Pemikiran mengenai filsafat masuk ke dunia Islam setelah terjadinya interaksi antara kebudayaan Islam dan non Islam, terutama bangsa Yunani. Pada masa daulah Bani Abbasiyah, yaitu pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid tahun 786 M, yang sangat cinta terhadap ilmu pengetahuan sehingga ia sangat giat menterjemahkan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab, buku yang diterjemahkan adalah buku yang mengenai kedokteran, ilmu pengetahuan dan filsafat serta buku-buku filsafat Aristoteles, Plato dan Gaelan.
[1]
Dari usaha yang digeluti oleh khalifah tersebut timbulah minat orang-orang Islam untuk mempelajari bermacam-macam ilmu pengetahuan dan filsafat, sehingga bemunculanlah para cendekiawan dan filosof dikalangan umat Islam, seperti al-Kindi, al- Farabi, Ibn Sina, al-Razi dan Ibn Miskawaih yang mengenai filsafat al-Nafs dan filsafat al-Akhlaq.
Ibn Miskawaih terkenal sebagai seorang filosof muslim sekaligus sebagai seorang cendekiawan muslim. Banyak ilmu yang dikuasai, tetapi ia sangat terkenal setelah ia mengarang buku di bidang akhlaq yang berjudul “Tahhdzibu Akhlaq wa Tahhir al-A’raq”.I
A. Biografi Ibn Miskawaih
Nama lengkapnya adalah Abu Ali Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ya’kub Ibn Miskawaih. Ia lahir di kota Ray (Iran) pada tahun 320 H (932 M) dan wafat di Asfahan pada tanggal, 9 Safar 421 H (16 Februari 1030 M). Ia belajar sejarah kepada Abu Bakar Ahmad ibn Kamil al-Qadhi (350/960) tentang buku Tarikh al-Thabari, dan belajar filsafat kepada Ibn al-Khammar, seorang komentator terkenal mengenai filsafat Aristoteles.
Perihal kemajuannya, sebelum Islam, banyak dipersoalkan oleh pengarang, Jurji Zaidan misalnya ada pendapat bahwa ia adalah Majusi, lalu memeluk Islam.
[2] Sedangkan Yaqut dan pengarang Dairah al-Ma’arif al-Islamiyah kurang setuju dengan pendapat itu. Menurut mereka, neneknyalah yang Majusi, kemudian memeluk Islam.
[3] Artinya Ibn Miskawaih sendiri terlahir dalam keluarga Islam, sebagai terlihat dari nama Bapaknya, Muhammad.
Ia juga diduga beraliran Syi’ah, karena sebagian besar usianya dihabiskan untuk mengabdi kepada pemerintah dinasti Buwaihi. Ketika muda, ia mengabdi pada al-Muhallabi, wazirnya pangeran Buwaihi yang bernama Mu’iz al-Daulah di Baghdad. Setelah wafatnya al-Muhallabi pada tahun 352 H (963 M), dia berupaya dan akhirnya diterima oleh Ibn Al-Amid, wazirnya saudara Mu’iz al-Daulah yang bernama Rukn al-Daulah yang berkedudukan di Ray. Setelah Miskawaih meninggalkan Ray menuju Baghdad dan mengabdi kepada istana Pangeran Buwaiki, ‘Adhud al-daulah. Miskawaih mengabdi kepada pangeran ini sebagai Bendahawan dan juga memegang jabatan-jabatan lain.
B. Etika Pemikiran Ibn Miskawaih
a. Filsafat al Nafs (jiwa).
Adapun jiwa, menurut Ibn Miskawaih adalah jauhar rohani yang kekal, tidak hancur dengan sebab kematian jasad. Jiwa dapat menangkap keberadaan zatnya dan mengetahui tentang ketahuan dan keaktivitasannya. Sebagai argumen, Ibn Miskawaih memajukan bahwa jiwa dapat menangkap bentuk sesuatu yang berlawanan dalam waktu yang bersamaan, seperti warna hitam dan warna putih, sedangkan jasad tidak dapat melakukan yang demikan. Bahkan menurut beliau, kebahagian dan kesengsaraan di akhirat nanti hanya dialami oleh jiwa saja, karena kelezatan bukanlah kelezatan hakiki.
