Islam Di Domba Hitamkan

Ditengah kekacauan,Fitnah, teror dan kekerasan,umat Islam tetap tabah berdiri mempertahankan keyakinannya, dengan memperkenalkan agamanya dengan cara-cara damai dan menyejukkan.

Akhirnya Sunni dan Syiah Bersatu

Bukankah mereka mengimani tuhan yang sama, Mencintai Nabi dan Rosul yang sama, memiliki Kitab suci yang sama, Mempunyai Syahadah yang sama ?, Kemudian mereka saling fitnah dan menumpahkan darah.

Pengaruh Peradaban Islam Terhadap dunia Modern

Pada masa lampau, peradaba Islam memberikan sumbangan besar terhadap kemajuan dunia Barat, kini Islam dan Barat saling menghunus pedang, Islam sebagai Tokoh Kegelapan, sedangkan Barat sebagai Tokoh Peradaban.

Jihad Dan Terorisme dalam Prespektif Islam

Siapa mereka yang mengatakan terorisme merupakan bagian dari jihad fi sabilillah ?? sedangkan teror sangat ditentang oleh teks rujukan utama umat Islam.

Lagenda Assasin "Penebar Maut Lembah Alamut"

Asyhasin(assassin) Antara Lagenda dan Mitos, Siapa Sangka Assassin yang terkenal sebagai Game, adalah Kisah Nyata Pasukan Khusus sekte pecahan Syiah Ismailiyah.

Thursday, 24 March 2016

Fungsionalisme Adat dan Budaya Orang Labala

Saya bagikan tulisan ini karena, saya sebagai Orang Labala dari suku Mayeli, baru tahu kalau ternyata di laba juga mengenal Legislatif hehehehehehe ("Youchenky Mayeli")

Fungsionalisme Norma, Adat, Tradisi dan Institusi Orang Labala*

PROLOG

Sebelum membahas “Fungsionalisme Norma, Adat, Tradisi dan Institusi Orang Labala” ada baiknya perlu diketahui pengertian dan tujuan dari fungsionalisme dalam menjelaskan norma, adat, tradisi dan institusi suatu komunitas masyarakat.

Fungsionalisme adalah sebuah sudut pandang luas dalam sosiologi dan antropologi yang berupaya menafsirkan masyarakat sebagai sebuah struktur dengan bagian-bagian yang saling berhubungan. Fungsionalisme menafsirkan masyarakat secara keseluruhan dalam hal fungsi dari elemen-elemen konstituennya; terutama norma, adat, tradisi daninstitusi.

Teori fungsionalisme adalah suatu bangunan teori yang paling besar pengaruhnya dalam ilmu sosial di abad sekarang. Tokoh-tokoh yang pertama kali mencetuskan fungsional yaitu August Comte, Emile Durkheim dan Herbet Spencer.

Dalam arti paling mendasar, Fungsionalisme menekankan "upaya untuk menghubungkan, sebisa mungkin, dengan setiap fitur, adat, atau praktik, dampaknya terhadap berfungsinya suatu sistem yang stabil dan kohesif." Bagi Talcott Parsons, "fungsionalisme” mendeskripsikan suatu tahap tertentu dalam pengembangan metodologis ilmu sosial, bukan sebuah mazhab pemikiran.

Emile Durkheim mengungkapkan bahwa masyarakat adalah sebuah kesatuan dimana di dalamnya terdapat bagian – bagian yang dibedakan. Bagian-bagian dari sistem tersebut mempunyai fungsi masing – masing yang membuat sistem menjadi seimbang. Bagian tersebut saling interdependensi satu sama lain dan fungsional, sehingga jika ada yang tidak berfungsi maka akan merusak keseimbangan sistem.

Setelah mengetahui pengertian dan tujuan fungsionalisme di atas, maka dapat dijabarkan bagaimana fungsionalisme berlaku dalam tatanan Norma, Adat, Tradisi dan Institusi Orang Labala.

Dalam adat dan tradisi orang Labala, Norma dan institusi sangat dipengaruhi oleh kultur keselarasan antara Tuhan, alam dan kehidupan manusia itu sendiri. Dalam tatanan kehidupan social, orang labala sangat mendasari nilai-nilai budaya luhur alam. Maka tak heran dalam pemberian nama suku, gelar kesukuan, dan jabatan dalam organisasi social dinisbatkan dengan kehidupan alam di darat, laut dan udara dimana ketiga unsure ini mewakili sisi kehidupan manusia yang terdiri dari unsur Ape (api) yang diwakili oleh oleh hal-hal yang ada di darat, unsure lera-wulan (langit dan udarah) yang diwakili oleh hal-hal yang ada di angkasa dan wai (air dan laut).

Dari ketiga unsure di atas, maka unsure Lera Wulan (udara dan langit) merupakan unsure terpenting dalam siklus kehidupan orang labala. Orang labala sering mengaitkan unsure Ama-Lera-wulan dengan konsep keyakinan tentang sang pencipta (Tuhan) sedangkan dua unsure lainnya yaitu Ape dan Wai sebagai Ina-Tanah Ekan (ibu pertiwi) tempat tuhan menyemai benih-benih kehidupan. Maka orang Labala mengenal dua istilah sacral yang sangat dijunjung tinggi yaitu Ama (Bapak) dan Ina (Ibu). Kedua kata ini juga merupakan representasi hakikat dari perikehidupan manusia yaitu kehidupan ukhrawi dan duniawi, dan menangkup makna ruhani dan jasmani, juga menjelaskan mana yang baqa (selamanya/kekal) dan mana yang fana (sebentar/sementara).

Kedua kata ini Ama (Bapak) dan Ina (Ibu) di kemudian hari memiliki pengaruh tidak hanya dalam tatanan adat dan tradisi tapi juga dalam tatanan politik pemerintahan dan agama. Dalam tatanan politik pemerintahan, orang labala mengenal istilah “Peten Ama” dan “Peten Ina” dimana “peten ama” merupakan konsep atau gagasan tentang sebuah system konstitusi yang telah disepakati, dan dijalankan oleh Ama Belen atau pejabat public terhadap aspirasi Ribu-ratu (masyarakat). Sedangkan peten ina merupakan amalan atau realisasi dari konsep yang dijalankan oleh sebuah institusi seperti dewan atau pemerintah.

Dalam konteks agama, orang labala mengenal istilah Ama/ime belen (Imam besar) atau pemimpin di mesjid yang berfungsi sebagai pemimpin ritual keagamaan seperti shalat, berdoa dan ritual lain yang menjadi tugas dan kewenangan laki-laki dan ina wae yang berfungsi sebagai makmum yang bertugas memberi dukungan dan mempersiapkan kelengkapan untuk ibadah.

Sedangkan dalam konteks adat, orang labala mengenal istilah Ama kaka/kaka bapayang bertugas sebagai juru bicara dalam forum adat ketika membicarakan warisan/pusaka, dan weli/belis (mahar/maskawin) dari pihak laki-laki dan perempuan yang hendak menikahkan anak-anaknya dan ama kebele/kebelen (kepaala suku/adat). Orang Labala juga mengenal istila ina belen/ kwae belen yang menjalankan fungsi sebagai pihak yang memberi masukan terkait hak dan kewajiban masing-masing pihak yang harus ditunaikan dalam prosesi adat.

Dengan melihat stuktur ini, sebenarnya di labala sudah jauh hari orang sudah mengenal konsep kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan dalam pelaksanaan tugas yang menjadi tanggungjawabnya. Hanya saja orang Labala lebih memaknainya sebatas sebagai pembagian tugas atau peran yang sudah menjadi fitrah sebagai manusia yang di takdirkan sebagai laki-laki atau perempuan tanpa ada pretense bahwa laki-laki lebih berkuasa dari pada perempuan atau sebaliknya. Meski tak bisa dipungkiri, dalam semua perkara fungsionalisme adat dan budaya di labala, peran laki-laki memang lebih dominan namun tidak sertamerta kemudian dijustifikasi bahwa laki-laki lebih superior, tapi lagi-lagi kembali kepada tugas dan fungsi masing-masing yang sudah menjadi fitrah.

Trias Poliica vs Likak Telo Dalam Tradisi Orang Labala

Layaknya dalam struktur pemerintahan sebuah Negara moderen, dari zaman nenek moyang, orang labala sudah mengenal tiga lembaga/ institusi yang masing-masing memiliki peran tersendiri dalam mengatur tata kehidupan masyarakatnya. Kalau dalam system pemerintahan sebuah Negara modern mengenal istilah trias politica (tiga lembaga politik) yang meliputi lembaga Eksekutif (pemerintah/kepala Negara) sebagai pelaksana konstitusi, Judikatif (hakim/jaksa/polisi) sebagai penjaga/penegak konstitusi, dan Legislatif (dewan/majelis) sebagai pembuat/perancang konstitusi, maka orang labala sejak zaman dahulu kala sudah mengenal sistem yang lebih dahulu canggih ini. Orang labala mengenal system ini dengan istilah Likak Telo (tiga mata tungku).

Ketiga lembaga dalam system tatanan social orang labala yang dikenal dengan Likak Telo (tiga mata tungku) ini terdiri dari Kapitan Pulo Pegawe lema (Raja dan bawahannya) yang diwakli oleh keturunan raja dan kapitan dari klan/suku Mayeli, Paa Kae (Empat Dewan adat) yang diwakili oleh empat kepala agama dari klan/ Labala, Lamarongan, lamasoap, Lamalewar, dan Buto kae (Pemutus Sanksi adat) diwakili oleh dari masing-masing semua klan/suku yang ada di labala.
Dalam konteks agama, orang labala memiliki pembagian tugas dan kewenangan dalam hal yang berkaitan dengan ritual keagamaan. Adapun pembagian kewenangan dalam bidang agama meliputi; sebagai Imam mesjid, pembaca doa dalam ritual kemaatian, pernikahan, khitanan maulid nabi, juga imam hari raya besar menjadi tugas Klan/suku mayeli. Sebagai Khatib pada perayaan hari besar agama islam seperti hari jumat, hari raya idul fitri dan idul adha menjadi tugas dari klan/suku labala dan Lamasoap. Menjadi Bilal di mesjid dan hari raya besar merupakan tugas dari suku Lamalewar. Ketiga fungsi keagamaan ini kemudian diselaraskan dengan nilai-nilai fundamental dalam agama islam yang menjadi keyakinan orang labala yaitu, Iman, Islam, dan Ihsan.


Sementara dalam konteks adat dan tradisi local, orang Labala mengenal tiga fungsiLikak Telo yang masing-masing menjalankan peran dalam tata laksana adat yang diwakili oleh tiga suku besar yang memiliki uma-lango Koko-bale (rumah adat besar) sebagai tempat pelaksanaan upacara dan ritual adat. Fungsi pertama dijalankan oleh komunitas Taran Wanan/Tere Wene (Tanduk Kanan) yang di kepalai oleh kepala klan/suku Labala dan membawahi beberapa klan/suku kecil di bawahnya dengan menjalankan fungsinya sebagai Lewo tanah alap (tuan tanah) yang mengurus duli-pali (tanah pusaka), wai mata (sumber air), ewe nawu (ternak). Fungsi yang kedua dijalankan oleh komunitas taran nekin / Tare heke (tanduk kiri) yang di kepalai oleh klan/suku Mayeli dan membawahi beberapa klan/suku kecil di bawahnya dengan menjalankan fungsi sebagai kapitan pulo pegawe lema (pemerintahan) yang mengurus maslahat ribu-ratu (Masyarakat banyak). Fungsi yang ketiga dijalankan oleh komunitasAta bereket (panglima perang) yang menjalankan fungsi sebagai pengatur siasat perang dan damai dengan musuh rae mare (di darat) dan lau lewa (di laut).

Dari semua tatanan kehidupan orang labala sebagai fungsionalisme social budaya yang meliputi Norma, Adat, Tradisi dan Institusi Orang Labala, masing-masing klan/suku menjalankan fungsinya dengan harmonis. Bila struktur ini berjalan timpang, maka orang labala memiliki keyakinan, akan ada nalan/nale (dosa) yang hanya bisa diampuni bila yang melakukan pelanggaran terlebih dahilu menerima konsekuensi berupa sanksi menjalankan ritual doko nele (pertobatan) dengan melakukan ritual-ritual seperti, tula ree atau pau oma untuk kembali menjalin hubungan silaturahmi mistis dengan kekuatan-kekuatan yang diyakini memiliki daya magis.

