan sebuah jalan yang berbeda atau dapat dikatakan jalan yang tidak umum ditempuh oleh sebahagian umat muslim.
Selanjutnya dijelaskan bahwa tariq atau jalan itu lebih sempit dan lebih sulit dijalani serta membawa santri – disebut salik, atau pengembara – dalam suluk atau pengembaraannya melalui berbagai persinggahan (maqam), sampai cepat atau lambat akhirnya ia mencapai tujuannya, yaitu tauhid sempurna; yaitu pengakuan berdasarkan pengalaman bahwa Tuhan adalah Esa.[7] Penjelasan lebih lanjut sebelumnya mengenai tarekat, sebenarnya agak sedikit membingungkan dalam membedakan antara tarekat dan tasawuf itu sendiri.
Mengenai tarekat lebih lanjut, secara harfiah sekali lagi berarti jalan yang mengacu pada suatu sistem latihan meditasi maupun amalan-amalan (muraqabah, wirid, zikir, dan sebagainya) yang dihubungkan dengan sederet guru sufi. Tarekat juga berarti organisasi yang tumbuh seputar metode sufi yang khas. Pada masa permulaan, setiap guru sufi dikelilingi oleh lingkaran murid mereka dan beberap dari murid ini kelak akan menjadi guru pula. Boleh dikatakan bahwa tarekat itu mensistemsikan ajaran dan metode-metode tasawuf.[8] Berdasarkan penjelasan sebelumnya, maka semakin jelaslah perbedaan antara tasawuf dan tarekat itu sendiri. Sebagai gambaran sederhana, tasawuf adalah konsep yang dianut seorang sufi dalam mendekatkan diri kepada Tuhan, sedangkan tarekat adalah konsep tasawuf yang melembaga.
Perlu dipahami bahwa dalam ajaran tarekat tidak dibenarkan meninggalkan syariat, bahkan pelaksanaan tarekat merupakan pelaksanaan syariat agama. Oleh karena itu, melakukan tarekat tidak bisa sembarangan. Orang yang bertarekat haruslah dibimbing oleh seorang guru yang disebut mursyid (pembimbing) atau syekh. Syekh inilah yang bertanggung jawab terhadap murid-muridnya yang melakukan tarekat. Ia mengawasi murid-muridnya dalam kehidupan lahiriah serta rohaniah dan pergaulan sehari-hari. Bahkan ia menjadi “perantara” antara murid dengan Tuhan dalam beribadah. Karena itu, seorang syekh hruslah sempurna suluknya dalam syariat dan hakikat menurut al-Qur’an, al-Hadits dan ijma’.[9] Ad-din nasiha “Agama adalah nasihat yang baik” demikianlah hadits yang digemari oleh para kaum sufi[10] dan hadits ini pula yang menjadi dasar bahwasanya dalam menjalankan tarekat haruslah ada seorang guru yang terpercaya, ibaratnya hadits haruslah ada rawi atau sanad yang jelas kredibilitasnya.
Seorang syekh dalam membawa ajaran perlu mempertimbangkan beberapa hal, sebagai berikut: 1) haruslah alim dan ahli dalam memberi tuntunan kepada murid-muridnya dalam ilmu pengetahuan agama yang pokok; 2) mengenali segala sifat-sifat kesempurnaan hati dan hal-hal yang berkaitan dengannya; 3) memiliki rasa belas kasih terhadap kaum muslimin, terutama kepada murid-muridnya; 4) pandai menyimpan rahasia murid-muridnya; 5) tidak menyalah gunakan amanah muridnya: 6) tidak menyuruh murid-muridnya, kecuali terhadap sesuatu yang layak dikerjakan; 7) tidak terlalu bergaul atau bercengkrama dengan murid-muridnya; 8) mengusahakan segala ucapannya bersih dari segala nafsu dan keinginan; 9) lapang dada dan ikhlas; 10) memerintahkan berkhalwat kepada murid yang memperlihatkan kebesaran dan ketinggian hati karena terlalu dekat bergaul dengan dirinya; 11) memelihara kehormatan dirinya dan kepercayaan murid-muridnya; 12) memberikan petunjuk untuk memperbaiki keadaan murid-muridnya; 13) memperhatikan dengan sunguh-sungguh terjadinya kebanggaan rohani yang timbul pada murid-muridnya yang masih dalam proses pendidikan; 14) melarang murid-muridnya banyak berbicara kepada teman-temannya, kecuali sangat penting; 15) melarang muridnya berhubungan dengan syekh dari tarekat lain jika akan membahayakan; 16) melarang muridnya sering berhubungan dengan pejabat yang dapat membangkitkan nafsu duniawi; 17) menggunakan kata-kata yang lembut dan tepat dalam khotbahnya; 18) bersikap tenang dan sabar ketika bersama muridnya.[11] Dari sekian banyak kriteria seorang syekh atau mursyid tadi, dapat diambil kesimpulan pada dasarnya seorang syekh atau mursyid haruslah memiliki kepribadian yang adl dan betul-betul menjalankan konsep tasawuf sebagaimana seorang sufi, lalu mengajarkannya kepada murid tarekatnya.
