Thursday 24 March 2016

Fungsionalisme Adat dan Budaya Orang Labala

Saya bagikan tulisan ini karena, saya sebagai Orang Labala dari suku Mayeli, baru tahu kalau ternyata di laba juga mengenal Legislatif hehehehehehe ("Youchenky Mayeli")

Fungsionalisme Norma, Adat, Tradisi dan Institusi Orang Labala*

PROLOG

Sebelum membahas “Fungsionalisme Norma, Adat, Tradisi dan Institusi Orang Labala” ada baiknya perlu diketahui pengertian dan tujuan dari fungsionalisme dalam menjelaskan norma, adat, tradisi dan institusi suatu komunitas masyarakat.

Fungsionalisme adalah sebuah sudut pandang luas dalam sosiologi dan antropologi yang berupaya menafsirkan masyarakat sebagai sebuah struktur dengan bagian-bagian yang saling berhubungan. Fungsionalisme menafsirkan masyarakat secara keseluruhan dalam hal fungsi dari elemen-elemen konstituennya; terutama norma, adat, tradisi daninstitusi.

Teori fungsionalisme adalah suatu bangunan teori yang paling besar pengaruhnya dalam ilmu sosial di abad sekarang. Tokoh-tokoh yang pertama kali mencetuskan fungsional yaitu August Comte, Emile Durkheim dan Herbet Spencer.

Dalam arti paling mendasar, Fungsionalisme menekankan "upaya untuk menghubungkan, sebisa mungkin, dengan setiap fitur, adat, atau praktik, dampaknya terhadap berfungsinya suatu sistem yang stabil dan kohesif." Bagi Talcott Parsons, "fungsionalisme” mendeskripsikan suatu tahap tertentu dalam pengembangan metodologis ilmu sosial, bukan sebuah mazhab pemikiran.

Emile Durkheim mengungkapkan bahwa masyarakat adalah sebuah kesatuan dimana di dalamnya terdapat bagian – bagian yang dibedakan. Bagian-bagian dari sistem tersebut mempunyai fungsi masing – masing yang membuat sistem menjadi seimbang. Bagian tersebut saling interdependensi satu sama lain dan fungsional, sehingga jika ada yang tidak berfungsi maka akan merusak keseimbangan sistem.

Setelah mengetahui pengertian dan tujuan fungsionalisme di atas, maka dapat dijabarkan bagaimana fungsionalisme berlaku dalam tatanan Norma, Adat, Tradisi dan Institusi Orang Labala.

Dalam adat dan tradisi orang Labala, Norma dan institusi sangat dipengaruhi oleh kultur keselarasan antara Tuhan, alam dan kehidupan manusia itu sendiri. Dalam tatanan kehidupan social, orang labala sangat mendasari nilai-nilai budaya luhur alam. Maka tak heran dalam pemberian nama suku, gelar kesukuan, dan jabatan dalam organisasi social dinisbatkan dengan kehidupan alam di darat, laut dan udara dimana ketiga unsure ini mewakili sisi kehidupan manusia yang terdiri dari unsur Ape (api) yang diwakili oleh oleh hal-hal yang ada di darat, unsure lera-wulan (langit dan udarah) yang diwakili oleh hal-hal yang ada di angkasa dan wai (air dan laut).

Dari ketiga unsure di atas, maka unsure Lera Wulan (udara dan langit) merupakan unsure terpenting dalam siklus kehidupan orang labala. Orang labala sering mengaitkan unsure Ama-Lera-wulan dengan konsep keyakinan tentang sang pencipta (Tuhan) sedangkan dua unsure lainnya yaitu Ape dan Wai sebagai Ina-Tanah Ekan (ibu pertiwi) tempat tuhan menyemai benih-benih kehidupan. Maka orang Labala mengenal dua istilah sacral yang sangat dijunjung tinggi yaitu Ama (Bapak) dan Ina (Ibu). Kedua kata ini juga merupakan representasi hakikat dari perikehidupan manusia yaitu kehidupan ukhrawi dan duniawi, dan menangkup makna ruhani dan jasmani, juga menjelaskan mana yang baqa (selamanya/kekal) dan mana yang fana (sebentar/sementara).

