Dalam
wacana pemikiran hadis, ulama sepakat bahwa hadis-hadis Rasulullah saw. yang
terangkum dalam perkataan, perbuatan, taqrir dan hal ihwal
Nabi merupakan sumber ajaran Islam kedua sesudah al-Quran. Pendapat ini
didukung oleh al-Quran Surat al-Hasyr (59) : 7, al-Quran Surat Āli Imrān (3) :
32, al-Quran Surat al-Nisā’ (4) : 59, al-Quran Surat al-Ahzab (33)
: 21.[1] Dengan begitu untuk mengetahui secara
mendetail syariat Islam haruslah kembali kepada kedua sumber tersebut.
Al-Quran
sebagai kalamullah memuat ayat-ayat yang bersifat global,
universal, musykil dan khāfiy yang memerlukan penjelasan rincian dan
contoh pelaksanaan. Sifat keglobalan al-Quran dijelaskan secara mendetail oleh
Nabi Muhammad saw. yang terangkum dalam hadis-hadisnya.
Walaupun
al-Quran dan hadis merupakan sumber ajaran Islam, tetapi keduanya berbeda bila
dilihat dari segi periwayatannya. Al-Quran al-Karīm yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad saw. melalui Jibril periwayatannya bersifat mutawātir,[2] lain halnya hadis, sebahagian periwayatannya
bersifat mutawātir dan sebahagian bersifat ahad. Oleh
karena itu al-Quran bila dilihat dari segi periwayatannya berkedudukan sebagai qat}’iy al-wurūd, sedang hadis sebahagiannya berstatus qath’iy
al-wurūd dan sebahagian berstatus d}anny al-wurūd.[3]
Secara
historis, al-Quran tetap terpelihara secara sempurna, karena sejak zaman
Rasulullah saw. sampai zaman pembukuan secara resmi yang diprakarsai oleh
khalifah Abu Bakar al-Shiddīq (w. 634 M/13 H) al-Quran tetap terpelihara baik
dalam bentuk hapalan ataupun dalam bentuk tulisan. Pembukuan al-Quran lebih
disempurnakan pada zaman khalifah Usman bin Affan (w. 656 M/ 35 H). Akan tetapi
hadis tidak demikian halnya, dalam catatan sejarah dijelaskan bahwa hadis tidak
seluruhnya ditulis pada zaman Rasululah. Hadis yang ditulis secara resmi hanya
berupa surat-surat Nabi kepada beberapa raja-raja non muslim sebagai dakwah
untuk memeluk agama Islam. Namun ada beberapa sahabat yang menulis hadis atas
inisiatifnya sendiri dan jumlahnya tidak banyak.
Di
samping itu, hadis Rasulullah telah dinodai oleh pemalsuan dari pihak yang
ingin merusak Islam. Kegiatan pemalsuan ini tumbuh dan berkembang sejak pemerintahan Ali bin Abi Thalib (w. 661 M/40 H).[4] Lebih
jauh lagi, proses pembukuan hadis terjadi dalam rentang waktu yang sangat
panjang setelah Rasulullah saw. wafat dan periwayatan hadis umumnya secara
makna. Inilah beberapa indikasi yang melatarbelakangi pentingnya sebuah hadis
dikritik secara seksama untuk menhindarkan diri dari penggunaan hadis yang
tidak dapat dipertanggungjawabkan kualitas dan validitasnya. [5]
Untuk
kepentingan penelitian hadis, para ulama telah menyusun berbagai kaedah dan
teori yang kemudian berkembang menjadi satu disiplin ilmu yang disebut
ilmu mustalah al-hadis atau bisa juga disebut
ilmu dirayah al-hadis. Yang di dalamnya mencakup pembahasan tentang kaedah keshahihan
sanad dan kaedah keshahihan matan .
A. Pengertian Dhabit
Dari segi bahasa kata dhabit memiliki beberapa
pengertian. Dalam bukunya Ibnu Mandur, lisanul ‘Arab, beliau
menjelaskan :
الظبط : لزوم شيئ لا يفرقه في كل شيئ .
والظبط الشيئ خفظه باالحزم
والرجل الظبط اي حا زم , شديد البطش.[6]
Sedangkan menurut al-Asqalaniy d}abit} dapat dimaknai
dengan sesuainya sesuatu dan tidak bertentangan dengan lainnya,
mengingat sesuatu secara sempurna, kuat pegangannya. [7]
Adapun pengertian dhabit menurut
istilah, telah dikemukakan oleh ulama dalam berbagai format
bahasa, antara lain sebagai berikut :
1.
Menurut Ibnu Hajar al-Asqalaniy dan al-Sahawiy yang disebut orang dhabit adalah
orang yang kuat hafalannya tentang apa-apa yang didengarnya dan mampu
menyampaikan hafalanya itu kapan saja dia menghendakinya.
2.
Dhabit adalah
orang yang mendengarkan pembicaraan sebagaimana seharusnya, dia memahami
pembicaraan itu secara benar, kemudian dia menghafalnya dengan sungguh-sungguh
dan dia berhasil hafal dengan sempurna, sehingga dia mampu
menyampaikan hafalannya itu kepada orang lain dengan baik.
