Islam Di Domba Hitamkan

Ditengah kekacauan,Fitnah, teror dan kekerasan,umat Islam tetap tabah berdiri mempertahankan keyakinannya, dengan memperkenalkan agamanya dengan cara-cara damai dan menyejukkan.

Akhirnya Sunni dan Syiah Bersatu

Bukankah mereka mengimani tuhan yang sama, Mencintai Nabi dan Rosul yang sama, memiliki Kitab suci yang sama, Mempunyai Syahadah yang sama ?, Kemudian mereka saling fitnah dan menumpahkan darah.

Pengaruh Peradaban Islam Terhadap dunia Modern

Pada masa lampau, peradaba Islam memberikan sumbangan besar terhadap kemajuan dunia Barat, kini Islam dan Barat saling menghunus pedang, Islam sebagai Tokoh Kegelapan, sedangkan Barat sebagai Tokoh Peradaban.

Jihad Dan Terorisme dalam Prespektif Islam

Siapa mereka yang mengatakan terorisme merupakan bagian dari jihad fi sabilillah ?? sedangkan teror sangat ditentang oleh teks rujukan utama umat Islam.

Lagenda Assasin "Penebar Maut Lembah Alamut"

Asyhasin(assassin) Antara Lagenda dan Mitos, Siapa Sangka Assassin yang terkenal sebagai Game, adalah Kisah Nyata Pasukan Khusus sekte pecahan Syiah Ismailiyah.

Tuesday, 13 May 2014

AKULTURASI LOKAL DAN ISLAM DALAM PERKAWINAN ADAT BONE

Pernikahan Saudari Lydia Megawati & Jufri
Begitu kentalnya akulturasi Islam dan budaya sehingga ketika kita membahas hal-hal metafisis maka akan sulit dibedakan antara sufistik Islam dengan tradisi lokal. Namun pada tataran ritual, maka akulturasi itu akan nyata terlihat. Misalnya, ritual naik rumah baru pra Islam digantikan dengan pembacaan Barzanji.

Dalam tradisi lokal, telur memiliki maknatelur. Akan tetapi, untuk mengajak masyarakat agar lebih mengenal Nabinya melalui Maulid, maka ditengah Mesjid dipasang telur yang dihias yang kemudian diperebutkan dengan harapan mendapatkan berkah dari Nabi.

Pengajaran agama secara tradisional dimulai dengan mengaji dengan metode pengkhidmatan. Dimana anak yang belajar mengaji disuruh untuk mengangkat air oleh guru mengajinya. Ketika beranjak dewasa dan bermaksud mendalami hal-hal batiniah, maka dituntut melakukan tazkiyatun nafs. Saat ia dianggap sudah mampu, maka diajarkan ilmu sufistik secara rahasia. Yaitu di dalam kelambu dan menggigit potongan emas.

Dalam tradisi tutur masyarakat ditemui kisah tentang dikalahkannya Sawerigading sang tokoh legendaris oleh Muhammad kecil pada pertandingan adu kesaktian. Kisah ini diyakini banyak orang, tapi menurut hemat penulis, ini tidak lebih sebagai sebuah pola dakwah untuk mengikis ketokohan Sawerigading. Hal ini mirip dengan ketundukannya para Pandawa oleh Semar dalam kebudayaan Jawa. Kita tidak akan menemui Semar yang memiliki Jimat Kalimasada (kalimat syahadat) pada Mahabarata yang aslinya yaitu di India.

Tradisi tutur lain adalah cerita Indra Patara yang berkisah perjalanan seorang pangeran Persia yang lebih memilih ketinggian akhlak ketimbang kekuasaan. Indra Patara dikisahkan kepada pangeran-pangeran kecil sebelum tidur.

Hingga hari ini, walau terancam punah, kita masih mendapatkan hiburan gambusu’ yang merupakan budaya serapan dari timur tengah yang ditampilkan saat walimah pernikahan.

Pada naskah Lontara, Stempel Kerajaan, dan Bendera Kerajaan, tak jarang kita temui penggunaan huruf hijaiyah selain aksara lontara maupun latin.

Dari sekelumit hal di atas dapat dipahami bahwa budaya lokal terbuka terhadap perubahan dan pengaruh luar selama sesuai dengan kondisi masyarakatnya. Namun kita masih temukan ritual kuno di pelosok yang dipadukan dengan ajaran Islam, atau bahkan tidak berhubungan sama sekali dengan Islam. Sementara kondisi masyarakat di Sulawesi Selatan hari ini berada di zaman modern dan global. Sehingga berbagai varian-varian Islam seperti gerakan Wahabiyah dan Ikhwanul Muslimin ikut mewarnai Islamisasi. Di pihak lain, intervensi budaya asing sedang gencar-gencarnya. Menjadi tanda tanya dan tantangan generasi hari ini untuk melanjutkan proses Islamisasi yang masih terus berproses mencari bentuknya : Islam Sulawesi.

A. PERKAWINAN ADAT BONE

Masyarakat kabupaten Bone, sebagaimana masyarakat kabupaten lainnya di Propinsi Sulawesi Selatan pada umumnya, merupakan pemeluk Islam yang taat, kehidupan mereka selalu diwarnai oleh keadaan yang serba religius. Kondisi ini ditunjukkan oleh banyaknya tempat-tempat ibadah dan Pendidikan Agama Islam. Sekalipun penduduk Kabupaten Bone mayoritas memeluk agama Islam, namun di kota Watampone juga ada gereja dan beberapa tempat ibadah pemeluk agama lainnya. Hal ini berarti, pemeluk agama lain cukup leluasa untuk menunaikan ibadahnya. Keadaan ini memberikan dampak yang positif terhadap kehidupan keagamaan, karena mereka saling hormat-menghormati dan menghargai satu dengan yang lainnya. Di samping itu, peran pemuka agama terutama para alim ulama sangat dominan dalam kehidupan keagamaan, bahkan bagi masyarakat Bone, alim ulama merupakan figur kharismatik yang menjadi panutan masyarakat.

Pada sektor pendidikan,pemerintah Kabupeten Bone mengarahkan pembangunan pada upaya peningkatan mutu pendidikan, sehingga tercipta peningkatan relevansi pendidikan, serta mempunyai keterkaitan yang sesuai dengan kebutuhan tuntutan. Oleh karena itu, mutu pendidikan selalu ditingkatkan sebagai upaya peningkatan sumber daya manusia agar menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang bermuara kepada meningkatnya daya saing masyarakat Bone.

Adapun mengenai pengembangan kebudayaan, pemerintah Kabupaten Bone berupaya untuk membina nilai-nilai budaya daerah sebagai bagian dari budaya nasional denganberdasarkan pada penerapan nilai-nilai luhur dan kearifan lokal masyarakat Bone.

Salah satu bentuk kepedulian pemerintah Kabupaten Bone dalam bidang kebudayaan adalah memfasilitasi terbentuknya Lembaga adat Bone sebagai mitra pemerintah dalam hal pelestarian nilai-nilai adat dan budaya luhur serta pengembangan kebudayaan.

Dalam masyarakat manapun, hubungan kekerabatan merupakan aspek utama, baik karena dinilai penting oleh anggotanya maupun fungsinya sebagai struktur dasar yang akan suatu tatanan masyarakat. Pengetahuan mebdalam tentang prinsip-prinsip kekerabatan sangat diperlukan guna memahami apa yang mendasari berbagai aspek kehidupan masyarakat yang dianggap paling penting oleh orang Bugis dan yang saling berkaitan dalam membentuk tatanan sosial mereka. Aspek tersebut antara lain adalah perkawinan.

Bagi masyarakat Bugis termasuk di dalamnya Bone, perkawinan berarti siala atau saling mengambil satu sama lain, jadi perkawianan merupakan ikatan timbla balik. Walaupun mereka beeasal dari strata sosial yang berbeda, setelah mereka menjadi suami istri mereka merupakan mitra. Selain itu, bagi masyarakat Bugis, perkawinan bukan saja penyatuan dua mempelai semata, akan tetapi merupakan suatu upacara penyatuan dan persekutuan dua keluarga besar yang biasanya telah memiliki hubngan sebelumnya dengan maksud mendekatkan atau mempereratnya (Mappasideppé mabélaé atau mendekatkan yang sudah jauh).

Petugas pembawa leko’ lompo (seserahan/erang-erang) "Versi Moderen"


Pemaknaan lain tentang perkawinan, pada buku Sulésana karya Anwar Ibrahim disinggung tentang siabbinéng dari kata biné yang berarti benih padi. Terdapat kedekatan makna dan kedekatan bunyi dengan kata “bainé” atau istri “mabbainé” atau beristri. Dalam konteks ini kata siabbinéng, mengandung makna menanam benih dalam kehidupan rumah tangga. Dikalangan masyarakat biasa, perkawinan biasanya berlangsung antar keluarga dekat atau antar kelompok patronasi yang sama (patron klien) sehingga mereka telah saling mengenal satu sama lain. Oleh karena itu, mereka yang berasal dari daerah lain, cenderung menjalin hubungan yang lebih dekat lagi dengan orang telah mereka kenal baik melalui jalur perkawinan. Dengan kata lain perkawinan adalah cara terbaik untuk menjadi (bukan orang lain/ tenniya tau laing). Hal ini juga sering ditempuh dua sahabat atau mitra usaha yang bersepakat menikahkan turunan mereka, atau bahkan menjodohkan anak mereka sejak kecil.

Dikalangan masayarakat dikenal ada dua macam perkawinan yaitu perkawinan melalui proses peminangan dan perkawinan yang disebut silariang. Namun yang akan dibahas dalam buku ini adalah perkawinan melalui peminangan. Perkawinan melalui proses peminangan adalah tata cara yang paling baik dan biasanya melalui beberapa tahap. Sejak dahulu sampai kira0kira 30 tahun lalu, tahap demi tahap masih selalu dilakukan, baik oleh golongan bangsawan maupun yang bukan bangsawan. Namun akibat dari perkembangan jaman serta pengaruh-pengaruh asing yang masuk maka terjadi beberapa perubahan, namun kartena masyarakat kita sangat kuat dalam memegang teguh adat, maka kebiasaan ini masih terus berlanjut walaupun disana sini telah disesuaikan dengan keadaan dan waktu. Dan pelaksanaannya pun telah mengalami beberapa perubahan tanpa meninggalkan nilai-nilai dan makna yang terkandung dalam semua tahapan upacara.

B. Pandangan Islam Terhadap Perkawinan

Salah satu ajaran yang penting dalam Islam adalah perkawinan atau pernikahan. Begitu pentingnya ajaran tentang perkawinan tersebut sehingga dalam Al-Quran terdapat sejumlah ayat baik secara langsung maupun tidak langsung berbicara mengenai perkawinan. Nikah artinya menghimpun atau mengumpulkan. Salah satu upaya untuk menyalurkan naluri seksual suami istri dalam rumah tangga sekaligus sarana untuk menghasilkan keturunan yang dapat menjamin kelangsungan eksistensi manusia di atas bumi. Keberadaan mikah itu sejalan dengan lahirnya manusia di atas bumi dan merupakan fitrah manusia yang diberikan Allah SWT terhadap hamba-Nya.