[4]
Menurut ibn Miskawaih keberadaan jiwa dimaksudkan untuk membantah pendapat kaum materialisme yang tidak mengakui adanya ruh bagi manusia. Namun, ruh tidak dapat bermateri sekalipun ia bertempat pada materi, karena materi hanya menerima satu bentuk dalam waktu tertentu. Dengan demikian, jiwa dan materi adalah dua hal yang berbeda, dengan kata lain, jiwa pada dasarnya bukanlah materi. Immaterialitas jiwa itu menjadikan ketidakmatiannya, karena kematian adalah karakter dari materil. Untuk itu, Ibn Miskawaih mengajukan argumentasi :
- Indera, setelah mempersepsi suatu tantangan kuat, selama beberapa waktu, tidak lagi mampu mempersepsi rangsangan yang lebih lemah. Namun demikian, ini berbeda benar dengan aksi mental intuisi/kognisi.
- Bilamana kita merenungkan suatu obyek yang musykil, kita berusaha keras untuk sepenuhnya menutup kedua belah mata kita terhadap obyek-obyek disekitar kita, yang kita anggap sebagai sedemikian banyak halangan bagi aktivitas spiritual. Jika esensi jiwa adalah materi, maka agar aktivitasnya tidak terhambat, jiwa tidak perlu lari dari dunia materi.
- Mempersepsi rangsangan kuat memperlemah dan kadang-kadang merugikan indera. Disis lain, intelek berkembanga menjadi kuat dengan mengetahui ide-ide dan faham-faham umum (general nations).
- Kelemahan fisik yang disebabkan oleh umur yang tua tidak mempengaruhi kekuatan mental.
- Jiwa dapat memahami proposisi-proposisi tertentu yang tidak mempunyai pertalian dengan data inderawi. Indera, misalnya, tidak mampu memahami bahwa dua hal yang bertentangan tidak dapat ada bersamaan.
- Ada suatu kekuatan tertentu pada diri kita yang mengatur organ-organ fisik, membetulkan kesalahan-kesalahan inderawi, dan menyatukan semua pengetahuan. Prinsip penyatuan yang merenung-renungkan materi yang dibawa dihadapannya melalui saluran inderawi, dan menimbang evidensi (bukti) masing-masing indera, inilah yang menentukan karakter keadaan-keadaan tandingan, maka dengan sendirinya jiwa itu harus berada di atas lingkungan materi.[5]
Di dalam bukunya “Tahdzibu al-Akhlaq wa That-hir al-A’raq” Miskawaih menguraikan bahwa jiwa manusia mempunyai tiga kekuatan yang bertingkat-tingkat sebagai berikut :
- Al-Nafs al-Bahimiyah (nafsu kebinatangan) yang buruk.
- Al-Nafs al-Sabu’iyah (nafsu binatang buas) yang sedang.
- Al-Nafs al-Nathiqah (jiwa yang cerdas) yang baik.
Selanjutnya menurut Miskawaih, diantara manusia ada yang baik dari asalnya. Golongan ini tidak akan cenderung berbuat kejahatan. Namun golongan ini adalah minoritas. Sedangkan golongan mayoritas adalah golongan yang “dari sononya” sudah cenderung kepada kejahatan sehingga sulit untuk ditarik untuk cenderung kepada kebaikan.
Sedangkan di antara kedua golongan tersebut ada golongan yang dapat beralih kepada perhatian atau kejahatan. Hal ini tergantung pada pendidikan dan lingkungan hidup.
[6]
Terkait dengan permasalahan jiwa seperti yang diutarakan di atas, jiwa memiliki tiga daya, yaitu daya berpikir, daya keberanian, dan daya keinginan. Dari ketiga daya tersebut lahirlah masing-masing sifat kebajikan, yaitu hikmah, keberanian, dan kesederhanaan. Bila ketiga sifat kebajikan tesebut berjalan serasi, maka akan lahirlah sifat kebajikan ke empat, yakni adil. Adapun lawan dari ke empat sifat utama ialah bodoh, penakut, rakus, dan zalim. Lebih lanjut, ia membahas tujuh jenis, hikmah, yaitu :
- Tajam dalam berpikir.