3.
Dhabit ialah
orang yang mendengarkan riwayat sebagaimana seharusnya, dia memahaminya dengan
pemahaman yang mendetail kemudian dia menghafalnya dengan sempurna, dan dia
meyakini kemampuan yang demikian itu, sedikitnya mulai dari saat mendengar
riwayat itu sampai dia menyampaikan riwayat tersebut kepada orang
lain. [8]
Dari definisi di atas kelihatannya memiliki persi dan format
bahasa yang berbeda, namun
makna dan prinsip-prinsip pemahaman yang terkandung di dalamnya memiliki
kesamaan. Yang pada intinya adalah kuatnya hafalan periwayat dalam meriwayatkan
hadis (mulai dari ia mendengarnya sampi ia menyampaikan kepada orang lain dan
ia memahami betul apa yang disampaikannya itu).
Ulama hadis pada umumnya tidak menerangkan argument yang mendasar
unsur kaedah periwayat bersifat d}abit}. Yang mereka kemukakan
umumnya hanya berkenaan dengan pengertian d}abit} sebagai salah satu
unsur kaedah keshahihan sanad hadis.
- Imam Al-Syafiy dan lain-lain telah meriwayatkan sabda Nabi yang berbunyi:
نظر الله عبدا سمع مقالتي
فخفظها ووعاها واداها . فرب حامل فقه غير فقيه , ورب حامل فقه الي من
هو ا فقه منه. (رواه الشا فعي عن ابن مسعود )
Mudah-mudahan Allah mengaruniakan keelokan wajah kepada hambanya
yang mendengar sabdaku, kemudian
menghafalnya, memeliharanya, dan menyampaikannya kepada orang lain. Banyak
orang yang menerima pengetahuan (hadis) hanya mampu menghafalnya dan
tidak memahami benar pengetahuan itu. Dan banyak orang yang menerima
pengetahuan (hadis) itu kemudian menyampaikannya kepada orang lain
yang ternyata orang lain itu lebih paham dari pada orang yang menyampaikannya.
Dari hadis tersebut diperoleh petunjuk bahwa penerimaan riwayat
hadis yang lazim terjadi pada zaman Nabi ialah melalui cara al-sama’.
Sedangkan orang-orang yang menyampaikan hadis (ada’ al-hadis) terlebih
dahulu harus hafal dan mampu menyampaikan riwayat hadis yang diterimanya itu
kepada orang lain. Periwayat yang hafal, mampu menyampaikan dan paham dengan
mendalam akan hadis yang diriwayatkannya, dengan sendirinya lebih
baik (berbobot) dari pada periwayat yang hanya hafal dan mampu
menyampaikan hadis saja.
Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa penetapan unsur periwayat
bersifat dhabit didasarkan kepada argument naqliy dalam
hal ini hadis Nabi. Dari hadis Nabi tersebut juga dapat
dipahami, bahwa ada periwayat yang hafal dan mampu menyampaikan riwayat hadis,
tetapi dia tidak (kurang ) paham akan kandungannya. Di samping itu, ada pula
periwayat yang hafal, mampu menyampaikan hadis yang telah dihafalnya dan paham
akan kandungan hadis yang diriwayatkannya.
Selain argument naqliy di atas, argument
yang mendasari unsur periwayat bersifat d}abit} adalah argument
sejarah dan argument logika. Unsur tersebut dinyatakan memiliki argument
sejarah, karena periwayatan hadis dalam sejarahnya lebih banyak berlangsung
secara lisan dari pada tertulis. Periwayatan lisan mengharuskan
periwayatnya memliki hafalan yang baik. Periwayat yang tidak
memiliki hafalan yang baik, sangat sulit dipercaya keshahihan riwayatnya.
Adapun argument logikanya dinyatakan sebagai berikut :
1.
Sulit dipercaya seorang periwayat menyampaikan riwayat hadis secara
lisan (hafalan) sedang dia sendiri tidak hafal tentang hadis yang
diriwayatkannya.
2.
Sulit dapat dipercaya seorang periwayat yang menyampaikan
hadis secara tertulis, sedang dia sendiri tidak
memahami apa yang termaktub dalam catatan hadisnya.
3.
Periwayat yang paham, hafal dan mampu menyampaikan riwayat
hadis lebih dapat dipercaya daripada periwayat yang hafal dan mampu
menyampaikan riwayat hadis tetapi dia tidak memahami hadis yang
diriwayatkannya.
Dengan demikian dapat dinyatakan, bahwa argument-argumen yang
mendasari unsur periwayat bersifat d}abit} cukup kuat, baik
argument naqliy, sejarah, maupun logika.[9] Dari
beberapa argument di atas dapat dipahami bahwa seorang periwayat yang
berkualitas d}abit} dapat meriwayatkan
suatu hadis sesuai apa yang didengarnya. Secara tegas yang dimaksud d}abit} adalah sikap penuh
kesadaran dan tidak lalai, kuat hafalan bila hadis yang diriwa-yatkan berdasarkan
hafalannya, benar tulisanya bila hadis yang diriwa-yatkannya berdasarkan tulisan, sementara bila dia meriwayatkan
hadis secara makna maka ia akan tahu persis kata-kata apa yang sesuai untuk
digunakan.