Ada beberapa definisi nikah yang dikemukakan ulama fiqih, tetapi seluruh definisi tersebut mengandung esensi yang sama meskipun redaksionalnya berbeda. Ulama Mazhab Syafi’I mendefinisikannya dengan akad yang mengandung kebolehan melakukan hubungan suami istri dengan lafal nikah/kawin atau yang semakna dengan itu. Sedangkan ulama Mazhab Hanafi mendefiniskannya dengan akad yang memfaedahkan halalnya melakukan hubungan suami istri antara seorang lelaki dan seorang perempuan selama tidak ada halangan syara Imam Muhammad Abu Zahrah (w. 1394 H/1974 M), ahli hukum Islam dari Universitas Al-Azhar, berpendapat bahwaperbedaan kedua definisi di atas tidaklah bersifat prinsipil. Yang menjadi prinsip dalam definisi tersebut adalah nikah itu membuat seorang lelaki dan seorang wanita halal melakukan hubungan seksual. Untuk mengkompromikan kedua definisi, Abu Zahrah mengemukakan definisi nikah, yaitu akad yang menjadikan halalnya hubungan seksual antara seorang lelaki dan seorang wanita, saling tolong menolong diantara keduanya serta menimbulkan hak dan kewajiban diantara keduanya. Hak dan kewajiban yang dimaksud Abu Zahrah adalah hak dan kewajiban yang datangnya dari asy-Syariat Allah SWT dan Rasul-Nya. Tujuan pernikahan sebagaimana disebutkan dalam salah satu ayat dalam Al-Quran adalah (artinya) “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kamu rasa kasih sayang (Q.S.30:21).

Berdasarkan ayat di atas jelas bahwa Islam menginginkan pasangan suami istri yang telah membina suatu rumah tangga melalui akad nikah tersebut bersifat langgeng. Terjalin keharmonisan di antara suami istri yang saling mengasihi dan menyayangi itu sehingga masing-masing pihak merasa damai dalam rumah tangganya. Rumah tangga seperti inilah yang diinginkan Islam, yakni rumah tangga sakinah, sebagaimana yang disyaratkan Allah SWT dalam surat Ar-Rum (30) ayat 21 di atas. ada tiga kata kunci yang disampaikan oleh Allah SWT dalam ayat tersebut, dikaitkan dengan rumah tangga yang ideal menurut Islam, yaitu sakinah (as-sakinah), mawadah (almawaddah), dan rahmat (ar-rahmah). Ulama tafsir menyatakan bahwa as-sakinah adalah suasana yang damai yang melingkupi rumah tangga yang bersangkutan; masing-masing pihak menjalankan perintah Allah SWT dengan tekun, saling menghormati, dan saling toleransi. Dari suasana as-sakinah tersebut akan muncul rasa saling mengasihi dan menyayangi (al-mawaddah), sehingga rasa tanggung jawab kedua belah pihak semakin tinggi. Selanjutnya, para musafir mengatakan bahwa dari as-sakinah dan almawaddah inilah nanti muncul ar-rahmah, yaitu keturunan yang sehat dan penuh berkat dari Allah SWT, sekaligus sebagai pencurahan rasa cinta dan kasih.

C. Pandangan Masyarakat Bugis Terhadap Perkawinan

Perkawinan merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan manusia karena perkawinan bukan hanya merupakan peristiwa yang harus ditempuh atau dijalani oleh dua individu yang berlainan jenis kelamin, tetapi lebih jauh adalah perkawinan sesungguhnya proses yang melibatkan beban dan tanggung jawab dari banyak orang, baik itu tanggung jawab keluarga, kaum kerabat (sompung lolo) bahkan kesaksian dari seluruh masyarakat yang ada di lingkungannya.

Dipandang dari sisi kebudayaan, maka perkawinan merupakan tatanan kehidupan yang mengatur kelakuan manusia. Selain itu perkawinan juga mengatur hak dan kewajiban serta perlindungannya terhadap hasil-hasil perkawinan yaitu anak-anak, kebutuhan seks (biologis), rasa aman (psikologis), serta kebutuhan sosial ekonomi, dan lain-lain. Namun pada masyarakat Bugis, perkawinan bukan saja merupakan pertautan dua insan laki-laki dan perempuan, namun merupakan juga pertautan antara dua keluarga besar. Ini disebabkan karena orang tua dan kerabat memegang peranan sebagai penentu dan pelaksana dalam perkawinan anak-anaknya. Sebagaimana digambarkan oleh H. TH. Chabot dalam bukunya “Verwanschap stand en sexe in zuid celebes” yang berbunyi “Pilihan pasangan hidup, bukanlah urusan pribadi namun adalah urusan keluarga dan kerabat”. Dengan fungsi ini maka perkawinan haruslah diselenggarakan secara normatif menurut agama dan adat yang berlaku dalam masyarakat setempat dan harus diselenggarakan secara sungguh-sungguh dalam suatu upacara perkawinan.

TATA CARA PERKAWINAN ADAT BONE

Adapun tahapan dari proses perkawinan adat Bone secara umum dapat dibagi atas tiga tahapan, yaitu tahapan pra nikah, nikah, dan tahapan setelah nikah. Selanjutnya untuk lebih jelasnya pada bagian ini akan dijelaskan tahapan perkawinan secara berturut-turut.

1. Madduta Massuro / Lettu 

Banyak tahapan pendahuluan yang harus dilewati sebelum pesta perkawinan (Mappabotting) dilangsungkan. Jika lelaki belum dijodohkan sejak kecil (atau sebelum dia lahir) maka keluatganya akan mulai mencari-cari pasangan yang kirakira dianggap sesuai untuknya. Bagi kaum bangsawan, garis keturunan perempuan dan laki-laki akan diteliti secara seksama untuk mengetahui apakah status kebangsawanan mereka sesuai atau tidak, jagan sampai tingkatan pelamar lebih rendah dari tingkat perempuan yang akan dilamar. Madduta artinya meminang secara resmi, dahulu kala dilakukan beberapa kali, sampai ada kata sepakat, namun secara umum proses yang ditempuh sebelum meminang adalah sebagai berikut:

a) Mammanu-manu’

Mammanu-manu’ bermakna seperti burung yang terbang kesana kemari, untuk menyelidiki apakah ada gadis yang berkenan di hati. Langkah pendahuluan ini biasanya ditugaskan kepada seseorang biasanya kepada para paruh baya perempuan, yang akan melakukan kunjungan biasa kepada keluarga perempuan untuk mencari tahu seluk beluknya, namun biasanya proses ini sangat tersamar. Mappésé-pésé dilakukan setelah kunjungan pertama tadi (Mammanu-manu) yaitu melakukan kunjungan resmi pertama untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang secara tidak langsung dan sangat halus (ada orang yang akan mendekati anda dan bertanya Sudah adakah yang berbicara dengan anda? sudah adakah yang punya? Apakah pintu masih terbuka? ) agar kedua belah pihak tidak kehilangan muka atau malu seandainya pendekatan ini tidak membuahkan hasil. Jika keluarga perempuan memberi lampu hijau, kedua pihak kemudian menentukan hari untuk mengajukan lamaran secara resmi (Madduta). Selama proses pelamaran ini berlangsung garis keturunan, status kekerabatan, dan harta calon mempelai diteliti lebih jauh, sambil membicarakan sompa dan uang antaran (Dui ménré) yang harus diberikan oleh pihak laki-laki untuk biaya perkawinan pasangannya, serta hadiah persembahan kepada calon mempelai perempuan dan keluarganya.

b) Mappettu Ada

Mappettu Ada yang baiasanya juga ditindak lanjuti dengan (mappasierekeng) atau menyimpulkan kembali kesepakatankesepakatan yang telah dibicarakan bersama pada proses sebelumnya. Ini sudah merupakan lamaran resmi dan biasanya disaksikan oleh keluarga dan kenalan. Pada saat inilah akan dibicarakan secara terbuka segala sesuatu terutama mengenai hal-hal yang prinsipil. Ini sangat penting karena kemudian akan diambil kesepakatan atau mufakat bersama, kemudian dikuatkan kembali keputusan tersebut (mappasierekeng). Pada kesempatan ini diserahkan oleh pihak laki-laki pattenre ada atau passio (pengikat) berupa cincin, beserta sejumlah benda simbolis lainnya, misalnya tebu, sebagai simbol sesuatu yang manis, buah nangka (Panasa) yang mengibaratkan harapan (minasa); dan lain sebagainya. Apabila waktu perkawinan akan dilaksanakan dalam waktu singkat, maka passio ini diiringi passuro mita yang diserahkan setelah pembicaraan telah disepakati.
  •  Satu lembar bahan waju tokko 

  • Satu lembar sarung sutera atau lipa sabbé, juga disertai dengan Satu piring besar nasi ketan (sokko) 

  • Satu mangkok besar palopo (air gula merah yang dimasak dengan santan dan diberi telur ayam secukupnya) 

  • Dua sisir pisang raja 

Biasanya antara pihak perempuan dan laki-laki pada acara mappettu ada ini dilangsungkan dialog. Dialog ini biasanya dimulai oleh pihak perempuan sebagai tuan rumah dan dibalas oleh pihak laki-laki. Pada saat Mappettu ada akan disepakati beberapa perjanjian, diantaranya:
  • Sompa, Sompa artinya mas kawin atau mahar sebagai syarat sahnya suatu perkawinan. Besarnya sompa telah ditentukan menurut golongan atau tingkatan derajat gadis. Penggolongan sompa tidaklah selalu sama dalam pengistilahannya. Ada dalam bentuk mata uang real dan ada pula dalam bentuk kati tetapi dalam buku ini secara umum adalah sebagi berikut: Bangsawan tinggi 88 real, Bangsawan menengah 44 real , Arung palili 28 real, Golongan tau maradeka 20 real, Golongan ata (budak) 10 real. Pada akhir abad ke-19 besarnya mas kawin (sompa) ditetapkan berdasarkan status seseorang. Setiap satuam mas kawin disebut kati (mata uang kuno) satu kati senilai dengan 66 ringgit, atau sama dengan 88 real, 8 uang (8/20 rial) dan 8 duit (8/12 uang) dan setiap kati akan harus ditambah satu orang budak yang bernilai 40 real dan seekor kerbau yang bernilai 25 real. Sompa bagi kalangan perempuan bangsawan kelas tinggi Sompa bocco atau sompa puncak bisa mencapai 14 kati. Sedangkan bagi perempuan bangsawan terendah hanya 1 kati, dan orang baik-baik atau tau deceng setengah kati, dan kalangan baiasa hanya seperempat kati. Sistem perhitungan ini masih berlaku sampai sekarang, tetapi sejak masa kemerdekaan Republik Indonesia, maka mata uang ringgit (dulu senilai 2,5 rupiah atau 2,5 gulden Belanda) yang dihadikan satu perhitungan. Namun karena inflasi dan turunnya harga rupaih pada awal 1960 maka jelas sompa ini tidak berlaku lagi. Namun Sompa ini masih sangat penting artinya, khususnya bagi keluarga yang berstatus tinggi karena hadiahhadiah tambahannya, termasuk di dalamnya hadiah simbolis (batang tebu, labu, buah, nangka, anyaman-anyaman, dan bermacam-macam kue tradisonal). 
  • Dui ménré / Dui balanca, Dui ménré adalah sejumlah uang yang akan diserahkan oleh pihak laki-laki pasa saat mappettu ada (mappasierekeng). Hal ini biasa dilakukan oleh pihak perempuan untuk mengetahui kerelaan atau kesanggupan berkorban dari pihak lakilaki sebagai perwujudan keinginannya untuk menjadi anggota keluarga. Dui ménré ini akan digunakan oleh pihak perempuan dalam rangka membiayai pesta perkawinannya. Pada tahun 1975 Susan Millar dalam bukunya Wedding Bugis menunjukkan bahwa besarnya dui ménré berkisar antara Rp. 2.000 sampai dengan Rp. 5000,-. Di kondisi kekinian dimana kekuasaan politik tradisional semakinmemudar dui ménré semakin lama semakin mengalami kenaikan, hal ini disebabkan karena tidak ada lagi aturan dan pihak pihak yang berwenang menegakkan aturan adat. 