Berikut membahas mengenai murid dalam tarekat. Perjalanan seorang murid dalam tarekat tidaklah mudah, syekh perlu menguji seberapa mampu seorang murid menjalani kesulitan-kesulitan yang akan dialami dalam thariq atau jalan. Biasanya diperlukan pengabdian selama tiga tahun sebelum murid diterima secara resmi dikelompok gurunya, satu tahun dalam pengabdian kepada umat manusia, satu tahu pengabdian kepada Tuhan dan satu tahun dalam menjaga hatinya sendiri.[12]
Setelah murid menyelesaikan pengabdiannya selama tiga tahun , ia dianggap pantas menjadi calon sufi.[13] Selain itu, seorang murid tidak boleh mencari keringanan dalam melaksanakan amaliah yang ditetapkan dan harus terus menerus mengekang hawa nafsunya untuk menghindari perbuatan dosa yang dapat merusak amal. Murid perlu pula memperbanyak dzikir, wirid dan doa dan terus-menerus belajar ilmu agama.[14]
Biasanya untuk melaksanakan tarekat secara baik, pengikut tarekat dimasukkan kedalam suatu tempat khusus yang dinamakan ribat (tempat belajar), zawiyat (tempat ibadah kaum sufi) atau khaqah. Pada tempat inilah setiap amaliah tarekat dilaksanakan baik berupa zikir, ratib (mengucap kalimat La ilaha illa Allah berulang-ulang), pembacaan wirid-wirid atau syair-syair tertentu yang biasanya diringi oleh gerakan atau rebana, maupun pengaturan nafas yang berisi zikir tertentu.[15]
Dari sekian penjabaran mengenai pengertian dan aspek-aspek mengenai tarekat, maka sekali lagi dapat dipahami bahwa tarekat adalah tasawuf yang melembaga. Lebih jelasnya, seorang sufi yang telah menemukan jalan memberikan pelajaran kepada murid-muridnya dalam sebuah tarekat. Sehingga jalan yang diajarkan dapat pula dijalani oleh muridnya. Disinilah letak perbedaan tasawuf sebagai konsep individu dan tarekat yang lebih terbuka atau bersifat sosial “meskipun minim”.
B. Sejarah Singkat Keberadaan Tarekat
Tarekat sebagai sebuah kelanjutan kegiatan sufisme baru muncul pada abad 5 H atau 13 Masehi. Hal ini ditandai dengan setiap silsilah tokoh sufi atau nama pendiri yang lahir pada abad itu.[16] Pada periode ini tasawuf memiliki aturan-aturan, prinsip-prinsip, dan sistem khusus; sedangkan sebelumnya tasawuf diterapkan secara individual disana-sini tanpa adanya ikatan satu sama lain.[17] Ini terjadi karena didasari amalan-amalan kaum sufi bukan lagi pada dirinya saja akan tetapi telah memperhatikan aspek sosial, sehingga al-mukimin mir’at al-mukminin “orang mukmin adalah cermin bagi sesamanya” menjadi pedoman yang sangat baik di dalam hubungan sosial. Dari kegiatan sosial yang berkembang inlah muncul sikap baru dari kaum sufi untuk merubah tingkah atau pola kaum sufi sebagai kelompok eksklusif menjadi gerakan massa yang menyebarkan ajarannya ke seluruh tingkat masyarakat.[18] Bahkan ada beberapa gerakan tarekat yang juga melibatkan diri pada kegiatan politik seperti Tarekat Sanusiyah yang menentang penjajahan Italian di Libya, Tarekat Tijaniyah yang menentang penjajahan Perancis di Afrika Utara serta Tarekat Safawiyah yang mendirikan Kerajaan Safawi di Persia.[19]
Awal kemuculan tarekat, ditandai dengan munculnya tarekat Qadariyah yang dikembangkan oleh Syaikh Abdul Qadir Jailani di Asia Tengah Tibristan tempat kelahiran dan kegiatannya, kemudian berkembang ke Iran, Turki, Arab Saudi sampai ke Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, India dan Tiongkok. Muncul pula Tarekat Rifa’iyah di Maroko dan Aljazair. Disusul Tarekat Suhardawiyah di Afrika Utara, Afrika Tengah, Sudan dan Nigeria.[20]
Organisasi Tarekat dalam sejarah pernah mempunyai pengaruh yang cukup besar di dunia Islam. Setelah khalifah Abbasiyah runtuh oleh bangsa Mongol tahun1258 M, tugas memelihara kesatuan Islam dan menyiarkan Islam ke tempat-tempat yang jauh beralih ke tangan sufi, termasuk ke Indonesia.[21] Ketika berdiri Daulah Usaminayah, peranan tarekat sangat besar baik dalam bidang politik maupun militer. Demikian juga Afrika Utara, peranan Tarekat Sanusiyah sangat besar terutama di negeri Aljazair dan Tunisia, sedangkan di Sudan berpengaruh Tarekat Syadziliyah. Khusus di Indonesia, pengembangan Islam pada abad ke-16 dan selanjutnya, sebagian besar adalah atas usaha kaum sufi sehingga tidak heran pada waktu itu pemimpin-pemimpin spiritual di Indonesia bukanlah ahli syariah tetapi syaikh tarekat.[22]
Mengenai sejarah singkat keberadaan tarekat yang ada, telah dibahas. Selanjutnya perlu dibahas mengenai tarekat-tarekat yang muktabarah (sah) dalam artian tidak melenceng dari ketentuan agama khususnya yang berkembang di Indonesia. Contoh tarekat yang tidak muktabarah seperti tarekat atau aliran Ahmadiyah di India yang dibawa oleh Mirza Ghulam Ahmad. Pada dasarnya mereka meyakini bahwa ada kitab selain al-Qur’an yakni Tadzkirah, dan hal seperti ini jelas melanggar syariat agama.