Hingga kini, fungsionalisme adat dan budaya oleh orang labala masih dijalankan dengan itikat (niat baik) untuk menjaga keselarasan hidup dalam prinsip likak telo (tiga mata tungku) sehingga hubungan baik dengan Ama lera wulan (udara/langit) sebagai representasi unsure keilahian/ketuhanan, unsure ina tanah ekan (sesame manusia dan alam sekitar) tetap terjaga, terpelihara dan pada gilirannya akan diwariskan kepada generasi penerus.

Meski semakin kuatnya pengaruh ajaran dan keyakinan agama islam terhadap orang labala, namun itu tak membuat mereka serta merta kemudian meninggalkan systemLikak Telo (tiga mata tungku) yang merupakan warisan berhargaa luhur para leluhur. Warisan ini bagi orang labala dianggap memiliki keunggulan tersendiri dalam mengatur tata kehidupan mereka yang tidak dimiliki oleh system apapun dan dari manapun di luar system adat yang dimiliki oleh orang labala sendiri. Dalam konteks fungsionalisme adat dan budaya, orang labala memang memiliki sisi fanatisme tersendiri karena system ini dianggap paling ideal sebagai katalisator (membendung) pengaruh luar yang merusak dan menjaga persatuan dan kebersamaan orang labala dari kemungkinan perpecahan kelompok dan golongan. Selain itu system Likak Telo ini hingga kini masih dianggap paling cocok dengan karakter atau tabiat orang labala yang cenderung susah diatur karena system lain dianggap tidak cukup dan cakap untuk mewakili aspirasi orang labala yang majemuk yang terdiri dari berbagai macam klan/suku.

Sebagai tambahan informasi, di labala ada sekitar 27 ragam klan/suku yang masing-masing dibagi ke dalaam tiga komunitas besar yakni komunitas Taran Wanan,Komunitas Taran Nekin, dan komunitas Ata Bereket.
  • Komunitas Taran Wanan yang memiliki rumah adat senera terdiri dari:
  1. Klan/suku Labala yang meliputi; Labala Resiona, Labala Kreoiona, Labala Enga Duaona, Labala Enga Daiona, Labala Rumaona, Labala Keleppa Woho.
  2. Klan /suku Lamasoak, Lamalerek, Lewokro, Duamudaj, Lebao, Bakiona, Lewohajon, Keloboona, Kahawolor.
  • Komunitas Taran Nekin yang memiliki rumah adat di bale adat terdiri dari:
  1. Klan/ suku Mayeli Atulolon, Mayeli Atulangun, Lamarongan Retapukan, Lamarongan Tobipukan, Lamabelawa, Teroona, Kelepak, Lamabain, Leragere.
  • Komunitas Ata Bereket yang memiliki rumah adat di koko lamalewa terdiri dari:
  1. Klan/suku Lamalewar, Laweona, Lamaleak.
Dari tiga komunitas besar di atas, masing masing klan/suku memiliki rumah adat dan kepala suku sendiri-sendiri dan akan berkumpul di rumah adat masing-masing bila ada musim upacara adat seperti ritual Tuno wata rekke (Bakar jagung makan) ketika musim panen tiba. Dan bila Kebelen (kepala klan/suku) di komunitasnya mengadakan ritual maakan jagung di rumah adat besar di Senera, atau Bale Adat, atau, di Koko Lamalewa,maka masing-masing klan/ suku dalam komunitas itu akan bahu membahu melakukan tradisi gelekat suku lama (mengabdi di suku besar) untuk bersama menjalankan ritual tahunan itu. Dalam prosesi makan jagung kepala Kebelen (klan/suku) dalam komunitas tersebut, masing masing klan/suku dalam komunitas tersebut menjalankan fungsionalisasi adat sesuai dengan tupoksinya masing-masing.

Sebagaimana biasanya, untuk ritual makan jagung di rumah adat ini dimulai dari masing-masing klan/suku kecil yang ada dalam komunitas tersebut, setelah itu baru giliran Kebele dalam komunitas itu mengadakan ritual makan jagung yang dihadiri semua klan/suku yang ada dalam komunitas.

Di Labala, ritual makan jagung yang paling terakhir dilakukan setiap tahun sekaligus menjadi penutup pesta tahunan tersebut adalah Kebele dari komunitas Taran Wanan dari klan/suku Labala sebagai Lewotanah Alap (Tuan Tanah). Karena sebagai upacara adat puncak, maka pelaksanaannya dilakukan lebih rumit dengan tambahan beberapa ritual sebelum acara makan jagung, yaitu ledu liwo (ritual menangkap ikan) di pantai Tanjung Leworaja, dan Gute tapo-muko gere wua (mengambil buah kelapa, pisang dan pinang) mata air di Lewohajon(**)
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
*Tulisan di atas penulis sajikan hanya secara garis besar (umum) dan mungkin saja terjadi kekeliruan di sana-sini. Untuk lebih rinci mengenai fungionalisme tata organisasi social budaya orang Labala, silahkan masing-masing yang berkepentingan melakukan kajian/riset yang lebih mendalam secara langsung.

Oleh Hamba Moehammad

SUMBER

Wednesday, 23 March 2016

Gretep; Burung Garuda Dalam Cerita Sejarah Orang Labala

Gretep adalah nama burung mitos (sejenis burung elang/rajawali/garuda) yg mencengram benang kapas (kedu-lelu) milik putri/saudari perempuan Raja Mayeli (Raja Labala pertama dari LEPAN-BATAN)*. 

Burung gretep inilah yang menjadi penuntun perjalanan Raja Mayeli bersama rakyatnya dalam perjalanan berlayar dari LEPAN-BATAN hingga berlabuh di pantai Tanjung Lewonuba (sekarang Labala-Leworaja-Lembata-NTT).

LEPAN-BATAN dalam kisah sejarah Orang Labalah adalah nama daratan atau benua yang hilang atau tenggelam karena peristiwa bencana dahsyat air bah atau tsunami yang terjadi pada jaman dahulu kala. Bencana dahsyat inilah yang menyebabkan eksodus massal penduduk benua tersebut untuk melakukan perjalanan, berlayar mencari tempat tinggal baru. Cerita air bah dan tenggelamnya benua atau daratan ini memiliki kesamaan dengan cerita banjir air bah pada jaman Nabi Nuh AS.

Tulisan ini hanya fokus pada cerita perjalanan Raja Mayeli dengan burung mitos yang disebut Gretep (elang/rajawali/garuda). Kata "gretep", bila ditelusuri dalam Bahasa Labala, berasal dari kata Gipe (menjepit dengan kuat), gripe (jalanan/jalur yang sempit/mencekik sehingga susah dilalui), grape= Robek/koyak karena cengkraman/tarikan/renggutan/genggaman yang sangat kuat...

Dalam banyak kisah mitos sejarah asal-usul di berbagai negara, digambarkan bahwa burung dengan ciri khas mencengkram, merenggut, mencekik dengan cakarnya yang kuat dan kokoh adalah burung elang/rajawali, yang dalam banyak mitos disebut burung garuda (Misalnya cerita tokoh wisnu/erlangga/angling dharma yang mengendarai burung garuda).

Itulah mengapa diberbagai negara seperti di indonesia misalnya, burung rajawali/garuda dijadikan lambang negara. Ada juga organisasi yang menjadikan burubg rajawali/garudasebagai logo organisasi karena burung rajawali/garuda ini merupakan representasi dari kekuatan, ketangguhan atau keperkasaan.

Di sisi yang lain, seperti di Labala misalnya, burung gretep (elang/rajawali/garuda) ini diyakini sebagai penuntun, pembimbing, pengarah dalam perjalanan menuju tujuan akhir atau menuju cita-cita tertinggi. Ini digambarkan dalam cerita perjalanan Raja Mayeli menuju atau mencari tempat baru yang dituntun atau dibimbing oleh burung gretep ini.

Saya teringat kisah dalam sebuah buku hikayat yang dalam terjemahan bahasa indonesia berjudul "Musyawarah Para Burung" atau "Parlemen Burung". Buku ini adalah karya sastra klasik sufistik yang ditulis oleh seorang Ulama Sufi yang bernama, Fariduddin Al-Attar. Dalam hikayat sufistik ini, diceritakan perjalanan segerombolan burung yang dipimpin oleh seekor burung sebagai pemimpin dan penuntun perjalanan. Pemimpin para burung ini bernama Burung Hud-hud (nama burung yang di ambil dari kisah Nabi Sulaiman AS dan Ratu Balgis). 

Dalam hikayat sufi ini diceritakan, gerombolan burung yang dipimpin atau dibimbing oleh Burung Hud-hud ini, melakukan perjalanan panjang melintasi tujuh lembah penderitaan dan tujuh lembah kesenangan yang merupakan batu ujian untuk bisa sampai ke istanah Burung Simurg (Raja Burung). Cerita dalam hikayat ini sejatinya adalah gambaran perjalanan spiritual (ruhani/batin) manusia menuju Tuhan.

Hikayat 'Musyawarah Para Burung" ini, meski hanya sekadar cerita pembimbing spiritual sufistik, namun sedikit banyak memiliki kesamaan makna dengan kisah sejarah perjalanan Raja Mayeli yang dibimbing oleh Burung Gretep.

Sedangkan untuk kata rajawali, dalam konteks sejarah Orang Labala bisa dimaknai sebagai; "Raja" dan "wali" yang berarti pendamping atau penuntun raja dalam perjalanan pelayaran. Kita mengenal istilah wali kelas (pendamping siswa dalam kelas), wali murid (orangtua/pembimbing murid), wali kota/wali negeri (pejabat yang menjadi wakil/pemimpin masyarakat). 

Cerita burung Gretep ini mengingatkan saya pada cerita mitos tentang makhluk Griffin, yang dalam banyak gambar terlihat menyerupai burung elang/rajawali/garuda namun berbadan singa yang kekar. Hal yang unik adalah, entah kebetulan atau memang ada keterkaitan sejarah, kata "Griffin" dalam Bahasa Eropa Latin memiliki kesamaan arti dan makna dengan kata "Gretep" dalam Bahasa Lamaholot Labala. Kata griffin dari bahasa latin berasal dari kata "grip" artinya mencengkram, grab artinya merenggut atau merampas, "gripe" artinya memegang kuat-kuat atau menggenggam erat-erat.
Sekali lagi, entah kebetulan atau tidak, kedua kata ini; Griffin (bahasa latin) dan Gretep (Bahasa Labala) nyaris memiliki persamaan arti dan makna yang mungkin saja memiliki hubungan sejarah yang misterius tentang mitos burung garuda.

Selain itu, makhluk Griffin ini dalam banyak hikayat dikaitkan dengan malaikat. Makhluk gaib yang diutus Tuhan untuk menjadi pembimbing atau penuntun bagi manusia yang berbuat kebajikan, atau sebaliknya bertugas sebagai pemberi hukuman kepada manusia yang berbuat kejahatan. Kombinasi antara sifat tegas (mencengkram) dan sifat lembut (membimbing/menuntun) ada pada kisah burung gretep yang mencengram benang kapas dan menjadi penuntun Raja Mayeli selama dalam perjalanan pelayaran mencari tempat baru.