Seorang periwayat dikenal sebagai dhabit dengan barometer
yang telah ditentukan oleh para ulama. Hal ini mereka telah lakukan untuk
mengukur kedhabitan para periwayat sebelumnya. Ibnu Shalah berkata, kita
membandingkan riwayat seorang rawi dengan riwayat para perawi tsiqat lain
yang telah dikenal d}abit} dan ketekunannya.
Bila didapati sesuai walau hanya dari segi makna, atau lebih banyak yang sesuai
ketimbang yang lainnya, maka ia bisa disebut sebagai dhabit. Namun
bila didapati banyak yang menyalahi , maka kedhabitannya cacat, sehingga
riwayatnya tidak dapat kita katakan memiliki validitas hujjah.
Bila pada seorang periwayat terkumpul dua sifat adil dan dhabit maka
ia adalah hujjah dan hadisnya harus diamalkan, periwayat ini
juga disebut siqah. Hal ini dikarenakan ia bersifat jujur ditambah
dengan kuat hafalannya yang menjadikannya ia mampu menyampaikan
hadis dengan lancar seperti ketika didengarnya. Para rawi yang bersifat
demikian hadisnya dapat dipakai hujjah. Bila seorang rawi cacat salah
satu faktor kesiqahannya, maka
hadisnya dinilai cacat sesuai dengan tingkat kecacatannya.
B. Kaedah-kaedah
Kedhabitan
Untuk meneliti tingkat kualitas sanad sebuah
hadis, khususnya dari sisi kedhabitan, maka kaedah-kaedah sifat dhabit tergambar
pada penjelasan berikut ini:
1.
Periwayat itu memahami dengan baik riwayat yang telah didengarnya
atau diterimanya.
2.
Periwayat itu hafal dengan baik riwayat yang telah
didengarnya (diterimanya).
3.
Periwayat itu mampu menyampaikan riwayat yang telah dihafalnya itu
dengan baik; a. Kapan
saja dia menghendakinya.
b. Sampai pada saat dia
menyampaikan riwayat itu kepada orang lain.[10]
Butir yang disebutkan pertama, tidak semua ulama menyebut-kanya. Butir yang
disebutkan kedua, para ulama sependapat menya-takannya. Untuk butir yang disebutkan ketiga, pendapat ulama
terbagi pada dua vesri yakni ada yang tidak membatasi waktu dan ada yang
membatasi waktu.
Ulama yang tidak menyatakan butir yang disebutkan pertama, boleh
jadi mereka tidak mempunyai pertimbangan, bahwa :
1.
Apabila seorang periwayat telah hafal dengan baik
riwayat yang diterimanya, maka dengan sendirinya dia telah memahami apa yang
telah dihafalnya itu, atau
2.
Yang dipentingkan oleh seorang periwayat adalah hafalannya dan
bukan pemahamannya tentang apa yang diriwayatkannya.
Pertimbangan yang disebutkan pertama tidak cukup kuat, karena
orang yang hafal tidak dengan sendirinya paham akan apa yang telah dihafalnya.
Kalau begitu, pertimbangan yang disebutkan kedua meru-pakan dasar kedhabitan periwayat menurut sebagian ulama di
atas. Ulama yang lebih hati-hati adalah ulama yang mendasarkan ke dhabitan,
bukan hanya kepada kemampuan hafalan saja, melainkan juga pada kemampuan
pemahaman. Misalnya, bila pendapat yang lebih hati-hati itu yang harus
diperpegangi, maka periwayat yang memiliki kemampuan hafalan saja dan tidak
memiliki kecerdasan memahami apa yang telah dihafalnya tidak lagi termasuk
sebagai periwayat yang dhabit. Pada hal mereka itu oleh sebahagian
ulama hadis dinyatakan sebagai periwayat yang dhabit juga. Kalau begitu,
periwayat yang memiliki kemampuan hafalan dan pemahaman harus dihargai lebih
tinggi tingkat kedhabitannya dari pada periwayat yang hanya memiliki
kemampuan hafalan saja.
Adapun butir (c) dari butir kedhabitan di atas, walaupun
terbagi dua pendapat, tetapi pada dasarnya kedua pendapat itu sama, sebab
kemapuan hafalan yang dituntut dari seorang periwayat, sehingga karenanya dia
dapat dinyatakan sebagai seorang yang dhabit, adalah takkala
periwayat itu menyampaikan riwayat kepada orang lain. Hanya saja pendapat yang
membatasi secara tegas dengan menunjuk “sampai saat dia menyam-paikan riwayat itu kepada
orang lain”, merupakan pendapat yang lebih rasional dan hati-hati. Karena
bagaimanapun kemampuan hafalan se-seorang
mempunyai batas, misalnya karena pikun, atau sebab tertentu lainnya. Periwayat
yang mengalami perubahan kemampuan hafalan, tetap dinyatakan sebagai periwayat
yang dhabit sampai pada saat sebelum mengalami perubahan. Sedang sesudah
mengalami perubahan, dia dinyatakan tidak dhabit.
