Sumber Gambar http: static.inilah.com |
Karena ia merupakan agama wahyu yang diperuntukkan bagi manusia, maka Nabi diutus untuk berdakwah menyampaikan ajaran Islam ini. Islam akhirnya berkembang begitu pesat, bukan saja ke wilayah Timur, tetapi sampai ke Barat. Untuk wilayah Timur, Islam menyebar sampai ke Suria, Palestina, Persia, Iraq, Mesir dan Tripoli bagian selatan.[2] Kota-kota penting yang berhasil di kuasai Islam di Barat terbentang luas dari Damaskus , Uta, Pulau Rhodus, Sicilia sampai ke Konstantenopel, dari Qairawan, Tunis, Ceuta, Granada, Cordova, Andalusia sampai ke tepi lautan Atlantik dan pegunungan Pyrenia.[3]
Lalu kapan Islam masuk ke Prancis dan bagaimana perkembangannya? Tulisan ini menjawab pertanyaan tersebut dengan menyajikan data masuk dan perkembangan Islam di Prancis.
II. Sejarah Masuknya Islam di Prancis
Sebenarnya Pancis sudah lama mengadakan kontak dengan Islam, tepatnya sejak Islam masuk pad abad ke VII di bagian selatan Prancis. Islam berkuasa lebih kurang 40 tahun. Demikian pula pad abad X, Islam mencoba memperluas daerah kekuasannya, tetapi gagal sebab di abad pertengahan ini, Islam sibuk menghadapi Perang Salib dan akhirnya mereka meninggalkan Prancis.[4] Demikian pula bangsa Prancis pernah menginjakkan kakinya di Mesir di saat Napoleon menaklukkan Meir pada tahun 1789.[5] Penaklukan ini sudah lama diinginkan oleh Raja Louis XIV untuk memudahkan jalur perdagangan melalui Laut Merah dan Laut Tengah menuju ke Timur dan India.[6]
Kehadiran Islam di Prancis ini menjadi signifikan bersamaan dengan colonialisasi Prancis di Afrika Utara yang dimulai pada tahun 1830. Para pedagang yang dikenal dengan istilah Turcos datang dari Aljazair setelah tahun 1850, menyusul kemudian imigran Maroko yang bekerja di Darmaga Marselles, kontruksi bangunan kota Paris dan di sektor pertambangan di Prancis bagian selatan. Selama perang dunia I, para imigran yang berjumlah lebih dari 132.000 orang Afrika Utara berdomisili di Prancis sebagai pekerja sawah dan buruh di pabrik senjata dan lebih dari 15.000 orang diminta untuk terlibat dalam peperangan memanggul senjata.[7]
Meski sejumlah besar orang Islam dikembalikam ke posisi semula setelah perang dunia I, namun di awal bad XX, gelombang pekerja berdatangan lagi ke Prancis, utamanya setelah Aljazair merdeka tahun 1962.[8] Pekerja itu terdiri atas warga Aljazair, Maroko dan Tunisia. Pada tahun 1974, Pemerintah Prancis mengeluarkan deregulasi tentang bolehnya membawa Istri dan keluarga bagi pekerja tersebut.
Seiring dengan perjalanan waktu, jumlah orang-orang Islam bertambah dan semakin plural. Hal ini ditandai dengan hadirnya pendatang Turki, Afrika (Senegal, Mali dan Mauritania), Timur Tengah (Mesir, Syiria, Iraq, Lebanon), Asia Barat dan Tengah (Iran, Afganistan dan Pakistan). Di samping pekerja, masuk pula para pelajar, intelektual dan profesional muslim di Prancis yang menyebabkan Islam secara perlahan namun pasti mengalami perkembangan dan pertambahan hingga Islam menjadi agama kedua di Prancis setelah Kristen.
III. Perkembangan Islam di Prancis
A. Jumlah Komunitas Muslim
Menghitung secara pasti jumlah kaum muslim Prancis memang agak sulit, tetapi memperkirakannya sesuai dengan sensus tahun 1968 boleh jadi dapat membantu kita memprediksi jumlah masyarakat muslim.