Demikianlah sekelumit tulisan yang saya persembahkan ini. Meski apa yang saya tulis ini barangkali bukanlah sebuah fakta kebenaran yang final, namun semoga apa yang telah saya paparkan di atas, bisa menjadi bahan bagi para pembaca untuk mengulik aneka cerita yang melatari keyakinan akan mitos cerita asal Burung Garuda, yang oleh para pendiri bangsa dijadikan lambang Negara Repubik Indonesia yang tercinta ini. Salam. (**)

~AtaLabala~
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Catatan:

LEPAN-BATAN, dalam penuturan sejarah orang Labala, adalah tempat yang diyakini sebagai "Nuha=benua" yang berarti benua atau daratan yang hilang karena tenggelam pada peristiwa air bah atau tsunami dahsyat pada jaman dahulu kala. Bencana air bah inilah yang menyebabkan Raja Mayeli (Yang kemudian menjadi Raja Labala pertama) bersama rakyatnya melakukan perjalanan dengan berlayar menggunakan tena (perahu layar). Cerita yang mirip dengan kisah bahtera Nabi Nuh As ini diceritakan oleh nenek moyang Orang Labala secara oral (lisan) turun temurun dari generasi tempo doeloe yang hidup entah berapa puluh ribu tahun silam...(**)

SUMBER

Tuesday, 22 March 2016

Sejarah Munaseli dan Solor Watan Lema

Malam minggu kumpul bersama adik-adik di sekretariat Himpinan Pemuda Pelajar Labala Lembata (HIPPALL)-Makassar. Diiringi lagu daerah yang berjudul "Solor Watan Lema". Lagu berbahasa lamaholot ini dinyanyikan oleh pemyanyi asal Lamahala bernama Saff Atasoge. Lagu ini menceritakan kebesaran 5 kerajaan di pesisir kepulauan solor yang kemudian hari terkenal dengan "Solor Watan Lema" atau 5 kerajaan islam.

(Nuan nowin kapek lelu. Gajah Mada pakan marin: lamaholot nolo nai, solor watan lema kae)

Lagu ini mengetengahkan sedikit fakta, bahwa menurut buku Negara Kartagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca, bahwa pada zaman kerajaan Majapahit yang dipimpin oleh Raja Hayam Wuruk dan Maha Patih Gajah Mada yang bercita-cita mempersatikan nusantara, pernah mengutus pasukannya Ke Munaseli (pusat kersajaan solor watan lema tempo dulu)

Menurut catatan tersebut, Solor watan lema dahulu dikenal dengan "Galiau Watang Lema" dengan ibu kota kerajaan adalah Munaseli yang kemudian hilang (tenggelam) karena air bah. Munaseli menurut cerita sejarah orang lamaholot adalah kerajaan yang berkuasa di pulau Lepan-Batan

Dalam perjalanan misi mempertsatukan nusantara, para pasukan kerajaan Majapahit ini membawa serta sebuah prasasti yaitu ukiran titah raja Hayam Wuruk. Titah raja tersebut menggunakan tulisan jawa kuno (kawi) yang dipahat pada sebuah bilah kayu jati dan diserahkan kepada raja yang berkuasa di Munaseli saat itu.

Pasca terjadinya air bah (tsunami) sekitar tahun 1600 Masehi yang menenggelamkan munaseli, Raja dan rakyatnya kemudian terpencar sepanjang kepulauan solor dan membentuk kerajaan baru yang kemudian dikenal dengan "Solor watan lema".

(Gaha gapen teti moto wutun, Bala lau lamaronga. Pae wenge honik dahan, ola lau hayon haka)

Yang jadi pertanyaan hingga saat ini adalah siapakah raja yang berkuasa pada saat pasukan Majapahit menginjakkan kaki di Munaseli dan menyerahkan prasasti titah raja Hayam Wuruk yang bertuliskan aksara jawa kuno di atas kayu jati tersebut? 

Saya tak punya data yang bisa mendukung argumentasi saya, namun hingga kini ada bukti sejarah yang dimiliki oleh Raja Labala yang kiranya bisa mengungkap tabir sejarah pulau munaseli yang tenggelam itu yaitu keberadaan prasasti kayu jati bertuliskan aksara jawa kuno (kawi) yang hingga kini tersimpan di rumah adat Raja Mayeli yang merupakan raja yang menurut cerita, memimpin pelarian dari munaseli.

(Dahan getan date lali watan pao, Tuso gasuk lala labot. Gawe gere lali terong au koli, lema gahan raan ehan, solor watan lema kae) 

Asal Muasal Lepan-Batan

Bagi masyarakat di kepulauan solor yang meliputi Flores Timur, Solor, Adonara, Lembata, Alor dan kepulauan pantar, mendengar kata "Munaseli" tidaklah asing di telinga.

Menurut riwayat, Munaseli merupakan sebuah daratan/pulau jaman dulu yang terletak persis di antara pulau lembata di sebelah barat, Pulau alor di sebelah tenggara, dan kepulauan pantar di sebelah selatan. Pulau ini kemudian hilang/tenggelam setelah disapu sunami dahsyat.

Diduga Munaseli merupakan asal muasal dari daratan/pulau lepan-batan di masa lampau yang tenggelam itu. Pasca bencana air bah tersebut, terjadi eksodus besar-besaran orang lepan-batan yang kemudian tersebar di Pulau alor. pulau lembata, adonara, dan flores timur daratan.

Bukti keberadaan Munaseli sebagai Lepan-batan yang hilang itu hingga kini bisa dilihat dengan masih tersisanya artefak masa lalu berupa bangunan bawah laut di perairan alor dan kepulauan pantar.

Di labala masyarakat mengenal legenda/cerita "manu sili goko (Munaseli)", seekor ayam sakti yang bisa mendatangkan apa saja sesuai permintaan. Cerita "manus sili goko (Munaseli)" ini erat kaitannya dengan cerita rakyat Munaseli (lepan-batan) tempo doeloe.

Pada masa lalu, kepulauan alor dan pantar yang berpusat di munaseli merupakan daerah penghasil biji kenari dan Solor yang berpusat di Lohayon dan Lamakera merupakan daerah penghasil kayu cendana sehingga menjadi bagian dari jalur perdagangan nusantara. 

Bahkan catatan tertua Negarakertagama karya Mpu Prapanca (abad ke-14) telah menyebut alor dan solor. Tentara majapahit dikabarkan mengirim pasukan ke daerah alor yang bernama Munaseli. 

Dalam buku Negarakertagama itu disebutkan, ada wilayah "Galiau Watan Lema" atau daerah pesisir pantai kepulauan.Galiau terdiri atas lima kerajaan yaitu Kui dan Bunga Bali dan Alor serta Blagar, Pandau dan Baranua di pantar.

Jika ini benar, maka sejarah Munaseli sedikit banyak ada berhubungan dengan orang labala yang menurut cerita turun-temurun berasal dari Munaseli (lepan-batan). Ini terbukti ketika pelarian dari lepan-batan, Raja Mayeli saat itu membawa serta prasasti kayu jati yang bertuliskan huruf palawa (jawa kuno).

Alor juga disebutkan dalam catatan perjalanan keliling dunia kapal spanyol yang ditulis oleh antonio pigaffera pada tanggal 8-25 Januari 1522.

Juga jejak peradaban Solor yang populer pada abad ke-14 sampai 16 dengan hutan cendana. Keharuman cendana membuat Portugis dan Belanda berebut pulau kecil yang berbukit-bukit itu. 

Solor tercatat dalam sejarah petualangan kolonial Portugis dan Belanda. Ada benteng Fort Hendrikus (Benteng Lohayong), reruntuhan seminari Katolik pertama di Indonesia, tapi ada juga dua kerajaan Islam terkenal di pulau yang panjangnya kira-kira 60 km, lebar 15-20 km itu, yakni Lohayong dan Lamakera.

Sampai sekarang nelayan Lamakera, bersama Lamalera di Pulau Lembata, punya tradisi berburu ikan paus di Laut Sawu. Menombak mamalia laut itu dengan alat yang sangat sederhana. (**)

Diolah dari sumber:
-Kliping Koran Nasional Harian Kompas (Edisi Jumat, 13 Desember 2013)
-Hurek.blogspot.com


Monday, 21 March 2016

Naga; Perspektif Al-Quran & Tradisi Mistis Orang Labala

Ular Naga Menurut Perspektif Al-Quran

Harus diketahui, menciptakan manusia dari tiada, membentuknya dan meniupkan padanya dari ruh-Nya, dan mengokohkan alam semesta, juga segenap keajaiban yang terkandung di dalamnya, adalah yang Maha Kuasa juga yang menciptakan luar angkasa dan makhluk yang ada di dalamnya.

Al-Quran juga telah menunjukkan adanya makhluk-makhluk yang tidak diketahui manusia di masa kenabian (Muhammad SAW). Demikian juga menunjukkan peran dari penemuan ilmiah, bahwa setiap berita akan ada waktu kemunculannya (pembuktiannya), sepanjang manusia berusaha tetap memanfaatkan potensi akal yang dimiliki untuk membuktikannya (mencari, menelusuri dan menemukannya).


"Dan Dia (Allah) telah menciptakan kuda, bagal, keledai agar kamu menungganginya (dan menjadikannya perhiasan). Dan Allah juga menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya." (QS. An-Nahl: 8)


Keyakinan kepada hal-hal yang tak terjangkau (yang belum dipahami akal) manusia, yang dalam istilah al-quran di sebut dengan hal yang gaib (malaikat, jin, iblis, makhluk luar angkasa, termasuk hari pembalasan, dll) adalah salah satu sendi keimanan (Rukun Iman) dalam Islam.


Kita sering mendengar, membaca berita/cerita tentang penampakan hal-hal gaib atau fenomena alam yang terjadi diluar jangkauan nalar/logika manusia. Sayangnya, hanya karena tak terjangkau atau tak terpahami oleh logika, maka kadang dengan angkuh dan sombongnnya kita menganggap semua berita/cerita itu hanya sekadar mitos/tahayul/legena/dongeng semata, tanpa mau berikhtiar menelusuri jejak sejarah atau jalan cerita yang sebenarnya.


Lagi pula, sesuatu yang dianggap gaib belum tentu tak ada. Sesuatu yang dianggap cerita mitos, tahayul, legenda, dongeng dsb, belum tentu berarti cerita itu tak pernah terjadi. Kendalanya hanya ada pada keterbatasan kemampuan akal manusia yang belum mampu menguaknya. Sesuatu yang gaib adalah sesuatu yang misteri, sesuatu yang masih menjadi rahasia, sesuatu yang masih ditabiri. Dan tabir utama yang menjadi penghalang itu adalah keterbatasan pengetahuan kita sebagai manusia.

Pada tulisan ini saya hanya akan sedikit membahas tentang adanya isyarat dalam al-Quran yang menjelaskan kemungkinan adanya kehidupan makhluk berupa hewan melata (ular, kadal dsb) yang bila ditelusuri, sedikit banyak membantu menguak misteri akan keberadaan makhluk berupa hewan melata yang selama ini hanya dianggap cerita mitos/tahayul/legenda/dongeng. Makhluk berupa hewan melata yang saya maksud adalah ular naga yang hingga kini menjadi tradisi mistis dalam adat dan budaya Orang Labala.


Berikut saya mengutip beberapa ayat dalam al-quran yang menjadi signal/isyarat keberadaan makhluk yang diiptakan Allah SWT dari jenis hewan melata yang kita tidak/kita belum mengetahui dan memahaminya. Misalnya dalam al-quran diisyaratkan kemungkinan adanya kehidupan makhluk diluar angkasa dan di bumi (entah sejenis manusia, jin atau hewan melata dll.).


"Diantara tanda-tanda-Nya ialah Dia menciptakan langit dan bumi, dan makhluk-makhluk yang melata yang disebarkan pada keduanya (langit dan bumi) dan Dia Maha Kuasa mengumpulkan semuanya apabila dikehendakiNya." (QS. Asy-syura: 29)


Kata "makhluk yang melata" yang dalam teks asli al-quran disebut dengan "dabbah". Oleh sebagian ulama menerjemahkannya dengan "makhluk melata", yaitu makhluk yang berjalan atau bergerak berpindah tempat dengan tidak menggunakan kaki atau tangan atau sayap. Dalam pengertian umum, binatang yang punya ciri melata yaitu berjalan/berpindah dengan perut atau otot perutnya adalah ular.

Kata "dabbah" dalam al-quran memiliki kemiripan dengan kata "Deppa" dalam bahasa Lamaholot Labala yang juga memiliki arti yang sama yaitu bergerak atau berjalan dengan perut atau melatah ditanah. Dari kata "Deppa" dalam bahasa Labala, kemudian terbentuk kata "Geppa" yang digunakan untuk nama binatang seperti kemodo/biawak yang bila berjalan terlihat seperti melata dengan menyeret perut di tanah. Selain itu, dalam banyak anggapan, komodo/biawak biasa disebut juga dengan naga darat.