Dalam bukunya Ahmad Umar Hasyim yang berjudul Qawaid Ushul
al-Hadis, menjelaskan bahwa ada enam hal yang menyebabkan kecacatan
rawi yang diakibatkan oleh hilangnya syarat dhabit, hal tersebut
adalah sebagai berikut :
1.
Fahsy al-G}alad (banyak/sering
salah). Perawi yang memiliki sifat ini, menurut Ibnu Hajar, hadisnya munkar atau matruk.
2.
Fahsy al-Gaflah (banyak/sering
lupa), jika seorang perawi keadaannya seperti ini maka hadis yang
diriwayatkanya tergolong hadis munkar atau matruk.
3.
Suu al-hifzi orang
yang tidak ditajrih (dikuatkan) sisi ketepatan
(hafalannya) atau sisi kesalahan (hafalannya).
4.
Al-Ikhtilat yaitu,
rusaknya akal dan tidak teraturnya perkataan dan perbuatan disebabkan oleh
hal-hal yang al-tariah (incidental), apakah karena
usia, hilangnya penglihatan, hilangnya buku catatan hadis, atau sebab lain
sehingga hafalannya menjadi buruk, pada hal sebelumnya ia dhabit. Maka semua
perawi yang masuk dalam golongan ini jatuh dari derajat shahih dan hasan. Namun
dapat naik ketingkat hasan jika ada syahid atau tabi’.
5.
al-Wahm, jika
didapatkan melalui qarinah-qarinah dan pengumpulan
jalur-jalur, maka hadisnya mu’allal.
6.
Mukhalafah al-Siqah. jika
terjadi dengan mengubah siyaq, maka menjadi mudraj
al-Isnad atau mencampurkan yang mauquf dengan yang marfu’ maka
menjadi mudraj al-matan atau mentaqdimkan atau mentakhirkan, maka
menjadi maqlub atau dengan penambahan seorang rawi .[11]
Dalam beberapa indikator yang digambarkan oleh Ahmad Hasyim di
atas tentang cacatnya sanad karena kurangnya kualitas kedhabitan, maka penulis
berkesimpulan bahwa yang menjadi dasar penetapan ked}abit}an periwayat, secara
normatif adalah hafalannya bukan pada tingkat pemahamannya pada hadis yang
diriwayatkan. Namun demikian, dapat juga dipahami bahwa periwayat yang paham
hadis dan mampu menyampaikan hadis yang diriwayatkannya itu kepada orang lain, jelas
lebih tinggi martabatnya dari pada periwayat yang hanya hafal dan mampu
menyampaikan hadis yang diriwayatkan itu kepada orang lain.
Abu Zahrah lebih jauh menjelaskan bahwa periwayat yang hafal dan
paham dinilai lebih kuat (rajih) dari periwayat yang hanya
sekedar menghafal saja.[12] Dari sisi
logika, hal ini dibenarkan karena seorang yang hafal saja belum tentu paham
atau sebaliknya seorang paham belum tentu hafal. Yang paling sempunah
kedhabitannya periwayat yang hafal dan paham apa diriwayatkannya.
Adapun cara penetapan ked}abit}an seorang periwayat,
menurut berbagai pendapat ulama, dapat dinyatakan sebagai berikut:
1.
Kedhabitan periwayat dapat diketahui berdasarkan kesaksian
ulama
2.
Kedhabitan periwayat dapat diketahui juga berdasarkan
kesesuaian riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan oleh periwayat
lain yang telah dikenal kedhabitannya. Tingkat kesesuaiannya itu mungkin hanya
sampai ketingkat makna atau mungkin ketingkat harfiah.
3.
Apabila seorang periwayat sekali-kali mengalami kekeliruan, maka
dia masih dapat dinyatakan sebagai periwayat yang dhabit. Apabila kesalahan itu
sering terjadi, maka periwayat yang bersangkutan tidak lagi disebut sebagai
periwayat yang dhabit.
Dalam hubungan ini, yang menjadi dasar penetapan kedhabitan
periwayat secara implisit ialah hafalannya dan bukan tingkat pemahaman
periwayat tersebut terhadap hadis yang diriwayatkannya.
Kepahaman periwayat akan hadis yang diriwayatkannya tetap sangat
berguna dalam periwayatan hadis, khususnya ketika terjadi perbedaan riwayat
antara sesama periwayat yang d}abit}. Dalam keadaan yang
demikian ini, maka periwayat yang paham dan hafal dinilai lebih kuat (rajih)
dari pada periwayat sekedar hafal saja. Jadi bagaimanapun periwayat yang paham,
hafal, dan mampu menyampaikan hadis yang diriwayatkannya itu kepada
orang lain, akan tetapi mendapat tempat yang lebih tinggi dari pada periwayat
yang hanya hafal dan mampu menyampaikan hadis yang diriwayatkannya itu kepada
orang lain.
Karena bentuk kedhabitan para periwayat yang dinyatakan bersifat dhabit tidak
sama, maka seharusnya istilah yang digunakan untuk menyifati mereka dibedakan
juga. Perbedaan istilah itu dapat berupa sebagai berikut:
1.