2. Tanra esso akkalabinéngeng

Kalau semua persayaratan ini telah disepakati, kemudian telah dikuatkan (mappasierekeng) maka pinangan telah resmi diterima. Kemudian akan disepakati lagi hari H perkawinan. Penentuan hari H perkawinan (tanra esso akkalabinéneng) atau penentuan saat akad nikah biasanya disesuaikan dengan penanggalan berdasarkan tanggal dan bulan Islam. Setelah mengetahui hari pelaksanaan akad nikah (ménré botting) dengan sendirinya prosesi adat lainnya seperti mappacci, (tudampenni, wenni mappacci) serta marola sudahj diketahui pula. Upacara mappacci, pada malam tudampenni, atau malam pacar baiasanya dilakukan sehari atau beberapa hari sebelum hari perkawinan. Sedangkan ma’parola dilakukan sehari atau beberapa hari setelah hari perkawinan dilangsungkan.

3. Mappaisseng atau memberi kabar

Setelah kegiatan madduta atau peminangantelah selesai dean menghasilkan kesepakatan, maka kedua pihak keluarga calon mempelai akan menyampaikan kabar mengenai perkawinan ini.biasanya yang diberi tahu adalah keluarga yang sangat dekat, tokoh masyarakat yangdituakan, serta tetangga-tetangga dekat berhubung mereka inilah yang akan mengambil peran terhadap kesuksesan semua rangkaian upacara perkawinan ini.

4. Mattampa / Mappalettu selleng

Kegiatan ini merupakan kelanjutan dari proses sebelumnya yaitu mappaisseng, dan biasanya pihak keluarga calon mempelai akan mengundang seluruh sanak saudara dan handai taulan. Undangan tertulis ini dilaksanakan kira-kira 10 atau 1 minggu sebelum resepsi perkawinan dilangsungkan. Kegiatan ini disebut juga mappalettu selleng karena diharapkan pihak yang diundang akan merasa dihargai bila para pembawa undangan ini menyampaikan salam dan harapan dari pihak yang mengundang kiranya bersedia datang untuk memberi restu.

5. Mappatettong sarapo/ Baruga

Sarapo atau baruga adalah bangunan tambahan yang didirikan di samping kiri/kanan rumah yang akan ditempati melaksanakan akad nikah. Sedangkan baruga adalah bangunan terpisah dari rumah yang ditempati bakal pengantin dan dindingnya terbuat dari jalinan bambu yang dianyam yang disebut walasuji. Di dalam sarapo atau baruga dibuatkan pula tempat yang khusus bagi pengantin dan kedua orang tua mempelai yang disebut lamming. Tetapi akhir-akhir ini di Kabupaen Bone sudah jarang lagi mendirikan sarapo oleh karena sudah ada beberapa gedung atau tenda yang dipersewakan lengkap dengan peralatannya, namun kadang pula masih ada yang melaksanakan terutama bagi kalangan bangsawan dan orang berada.

6. Mappacci / Tudampenni

Upacara adat mappacci dilaksanakan pada waktu tudampenni, menjelang acara akad nikah/ijab kabul keesokan harinya. Upacara mappacci adalah salah satu upacara adat Bugis yang dalam pelaksanaannya menggunakan daun pacar (Lawsania alba), atau Pacci. Sebelum kegiatan ini dilaksanakan biasanya dilakukan dulu dengan mappanré temme (khatam Al-Quran) dan barazanji. Daun pacci ini dikaitkan dengan kata paccing yang makananya adalah kebersihan dan kesucian. Dengan demikian pelaksanaan mappacci mengandung makna akan kebersihan raga dan kesucian jiwa.

Adapun urutan dan tata cara mappacci adalah sebagai berikut:

  • Sebelum acara mappacci dimulai, biasanya dilakukan padduppa (penjemputan) mempelai. Calon mempelai dipersilakan oleh Protokol atau juru bicara keluarga: 

Dalam pelaksanaan mappacci disiapkan perlengkapan yang kesemuanya mengandung arti makna simbolis seperti:

  • Sebuah bantal atau pengalas kepala yang diletakkan di depan calon pengantin, yang memiliki makna penghormatan atau martabat, kemuliaan dalam bahasa Bugis berarti mappakalebbi. 
  • Sarung sutera 7 lembar yang tersusun di atas bantal yang mengandung arti harga diri. 
  • Di atas bantal diletakkan pucuk daun pisang yang melambangkan kehidupan yang berkesinambungan dan lestari. 
  • Di atas pucuk daun pisang diletakkan pula daun nangka sebanyak 7 atau 9 lembar sebagai permakna ménasa atau harapan. 
  • Sebuah piring yang berisi wenno yaitu beras yang disangrai hingga mengembang sebagai simbol berkembang dengan baik sesuai dengan arti bahasa Bugisnya (mpenno rialéi). 
  • Tai bani, patti atau lilin yang bermakna sebagai suluh penerang, juga diartikan sebagai simbol kehidupan lebah yang senantiasa rukun dan tidak saling mengganggu. 
  • Daun pacar atau pacci sebagai simbol dari kebersihan dan kesucian. Penggunaan pacci ini menandakan bahwa calon mempelai telah bersih dan suci hatinya untuk menempuh akad nikah keesokan harinya dan kehidupan selanjutnya sebagai sepasang suami istri hingga ajal menjemput. Daun pacar atau pacci yang telah dihaluskan ini disimpan dalam wadah bekkeng sebagai permaknaan dari kesatuan jiwa atau kerukunan dalam kehidupan keluarga dan kehidupan masyarakat. 
Pelaksanaan

Orang-orang yang diminta untuk meletakkan pacci pada calon mempelai biasanya adalah orang-orang yang mempunyai kedudukan sosial yang baik dan punya kehidupan kehidupan rumah tangga yang bahagia. Semua ini mengandung makna agar calon mempelai kelak di kemudian hari dapat hidup bahagia seperti mereka yang meletakkan pacci di atas tangannya. Jumlah orang yang meletakkan pacci ke tangan calon mempelai adalah biasanya disesuaikan dengan stratifikasi sosial calon mempelai itu sendiri. Untuk golongan bangsawan tertinggi jumlahnya 2 x 9 orang atau dalam istilah Bugis duakkaséra Untuk golongan bangsawan menengah sebanyak 2 x 7 orang atau duappitu. Sedangkan untuk golongan di bawahnya bisa 1 x 9 atau 1 x 7 orang.

Cara memberi pacci kepada calon mempelai adalah sebagai berikut:

Diambil sedikit daun pacci yang telah dihaluskan (telah dibentuk bulat supaya praktis), lalu diletakkan daun dan diusap ke tangan calon mempelai. Pertama ke telapak tangan kanan, kemudian telapak tangan kiri, lalu disertai dengan doa semoga calon mempelai kelak dapat hidup dengan bahagia. Kemudian kepada orang yang telah memberikan pacci diserahkan rokok sebagai penghormatan. Dahulu disuguhi sirih yang telah dilipat-lipat lengkap dengan segala isinya. Tetapi karena sekarang ini sudah jarang orang yang memakan sirih maka diganti dengan rokok. Sekali-kali indo botting menghamburkan wenno kepada calon memepelai atau mereka yang meletakkan daun pacar tadi dapat pula menghamburkan wenno yang disertai dengan doa. Biasanya upacara mappacci didahului dengan pembacaan Barzanji sebagai pernyataan syukur kepada Allah SWT dan sanjungan kepada Nabiyullah Muhammad SAW atas nikmat Islam. Setelah semua selesai meletakkan pacci ke telapak tangan calon mempelai maka tamu-tamu disuguhi dengan kue-kue tradisional yang diletakkan dalam bosara. Biasanya acara mappacci ini didahului dengan ritual sebagai berikut:

1. Ripasau

Sementara dalam kesibukan mempersiapkan pesta pernikahan maka diadakan pula persiapan-persiapan yang tak kalah pentingnya yaitu perawatan pengantin (ripasau/mappasau). Biasanya perawatan ini dilakukan sebelum hari pernikahan (3 hari berturut-turut atau karena keterbatasan waktu hanya dilakukan 1 kali saja pada saat sebelum kegiatan mappacci). Ripasau atau mappsau ini dilakukan pada satu ruangan tertentu yang terlebih dahulu dipersiapkan dengan memasak berbagai macam ramuan yang terdiri dari daun sukun, daun coppéng, daun pandan, rampa para’pulo dan akarakaran yang harum dalam belanga yang besar. Mulut belanga ditutup dengan batang pisang yang diberi terowongan bambu sepanjang tangga rumah yang disumbat dengan tutup periuk. Uap yang keluar kemudian akan menghangatkan tubuh sampai membuka pori-pori kulit sehingga mengeluarkan keringat dari seluruh tubuh sehingga tubuh menjadi bersih dan segar. Namun sebelum kegiatan ini, terlebih dahulu pengantin dipakaikan bedak basah atau lulur yang terdir atas beras yang telah direndam dan telah ditumbuk halus bersama kunyit dan akar-akaran yang harum ditambah dengan rempah-rempah.Ramuan ini kemudian dilulurkan ke seluruh permukaan badan. Dahulu kala ritual ini dilaksanakan selama 40 hari, dewasa ini hanya 3 hari atau 7 hari atau malah hanya 1 kali sebelum acara tudampenni atau mappacci.

2. Cemmé passili/Mappassili

Disebut juga cemmé tula bala yaitu permohonan kepada Allah SWT agar kiranya dijauhkan dari segala macam bahaya atau bala, yang dapat menimpa khususnya bagi calon mempelai. Prosesi ini dilaksanakan di depan pintu rumah dengan maksud agar kiranya bala atau bencana dari luar tidak masuk ke dalam rumah dan bala yang berasal dari dalam rumah bisa keluar.