C. Tarekat-Tarekat Muktabarah
Seperti yang telah diterangkan sebelumnya, kami tidak akan membahas secara rinci tiga tarekat besar yang terkenal yakni Qadariyah, Naqsyabandiyah dan Khalwatiyah. Oleh karena telah menjadi pembahasan pada makalah yang berbeda. Maka kami akan memfokuskan pembahasan tarekat-tarekat yang berkembang hanya pada tarekat muktabarah dan khususnya yang berkembang di Indonesia.
1. Tarekat Syadziliyah
Tarekat Syadziliyah adalah tarekat yang dipelopori oleh Syekh Abul Hasan Asy Syadzili. Ia adalah keturunan langsung dari Hasan bin Ali bin Abi Thalib r.a dan Fatimah al-Zahra binti Rasulullah SAW.[23] Syadzili sendiri tidak mengenal atau menganjurkan murid-muridnya untuk melakukan aturan atau ritual yang khas dan tidak satupun yang berbentuk kesalehan populer yang digalakkan. Namun, bagi murid-muridnya tetap mempertahankan ajarannya. Para murid melaksanakan Tareqat Syadziliyah di zawiyah-zawiyah yang tersebar tanpa mempunyai hubungan satu dengan yang lain.[24] Tareqat ini mempunyai pengaruh yang besar di dunia Islam. Sekarang tareqat ini terdapat di Afrika Utara, Mesir, Kenya, dan Tanzania Tengah, Sri langka, Indonesia dan beberapa tempat yang lainnya termasuk di Amerika Barat dan Amerika Utara.[25]
Hizb al-Bahr, Hizb Nashor, Hizb Barr disamping Hizib al-Hafidzah, merupakan Hizib-Hizib yang terkenal dari as-Syadzilli. Menurut laporan, hizib ini dikomunikasikan kepadanya oleh Nabi SAW. Sendiri. Hizib ini dinilai mempunyai kekuatan adikodrati, yang terutama dugunakan untuk melindungi selama dalam perjalanan dan bermanfaat dalam meningkatkan kadar ibadah kepada Allah. Hizib-hizib dalam Tareqat Syadzilliyah, di Indonesia, juga dipergunakan oleh anggota tareqat lain untuk memohon perlindungan tambahan (Istighotsah), dan berbagai kekuatan hikmah, seperti debus di Pandegelang, yang dikaitkan dengan tareqat Rifa'iyah, dan di Banten utara yang dihubungkan dengan tareqat Qadiriyah. Akan tetapi yang utama adalah Hizb tersebut dipergunakan untuk meningkatkan kadar ibadah yang sebenarnya kepada Allah.