Kata lain yang bersinonim dengan kata "Deppa" dalam bahasa labala adalah "doro" yang berarti melatah dipohon. Tapi kata deppa dan doro umumnya digunakan untuk aktifitas berpindah tempat atau bertumbuh pada binatang dan tumbuhan yang melata di tanah atau di pohon seperti ular atau seperti hura jawa (ketela rambat) dimu (semangka/mentimun) dll


Dalam al-quran juga ditegaskan bahwa, makhluk melata yang disebut dengan "dabbah' (ular) ini tak hanya berada dan hidup di bumi, tapi juga berada dan hidup di pelanet/galaksi/alam lain di langit.


"Dan kepada Allah sajalah bersujud segala makhluk melata yang berada di langit dan semua makhluk melata yang ada di bumi dan juga para malaikat. Sedangkan mereka (malaikat) tidak menyombongkan diri." (QS. An-Nahl: 49)


Dengan isyarat ayat seperti di atas, maka sebagian ulama mengatakan bahwa tak ada salahnya penjelasan ayat al-quran di atas menjadi isyarat bahwa ada wujud kehidupan alam lain yang memiliki makhluk yang barangkali juga memiliki kemiripan dengan kehidupan di bumi tempat kita hidup.

Tak bisa dipungkiri, kitab suci tiada lain hanyalah kitab pedoman yang menuntun manusia untuk memahami dan memaknai kebesaran dan kekuasaan Sang Pencipta. Kitab suci bukanlah seperti buku ilmiah yang menjelaskan secara terperinci fenomena dan nomena semesta, namun kitab suci juga mengandung signal/isyarat ilmiah yang bisa dijadikan dasar mencari dan menemukan kebebenaran yang masih ditutup kabut misteri.


Ular Naga Dalam Tradisi Mistis Orang Labala

(Ular Naga Adalah Simbol Air dan Siklus Kehidupan)


Sebagai Orang Labala, saya tak asing dengan cerita ular naga. Tak hanya berupa cerita yang banyak orang menganggapnya sekadar mitos, namun juga ular naga dalam cerita sejarah, adalah penyebab utama pelarian Orang Labala dari Lepan-Batan. Selain itu, ritual adat yang berhubungan dengan ular naga yang dilakukan oleh Orang Labala, menjadi alasan mengapa mitos tentang ular naga ini tak asing bagi saya.
Bila ditelusuri dari jalan ceritanya dan diamati dari upacara adat berupa ritual Pao Oma (pao= memberi/membujuk/memberi makan, Oma/ume= jatah/bagian) yang di lakukan Orang Labala, Ular Naga tak lain adalah simbol yang merupakan unsur penting kehidupan yang sangat lekat dengan kehidupan manusia. Simbol yang saya maksudkan adalah Air. Air adalah salah satu unsur terpenting yang juga menjadi salah satu kebutuhan pokok manusia. Bahkan menurut kajian ilmu pengetahuan, air disinyalir sebagai asal mula kehidupan semua makhluk.

Di Labala, hampir semua seremonial adat berhubungan dengan air; air sungai, air laut dan air hujan. Di sungai misalnya, sepanjang aliran sungai, mulai dari wai mata (sumber mata air) sampai wai lei (muara sungai). Begitupun di laut, Orang Labala memiliki seremoni adat tula re (berdamai dengan laut). Bahkan di Labala pun Orang Labala memiliki seremoni adat teppa bala (memanggil hujan) bila terjadi kemarau berkepanjangan sehingga terancam gagal panen.

Dilihat dari berbagai seremonial adat yang dilakukan Orang Labala, bila dikaitkan dengan ilmu pengetahuan, upacara seremonial adat ini menggambarkan siklus perjalanan air sebagai sumber kehidupan. Dalam ilmu pengetahuan kita mengenal istilah siklus air, dimana air laut (hari lewa/tula ree) sebagai sumber air utama menguap karena panas matahari (sumber energi keilahian/ketuhanan) kemudian menjadi uap/awan. Selanjutnya, awan mendung yang mengandung titik-titik air kemudian jatuh sebagai hujan (teppa bala), lalu hujan yang turun kebumi membentuk mata air (wai mata), kemudian mata air mengalir menjadi sungai menuju muara (wai lei/pao oma) dan kembali lagi ke laut (hari lewa/tula ree).
Dari sedikit penggambaran di atas, maka dapat kita pahami, bahwa kepercayaan akan ular naga sebagai simbol air, merupakan sebua upaya manusia menjalin keselarasan hidup dengan alam yang memberinya kehidupan. Bukankah terjadinya aneka mala dan bencana akibat dari ulah manusia yang seenaknya saja memperlakukan alam?

Sebagaimana yang disinyalir dalam Kitab Suci al-Quran:
“Telah nampak kerusakan (bencana) di darat dan di laut akibat ulah tangn-tangan manusia, agar Allah merasakan kepada mereka akibat dari perbuatannya itu dan agar mereka mau kembali (sadar)”
Naga Bumi-Naga Langit; Simbol Keseimbangan Kosmis
(Naga Langit; Simbol Alam Ilahiah/Alam Malakut/Alam Gaib. Naga Bumi; Simbol Alam Semesta/Alam Makhluk/Alam Nyata)

Sebagaimana hukum alam (sunnatullah), segala sesuatu diciptakan Tuhan selalu berpasangan. Langit dan bumi adalah pasangan telur kosmis, sumber keyakinan Orang Lamaholot terkhusus Orang Labala, yang meyakini kuasa Lera-wulan Tanah Ekan (Tuhan Sang Pemilik Langit dan Bumi). Dari pasangan kosmis keilahian (Langit dan Bumi), selanjutnya terbentuklah pasangan kosmis kemanusiaan (makhluk) yaitu keblake-keberwae (laki-laki dan perempuan) atau manusia yang oleh Tuhan diberi amanah menjadi khalifah (penghubung kosmis keilahian dengan kosmis alam semesta) beserta segala hal lain di alam raya yang juga tercipta berpasang-pasangan.

Pasangan adalah gambaran kesetimbangan/keseimbangan. Pasangan juga adalah simbol eksistensi/keberlangsungan hidup.Tak akan ada keteraturan/keseimbangan bila segala sesuatu tak tercipta berpasangan. Kelestarian manusia akan tetap terjaga bila manusia tercipta dari pasangan lelaki dan perempuan. Lampu bahlon tak akan menyala bila tak ada aliran energi positif dan negatif dan masih banyak contoh keseimbangan kosmis lainnya.

Kita menyebut keseimbangan/ keselarasan dengan keadilan. Itulah mengapa Tuhan dikatakan Maha Seimbang (al-Adil) tak memihak karena Tuhan tak punya kepentingan-apa-apa dari makhluknya. Tuhan juga disebut Maha Bijaksana (al-Hakim) selalu memberi jalan keluar untuk mengoreksi dan memperbaiki kesalahan/dosa hamba-Nya.

Adil adalah gambaran ketegasan hukum, sedangkan bijaksana adalah gambaran pengampunan/pemaafan/kasih sayang. Keadilan dan kebijaksanaan ini, dalam khasanah tradisi dan budaya, Orang Lamaholot menyebutnya dengan Keniki-Pelatin dan geleten-gelaran.

Ungkapan Keniki-Pelatin dan Geleten-Gelaran adalah gambaran keseimbangan kosmis kehidupan. Keniki-Pelatin dan Geleten-Gelaran juga adalah perwakilan dari sifat kosmis keilahian/ketuhanan dan sifat kosmis alam/makhluk. Secara bahasa, keniki-pelatin artinya panas atau pedis sebagai simbol ketegasan/keadilan. Sedangkan Geleten-Geelaran artinya dingin atau sejuk sebagai simbol pengampunan/pemaafan/kasih sayang.

Bila ditelusuri lebih mendalam, ungkapan keniki-pelatin dan geleten-gelaran berakar dari keyakinan Orang Lamaholot akan Koda-Kiri. Koda sebagai sabda (kebenaran), kiri sebagai firman (kesucian). Koda-Kiri adalah Kalam/Kata-kata/Sabda/Firman dari Lera-wulan Tanah-Ekan (Tuhan/Allah SWT). Koda-kiri diyakini sebagai asal muasal dari asbab penciptaan alam semesta (langit dan bumi beserta isinya, termasuk manusia). Yang dalam istilah agama islam dikenal dengan, Kun, Fayakuun (Jadilah! Maka terjadilah apa yang dikehendaki-Nya)

Koda-kiri adalah keseimbangan yang pantang/tabu untuk dilanggar apalagi diabaikan. Bila dijalani dengan benar menurut tujuan penciptaan, maka akan tercipta keseimbangan/keselarasan (kedamaian) kosmis. Namun bila dilanggar atau diabaikan, maka yang terjadi adalah ketidaseimbangan/kekacauan (bencana) kosmis.

Dari keyakinan akan koda-kiri ini kemudian melahirkan filosofi (kearifan) Koda keniki-pelatin sili-lia mean, Kiri geleten-gelaran keru-baki buran. Bahwa kebenaran koda-kiri (kata/kalam/firman) adalah sesuatu yang sakral. Pelanggaran terhadap kebenaran koda-kiri akan menyebabkan nalan (dosa), nedin (bencana), elan/elen (kesalahan), milan (tercemar/kekotoran), dan haban (tersesat). Oleh karena itu, nalan/nedin/elen/milan/haban hanya bisa terampuni/termaafkan/tersucikan apabila manusia mau menyadari kesalahannya dan melakukan pertaubantan/penyucian/permaafan yang dalam istilah adat Orang Lamaholot disebut huku/hoko mehi (pemulihan darah) untuk kembali berdamai dengan Lera wulan-Tanah Ekan (Tuhan Sang Pencipta)

Filosofi Koda keniki-pelatin sili lia mean dan Kiri geleten-gelaran keru baki buran ini kemudian menjadi pedoman/pegangan dalam setiap aktifitas kehidupan sehari-hari Orang Lamaholot, termasuk di Labala yang diwujudkan dengan ritual adat Pao Omadan Tula Ree yang disimbolkan dengan ular naga langit dan ular naga bumi. Ular naga langit sebagai perwakilan kosmos keilahian/alam malakut/alam gaib, sedangkan ular naga bumi sebagai perwakilan kosmos alam semesta/alam makhluk/alam nyata. Lebih dari pada itu, ritual pao oma dan tula ree merupakan ikhtiar manusia untuk berdamai dengan alam agar tercipta keseimbangan.
Manusia, dengan potensi lahir dan batin, akal dan nurani yang dikaruniakan Tuhan, dipilih oleh-Nya untuk mengemban amanat suci sebagai Khalifah (wakil Tuhan di bumi) untuk menjadi pemimpin, menjadi pengayom dan penjaga keseimbangan kosmos, menjadi penghubung langit dan bumi, yang diaplikasikan dengan menjalin hubungan baik dengan Tuhan dan menjalin hubungan baik dengan sesama dan alam semesta. Dengan demikian, maka akan tercipta tatanan kehidupan yang rahmatan lil alamin yaitu kehidupan seimbang yang menjadi penyebab rahmamat/kasih sayang Tuhan selalu menyertai.
Keyakinan akan keseimbangan kosmos yang disimbolkan dengan ular naga sebagai air kehidupan dan sebagai keseimbangan kosmis antara kosmis keilahian (ketuhanan/gaib) dengan kosmis kemakhlukkan sebagai ciptaan, senantiasa menjadi kearifan dan nilai luhur yang unik bagi orang lamaholot, terkhusus Orang Labala yang tetap mempertahankan tradisi mistis religius ini. 

Mengabaikan kearifan leluhur tanpa didahului dengan perenungan dan kajian mendalam akan makna dibalik ritual-ritual mistis ini, adalah sebentuk kesombongan iman bagi mereka yang mengaku beragama dan kecongkakan intektual bagi mereka yang mengaku sebagai cendekiawan.