Secara umum komunitas muslim di Prancis terdiri atas empat unsur:
Orang asing yang berasal dari negara muslim yang sudah lama menetap di Prancis. Pada sensus 1990, dilaporkan berjumlah 614.207 (Aljazair), 575,652 (Maroko), 206.336 (Tunisia) dan 197.712 (Turki)
Orang Aljazair yang berkebangsaan Prancis. Sejak Aljazair merdeka, sebagian mereka ada yang pindah ke Prancis dan memilih menjadi warga negara Prancis. Menurut data yang ada, mereka berjumlah kurang lebih 500.000 orang.
”Prancis Baru” yaitu muslim yang mendapatkan hak kewarganegaraan akibat kelahiran atau melalui naturalisasi. Mereka ini memiliki akses yang cukup luas untuk berkiprah di masyarakat Prancis.
Komunitas Prancis yang memeluk Islam. Komunitas ini memiliki peran penting dalam memberikan mediasi antara masyarakat muslim dengan pemerintahan Prancis pada umumnya.[9] Mereka inilah yang secara nasional dan natural dianggap sebagai penduduk asli Prancis yang mengetahui seluk-beluk budaya dan peradaban masyarakat Prancis. Oleh karena itu, sangat wajar jika mereka menjadi penghubung utama antara masyarkat musli dari berbagai etnis dengan masyarakat Prancis pada umumnya.
Sekarang ini, secara umum jumlah masyarakat muslim Prancis (Muslim of France Nationality)seimbang dengan muslim Prancis keturunan (WNA) dengan perkiraan kasar lebih dari 7 persen dari jumlah penduduk Prancis. Dengan demikian, dewasa ini Prancis tampaknya menjadi negara Eropa yang memiliki persentasi dan jumlah terbesar populasi masyarakat muslim.
Wilayah-wilayah yang dihuni muslim tidaklah homogen di seluruh daerah-daerah utama Prancis. Mereka menyebar ke berbagai pelosok dan membaur dengan masyarakat Prancis. Pada umumnya, mereka sebagai pedagang kasar yang tinggal di daerah pusat industri Paris dan di daerah selatan, lembah Rhone serta bagian timur dan barat.
Meski ada juga yang terdidik, tetapi secara umum, para pekerja ini tidak memiliki keterampilan yang memadai atau hany dikategorikan semi terampil yang mendapat upah rendah. Warga muslim Prancis termasuk polulasi yang masih muda, termasuk usia di bawah 30 tahun adalah populasi terbanyak.
Menurut sensus tahun 1990, jumlah laki-laki muslim 60 % dibanding muslim perempuan yang mencapai 40 %. Akan tetapi, menurut J. L. Esposito, angka ini kemungkinan besar akan berubah mengingat banyaknya imigran-imigran Turki yang masuk ke Prancis.[10]
Di samping itu, perkembangan Islam secara kuantitas ini akan terus meningkat, mengingat Islam akan terus dianut oleh mereka yang terlahir dari keturunan muslim yang secara konsisten memegang teguh ajaran agamanya. Ajaran Islam yang begitu dikenal di permkaan antara lain sholat, perayaan Idul Fitri, puasa, khitan dan penguburan jenazah.
B. Akitivitas Sosial
Pada awalnya, Islam di Prancis begitu identik dengan tempat kerja seperti pabrik dan asrama serta tampak menjadi komumitas tidak menetap (berpindah-pindah) sesuai dengan situasi dan kondisi. Akan tetapi, sejak tahun 1974, ketika kebijaka reunifikasi famili dikeluarkan pemerintah, mereka tampak stabil dan eksitensi mereka begitu signifikan di berbagai sektor real seperti poyek perumahan, sekolah dan penataan kota. Terlebih kagi sebagi pekerja imigran, keberadaan suami/istri dan anak-anak membuang ide mereka jauh-jauh untuk kembali ke tanah kelahiran.