Para ahli mengatakan bahwa hizib, bukanlah doa yang sederhana, ia bukan hanya merupakan mantera megis yang Nama-nama Allah Yang Agung (Ism Allah A'zhim) dan, apabila dilantunkan secara benar, akan mengalirkan berkah dan menjamin respon supra natural dan yang terpenting adalah mendapatkan ridha Allah. Menyangkut pemakaian hizib, wirid, dana doa, para syekh tareqat biasanya tidak keberatan bila doa-doa, hizib-hizib (Azhab), dan wirid-wirid dalam tareqat dipelajari oleh setiap muslim untuk tujuan personalnya. Akan tetapi mereka tidak menyetujui murid-murid mereka mengamalkannya tanpa berlandaskan Al Qur'an dan tuntunan Rosululloh SAW, sebab murid tersebut sedang mengikuti suatu pelatihan dari sang guru untuk dapat beribadah kepada Allah dengan benar. Yang menarik dari filosufi Tasawuf Asy-Syadzily, justru kandungan makna hakiki dari Hizib-hizib itu, memberikan tekanan simbolik akan ajaran utama dari Tasawuf atau Tharekat Syadziliyah. Jadi tidak sekadar doa belaka, melainkan juga mengandung doktrin tingkah laku islami, pemahaman, adab hati, penyaksian, pembuktian yang sangat dahsyat.[26]
2. Tarekat Syattariyah
Tarekat Syattariyah adalah sebuah tarekat yang dinisbatkan kepada Syaikh Abd Allah al-Syathhari (w. 890 H/ 1485 M), seorang ulama yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Syihab al-Din Abu Hafsh, Umar Suhrawardi (639-632 H/ 1079-1168 M) ulama yang mempopulerkan Tarekar Suhrawardi.[27] Tarekat Syattariyah penah menduduki posisi penting karena tarekat ini merupakan salah satu tarekat yang besar pengaruhnya terhadap dunia Islam, khususnya di Indonesia.[28]
Tarekat ini muncul pertama kali di pada abad ke 15 M. Tarekat ini pada awal kemunculannya memiliki tujuan yang sama dengan tarekat yang berakar di India lainnya yakni melakukan berbagai gerakan keagamaan yang lebih memfokuskan misinya pada ekspansi dakwah Islam ke kalangan nonmuslim. Gerakan ini lebih menitik fokuskan pada peningkatan nilai moral dan spiritual melalui penyebaran berbagai ajaran Islam. Dalam hal ini, Syekh Abd Syattar dengan pengikutnya mengembangkan kecenderungan untuk beradaptasi atau menyesuaikan diri dengan tradisi dan ritual masyarakat setempat yang masih banyak dipengaruhi agama Hindu.[29] Konsep ini berpotensi positif untuk menggalang dengan cepat masyarakat nonmuslim dalam memeluk Islam, sementara potensi negatif memungkinkan adanya konsep-konsep yang berakibat melenceng dari tasawuf atau tarekat itu sendiri.
Sepeninggal Syekh Abd Syattar, salah satu murid yang paling berperan dalam mengembangkan dan menjadikan Tarekat Syattariah adalah Muhammad Gaus dari Gwalior (w. 1562). Sampai akhir abad ke-16, tarekat ini sudah memiliki pengaruh yang luas dari India hingga ke Indonesia.[30] Ajaran tarekat Syattariah seperti halnya tarekat lain menonjolkan aspek zikir dalam ajarannya. Zikir dalam tarekat Syattar terbagi dalam tiga kelompok, yaitu: menyebut nama-nama Allah swt. yang berhubungan dengan keagungannya, menyebut nama-nama Allah swt. yang berhubungan dengan keindahannya dan menyebut nama-nama Allah swt. yang merupakan gabungan dari sifat itu. Dalam mencapai tujuan-tujuan mistik, para pengikut ajaran ini perlu melalui kehidupan asketisme atau zuhud. Untuk mencapainya, seseorang terlebih dahulu harus mencapai tingkat akhyar (orang-orang terpeilih) dan abrar (orang-orang terbaik) serta mengusai rahasia-rahasia zikir. Satu hal yang perlu diketahui bahwa, dalam mencapai atau menguasai zikir perlu bimbingan syekh atau mursyid yang ahli pada persoalan zikir ini.[31]
3. Tarekat Sammaniyah
Tarekat Sammaniyah didirikan oleh Syekh Muhammad bin Abdul Karim al-Madani al-Syafi’i al-Samman (1130-1189 H/ 1718-1775 M). Ia lahir di Madinah dari kalangan Quraisy. Dikalangan murid-muridnya ia dikenal dengan nama al-Samman atau Muhammad Samman. Syekh Samman tidak hanya menguasai bidang tarekat tapi menguasai pula sejumlah bidang-bidang ilmu Islam.[32] Perjalanan Syekh Samman dalam mempelajari berbagai ilmu Islam juga membawanya mempelajari dan memasuki berbagai tarekat seperti Tarekat Khalwatiyah, Naqsyabandiyah, Qadariyah dan Syadziliyah. Dari berbagai ajaran itu, ia padukan menjadi satu ajaran dengan meracik teknik zikir, bacaan-bacaan dan ajaran mistis semua tarekat dengan tambahan qasidah dan bacaan lain yang ia susun sendiri.[33]