Kedua kata ini Ama (Bapak) dan Ina (Ibu) di kemudian hari memiliki pengaruh tidak hanya dalam tatanan adat dan tradisi tapi juga dalam tatanan politik pemerintahan dan agama. Dalam tatanan politik pemerintahan, orang labala mengenal istilah “Peten Ama” dan “Peten Ina” dimana “peten ama” merupakan konsep atau gagasan tentang sebuah system konstitusi yang telah disepakati, dan dijalankan oleh Ama Belen atau pejabat public terhadap aspirasi Ribu-ratu (masyarakat). Sedangkan peten ina merupakan amalan atau realisasi dari konsep yang dijalankan oleh sebuah institusi seperti dewan atau pemerintah.

Dalam konteks agama, orang labala mengenal istilah Ama/ime belen (Imam besar) atau pemimpin di mesjid yang berfungsi sebagai pemimpin ritual keagamaan seperti shalat, berdoa dan ritual lain yang menjadi tugas dan kewenangan laki-laki dan ina wae yang berfungsi sebagai makmum yang bertugas memberi dukungan dan mempersiapkan kelengkapan untuk ibadah.

Sedangkan dalam konteks adat, orang labala mengenal istilah Ama kaka/kaka bapayang bertugas sebagai juru bicara dalam forum adat ketika membicarakan warisan/pusaka, dan weli/belis (mahar/maskawin) dari pihak laki-laki dan perempuan yang hendak menikahkan anak-anaknya dan ama kebele/kebelen (kepaala suku/adat). Orang Labala juga mengenal istila ina belen/ kwae belen yang menjalankan fungsi sebagai pihak yang memberi masukan terkait hak dan kewajiban masing-masing pihak yang harus ditunaikan dalam prosesi adat.

Dengan melihat stuktur ini, sebenarnya di labala sudah jauh hari orang sudah mengenal konsep kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan dalam pelaksanaan tugas yang menjadi tanggungjawabnya. Hanya saja orang Labala lebih memaknainya sebatas sebagai pembagian tugas atau peran yang sudah menjadi fitrah sebagai manusia yang di takdirkan sebagai laki-laki atau perempuan tanpa ada pretense bahwa laki-laki lebih berkuasa dari pada perempuan atau sebaliknya. Meski tak bisa dipungkiri, dalam semua perkara fungsionalisme adat dan budaya di labala, peran laki-laki memang lebih dominan namun tidak sertamerta kemudian dijustifikasi bahwa laki-laki lebih superior, tapi lagi-lagi kembali kepada tugas dan fungsi masing-masing yang sudah menjadi fitrah.

Trias Poliica vs Likak Telo Dalam Tradisi Orang Labala

Layaknya dalam struktur pemerintahan sebuah Negara moderen, dari zaman nenek moyang, orang labala sudah mengenal tiga lembaga/ institusi yang masing-masing memiliki peran tersendiri dalam mengatur tata kehidupan masyarakatnya. Kalau dalam system pemerintahan sebuah Negara modern mengenal istilah trias politica (tiga lembaga politik) yang meliputi lembaga Eksekutif (pemerintah/kepala Negara) sebagai pelaksana konstitusi, Judikatif (hakim/jaksa/polisi) sebagai penjaga/penegak konstitusi, dan Legislatif (dewan/majelis) sebagai pembuat/perancang konstitusi, maka orang labala sejak zaman dahulu kala sudah mengenal sistem yang lebih dahulu canggih ini. Orang labala mengenal system ini dengan istilah Likak Telo (tiga mata tungku).