Hanya saja, irama dan ritme kehidupan sehari-hari tampak semakin kompetitif dan terkadang diisi dengan konflik di dalam masyarakat yang kurang begitu ramah menyambut kedatangan mereka. Norma dan nilai kehidupan begitu musykil (sulit dimengerti) di dalam populasi yang begitu plural semacam ini. Identitas muslim sebagai sebuah arana identitas budaya merupakan salah satu di antara tumbuhnya sintemen tersebut.[11]
Kondisi semacam ini berakhir pada tahun 1970-an dengan dibukanya sarana ibadah di berbagai tempat seperti pabrik di Renaul Bilancourt, ditambah pula dengan adanya mogok kerja pekerja yang dilakukan pada tahun 1982-1983, Islam kembali menjadi faktor utama yang diperhitungkan sebab mayoritas pekerja tersebut adalah muslim.
Selama proses mediasi tersebut, masyarakat Prancis menjadi pahlam dan sadar akan eksistensi komunitas muslim. Pada saat yang bersamaan,kaum muslimin juga berperan aktif dalam berbagai kegiatan di berbagai sektor termasuk perdagangan. Komoditi berlabel halal tidak sulit ditemukan di toko-toko, sementara sarana ibadah (mushalla) semakin bertambah. Penelitian resmi menyebutkan, terdapat 1.035 sarana ibadah menjelang tahun 1989, sementara di tahun 1983 hanya mencapai 255 buah. Ini berarti ada penambahan sebanyak 780 buah sarana ibadah dalam rentang waktu enam tahun. Di samping itu, bukan pemandangan asing lagi jika di jalan-jalan raya, tampak perempuan sudah mengenakan jilbab.
C. Perkembangan Pemikiran Keislaman
Bahasa Arab sebagai bahasa al-Quran juga berkembang seirama dengan perkembangan Islam. Lembaga yang bernama Guillaume Postel di College de France, didirikan tahun 1539 merupakan sebuah lembaga yang begitu concern dengan pembelajaran bahasa Arab, budaya dan sastra Timur.[12] Professor pertama yang dinominasikan mengajar bahasa Arab di Universitas ini adalah Sylvestre De Sacy. Pakar lainnya adalah William Marcais.
Levi Provencal (1894-1956) adalah seorang yang mempelajari bahasa, sejarah dan sastra Arab di Prancis. Ia memulai karirnya di lembaga Des Heutes d’Eutudes dan menghabiskan waktunya di Universitas Aljazair. Ia kembali ke Prancis setelah perang dunia II dan mendirikan Institut d’Etudes Islamiques yang masih tetap eksis di Sorbonne. Lembaga lainnya di Sorbonne ini adalah lembaga Filologi dan sastra Arab yang didirikan oleh R. Blachere.[13] Lembaga ketiga yang memfokuskan pada kajian yang sama adalah di Bordeaux, dipimpin oleh Henri Laoust dan lembaga terakhir ada di Strasbourg (1967) dipimpin oleh Professor T. Fahd Claude Cahen.
Perlunya bahasa Arab diajarkan di Prancis sebagai bahasa asing ini mengingat banyaknya migran asing terutama dari Afrika Utara, Tunisia, Marokko dan Aljazair datang ke Prancis. Sekarang bahasa Arab di Prancis setara dan diajarkan bersamaan dengan bahasa Inggris, Jerman dan bahasa duna lainnya di jenjang pendidikan formal.
Di samping lembaga-lembaga pendidikan di atas, terdapat pula di Prancis sejumlah universitas yang mengkaji ilmu-ilmu keislaman (Islamic Studies). Universitas tersebut adalah Nancy University, Clermont-Ferrand, Toulose, Rannes dan Lille, bahkan menteri Pendidikan Prancis Alain Savary resmi pada tahun 1983 memutuskan bahwa kajian-kajian bahasa Arab dianggap prioritas nasional di Prancis. Hanya saja kendala utama yang dihadapi masyarakat Prancis adalah minimnya sumber daya manusia yang sanggup mengajarkan studi-studi keislaman.
Perkembangan lain di bidang akademika adalah terbitnya artikel ”Perspektiva” oleh Robert Brunsving berbentuk jurnal Studia Islamica yang menguraikan beberapa pendekatan baru bagi para Islamolog. Ia juga menerbitkan karya ”Etudes d’Islamologie” berisi tentang studi keislaman yang berkaitan dengan isu-isu sosial dan kultural.