Tarekat ini pada akhirnya berhasil membangun jaringan yang sangat luas dan mempunyai pengaruh besar di Afrika Utara, yaitu dari Maroko sampai Mesir. Bahkan memperoleh banyak pengikut di Suriah dan Arabia.[34] Ciri- ciri khas tarekat ini adalah zikirnya yang keras dengan suara melengking dari pengkit-pengikutnya sewaktu melakukan zikir la ilaha illa Alla. Diantara ajarannya yang terkenal antara lain ialah: a) memperbanyak salat dan zikir; b) bersikap lemah lembut kepada fakir miskin; c) tidak mencintai dunia; d) menukarkan akal basyariah dengan akal rabbaniyah; e) mentauhidkan Allah swt. dalam zat, sifat dan af’al-Nya.[35]
4. Tarekat Tijaniyah
Tarekat Tijaniyah adalah tarekat yang didirikan oleh Syekh Ahmad bin Muhammad al-Tijani (1150-1230 H/ 1737- 1815 M) yang lahir di ‘Ain Madi, Aljazair Selatan dan meninggal di Fez, Maroko dalam usia 80 tahun. Syeikh Ahmad Tijani diyakini oleh kaumnya sebagai wali agung yang memilki derajat tertinggi dan memiliki banyak keramat.[36] Kelahiran tarekat ini sangat diyakini berkaitan erat dnegan kedudukan Syeikh ahmad Tijani sebagai wali al-qutb al-az’ham. Derajat kewalian Ahmad Tijani diyakini telah melalui proses panjang yakni pada usia 31 tahun mulai mengamalkan ilmu-ilmu kesufian dan kewalian dan pada usia 46 tahun mulai menenggelamkan diri pada amalan-amalan para wali.[37]
Dalam menyampaikan ajarannya, Ahmad Tijani menyampaikan ajaran dengan cukup sederhana. Namun dia menekankan, seperti halnya tarekat yang lain, perlu adanya perantara (wasilah) antara manusia dengan Tuhan. Perantara itu adalah dirinya sendiri dan para pengganti/wakil/ naibnya. Pengikut-pengikut dilarang keras mengikuti wali manapun selain dirinya. Karena itu, Tarekat Tijaniah hanya memiliki satu silsilah guru/ syekh lebih lanjut.[38] Karena menurut pengakuannya, Ahmad Tijani memilki nasab langsung ke Nabi Muhammad melalui Sitti Fatimah al-Zahra.[39]
Tarekat Tijaniyah juga berkembang di Indonesia, dibawa oleh Ali bin Abdullah at-Tayyib al-Azhari dari Madinah pada tahun 1928.[40] Tarekat ini segera mendapatkan banyak pengikut karena ajaran dan aturan masuk dalam tarekat ini dipermudah. Pada tarekat ini lebih menyederhanakan aspek ritual dan lebih menekankan niat dan perbuatan baik. Sehingga tarekat ini mendapatkan banyak tantangan dari tarekat-tarekat lama yang telah ada, seperti Naqsyabandiyah, Qadariyah, Syadziliyah dan Khalwatiyah. Hal yang permasalahkan adalah: a) ajaran yang mengajarkan bahwa zikir secara teratur hingga ajalnya tidak akan dihisab dan akan masuk surga beserta keluarga (anak istri); b) larangan bagi pengikutnya menjadi anggota bagi tarekat lain.[41]
5. Tarekat Chistiyyah
Tarekat ini dinisbatkan namanya kepada pendirinya yang bernama Khwajah Muin al-Din Hasan, yang lebih popular dipanggil Muin al-Din Chisyti. Informasi tentang awal kehidupannya tidak diketahui. Berdasarkan tanggal kematiannya, 6 Rajab 63 H/ 16 Maret 1236 M, dihitung dari usianya yang dikenal mencapai 97 tahun, maka dapat dipastikan bahwa dia lahir pada 536 H/ 1141-1142 M di Sijistan (Sistan).[42]
Tarekat ini menyebar dengan cepat. Pada masa itu, banyak orang islam yang memeluk agama Islam berkat kerja keras para wali Chisyti. Khutbah-khutbah mereka yang sederhana sekaligus di iringi dengan tindakan yang nyata yang menunjukkan rasa cinta yang mendalam terhadap Allah dan sesama manusia. Hal ini mampu mengundang simpatik orang-orang hindu, terutama mereka yang berasal dari kasta rendah. Anggota dari kasta yang lebih tinggi pun banyak yang terkesan. Kenyataan bahwa khanaqah Chisytiyah menghindari diskriminasi antar murid dan menjalankan paham masyarakat tak berkelas ternyata berhasil menarik anggota baru kepada tarekat mereka. Mu’in al-din menyederhanakan paham ajaranya dalam tiga asas, yang mula-mula di susun oleh abu yazid al-busthami (w. 261 H./874 M.) yaitu bahwa seorang sufi harus memiliki ‘’kemurahan hati, watak yang halus, dan kerendahan hati’’. Meskipun di perbatasan India terkadang msih ada tentara muslim yang berbatasan dengan kaum ‘’kafir’’, namun islamisasi Negara India dicapai terutama dengan dakwa sufistik para ulama, bukan dengan pedang. Begitulah sejarah tarekat Chisytiyah yang berkembang pesat di India.[43]
