Tuesday 1 March 2016

Etika Islam (Manusia Dengan Manusia, Manusia Dengan Dirinya, Manusia Dengan Tuhan, Manusia Dengan Alam)

Sikap, perbuatan atau tindakan adalah beberapa hal yang pasti dilakukan manusia dalam hidupnya. Sungguh sangat tidak mungkin jika seorang manusia hidup tanpa memiliki tindakan atau perbuatan yang dilakukan. Sebagaimana yang diketahui tidak ada satupun manusia dalam kehidupannya setelah proses kelahiran akan tinggal diam tanpa satupun pergerakan dari tubuhnya. Pada sisi lain perbuatan manusia secara nampak memiliki nilai-nilai yang hanya dapat diukur secara abstrak tidak tergambar secara langsung bentuk dari nilai tersebut. Perbuatan manusia yang diukur dari nilai[1] itulah yang menjelaskan seberapa baik dan buruk perbuatan manusia tersebut.

Selanjutnya konsep baik dan buruk dari perbuatan manusia yang disebut etika terkadang tidak memiliki standar secara universal. Hal ini didasari dalam kehidupan manusia terdapat beragam standar etika baik secara kultur maupun etika menurut agama. Oleh karena itu, perlu adanya etika secara universal untuk menjadi standar etis setiap perbuatan manusia. Akan tetapi secara sadar perlu diakui bahwa setiap ajaran agama kadang sangat kontra terhadap ajaran agama lain, hal ini juga berlaku pada kultur-kultur yang ada. Meskipun demikian cita akan adanya etika secara universal mampu diwujudkan jika disadari bahwa setiap agama maupun kultur yang ada memiliki visi yang sama yakni visi kemanusian.

Berbicara mengenai cita akan standar etika yang bersifat universal, tentu tidak akan mengesampingkan peran Islam. Secara objektif, perlu diakui bahwa agama Islam sama sekali tidak bertentangan dengan visi kemanusian sebagai landasan etika universal. Hal ini dapat dibuktikan dari hubungan atau relasi yang sangat etis dari seorang muslim terhadap Tuhan, muslim terhadap orang lain, lingkungan bahkan diri sendiri. Oleh karena itu, untuk membuktikan apakah Islam mampu menjadi bahan standar dari setiap unsur etika universal maka perlu adanya peninjauan lebih lanjut mengenai relasi-relasi seorang muslim terhadap Tuhan, orang lain, lingkungan dan dirinya sendiri.

A. Etika dalam Pandangan Islam

Sebelum membahas lebih lanjut mengenai relasi-relasi diri dengan Tuhan dan lainnya, maka perlu membahas terlebih dahulu mengenai etika dalam pandangan Islam. Hal ini perlu dilakukan untuk mengetahui sejauh mana etika dipahami dalam perspektif Islam beserta perannya dalam membangun kehidupan paripurna dari seorang muslim. 

Etika secara umum diketahui memiliki orientasi pada ranah baik dan buruk. Kenyataannya etika justru hanya diketahui secara teoritis daripada bersifat praktis. Bahkan lebih menarik lagi ialah persolan etika muncul ketika moralitas seseorang atau suatu masyarakat mulai ditinjau kembali secara kritis. Hal ini berarti etika tidak pernah menjadi perhatian selagi belum ada pertanyaan yang muncul terkait mengenai perbuatan seseorang.

Etika dipahami secara etimologi berasal dari kata ethos yang berarti tempat tinggal biasa, padang rumput, kandang, kebiasan, adat, akhlak, perasaan dan cara berpikir. Sementara dalam bentuk jamak ta etha berarti ada kebiasaan. Etika biasa diartikan sebagai ilmu yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan.[2] Istilah lainya yang memiliki konotasi makna dengan etika adalah moral. Kata moral dalam bahasa Indonesia berasal dari kata bahasa Latin mores yang berarti adat kebiasaan. Kata mores ini mempunyai sinonim; mos, moris, manner mores, atau manners, morals. Kata moral berarti akhlak atau kesusilaan yang mengandung makna tata tertib batin atau tata tertib hatinurani yang menjadi pembimbing tingkah laku batin dalam hidup. Kata moral ini dalam bahasa Yunani sama dengan ethos yang menjadi etika.[3]