Akhirnya, tak semua adat leluhur dan tradisi nenek-moyang dengan aneka ritual mistisnya harus dicap sebagai musyrik oleh mereka yang mengaku beragama, atau dianggap mitos oleh mereka yang mengaku akademisi. Toh segala sesuatu yang dianggap musyrik dan mitos tak serta merta dicap sebagai kuno, kafir dsb sebelum bisa dibuktikan dengan hujja (dalil) yang sahih. Menyalahkan tanpa pernah membuktikan kesalahan itu sendiri adalah sebentuk kemunafikan orang-orang yang mengaku beragama dan kebodohan intelektual bagi mereka yang mengaku cerdik cendekia. (**)
~AtaLabala~

Catatan: Tulisan ini hanyalah menurut persepsi penulis yang berusaha memaknai adat dan budaya yang diwariskan oleh nenek moyang. Apa yang penulis sajikan ini bukanlah kebenaran mutlak yang harus juga diyakini oleh pembaca, karena kebenaran mutlah hanyalah milik Tuhan. Jika bermanfaat, silahkan diambil. Bila tak bermanfaat, silahkan diabaikan saja. Wassalam...

Tulisan ini pernah dimuat di http://www.kompasiana.com/muhammadbaran/ular-naga-perspektif-al-quran-tradisi-mistis-orang-labala_56eec7f3c2afbd6113a6941a

Oleh : Muhammad Baran

Wednesday, 9 March 2016

Ibnu Miskawaih (Biografi & Pemikiran Etika Islam)

Pemikiran mengenai filsafat masuk ke dunia Islam setelah terjadinya interaksi antara kebudayaan Islam dan non Islam, terutama bangsa Yunani. Pada masa daulah Bani Abbasiyah, yaitu pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid tahun 786 M, yang sangat cinta terhadap ilmu pengetahuan sehingga ia sangat giat menterjemahkan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab, buku yang diterjemahkan adalah buku yang mengenai kedokteran, ilmu pengetahuan dan filsafat serta buku-buku filsafat Aristoteles, Plato dan Gaelan.[1]

Dari usaha yang digeluti oleh khalifah tersebut timbulah minat orang-orang Islam untuk mempelajari bermacam-macam ilmu pengetahuan dan filsafat, sehingga bemunculanlah para cendekiawan dan filosof dikalangan umat Islam, seperti al-Kindi, al- Farabi, Ibn Sina, al-Razi dan Ibn Miskawaih yang mengenai filsafat al-Nafs dan filsafat al-Akhlaq.

Ibn Miskawaih terkenal sebagai seorang filosof muslim sekaligus sebagai seorang cendekiawan muslim. Banyak ilmu yang dikuasai, tetapi ia sangat terkenal setelah ia mengarang buku di bidang akhlaq yang berjudul “Tahhdzibu Akhlaq wa Tahhir al-A’raq”.I

A. Biografi Ibn Miskawaih

Nama lengkapnya adalah Abu Ali Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ya’kub Ibn Miskawaih. Ia lahir di kota Ray (Iran) pada tahun 320 H (932 M) dan wafat di Asfahan pada tanggal, 9 Safar 421 H (16 Februari 1030 M). Ia belajar sejarah kepada Abu Bakar Ahmad ibn Kamil al-Qadhi (350/960) tentang buku Tarikh al-Thabari, dan belajar filsafat kepada Ibn al-Khammar, seorang komentator terkenal mengenai filsafat Aristoteles.

Perihal kemajuannya, sebelum Islam, banyak dipersoalkan oleh pengarang, Jurji Zaidan misalnya ada pendapat bahwa ia adalah Majusi, lalu memeluk Islam.[2] Sedangkan Yaqut dan pengarang Dairah al-Ma’arif al-Islamiyah kurang setuju dengan pendapat itu. Menurut mereka, neneknyalah yang Majusi, kemudian memeluk Islam.[3] Artinya Ibn Miskawaih sendiri terlahir dalam keluarga Islam, sebagai terlihat dari nama Bapaknya, Muhammad.

Ia juga diduga beraliran Syi’ah, karena sebagian besar usianya dihabiskan untuk mengabdi kepada pemerintah dinasti Buwaihi. Ketika muda, ia mengabdi pada al-Muhallabi, wazirnya pangeran Buwaihi yang bernama Mu’iz al-Daulah di Baghdad. Setelah wafatnya al-Muhallabi pada tahun 352 H (963 M), dia berupaya dan akhirnya diterima oleh Ibn Al-Amid, wazirnya saudara Mu’iz al-Daulah yang bernama Rukn al-Daulah yang berkedudukan di Ray. Setelah Miskawaih meninggalkan Ray menuju Baghdad dan mengabdi kepada istana Pangeran Buwaiki, ‘Adhud al-daulah. Miskawaih mengabdi kepada pangeran ini sebagai Bendahawan dan juga memegang jabatan-jabatan lain.

B. Etika Pemikiran Ibn Miskawaih

a. Filsafat al Nafs (jiwa).

Adapun jiwa, menurut Ibn Miskawaih adalah jauhar rohani yang kekal, tidak hancur dengan sebab kematian jasad. Jiwa dapat menangkap keberadaan zatnya dan mengetahui tentang ketahuan dan keaktivitasannya. Sebagai argumen, Ibn Miskawaih memajukan bahwa jiwa dapat menangkap bentuk sesuatu yang berlawanan dalam waktu yang bersamaan, seperti warna hitam dan warna putih, sedangkan jasad tidak dapat melakukan yang demikan. Bahkan menurut beliau, kebahagian dan kesengsaraan di akhirat nanti hanya dialami oleh jiwa saja, karena kelezatan bukanlah kelezatan hakiki.[4]

Menurut ibn Miskawaih keberadaan jiwa dimaksudkan untuk membantah pendapat kaum materialisme yang tidak mengakui adanya ruh bagi manusia. Namun, ruh tidak dapat bermateri sekalipun ia bertempat pada materi, karena materi hanya menerima satu bentuk dalam waktu tertentu. Dengan demikian, jiwa dan materi adalah dua hal yang berbeda, dengan kata lain, jiwa pada dasarnya bukanlah materi. Immaterialitas jiwa itu menjadikan ketidakmatiannya, karena kematian adalah karakter dari materil. Untuk itu, Ibn Miskawaih mengajukan argumentasi :
  1. Indera, setelah mempersepsi suatu tantangan kuat, selama beberapa waktu, tidak lagi mampu mempersepsi rangsangan yang lebih lemah. Namun demikian, ini berbeda benar dengan aksi mental intuisi/kognisi.
  2. Bilamana kita merenungkan suatu obyek yang musykil, kita berusaha keras untuk sepenuhnya menutup kedua belah mata kita terhadap obyek-obyek disekitar kita, yang kita anggap sebagai sedemikian banyak halangan bagi aktivitas spiritual. Jika esensi jiwa adalah materi, maka agar aktivitasnya tidak terhambat, jiwa tidak perlu lari dari dunia materi.
  3. Mempersepsi rangsangan kuat memperlemah dan kadang-kadang merugikan indera. Disis lain, intelek berkembanga menjadi kuat dengan mengetahui ide-ide dan faham-faham umum (general nations).
  4. Kelemahan fisik yang disebabkan oleh umur yang tua tidak mempengaruhi kekuatan mental.
  5. Jiwa dapat memahami proposisi-proposisi tertentu yang tidak mempunyai pertalian dengan data inderawi. Indera, misalnya, tidak mampu memahami bahwa dua hal yang bertentangan tidak dapat ada bersamaan.
  6. Ada suatu kekuatan tertentu pada diri kita yang mengatur organ-organ fisik, membetulkan kesalahan-kesalahan inderawi, dan menyatukan semua pengetahuan. Prinsip penyatuan yang merenung-renungkan materi yang dibawa dihadapannya melalui saluran inderawi, dan menimbang evidensi (bukti) masing-masing indera, inilah yang menentukan karakter keadaan-keadaan tandingan, maka dengan sendirinya jiwa itu harus berada di atas lingkungan materi.[5]
Di dalam bukunya “Tahdzibu al-Akhlaq wa That-hir al-A’raq” Miskawaih menguraikan bahwa jiwa manusia mempunyai tiga kekuatan yang bertingkat-tingkat sebagai berikut :
  1. Al-Nafs al-Bahimiyah (nafsu kebinatangan) yang buruk.
  2. Al-Nafs al-Sabu’iyah (nafsu binatang buas) yang sedang.
  3. Al-Nafs al-Nathiqah (jiwa yang cerdas) yang baik.
Selanjutnya menurut Miskawaih, diantara manusia ada yang baik dari asalnya. Golongan ini tidak akan cenderung berbuat kejahatan. Namun golongan ini adalah minoritas. Sedangkan golongan mayoritas adalah golongan yang “dari sononya” sudah cenderung kepada kejahatan sehingga sulit untuk ditarik untuk cenderung kepada kebaikan.

Sedangkan di antara kedua golongan tersebut ada golongan yang dapat beralih kepada perhatian atau kejahatan. Hal ini tergantung pada pendidikan dan lingkungan hidup.[6]

Terkait dengan permasalahan jiwa seperti yang diutarakan di atas, jiwa memiliki tiga daya, yaitu daya berpikir, daya keberanian, dan daya keinginan. Dari ketiga daya tersebut lahirlah masing-masing sifat kebajikan, yaitu hikmah, keberanian, dan kesederhanaan. Bila ketiga sifat kebajikan tesebut berjalan serasi, maka akan lahirlah sifat kebajikan ke empat, yakni adil. Adapun lawan dari ke empat sifat utama ialah bodoh, penakut, rakus, dan zalim. Lebih lanjut, ia membahas tujuh jenis, hikmah, yaitu :
  1. Tajam dalam berpikir.
  2. Cekatan berpikir
  3. Jelas dalam pemahaman
  4. Kapasitas yang cukup
  5. Teliti melihat perbedaan
  6. Kuat ingatan dan
  7. Mampu mengungkapkan
Selanjutnya ada sebelas sifat keberanian, yaitu murah hati, sabar, mulia, teguh, tentram, agung, gagah, keras keinginan, ramah, bersemangat, belas kasih. Sedangkan jenis sifat kesederhanaan ada dua belas, yaitu malu, ramah, keadilan, damai, kendali diri, sabar, relam tenang, saleh, tertib, jujur dan merdeka.[7]

Dari beberapa uraian tentang jiwa di atas, maka penulis dapat mendarik suatu kesimpulan bahwa, al-Nafs al-Natihiqah (jiwa yang cerdas) jiwa yang baik akan merasakan kenikmatan dan kebahagiaan pada diri seseorang baik di dunia maupun di akhirat, serta akan dapat menularkan kebaikan-kebaikannya terhadap orang lain di dunia ini.. sebaliknya jiwa kebinatangan yang buruk, akan dapat menularkan keburukannya terhadap orang lain di dunia, lebih-lebih akan dapt mencelakakan dirinya di dunia dan di akhirat kelak.

b. Filsafat al-Akhlaq

Menurut Ibn Miskawaih, moral atau akhlaq adalah suatu sikap mental (halun li al-Nafs) yang mengandung daya dorong untuk berbuat tanpa berfikir dan pertimbngan.[8] Sikap mental ini terbagi dua ; ada yang berasal dari watak dan ada pula yang berasal dari kebiasaan dan latihan. Dengan demikian, sangat penting menegakkan akhlaq yang benar dan sehat. Sebab dengan landasan yang begitu akan melahirkan perbuatan-perbuatan baik tanpa kesulitan.

Akhlaq terpuji sebagai manifestasi dari watak tidak banyak dijumpai. Yang banyak dijumpai dikalangan manusia adalah mereka yang memiliki sifat-sifat kurang terpuji (asyrar) karena watak. Karena itu kebiasaan atau latihan-latihan dan pendidikan dapat membantu seseorang untuk memiliki sifat-sifat terpuji tersebut, sebaliknya juga akan membawa orang pada sifat-sifat tercela.