Istilah dhabit dipergunakan bagi periwayat yang
(1) hafal dengan sempurna hadis yang diterimanya, (2) mampu
menyampaikan dengan baik hadis yang dihafalnya itu kepada orang
lain.
2.
Istilah tamm al-dhabt yang bila di
Indonesiakan dapat dipakai istilah dhabit plus, dipergunakan bagi
periwayat yang (1) hafal dengan sempurna hadis yang diterimanya (2) mampu
menyampaikan dengan baik hadis yang dihafalnya itu kepada orang lain, dan (3)
paham dengan baik hadis yang dihafalnya itu.[13]
Klassifikasi ini akan sangat berguna bagi paham analisis
dipembahasan, misalnya ke-syaz-an dan keillat-an sanad.
Ked}abit}an periwayat yang dibahas
di atas adalah ked}abit}an yang oleh
ulama hadis disebut dengan istilah dhabit sadr. Di
samping itu ada lagi kedhabitan yang diberi istilah dengan dhabit kitab.Yang
dimasuk dengan dhabit kitab adalah periwayat yang
memahami dengan baik tulisan hadis yang tertulis dalam kitab yang ada padanya,
apabila ada kesalahan tulisan dalam kitab, dia mengetahui letak kesalahannya.
Kedhabitan kitab ini sangat diperlukan bagi periwayat yang takala
menerima dan atau menyampaikan riwayat hadis melalui cara al-qir’ah
‘ala as-Syaekh ataupun al-ijazah.
Contoh
hadis dalam penerapan qaedah kedhabitan periwayat.
Riwayat al-Turmuziy
1) حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا زَكَرِيَّا بْنُ إِسْحَقَ الْمَكِّيُّ حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ صَيْفِيٍّ عَنْ أَبِي مَعْبَدٍ عَنْ ابْنِ
عَبَّاسٍ أَنَّ رسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ مُعَاذًا
إِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ لَهُ إِنَّكَ تَأْتِي قَوْمًا أَهْلَ كِتَابٍ فَادْعُهُمْ
إِلَى شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ فَإِنْ
هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ
خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ
فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِي أَمْوَالِهِمْ
تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ فَإِنْ هُمْ
أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَإِيَّاكَ وَكَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ وَاتَّقِ دَعْوَةَ
الْمَظْلُومِ فَإِنَّهَا لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللَّهِ حِجَابٌ وَفِي الْبَاب
عَنْ الصُّنَابِحِيِّ قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ ابْنِ عَبَّاسٍ حَدِيثٌ حَسَنٌ
صَحِيحٌ وَأَبُو مَعْبَدٍ مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ اسْمُهُ نَافِذٌ
Biografi Para Periwayat
Hadis
Jalur al-Tirmiziy
al-Turmuziy. Nama
lengkapnya Muhammad ibn Isa ibn Musa ibn al-Dakhkhak
(209-279) gurunya antara lain Quthaibah, Abu Bakar bin abi Syaebah. Muridnya
antara lain Abu Bakar Ahmad bin Ismail. [14]
Para ahli kritik hadis member penilaian sebagai berikut :
1.
Ibnu Hibban; dia seorang
penghimpun hadis, penyussun kitab, dan senantiasa berdiskusi dengan ulama.
2.
al-Quran-Idrisiy; dia
seorang ulama yang menguasai ilmu hadis, penyusun kitab al-Jami’, al-Tarikh, dan
al-‘Ilal.
3.
Ibnu Hibban; dia siqah,
zuhud dan ahli hadis.
Dengan demikian pernyataannya ia menerima hadis Abu
Syaebah dapat dipercaya, sekaligus diyakini bahwa antara keduanya telah terjadi
persambungan sanad.
Abu Kuraib. Nama lengkapnya al-‘Ala’iy
bin Kuraib (w.248), gurunya antara lain Waki', Jarir bin abdul Hamid. Muridnya
antara lain Abu Bakar bin Syaebah, Tirmiziy. Para kritik hadis member penilaian
yang tinggi terhadap pribadi dan intelektualnya.
Abu hatim al-Raziy; menilainya sebagai periwayat yang siqah
mutqin. Al-Nasaiy dan Maslamah bin Kasim menilainya sebagai seorang tabiin yang
banyak meriwayatkan hadis dan siqah subut.
Dari penilaian yang diberikan para kritis hadis di atas
maka menandakan bahwa pribadi Abu Kuraib siqah. Dengan demikian
pernyataannya ia menerima hadis Ishak bin Ibrahim dipercaya, dan ini berarti
sanad antara keduanya bersambung.
Waki’. Nama lengkapnya adalah
Waki’ bin al-Jarah bin Maliyh, (w.196H.) Gurunya Zakariya
bin Ishak al-Makkiy, Amir bin Bakr. Muridnya antara lain Ishaq bin Ibrahim,
Kuraib. Kritikus hadis memberikan pujian yang tinggi terhadap pribadi Waki’.
