Saturday, 20 December 2014

KAEDAH KEDHABITAN PERIWAYAT HADIST


Dalam wacana pemikiran hadis, ulama sepakat bahwa hadis-hadis Rasulullah saw. yang terangkum dalam perkataan, perbuatan, taqrir dan hal ihwal Nabi merupakan sumber ajaran Islam kedua sesudah al-Quran. Pendapat ini didukung oleh al-Quran Surat al-Hasyr (59) : 7, al-Quran Surat Āli Imrān (3) : 32, al-Quran Surat al-Nisā’ (4) : 59, al-Quran Surat al-Ahzab   (33) : 21.[1] Dengan begitu untuk mengetahui secara mendetail syariat Islam haruslah kembali kepada kedua sumber tersebut.

Al-Quran sebagai kalamullah memuat ayat-ayat yang bersifat global, universal, musykil dan khāfiy  yang memerlukan penjelasan rincian dan contoh pelaksanaan. Sifat keglobalan al-Quran dijelaskan secara mendetail oleh Nabi Muhammad saw. yang terangkum dalam hadis-hadisnya.

Walaupun al-Quran dan hadis merupakan sumber ajaran Islam, tetapi keduanya berbeda bila dilihat dari segi periwayatannya. Al-Quran al-Karīm yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. melalui Jibril periwayatannya bersifat mutawātir,[2] lain halnya hadis, sebahagian periwayatannya bersifat mutawātir dan sebahagian bersifat ahad. Oleh karena itu al-Quran bila dilihat dari segi periwayatannya berkedudukan sebagai qat}’iy al-wurūd,  sedang hadis sebahagiannya berstatus  qath’iy al-wurūd dan sebahagian berstatus d}anny al-wurūd.[3]

Secara historis, al-Quran tetap terpelihara secara sempurna, karena sejak zaman Rasulullah saw. sampai zaman pembukuan secara resmi yang diprakarsai oleh khalifah Abu Bakar al-Shiddīq (w. 634 M/13 H) al-Quran tetap terpelihara baik dalam bentuk hapalan ataupun dalam bentuk tulisan. Pembukuan al-Quran lebih disempurnakan pada zaman khalifah Usman bin Affan (w. 656 M/ 35 H). Akan tetapi hadis tidak demikian halnya, dalam catatan sejarah dijelaskan bahwa hadis tidak seluruhnya ditulis pada zaman Rasululah. Hadis yang ditulis secara resmi hanya berupa surat-surat Nabi kepada beberapa raja-raja non muslim sebagai dakwah untuk memeluk agama Islam. Namun ada beberapa sahabat yang menulis hadis atas inisiatifnya sendiri dan jumlahnya tidak banyak.

Di samping itu, hadis Rasulullah telah dinodai oleh pemalsuan dari pihak yang ingin merusak Islam. Kegiatan pemalsuan ini tumbuh dan berkembang  sejak  pemerintahan  Ali  bin  Abi Thalib (w. 661 M/40 H).[4]  Lebih jauh lagi, proses pembukuan hadis terjadi dalam rentang waktu yang sangat panjang setelah Rasulullah saw. wafat dan periwayatan hadis umumnya secara makna. Inilah beberapa indikasi yang melatarbelakangi pentingnya sebuah hadis dikritik secara seksama untuk menhindarkan diri dari penggunaan hadis yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kualitas dan validitasnya. [5]

Untuk kepentingan penelitian hadis, para ulama telah menyusun berbagai kaedah dan teori yang  kemudian berkembang menjadi satu disiplin ilmu yang  disebut ilmu mustalah al-hadis atau bisa  juga disebut ilmu dirayah al-hadis. Yang di dalamnya mencakup pembahasan  tentang  kaedah  keshahihan sanad dan kaedah keshahihan matan .

A.     Pengertian Dhabit
Dari segi bahasa kata dhabit  memiliki beberapa pengertian. Dalam bukunya Ibnu Mandur, lisanul ‘Arab,  beliau menjelaskan :
الظبط : لزوم شيئ لا يفرقه في كل شيئ .
والظبط الشيئ خفظه باالحزم
والرجل الظبط اي حا زم , شديد البطش.[6]
Sedangkan menurut al-Asqalaniy d}abit} dapat dimaknai dengan  sesuainya sesuatu dan tidak bertentangan dengan lainnya, mengingat sesuatu secara sempurna, kuat pegangannya. [7]
Adapun  pengertian dhabit menurut istilah,  telah dikemukakan oleh ulama dalam berbagai format bahasa,  antara lain sebagai berikut :
1.     Menurut Ibnu Hajar al-Asqalaniy dan al-Sahawiy yang disebut orang dhabit adalah orang yang kuat hafalannya tentang apa-apa yang didengarnya dan mampu menyampaikan hafalanya  itu kapan saja dia menghendakinya.
2.     Dhabit adalah orang yang mendengarkan pembicaraan sebagaimana seharusnya, dia memahami pembicaraan itu secara benar, kemudian dia menghafalnya dengan sungguh-sungguh dan dia berhasil hafal dengan  sempurna, sehingga dia mampu menyampaikan hafalannya itu kepada orang lain dengan  baik.
3.     Dhabit ialah orang yang mendengarkan riwayat sebagaimana seharusnya, dia memahaminya dengan pemahaman yang mendetail kemudian dia menghafalnya dengan sempurna, dan dia meyakini kemampuan yang demikian itu, sedikitnya mulai dari saat mendengar riwayat itu sampai dia menyampaikan riwayat tersebut kepada  orang lain. [8]
Dari definisi di atas kelihatannya memiliki persi dan format bahasa yang berbeda, namun makna dan prinsip-prinsip pemahaman yang terkandung di dalamnya memiliki kesamaan. Yang pada intinya adalah kuatnya hafalan periwayat dalam meriwayatkan hadis (mulai dari ia mendengarnya sampi ia menyampaikan kepada orang lain dan ia memahami betul apa yang disampaikannya itu).
Ulama hadis pada umumnya tidak menerangkan argument yang mendasar unsur kaedah periwayat bersifat d}abit}Yang mereka kemukakan umumnya hanya berkenaan dengan pengertian d}abit} sebagai salah satu unsur kaedah keshahihan sanad hadis.