- Cekatan berpikir
- Jelas dalam pemahaman
- Kapasitas yang cukup
- Teliti melihat perbedaan
- Kuat ingatan dan
- Mampu mengungkapkan
Selanjutnya ada sebelas sifat keberanian, yaitu murah hati, sabar, mulia, teguh, tentram, agung, gagah, keras keinginan, ramah, bersemangat, belas kasih. Sedangkan jenis sifat kesederhanaan ada dua belas, yaitu malu, ramah, keadilan, damai, kendali diri, sabar, relam tenang, saleh, tertib, jujur dan merdeka.
[7]
Dari beberapa uraian tentang jiwa di atas, maka penulis dapat mendarik suatu kesimpulan bahwa, al-Nafs al-Natihiqah (jiwa yang cerdas) jiwa yang baik akan merasakan kenikmatan dan kebahagiaan pada diri seseorang baik di dunia maupun di akhirat, serta akan dapat menularkan kebaikan-kebaikannya terhadap orang lain di dunia ini.. sebaliknya jiwa kebinatangan yang buruk, akan dapat menularkan keburukannya terhadap orang lain di dunia, lebih-lebih akan dapt mencelakakan dirinya di dunia dan di akhirat kelak.
b. Filsafat al-Akhlaq
Menurut Ibn Miskawaih, moral atau akhlaq adalah suatu sikap mental (halun li al-Nafs) yang mengandung daya dorong untuk berbuat tanpa berfikir dan pertimbngan.
[8] Sikap mental ini terbagi dua ; ada yang berasal dari watak dan ada pula yang berasal dari kebiasaan dan latihan. Dengan demikian, sangat penting menegakkan akhlaq yang benar dan sehat. Sebab dengan landasan yang begitu akan melahirkan perbuatan-perbuatan baik tanpa kesulitan.
Akhlaq terpuji sebagai manifestasi dari watak tidak banyak dijumpai. Yang banyak dijumpai dikalangan manusia adalah mereka yang memiliki sifat-sifat kurang terpuji (asyrar) karena watak. Karena itu kebiasaan atau latihan-latihan dan pendidikan dapat membantu seseorang untuk memiliki sifat-sifat terpuji tersebut, sebaliknya juga akan membawa orang pada sifat-sifat tercela.
Ibn Miskawaih menolak pendapat sebagian pemikir Yunani yang mengatakan akhlaq yang berasal dari watak tidak mungkin berubah. Olen Ibn Miskawaih ditegaskan kemungkinan perubahan akhlaq itu terutama melalui pendidikan. Dengan demikian dijumpai ditengah masyarakat ada orang yang memiliki akhlaq yang dekat kepada malaikat dan ada pula yang lebih dekat kepada hewan.
Pemikiran seperti ini sejalan dengan ajaran Islam, Alqur’an dan hadis sendiri menyatakan secara gamblang bahwa kedatangan Nabi Muhammad Saw. adalah untuk menyempurnakan akhlaq manusia. Hal ini terlihat dari salah satu tujuan melakukan ibadah adalah untuk pembentukan watak yang pada gilirannnya akan memperbaiki tingkah laku masyarakat dan pribadi muslim. Bahkan akhlaq sering dijadikan ukuran sebagai keberhasilan seseorang dalam mengamalkan ajaran Islam yang dianutnya. Dalam hal ini, ibn Miskawaih mengartikan kata al-Insan (manusia) berasal dari al-Uns yang berarti “jinak”. Pendapat ini berbeda dengan pendapat pada umumnya yang mengatakan bahwa kata al-Insan berasal dari kata al-nisyan berarti “pelupa”. Memang ajaran-ajaran agama menguatkan perasaan al-Uns tersebut, seperti shalat berjama’ah lebih utama dari shalat yang dikerjakan secara sendirian, puasa sebagai upaya mengendalikan keinginan nafsu, dan demikian juga bentuk-bentuk ibadah lainnya.
[9]
Masalah pokok yang dibicarakan dalam bagian tentang akhlaq adalah kebaikan (al-Khair), kebahagiaan (al-Sa’adah), dan keutamaan (al-Fadhilah). Menurut Ibn Miskawaih, kebaikan adalah suatu keadaan dimana kita sampai kepada batas akhir dan kesempurnaan wujud. Kebaikan adakalanya umum, adakalanya khusus. Kebaikan umum adalah kebaikan bagi seluruh manusia dalam kedudukannya sebagai manusia. Sedangkan kebaikan khusus adalah kebaikan bagi seseorang secara pribadi, dan inilah yang dinamakan kebahagiaan. Dengan demikian, antara kebaikan dengan kebahagiaan dapat dibedakan. Kebaikan mempunyai identitas tertentu yang berlaku umum bagi manusia, sedangkan kebahagiaan berbeda-beda bergantung pada orang-orang yang berusaha memperolehnya.