Ibn Miskawaih menolak pendapat sebagian pemikir Yunani yang mengatakan akhlaq yang berasal dari watak tidak mungkin berubah. Olen Ibn Miskawaih ditegaskan kemungkinan perubahan akhlaq itu terutama melalui pendidikan. Dengan demikian dijumpai ditengah masyarakat ada orang yang memiliki akhlaq yang dekat kepada malaikat dan ada pula yang lebih dekat kepada hewan.

Pemikiran seperti ini sejalan dengan ajaran Islam, Alqur’an dan hadis sendiri menyatakan secara gamblang bahwa kedatangan Nabi Muhammad Saw. adalah untuk menyempurnakan akhlaq manusia. Hal ini terlihat dari salah satu tujuan melakukan ibadah adalah untuk pembentukan watak yang pada gilirannnya akan memperbaiki tingkah laku masyarakat dan pribadi muslim. Bahkan akhlaq sering dijadikan ukuran sebagai keberhasilan seseorang dalam mengamalkan ajaran Islam yang dianutnya. Dalam hal ini, ibn Miskawaih mengartikan kata al-Insan (manusia) berasal dari al-Uns yang berarti “jinak”. Pendapat ini berbeda dengan pendapat pada umumnya yang mengatakan bahwa kata al-Insan berasal dari kata al-nisyan berarti “pelupa”. Memang ajaran-ajaran agama menguatkan perasaan al-Uns tersebut, seperti shalat berjama’ah lebih utama dari shalat yang dikerjakan secara sendirian, puasa sebagai upaya mengendalikan keinginan nafsu, dan demikian juga bentuk-bentuk ibadah lainnya.[9]

Masalah pokok yang dibicarakan dalam bagian tentang akhlaq adalah kebaikan (al-Khair), kebahagiaan (al-Sa’adah), dan keutamaan (al-Fadhilah). Menurut Ibn Miskawaih, kebaikan adalah suatu keadaan dimana kita sampai kepada batas akhir dan kesempurnaan wujud. Kebaikan adakalanya umum, adakalanya khusus. Kebaikan umum adalah kebaikan bagi seluruh manusia dalam kedudukannya sebagai manusia. Sedangkan kebaikan khusus adalah kebaikan bagi seseorang secara pribadi, dan inilah yang dinamakan kebahagiaan. Dengan demikian, antara kebaikan dengan kebahagiaan dapat dibedakan. Kebaikan mempunyai identitas tertentu yang berlaku umum bagi manusia, sedangkan kebahagiaan berbeda-beda bergantung pada orang-orang yang berusaha memperolehnya.

Pengertian kebahagiaan telah dibicarakan oleh pemikir-pemikir Yunani yang pokoknya terdapat dua versi, yaitu: pandangan pertama yang diwakili oleh Plato, mengatakan bahwa hanya jiwalah yang dapat mengalami kebahagiaan. Karena itu, selama manusia masih hidup atau selama jiwa masih terkait dengan badan, maka selama itu pula tidak akan diperoleh kebahagiaan itu. Sedangkan pandangan kedua yang diwakili oleh Aristoteles mengatakan bahwa kebahagiaan itu dapat dinikmati oleh manusia di dunia, kedatipun jiwanya masih terkait dengan badan. Hanya saja, kebahagiaan itu berbeda menurut masing-masing orang. Seperti orang miskin memandang kebahagiaan itu pada kekayaan, dan orang sakit pada kesehatan dan seterusnya.

Ibn Maskawaih tampil di antara dua pendapat yang tidak selaras itu secara kompromi. Menurutnya, karena pada diri manusia ada dua unsur, yaitu jiwa dan badan, maka kebahagiaan itu meliputi keduanya. Kebahagiaan itu ada dua tingkat. Pertama, ada manusia yang terikat dengan hal-hal yang bersifat benda dan mendapat kebahagiaannya dengannya, namun ia tetap rindu akan kebahagiaan jiwa, lalu berusaha memperolehnya. Kedua, manusia yang melepaskan diri dari keterikatannya kepada benda dan memperoleh kebahagiaan lewat jiwa. Kebahagiaan yang bersifat benda tidak diingkarinya, tetapi dipandangnya sebagai kekuasaan Allah. Kebahagiaan yang bersifat benda menurut Ibn Miskawaih, mengandung kepedihan dan penyesalan, serta menghambat perkembangan jiwanya menuju kehadirat Allah. Kebahagiaan jiwalah yang merupakan kebahagiaan yang paling sempurna, dan mampu mengantar manusia yang memilikinya ke derajat malaikat.[10]

Tentang keutamaan (al-Fadhilah) Ibn Miskawaih berpendapat bahwa asal semua leutamaan adalah cinta kepada sesama manusia (mahabbah al-Insan li al-Nas kaffah). Tanpa cinta yang demikian, suatu masyarkat tidak mungkin ditegakkan. Manusia tidak akan sampai kepada tingkat kesempurnaannya kecuali dengan memelihara jiwanya serta menunjukkan pengertiannya terhadap sesama jenisnya. Selanjutnya ia berkata bahwa cinta tadi tidak akan tampak bekasnya kecuali jika manusia berada di tengah-tengah masyarakatnya dan saling berintegrasi di dalamnya. Sebab itu, seseorang yang mengucilkan diri dari masyarakat, bukanlah dapat dinilai bahwa ia telah memiliki difat terpuji atau tercela. Penilaian itu baru dapat diberikan hanya kepada seseorang yang telah berkecimpung di tengah masyarakatnya. Jadi, sikap uzlah dari masyarakat dapat dipandang identik dengan sifat zalim dan bakhil. Karena itu, dapat dikatakan pandangan Ibn Miskawaih tentang akhlak adalah akhlak manusia dalam konteks masyarakat.[11]

Mengingat pentingnya pembinaan akhlak, Ibn Miskawaih memberikan perhatian yang besar terhadap pendidikan anak-anak. Ia menyebutkan bhawa masa kanak-kanak merupakan mata rantai jiwa hewan dengan jiwa manusia berakal. Pada jiwa anak berakhirlah ufuk hewani, dan ufuk manusiawi dimulai. Karena itu, anak-anak harus dididik akhlak mulia dengan menyesuaikan rencana-rencananya dengan urutan daya-daya yang ada pada ank-anak, yaitu daya keinginan, daya marah, daya berpikir. Dengan daya keinginan, anak-anak dididik dalam hal adab makan, minum dan berpakaian, serta lainnya. Lalu sifat berani, kendali diri diterapkan untuk mengarahkan daya marah. Kemudian daya berpikir dilatih dengan menalar, sehingga akal pada akhirnya dapat menguasai segala tingkah laku.

Kesimpulan 

Menurut Ibn Miskawaih, al-Nafs (jiwa) adalah jauhar rohani yang kokoh, tidak hancur dengan sebab kematian jasad. Jiwa dapat menangkap keberadaan zatnya dan mengetahui tentang ketahuan dan keaktivitasannya. Kebahagiaan dan kesenangan di akhirat nanti hanya dialami oleh jiwa saja, karena kelezatan jasmani bukanlah kelezatan hakiki. 
Jiwa dan materi adalah dua hal yang berbeda. dengan kata lain, jiwa pada dasarnya bukanlah materi. Immaterial jiwa itu menunjukkan ketidakmatiannya, karena kematian adalah karakter dari yang materil. 
Akhlak adalah suatu sikap mental yang mengandung daya dorong untuk berbuata tanpa berpikir dan pertimbangan. Akhlak yang terpuji bisa diperoleh seseorang melalui pendidikan. 
Implikasi 

Ibn Miskawaih mengakui bahwa posisi tengah sifatnya relatif. Maka alat yang menjadi ukuran untuk memperolah sikap tengah ini adalah akal dan ajaran agama. Doktirn jalan tengah ini dapat dipahami sebagai doktrin yang mengandung arti dinamis dan fleksibel. Jadi dengan doktrin jalan tengah manusia tidak akan kehilangan arah dalam kondisi apapun.

DAFTAR PUSTAKA

Badawi, Abdurrahman “Miskawaih” dalam M.M. Syarif, (ed.) A. History of Muslim Philosofhy, Vol I. Wiesboden: Otto Harrossowitz, 1963.

Iqbal, Metafisika Persia; Suatu Sumbangan untuk Sejarah Filsafat Islam, terjemahan Joebrar Ayoeb dari Development of Metaphysics in Persia; A. Contribution to The History of Muslim Philosofhy. Bandung: Mizan, 1990.

Khursyid, Ibrahim Zaky. et. al., Dairah al-Ma’arif al-Islamiyyah, Vol. I. Kairo: al-Sya’ab, t.t.

Musa, Muhammad Yusuf. Filsafat al-Akhlaq fi al-Islam. Kairo: Muassasah al-Khariji, 1963.

Nasution, Harun. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1973.

Nasution, Hasyimsyah. Filsafat Islam. Cet. III; Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.

Sudarsono, Filsafat Islam. Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 1997.

T.J., De Boer.Tarikh al-Falsafah fi al-Islam, Terjemahkan Arab oleh Abd al-Hadi Abu Raidah. Kairo: Lajnah al-Ta’lif wa al-Tarjamah wa al-Nasyr, 1938.

[1] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 11-13. 

[2] Muhammad Yusuf Musa, Filsafat al-Akhlaq fi al-Islam (Kairo: Muassasah al-Khariji, 1963), h. 74. 

[3] Ibrahim Zaky Khursyid, et. al., Dairah al-Ma’arif al-Islamiyyah, Vol. I (Kairo: al-Sya’ab, t.t.), h. 388. 

[4] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Cet. III; Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 62. 

[5] Iqbal, Metafisika Persia; Suatu Sumbangan untuk Sejarah Filsafat Islam, terjemahan Joebrar Ayoeb dari Development of Metaphysics in Persia; A. Contribution to The History of Muslim Philosofhy (Bandung: Mizan, 1990), h. 55-56. 

[6] Sudarsono, Filsafat Islam (Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 1997), h. 89. 

[7] Abdurrahman Badawi, “Miskawaih” dalam M.M. Syarif, (ed.) A. History of Muslim Philosofhy, Vol I (Wiesboden: Otto Harrossowitz, 1963), h. 474. 

[8] Muhammad Yusuf Musa, op. cit., h. 81. 

[9] De Boer, T.J., Tarikh al-Falsafah fi al-Islam, Terjemahkan Arab oleh Abd al-Hadi Abu Raidah (Kairo: Lajnah al-Ta’lif wa al-Tarjamah wa al-Nasyr, 1938. 

[10] Muhammad Yusuf Musa, op. cit., h. 56. 

[11] Hasyimsyah, Filosof Muslim., h. 65.

Tuesday, 1 March 2016

Etika Islam (Manusia Dengan Manusia, Manusia Dengan Dirinya, Manusia Dengan Tuhan, Manusia Dengan Alam)

Sikap, perbuatan atau tindakan adalah beberapa hal yang pasti dilakukan manusia dalam hidupnya. Sungguh sangat tidak mungkin jika seorang manusia hidup tanpa memiliki tindakan atau perbuatan yang dilakukan. Sebagaimana yang diketahui tidak ada satupun manusia dalam kehidupannya setelah proses kelahiran akan tinggal diam tanpa satupun pergerakan dari tubuhnya. Pada sisi lain perbuatan manusia secara nampak memiliki nilai-nilai yang hanya dapat diukur secara abstrak tidak tergambar secara langsung bentuk dari nilai tersebut. Perbuatan manusia yang diukur dari nilai[1] itulah yang menjelaskan seberapa baik dan buruk perbuatan manusia tersebut.

Selanjutnya konsep baik dan buruk dari perbuatan manusia yang disebut etika terkadang tidak memiliki standar secara universal. Hal ini didasari dalam kehidupan manusia terdapat beragam standar etika baik secara kultur maupun etika menurut agama. Oleh karena itu, perlu adanya etika secara universal untuk menjadi standar etis setiap perbuatan manusia. Akan tetapi secara sadar perlu diakui bahwa setiap ajaran agama kadang sangat kontra terhadap ajaran agama lain, hal ini juga berlaku pada kultur-kultur yang ada. Meskipun demikian cita akan adanya etika secara universal mampu diwujudkan jika disadari bahwa setiap agama maupun kultur yang ada memiliki visi yang sama yakni visi kemanusian.