  •  Imam Al-Syafiy dan lain-lain telah meriwayatkan sabda Nabi yang berbunyi:



نظر الله عبدا سمع مقالتي فخفظها ووعاها واداها . فرب حامل فقه  غير فقيه , ورب حامل فقه الي من هو ا فقه منه. (رواه الشا فعي عن  ابن مسعود )
Mudah-mudahan Allah mengaruniakan keelokan wajah kepada hambanya yang mendengar sabdaku, kemudian menghafalnya, memeliharanya, dan menyampaikannya kepada orang lain. Banyak orang yang menerima pengetahuan  (hadis) hanya mampu menghafalnya dan tidak memahami benar pengetahuan itu. Dan banyak orang yang menerima pengetahuan  (hadis) itu kemudian menyampaikannya kepada orang lain yang ternyata orang lain itu lebih paham dari pada orang yang menyampaikannya.

Dari hadis tersebut diperoleh petunjuk bahwa penerimaan riwayat hadis  yang lazim terjadi pada zaman Nabi ialah melalui cara al-sama’. Sedangkan orang-orang yang menyampaikan hadis (ada’ al-hadis) terlebih dahulu harus hafal dan mampu menyampaikan riwayat hadis yang diterimanya itu kepada orang lain. Periwayat yang hafal, mampu menyampaikan dan paham dengan mendalam akan hadis yang diriwayatkannya, dengan  sendirinya lebih baik (berbobot)  dari pada periwayat yang hanya hafal dan mampu menyampaikan hadis saja.

Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa penetapan unsur  periwayat bersifat dhabit didasarkan kepada argument naqliy dalam hal ini  hadis Nabi.  Dari hadis Nabi tersebut juga dapat dipahami, bahwa ada periwayat yang hafal dan mampu menyampaikan riwayat hadis, tetapi dia tidak (kurang ) paham akan kandungannya. Di samping itu, ada pula periwayat yang hafal, mampu menyampaikan hadis yang telah dihafalnya dan paham akan kandungan hadis yang diriwayatkannya.

Selain argument naqliy  di atas, argument yang mendasari unsur  periwayat bersifat d}abit adalah argument sejarah dan argument logika. Unsur tersebut dinyatakan memiliki argument sejarah, karena periwayatan hadis dalam sejarahnya lebih banyak berlangsung secara lisan dari pada tertulis.  Periwayatan lisan  mengharuskan periwayatnya  memliki hafalan yang baik. Periwayat yang tidak memiliki hafalan yang baik, sangat sulit dipercaya keshahihan riwayatnya. Adapun argument logikanya  dinyatakan sebagai berikut :
1.     Sulit dipercaya seorang periwayat menyampaikan riwayat hadis  secara lisan (hafalan) sedang dia sendiri tidak hafal tentang hadis yang diriwayatkannya.
2.     Sulit dapat dipercaya seorang periwayat yang menyampaikan hadis  secara tertulis, sedang dia sendiri  tidak memahami  apa yang termaktub dalam catatan hadisnya.
3.     Periwayat yang paham, hafal dan mampu menyampaikan riwayat hadis  lebih dapat dipercaya daripada periwayat yang hafal dan mampu menyampaikan riwayat hadis tetapi dia tidak memahami hadis yang diriwayatkannya.
Dengan demikian dapat dinyatakan, bahwa argument-argumen yang mendasari unsur periwayat bersifat d}abit} cukup kuat, baik argument naqliy, sejarah, maupun logika.[9] Dari beberapa argument di atas dapat dipahami bahwa seorang periwayat yang berkualitas d}abit} dapat meriwayatkan suatu hadis sesuai apa yang didengarnya. Secara tegas  yang dimaksud d}abit} adalah sikap penuh kesadaran dan tidak lalai, kuat hafalan bila hadis yang diriwa-yatkan berdasarkan hafalannya, benar tulisanya bila hadis yang diriwa-yatkannya berdasarkan tulisan, sementara bila dia meriwayatkan hadis secara makna maka ia akan tahu persis kata-kata apa yang sesuai untuk digunakan.