Ketiga lembaga dalam system tatanan social orang labala yang dikenal dengan Likak Telo (tiga mata tungku) ini terdiri dari Kapitan Pulo Pegawe lema (Raja dan bawahannya) yang diwakli oleh keturunan raja dan kapitan dari klan/suku Mayeli, Paa Kae (Empat Dewan adat) yang diwakili oleh empat kepala agama dari klan/ Labala, Lamarongan, lamasoap, Lamalewar, dan Buto kae (Pemutus Sanksi adat) diwakili oleh dari masing-masing semua klan/suku yang ada di labala.
Dalam konteks agama, orang labala memiliki pembagian tugas dan kewenangan dalam hal yang berkaitan dengan ritual keagamaan. Adapun pembagian kewenangan dalam bidang agama meliputi; sebagai Imam mesjid, pembaca doa dalam ritual kemaatian, pernikahan, khitanan maulid nabi, juga imam hari raya besar menjadi tugas Klan/suku mayeli. Sebagai Khatib pada perayaan hari besar agama islam seperti hari jumat, hari raya idul fitri dan idul adha menjadi tugas dari klan/suku labala dan Lamasoap. Menjadi Bilal di mesjid dan hari raya besar merupakan tugas dari suku Lamalewar. Ketiga fungsi keagamaan ini kemudian diselaraskan dengan nilai-nilai fundamental dalam agama islam yang menjadi keyakinan orang labala yaitu, Iman, Islam, dan Ihsan.


Sementara dalam konteks adat dan tradisi local, orang Labala mengenal tiga fungsiLikak Telo yang masing-masing menjalankan peran dalam tata laksana adat yang diwakili oleh tiga suku besar yang memiliki uma-lango Koko-bale (rumah adat besar) sebagai tempat pelaksanaan upacara dan ritual adat. Fungsi pertama dijalankan oleh komunitas Taran Wanan/Tere Wene (Tanduk Kanan) yang di kepalai oleh kepala klan/suku Labala dan membawahi beberapa klan/suku kecil di bawahnya dengan menjalankan fungsinya sebagai Lewo tanah alap (tuan tanah) yang mengurus duli-pali (tanah pusaka), wai mata (sumber air), ewe nawu (ternak). Fungsi yang kedua dijalankan oleh komunitas taran nekin / Tare heke (tanduk kiri) yang di kepalai oleh klan/suku Mayeli dan membawahi beberapa klan/suku kecil di bawahnya dengan menjalankan fungsi sebagai kapitan pulo pegawe lema (pemerintahan) yang mengurus maslahat ribu-ratu (Masyarakat banyak). Fungsi yang ketiga dijalankan oleh komunitasAta bereket (panglima perang) yang menjalankan fungsi sebagai pengatur siasat perang dan damai dengan musuh rae mare (di darat) dan lau lewa (di laut).

Dari semua tatanan kehidupan orang labala sebagai fungsionalisme social budaya yang meliputi Norma, Adat, Tradisi dan Institusi Orang Labala, masing-masing klan/suku menjalankan fungsinya dengan harmonis. Bila struktur ini berjalan timpang, maka orang labala memiliki keyakinan, akan ada nalan/nale (dosa) yang hanya bisa diampuni bila yang melakukan pelanggaran terlebih dahilu menerima konsekuensi berupa sanksi menjalankan ritual doko nele (pertobatan) dengan melakukan ritual-ritual seperti, tula ree atau pau oma untuk kembali menjalin hubungan silaturahmi mistis dengan kekuatan-kekuatan yang diyakini memiliki daya magis.

Hingga kini, fungsionalisme adat dan budaya oleh orang labala masih dijalankan dengan itikat (niat baik) untuk menjaga keselarasan hidup dalam prinsip likak telo (tiga mata tungku) sehingga hubungan baik dengan Ama lera wulan (udara/langit) sebagai representasi unsure keilahian/ketuhanan, unsure ina tanah ekan (sesame manusia dan alam sekitar) tetap terjaga, terpelihara dan pada gilirannya akan diwariskan kepada generasi penerus.