6. Tarekat Mawlawiyah
Nama Mawlawiyah berasal dari kata Mawlana (guru kami) yaitu gelar yang diberikan murid-muridnya kepada seorang sufi penyair terbesar Persia yakni Muhammad Jalal al-Din al-Rumi ( w. 1273). Oleh karena itu, jelas bahwa Rumi adalah pendiri tarekat ini yang didirikan 15 tahun sebelum Rumi meninggal dunia. Salah satu mursyidnya yang terkenal dan bermarkas di California, Amerika Serikat adalah Syekh Kabir Helminski.[44]
Tentang ajaran Rumi, pada dasarnya dirangkum dalam tiga trilogi metafisik, yaitu Tuhan, Alam dan Manusia. Tuhan dalam pemahaman Rumi adalah Yang Awal, Yang Akhir, Yang Lahir dan Yang Batin. Yang Awal bagi Rumi adalah akumulasi dari rasa rindu yang mendalam manusia terhadap asal-usul mereka yang sering tidak mereka sadari, dalam hal ini manusia sebagai pecinta dan Tuhan sebagai Kekasih. Yang Akhir dimaknai Rumi sebagai sebuah daya tarik luar biasa dan memesona sehingga dapat menarik apapun yang ada kembali kepada-Nya (dalam hal ini Allah sebagai Tujuan). Yang Lahir bagi Rumi adalah alam fisik ini adalah Tuhan dalam penyamaran. Ia adalah fenomena yang memberi isyarat pada realitas yang terdalam. Dalam hal ini dunia yang lahir adalah petunjuk bagi dunia yang batin. Sehingga Yang Batin bagi Rumi adalah realitas yang paling mendasar dan memerlukan mata lain yang lebih peka.[45]
Alam sendiri bagi Rumi diciptakan oleh Tuhan dengan motif cinta. Cinta Tuhan merembas kepada seluruh alam dan berbalik mencinta Sang Pencipta. Selanjutnya, manusia dalam pandangan Rumi adalah tujuan akhir dari segala penciptaan. Manusia diciptakan sebagai wakil Tuhan di muka bumi dan manusia perlu mengembangkan dan mengaktualkan setiap potensi yang dimilikinya.[46]
Lalu mengenai ajaran pada tarekat, salah satunya ialah mempraktekkan ritual sama’ (tarian berputar para darwis) yang biasanya diadakan seusai shalat jum’at. Tarian ini diiringi oleh musik dan nyanyian, tentu dimulai dengan pujian penghormatan terhadap Nabi Muhammad saw. dan berakhir dengan nyanyian dengan nada pendek dan penuh semangat dalam bahasa Turki. Ritual sama’ menurut Rumi adalah makanan rohani seperti zikir yang didalamnya manusia berputar mengitari pusat gaya berat rohani, yaitu Tuhan. Menjadi anggota Mawlawiyah diharuskan mempelajari al-Masnawi selama latihannya yaitu pembacaan yang benar, teknik tarian berputar dan silsilah dari guru hingga ke Rasulullah saw.[47]
7. Tarekat Ni’matullah
Tarekat Ni’matullah dirikan oleh Syekh Nuruddin Muhammad Ni’matullah dilahirkan di Aleppo pada tanggal 14 Rabiul Awwal 731 H (1331 M) dan wafat pada tahun 1431 di Mahan dekat Kirman baratdaya Iran. Para pengikutnya terutama terdapat di Iran dan India.[48] Tarikat Ni’matullahiyah tersebar ke India pada masa hayat Syah Ni’matullah melalui perantara cucunya, Syah Nurullah dan tak mengherankan, akhirnya sangat aktif di Iran. Sekarang khanaqah-khanaqah dari cabang tarikat tersebut terdapat di beberapa kota besar dan kecil di Amerika Serikat, Eropa Barat (termasuk Inggris), Australia dan Afrika. Karena itu tidak berlebihan untuk dikatakan bahwa sekarang tarikat Ni’matullahiyah merupakan tarikat internasionalyang diikuti oleh dunia internasional dari banyak bangsa.[49]