Seorang periwayat dikenal sebagai dhabit dengan  barometer yang telah ditentukan oleh para ulama. Hal ini mereka telah lakukan untuk mengukur kedhabitan para periwayat sebelumnya. Ibnu Shalah berkata, kita membandingkan riwayat seorang rawi dengan  riwayat para perawi tsiqat lain yang telah dikenal d}abit} dan ketekunannya. Bila didapati sesuai walau hanya dari segi makna, atau lebih banyak yang sesuai ketimbang yang lainnya, maka ia bisa disebut sebagai dhabit. Namun bila didapati banyak yang menyalahi , maka kedhabitannya cacat, sehingga riwayatnya tidak dapat kita katakan memiliki validitas hujjah.

Bila pada seorang periwayat terkumpul dua sifat adil dan dhabit maka ia adalah hujjah dan hadisnya harus diamalkan, periwayat ini juga disebut siqah. Hal ini dikarenakan ia bersifat jujur ditambah dengan  kuat hafalannya yang menjadikannya ia mampu menyampaikan hadis dengan lancar seperti ketika didengarnya. Para rawi yang bersifat demikian hadisnya dapat dipakai hujjah. Bila seorang rawi cacat  salah satu faktor kesiqahannya, maka hadisnya dinilai cacat sesuai dengan  tingkat kecacatannya.

B.     Kaedah-kaedah Kedhabitan
Untuk meneliti tingkat kualitas sanad sebuah hadis, khususnya dari sisi kedhabitan, maka kaedah-kaedah sifat dhabit tergambar pada penjelasan berikut ini:
1.     Periwayat itu memahami dengan baik riwayat yang telah didengarnya atau diterimanya.
2.     Periwayat itu hafal dengan baik riwayat yang telah didengarnya  (diterimanya).
3.     Periwayat itu mampu menyampaikan riwayat yang telah dihafalnya itu dengan  baik;               a.     Kapan saja dia menghendakinya.                                                                                           b.     Sampai pada saat dia menyampaikan riwayat itu kepada orang lain.[10]
Butir yang disebutkan pertama, tidak semua ulama menyebut-kanya. Butir yang disebutkan kedua, para ulama sependapat menya-takannya. Untuk butir yang disebutkan ketiga, pendapat  ulama terbagi pada dua vesri yakni ada yang tidak membatasi waktu dan ada yang membatasi waktu.
Ulama yang tidak menyatakan butir yang disebutkan pertama, boleh jadi mereka tidak mempunyai pertimbangan, bahwa :
1.     Apabila seorang periwayat telah hafal dengan  baik riwayat yang diterimanya, maka dengan sendirinya dia telah memahami apa yang telah dihafalnya itu, atau
2.     Yang dipentingkan oleh seorang periwayat adalah hafalannya dan bukan pemahamannya tentang apa yang diriwayatkannya.
Pertimbangan yang disebutkan pertama tidak cukup kuat, karena orang yang hafal tidak dengan sendirinya paham akan apa yang telah dihafalnya. Kalau begitu, pertimbangan yang disebutkan kedua meru-pakan dasar kedhabitan periwayat menurut sebagian ulama di atas. Ulama yang lebih hati-hati adalah ulama yang mendasarkan ke dhabitan, bukan hanya kepada kemampuan hafalan saja, melainkan juga pada kemampuan pemahaman. Misalnya, bila pendapat yang lebih hati-hati itu yang harus diperpegangi, maka periwayat yang memiliki kemampuan hafalan saja dan tidak memiliki kecerdasan memahami apa yang telah dihafalnya tidak lagi termasuk sebagai periwayat yang dhabit. Pada hal mereka itu oleh sebahagian ulama hadis dinyatakan sebagai periwayat yang dhabit juga. Kalau begitu, periwayat yang memiliki kemampuan hafalan dan pemahaman harus dihargai lebih tinggi tingkat kedhabitannya dari pada periwayat yang hanya memiliki kemampuan hafalan saja.

Adapun butir (c) dari butir kedhabitan di atas, walaupun terbagi dua pendapat, tetapi pada dasarnya kedua pendapat itu sama, sebab kemapuan hafalan yang dituntut dari seorang periwayat, sehingga karenanya dia dapat dinyatakan sebagai seorang yang dhabit, adalah takkala periwayat itu menyampaikan riwayat kepada orang lain. Hanya saja pendapat yang membatasi secara tegas dengan menunjuk “sampai saat dia menyam-paikan riwayat itu kepada orang lain”, merupakan pendapat yang lebih rasional dan hati-hati. Karena bagaimanapun kemampuan hafalan se-seorang mempunyai batas, misalnya karena pikun, atau sebab tertentu lainnya. Periwayat yang mengalami perubahan kemampuan hafalan, tetap dinyatakan sebagai periwayat yang dhabit sampai pada saat sebelum mengalami perubahan. Sedang sesudah mengalami perubahan, dia dinyatakan tidak dhabit.