Misalnya Ibnu Sa’ad bin Murrah menyatakan bahwa Waki’ adalah periwayat hadis
yang siqah. Ahmad bin Hambal menyatakan bahwa saya tidak melihat seorang pun
yang lebih mengetahui hadis kecuali Waki’. [15]
Tidak
seorang pun kritik hadis yang mencela pribadi Waqi’, sebaliknya pujian yang
diberikan kepadanya adalah pujian yang berperingkat tingi. Oleh karena itu
pernyataannya bahwa ia menerima hadis dari Abu Bakar dengan metode
haddasana dapat dipercaya. Itu berarti sanad antara keduanya muttshil
(bersambung).
Zakaria bin Ishak. Zakaria bin Ishak al-Makkiy
menerima hadis dari Ibrahim bin Maesar, Ishak, Yahya bin Abdullah asy-
Syaefiy. Muridnya antara lain Abu Bakar, Waqi’.
Kritik hadis Mansur al-Faqih dan Ahmad bahwain al-Thawiy,
memujinya dengan pernyataan dia adalah Imam umat Islam. Abu Ali an-
Naesaburiy mengatakan dia adalah orang paling tahu tentang hadis shahih dan
cacat, demikian pula tentang rijal al-hadis. Tidak seorang pun yang
mencelah pribadinya, pujian yang diberikan kepadanya sangat tinggi. Oleh karena
itu, pernyataanya bahwa ia menerima hadis dari Yahya bin Abdullah Shaefiy
dengan metode haddasana dapat diterima. Dan ini menandangan
muttashil sanadnya.
Yahya bin Abdullah bin Shaefi. Nama lengkapnya adalah
Yahya bin Abdullah bin Muhammad bin Shaefiy. Dia menerima hadis Ma’bad, dan
muridnya Zakariya bin Ishak al-Makkiy. Ibnu Ma’in memberinya gelar
siqah, an-Nasaiy dan Ibnu Hibban mengatakan bahwa dia siqah. Tidak
seorang pun kritikus memberinya penilaian negative. Dengan demikian
pernyataannya bahwa dia menerima hadis dari Ma’bad dapat dipercaya dan ini berarti sanadnya bersambung.
Abi Ma’bad. Nama lengkapnya
adalah Nafi’ Mawia ibnu Abbas (w104 H). Gurunya antara lain Abdullah Ibnu
Abbas, Amr bin Haisyam, muridnya antara lain Yahya bin Abdullah, Asram bin
Dinar. Kritikus hadis Ahmad bin Hambal memujunya dengan peringkat
siqah, Yahya bin Ma’in al-Nasaiy dan Ibnu Hibban memasukkan pada kelompok
siqah. Dengan demikian pernyataannya bahwa dia menerima hadis dari
Abdullah ibn Abbas dengan metode ‘an dapat diterima. Dan ini menandakan
sanadnya muttashil.
Ibnu Abbas. Nama lengkapnya Abdullah
ibn Abbas ibn Abdul Muththalib al-Hasyimiy (w.68H.). Di samping dia banyak
menerma hadis dari Rasulullah saw.
secara langsung juga dia berguru pada ayahnya dan al-Kulafaur Rasyidin. Murid
yang meriwayatkan hadisnya antara lain Ma’bad Sa’id bin Jubair.
Kritikus hadis Umar menyatakan bahwa dia adalah fukaha dan ulama hadis
dikalangan sahabat, al-Asqalaniy dan al-Bandhariy menilainya dengan siqah,
al-muksiran fi al-hadis.
Tidak seorang pun yang mencela pribadinya, bahkan beliau sangat
dekat dengan Rasulullah saw. dan
beliau tidak diragukan lagi kejujur-annya.
Oleh karena itu diyakini dia menerima hadis langsung dari Nabi maka sanadnya
bersambung.
Setelah meneliti sanad al-Tirmiziy melalui jalur Kuraib ternyata
seluruh periwayatnya bersifat adil dan dhabit (siqah,
sanadnya dalam keadaan muttashil, terhindar dari dzadz dan illat).
Dengan demikian, hadis yang diteliti telah memenuhi unsur-unsur kaedah
keshahihan sanad, sehingga dapat dinyatakan bahwa sanad hadis yang bersangkutan
berkualitas shahih.
KESIMPULAN
Dari beberapa keterangan yang penulis paparkan pada bab
pembahasan, maka dapatlah ditarik bebrapa kesimpulan sebagai berikut :
1.
Dari segi bahasa kata dhabit dapat berarti ;
الظبط : لزوم شيئ لا يفرقه في كل شيئ .
والظبط الشيئ خفظه باالحزم
والرجل الظبط اي حا زم , شديد البطش.
Yakni; sesuainya sesuatu dan tidak bertentangan dengan lainnya,
mengingat sesuatu secara sempurna, kuat pegangannya. Sedangkan pengertian d}abit} menurut istilah
adalah orang yang mendengarkan riwayat sebagaimana seharusnya, dia memahaminya
dengan pemahaman yang mendetail kemudian dia menghafalnya
dengan sempurna, dan dia meyakini kemampuan yang demikian itu,
sedikitnya mulai dari saat mendengar riwayat itu sampai dia menyampaikan
riwayat tersebut kepada orang lain.
