Sunday, 28 February 2016

Kritik Islam Terhadap Etika Barat

Islam dengan segala dimensinya, memiliki ciri-ciri khas yang sekaligus menjadi pembeda dengan yang lain. Basis nilainya yang didasarkan pada kerangka ketauhidan menjadi spirit utama dalam ruh pergerakannya, dan itu pula menjadi penyebab kenapa kemudian hingga saat ini Islam sangat anti terhadap pemujaan-pemujaan semu (palsu) yang mengarah pada alienasi spiritualitas dan kehancuran moralitas (dekadensi moral).
Islam dalam hal ini getol membangun propaganda kemanusiaan sejati, dan menjadikan para nabi sebagai teladan sejati, al-Quran sebagai panduan hakiki dan Insan Kamil adalah misi pasti. Kenyataan ini mengantarkan Islam terus mendapat tekanan dari berbagai pihak yang memiliki tujuan dan target yang mulia (materialisme). Tapi sebagai pegangan suci, Islam memiliki nalar dan logikanya sendiri hingga ia mampu membangun kritik terhadap berbagai hal yang dianggap bisa membelokkan manusia dari tujuan sejatinya.

Kita lihat misalnya bagaimana kompleksitas hidup yang tak satu pun luput dari pantauannya, hingga kepekaan terhadap hal-hal yang mengantar hidup manusia pada ketimpangan membuatnya pro aktif tampil untuk memberi countre hegemonic, termasuk dalam hal ini propaganda etika kehidupan yang ditawarkan dan dikemas oleh barat. Maka dari itu, menarik kiranya untuk mengupas lebih jauh bagaimana kritik Islam terhadap konsep dan gagasan etika barat, yang tentunya melibatkan unsur word view dan ideologi sebagai bagian dari variabel terpenting, mengingat karena hal tersebut merupakan akar bagi lahirnya gagasan etis dan estetis serta berbagai perangkap sosial kultural lainnya.[1]

A. Konsep Etika Barat

Satu hal yang perlu penulis garis bawahi dalam kaitannya dengan sub tema ini bahwa Etika Barat yang dimaksudkan disini ialah yang terusung dari beberapa tokoh pemikir barat yang cenderung pada epistimologi rasionalisme empiris yang berpandangan bahwa manusia hanya sebatas makhluk biologis yang tidak meiliki kebutuhan-kebutuhan yang lebih asasi (metafisis). Pandangan ini meruapakan akibat dari word view (pandangan dunia) materialisme yang menganngap bahwa alam ini tak lain dari entitas materi murni. Paradikma ini berakibat langsung pada konstruk gagasan etisnya hanya berpangkal pada asumsi-asumsi sosio-materialis ketimbang filosofis-metafisis. Itulah sebabnya sehingga para pengusung gagasan etika seperti ini cenderung mengabaikan agama sebagai aspek penting dalam kehidupan, lihat saja misalnya asumsi para rasionalis Abad Pencerahan Eropa bahwa agama akan memperburuk atau mambatasi ruang lingkup pribadi.[2]

Disi lain bahwa, jika sekiranya ada tokoh yang mengandaikan agama sebagai bagian penting dari gagasan etikanya, maka yang terbangun dari hal tersebut hanya sebatas dogma yang tidak memiliki akar argumentasi yang kuat. Maka dari itu, kaitannya dengan kedua hal tersebut, penulis berusaha mengurai dua pandangan moralitas barat yang menurut hemat penulis mewakili kedua klan tersebut.

1. Immanuel Kant dengan asumsi moralitasnya bahwa, tidak ada hal baik secara mutlak kecuali kehendak baik. Kehendak baik yang dimaksud disini ialah kehendak pada dirinya sendiri (an sich) dan tidak bergantung pada yang lain (harapan akan pamrih).[3]

Satu-satunya cara bagi manusia untuk mengantar perbuatannya menjadi etis ialah dengan menunaikan kewajiban, sebab dengan menunaikan kewajiban tersebut manusia akan terbebas dari harapan akan pamrih. Lebih jelasnya hal ini kita lihat bagaimana Kant membedakan antara tindakan yang sesuai dengan kewajiban dan tindakan yang dilakukan demi kewajiban.Tindakan yang sesuai dengan kewajibn adalah tindakan yang tidak berharga secara moral (legalitas), sedangkan yang kedua bernilai moral dan disebut moralitas. Titik penekanannya bahwa semakin sedikit harapan manusia akan pamrih untuk menunaikan kewajiban, maka semakin tinggi pula nilai moral tindakannya.[4]Dari penjelasan tersebut jelas kiranya bahwa ukuran moralitas bagi Kant ialah kewajiban (kepatuhan terhadap hukum Universal).