Secara etimologis, etika adalah ajaran tentang baik buruk, yang diterima umum tentang sikap, perbuatan, kewajiban dan sebagainya. Pada hakikatnya moral menunjuk pada ukuran-ukuran yang telah diterima oleh suatu komunitas, sementara etika umumnya lebih dikaitkan dengan prinsip-prinsip yang dikembangkan di pelbagai wacana etika. Akhir-akhir ini istilah etika mulai digunakan secara bergantian dengan filsafat moral sebab dalam banyak hal, filsafat moral juga mengkaji secara cermat prinsip-prinsip etika.[4]

Etika dalam bahasa Islam lebih dikenal dengan nama Akhlaq yang dalam bahasa Arab berarti khuluq, jamaknya khuluqun, secara etimologi sebagai budi pekerti, perangai, tingkah laku dan tabiat. Jika diperhatikan secara etimologi memiliki makna yang sama dengan etika. Kata akhlak meliputi tingkah laku lahiriah dan batiniah seseorang. Kata akhlak sendiri memiliki kesesuaian dengan kata Khaliq yang berarti pencipta dan khalqun yang berarti kejadian. Perumusan kata akhlak memiliki kesusaian antara Khaliq dengan khalqun dan makhluq.[5]

Dalam tradisi filsafat etika lazim diketahui sebagai suatu teori ilmu pengetahuan yang mendiskusikan mengenai apa yang baik dan buruk berkenaan dengan perilaku manusia. Dengan kata lain, etika merupakan usaha dengan akal budinya untuk menyusun teori mengenai penyelenggaran hidup yang baik. Sebagai cabang dari filsafat, etika bisa dibedakan menjadi dua: objektivisme dan subjektivisme. Objektivisme berpandangan bahwa nilai kebaikan suatu tindakan bersifat objektifk terletak pada substansi tindakan itu sendiri. Paham ini secara tidak langsung sesuai dengan paham Muktazilah yang sangat rasional, sehingga sesuatu disebut baik jika sesuai dengan kehendak universal. Sedangkan subjektivisme, berpandangan bahwa disebut baik manakala sejalan dengan kehendak atau pertimbangan subjek tertentu. Paham ini dalam Islam sejalan dengan Asy’ariah, karena nilai kebaikan seseorang bukan terletak pada objektivitas tapi harus memiliki kesesuaian dengan ketaatan pada kehendak Ilahi.[6]

Etika sebagai cabang dari filsafat tentu bertitik tolak dari akal pikiran yang bersifat rasional, tidak dari agama.[7] Maka dapat dipahami titik perbedaan antara etika dan akhlak, kecuali jika kata “etika” digandeng dengan kata “Islam” maka relevansi antara kedua kata itu sangat jelas, sehingga memiliki makna yang serupa dengan kata “akhlak”. Dalam pandangan Islam etika jika dipandang sebagai salah satu cabang ilmu yang berdiri sendiri berarti sifatnya rasional berdasarkan akal sedangkan etika Islam “akhlak” ialah ilmu tentang baik dan buruk berdasarkan sumber utama ajaran Islam dari al-Qur’an dan Sunnah (Allah dan Rasul-Nya).

B. Relasi Diri

Untuk mengetahui eksistensi Islam sebagai landasan universal dari etika maka perlu adanya upaya penelusuran relasi diri antara diri dengan Tuhan, lingkungan, orang lain dan diri sendiri. Relasi tersebut akan dijabarkan secara sistematis sebagai berikut:

1. Relasi diri dengan Tuhan

Sifat hubungan antara manusia dengan Allah SWT dalam ajaran Islam bersifat timbal-balik, yaitu bahwa manusia melakukan hubungan dengan Tuhan dan Tuhan juga melakukan hubungan dengan manusia. Sebagaimana firman Allah swt dalam Al-Quran surat Adz-Dzariat ayat 56:

Terjemahnya:

Dan tidak aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah kepada ku.