Berbicara mengenai cita akan standar etika yang bersifat universal, tentu tidak akan mengesampingkan peran Islam. Secara objektif, perlu diakui bahwa agama Islam sama sekali tidak bertentangan dengan visi kemanusian sebagai landasan etika universal. Hal ini dapat dibuktikan dari hubungan atau relasi yang sangat etis dari seorang muslim terhadap Tuhan, muslim terhadap orang lain, lingkungan bahkan diri sendiri. Oleh karena itu, untuk membuktikan apakah Islam mampu menjadi bahan standar dari setiap unsur etika universal maka perlu adanya peninjauan lebih lanjut mengenai relasi-relasi seorang muslim terhadap Tuhan, orang lain, lingkungan dan dirinya sendiri.

A. Etika dalam Pandangan Islam

Sebelum membahas lebih lanjut mengenai relasi-relasi diri dengan Tuhan dan lainnya, maka perlu membahas terlebih dahulu mengenai etika dalam pandangan Islam. Hal ini perlu dilakukan untuk mengetahui sejauh mana etika dipahami dalam perspektif Islam beserta perannya dalam membangun kehidupan paripurna dari seorang muslim. 

Etika secara umum diketahui memiliki orientasi pada ranah baik dan buruk. Kenyataannya etika justru hanya diketahui secara teoritis daripada bersifat praktis. Bahkan lebih menarik lagi ialah persolan etika muncul ketika moralitas seseorang atau suatu masyarakat mulai ditinjau kembali secara kritis. Hal ini berarti etika tidak pernah menjadi perhatian selagi belum ada pertanyaan yang muncul terkait mengenai perbuatan seseorang.

Etika dipahami secara etimologi berasal dari kata ethos yang berarti tempat tinggal biasa, padang rumput, kandang, kebiasan, adat, akhlak, perasaan dan cara berpikir. Sementara dalam bentuk jamak ta etha berarti ada kebiasaan. Etika biasa diartikan sebagai ilmu yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan.[2] Istilah lainya yang memiliki konotasi makna dengan etika adalah moral. Kata moral dalam bahasa Indonesia berasal dari kata bahasa Latin mores yang berarti adat kebiasaan. Kata mores ini mempunyai sinonim; mos, moris, manner mores, atau manners, morals. Kata moral berarti akhlak atau kesusilaan yang mengandung makna tata tertib batin atau tata tertib hatinurani yang menjadi pembimbing tingkah laku batin dalam hidup. Kata moral ini dalam bahasa Yunani sama dengan ethos yang menjadi etika.[3]

Secara etimologis, etika adalah ajaran tentang baik buruk, yang diterima umum tentang sikap, perbuatan, kewajiban dan sebagainya. Pada hakikatnya moral menunjuk pada ukuran-ukuran yang telah diterima oleh suatu komunitas, sementara etika umumnya lebih dikaitkan dengan prinsip-prinsip yang dikembangkan di pelbagai wacana etika. Akhir-akhir ini istilah etika mulai digunakan secara bergantian dengan filsafat moral sebab dalam banyak hal, filsafat moral juga mengkaji secara cermat prinsip-prinsip etika.[4]

Etika dalam bahasa Islam lebih dikenal dengan nama Akhlaq yang dalam bahasa Arab berarti khuluq, jamaknya khuluqun, secara etimologi sebagai budi pekerti, perangai, tingkah laku dan tabiat. Jika diperhatikan secara etimologi memiliki makna yang sama dengan etika. Kata akhlak meliputi tingkah laku lahiriah dan batiniah seseorang. Kata akhlak sendiri memiliki kesesuaian dengan kata Khaliq yang berarti pencipta dan khalqun yang berarti kejadian. Perumusan kata akhlak memiliki kesusaian antara Khaliq dengan khalqun dan makhluq.[5]

Dalam tradisi filsafat etika lazim diketahui sebagai suatu teori ilmu pengetahuan yang mendiskusikan mengenai apa yang baik dan buruk berkenaan dengan perilaku manusia. Dengan kata lain, etika merupakan usaha dengan akal budinya untuk menyusun teori mengenai penyelenggaran hidup yang baik. Sebagai cabang dari filsafat, etika bisa dibedakan menjadi dua: objektivisme dan subjektivisme. Objektivisme berpandangan bahwa nilai kebaikan suatu tindakan bersifat objektifk terletak pada substansi tindakan itu sendiri. Paham ini secara tidak langsung sesuai dengan paham Muktazilah yang sangat rasional, sehingga sesuatu disebut baik jika sesuai dengan kehendak universal. Sedangkan subjektivisme, berpandangan bahwa disebut baik manakala sejalan dengan kehendak atau pertimbangan subjek tertentu. Paham ini dalam Islam sejalan dengan Asy’ariah, karena nilai kebaikan seseorang bukan terletak pada objektivitas tapi harus memiliki kesesuaian dengan ketaatan pada kehendak Ilahi.[6]

Etika sebagai cabang dari filsafat tentu bertitik tolak dari akal pikiran yang bersifat rasional, tidak dari agama.[7] Maka dapat dipahami titik perbedaan antara etika dan akhlak, kecuali jika kata “etika” digandeng dengan kata “Islam” maka relevansi antara kedua kata itu sangat jelas, sehingga memiliki makna yang serupa dengan kata “akhlak”. Dalam pandangan Islam etika jika dipandang sebagai salah satu cabang ilmu yang berdiri sendiri berarti sifatnya rasional berdasarkan akal sedangkan etika Islam “akhlak” ialah ilmu tentang baik dan buruk berdasarkan sumber utama ajaran Islam dari al-Qur’an dan Sunnah (Allah dan Rasul-Nya).

B. Relasi Diri

Untuk mengetahui eksistensi Islam sebagai landasan universal dari etika maka perlu adanya upaya penelusuran relasi diri antara diri dengan Tuhan, lingkungan, orang lain dan diri sendiri. Relasi tersebut akan dijabarkan secara sistematis sebagai berikut:

1. Relasi diri dengan Tuhan

Sifat hubungan antara manusia dengan Allah SWT dalam ajaran Islam bersifat timbal-balik, yaitu bahwa manusia melakukan hubungan dengan Tuhan dan Tuhan juga melakukan hubungan dengan manusia. Sebagaimana firman Allah swt dalam Al-Quran surat Adz-Dzariat ayat 56:

Terjemahnya:

Dan tidak aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah kepada ku.

Kutipan ayat sebelumnya menggambarkan hubungan manusia dengan Tuhan dalam ranah Ibadah. Relasi dalam ayat ini menggambarkan adanya perintah dan penghambaan manusia terhadap penciptanya. Lalu bagaimana relasi manusia dengan Tuhan dari perspektif etika? Dalam tulisan Toshihiko Izutsu yang menggambarkan relasi diri dengan Tuhan yang bersifat etik mengenai respon manusia terhadap anugrah Tuhan Yang Maha Pengasih. Dalam hal ini, respon tersebut ditangkap manusia melalui wahyu yang secara jelas tergambar dalam mushaf al-Qur’an dengan cara pemahaman dan perenungan yang jelas hingga muncullah rasa syukur dalam diri manusia.[8]

Lawan daripada syukur adalah kufur (tidak bersyukur). Sebagaimana yang diketahui bahwa tidak bersyukur atau tidak berterima kasih adalah respons manusia terhadap kebaikan yang diperlihatkan orang lain bahkan terhadap Sang Maha Pengasih, Penyayang dan Pengampun. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Q.S al-Adiyat :6 dan al-Zhukruf: 15, sebagai berikut:

Sesungguhnya manusia itu sangat tidak bersyukur kepada Tuhannya[9]

Sesungguhnya manusia itu benar-benar pengingkar yang nyata (terhadap rahmat Allah)[10]

Sebagaimana tergambar dengan jelas pada ayat di atas, maka suatu keniscayaanlah jika seorang manusia telah mengenal Tuhan sebagai pemberi wujud dan kesempurnaan atas segala sesuatu, maka konsekuensinya adalah perwujudan sikap syukur pada diri tiap manusia.[11] Dalam Q.S al-Naml :93, Tuhan menyeru pada kita, bahwa:

Dan katakanlah, segala puji bagi Allah, Dia akan memperlihatkan tanda-tanda kebesaran-Nya. Maka kamu akan mengetahuinya. Dan Tuhanmu tiada lalai dari apa yang kamu kerjakan.[12]

Selain itu, adapun wujud sikap etik terhadap Tuhan sebagai hamba (manusia) yakni sikap cinta. Melalui prinsip kausal, Tuhan sebagai Maha Penyayang tentu menurunkan pada manusia sikap sayang yang terwujud dalam cinta kasih. Tiap-tiap manusia secara fitrah merasakan rasa rindu yang berat terhadap kekuatan dan penggerak alam, kerinduan tersebut muncul dari rasa takut, susah dan sulit yang pasti dialami oleh setiap manusia.[13] Melalui cinta itulah manusia mampu menjalankan perintah Tuhan yang bermacam-macam tanpa harap balasan sebagai wujud dari rasa syukur. Sehingga dapat terlihat sinkronisasi antara Cinta-Ibadah-Syukur tentunya terhadap Tuhan sebagai wujud etik dari relasi diri terhadap-Nya.

2. Relasi diri dengan Lingkungan

Manusia dan Alam adalah saudara dekat dari ke-Cinta-an Sang Khalik terhadap makhluq-Nya. Alam yang diciptakan terlebih dahulu dibanding manusia, sebagai wadah bagi manusia, sudah menjadi sebuah keharusan bagi manusia untuk merawat alam. Telah cukup banyak studi yang membuktikan adanya saling ketergantungan dan keterkaitan (interkoneksi) yang kompleks antar bentuk kehidupan di dunia ini. Sehingga, pengetahuan juga bisa menumbuhkan kesadaran bahwa manusia betul-betul tidak bisa dilepaskan dari ketergantungan dan keterkaitannya dengan yang lain di dunia. Lebih jauh, teori Biologi Evolusioner juga menunjukkan adanya kekerabatan manusia dengan semua makhluk dalam hal ini alam (lingkungan). Oleh karena itu, teori ini dapat menumbuhkan kesadaran baru bagi manusia agar lebih menghormati makhluk lain yang memiliki sejarah asal-usul kosmik yang sama.[14]

Sebenarnya jika disadari, keberadaan alam memiliki koneksi tersendiri dengan relasi diri terhadap Tuhan sebagai wujud rasa Syukur dan Cinta. Sehingga sekali lagi sebuah keharusan bagi manusia untuk merawat alam. Apalagi jika melihat realitas kini, alam sendiri telah tergerus oleh tangan-tangan jahil manusia. Selanjutnya, ketika berbicara tentang alam, kebanyakan beranggapan dan cenderung melihat alam dari aspek fisiknya saja. Sehingga mengabaikan aspek spiritual dan simbolis, sebagaimana para sufi lakukan dengan aspek essensialnya. Dengan memandang alam sebagai objek, nafsu mereka (manusia modern) melalui sains dan teknologi mengeksploitasi alam secara kasar untuk memenuhi tuntutan kebutuhan hidup. Akibatnya, alam telah kehilangan keseimbangan ekologisnya setelah kehilangan besar mereka terhadap sumber daya alam, maka terjadilah banjir, longsor, erosi dan lain-lain. Secara simbolis, hal itu menunjukkan alam telah”marah” terhadap manusia (modern) karena eksploitasi atas dasar nafsu yang berlebihan.[15]

Oleh karena itu, dengan menjadikan alam sebagai objek dan manusia sebagai subjek sudah sangat usang untuk digunakan. Sebagaimana dengan menggunakan teori human centered (antroposentris atau berpusat pada manusia) sudah tidak layak lagi digunakan. Sebaliknya, pendekatan life-centered (berpusat pada kehidupan-biosentris) adalah pendekatan etika lingkungan yang lebih ramah dan memadai sebab alam dan makhluk yang terdapat didalamnya tidak dengan mudah dieskploitasi sebagai sebuah objek bagi manusia.[16]

Lingkungan adalah segala sesuatu yang berada disekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun benda tak bernyawa. Dalam bahasa Arab lingkungan disebut al-Muhit yang berarti mengelilingi. Sementara dalam bahasa Inggris, disebut environment yaitu hal atau kondisi sekeliling yang mempengaruhi eksistensi seseorang atau sesuatu.[17] Allah swt sebagai Tuhanyang Maha Penyayang, tentu menginginkan manusia turut memelihara lingkungan selain sebagai anugrah dariNya[18], hal ini buka sekedar perintah karena ada faktor yang turut memberi pengaruh secara langsung terhadap manusia jika tidak merawatnya. Dalam Q.S Thaha’ 53:54, Allah swt. memberi gambaran tentang alam, dan isyarat untuk merawatnya, sebagai berikut:

Yang telah menjadikan bagimu bumi sebagai hamparan dan yang telah menjadikan bagimu dibumi itu jalan-jalan, dan menurunkan air hujan. Maka kami tumbuhkan dengan air hujan itu berjenis-jenis dari tumbuh-tumbuhan yang bermacam-macam. Makanlah dan gembalakanlah binatang-binatangmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu, terdapat tanda-tanda kekuasan Allah bagi orang yang berakal.[19]

Kata terakhir “berakal” memberi isyarat memahami makna kata “air”, “gembala”, serta “tumbuhkan” dalam kehidupan manusia. sebagaiman yang diketahui bahwa air sebagai sumber kehidupan manusia dan alam di dunia. Sementara “gembala” dan “tumbuhkan” menjadi isyarat atau symbol bagi manusia untuk tidak mengekploitasi alam (lingkungan) secara berlebihan tanpa memikirkan dampak akan hilangnya keseimbangan ekologis pada alam itu sendiri.