7. Akad Nikah /akkalabinengeng

Upacara akad nikah juga memiliki beberapa rangkaian acara yang secara beruntun. Kegiatan yang dimaksud adalah sebagai berikut:

  • Mappénré Botting 
Merupakan kegiatan mengantar pengantin laki-laki ke rumah pengantin perempuan untuk melaksanakan akad nikah. Di depan pengantin laki-laki ada beberapa laki-laki tua berpakaian adat dan membawa keris. Kemudian diikuti oleh sepasang remaja yang masing-masing berpakaian pengantin. Lalu diikuti sekelompok bissu yang berpakaian adat pula berjalan sambil menari mengikuti irama gendang. Lalu di belakangnya terdiri dari dua orang laki-laki berpakaian tapong yang membawa gendang dan gong. Kemudian pengantin laki-laki pada barisan beikutnya dengan diapit oleh dua orang passeppi dan satu bali botting.

  • Madduppa botting 
Diartikan menjemput kedatangan pengantin laki-laki. Sebelum penganting laki-laki berangkat ke rumah perempuan, terlebih dahulu rombongan tersebut menunggu penjemput dari pihak perempuan (biasanya dibicarakan lebih dahulu sebagai suatu perjanjian). Bila tempat mempelai perempuan jauh dari lokasi rumah laki-laki maka yang disepakati adalah jam tiba di rumah perempuan. Rombongan penjemput tersebut menyampaikan kepada pihak laki-laki bahwa pihak perempuan telah siap menerima kedatangan pihak laki-laki. Untuk menyambut kedatangan rombongan mempelai laki-laki maka di depan rumah mempelai perempuan telah menunggu beberapa penjemput yaitu: 2 orang padduppa: 1 orang puteri dan 1 orang remaja dengan pakaian lengkap, 2 orang pakkusu-usui: perempuan yang sudah menikah, 2 orang pallipa sabbé: sepasang orang tua setengah baya sebagai wakil orang tua, 1 orang prempuan pangampo wenno, 1 atau 2 orang padduppa botting yang biasanya dilakukan oleh saudara dari orang tua mempelai perempuan, mereka ditugaskan menjemput dan menuntun pengantin turun dari kendaraan menuju ke dalam rumah untuk melaksanakan akad nikah.
  • Akad Nikah 
Orang bersiap melakukan akad nikah adalah bapak atau wali calon mempelai perempuan atau imam kampung atau salah seorang yang ditunjuk oleh Departemen Agama. Dua orang saksi dari kedua belah pihak. Pengantin laki-laki duduk bersila siap melaksanakan akad nikah. Acara akad nikah dimulai dengan pembacaan ayat suci Al-Quran yang dilanjutkan dengan pemeriksaan berkas pernikahan, penandatanganan berkas dan juga sompa. Pihak yang bertandatangan adalah pengantin laki-laki, pengantin perempuan, wali dan 2 orang saksi. Kemudian dilanjutkan dengan penyerahan perwalian dari orang tua atau wali pengantin perempuan kepada imam kampung/penghulu yang akan menikahkan. Orang tua atau wali perempuan mengucapkan, dengan mengucapkan Bismillahi Rahmani Rahim saya orang tua/wali pengantin perempuan menyerahkan perwalian kepada imam kampung/penghulu Untuk menikahkan anak saya dengan lak-laki (disebutkan nama pengantin laki-laki). Ijab kabul dilakukan dengan didahului oleh khutbah nikah oleh imam kampung atau orang yang ditunjuk oleh undangundang. Ijab kabul dilakukan dengan pengantin laki-laki berhadapan dengan imam lalu saling berpegangan ibu jari kanan sebelumnya. Pengantin laki-laki dibimbing oleh imam untuk menjawab pertanyaan imam, setelah merasa lancar maka ijab kabulpun dilaksanakan. Beberapa bacaan yang diucapkan oleh imam harus diikuti oleh pengantin laki-laki seperti:istigfar, syahadatain, shalawat, lalu ijab kabul.
  • Mappasiluka 

Setelah akad nikah selesai maka dilanjutkan dengan acara mappasiluka atau mappasikarawa. Acara ini merupakan kegiatan mempertemukan mempelai laki-laki dengan pasangannya. Pengantin laki-laki diantar oleh seseorang yang dituakan oleh keluarganya menuju kamar pengantin. Kegiatan ini biasa disebut juga dengan mappalettu nikka. Sering terjadi pintu kamar pemgantin perempuan, sehingga untuk masuk dilakukan dulu dialog yang disertai dengan pemberian kenang-kenangan berupa uang dari oarng yang mengantar pengantin laki-laki sebagai pembuka pintu. Setiba di kamar, oleh orang yang mengantar menuntun pengantin laki-laki untuk menyentuh bagian tertentu tubuh pengantin perempuan.
  • Maréllau Dampeng 
Setelah prosesi mappasiluka maka dilanjutkan dengan acara memohon maaf kepada kedua orang tua pengantin perempuan dan seluruh keluarga dekat yang sempat hadir pada akad nikah tersebut. Selesai memohon maaf lalu kedua pengantin diantar menuju pelaiminan untuk bersanding guna menerima ucapan selamat dan doa restu dari segenap tamu dan keluarga yang hadir, biasanya acara ini dilanjutkan dengan resepsi di malam hari.

8. Upacara Sesudah Akad Nikah
  • Mapparola 
Acara ini merupakan juga prosesi penting dalam rangkaian perkawinan adat Bone, yaitu kunjungan balasan dari pihakperempuan kepada pihak lak-laki. Jadi merupakan sebuah kekura ngan, apabila seorang mempelai perempuan tidak diantar ke rumah orang tua mempelai laki-laki. Kegiatan ini biasanya dilaksanakan sehari atau beberapa hari setelah upacara akad nikah dilaksanakan. Kegiatan biasanya tidak dilakukan jika pernikahan tidak mendapat restu dari orang tua pihak laki-laki. Pada hari yang disepakati untuk proses mapparola/marola (mammatoa) kedua belah pihak kemudian mengundang kembali keluarga dan kaum kerabat untuk hadir dan meramaikan upacara mapparola. Keluarga pihak perempuan mengundang beberapa keluarga untuk turut mengantar kedua mempelai ke rumah orang tua pihak laki-laki. Sedangkan pihak laki-laki mengundang beberapa keluarga dan kerabat untuk menyambut kedatangan pihak perempuan. Kedua mempelai kembali dirias seperti pada waktu akad nikah, lengkap pula dengan semua pengringnya, seperti balibotting, passeppi, pembawa cerek, pembawa tombak, pembawa payung, pembawalellu indo pasusu

Apabila kedua mempelai beserta rombongan tiba di hadapan rumah orang tua laki-laki maka disambut dengan wanita berpakaian waju tokko hitam dengan menghamburkan wenno, sebagai pakkuru sumange (ucapan selamat datang). Dalam acara mapparola ini biasanya dilakukan juga makkasiwiang yaitu mempelai perempuan membawakan sarung untuk mertua/orang tua laki-laki beserta saudar-saudaranya. Hal ini dilakukan di kamar pengantin laki-laki. Pengantin perempuan diantar oleh indo botting untuk memberikan sarung sutera kepada orang tua dan saudara pengantin laki-laki. Di daerah Bugis biasanya pemberian ini akan dikembalikan lagi dengan ditambahkan pemberian dari mempelai laki-laki sesuai dengan kemampuan.
  • Marola wekka dua 

Pada marola wekka dua ini, mempelai perempuan biasanya hanya bermalam satu malam saja dan sebelum matahari terbit kedua mempelai kembali ke rumah mempelai perempuan.
  • Ziarah kubur 
Meskipun banyak pihak mengatakan bahwa ziarah kubur bukanlah merupakan rangkaian dalam upacara perkawinan adat Bone namun sampai saat ini kegiatan tersebut masih sangat sering dilakukan karena merupakan tradisi atau adat kebiasaan bagi masyarakat Bone, yaitu lima harai atau seminggu setelah kedua belah pihak melaksanakan upacara perkawinan.

  • Cemmé-cemmé atau mandi-mandi 
Sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Bone bahwa setelah upacara perkawinan yang banyak menguras tenaga dan

pemikiran maka rombongan dari kedua belah pihak pergi mandi-mandi di suatu tempat.













Monday, 12 May 2014

PAHAM ALIRAN JABARIYAH

Pembahasan ilmu kalam sebagai hasil pengembangan masalah keyakinan agama belum muncul di zaman Nabi. Umat di masa itu menerima sepenuhnya penyampaian Nabi. Mereka tidak mempertanyakan secara filosofis apa yang diterima itu. Kalau terdapat kesamaran pemahaman, mereka langsung bertanya kepada Nabi dan umat pun merasa puas dan tenteram. Hal itu berubah setelah Nabi wafat. Nabi tempat bertanya sudah tidak ada. Pada waktu itu pengetahuan dan budaya umat semakin berkembang pesat karena terjadi persentuhan dengan berbagai umat dan budaya yang lebih maju. Penganut Islam sudah beragam dan sebagiannya telah menganut agama lain dan memiliki kebudayaan lama. Hal-hal yang diterima secara imānī mulai dipertanyakan dan dianalisa.

Al-Syahrastānī menyebutkan beberapa prinsip yang merupakan dasar bagi pembagian aliran teologi dalam Islam. Di antara prinsip fundamental yang dibahas dalam ‘ilmu al-kalām yakni berkenaan dengan qadar dan keadilan Tuhan. Ketika ulama kalam membicarakan masalah qada’ dan qadar, dan hal itu mendorong mereka untuk membicarakan asas taklif, pahala dan siksa, mereka pun berselisih dalam menentukan fungsi perbuatan manusia.

Tuhan adalah pencipta segala sesuatu, pencipta alam semesta termasuk di dalamnya perbuatan manusia itu sendiri. Tuhan juga bersifat Maha Kuasa dan memiliki kehendak yang bersifat mutlak dan absolut. Dari sinilah banyak timbul pertanyaan sampai di manakah manusia sebagai ciptaan Tuhan bergantung pada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan dalam menentukan perjalanan hidupnya? Apakah Tuhan memberi kebebasan terhadap manusia untuk mengatur hidupnya? Ataukah manusia terikat seluruhnya pada kehendak dan kekuasaan Tuhan yang absolut?.

Menanggapi pertanyaan-pertanyaan tersebut maka muncullah dua paham yang saling bertolak belakang berkaitan dengan perbuatan manusia. Kedua paham tersebut dikenal dengan istilah Jabariyah dan Qadariyah. Golongan Qadariyah menekankan pada otoritas kehendak dan perbuatan manusia. Mereka memandang bahwa manusia itu berkehendak dan melakukan perbuatannya secara bebas. Sedangkan Golongan Jabariyah adalah antitesa dari pemahaman Qadariyah yang menekankan pada otoritas Tuhan. Mereka berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya.