Kutipan ayat sebelumnya menggambarkan hubungan manusia dengan Tuhan dalam ranah Ibadah. Relasi dalam ayat ini menggambarkan adanya perintah dan penghambaan manusia terhadap penciptanya. Lalu bagaimana relasi manusia dengan Tuhan dari perspektif etika? Dalam tulisan Toshihiko Izutsu yang menggambarkan relasi diri dengan Tuhan yang bersifat etik mengenai respon manusia terhadap anugrah Tuhan Yang Maha Pengasih. Dalam hal ini, respon tersebut ditangkap manusia melalui wahyu yang secara jelas tergambar dalam mushaf al-Qur’an dengan cara pemahaman dan perenungan yang jelas hingga muncullah rasa syukur dalam diri manusia.[8]

Lawan daripada syukur adalah kufur (tidak bersyukur). Sebagaimana yang diketahui bahwa tidak bersyukur atau tidak berterima kasih adalah respons manusia terhadap kebaikan yang diperlihatkan orang lain bahkan terhadap Sang Maha Pengasih, Penyayang dan Pengampun. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Q.S al-Adiyat :6 dan al-Zhukruf: 15, sebagai berikut:

Sesungguhnya manusia itu sangat tidak bersyukur kepada Tuhannya[9]

Sesungguhnya manusia itu benar-benar pengingkar yang nyata (terhadap rahmat Allah)[10]

Sebagaimana tergambar dengan jelas pada ayat di atas, maka suatu keniscayaanlah jika seorang manusia telah mengenal Tuhan sebagai pemberi wujud dan kesempurnaan atas segala sesuatu, maka konsekuensinya adalah perwujudan sikap syukur pada diri tiap manusia.[11] Dalam Q.S al-Naml :93, Tuhan menyeru pada kita, bahwa:

Dan katakanlah, segala puji bagi Allah, Dia akan memperlihatkan tanda-tanda kebesaran-Nya. Maka kamu akan mengetahuinya. Dan Tuhanmu tiada lalai dari apa yang kamu kerjakan.[12]

Selain itu, adapun wujud sikap etik terhadap Tuhan sebagai hamba (manusia) yakni sikap cinta. Melalui prinsip kausal, Tuhan sebagai Maha Penyayang tentu menurunkan pada manusia sikap sayang yang terwujud dalam cinta kasih. Tiap-tiap manusia secara fitrah merasakan rasa rindu yang berat terhadap kekuatan dan penggerak alam, kerinduan tersebut muncul dari rasa takut, susah dan sulit yang pasti dialami oleh setiap manusia.[13] Melalui cinta itulah manusia mampu menjalankan perintah Tuhan yang bermacam-macam tanpa harap balasan sebagai wujud dari rasa syukur. Sehingga dapat terlihat sinkronisasi antara Cinta-Ibadah-Syukur tentunya terhadap Tuhan sebagai wujud etik dari relasi diri terhadap-Nya.

2. Relasi diri dengan Lingkungan

Manusia dan Alam adalah saudara dekat dari ke-Cinta-an Sang Khalik terhadap makhluq-Nya. Alam yang diciptakan terlebih dahulu dibanding manusia, sebagai wadah bagi manusia, sudah menjadi sebuah keharusan bagi manusia untuk merawat alam. Telah cukup banyak studi yang membuktikan adanya saling ketergantungan dan keterkaitan (interkoneksi) yang kompleks antar bentuk kehidupan di dunia ini. Sehingga, pengetahuan juga bisa menumbuhkan kesadaran bahwa manusia betul-betul tidak bisa dilepaskan dari ketergantungan dan keterkaitannya dengan yang lain di dunia. Lebih jauh, teori Biologi Evolusioner juga menunjukkan adanya kekerabatan manusia dengan semua makhluk dalam hal ini alam (lingkungan). Oleh karena itu, teori ini dapat menumbuhkan kesadaran baru bagi manusia agar lebih menghormati makhluk lain yang memiliki sejarah asal-usul kosmik yang sama.[14]

Sebenarnya jika disadari, keberadaan alam memiliki koneksi tersendiri dengan relasi diri terhadap Tuhan sebagai wujud rasa Syukur dan Cinta. Sehingga sekali lagi sebuah keharusan bagi manusia untuk merawat alam. Apalagi jika melihat realitas kini, alam sendiri telah tergerus oleh tangan-tangan jahil manusia. Selanjutnya, ketika berbicara tentang alam, kebanyakan beranggapan dan cenderung melihat alam dari aspek fisiknya saja. Sehingga mengabaikan aspek spiritual dan simbolis, sebagaimana para sufi lakukan dengan aspek essensialnya. Dengan memandang alam sebagai objek, nafsu mereka (manusia modern) melalui sains dan teknologi mengeksploitasi alam secara kasar untuk memenuhi tuntutan kebutuhan hidup. Akibatnya, alam telah kehilangan keseimbangan ekologisnya setelah kehilangan besar mereka terhadap sumber daya alam, maka terjadilah banjir, longsor, erosi dan lain-lain. Secara simbolis, hal itu menunjukkan alam telah”marah” terhadap manusia (modern) karena eksploitasi atas dasar nafsu yang berlebihan.[15]