Sebelum pencari jalan (sufi) memasuki apa yang diistilahkan sebagai ‘lingkaran kemiskinan spritual’, dia dituntut untuk menyatakan lima komitmen kepada Syaikh. Dia harus (1) mengikuti dan mentaati syari’ah, dengan ujian, jika belum memeluk Islam sebelumnya dengan mengucapkan syahadat dan menambahnya dengan kesaksian lain bahwa “Ali adalah wali Allah”; (2) menyatakan komitmen untuk berbuat baik kepada semua makhluk Allah; (3) bersumpah kepada diri sendiri untuk menjaga rahasia Tarikat; (4) setuju melayani dan mematuhi syaikh tanpa mempertanyakannya dan (5) menyatakan dalam hati untuk berkorban dan menyiapkan makan khusus dari daging biri-biri untuk dibagi-bagikan kepada saudara sesamanya. Selanjutnya, Tarikat Ni’matullahiyah secara khas mengidentifikasikan lima prinsip yang harus dilaksanakan oleh setiap pengikutnya. Prinsip-prinsip itu terdiri dari (1) zikr, (2) fikr, (3) muraqabah, (4) muhasabah, dan (5) wirid.[50]
8. Tarekat Sanusiyah
Tarekat Sanusiyah adalah sebuah tarekat yang didirikan oleh Muhammad bin Ali al-Sanusi yang biasa dipanggil Sanusi Agung. Sanusi dilahirkan di Wasita, Oran, Aljazair. Mengenai tahun kelahirannya masih menjadi perdebatan, tapi secara pasti ia dilahirnya pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal atau 22 Desember. Secara nasab ia adalah keturunan Nabi Muhammad saw dari Hasan bin Ali bin Abu Thalib. Sebelum wafat pada tahun 1856, Sanusi sempat mengembangkan hingga ke Aljazair, Tunisia, Hijaz dan Sudan[51] bahkan sempat kembali ke Makkah meskipun sebelumnya ia telah pergi dari sana akibat perselisihannya dengan ulama Makkah. Sebelum wafat, ia memindahkan pusat ajarannya ke kota Jaghbub.[52]
Selain berdakwah kepada masyarakat Islam tarekat Sanusiyah juga aktif berdakwah kepada beberapa suku Afrika yang masih menyembah berhala. Perlu diketahui, tarekat Sanusiyah diikat oleh satu ajaran yang ketat mengenai ketauhidan. Adapun ajaran tersebut ialah: a) penyembahan hanya dilakukan terhadap Allah swt, sedangkan penyembahan terhadap wali atau ziarah ke kuburan haram; b) dilarang minum kopi dan merokok; c) harus memutuskan segala bentuk hubungan dengan Yahudi dan Kristen; d) menyerahkan sebagian penghasilannya untuk dana sosial; e) berusaha menggalang segenap daya untuk mengembangkan Islam; f) menolak pengaruh Barat.[53]
kesimpulan yang akan dipaparkan, sebagai berikut:
- Secara etimologis kata tarekat berarti jalan (tariqah- taraiq); cara (al-kaifiyah); metode, sistem (al-uslub); mazhab, aliran, haluan (al-mazhab). Menurut istilah tasawuf, tarekat berarti perjalanan seorang salik (pengikut tarekat) menuju Tuhan dengan cara menyucikan diri atau perjalanan yang harus ditempuh oleh seseorang untuk dapat mendekatkan diri sedekat mungkin kepada Tuhan. Perlu pula dipahami bahwa tasawuf adalah konsep yang dianut seorang sufi dalam mendekatkan diri kepada Tuhan, sedangkan tarekat adalah konsep tasawuf yang melembaga.
- Terdapat beberapa tarekat yang dibahas dalam makalah ini yaitu, Tarekat Syadziliyah, Tarekat Syattariah, Tarekat Sammaniyah, Tarekat Tijaniyah, Tarekat Chistiyyah, Tarekat Mawlawiyah, Tarekat Ni’matullah dan Tarekat Sanusiyah. Dari sekian tarekat yang ada, secara keseluruhan memiliki konsep yang sama dalam ajarannya yakni mengenai zikir dan wirid meskipun berbeda tata caranya. Terdapat pula kesamaan pada beberapa tarekat mengenai persoalan pengasingan diri dari kehidupan dunia dan sikap seorang murid atau salik terhadap syekh atau mursyid.
DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi. Renaisans Islam Asia Tenggara. Cet. I: Bandung; Rosda Karya, 1999.
Bruinessen, Marten Van. Kitab Kuning; Pesantren dan Tarikat. Bandung; Mizan, 1999.
Departemen Pendidikan Nasional, Ensiklopedia Islam (Jakarta, Bagian Proyek Pengembangan Sistem dan Standar, 2003.
Haeri, Syekh Fadhlullah. Belajar Mudah Tasawuf. Jakarta; Lentera, 2000.
Ilyas, Yunahar. Kuliah Aqidah Islam. Cet. XIII: Yogyakarta; LPPI, 2010.
Mulyati, Sri. et.al., Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia Cet. II: Jakarta; Kencana, 2005.
Mustafa, Mustari. Agama dan Bayang-Bayang Etis Syaikh Yusuf Al-Makassari. Cet. I: Yogyakarta; PT. LKIS Printing Cemerlang, 2011.