Meski semakin kuatnya pengaruh ajaran dan keyakinan agama islam terhadap orang labala, namun itu tak membuat mereka serta merta kemudian meninggalkan systemLikak Telo (tiga mata tungku) yang merupakan warisan berhargaa luhur para leluhur. Warisan ini bagi orang labala dianggap memiliki keunggulan tersendiri dalam mengatur tata kehidupan mereka yang tidak dimiliki oleh system apapun dan dari manapun di luar system adat yang dimiliki oleh orang labala sendiri. Dalam konteks fungsionalisme adat dan budaya, orang labala memang memiliki sisi fanatisme tersendiri karena system ini dianggap paling ideal sebagai katalisator (membendung) pengaruh luar yang merusak dan menjaga persatuan dan kebersamaan orang labala dari kemungkinan perpecahan kelompok dan golongan. Selain itu system Likak Telo ini hingga kini masih dianggap paling cocok dengan karakter atau tabiat orang labala yang cenderung susah diatur karena system lain dianggap tidak cukup dan cakap untuk mewakili aspirasi orang labala yang majemuk yang terdiri dari berbagai macam klan/suku.

Sebagai tambahan informasi, di labala ada sekitar 27 ragam klan/suku yang masing-masing dibagi ke dalaam tiga komunitas besar yakni komunitas Taran Wanan,Komunitas Taran Nekin, dan komunitas Ata Bereket.
  • Komunitas Taran Wanan yang memiliki rumah adat senera terdiri dari:
  1. Klan/suku Labala yang meliputi; Labala Resiona, Labala Kreoiona, Labala Enga Duaona, Labala Enga Daiona, Labala Rumaona, Labala Keleppa Woho.
  2. Klan /suku Lamasoak, Lamalerek, Lewokro, Duamudaj, Lebao, Bakiona, Lewohajon, Keloboona, Kahawolor.
  • Komunitas Taran Nekin yang memiliki rumah adat di bale adat terdiri dari:
  1. Klan/ suku Mayeli Atulolon, Mayeli Atulangun, Lamarongan Retapukan, Lamarongan Tobipukan, Lamabelawa, Teroona, Kelepak, Lamabain, Leragere.
  • Komunitas Ata Bereket yang memiliki rumah adat di koko lamalewa terdiri dari:
  1. Klan/suku Lamalewar, Laweona, Lamaleak.
Dari tiga komunitas besar di atas, masing masing klan/suku memiliki rumah adat dan kepala suku sendiri-sendiri dan akan berkumpul di rumah adat masing-masing bila ada musim upacara adat seperti ritual Tuno wata rekke (Bakar jagung makan) ketika musim panen tiba. Dan bila Kebelen (kepala klan/suku) di komunitasnya mengadakan ritual maakan jagung di rumah adat besar di Senera, atau Bale Adat, atau, di Koko Lamalewa,maka masing-masing klan/ suku dalam komunitas itu akan bahu membahu melakukan tradisi gelekat suku lama (mengabdi di suku besar) untuk bersama menjalankan ritual tahunan itu. Dalam prosesi makan jagung kepala Kebelen (klan/suku) dalam komunitas tersebut, masing masing klan/suku dalam komunitas tersebut menjalankan fungsionalisasi adat sesuai dengan tupoksinya masing-masing.

Sebagaimana biasanya, untuk ritual makan jagung di rumah adat ini dimulai dari masing-masing klan/suku kecil yang ada dalam komunitas tersebut, setelah itu baru giliran Kebele dalam komunitas itu mengadakan ritual makan jagung yang dihadiri semua klan/suku yang ada dalam komunitas.

Di Labala, ritual makan jagung yang paling terakhir dilakukan setiap tahun sekaligus menjadi penutup pesta tahunan tersebut adalah Kebele dari komunitas Taran Wanan dari klan/suku Labala sebagai Lewotanah Alap (Tuan Tanah). Karena sebagai upacara adat puncak, maka pelaksanaannya dilakukan lebih rumit dengan tambahan beberapa ritual sebelum acara makan jagung, yaitu ledu liwo (ritual menangkap ikan) di pantai Tanjung Leworaja, dan Gute tapo-muko gere wua (mengambil buah kelapa, pisang dan pinang) mata air di Lewohajon(**)
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
*Tulisan di atas penulis sajikan hanya secara garis besar (umum) dan mungkin saja terjadi kekeliruan di sana-sini. Untuk lebih rinci mengenai fungionalisme tata organisasi social budaya orang Labala, silahkan masing-masing yang berkepentingan melakukan kajian/riset yang lebih mendalam secara langsung.

Oleh Hamba Moehammad

SUMBER

0 komentar:

HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html