Dalam bukunya Ahmad Umar Hasyim yang berjudul Qawaid Ushul al-Hadis,  menjelaskan bahwa ada enam hal yang menyebabkan   kecacatan rawi yang diakibatkan oleh hilangnya syarat dhabit, hal tersebut adalah sebagai berikut :
1.     Fahsy al-G}alad (banyak/sering salah). Perawi yang memiliki sifat ini, menurut Ibnu Hajar, hadisnya munkar atau  matruk.
2.     Fahsy al-Gaflah (banyak/sering lupa), jika seorang perawi keadaannya seperti ini maka hadis yang diriwayatkanya tergolong hadis  munkar atau matruk.
3.     Suu al-hifzi orang yang tidak ­ditajrih (dikuatkan) sisi ketepatan (hafalannya)  atau sisi kesalahan  (hafalannya).
4.     Al-Ikhtilat yaitu, rusaknya akal dan tidak teraturnya perkataan dan perbuatan disebabkan oleh hal-hal yang al-tariah (incidental), apakah karena usia, hilangnya penglihatan, hilangnya buku catatan hadis, atau sebab lain sehingga hafalannya menjadi buruk, pada hal sebelumnya ia dhabit. Maka semua perawi yang masuk dalam golongan ini jatuh dari derajat shahih dan hasan. Namun dapat naik ketingkat  hasan jika ada syahid atau tabi’.
5.     al-Wahm, jika didapatkan melalui qarinah-qarinah dan pengumpulan jalur-jalur, maka hadisnya mu’allal.
6.     Mukhalafah al-Siqah. jika terjadi dengan mengubah siyaq, maka menjadi mudraj al-Isnad atau mencampurkan yang mauquf dengan yang marfu’ maka menjadi mudraj al-matan atau mentaqdimkan atau mentakhirkan, maka menjadi maqlub atau dengan penambahan seorang rawi .[11]
Dalam beberapa indikator yang digambarkan oleh Ahmad Hasyim di atas tentang cacatnya sanad karena kurangnya kualitas kedhabitan, maka penulis berkesimpulan bahwa yang menjadi dasar penetapan ked}abit}an periwayat, secara normatif adalah hafalannya bukan pada tingkat pemahamannya pada hadis yang diriwayatkan. Namun demikian, dapat juga dipahami bahwa periwayat yang paham hadis dan mampu menyampaikan hadis yang diriwayatkannya itu kepada orang lain, jelas lebih tinggi martabatnya dari pada periwayat yang hanya hafal dan mampu menyampaikan hadis yang diriwayatkan itu kepada orang lain.

Abu Zahrah lebih jauh menjelaskan bahwa periwayat yang hafal dan paham  dinilai lebih kuat (rajih) dari periwayat yang hanya sekedar menghafal saja.[12]  Dari sisi logika, hal ini dibenarkan karena seorang yang hafal saja belum tentu paham atau sebaliknya seorang paham belum tentu hafal. Yang paling sempunah kedhabitannya periwayat yang hafal dan paham apa diriwayatkannya.
Adapun cara penetapan ked}abit}an seorang periwayat, menurut berbagai pendapat ulama, dapat dinyatakan sebagai  berikut:
1.     Kedhabitan periwayat dapat diketahui berdasarkan kesaksian ulama
2.     Kedhabitan periwayat dapat diketahui juga berdasarkan kesesuaian riwayatnya dengan  riwayat yang disampaikan oleh periwayat lain yang telah dikenal kedhabitannya. Tingkat kesesuaiannya itu mungkin hanya sampai ketingkat makna atau mungkin ketingkat harfiah.
3.     Apabila seorang periwayat sekali-kali mengalami kekeliruan, maka dia masih dapat dinyatakan sebagai periwayat yang dhabit. Apabila kesalahan itu sering terjadi, maka periwayat yang bersangkutan tidak lagi disebut sebagai periwayat yang dhabit.
Dalam hubungan ini, yang menjadi dasar penetapan kedhabitan periwayat secara implisit ialah hafalannya dan bukan tingkat pemahaman periwayat  tersebut terhadap hadis yang diriwayatkannya.
Kepahaman periwayat akan hadis yang diriwayatkannya tetap sangat berguna dalam periwayatan hadis, khususnya ketika terjadi perbedaan riwayat antara sesama periwayat yang d}abit}. Dalam keadaan yang demikian ini, maka periwayat yang paham dan hafal dinilai lebih kuat  (rajih) dari pada periwayat sekedar hafal saja. Jadi bagaimanapun periwayat yang paham, hafal, dan mampu menyampaikan hadis yang  diriwayatkannya itu kepada orang lain, akan tetapi mendapat tempat yang lebih tinggi dari pada periwayat yang hanya hafal dan mampu menyampaikan hadis yang diriwayatkannya itu kepada orang lain.
Karena bentuk kedhabitan para periwayat yang dinyatakan bersifat dhabit tidak sama, maka seharusnya istilah yang digunakan untuk menyifati mereka dibedakan juga. Perbedaan istilah itu dapat berupa sebagai berikut:
1.     Istilah dhabit dipergunakan bagi periwayat yang (1) hafal dengan  sempurna hadis yang diterimanya, (2) mampu menyampaikan dengan  baik hadis yang dihafalnya itu kepada orang lain.
2.     Istilah tamm al-dhabt yang bila di Indonesiakan dapat dipakai istilah dhabit plus, dipergunakan bagi periwayat yang (1) hafal dengan sempurna hadis yang diterimanya (2) mampu menyampaikan dengan baik hadis yang dihafalnya itu kepada orang lain, dan (3) paham dengan  baik hadis yang dihafalnya itu.[13]
Klassifikasi ini akan sangat berguna bagi paham analisis dipembahasan, misalnya ke-syaz-an dan keillat-an sanad.
Ked}abit}an periwayat yang dibahas di atas adalah ked}abit}an yang oleh ulama hadis disebut dengan  istilah dhabit sadr. Di samping itu ada lagi kedhabitan yang diberi istilah dengan dhabit kitab.Yang dimasuk dengan dhabit kitab adalah periwayat yang memahami dengan baik tulisan hadis yang tertulis dalam kitab yang ada padanya, apabila ada kesalahan tulisan dalam kitab, dia mengetahui letak kesalahannya. Kedhabitan kitab ini sangat diperlukan bagi periwayat yang takala menerima dan atau menyampaikan riwayat hadis melalui cara al-qir’ah ‘ala as-Syaekh ataupun al-ijazah.