3. Relasi diri terhadap Orang Lain.

Orang lain yang dimaksud disini ialah manusia lainnya sebagai individu ataupun kelompok. Pada dasarnya etika terhadap manusia itu mencakup perkataan dan perbuatan[20]. Ketergantungan manusia dengan manusia lain itu adalah sebuah keniscayaan, karena sadar atau tidak manusia tidak akan pernah mampu hidup sendiri tanpa bantuan manusia lain. Sebagaimana tergambar dari proses penciptaan Adam as. yang merasakan kesendirian tanpa manusia lain, sehingga Tuhan dengan Kehendaknya menciptakan Hawa sebagai pendamping dan juga sebagai perwujudan Adam sebagai makhluk sosial. 

Selain itu, manusia diciptakan dari berbagai karakteristik, bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar saling mengenal satu sama lain. Tergambar dalam Q.S al-Hujurat:13,

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetetahui lagi Maha Mengenal.[21]

Pada ayat di atas dikemukakan bahwa setiap manusia harus saling mengenal satu sama lain, sebagai makhluk sosial. Akan tetapi, perlu disadari dalam mewujudkan kehidupan sosial yang tenteram rasanya akan sangat sulit jika dalam berhubungan dengan yang lain perbuatan dan perkataan tidak mampu untuk dijaga. Maka dalam firman Allah yang lain Q.S Hujurat :10-12, mengisyaratkan mengenai menjaga hubungan sebagai makhluk moral.

Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat. Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.[22]

Dalam menjalin hubungan baik sesama manusia, hendaknya sikap hormat-menghormati tidak dilupakan. Mengenai hal ini, Allah sudah memperingatkan dalam surah al-Nisa : 86

Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu.[23]

Sebagai makhluk sosial, manusia dapat saling berinteraksi menjalin hubungan yang baik saling menghormati dengan sesama, berkasih sayang sebagai fitrah diri manusia. Interaksi manusia akan menghasilkan bentuk masyarakat yang luas. Alquran, sebagai kitab suci umat Islam, memberikan petunjuk mengenai ciri-ciri dan kualitas suatu masyarakat yang baik, wwalaupun semua itu memerlukan upaya penafsiran dan pengembangan pemikiran.

Secara khusus Islam juga menekankan pentingnya etika terhadap orang tua. Sehingga menjadi sebuah kewajaran jika Tuhan mengisyaratkan kepada kita dalam keadaan apapun untuk menjaga hubungan dengan kedua orang tua.[24] Sebagaimana dalam Q.S Lukman :14.

Dan kamu perintahkan manusia berbuat baik kepada orang tuanya[25]

4. Relasi Diri dengan Diri Sendiri

Setelah relasi diri terhadap Tuhan, lingkungan dan manusia lain telah terbentuk. Pada dasarnya, kepribadian seseorang dengan sendirinya terbentuk. Selain itu, perlu pula diketahui bahwa manusia punya kewajiban secara moral sebagai wujud dari akhlak individu yang harus dipegang, seperti memelihara kesucian diri baik jasmani maupun rohani.[26] Seperti dalam Q.S al-Taubah :108, sebagai berikut:

Di dalamnya ada beberapa orang yang ingin membersihkan diri, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih.[27]

Kesucian diri seorang manusia tidak hanya dari fisik semata, tetapi perlu pula menjaga kesucian diri dari tuduhan, fitnah dan memelihara kehormatan serta menjaga lidah anggota badan lainnya dari perbuatan tercela[28] Sebagaiman dalam Q.S al-Syam : 9 dan Q.S Qaf: 16, sebagai berikut:

Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu.[29]

Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya dan kami telah dekat kepadanya daripada urat lehernya.[30]

Berdasarkan pemamparan mengenai relasi diri dengan diri sendiri, semakin jelaslah bahwa tidak hanya relasi diluar diri yang dibangun akan tetapi menjadi diri sendiri sesuai dengan tuntunan Allah akan membuat setiap manusia mengenali dirinya sendiri.

KESIMPULAN

Berdasar pada pokok masalah dan sub-sub masalah yang diteliti dalam maka dirumuskan dua kesimpulan sebagai berikut:
  1. Etika dalam pandangan Islam berbeda dengan etika dalam filsafat barat yang menekankan nilai nilai baik dan buruk pada rasionalitas, dalam artian penggunaan akal. Sementara dalam pandangan Islam, etika seharusnya memiliki landasan yang kokoh sebagaiman akhlak yang bersumber dari al-Quran dan Sunnah. Oleh karena itu, maka penggunaan istilah etika Islam lebih tepat dibanding penggunaan etika saja.
  2. Terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan dalam membangun etika Islam, dalam hal ini etika Islam di bentuk melalui relasi diri dengan Tuhan dengan jalan Syukur dan Cinta, relasi diri dengan lingkungan/ alam dengan jalan merawat dan melindungi alam tidak lagi melalui pendekatan human-centered tetapi melalui life-centered. Selanjutnya, relasi diri dengan manusia yang pada intinya ada pada perbuatan dan perkataan yang harus terkontrol utamanya terhadap kedua orang tua. Terakhir, relasi diri dengan diri sendiri dengan menjalankan perintah Allah seraya menyucikan diri dan menjaga diri sehingga dapat atau mampu mengenali jati diri setelah melalui proses pembangunan relasi diri dengan aspek yang lain.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’anul Karim dan Terjemahannya Cet.I; Jakarta: IKAPI, 2009.

Amin, Ahmad. Etika Islam-Ilmu Akhlak Cet.VIII; Jakarta: Bulan Bintang, 1998.

Anwar, Rosihan. Akidah Akhlak Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 2008.

Barsihannoor, Etika Islam Cet. I; Makassar: University Alauddin Press, 2012.

Bartens, K. Etika Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001.

Barbour, Ian. terj. Fransiskus Borgias. Menemukan Tuhan dalam Sains Kontemporer dan Agama, Bandung: Penerbit Mizan, 2005.

Boy, Pradana.Filsafat Islam : Sejarah Aliran dan Tokoh Malang : UMM Press, 2003.

Hasan, Mohammad Tholah.Prospek Islam dalam Menghadapi Tantangan Zaman Cet VI, Jakarta, Lantabora Press, 2005.

Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur’an Cet. I; Yogya: PT. Tiara Wacana Yogya, 1997.

Ya’qub, Hamzah. Etika Islam Cet.IV; Bandung: CV. Diponegoro, 1988.


[1]Orientasi dari nilai etis manusia hanya pada ukuran baik dan buruk perbuatan tersebut. Lihat di Mohammad Tholah Hasan, Prospek Islam dalam Menghadapi Tantangan Zaman¸(Cet VI, Jakarta, Lantabora Press, 2005), h. 25. 

[2]Barsihannoor, Etika Islam (Cet. I; Makassar: University Alauddin Press, 2012), h. 50. 

[3] K.Bartens, Etika (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001), h. 4. 

[4] Pradana Boy ZTF, Filsafat Islam : Sejarah Aliran dan Tokoh (Malang : UMM Press, 2003),h.63. 

[5]Rosihan Anwar, Akidah Akhlak (Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 2008), h.205. 

[6]Barsihannoor, Etika Islam (Cet. I; Makassar: University Alauddin Press, 2012), h. 39-40. 

[7]Hamzah Ya’qub, Etika Islam (Cet.IV; Bandung: CV. Diponegoro, 1988), h. 13. 

[8]Dalam buku tersebut Izutsu dalam memahami relasi diri dengan Tuhan Izutsu menggunakan pendekatan semantic terhadap kata perkata dalam al-Qur’an. Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur’an (Cet. I; Yogya: PT. Tiara Wacana Yogya, 1997),h. 258 

[9]Al-Qur’anul Karim dan Terjemahannya (Cet.I; Jakarta: IKAPI, 2009), h. 599. 

[10]Al-Qur’anul Karim dan Terjemahannya (Cet.I; Jakarta: IKAPI, 2009), h. 490. 

[11]Barsihannoor, Etika Islam (Cet. I; Makassar: University Alauddin Press, 2012), h. 116. 

[12]Al-Qur’anul Karim dan Terjemahannya (Cet.I; Jakarta: IKAPI, 2009), h. 385. 

[13]Ahmad Amin, Etika Islam-Ilmu Akhlak (Cet.VIII; Jakarta: Bulan Bintang, 1998), h. 198. 

[14]Ian Barbour, Menemukan Tuhan dalam Sains Kontemporer dan Agama, terj. Fransiskus Borgias, (Bandung: Penerbit Mizan, 2005), h. 282-283. 

[15]Barsihannoor, Etika Islam (Cet. I; Makassar: University Alauddin Press, 2012), h. 137 

[16]Barsihannoor, Etika Islam (Cet. I; Makassar: University Alauddin Press, 2012), h. 139-141. 

[17]Barsihannoor, Etika Islam (Cet. I; Makassar: University Alauddin Press, 2012), h. 141. 

[18]Rosihan Anwar, Akidah Akhlak (Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 243. 

[19]Al-Qur’anul Karim dan Terjemahannya (Cet.I; Jakarta: IKAPI, 2009), h. 315. 

[20]Barsihannoor, Etika Islam (Cet. I; Makassar: University Alauddin Press, 2012), h. 136. 

[21]Al-Qur’anul Karim dan Terjemahannya (Cet.I; Jakarta: IKAPI, 2009), h. 517. 

[22]Al-Qur’anul Karim dan Terjemahannya (Cet.I; Jakarta: IKAPI, 2009), h. 516-517. 

[23]Al-Qur’anul Karim dan Terjemahannya (Cet.I; Jakarta: IKAPI, 2009), h. 91. 

[24]Barsihannoor, Etika Islam (Cet. I; Makassar: University Alauddin Press, 2012), h. 128. 

[25]Al-Qur’anul Karim dan Terjemahannya (Cet.I; Jakarta: IKAPI, 2009), h. 411. 

[26]Hamzah Ya’qub, Etika Islam (Cet.IV; Bandung: CV. Diponegoro, 1988), h. 138. 

[27]Al-Qur’anul Karim dan Terjemahannya (Cet.I; Jakarta: IKAPI, 2009), h. 203 

[28]Rosihan Anwar, Akidah Akhlak (Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 230. 

[29]Al-Qur’anul Karim dan Terjemahannya (Cet.I; Jakarta: IKAPI, 2009), h. 595. 

[30]Al-Qur’anul Karim dan Terjemahannya (Cet.I; Jakarta: IKAPI, 2009), h. 519.
HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html