Di samping itu, berbagai ayat alquran menampakkan kedua aliran itu secara nyata. Berbagai ayat menunjukkan kebebasan manusia melakukan perbuatannya. Setiap manusia dibebani tanggung jawab atas segala tingkah lakunya. Karenanya mereka berhak memperoleh pahala atau menerima siksa, dipuji atau dicela. Demikian pula banyak ayat lain dalam alquran yang mengisyaratkan bahwa manusia itu dikuasai sepenuhnya oleh Tuhan. Dengan kata lain manusia tidak memiliki kebebasan.

Para ahli agama dan filosof dalam berbagai kurun waktu aktif membahas apakah manusia bebas berbuat sesuatu dengan kehendaknya atau kehendaknya itu disebabkan oleh sesuatu yang di luar dirinya.

A. Pengertian Paham Jabariyah

Jabariyah berasal dari kata Arab jabara yang berarti alzama hu bi fi’lih, yaitu berkewajiban atau terpaksa dalam pekerjaannya. Manusia tidak mempunyai kemampuan dan kebebasan untuk melakukan sesuatu atau meninggalkan suatu perbuatan. Sebaliknya ia terpaksa melakukan kehendak atau perbuatannya sebagaimana telah ditetapkan Tuhan sejak zaman azali. Dalam filsafat Barat aliran ini desebut Fatalism atau Predestination.

Paham Jabariyah ini berpendapat bahwa qada dan qadar Tuhan yang berlaku bagi segenap alam semesta ini, tidaklah memberi ruang atau peluang bagi adanya kebebasan manusia untuk berkehendak dan berbuat menurut kehendaknya. Paham ini menganggap semua takdir itu dari Allah. Oleh karena itu menurut mereka, seseorang menjadi kafir atau muslim adalah atas kehendak Allah.

Namun demikian, Jabariyah terbagi atas dua kelompok utama, yaitu:

  1. Jabariyah murni atau ekstrim,yang dibawa oleh Jahm bin Shafwān paham fatalisme ini beranggapan bahwa perbuatan-perbuatan diciptakan Tuhan di dalam diri manusia, tanpa ada kaitan sedikit pun dengan manusia, tidak ada kekuasaan, kemauan dan pilihan baginya. Manusia sama sekali tidak mampu untuk berbuat apa-apa, dan tidak memiliki daya untuk berbuat. Manusia bagaikan selembar bulu yang diterbangkan angin, mengikuti takdir yang membawanya. Manusia dipaksa, sama dengan gerak yang diciptakan Tuhan dalam benda-benda mati. Oleh karena itu manusia dikatakan “berbuat” bukan dalam arti sebenarnya, tetapi dalam arti majāzī atau kiasan. Seperti halnya “perbuatan” yang berasal dari benda-benda mati. Misalnya dikatakan: pohon berbuah, air mengalir,batu bergerak, matahari terbit dan terbenam, langit mendung dan menurunkan hujan, bumi bergerak dan menghasilkan tumbuh-tumbuhan, dan sebagainya. Selain itu, menurut mereka pahala dan dosa ditentukan sebagaimana halnya dengan semua perbuatan. Jika demikian, maka taklif atau pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab juga merupakan suatu paksaan. Kalau seseorang mencuri atau minum khamr misalnya, maka perbuatannya itu bukanlah terjadi atas kehendaknya sendiri, tetapi timbul karena qada dan qadar Tuhan yang menghendaki demikian. Dengan kata lain bahwa ia mencuri dan meminum khamr bukanlah atas kehendaknya tetapi Tuhanlah yang memaksanya untuk berbuat demikian.
  2. Jabariyah moderat, yang dibawa oleh al-Husain bin Muhammad al-Najjār. Dia mengatakan bahwa Allah berkehendak artinya bahwa Dia tidak terpaksa atau dipaksa. Allah adalah pencipta dari semua perbuatan manusia, yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah, tetapi manusia mempunyai andil dalam perwujudan perbuatan-perbuatan itu. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannnya. Dan inilah yang disebut dengan kasb. Paham ini juga dibawakan oleh Dhirār bin ‘Amru. Ketika dia mengatakan bahwa perbuatan-perbuatan manusia pada hakikatnya diciptakan oleh Allah, dan manusia juga pada hakikatnya memiliki bahagian untuk mewujudkan berbuatannya. Dengan demikian, menurutnya bisa saja sebuah tindakan dilakukan oleh dua pelaku.
Paham moderat ini mengakui adanya intervensi manusia dalam perbuatannya. Karena manusia telah memiliki bahagian yang efektif dalam mewujudkan perbuatannya. Sehingga manusia tidak lagi seperti wayang yang digerakkan dalang. Menurut paham ini, Tuhan dan manusia bekerja sama dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan manusia.

B. Lahirnya Paham Jabariyah dan Tokohnya

Munculnya paham ini tetap mempunyai kaitan dengan aliran-aliran Kalam sebelumnya yakni Khawārij dan Murji’ah, sementara itu muncul dalam sejarah teologi Islam seorang bernama Washil bin ‘Atha’ yang lahir di Madinah di tahun 700 M dan mendirikan aliran teologi baru yang berbeda dengan kedua aliran teologi sebelumnya yang dikenal dengan nama Mu’tazilah. Pada masa inilah umat Islam telah banyak mempunyai kontak dengan keyakinan-keyakinan dan pemikiran-pemikiran dari agama-agama lain dan dengan filsafat Yunani. Sebagai akibat dari kontak ini masuklah ke dalam Islam paham Qadariyah (free will dan free act) dan paham Jabariyah atau fatalisme.

Paham Jabariyah ini lahir bersamaan dengan dikembangkannya paham Qadariyah oleh pengikut-pengikutnya setelah kedua tokoh paham free will ini wafat. Di dalam buku Sarh al-‘Uyūn dikatakan bahwa paham Jabariyah ini berakar dari orang-orang Yahudi di Syām, lalu mereka mengajarkannya kepada sebagian orang muslim saat itu, setelah mempelajarinya kemudian mereka menyebarkannya. Tetapi perkataan ini tidak berarti bahwa paham ini semata-mata berakar dari Yahudi saja, karena orang Persia juga telah mengenal pemikiran tersebut sebelumnya.

Golongan muslim yang pertama kali memperkenalkan paham Jabariyah ini adalah al-Ja’d bin Dirham, tetapi waktu itu belum begitu berkembang. Kemudian Jahm bin Shafwān dari Khurāsān mempelajari paham ini dari al-Ja’d bin Dirham yang kemudian menyebar luaskannya. Jahm yang terdapat dalam aliran Jabariyah ini sama dengan Jahm yang mendirikan aliran al-Jahmiyyah dalam kalangan Murji’ah. Sehingga paham Jabariyah juga identik dengan sebutan Jahmiyyah karena berkembang setelah disebarluaskan oleh Jahm bin Shafwān. Sebagai sekretaris Syurayh ibn al-Hārits, ia turut dalam gerakan melawan kekuasaan Bani Umayyah. Dalam perlawanan tersebut Jahm ditangkap dan dihukum mati tahun 131 H.

Perbedaan pandangan dan persepsi kedua paham ini juga dipergunakan oleh budaya politik sesuatu tempat dan keadaan. Golongan Murji’ah menganggap bahwa penderitaan rakyat di satu pihak dan kekejaman penguasa di pihak lain itu adalah sudah takdirnya demikian, seperti dinyatakan oleh Yāzid bin Mu’āwiyah waktu dia menerima kepala Sayidinā Husain bin ‘Abi Thālib dibawa kepadanya dia berkata dan langsung menyitir ayat alquran QS. Ali ‘Imrān(3) ayat 26.
  
Katakanlah: "Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Dengan mengemukakan ayat ini, Yāzid bermaksud mengatakan bahwa apa yang diderita oleh Husain bin ‘Ali yang dibunuh dengan kejam oleh serdadu Yāzid bin Mu’āwiyah dari dinasti Umayyah itu, adalah sudah kehendak Tuhan, bukan kehendak Yāzid dan serdadunya. Agar umat yang mendukung Husain tidak marah atau dendam, karena itu “takdir” Tuhan semata-mata. Inilah ajaran Murji’ah yang sangat laku, di negeri yang dikuasai diktator despoot dan tirani. Hal ini ditentang oleh golongan Qadariyah, karena mereka menganggap bahwa tirani kekejaman dan penindasan oleh manusia atas manusia itu harus dilawan karena bertentangan dengan hukum Tuhan. Dan penguasa yang tiran harus ditumbangkan, karena Allah tidak akan mengubah suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.

C. Argumen-argumen Paham Jabariyah

Di antara ayat-ayat yang bisa membawa pada paham Jabariyah, misalnya:

“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”

“Maka Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya.”“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” “Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah.”“Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.”

Selain berbagai argumen teks, mereka juga menggunakan argumen-argumen rasio. Di antara dalil-dalil ‘aqli yang digunakan paham jabariyah juga menggunakan argumen-argumen rasional untuk mempertahankan pendapat yang dianutnya, di antara dalil-dalil ‘aqli yang mereka gunakan ialah:

Sekiranya manusia menciptakan perbuatan-perbuatannya sendiri dengan kemampuan yang dimilikinya berdasarkan kemauannya sendiri, tentulah perbuatan-perbuatan itu bukan dengan kehendak Allah dan kekuasaann-Nya. Karena mustahil berpautan dua kehendak dengan satu perbuatan dan menjadikan kekuasaan Allah terbatas. Dan Allah mempunyai sekutu dalam perbuatan-Nya. Hal ini tidak sesuai dengan kebesaran Allah SWT. Padahal kesempurnaan-Nya adalah mutlak.

Jika dianggap manusia adalah pelaku yang mempunyai daya pilih apa yang disukai, tentulah ilmunya meliputi segala perincian apa yang dibuatnya, sedang Allah berfirman QS al-Mulk (67): 14
  
Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan atau rahasiakan); dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui?

Maka kalau manusia menciptakan segala perbuatannya dengan ikhtiarnya, tentulah dia mengetahui perincian dari perbuatan-perbuatannya itu; dia mengetahui apabila dia melangkah apa yang akan terjadi dari langkahnya itu?, dan dia mengetahui mengapa kakinya bergerak? Dan seterusnya. Akan tetapi manusia tidak mengetahui perincian itu. Kalau demikian, tidaklah manusia dikatakan mukhtār dalam perbuatannya.

Segala perbuatan hanya dinisbatkan atau disandarkan kepada yang melaksanakannya bukan kepada yang menciptakannya. Sesungguhnya Allah menciptakan warna dan Allah sendiri tidak bersifat dengan warna-warna itu. Yang bersifat dengan warna ialah tempat warnanya itu. Masalah taklif, pahala dan siksa tidaklah tunduk kepada aturan-aturan yang dengan aturan itu kita analogikan kepada perbuatan-perbuatan kita. Aturan-aturan itu berada di atas pengertian kita dan Allah tidak ditanyakan tentang perbuatan-Nya.