          Contoh hadis dalam penerapan qaedah kedhabitan periwayat.
Riwayat al-Turmuziy
1)             حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا زَكَرِيَّا بْنُ إِسْحَقَ الْمَكِّيُّ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ صَيْفِيٍّ عَنْ أَبِي مَعْبَدٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ لَهُ إِنَّكَ تَأْتِي قَوْمًا أَهْلَ كِتَابٍ فَادْعُهُمْ إِلَى شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِي أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَإِيَّاكَ وَكَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ فَإِنَّهَا لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللَّهِ حِجَابٌ وَفِي الْبَاب عَنْ الصُّنَابِحِيِّ قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ ابْنِ عَبَّاسٍ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَأَبُو مَعْبَدٍ مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ اسْمُهُ نَافِذٌ

Biografi Para Periwayat Hadis
Jalur al-Tirmiziy
           al-Turmuziy. Nama lengkapnya  Muhammad ibn Isa ibn Musa  ibn al-Dakhkhak (209-279) gurunya antara lain Quthaibah, Abu Bakar bin abi Syaebah. Muridnya antara lain Abu Bakar Ahmad bin Ismail. [14]
Para ahli kritik hadis member penilaian sebagai berikut :
1.     Ibnu Hibban; dia seorang penghimpun hadis, penyussun kitab, dan senantiasa berdiskusi dengan  ulama.
2.     al-Quran-Idrisiy; dia seorang ulama yang menguasai ilmu hadis, penyusun kitab al-Jami’, al-Tarikh, dan al-‘Ilal.
3.     Ibnu Hibban; dia siqah, zuhud dan ahli hadis.
Dengan  demikian pernyataannya ia menerima hadis Abu Syaebah dapat dipercaya, sekaligus diyakini bahwa antara keduanya telah terjadi persambungan sanad.

Abu Kuraib. Nama lengkapnya al-‘Ala’iy bin Kuraib (w.248), gurunya antara lain Waki', Jarir bin abdul Hamid. Muridnya antara lain Abu Bakar bin Syaebah, Tirmiziy. Para kritik hadis member penilaian yang tinggi terhadap pribadi dan intelektualnya.
Abu hatim al-Raziy; menilainya sebagai periwayat yang siqah mutqin. Al-Nasaiy dan Maslamah bin Kasim menilainya sebagai seorang tabiin yang banyak meriwayatkan hadis dan siqah subut.
Dari penilaian yang  diberikan para kritis hadis di atas maka menandakan bahwa pribadi Abu Kuraib siqah. Dengan  demikian pernyataannya ia menerima hadis Ishak bin Ibrahim dipercaya, dan ini berarti sanad antara keduanya bersambung.

Waki’. Nama lengkapnya adalah Waki’ bin al-Jarah  bin Maliyh,  (w.196H.) Gurunya Zakariya bin Ishak al-Makkiy, Amir bin Bakr. Muridnya antara lain Ishaq bin Ibrahim, Kuraib. Kritikus hadis memberikan pujian yang tinggi terhadap pribadi Waki’. Misalnya Ibnu Sa’ad bin Murrah menyatakan bahwa Waki’ adalah periwayat hadis yang siqah. Ahmad bin Hambal menyatakan bahwa saya tidak melihat seorang pun yang lebih mengetahui hadis kecuali Waki’. [15]
          Tidak seorang pun kritik hadis yang mencela pribadi Waqi’, sebaliknya pujian yang diberikan kepadanya adalah pujian yang berperingkat tingi. Oleh karena itu pernyataannya bahwa ia menerima hadis dari Abu Bakar dengan  metode haddasana dapat dipercaya. Itu berarti sanad antara keduanya muttshil (bersambung).