Pengertian kebahagiaan telah dibicarakan oleh pemikir-pemikir Yunani yang pokoknya terdapat dua versi, yaitu: pandangan pertama yang diwakili oleh Plato, mengatakan bahwa hanya jiwalah yang dapat mengalami kebahagiaan. Karena itu, selama manusia masih hidup atau selama jiwa masih terkait dengan badan, maka selama itu pula tidak akan diperoleh kebahagiaan itu. Sedangkan pandangan kedua yang diwakili oleh Aristoteles mengatakan bahwa kebahagiaan itu dapat dinikmati oleh manusia di dunia, kedatipun jiwanya masih terkait dengan badan. Hanya saja, kebahagiaan itu berbeda menurut masing-masing orang. Seperti orang miskin memandang kebahagiaan itu pada kekayaan, dan orang sakit pada kesehatan dan seterusnya.
Ibn Maskawaih tampil di antara dua pendapat yang tidak selaras itu secara kompromi. Menurutnya, karena pada diri manusia ada dua unsur, yaitu jiwa dan badan, maka kebahagiaan itu meliputi keduanya. Kebahagiaan itu ada dua tingkat. Pertama, ada manusia yang terikat dengan hal-hal yang bersifat benda dan mendapat kebahagiaannya dengannya, namun ia tetap rindu akan kebahagiaan jiwa, lalu berusaha memperolehnya. Kedua, manusia yang melepaskan diri dari keterikatannya kepada benda dan memperoleh kebahagiaan lewat jiwa. Kebahagiaan yang bersifat benda tidak diingkarinya, tetapi dipandangnya sebagai kekuasaan Allah. Kebahagiaan yang bersifat benda menurut Ibn Miskawaih, mengandung kepedihan dan penyesalan, serta menghambat perkembangan jiwanya menuju kehadirat Allah. Kebahagiaan jiwalah yang merupakan kebahagiaan yang paling sempurna, dan mampu mengantar manusia yang memilikinya ke derajat malaikat.
[10]
Tentang keutamaan (al-Fadhilah) Ibn Miskawaih berpendapat bahwa asal semua leutamaan adalah cinta kepada sesama manusia (mahabbah al-Insan li al-Nas kaffah). Tanpa cinta yang demikian, suatu masyarkat tidak mungkin ditegakkan. Manusia tidak akan sampai kepada tingkat kesempurnaannya kecuali dengan memelihara jiwanya serta menunjukkan pengertiannya terhadap sesama jenisnya. Selanjutnya ia berkata bahwa cinta tadi tidak akan tampak bekasnya kecuali jika manusia berada di tengah-tengah masyarakatnya dan saling berintegrasi di dalamnya. Sebab itu, seseorang yang mengucilkan diri dari masyarakat, bukanlah dapat dinilai bahwa ia telah memiliki difat terpuji atau tercela. Penilaian itu baru dapat diberikan hanya kepada seseorang yang telah berkecimpung di tengah masyarakatnya. Jadi, sikap uzlah dari masyarakat dapat dipandang identik dengan sifat zalim dan bakhil. Karena itu, dapat dikatakan pandangan Ibn Miskawaih tentang akhlak adalah akhlak manusia dalam konteks masyarakat.
[11]
Mengingat pentingnya pembinaan akhlak, Ibn Miskawaih memberikan perhatian yang besar terhadap pendidikan anak-anak. Ia menyebutkan bhawa masa kanak-kanak merupakan mata rantai jiwa hewan dengan jiwa manusia berakal. Pada jiwa anak berakhirlah ufuk hewani, dan ufuk manusiawi dimulai. Karena itu, anak-anak harus dididik akhlak mulia dengan menyesuaikan rencana-rencananya dengan urutan daya-daya yang ada pada ank-anak, yaitu daya keinginan, daya marah, daya berpikir. Dengan daya keinginan, anak-anak dididik dalam hal adab makan, minum dan berpakaian, serta lainnya. Lalu sifat berani, kendali diri diterapkan untuk mengarahkan daya marah. Kemudian daya berpikir dilatih dengan menalar, sehingga akal pada akhirnya dapat menguasai segala tingkah laku.