Prancis juga melahirkan pemikir-pemikir muslim ternama seperti Muhammad Arkoun.[14]
ia tidak saja terkenal, tetapi pemikiran keislamannya begitu mengglobal dan memberikan pengaruh yan cukup signifikan dalam kajian-kajian studi keislaman dunia terutama di bidang Islamologi, filsafat, bahasa, ilmu sosial, filologi dan lain-lain. Dialah guru besar dan mantan direktur Insitute of Arab and Islam di Universitas Sorbonne serta editor jurnal Arabica.
Cendikiawan lainnya adalah Dr. Bruno Guiderdoni, ahli astrofisika dari Universitas Paris. Ia pernah menjadi salah satu bintang dalam Konferensi Riset Sains dan Spiritual II (Science and Spiritual Quest/ SSQ). Bruno satu-satunya ilmuan muslim yang berbicara dalam perhelatan ilmuwan dunia di Gereja Memorial Universitas Harvard, Amerika Serikat. Ia secara fasih berbicara tentang teori kosmologi mutakhir, misalnya pengembangan kaotik (chaotic inflation) yang dihubungkan dengan konsep Islam. Bruno menggondol gelar doktor bidang itu pada tahun 1986 di Universitas Paris. Setelah menjadi guru fisika di SMU Prancis di Maroko selama dua tahun, Bruno memeluk agama Islam pada tahun 1987 dan mengubah namanya menjadi Abd. Al-Haqq.
Sejak tahun 1988, Bruno bekerja di The Paris Institute of Astrophysics, yang diduking oleh The French National Center for Scientific Research. Bidang riset utamanya adalah kosmologi observasi dan lebih khusus pembantukan galaksi dan evolusi. Dalam bidang ini Bruno menerbitkan 80 buah makalah dan mengorganisir berbagai konferensi internasional. Bruno kini menjadi anggota Dewan Penasehat Yayasan John Templetion (AS) dan Dewan Penasehat Sains pada program SSQ II tersebut.
D. Program Organisasi Keagaman
Lahirnya undang-undang 3 oktober 1981 tentang hak berserikat dan berumpul memberi angin segar bagi masyarakat muslim. Negara menjamin kebebasan memeluk dan menjalankan syariat agama masing-masing. Kehidupan beragama dipisahkan dengan administrasi negara, karena Prancis menerapkan konsep sekularisme.[15] Efeknya adalah munculnya organisasi/perkumpulan muslim yang mencapai 1.300 buah pada tahun 1992 di seluruh Prancis, setelah pemberlakuan regulasi tahun 1982 tersebut.
Organisasi masyarakat muslim dibagi menjadi dua yait keagamaan dan budaya. Organisasi keagamaan bercirikan visi dan misi keagamaan dengan jargon ”seiman dan seagama”. Selain itu, kelompok lain juga membentuk organisasi yang menitikberatkan pada sosial-budaya berskala nasional seperti France Plus, Generation Egalite danGeneration Beur.
Menghadapi perkembangan zaman yang begitu cepat, langkah-langkah koordinasi tingkat nasional dilakukan. Mesjid Paris yang sering mengadakan diskusi keislaman di Prancis, menggagas berbagai macam diskusi. Demikian pula organisasi keislaman lainnya dengan berbagai visi dan misinya seperti NFMF (National Federation of Muslim Prance), UIOF (Union of Islamic Organization of Prance), IUF (Islamic Union of France) berusaha memperebutkan pengaruh di dalam komunitas muslim.
Konsekuensinya adalah munculnya persoalan tertenu di tengah komunitas kaum muslimin untuk menentukan;
pegawai yang bertanggungjawab terhadap penyembelihan binatang yang mendapatkan sertifikasi dari pemerintah;
koordinasi penetapan awal dan akhir ramadhan;
bentuk dan ukuran kuburan muslim;
pegawai rohaniawan yang bertugas di rumah sakit, penjara dan barak tentara.
Problematika ini muncul karena organisasi keagamaan tersebut masing-masing memiliki paham/mazhab yang tidak sama dalam praktik keagamaan.