Zakaria bin Ishak. Zakaria bin Ishak al-Makkiy menerima hadis dari Ibrahim bin Maesar, Ishak, Yahya bin  Abdullah   asy- Syaefiy. Muridnya   antara  lain Abu Bakar, Waqi’.
Kritik hadis Mansur al-Faqih dan Ahmad bahwain al-Thawiy, memujinya dengan  pernyataan dia adalah Imam umat Islam. Abu Ali an- Naesaburiy mengatakan dia adalah orang paling tahu tentang hadis shahih dan cacat, demikian pula tentang rijal al-hadis. Tidak seorang pun yang mencelah pribadinya, pujian yang diberikan kepadanya sangat tinggi. Oleh karena itu, pernyataanya bahwa ia menerima hadis dari Yahya bin Abdullah Shaefiy dengan  metode haddasana dapat diterima. Dan ini menandangan muttashil sanadnya.

Yahya bin Abdullah bin Shaefi. Nama lengkapnya adalah Yahya bin Abdullah bin Muhammad bin Shaefiy. Dia menerima hadis Ma’bad, dan muridnya Zakariya bin Ishak al-Makkiy. Ibnu Ma’in memberinya gelar siqah,  an-Nasaiy dan Ibnu Hibban mengatakan bahwa dia siqah. Tidak seorang pun kritikus memberinya penilaian negative. Dengan demikian pernyataannya bahwa dia menerima hadis dari Mabad dapat dipercaya dan ini berarti sanadnya bersambung.

Abi Ma’bad. Nama lengkapnya adalah Nafi’ Mawia ibnu Abbas (w104 H). Gurunya antara lain Abdullah Ibnu Abbas, Amr bin Haisyam, muridnya antara lain Yahya bin Abdullah, Asram bin Dinar. Kritikus hadis Ahmad bin Hambal memujunya dengan  peringkat siqah, Yahya bin Ma’in al-Nasaiy dan Ibnu Hibban memasukkan pada kelompok siqah. Dengan  demikian pernyataannya bahwa dia menerima hadis dari Abdullah ibn Abbas dengan metode ‘an dapat diterima. Dan ini menandakan sanadnya muttashil.

Ibnu Abbas. Nama lengkapnya Abdullah ibn Abbas ibn Abdul Muththalib al-Hasyimiy (w.68H.). Di samping dia banyak menerma hadis dari Rasulullah saw. secara langsung juga dia berguru pada ayahnya dan al-Kulafaur Rasyidin. Murid yang meriwayatkan hadisnya  antara lain Ma’bad Sa’id bin Jubair. Kritikus hadis Umar menyatakan bahwa dia adalah fukaha dan ulama hadis dikalangan sahabat, al-Asqalaniy dan al-Bandhariy menilainya dengan  siqah, al-muksiran fi al-hadis.
Tidak seorang pun yang mencela pribadinya, bahkan beliau sangat dekat dengan Rasulullah saw. dan beliau tidak diragukan lagi kejujur-annya. Oleh karena itu diyakini dia menerima hadis langsung dari Nabi maka sanadnya bersambung.
Setelah meneliti sanad al-Tirmiziy melalui jalur Kuraib ternyata seluruh periwayatnya bersifat adil dan dhabit (siqah, sanadnya dalam keadaan muttashil, terhindar dari dzadz dan illat). Dengan demikian, hadis yang diteliti telah memenuhi unsur-unsur kaedah keshahihan sanad, sehingga dapat dinyatakan bahwa sanad hadis yang bersangkutan berkualitas shahih.