Kesimpulan
Menurut Ibn Miskawaih, al-Nafs (jiwa) adalah jauhar rohani yang kokoh, tidak hancur dengan sebab kematian jasad. Jiwa dapat menangkap keberadaan zatnya dan mengetahui tentang ketahuan dan keaktivitasannya. Kebahagiaan dan kesenangan di akhirat nanti hanya dialami oleh jiwa saja, karena kelezatan jasmani bukanlah kelezatan hakiki.
Jiwa dan materi adalah dua hal yang berbeda. dengan kata lain, jiwa pada dasarnya bukanlah materi. Immaterial jiwa itu menunjukkan ketidakmatiannya, karena kematian adalah karakter dari yang materil.
Akhlak adalah suatu sikap mental yang mengandung daya dorong untuk berbuata tanpa berpikir dan pertimbangan. Akhlak yang terpuji bisa diperoleh seseorang melalui pendidikan.
Implikasi
Ibn Miskawaih mengakui bahwa posisi tengah sifatnya relatif. Maka alat yang menjadi ukuran untuk memperolah sikap tengah ini adalah akal dan ajaran agama. Doktirn jalan tengah ini dapat dipahami sebagai doktrin yang mengandung arti dinamis dan fleksibel. Jadi dengan doktrin jalan tengah manusia tidak akan kehilangan arah dalam kondisi apapun.
DAFTAR PUSTAKA
Badawi, Abdurrahman “Miskawaih” dalam M.M. Syarif, (ed.) A. History of Muslim Philosofhy, Vol I. Wiesboden: Otto Harrossowitz, 1963.
Iqbal, Metafisika Persia; Suatu Sumbangan untuk Sejarah Filsafat Islam, terjemahan Joebrar Ayoeb dari Development of Metaphysics in Persia; A. Contribution to The History of Muslim Philosofhy. Bandung: Mizan, 1990.
Khursyid, Ibrahim Zaky. et. al., Dairah al-Ma’arif al-Islamiyyah, Vol. I. Kairo: al-Sya’ab, t.t.
Musa, Muhammad Yusuf. Filsafat al-Akhlaq fi al-Islam. Kairo: Muassasah al-Khariji, 1963.
Nasution, Harun. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
Nasution, Hasyimsyah. Filsafat Islam. Cet. III; Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.
Sudarsono, Filsafat Islam. Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 1997.
T.J., De Boer.Tarikh al-Falsafah fi al-Islam, Terjemahkan Arab oleh Abd al-Hadi Abu Raidah. Kairo: Lajnah al-Ta’lif wa al-Tarjamah wa al-Nasyr, 1938.
[1] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 11-13.
[2] Muhammad Yusuf Musa, Filsafat al-Akhlaq fi al-Islam (Kairo: Muassasah al-Khariji, 1963), h. 74.
[3] Ibrahim Zaky Khursyid, et. al., Dairah al-Ma’arif al-Islamiyyah, Vol. I (Kairo: al-Sya’ab, t.t.), h. 388.
[4] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Cet. III; Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 62.
[5] Iqbal, Metafisika Persia; Suatu Sumbangan untuk Sejarah Filsafat Islam, terjemahan Joebrar Ayoeb dari Development of Metaphysics in Persia; A. Contribution to The History of Muslim Philosofhy (Bandung: Mizan, 1990), h. 55-56.
[6] Sudarsono, Filsafat Islam (Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 1997), h. 89.
[7] Abdurrahman Badawi, “Miskawaih” dalam M.M. Syarif, (ed.) A. History of Muslim Philosofhy, Vol I (Wiesboden: Otto Harrossowitz, 1963), h. 474.
[8] Muhammad Yusuf Musa, op. cit., h. 81.
[9] De Boer, T.J., Tarikh al-Falsafah fi al-Islam, Terjemahkan Arab oleh Abd al-Hadi Abu Raidah (Kairo: Lajnah al-Ta’lif wa al-Tarjamah wa al-Nasyr, 1938.
[10] Muhammad Yusuf Musa, op. cit., h. 56.
[11] Hasyimsyah, Filosof Muslim., h. 65.