IV. Problematika Islam di Prancis
Meski Islam berkembang pesat di Prancis, bukan berarti Islam tidak memiliki hambatan. Pluralitas masyarakat, faktor sintemen ekonomi, sosial, ras dan juga agama, memicu terjadinya kecemburuan konflik di tengah-tengah masyarakat.
Jauh sebelum Black September, 11, 2001 terjadi, Islam di Prancis sudah mulai banyak mendapat tantangan. Kasus serangan terori tahun 1986, kasus kerudung 1989 yang dilarang dipakai di sekolah umum dan provokasi buku karya Jean Claude Barreu ”De I’Islam en General et de le Laicite en Particuler (1991) contojh dari persoalan tersebut.[16]
Kondisi ini diperparah lagi setelah terjadinya serangan 11 September yang menghancurkan gedung World Trade Center (WTC) di Amerika. Islam tertuduh sebagai ”agama teroris”. Menurut laporan kepolisian Prancis, pada 17 April 2004, mesjid agung di Strasburg dibakar dan dindingnya digambari dengan salib. Polisi mensinyalir kelompok Kristen yang menjadi aktor intelektualnya.
Pada April 2003, Muslim Prancis membentuk sebuah lembaga bernama French Council for the Muslim Relegion atau Dewan Nasional Muslim Prancis yang dipimpin Imam Mesjid Paris, Dalil Boubakuer, asal Aljazair yang bermukim di Paris. Kalangan politisi dan pejabat Prancis sudah lama merasa cemas akan perkembangan Islam yang kian hari kian banyak jumlah pemeluknya. Ditambah keberanian berekspresi seperti memakai jilbab, perkembangan itu menimbulkan kekhawatiran, Prancis akan menjadi ”koloni Islam” atau negara imigran muslim.
Mendagri Prancis sebelum Sarkozy, Charles Pasqua, pernah bersumpah akan menyapu bersih kaum fundamentalus Islam dari negerinya. Menurutnya, Prancis adalah negara sekuler, karenanya, semua muslim Prancis harus menyesuaikan diri dengan keadaan, misalnya berpakaian ala Eropa. Pasqua juga membeberkan kecurigaannya terhadap Islam sebagai ancaman atas kepentingan tradisi dan budaya Prancis.
Selain itu Pasqua juga tidam menghendaki pelajaran agama Islam diajarkan di sekolah. Beberapa buku Islam yang selama ini dipakai dinyatakan terlarang. Dengan dalih melanggar hukum, Pasqua juga melarang dibukanya beberapa madrasah yang mempelajari al-Quran. Kepada warga muslim, ia menyerukan agar waspada akan hal yang berbau Islam seperti jilbab.
V. Penutup
Di tengah isu global, ternyata Islam semakin mampu mengukuhkan dirinya sebagai agama dan kekuatan ideologi yang patut diperhitungkan. Besarnya jumlah umat Islam di Prancis merupakan bukti nyata bahwa Islam merupakan agama universal yang dapat diterima oleh siapapun, tidak dibatasi oleh suku dan ras. Meski demikian, tantangan utama Islam di Prancis juga tidak kalah dahsyatnya, terutama datang dari mereka yang merasa terancam, baik dari aspek politik, ekonomi maupun budaya.
Endnotes:
[1]Lihat Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Bandung: Yayasan Paramadina, 1992), h. 426.
[2]C. E. Bosworth, The Islamic Dynasties, diterjemahkan oleh Ilyas Hasan dengan judul Dinasti Islam (Bandung: Mizan, 1993), h. 23.
[3]Ahmad Salabi,Tarikh al-Islam wa al-Hadarat al-Islamiyah, Jilid II (Cairo: Maktabat al-Nahdat al-Misriyah, t.th.), h. 142.
[4]J. L. Esposito, The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World. Vol. 2 (Newyork: Oxford University, 1995), h. 28.
[5]Sayyed Hosen Nasr, A Young Moslem’s Guide to Modern World, diterjemahkan oleh Hasti Tarikat dengan judul, Menjelajah Dunia Modern (Bandung: Mizan, 1994), h. 126.