 KESIMPULAN
Dari beberapa keterangan yang penulis paparkan pada bab pembahasan, maka dapatlah ditarik bebrapa kesimpulan sebagai berikut :
1.       Dari segi bahasa kata  dhabit  dapat berarti ;
الظبط : لزوم شيئ لا يفرقه في كل شيئ .
والظبط الشيئ خفظه باالحزم
والرجل الظبط اي حا زم , شديد البطش.
Yakni; sesuainya sesuatu dan tidak bertentangan dengan lainnya, mengingat sesuatu secara sempurna, kuat pegangannya. Sedangkan   pengertian d}abit} menurut istilah adalah orang yang mendengarkan riwayat sebagaimana seharusnya, dia memahaminya dengan  pemahaman yang mendetail kemudian dia menghafalnya dengan  sempurna, dan dia meyakini kemampuan yang demikian itu, sedikitnya mulai dari saat mendengar riwayat itu sampai dia menyampaikan riwayat tersebut kepada  orang lain.
2.     Kaedah-kaedah sifat d}abit}  adalah;  Periwayat itu memahami dengan  baik riwayat yang telah didengarnya atau diterimanya. periwayat itu hafal dengan  baik riwayat yang telah didengarnya  (diterimanya), periwayat itu mampu menyampaikan riwayat yang telah dihafalnya itu dengan  baik  kapan saja dia menghendakinya sampai pada saat dia menyampaikan riwayat itu kepada orang lain.
3.       Penetapan ked}abit}an seorang periwayat adalah; 
a.     Ked}abit}an periwayat dapat diketahui berdasarkan kesaksian ulama
b.     Ked}abit}an periwayat dapat diketahui juga berdasarkan kesesuaian riwayatnya dengan  riwayat yang disampaikan oleh periwayat lain yang telah dikenal kedhabitannya. Tingkat kesesuaiannya itu mungkin hanya sampai ketingkat makna atau mungkin ketingkat harfiah.
c.      Apabila seorang periwayat sekali-kali mengalami kekeliruan, maka dia masih dapat dinyatakan sebagai periwayat yang d}abit}. Apabila kesalahan itu sering terjadi, maka periwayat yang bersangkutan tidak lagi disebut sebagai periwayat yang dhabit.
 KEPUSTAKAAN 
Abu Rayyah, Mahmud. Adwa ‘Ala al-Sunnah al-Muhammadiyah aw Diffa’an Hadis. Mesir: Dar Al-Ma’rifat, t.th.
Ahmad, Arifuddin. Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi.  Refleksi Pemikiran Pembaruan  Prof.Dr. Muhammad Syuhudi Ismail). Jakarta: MSCC, 2003.
Ajjaj al-Khathib, Muhammad. Uşūl al-Hadīś ‘Ulūmuhu wa Musţalāhuhu. Beirut:Dār al-Fikri, l989 M.
al-Adhabiy, Salah al-Din ibnu Ahmad.  Manhaj Naqd al-Matan. Beirut: Dar afaq al-Jadidah, l983.
Al-Asqalaniy. Nuzhah al-Nazhar.  Kairo: Dar al-Fikr, t.th. as-Sakhawiy, al-Mutakallimun fi al-Rijal (Kairo: maktabah al-Mathba’ah al-Islamiyah, 1980.
al-Din Abi Fadhal Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalāniy, Syihab. Nuzat al-Nazar  Nuhbat al-Fikriy. Kairo: Mathba’ah Istiqamah, 1368 H.
al-Payyumiy, Ahmad bin Muhammad.  al-Misbah al-Munir fi Gharib al-Syarah al-Kabir, juz II . Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, l978.
al-Qasimiy, Muhammad Jamal al-Din .   Qawa’id al-Tahdis Min Funun Mushthalah Hadis . Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th .
al-Rawziy, Rif’at.  al-Kadkhal ila Tauziq al-Sunnah . Mesir: Dar al-Maktabah al-Syurahah, t.t. 65.
al-Shaleh, Subhi.  Ulum al-Hadis  Wa Musthalahuhu. Beirut Dau al-‘Ilm li al-Malayin, l977.  Ismail, M. Syuhudi.   Kaedah Keshahihan Sanad Hadis  Telaah Kritis Dan Tinjauan Dengan Pendekatan Ilmu Sejarah.. Jakarta: Bulan Bintang, 1988.
al-Sibaµiy, Mustafah. al-Sunnah wa Makānatuhā fi al-Tasyri’ al-Islamiy. Beirut: Maktabah al-Islamiy l985.
Hasyim, Ahmad Umar. Qawaid al-Ushul al-Hadis. Kairo; T.tp, 1991.
Ismail, M. Syuhudi. Kaidah Kesahihan sanad Hadis (Telaah Kritis Dan tinjauan dengan Pendekatan Ilmu sejarah).   Jakarta: Bulan Bintang, 2005.
Ismail, M. Syuhudi. Metodologi Hadis Nabi. Jakarta : Bulan Bintang, 1992.
Mahmud, Abd. Halim. al-Sunnah fi nakamatiha wa fi Tarikhiha. Kairo: Dar al-Kitab al-‘Arabiy, l967.
Manzur.  Lisan al-‘Arab. Beirut; Dar al-Shadar, 1863.
 Shabbag, Muhammad.  al-Hadīś al-Nabawiy.  Riyad: Maktabah al-Islāmiy, l972.
Shaleh, Shubhiy.  “Ulum al-Hadits wa Mushthalahuhu. Beirut : Dar al-‘Imiy al-Malayin, 1977.
Zahrah, Muahammad Abu. Ushul al-Fiqhi. Mesir: Dar al-Fikriy al-‘Arabiy, 1958 