2. Nietzche, yang justru menganggap moralitas sebagai hiroglif (tanda yang membunyikan rahasia kegelapan) dimana rahasia tersebut bisa dibuka dengan penafsiran geneaologi. Jadi moralitas bagi Nietzche adalah bahasa isyarat dari emosi-emosi.[5] Pada intinya Nietzche membagi moralitas manusia ke dalam dua bagian, yaitu moralitas tuan dan moralitas budak. Moralitas tuan adalah nggapan hormat dan penghargaan terhadap diri mereka sendiri, jadi baik dan buruknya sebuah tindakan bukan dilihat pada tindakan itu sendiri, melainkan pada pribadi yang melakukannya. Sementara moralitas budak adalah moralitas yang tunduk pada perintah, sebab bertindak sesuai dengan keinginannya sendiri sama dengan penyangkalan terhadap kodratnya.[6] Jadi pada intinya nilai moralitas budak adalah terletak pada kepatuhan atas tuannya dengan cara mengurung kemerdekan individualnya, itulah sehingga moralitas ini bersifat reaktif, yakni bersumber dari ketakutan, meski demikian ia tetap menguasai tuannya namun kenyataan berlakunya hanya pada dunia fiktif dengan menghakimi tuannya dengan stigmat jahat.

Penjelasan tersebut mengantar penulis menarik kesimpulan sementara bahwa pada intinya terdapat kesamaan paradigma moralitas antara Kant dengan Nietszche. Bagi Kant bahwa tindakan yang sesuai dengan kewajiban adalah tindakan yang tidak bermoral karena masih mengharapkan pamrih sama dengan moralitas tuan ala Nietszche, dan tindakan yang dilakukan demi kewajiban sama dengan moralitas budak ala Nietszche.

B. Kritik Islam terhadap Etika Barat

Islam pada intinya menjadikan setiap perbuatan dan tingkah laku sebagai suatu yang bersyarat, yakni tidak terlepas dari visi ketuhanan (kailahiyan), sebab dengan hanya seperti itulah perbuatan manusia dikatakan bernilai. Berbeda dengan Immanuel Kant yang justru mengusung gagasan moralitas dengan kerangka kewajiban, yang dalam pandangan Islam bahwa hukum tersebut dimaksudkan agar perbuatan manusia bernilai, dan karenanya iapun tidak bisa dipisahkan dengan motifnya selama hal tersebut dimaksudkan sebagai wujud pengabdian dan penyembahan sebagai konsekuensi logis dari eksistensinya sebagai makhluk yang menerima keistimewaan maujud dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain.

Menurut Ali Maksum bahwa kegagalan Barat dan masyarakat modern menempatkan agama pada posisi yang semestinya menyebabkan mereka kehilangan visi ke-llahian-Nya.[7] Di lain sisi Nasr menegaskan bahwa penyebab paling mendasar atas krisis kemanusiaan yang terjadi bagi manusia modern ialah penolakannya terhadap hakekat ruh dari kehidupan manusia sehingga merekapun memandang alam sekelilingnya tidak lebih dari sekedar sumber daya yang harus dimanfaatkan dan dieksploitasi semaksimal mungkin untuk memenuhi kehidupannya.[8] Padahal sejatinya manusia adalah hamba-Nya yang harus bertanggungjawab atas perbuatannya di muka bumi ini karena ia oleh Allah diposisikan sebagai Khalifah. Tapi yang terjadi malah sebaliknya yakni membunuh Tuhan sebagaimana yang dilakukan oleh Nietszche.