Berbagai argumen yang dapat diterima akal sehat saling bertentangan. Berbagai ayat yang pada lahirnya saling bertentangan. Adalah tidak mengherankan kalau umat Islam mempertanyakan bagaimana sebenarnya perbuatan manusia itu, meskipun para pioner masing-masing paham Jabariyah yang pertama telah wafat. Di satu segi, manusia tampaknya memiliki hak memilih dan dituntut pertanggung jawaban atas setiap perbuatannya, baik atau jelek. Sementara itu harus diyakini bahwa Tuhan Maha Kuasa karena pencipta segala makhluk.

Dalam sejarah teologi Islam, paham Jabariyah, meskipun tidak identik dengan paham yang dibawa oleh Jahm bin Shafwān atau dengan pahan yang dibawa al-Najjār dan Dirār, terdapat dalam aliran al-Asy’ariyah.


KESIMPULAN

Munculnya paham Jabariyah tetap mempunyai kaitan dengan aliran-aliran Kalam sebelumnya yakni Khawārij dan Murji’ah, sementara itu muncul dalam sejarah teologi Islam seorang bernama Washil bin ‘Atha’ yang lahir di Madinah di tahun 700 M dan mendirikan aliran teologi baru yang berbeda dengan kedua aliran teologi sebelumnya yang dikenal dengan nama Mu’tazilah. Pada masa inilah umat Islam telah banyak mempunyai kontak dengan keyakinan-keyakinan dan pemikiran-pemikiran dari agama-agama lain dan dengan filsafat Yunani. Sebagai akibat dari kontak ini masuklah ke dalam Islam paham Qadariyah (free will dan free act) dan paham Jabariyah atau fatalisme.

Paham Jabariyah ini lahir bersamaan dengan dikembangkannya paham Qadariyah oleh pengikut-pengikutnya setelah kedua tokoh paham free will ini wafat. Yang pertama kali diperkenalkan oleh al-Ja’d bin Dirham, tetapi waktu itu belum begitu berkembang. Kemudian Jahm bin Shafwān dari Khurāsān mempelajari paham ini dari al-Ja’d bin Dirham yang kemudian menyebar luaskannya. Jahm yang terdapat dalam aliran Jabariyah ini sama dengan Jahm yang mendirikan aliran al-Jahmiyyah dalam kalangan Murji’ah. Sehingga paham Jabariyah juga identik dengan sebutan Jahmiyyah karena berkembang setelah disebarluaskan oleh Jahm bin Shafwān. Sebagai sekretaris Syurayh ibn al-Hārits, ia turut dalam gerakan melawan kekuasaan Bani Umayyah. Dalam perlawanan tersebut Jahm ditangkap dan dihukum mati tahun 131 H.

DAFTAR PUSTAKA

Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab, Dar fikr, juz 2. al-Fairuz Abadiy, al-Qamus al-Muhith, Dikutip dari CD maktabah al-Ma’arif al-Islamiyah edisi ke-II.


Departemen Pendidikan Nasional, Ensiklopedi Islam, Jakarta PT. Ichtiar Baru Van Hoeve 2003.


Muhammad Ali Abu Rayyan, Tarikhu al-Fikri al-Falsafi fi al-Islam, Darul Ma`’rifah al-Jami`’iyyah 1996.


Muhammad Abu Zahrah, Tarikhu al-Mazahibi al-Islamiyyah, Darul fikr Arabiy.


Harun Nasution, Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran, Mizan Bandung:1996.


Jalaluddin Rahman, Konsep Perbuatan Manusia Menurut Al-Qur`an, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 1998.


Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Syifa`ul Alil fi Masa`ail Qadha wal al-Qadar wa al-Hikmah wa at-Ta`lil diterjemahkan Abd Gaffar, Qadha dan Qadar Ulasan Tuntas Masalah Takdir, Pustaka Azzam 2004.


Ibnu Taimiyah, Majmu` Fatawa, Darul Fikr Beirut jilid VIII.


Mahmud Abd al-Raziq, Mafhum al-Qadr wa al-Hurriyah inda Awa’il al-Shufiyah, Dikutip dari CD al-Maktabah al-Syamilah Edisi kedua.


Imam Asy-Syihristani, al-Milal wa an-Nihal, diterjemahkan Aswadie Syukur LC, Bina Ilmu.


Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta Universitas Indonesia, 1986


KIKI ERWINDA 

SARPIATI





























Sunday, 11 May 2014

Asal Usul Kerajaan Gowa Tallo & Domain Tri Aliansi Kerajaan Bugis

Gowa berasal dari kata guwari yang artinya bilik atau ruangan untuk didiami. Ketika manusia pertama yang menginjakkan kakinya di daerah ini, mereka memilih daerah pesisir yang berbukit dan menempati guwari sebagai tempat tinggal. Dalam perkembangan lebih lanjut, guwari semakin bertambah jumlahnya sesuai dengan perkembangan manusia, sedangkan tempat tinggal mereka kemudian dinamakan Gowa. Setelah periode Tumanurung sebagai raja pertama, kerajaannya dinamakan Butta Gowa atau Kerajaan Gowa
Menjelang terbentuknya kerajaan Gowa, komunitas Makassar terdiri atas sembilan kerajaan kecil yang disebut Kasuwiyang Salapang(sembilan negeri yang memerintah), yaitu: Tombolo Lakiung, Saumata, Parang-parang, Data’, Agang Je’ne, Bisei, Kalling dan Sero.


Di antara kerajaan-kerajaan kecil tersebut sering terjadi perselisihan yang terkadang menjadi perang terbuka. Perang dapat diperkecil dengan mengangkat dari kalangan mereka seorang pejabat yang disebut Paccallaya. Ia berfungsi sebagai ketua dewan di antara kesembilan negeri yang menjadi anggotannya. Di samping itu, ia merupakan arbitrator dalam mendamaikan perselisihan yang mungkin timbul di antara Gallarang (penguasa) kerajaan-kerajaan kecil itu.3 Berapa lama pemerintahan gabungan yang dipimpin oleh Paccallaya ini berjalan tidak ada lontarak yang membicarakannya. Satu hal yang tidak mampu diatasi oleh Paccallaya ialah jika timbul perselisihan di antara Gallarang sebagai raja-raja kecil. Kelemahan ini terjadi, karena dia sendiri tidak mempunyai kewenangan dan kekuatan memaksa. Demikianlah, pada suatu ketika Paccallaya sepakat dengan kesembilan raja-raja untuk mengangkat seorang putri yang turun dari khayangan sebagai raja di sebuah tempat bernama Takak Bassia. Putri itu datang dengan luar biasa tanpa diketahui nama dan asal daerahnya, sehingga disebut saja Tumanurung. dia diturunkan dari langit sebagai anugrah dari dewa tertinggi guna mempersatukan dan mencari kemakmuran bersama sehingga dapat terhindar dari permusuhan.

1. Masa Sebelum Tumanurung

Sebelum zaman Tumanurung, ada empat raja yang pernah mengendalikan Pemerintahan Gowa yakni : Batara Guru, saudara Batara Guru yang dibunuh oleh Tatali (tak diketahui nama aslinya), Ratu Sapu atau Marancai dan Karaeng Katangka (Nama aslinya tak diketahui). Keempat raja tersebut tak diketahui asal-usulnya serta masa pemerintahannya. Tapi mungkin pada masa itu, Gowa purba terdiri dari 9 kasuwiang ( kasuwiyang salapang) mungkin pula lebih yang dikepalai seorang penguasa sebagai raja kecil. Setelah pemerintahan Karaeng katangka, maka sembilan kerajaan kecil bergabung dalam bentuk pemerintahan federasi yang diketuai oleh Paccalaya.

2. Masa Tumanurung

dapat diketahui bahwa munculnya nama Gowa dimulai pada tahun 1320, yakni pada masa pemerintahan Raja Gowa pertama bernama Tumanurunga. sebelum Tumanurunga hadir di Butta Gowa, ada sembilan negeri kecil yang kini lebih dikenal dengan istilah Kasuwiang Salapanga yakni : Kasuwiang Tombolo, Lakiung, Samata, Parang-parang, Data, Agang Je’ne, Bisei, Kalling dan Sero. Kesembilan negeri tersebut mengikatkan diri dalam bentuk persekutuan atau pemerintahan federasi dibawa pengawasan Paccallaya (Ketua Dewan Pemisah). Walaupun mereka bersatu, tetapi ke sembilan negeri tersebut sering dilanda perang saudara antara Gowa di bagian utara dan Gowa di bagian selatan. Paccallaya sebagai ketua federasi tak sanggup mengatasi peperangan tersebut. Hal tersebut karena Paccallaya hanya berfungsi sebagai lambang yang tidak memiliki pengaruh kuat terhadap anggota persekutuan yang masing-masing punya hak otonom. Untuk mengatasi perang saudara tersebut, diperlukan seorang pemimpin yang kharismatik dan dapat diterima oleh kesembilan kelompok tersebut.

Ada seorang putri yang turun di atas bukit Tamalate tepatnya di Taka’bassia, orang-orang yang berada di Bonto Biraeng melihat seberkas cahaya dari utara bergerak perlahan-lahan turun menuju Taka’bassia. Gallarang Mangasa dan bolo yang di tugaskan mencari tokoh yang bisa menjadi pemersatu kaum yang berseteru itu. Paccalaya bersama ke sembilan kasuwiang bergegas ke Taka’bassia. Di sana mereka duduk mengelilingi cahaya sambil bertafakur. Cahaya itu kemudian menjelma menjadi seorang putri yang cantik jelita disertai pakaian kebesarannya antara lain berupa mahkota. Paccalaya maupun Kasuwiang tidak mengetahui nama putri tersebut, sehingga mereka sepakat memberi nama Tumanurung Bainea atau Tumanurung, artinya orang (wanita) yang tidak diketahui asal usulnya. Karena putri ratu tersebut memiliki keajaiban, Paccalaya dan Kasuwiang Salapang sepakat untuk mengangkat Tumanurung sebagai rajanya.

Paccalaya kemudian mendekati Tumanurunga seraya bersembah “Sombangku!” (Tuanku), Permohonan Paccalaya kepada tumanurung sebagai raja , warga yang ada di sekitar itu berseru “Sombangku”. Tumanurunga resmi menjadi Raja Gowa pertama pada tahun 1320 negeri Gowa kembali menjadi aman. Masa pemerintahan Tumanurunga berlangsung sejak tahun 1320-1345. Diriwayatkan, Tumanurunga kemudian kawin dengan Karaeng Bayo, yaitu seorang pendatang yang tidak diketahui asal usulnya. Hanya dikatakan berasal dari arah selatan bersama temannya Lakipadada. Dari hasil perkawinan tersebut lahirlah Tumassalangga Baraya yang nantinya menggantikan ibunya menjadi raja Gowa kedua (1345-1370).