[1] Lihat Muhammad Shabbag, al-Hadīś al-Nabawiy (Riyad: Maktabah al-Islāmiy, l972), h. 1414; Subhi al-Shaleh, Ulum al-Hadis  Wa Musthalahuhu (Beirut Dau al-‘Ilm li al-Malayin, l977), h. 3 – 4, M. Syuhudi Ismail,  Kaedah Keshahihan Sanad Hadis  Telaah Kritis Dan Tinjauan Dengan Pendekatan Ilmu Sejarah (Jakarta: Bulan Bintang, 1988),    h. 85 – 86; Abd. Halim Mahmud, al-Sunnah fi nakamatiha wa fi Tarikhiha (Kairo: Dar al-Kitab al-‘Arabiy, l967), h. 26 – 29.
[2] Secara etimologi mutawātir adalah tatabu  yakni berurut, sedang secara istilah dalam ilmu hadis ialah berita yang diriwayatkan oleh orang banyak pada setiap ţabaqah, mulai dari ţabaqah sahabat sampai kepada mukharrij, yang menurut ukuran rasio dan kebiasaan mustahil mereka itu berdusta. Sedang kata ahad sebagai jamak dari kata wahid (satu), dalam istilah ushul hadis ahad adalah apa yang diberitakan oleh periwayat yang jumlahnya  tidak mencapai tingkat mutāwatir. Lihat selengkapnya Muhammad Ajjaj al-Khathib, Uşūl al-Hadīś ‘Ulūmuhu wa Musţalāhuhu (Beirut:Dār al-Fikri, l989 M), h. 301-302, Syihab al-Din Abi Fadhal Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalāniy, Nuzat al-Nazar  Nuhbat al-Fikriy (Kairo: Mathba’ah Istiqamah, 1368 H), h. 5-9, Ahmad bin Muhammad al-Payyumiy, al-Misbah al-Munir fi Gharib al-Syarah al-Kabir, juz II (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, l978), h. 321.
[3] Lihat M. Syuhudi Ismail, Kaedah h. 89. Mahmud Abu Rayyah, Adwa ‘Ala al-Sunnah al-Muhammadiyah aw Diffa’an Hadis (Mesir: Dar Al-Ma’rifat, t.th.), h. 278-280. Salah al-Din ibnu Ahmad al-Adhabiy, Manhaj Naqd al-Matan (Beirut: Dar afaq al-Jadidah, l983), h. 239. Adapun kata ýanniy adalah kata-kata yang digunakan untuk menyatakan tingkat kebenaran sesuatu. Dalam beberapa literatur, kata daruriy, absolut dan mutlaq disinonimkan dengan kata qaţ’iy, sedangkan kata nazariy relatif dan nisbi disinonimkan dengan kata ýanniy. Jadi yang dimaksud dengan qaţ’i al-wurūd  atau qaţ’i al-Śubūt ialah mutlak kebenaran beritanya, sedang ýanniy al-wurūd relatif kebenaran beritanya. Lihat M. Syuhudi Ismail, Metodologi Hadis Nabi (Jakarta : Bulan Bintang, 1992),  h. 92-93.
[4] Lihat Mustafah al-Sibaiy, al-Sunnah wa Makānatuhā fi al-Tasyri’ al-Islamiy (Beirut: Maktabah al-Islamiy l985),h. 76
[5] Lihat selengkapnya Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi (Refleksi Pemikiran Pembaruan  Prof.Dr. Muhammad Syuhudi Ismail), (Jakarta: MSCC, 2003), h. 17-18.
[6] Lihat Ibnu Mandur, Lisan al-‘Arab (Beirut; Dar al-Shadar, 1863), h. 12.
[7] Al-Asqalaniy, Nuzhah al-Nazhar  (Kairo: Dar al-Fikr, t.th) , h. 99.
[8] Lihat as-Sakhawiy, al-Mutakallimun fi al-Rijal (Kairo: maktabah al-Mathba’ah al-Islamiyah, 1980), 45-46.
[9] Shubhiy Shaleh,  “Ulum al-Hadits wa Mushthalahuhu (Beirut : Dar al-‘Imiy al-Malayin, 1977), h. 78.
[10] M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan sanad Hadis (Telaah Kritis Dan tinjauan dengan Pendekatan Ilmu sejarah),   (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), h. 141-142. Dan lihat juga selengkapnya, Muhammad Jamal al-Din  al-Qasimiy,  Qawa’id al-Tahdis Min Funun Mushthalah Hadis (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th ), h. 103.
[11] Lihat selengkapnya Ahmad Umar Hasyim, Qawaid al-Ushul al-Hadis (Kairo; T.tp, 1991), h. 123-124.
[12] Muahammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqhi (Mesir: Dar al-Fikriy al-‘Arabiy, 1958). H. 110.
[13] Lihat selengkapnya Rif’at a-Rawziy, al-Kadkhal ila Tauziq al-Sunnah (Mesir: Dar al-Maktabah al-Syurahah, t.t.), h. 65.
[14] Lihat Syihab al-Din  Abi Fadhal  Ahmad bin Ali bin Hajar  al-Asqalaniy, Tahzib al-Tahzib, juz IX, (Beirut: Dar al-Fikroy, 1984), h. 344.
[15] Lihat Khalid Muhammad Khalid, Rijal al-Hadis Hawl al-Rasul  (Beirut: Dar Al-Fikriy, t.th.), h. 99.

Hj. Rahmawati Caco



0 komentar:

HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html