Semangat yang sama dapat disimak dari pribadi al-Ghazali yang mengusung gagasan etikanya dengan kerangka wahyu, stressingnya bahwa kebahagiaan adalah pemberian dan anugeraah Tuhan. Keutamaan-keutamaan merupakan pertolongan Tuhan.Bahkan al-Ghazali menegaskan bahwa tanpa pertolongan Tuhan, usaha manusia sendiri dalam mencari keutamaan sia-sia, dan dapat membawa kepada sesuatu yang salah dan dosa.[9] Pada posisi ini al-Ghazali hendak menegaskan bagaimana sifat niscaya ketergantungan manusia kepada Tuhannya dalam setiap tindakan dan perbuatannya, sehingga ia tidak melakukan suatu perbuatan karena adanya hukum haram dan kesia-siaan yang mengikatnya, melainkan kesemua tindakan harus ditundukkan dalam kepasrahan kepada Tuhan melalui ketaatan kepada hukum-hukum yang ditetapkan-Nya.

Ali Syariati yang juga merupakan salah seorang pemikir muslimpun memberikan kritik yang sangat tajam kepada etika hidup barat yang didasarka pada cara pandang mereka yang positivistik, dimana melalui proses sekularisasi ilmu pengetahuan dipisahkan dari konteks kemanusiaan.[10]Oleh karena itu, tidak mengherankan jika tingginya ilmu pengetahuan dan teknologi justru melahirkan alienasi manusia dari nilai kemanusiaannya sendiri.

Peranan kesejarahan manusia dalam menjalani hidup di dunia yang nyata ini adalah bergerak pada dua kutub yang saling berhadapan.Kutub pertama merupakan kutub negatif yang diwakili oleh mereka yang menghambat kemajuan dengan melakukan kejahatan-kejahatan, dekadensi, penindasan, dan sebagainya.Kutub kedua adalah kutub positif kemanusiaan yang menentang tirani dan ketidak adilan demi tegaknya perdamaian, keadilan dan persaudaraan.Kedua kutub tersebut saling bersaing merebut ruang dominasi dalam mengisi ruang sejarah untuk umat mansuia.[11]

Pembeberan fakta dan kritik Ali Syariati tersebtu mengantarnya mengusung tugas dan tanggung jawab intelektual muslim. Sejatinya para cendekiawan dan ulama tidak menjebak diri pada komunitas eksklusif yang hidup disangkar emas dan dimenara gading tanpa bisa memahami keadaan rakyat mereka.Ali Syariati mengkritik cendekiawan Muslim yang jauh dari komunitas masyarakat.[12] Mereka seharusnya terus berupaya melakukan transformasi sosial dengan cara terus mencetak kaum intelektual yang tercerahakan dan sadar akan tanggung jawab sosialnya, serta mempunyai misi sosial.[13]Asumsi inilah yang mempertegas bagaimana ketidak sepakatan Ali Syariati terhadab Barat, khususnya kaum kapitalis yang selalau sibuk dengan urusan-urusan material (modal) tanpa mempedulikan nasib sesama (etika sosial).

Lain halnya dengan Murtadha Muthahhari yang melihat perbuatan etis didasarkan pada asumsi rasional-filososfis mengenai fitrah manusia, meskipun demikian nilai dan manfaat yang didapat dari perbuatan etis terkadang tidak bisa diserap oleh akal manusia.[14] Menurut Murtadha Muthahhari, kecenderunga manusia untuk melakukan perbuatan-perbuatan akhlaki bersifat fitrah,[15] sebagaimana fitrah manusia yang lain seperti fitrah bertuhan dan Bergama. Perbuatan akhlaki/ etis merupakan perbuatan luar biasa yang dilakukan oleh seorang manusia, karena umtuk melaksanakan perbuatan tersebut memastikan upaya dan ikhtiar yang sungguh-sungguh dan ikhlas untuk mengalahkan egoisme dan hawa nafsu yang membelenggu.Murtadha Muthahhari menyebutkan perbuatan akhlak sebagai perbuatan kesatria yang memiliki nilai yang lebih tinggi dari perbuatan biasa.[16]

Perbuatan akhlaki selain didasarkan pada asumsi rasionalitas, juga didasarkan pada kesadaran intuitif (spiritual).Murtadha Muthahhari menyebutkan perbuatan akhlak sebagai perbuatan yang mendapatkan sinar cahaya ilahi.Dan hal tersebut tidak mungkin terealisasi tanpa didasari oleh keimanan yang paripurna kepada Allah swt.[17]