Menjelang abad XVI, pada masa pemerintahan Raja Gowa VI, Tunatangka Lopi, membagi wilayahnya menjadi dua bagian terhadap dua orang putranya, yaitu Batara Gowa dan Karaeng Loe Ri Sero. Batara Gowa melanjutkan kekuasaan ayahnya yang meninggal dunia. Wilayahnya meliputi


(1) Paccelekang,


(2) Patalassang,


(3) Bontomanai Ilau,


(4) Bontomanai Iraya,


(5) Tombolo, dan


(6) Mangasa.


Adiknya, Karaeng Loe ri Sero, mendirikan kerajaan baru yang bernama kerajaan Tallo dengan wilayah sebagai berikut:


(1) Saumata,


(2) Pannampu,


(3) Moncong Loe, dan


(4) Parang Loe.

Beberapa kurun waktu, kedua kerajaan itu terlibat pertikaian dan baru berakhir pada masa pemerintahan Raja Gowa IX Karaeng Tumapakrisik Kallonna. Setelah melalui perang, beliau berhasil menaklukkan pemerintahan raja Tallo III I Mangayaoang Berang Karaeng Tunipasuru. Sejak itu, terbentuklah koalisi antara Kerajaan Gowa dan Tallo, dengan ditetapkannya bahwa Raja Tallo menjadi Karaeng Tumabbicara butta atau Mangkubumi (Perdana menteri) Kerajaan Gowa. Begitu eratnya hubungan kedua kerajaan ini sebagai kerajaan kembar, sehingga lahir pameo di kalangan rakyat Gowa dan Tallo dalam peribahasa “Dua Raja tapi hanya satu rakyat (Ruwa Karaeng Se’re Ata). Kesepakatan ini diperkuat oleh sebuah perjanjian yang dibuat dua kerajaan ini ,”iami anjo nasitalli’mo karaenga ri Gowa siagang karaenga ri Tallo, gallaranga iangaseng ribaruga nikelua. Ia iannamo tau ampasiewai Goa-Tallo, iamo macalla rewata”.


Hubungan Dengan Kerajaan Lain

Selain hubungan dalam negeri kerajaan gowa-tallo atau dikenal dengan kerajaan Makassar juga membangun hubungan dengan kerajaan-kerajaan lain, baik hubungan militer, perdagangan, agama maupun hubungan ikatan pernikahan, adapun kerajaan tersebagai berikut :

1. Kerajaan Demak

Dalam hubungan kerajaan Demak dan Kerajaan Gowa sebelumnya mengalami proses perang sehubungan dengan penyebaran wilayah kerajaan Demak diwilayah timur Indonesia. Sebuah sumber menyebutkan bahwa dalam perang melawan ekspansi Demak, kerajaan Gowa meminta bantuan beberapa kerajaan di Sulawesi Selatan yang salah satunya adalah kerajaan Bulo-Bulo di kabupaten Sinjai. Disebutkan, keterlibatan kerajaan Bulo-Bulo saat itu mampu menaklukkan Demak dalam tempo satu hari saja, maka kerajaan Gowa pun memberikan hadiah kepada rajanya yaitu Tahan Garessie, wilayahnya mulai dari pantai Jeneponto sampai Bulukumba (wilayah pembuatan kapal). Diplomasi perdamaian terjadi dengan baik karena kedua kerajaan merupakan kerajaan Islam.

Kerjasama ini memperlancar misi kerajaan Demak diperairan selat Makassar serta melengkapi armada lautnya untuk membendung agresi Portugis yang saat itu mulai memasuki wilayah timur Indonesia.

Ditemukannya sebuah makam pangeran Demak di pemakaman Islam kabupaten Sinjai mungkin bisa dihubungkan dengan kondisi pada saat itu. Sebuah sumber juga menyebutkan bahwa perahu Pangeran Demak terdampar di wilayah Kerajaan Bulo-Bulo kemudian menetap di Lamatti. Pangeran Demak itu pun lalu menyiarkan Agama Islam di wilayah tersebut. Nama pangeran Demak yang dimakamkan di kabupaten Sinjai sampai saat ini masih ditelusuri.

2. Kerajaan Bima

Selain Hubungan Politik yang sangat erat, hubungan antara kerajaan gowa dengan kerajaan bima dipererat lagi dengan hubungan pertalian darah atau penikahan, yang lakukan antara keluarga kerajaan.

Hubungan kekeluargaan antara dua kesultanan besar dikawasan Timur Indonesia yaitu Kesultanan Gowa dan Kesultanan Bima terjalin sampai pada turunan yang ke- VII. Hubungan ini merupakan perkawinan silang antara Putra Mahkota Kesultanan Bima dan Putri Mahkota Kesultanan Gowa terjalin sampai turunan ke- VI. Sedangkan yang ke- VII adalah pernikahan Putri Mahkota Kesultanan Bima dan Putra Mahkota Kesultanan Gowa. Berikut urutan pernikahan dari silsilah kedua kerajaan ini :

  1. 1. Sultan Abdul Kahir (Sultan Bima I) menikah dengan Daeng Sikontu, Putri Karaeng Kasuarang, yang merupakan adik iparnya Sultan Alauddin pada tahun 1625. dari pernikahan ini melahirkan Sultan Abil Khair (Sultan Bima ke-II)
  2. Sultan Abil Khair (Sultan Bima ke- II) menikah dengan Karaeng Bonto Je’ne. Adalah adik kandung Sultan Hasanuddin, Gowa pada tanggal 13 April 1646. dari pernikahan ini melahirkan Sultan Nuruddin (Sultan Bima ke-III) pada tahun 1651.
  3. Sultan Nuruddin (Sultan Bima ke-III) menikah dengan Daeng Ta Memang anaknya Raja Tallo pada tanggal 7 mei 1684. dari pernikahan tersebut melahirkan Sultan Jamaluddin (Sultan Bima ke-IV)
  4. Sultan Jamaluddin (Sultan Bima ke IV) menikah dengan Fatimah Karaeng Tanatana yang merupakan putri Karaeng Bessei pada tanggal 8 Agustus 1693. dari pernikan tersebut melahirkan Sultan Hasanuddin (sultan Bima ke- V).
  5. Sultan Hasanuddin (Sultan Bima ke- V) menikah dengan Karaeng Bissa Mpole anaknya Karaeng Parang Bone dengan Karaeng Bonto Mate’ne, pada tanggal 12 september 1704. dari pernikahan ini melahirkan Sultan Alaudin Muhammad Syah pada tahun 1707 (Sultan Bima ke- VI)
  6. Sultan Alaudin Muhammad Syah (Sultan Bima ke- VI) menikah dengan Karaeng Tana Sanga Mamonca Raji putrinya sultan Gowa yaitu Sultan Sirajuddin pada tahun 1727. pernikahan ini melahirkan Kumala Bumi Pertiga dan Abdul Kadim yang kemudian diangkat menjadi Sultan Bima ke- VII pada tahun 1747. ketika itu beliau baru berumur 13 tahun. Kumala Bumi Pertiga putrinya Sultan Alauddin Muhammad Syah dengan Karaeng Tana Sanga Mamonca Raji ini kemudian menikah dengan Abdul Kudus Putra Sultan Gowa pada tahun 1747. dan dari pernikahan ini melahirkan Amas Madina Batara Gowa ke-II. Sementara Sultan Abdul Kadim yang lahir pada tahun 1729 dari pernikahan dari pernikahannya melahirkan Sultan Abdul Hamid (Sultan Bima ke- VIII). Sultan Abdul Hamid (La Hami) dilahirkan pada tahun 1762 kemudian diangkat menjadi sultan Bima tahun 1773.
3. Kerajaan Bone


Hubungan kerajaan bone dengan gowa mengalami begitu banyk pasang surut, kadang kadua kerajaan ini bersahabat, kadang pula berperang, padahal kedua kerajaan mempunyai hubungan darah yang sangat dekat, puncak dari perseteruan kedua kerajaan adalah terjadi pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin, terjadi perang besar antara kerajaan bone yang dibantu oleh belanda melawan kerajaan gowa yang berakhir kekalahan di pihak kerajaan Gowa dikenal dengan perang Makassar.