2. Kaedah-kaedah sifat d}abit} adalah; Periwayat
itu memahami dengan baik riwayat yang telah didengarnya atau
diterimanya. periwayat itu hafal dengan baik riwayat yang telah
didengarnya (diterimanya), periwayat itu mampu menyampaikan riwayat
yang telah dihafalnya itu dengan baik kapan saja dia
menghendakinya sampai pada saat dia menyampaikan riwayat itu kepada orang lain.
3. Penetapan
ked}abit}an seorang periwayat
adalah;
a. Ked}abit}an periwayat dapat
diketahui berdasarkan kesaksian ulama
b. Ked}abit}an periwayat dapat
diketahui juga berdasarkan kesesuaian riwayatnya dengan riwayat yang
disampaikan oleh periwayat lain yang telah dikenal kedhabitannya. Tingkat
kesesuaiannya itu mungkin hanya sampai ketingkat makna atau mungkin ketingkat
harfiah.
c. Apabila seorang periwayat
sekali-kali mengalami kekeliruan, maka dia masih dapat dinyatakan sebagai
periwayat yang d}abit}. Apabila kesalahan itu
sering terjadi, maka periwayat yang bersangkutan tidak lagi disebut sebagai
periwayat yang dhabit.
KEPUSTAKAAN
Abu
Rayyah, Mahmud. Adwa ‘Ala al-Sunnah al-Muhammadiyah aw Diffa’an Hadis. Mesir:
Dar Al-Ma’rifat, t.th.
Ahmad,
Arifuddin. Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi. Refleksi
Pemikiran Pembaruan Prof.Dr. Muhammad Syuhudi Ismail). Jakarta:
MSCC, 2003.
Ajjaj
al-Khathib, Muhammad. Uşūl al-Hadīś ‘Ulūmuhu wa Musţalāhuhu. Beirut:Dār
al-Fikri, l989 M.
al-Adhabiy,
Salah al-Din ibnu Ahmad. Manhaj Naqd al-Matan. Beirut:
Dar afaq al-Jadidah, l983.
Al-Asqalaniy. Nuzhah
al-Nazhar. Kairo: Dar al-Fikr, t.th. as-Sakhawiy, al-Mutakallimun
fi al-Rijal (Kairo: maktabah al-Mathba’ah al-Islamiyah, 1980.
al-Din
Abi Fadhal Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalāniy, Syihab. Nuzat
al-Nazar Nuhbat al-Fikriy. Kairo: Mathba’ah Istiqamah, 1368
H.
al-Payyumiy,
Ahmad bin Muhammad. al-Misbah al-Munir fi Gharib al-Syarah
al-Kabir, juz II . Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, l978.
al-Qasimiy,
Muhammad Jamal al-Din . Qawa’id al-Tahdis Min Funun
Mushthalah Hadis . Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th .
al-Rawziy, Rif’at. al-Kadkhal ila Tauziq al-Sunnah .
Mesir: Dar al-Maktabah al-Syurahah, t.t. 65.
al-Shaleh,
Subhi. Ulum al-Hadis Wa Musthalahuhu. Beirut
Dau al-‘Ilm li al-Malayin, l977. Ismail, M. Syuhudi. Kaedah
Keshahihan Sanad Hadis Telaah Kritis Dan Tinjauan Dengan Pendekatan
Ilmu Sejarah.. Jakarta: Bulan Bintang, 1988.
al-Sibaµiy,
Mustafah. al-Sunnah wa Makānatuhā fi al-Tasyri’ al-Islamiy. Beirut:
Maktabah al-Islamiy l985.
Hasyim, Ahmad Umar. Qawaid al-Ushul al-Hadis. Kairo;
T.tp, 1991.
Ismail,
M. Syuhudi. Kaidah Kesahihan sanad Hadis (Telaah Kritis Dan
tinjauan dengan Pendekatan Ilmu sejarah). Jakarta:
Bulan Bintang, 2005.
Ismail,
M. Syuhudi. Metodologi Hadis Nabi. Jakarta : Bulan Bintang,
1992.
Mahmud,
Abd. Halim. al-Sunnah fi nakamatiha wa fi Tarikhiha. Kairo:
Dar al-Kitab al-‘Arabiy, l967.
Manzur. Lisan al-‘Arab. Beirut; Dar
al-Shadar, 1863.
Shabbag,
Muhammad. al-Hadīś al-Nabawiy. Riyad: Maktabah
al-Islāmiy, l972.
Shaleh, Shubhiy. “Ulum al-Hadits wa Mushthalahuhu. Beirut
: Dar al-‘Imiy al-Malayin, 1977.
Zahrah, Muahammad Abu. Ushul al-Fiqhi. Mesir: Dar
al-Fikriy al-‘Arabiy, 1958
[1] Lihat Muhammad Shabbag, al-Hadīś
al-Nabawiy (Riyad: Maktabah al-Islāmiy, l972), h. 1414; Subhi al-Shaleh, Ulum
al-Hadis Wa Musthalahuhu (Beirut Dau al-‘Ilm li al-Malayin,
l977), h. 3 – 4, M. Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad
Hadis Telaah Kritis Dan Tinjauan Dengan Pendekatan Ilmu Sejarah (Jakarta:
Bulan Bintang, 1988), h. 85 – 86; Abd. Halim Mahmud, al-Sunnah
fi nakamatiha wa fi Tarikhiha (Kairo: Dar al-Kitab al-‘Arabiy, l967),
h. 26 – 29.