Pengetahuan tentang akhlak sangat tergantng bagaimana seseorang mengenali dirinya, bahwa dengan mengenali diri, seseorang dapat pula mengenal Allah swt., yang merupakan masalah pemikiran manusia dan rahasia alam semesta. Kemudian dengan mengenal diri, dapat mengetahui apa yang mesti dilakukan dalam hidup dan bagaimana harus bersikap (akhlak dan pebuatan). Jika seseoarang tidak mengenal dirinya niscaya tidak akan pernah mengenal atau mengetahui bagaimana seharusnya akhlak dan perbuatan dalam hidup di dunia ini. Untuk mengetahui rahasia terbesar alam semesta dan masalah teoritis (Allah swt), tiada jalan lain kecuali melalui pengenalan terhadap diri. Juga untuk mengetahui masalah amaliah atau praktis terpenting bagi manusia (etika) harus mengetahui atau mengenal diri.[18]

Dilain sisi, kita bisa lihat bagaimana fakta historis menunjukkan tentang sikap Rasulullah saw melalui Piagam Madinah, ini adalah suat contoh akan prinsip moralitas yang salah satu butirnya yakni sikap saling menghormati dan tidak saling menyakiti serta saling melindungi antara yang satu dengan yang lainnya.[19] Tidak sebagaimana fakta moralitas yang diusung oleh Nietszche yang hanya melihat sebagaimana sisi dari kenyataan hidup manusia, atau dengan kata lain hanya berpijak pada kenyataan yang ia amati dan karenanya pula menurut hemat penulis adalah hal kasuistis. Dilain sisi, kita melihat bagaimana realitas Islam yang justru tampil untuk membangun kesamaan derajat kemanusiaan dengan cara menghapus eksistensi tuan dan budak dalam kanca pengolahan kehidupan dunia (egalitarianism).

A. Kesimpulan

Setelah mengamati pembahasan yang telah dikemukakan di atas, maka penulis dapt menarik kesimpulan sebagai berikut:
  1. Konsepsi Etika Barat sebagaimana yang diusung oleh dua tokoh pemikir, yakni Immanuel Kant justru berujung pada kekaburan paradigm, sebab ia sama sekali tidak menjelaskan secara detail atas epistemic kaitannya dengan mengapa manusia harus menundukkan perbuatannya pada hukum-hukum universal dan mengebiri pengharapan akan asas manfaat dari perbuatan moralitasitu sendiri. Sementara Nietzchen terjebak pada arus paradigm fenomenologi sosial sehingg gagasan moralitasnya pun bersifat dualisme (moralitas tuan dan moralitas budak), sementara yang disebutkan tersebut subtansinya sama-sama sebagai manusia.
  2. Kritik Islam terhadap gagasan etika Barat tersebut di ats karena dilepaskannya unsur metafisis (visi ketuhanan) sebagai hal penting dari perbuatan manusia itu sendiri, padahal sejatinya hal tersebut menjadi spirit utama dari setiap tingkah laku manusia sebagai konsekuensi logis atas kehambaan dan kekhalifaannya.
DAFTAR PUSTAKA

Barsihannor, Etika Islam, Cet. I; Alauddin Universiti Press, 2012.

Bertens K, Etika, Cet. I; Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993.

Hardiman Budi, Filsafat Modern; Dari Machiavelli sampai Nietzche, Cet.II; Jakarta: IKAPI, 2007.

Heck Robert and Dawud Reznik, The Islamic Thought of Ali Shariati and Sayyid QutbMay, 2007.

Hossen Sayyed Nasr, Man and Nature; The Spiritual Crisis of Modern Man, London: Allen and Unwin, 1967.

Madjid Nurcholis dkk, dalam Barsihannor Passing Over; Melintasi Batas Agama, Cet II; Jakarta: PT. SUN, 2001.

Maksu Ali, dalam Barsihannor Tasawuf sebagai Pembebasan Manusia Modern; Telaah Signifikansi Konsep Tradisional Islam Sayyed Hossen Nasr, Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.