[6]Lihat Hasan Ibrahim Hasan, Islamic History and Culture, diterjemahkan oleh Djahdan Humam dengan judul Sejarah dan Kebudayaan Islam (Yogyakarta: Kota Kembang, 1989), h. 351.
[7]Lihat J. L. Esposito, loc. cit.
[8]Prancis menaklukkan dan menguasai Aljazair tahun 1830, Tunisia tahun 1881, Chad tahun 1900, Maroko tahun 1919, Sisilia wilayah Turki tahun 1919 dan syiria beserta Lebanon tahun 1920. Lihat Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), h. 181-3.
[9]J. L. Esposito, op. cit., h. 29
[10]Lihat Ibid.
[11]Ibid.
[12]Muhammad Arkoun, Studi Islam di Prancis, dalam Azim Nanji (ed.) Mapping Islam,diterjemahkan oleh Muamiratun dengan judul Peta Studi Islm, Orientalisme dan Arab Baru Kajian Islam di Barat (Yogyakarta: Pustaka Baru,2003), h. 44.
[13]Ibid., h. 51.
[14]Muhammad Arkoun lahir di Aljazair 1 Februari 1928. Tahun 1950-1954, ia belajar bahasa Arab di Aljazair dan melanjutkan studinya ke Sarbonne University Paris hingga meraih gelar doktor sastra pada tahun 1962 dan mengajar di universitas yang sama. Arkoun juga menjadi direktur majalah studi Islam ”Arabica” dan menduduki jabatan penting seperti Panitia Nasional Prancis dan Anggota Majelis Nasional untuk AIDS. Lihat J. Hendrik (ed.) Muhammad Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern (Jakarta: INIS, 1994), h. 1
[15]Sekularisme Prancis berbeda dengan dengan sekularisme yang berlaku di negara Barat lainnya. Sohieb Benkheikh, Mufti Agung Marseille Prancis menyatakan bahwa sekularisme tidak mesti berarti laknat bagi agama-agama. Dalam hal tertentu, sekularisme justeru menjadi penyelamat bagi agama yang dianut golongan minoritas. Di Prancis contohnya, berkat sekularisme, Islam dan umat Islam justeru mendapat oksigen untuk bernafas lega dan berkembang secara lebih sehat. Karena prinsip sekularisme yang menjunjung tinggi netralitas dalam pengelolaan sosial-politik kenegaraan, agama dan umat dari agama manapun diperkenankan mengekspresikan keberagaman mereka secara wajar. Dengan begitu, identitas keberagamaan justeru mendapatkan tempat yang cukup layak dan mereka tidak merasa terancam. Lihat http://www.lib.com.
[16]J. L. Esposito, op. cit., h. 31
DAFTAR PUSTAKA
E. Bosworth, The Islamic Dynasties, diterjemahkan oleh Ilyas Hasan dengan judul Dinasti Islam (Bandung: Mizan, 1993)
Ahmad Salabi,Tarikh al-Islam wa al-Hadarat al-Islamiyah, Jilid II (Cairo: Maktabat al-Nahdat al-Misriyah, t.th.)
J. L. Esposito, The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World. Vol. 2 (Newyork: Oxford University, 1995)
Sayyed Hosen Nasr, A Young Moslem’s Guide to Modern World, diterjemahkan oleh Hasti Tarikat dengan judul, Menjelajah Dunia Modern (Bandung: Mizan, 1994 )
Hasan Ibrahim Hasan, Islamic History and Culture, diterjemahkan oleh Djahdan Humam dengan judul Sejarah dan Kebudayaan Islam (Yogyakarta: Kota Kembang, 1989)
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994)
Muhammad Arkoun, Studi Islam di Prancis, dalam Azim Nanji (ed.) Mapping Islam, diterjemahkan oleh Muamiratun dengan judul Peta Studi Islm, Orientalisme dan Arab Baru Kajian Islam di Barat(Yogyakarta: Pustaka Baru,2003)
Hendrik (ed.) Muhammad Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern (Jakarta: INIS, 1994)
0 komentar:
Post a Comment