[2] Secara etimologi mutawātir adalah tatabu yakni
berurut, sedang secara istilah dalam ilmu hadis ialah berita yang diriwayatkan
oleh orang banyak pada setiap ţabaqah, mulai dari ţabaqah sahabat
sampai kepada mukharrij, yang menurut ukuran rasio dan kebiasaan
mustahil mereka itu berdusta. Sedang kata ahad sebagai jamak
dari kata wahid (satu), dalam istilah ushul hadis ahad adalah
apa yang diberitakan oleh periwayat yang jumlahnya tidak mencapai
tingkat mutāwatir. Lihat selengkapnya Muhammad Ajjaj al-Khathib, Uşūl
al-Hadīś ‘Ulūmuhu wa Musţalāhuhu (Beirut:Dār al-Fikri, l989 M), h.
301-302, Syihab al-Din Abi Fadhal Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalāniy, Nuzat
al-Nazar Nuhbat al-Fikriy (Kairo: Mathba’ah Istiqamah, 1368
H), h. 5-9, Ahmad bin Muhammad al-Payyumiy, al-Misbah al-Munir fi
Gharib al-Syarah al-Kabir, juz II (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah,
l978), h. 321.
[3] Lihat M. Syuhudi Ismail, Kaedah, h.
89. Mahmud Abu Rayyah, Adwa ‘Ala al-Sunnah al-Muhammadiyah aw Diffa’an
Hadis (Mesir: Dar Al-Ma’rifat, t.th.), h. 278-280. Salah al-Din ibnu
Ahmad al-Adhabiy, Manhaj Naqd al-Matan (Beirut: Dar afaq
al-Jadidah, l983), h. 239. Adapun kata ýanniy adalah kata-kata
yang digunakan untuk menyatakan tingkat kebenaran sesuatu. Dalam beberapa
literatur, kata daruriy, absolut dan mutlaq disinonimkan
dengan kata qaţ’iy, sedangkan kata nazariy relatif dan nisbi
disinonimkan dengan kata ýanniy. Jadi yang dimaksud dengan qaţ’i
al-wurūd atau qaţ’i al-Śubūt ialah mutlak kebenaran
beritanya, sedang ýanniy al-wurūd relatif kebenaran beritanya.
Lihat M. Syuhudi Ismail, Metodologi Hadis Nabi (Jakarta :
Bulan Bintang, 1992), h. 92-93.
[4] Lihat Mustafah al-Sibaiy, al-Sunnah
wa Makānatuhā fi al-Tasyri’ al-Islamiy (Beirut: Maktabah al-Islamiy
l985),h. 76
[5] Lihat selengkapnya Arifuddin Ahmad, Paradigma
Baru Memahami Hadis Nabi (Refleksi Pemikiran Pembaruan Prof.Dr.
Muhammad Syuhudi Ismail), (Jakarta: MSCC, 2003), h. 17-18.
[6] Lihat Ibnu Mandur, Lisan
al-‘Arab (Beirut; Dar al-Shadar, 1863), h. 12.
[7] Al-Asqalaniy, Nuzhah
al-Nazhar (Kairo: Dar al-Fikr, t.th) , h. 99.
[8] Lihat as-Sakhawiy, al-Mutakallimun
fi al-Rijal (Kairo: maktabah al-Mathba’ah al-Islamiyah, 1980), 45-46.
[9] Shubhiy Shaleh, “Ulum
al-Hadits wa Mushthalahuhu (Beirut : Dar al-‘Imiy al-Malayin, 1977),
h. 78.
[10] M. Syuhudi Ismail, Kaidah
Kesahihan sanad Hadis (Telaah Kritis Dan tinjauan dengan Pendekatan
Ilmu sejarah), (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), h.
141-142. Dan lihat juga selengkapnya, Muhammad Jamal al-Din al-Qasimiy, Qawa’id
al-Tahdis Min Funun Mushthalah Hadis (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyah, t.th ), h. 103.
[11] Lihat selengkapnya Ahmad
Umar Hasyim, Qawaid al-Ushul al-Hadis (Kairo; T.tp, 1991), h.
123-124.
[12] Muahammad Abu Zahrah, Ushul
al-Fiqhi (Mesir: Dar al-Fikriy al-‘Arabiy, 1958). H. 110.
[13] Lihat
selengkapnya Rif’at a-Rawziy, al-Kadkhal ila Tauziq al-Sunnah (Mesir:
Dar al-Maktabah al-Syurahah, t.t.), h. 65.
[14] Lihat Syihab al-Din Abi
Fadhal Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalaniy, Tahzib
al-Tahzib, juz IX, (Beirut: Dar al-Fikroy, 1984), h.
344.
[15] Lihat Khalid Muhammad Khalid, Rijal
al-Hadis Hawl al-Rasul (Beirut: Dar Al-Fikriy, t.th.), h. 99.
Hj. Rahmawati Caco
0 komentar:
Post a Comment