Muthahhari Murtadha, Falsafa-ye Akhlake. Terj. Muhammad Babul Ulum dan Eddy Henri dengan judul Filsafat Moral Islam, Cet. I; Jakarta: al-Huda Islamic Centre, 2004.

______al-Fitrah.Terj. Afif Muhammad dengan judul Fitrah, Cet. II; Jakarta: Lentera Basritama, 1999.

______Tarbiyatul Islam.Terj. Muhammad Baharuddin dengan Judul Konsep Pendidikan Islam, Cet. I; Depok: Iqra Kurnia Gumilang, 2005.

______Falsafah Akhlak, Cet.I; Bandung: Pustaka Hidayah, 1995.

Salim Syeikh bin ‘Ied al-Hilali, Toleransi Islam menurut Pandangan al-Quran. Terj. Abu Abdillah Mohammad Afifuddin As-Sidrawi, Cet. I; Misra: Maktabah Salafy Press, T.t.

Syariati Ali, Tugas Cendekiawan Muslim. Jakarta: Rajawali Press, 1984.

Syariati Ali, What is To Be Done: The Enlightened Thinkers and Islamic Renaissance. Terj.Rahmani Astuti, Membangun Masa Depan Islam, Bandung: Mizan, 1993.


[1]Barsihannor, Etika Islam (Cet. I; Alauddin Universiti Press, 2012), h. 152. 

[2]Nurcholis Madjid dkk, dalam Barsihannor Passing Over; Melintasi Batas Agama (Cet II; Jakarta: PT. SUN, 2001), h. 153 

[3]Budi Hardiman, Filsafat Modern; Dari Machiavelli sampai Nietzche (Cet.II; Jakarta: IKAPI, 2007), h. 145 

[4]Budi Hardiman, Filsafat Modern; Dari Machiavelli sampai Nietzche, h. 146 

[5]Budi Hardiman, Filsafat Modern; Dari Machiavelli sampai Nietzche, h. 266 

[6]Budi Hardiman, Filsafat Modern; Dari Machiavelli sampai Nietzche, h. 269 

[7]Ali Maksu, dalam Barsihannor Tasawuf sebagai Pembebasan Manusia Modern; Telaah Signifikansi Konsep Tradisional Islam Sayyed Hossen Nasr (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 156 

[8]Sayyed Hossen Nasr, Man and Nature; The Spiritual Crisis of Modern Man (London: Allen and Unwin, 1967), h. 18. 

[9]K Bertens, Etika (Cet. I; Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), h. 13 

[10]Robert Heck and Dawud Reznik, The Islamic Thought of Ali Shariati and Sayyid Qutb (May, 2007), h. 2 

[11]Ali Syariati, Tugas Cendekiawan Muslim (………….), h. 37 

[12]Ali Syariati, What is To Be Done: The Enlightened Thinkers and Islamic Renaissance. Terj. Rahmani Astuti, Membangun Masa Depan Islam (Bandung: Mizan, 1993), h. 25-26 

[13]Ali Syariati, Membangun Masa Depan Islam, h. 29. 

[14]Murtadha Muthahhari, Falsafa-ye Akhlake. Terj. Muhammad Babul Ulum dan Eddy Henri dengan judul Filsafat Moral Islam (Cet. I; Jakarta: al-Huda Islamic Centre, 2004), h. 21 

[15]Murtadha Muthahhari, al-Fitrah.Terj.Afif Muhammad dengan judul Fitrah (Cet. II; Jakarta: Lentera Basritama, 1999), h. 55. 

[16]Murtadha Muthahhari, Falsafa-ye Akhlake, h. 23 

[17]Murtadha Muthahhari, Tarbiyatul Islam. Terj. Muhammad Baharuddin dengan Judul Konsep Pendidikan Islam (Cet. I; Depok: Iqra Kurnia Gumilang, 2005), h.117 

[18]Murtadha Muthahhari, Falsafah Akhlak (Cet.I; Bandung: Pustaka Hidayah, 1995), h. 210. 

[19]Syeikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Toleransi Islam menurut Pandangan al-Quran. Terj. Abu Abdillah Mohammad Afifuddin As-Sidrawi (Cet. I; Misra: Maktabah Salafy Press, T.t), h. 31

0 komentar:

HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html