Nasr, Sayyid Husein. Tasawuf Dulu Dan Sekarang. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991.
Schimmel, Annemarie. Dimensi Mistik dalam Islam. Cet. II: Jakarta; Pustaka Firdaus, 2000.
Rizvi, Sayyid Athar Abbas. Tarekat Chisitiyah, dalam Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam. Bandung; Mizan, 2003.
Ziadeh, Nicola A . Tarekat Sanusiyah.Cet. I: Jakarta; PT Raja Grafindo, 2001.
[1]Yunahar Ilyas, Kuliah Aqidah Islam (Cet. XIII: Yogyakarta; LPPI, 2010), h. 11
[2]Ibid., h. 23.
[3]Departemen Pendidikan Nasional, Ensiklopedia Islam Jilid V (Jakarta, Bagian Proyek Pengembangan Sistem dan Standar, 2003)
[4]Ibid., h. 66
[5]Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam (Cet. II: Jakarta; Pustaka Firdaus, 2000), h. 123.
[6]Mustari Mustafa, Agama dan Bayang-Bayang Etis Syaikh Yusuf Al-Makassari (Cet. I: Yogyakarta; PT. LKIS Printing Cemerlang, 2011), h. 53.
[7]Ibid.
[8]Sri Mulyati, et.al., Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia (Cet. II: Jakarta; Kencana, 2005), h. 8.
[9]Departemen Pendidikan Nasional, loc.cit.
[10]Annemarie Schimmel, op. cit., h. 126.
[11]Departemen Pendidikan Nasional, op.cit., h. 66-68.
[12]Annemarie Schimmel, op. cit., h. 126-127.
[13]Ibid., h. 128.
[14]Departemen Pendidikan Nasional, op. cit., h. 68.
[15]Ibid.
[16]Sri Mulyati, op. cit., h. 6.
[17]Departemen Pendidikan Nasional, loc.cit.
[18]Annemarie Schimmel, op. cit., h. 289-293.
[19]Departemen Pendidikan Nasional, loc. cit.
[20]Sri Mulyati, op.cit., h. 7.
[21]Lihat Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara (Cet. I: Bandung; Rosda Karya, 1999), h. 34. Dalam Sri Mulyati, loc.cit.
[22]Ibid.
[23]Ihsan Ilahi Dhahir, Dirasat fi al-Attasawuf, (Lahore-Pakistan: Idara Tarjuman, 1988), h. 271.
[24] Fazrurrahman, Islam, (Chicago and London: University of Chicago Press, 1979), h. 162.
[25] Sayyid Husein Nasr, Tasawuf Dulu Dan Sekarang, terj. Abd hadi W.M, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991), h. 67
[26] Abd. Halim Mahmud, Abul Hasan al-Syadzili dari Kutub al-Haditsah, Mesir, t.th., h. 180-183.
[27]Sri Mulyati, op.cit., h. 155.
[28]Departemen Pendidikan Nasional, Jilid 5, op. cit., h. 1
[29]Sri Mulyati, op.cit., h. 154.
[30]op. cit., h. 1.
[31]Ibid., h. 2.
[32]Sri Mulyati, op. cit., h. 182.
[33]Ibid., h. 183.
[34]Departemen Pendidikan Nasional. Jilid 4., op. cit., h. 245
[35]Ibid., h. 246.
[36]Sri Mulyati, op. cit., h. 217.
[37]Ibid., h. 220.
[38]Departemen Pendidikan Nasional, Jilid 5., op.cit., h. 103.
[39]Sri Mulyati, loc.cit.
[40]Departemen Pendidikan Nasional, Jilid 5., loc. cit.,
[41]Ibid., h. 104.
[42]Sayyid Athar Abbas Rizvi, Tarekat Chisitiyah, dalam Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam, (Bandung; Mizan, 2003), h.175.
[43]Azis mansuri, Ensiklopedia 22 Tarekat dalam Tasawuf, (Imtiyaz, Surabaya, 2011), h. 94.
[44]Sri Mulyati, op.cit., h. 321.
[45]Ibid., h. 326-327.
[46]Ibid., h. 328-330.
[47]Departemen Pendidikan Nasional, Jilid 3, op. cit., h. 210-211.
[48] Syekh Fadhlullah Haeri, Belajar Mudah Tasawuf, terj. Muhammad Hasyim Assagaf, (Jakarta; Lentera, 2000), h.. 28.
[49] Marten Van Bruinessen, Kitab Kuning; Pesantren dan Tarikat, (Bandung; Mizan, 1999), h. 213.
[50]Sri Mulyati, op.cit., h. 367.
[51] Ibid., h. 376-379.
[52]Nicola A Ziadeh, Tarekat Sanusiyahi (Cet. I: Jakarta; PT Raja Grafindo, 2001), h. 161.
0 komentar:
Post a Comment