Domain Tri Aliansi Kerajaan Bugis

Persekutuan Bone, Soppeng, dan Wajo. Persekutuan yang melahirkan sebuah perjanjian dengan jelas membagi status pihak yang terlibat di dalamnya. Persekutuan boleh jadi disebabkan oleh adanya “asseajingeng” (bahasa : Bugis) yang dapat diterjemahkan “Persaudaraan”. Pada puncak hierarki asseajingeng adalah persekutuan pihak yang benar-benar sederajat, atau sebuah persekutuan dua atau lebih saudara yang sama besar (sederajat). Yang lebih lazim adalah persekutuan antara saudara yang kedudukanya tidak setara, di mana yang lebih tua disebut kakak, dan lebih lemah disebut adik. Dalam perjanjian yang melibatkan Bone, Wajo dan Soppeng di Timurung pada abad ke-16, Bone dianggap yang tertua, Wajo dianggap yang tengah, dan Soppeng sebagai saudara muda (uluai Bone ana’tenngai Wajo, paccucunngi Soppen) (Noorduyn 1955:190 dalam Andaya 2004:136). Untuk menaikkkan status Soppeng menjadi saudaranya, maka Bone dan Wajo memberikan tanah. Kasus serupa pernah dilakukan oleh Kerajaan Luwu kepada Wajo sepaya layak disebut saudara. Biasanya pada awal persekutuan, pihak yang lemah memperlihatkan keenggangan untuk mengakui hubungan persaudaraan. Sebaliknya mereka meminta untuk memperlakukan sabagai anak oleh ibunya, karena inilah hubungan yang paling pantas dan benar-benar menggambarkan posisi mereka dalam hierarki negara-negara (Noorduyn 1955:190 dalam Andaya 2004:136). Di bawah status padaworoane, atau saudara, adalah ibu dan anak kesayangan. Dalam hubungan seperti ini kerajaan atasan memberi kepada kerajaan bawahannya status lebih baik dibandingkan yang lainnya, karena memperoleh pengakuan akan pengabdian khususnya yang dilakukan untuk kerajaan atasan. Kadang-kadang pakaian yang pantas bagi to deceng (keturunan terhormat) diberikan sebagai tanda kesukaan. Status ibu dan anak merupakan tata aturan hubungan dengan kerajaan bawahan. Tata aturan ini diciptakan lewat kekerasan maupun persetujuan. Dalam kasus yang muncul kemudian, sebuah negara mencari perlindungan dari negara lain dan dengan itu memperoleh status bawahan yang lebih baik ketimbang kerajaan yang ditaklukkan. Namun demikian Kerajaan bawahan yang diberi perlindungan masih berada di bawah kedudukan negara anak kesayangannya. Dasar hierarki hubungan antar kerajaan adalah hubungan antara tuan dan budak. Kerajaan bawahan yang berperang melawan kerajaan atasannya dan berhasil dikalahkan, maka kerajaan bawahan akan kehilangan hak-haknya dan terperosok ke posisi budak, dan harus berada di bawah kekuasaan mutlak tuannya. Sekalipun demikian mereka tetap mempertahankan penguasa, adat dan bicara-nya. Unsur-unsur spiritual dalam perjanjian seringkali menempati posisi yang sama pentingnya dengan politik bagi kerajaan-kerajaan. Sebuah perjanjian disetujui dua pihak, kemudian disalin dan disimpan bersama dengan pusaka kerajaan. Keseluruhan kumpulan perjanjian menjadi sejenis benda pelindung kerajaan karena dia merupakan gudang kata-kata sakral yang disumpahkan dengan hikmat oleh beberapa generasi penguasa. Seorang penguasa biasanya menuju attoriolong (tempat pemujaan) untuk memohon bantuan leluhur dan meminta petunjuk dalam perjanjian tentang cara-cara mengatur dan melestarikan negerinya. Ketika seorang penguasa mengucap-kan sumpah untuk mematuhi atau memperbaharui sebuah perjanjian, bukanlah perkara ringan, karena melibatkan generansi sebelumnya, masanya, dan sesudahnya. Dia tidak boleh menolak sebuah perjanjian kecuali disepakati oleh seluruh pihak, kalau tidak maka hal itu merupakan pengingkaran terhadap leluhur mereka, dia hanya akan mengizinkan perjanjian itu diganti dengan yang lain atau ditunda sampai keadaan membawanya ketempat yang seharusnya. Ketika perjanjian Tellumpoccoe telah disepakati, maka akan menjadi persetujuan permanen yang dapat dimunculkan kembali dan diperbaharui, atau mundur di latar belakang ketika berhadapan dengan kekuatan politik atau spiritual yang lebih besar. Dokumen Perajanjian Tellumpoccoe hanya dibuat sekali. Seluruh perjanjian yang muncul sesudahnya disebut dalam catatan hanya sebagai pembaharuan (riberui) dari perjanjian asli. Secara faktual merupakan sebuah pengakuan dan penegasan dari sebuah kerajaan terhadap status politik dan spiritual baru kerajaan lain. Perjanjian, sumpah, dan seluruh prosedur pembuatannya adalah bagian dari proses berlanjut untuk terus menaksir pertalian politik dan spiritual agar dapat menjamin terwujudnya hierarki kerajaan-kerajaan yang secara akurat mencerminkan situasi kekuasan ketiga kerajaan Tellumpoccoe. B.Prose Terjadinya Persekutuan Tellumpoccoe Hegemoni kekusaan kerajaan Gowa semakin menjadi-jadi dengan melakukan perluasan wilayah dengan mencaplok wilayah kerajaan-kerajan sekitarnya, baik melalui perjanjian maupun melalui perang, termasuk Kerajaan Bone, Soppeng dan Wajo menjadi sasaran untuk dapat dikuasainya. Perluasan wilayah terus dilakukan, Raja Gowa ke-10, I Mario Gau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tunipallangga Ulaweng (1546-1565) bersama Mangkubumi Kerajaan Gowa/Raja Tallo I Mappataka’tana Daeng Padulung terus memperluas wilayah dan pengaruh kerjaan Gowa. Lamuru, Cenrana, Salo’mekko, Bulo-Bulo, Lamatti, Kajang, Bulukumba, Pannyikokang, Wero (Hero), Gattarang, Otteng, Wajo, Sawitto, Alitta ditaklukkan Gowa. Bone dikepung baik dari darat maupun dari laut. Untuk memperkuat posisinya di sebelah selatan, maka kerajaan Gowa menjadikan Salo’mekko, Bulo-Bulo dan Lamatti sebagai negeri palili’ (bawahan otonom). Upaya pengepungan Kerajaan Bone dipandang sudah kuat, maka Raja Gowa ke-10, I Mario Gau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tunipallangga Ulaweng atas kesepakatan Bate Salapanga, memaklumkan perang terhadap Kerajaan Bone. Raja Bone pada masa itu adalah Arumpone La Tenrirawe Bonkannge (1560-1578). Perang ini berlangsung selama + 10 tahun (1558-1565) tampa ada hasil yang menentukan siapa pemenangnya. Pada tahun 1565 Raja Gowa ke-10, I Mario Gau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tunipallangga Ulaweng meninggal. Penggantinya I Tajibarani Daeng Marompa menjadi Raja Gowa ke-11. Duapuluh hari setelah pelantikannya, beliau berangkat ke medang perang di Kerajaan Bone dengan tujuan untuk menaklukkan Kerajaan Bone. Tetapi ajal baginya, beliau tewas dalam perang di Bone (1565). Maka beliau diberi gelar Anumerta “Tu-nibatta”. Gowa menerima kekalahan atas perang itu dan dicapai suatu perjanjian yang disebut Cappae ri Caleppa. Dalam perjanjian itu ditetapkan batas-batas daerah kekuasaan Kerajaan Gowa, antara lain : 1.Gowa mengembalikan ke Bone negeri-negeri yang terletak di daerah lembah sungai Walanae sampai batas Barat dan berbatas pada negeri Ulaweng di sebelah Timur. 2.Daerah sebelah utara sungai Tangka, menjadi daerah kekuasaan Bone, dan sebelah selatan Sungai Tangka tetap di bawah kekuasaan Gowa. 3.Gowa mengembalikan Cenrana kepada Bone (Mattulada 1998 : 97). Cappae ri Caleppa ini dapat membawa perdamaian sementara, terutama juga disebabkan oleh pengangkatan Raja Gowa ke-12, I Manggorai Daeng Mammeta Karaeng Bontolangkasa (+ 1565-1590) adalah sahabat Arumpone La Tenri Rawe Bongkannge. I Manggorai pernah tinggal di Bone dan mendapat perlindungan dari Arumpone, karena membuat kesalahan di Gowa. Cappae ri Caleppa hanya belangsung sekitar 10 tahun, muncullah kembali berbagai tekanan dari Kerajaan Gowa atas Kerajaan Bone. Kerajaan Bone menghadapi banyak perlawanan dan serangan dari Kerajaan Gowa bersama sekutu-sekutunya. Kerajaan Gowa berusaha kembali merebut Cenrana dari Kerajaan Bone. Di sisi lain, Datu Luwu yang bernama Sanggaria mengerah-kan pasukan untuk merebut kembali Cenrana yang tadinya merupakan wilayah tertorial Kerajaan Luwu, tetapi gagal, sehingga Cenrana tetap berada di bawah kekuasaan Kerajaan Bone. Sekalipun Raja Bone ke-7 La Tenrirawe Bongkannge, selalu memenangkan perang, baik terhadap Kerajaan Gowa maupun Kerajaan Luwu. Beliau tetap waspada dan selalu berusaha memperkuat diri, dengan menjalin persahabatan dengan Wajo, Soppeng dan Tellu Limpoe (Tondong, Bulo-Bulo dan Lamatti) yang masih berada dalam pengaruh Kerajaan Gowa. Dengan Wajo dan Soppeng, Kerajaan Bone menjalin persekutuan Tellu-Boccoe yang disebutnya “Mattelumpoccoe” bardasarkan perjanjian Lamumpatue ri Timurung (1578) yang dilaksanakan oleh tiga penguasa Arungpone La Tenrirawe Bongkannge, bersama Arung Matoa Wajo, La Mungkace Toudamang, serta Datu Soppeng La Mappaleppe’ Patolae. Dalam perjanjian Lamumpatue ri Timurung, Soppeng mengemukakan kekurangannya sehingga tidak patut menjadi saudara bungsu. Wajo juga mengemukakan keberatannya, sebab Wajo belum bebas dari pengabdiannya terhadap Kerajaan Gowa, oleh karena pembebasan itu hanya dihadiakan oleh Kerajaan Gowa dan bukan Wajo yang memerdekakan dirinya. Bone menjawab, bahwa Wajo telah merdeka sejak ia mengalahkan Bulo-Bulo, maka Wajo hanya berkeluarga dengan Gowa, dan apabila Gowa masih ingin menjajah Wajo, maka ketiga kerajaan bersaudara akan melawannya. Kerajaan Bone dan Wajo memberikan beberapa daerah, sehingga Soppeng merasa patut seayah dan seibu dengan Bone dan Wajo. C.Tujuan Persekutuan Perjanjian Lamumpatue ri Timurung bukanlah alat penindasan melain-kan untuk mewujudkan hubungan yang pantas dan damai antara kerajaan Bone, Wajo dan Soppeng. Pada perinsipnya perjanjian ini bertujuan adalah untuk menentang tekanan-tekanan kemungkinan akan adanya invasi dari Kerajaan Gowa. Dalam wilayah diplomatik perjanjian ini sama dengan konsep siri’ (malu) dalam kaitannya dengan peribadi. Memiliki siri’ adalah mengetahui diri sediri dan luluhur, atau dengan kata lain mengetahui kedudukan dan tempat di dalam masyarakat. Kemanjuran perjanjian Lamumpatue ri Timurung terletak pada diterimanya secara universal oleh ketiga kerajaan tersebut, hal ini dikarenakan fungsi hukumnya yang dapat menjaga harmoni dalam masyarakat. Dengan menetapkan sebuah hierarki kerajaan-kerajaan yang terlibat dalam perjanjian Lamumpatue ri Timurung, sebuah kerajaan akan meminta perlindungan dan menghindari konflik yang tidak perlu. Dalam salah satu lontara’ Bugis, seorang penguasa menasehati tentaranya “janganlah berlebihan dalam bertempur sehingga perundingan nantinya tidak sulit”(Andaya 2004 : 139). Menaklukan sebuah wilayah atau menguasai sejumlah populasi bukanlah tujuan akhir dari peperangan di antara kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan, melainkan berusaha mencari pengaku-an sebuah kerajaan akan posisi pantasnya di dalam hiraraki antara kerajaan. Maka perjanjian Lamumpatue ri Timurung ini merupakan bentuk sebuah kebersamaan untuk menanggung segala resiko dalam rangka masseddi siri’ (mempersatukan harkat dan martabat diri) sebagai tumaradeka (orang merdeka). Ketika salah satu di antara ketiga kerajaan yang tergabung dalam Tellumpoccoe menyadari bahwa perjanjian Lamumpatue ri Timurung dilanggar, berarti sebuah penolakan terhadap kata-kata sumpah yang diucapkan oleh leluhur yang membuat perjanjian. Status dan harga diri kerajaan dianggap telah diragukan, dan satu-satunya tindakan yang pantas diberikan adalah mempertahankan perjanjian itu. Jika jalan damai tidak tercapai, maka jalan lain adalah bertempur untuk mempertahankan kepercayaan terhadap kedudukan dalam hierarki kerajaan-kerajaan.



Ahmad M. Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa (Abad XVI sampai Abad XVII), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005.

Ahmad M. Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa (Abad XVI sampai Abad XVII), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005. 19.

 Abu Hamid, Syekh Yusuf Makassar:Seorang Ulama, Sufi, dan Pejuang, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994.

Abu Hamid, Syekh Yusuf Makassar:Seorang Ulama, Sufi, dan Pejuang, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994.







HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html