Oleh karena itu, dengan menjadikan alam sebagai objek dan manusia sebagai subjek sudah sangat usang untuk digunakan. Sebagaimana dengan menggunakan teori human centered (antroposentris atau berpusat pada manusia) sudah tidak layak lagi digunakan. Sebaliknya, pendekatan life-centered (berpusat pada kehidupan-biosentris) adalah pendekatan etika lingkungan yang lebih ramah dan memadai sebab alam dan makhluk yang terdapat didalamnya tidak dengan mudah dieskploitasi sebagai sebuah objek bagi manusia.[16]

Lingkungan adalah segala sesuatu yang berada disekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun benda tak bernyawa. Dalam bahasa Arab lingkungan disebut al-Muhit yang berarti mengelilingi. Sementara dalam bahasa Inggris, disebut environment yaitu hal atau kondisi sekeliling yang mempengaruhi eksistensi seseorang atau sesuatu.[17] Allah swt sebagai Tuhanyang Maha Penyayang, tentu menginginkan manusia turut memelihara lingkungan selain sebagai anugrah dariNya[18], hal ini buka sekedar perintah karena ada faktor yang turut memberi pengaruh secara langsung terhadap manusia jika tidak merawatnya. Dalam Q.S Thaha’ 53:54, Allah swt. memberi gambaran tentang alam, dan isyarat untuk merawatnya, sebagai berikut:

Yang telah menjadikan bagimu bumi sebagai hamparan dan yang telah menjadikan bagimu dibumi itu jalan-jalan, dan menurunkan air hujan. Maka kami tumbuhkan dengan air hujan itu berjenis-jenis dari tumbuh-tumbuhan yang bermacam-macam. Makanlah dan gembalakanlah binatang-binatangmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu, terdapat tanda-tanda kekuasan Allah bagi orang yang berakal.[19]

Kata terakhir “berakal” memberi isyarat memahami makna kata “air”, “gembala”, serta “tumbuhkan” dalam kehidupan manusia. sebagaiman yang diketahui bahwa air sebagai sumber kehidupan manusia dan alam di dunia. Sementara “gembala” dan “tumbuhkan” menjadi isyarat atau symbol bagi manusia untuk tidak mengekploitasi alam (lingkungan) secara berlebihan tanpa memikirkan dampak akan hilangnya keseimbangan ekologis pada alam itu sendiri.

3. Relasi diri terhadap Orang Lain.

Orang lain yang dimaksud disini ialah manusia lainnya sebagai individu ataupun kelompok. Pada dasarnya etika terhadap manusia itu mencakup perkataan dan perbuatan[20]. Ketergantungan manusia dengan manusia lain itu adalah sebuah keniscayaan, karena sadar atau tidak manusia tidak akan pernah mampu hidup sendiri tanpa bantuan manusia lain. Sebagaimana tergambar dari proses penciptaan Adam as. yang merasakan kesendirian tanpa manusia lain, sehingga Tuhan dengan Kehendaknya menciptakan Hawa sebagai pendamping dan juga sebagai perwujudan Adam sebagai makhluk sosial. 

Selain itu, manusia diciptakan dari berbagai karakteristik, bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar saling mengenal satu sama lain. Tergambar dalam Q.S al-Hujurat:13,

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetetahui lagi Maha Mengenal.[21]

Pada ayat di atas dikemukakan bahwa setiap manusia harus saling mengenal satu sama lain, sebagai makhluk sosial. Akan tetapi, perlu disadari dalam mewujudkan kehidupan sosial yang tenteram rasanya akan sangat sulit jika dalam berhubungan dengan yang lain perbuatan dan perkataan tidak mampu untuk dijaga. Maka dalam firman Allah yang lain Q.S Hujurat :10-12, mengisyaratkan mengenai menjaga hubungan sebagai makhluk moral.

Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat. Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.[22]

Dalam menjalin hubungan baik sesama manusia, hendaknya sikap hormat-menghormati tidak dilupakan. Mengenai hal ini, Allah sudah memperingatkan dalam surah al-Nisa : 86

Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu.[23]

Sebagai makhluk sosial, manusia dapat saling berinteraksi menjalin hubungan yang baik saling menghormati dengan sesama, berkasih sayang sebagai fitrah diri manusia. Interaksi manusia akan menghasilkan bentuk masyarakat yang luas. Alquran, sebagai kitab suci umat Islam, memberikan petunjuk mengenai ciri-ciri dan kualitas suatu masyarakat yang baik, wwalaupun semua itu memerlukan upaya penafsiran dan pengembangan pemikiran.

Secara khusus Islam juga menekankan pentingnya etika terhadap orang tua. Sehingga menjadi sebuah kewajaran jika Tuhan mengisyaratkan kepada kita dalam keadaan apapun untuk menjaga hubungan dengan kedua orang tua.[24] Sebagaimana dalam Q.S Lukman :14.

Dan kamu perintahkan manusia berbuat baik kepada orang tuanya[25]

4. Relasi Diri dengan Diri Sendiri

Setelah relasi diri terhadap Tuhan, lingkungan dan manusia lain telah terbentuk. Pada dasarnya, kepribadian seseorang dengan sendirinya terbentuk. Selain itu, perlu pula diketahui bahwa manusia punya kewajiban secara moral sebagai wujud dari akhlak individu yang harus dipegang, seperti memelihara kesucian diri baik jasmani maupun rohani.[26] Seperti dalam Q.S al-Taubah :108, sebagai berikut:

Di dalamnya ada beberapa orang yang ingin membersihkan diri, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih.[27]

Kesucian diri seorang manusia tidak hanya dari fisik semata, tetapi perlu pula menjaga kesucian diri dari tuduhan, fitnah dan memelihara kehormatan serta menjaga lidah anggota badan lainnya dari perbuatan tercela[28] Sebagaiman dalam Q.S al-Syam : 9 dan Q.S Qaf: 16, sebagai berikut:

Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu.[29]

Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya dan kami telah dekat kepadanya daripada urat lehernya.[30]

Berdasarkan pemamparan mengenai relasi diri dengan diri sendiri, semakin jelaslah bahwa tidak hanya relasi diluar diri yang dibangun akan tetapi menjadi diri sendiri sesuai dengan tuntunan Allah akan membuat setiap manusia mengenali dirinya sendiri.

KESIMPULAN

Berdasar pada pokok masalah dan sub-sub masalah yang diteliti dalam maka dirumuskan dua kesimpulan sebagai berikut:
  1. Etika dalam pandangan Islam berbeda dengan etika dalam filsafat barat yang menekankan nilai nilai baik dan buruk pada rasionalitas, dalam artian penggunaan akal. Sementara dalam pandangan Islam, etika seharusnya memiliki landasan yang kokoh sebagaiman akhlak yang bersumber dari al-Quran dan Sunnah. Oleh karena itu, maka penggunaan istilah etika Islam lebih tepat dibanding penggunaan etika saja.
  2. Terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan dalam membangun etika Islam, dalam hal ini etika Islam di bentuk melalui relasi diri dengan Tuhan dengan jalan Syukur dan Cinta, relasi diri dengan lingkungan/ alam dengan jalan merawat dan melindungi alam tidak lagi melalui pendekatan human-centered tetapi melalui life-centered. Selanjutnya, relasi diri dengan manusia yang pada intinya ada pada perbuatan dan perkataan yang harus terkontrol utamanya terhadap kedua orang tua. Terakhir, relasi diri dengan diri sendiri dengan menjalankan perintah Allah seraya menyucikan diri dan menjaga diri sehingga dapat atau mampu mengenali jati diri setelah melalui proses pembangunan relasi diri dengan aspek yang lain.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’anul Karim dan Terjemahannya Cet.I; Jakarta: IKAPI, 2009.

Amin, Ahmad. Etika Islam-Ilmu Akhlak Cet.VIII; Jakarta: Bulan Bintang, 1998.

Anwar, Rosihan. Akidah Akhlak Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 2008.

Barsihannoor, Etika Islam Cet. I; Makassar: University Alauddin Press, 2012.

Bartens, K. Etika Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001.

Barbour, Ian. terj. Fransiskus Borgias. Menemukan Tuhan dalam Sains Kontemporer dan Agama, Bandung: Penerbit Mizan, 2005.

Boy, Pradana.Filsafat Islam : Sejarah Aliran dan Tokoh Malang : UMM Press, 2003.

Hasan, Mohammad Tholah.Prospek Islam dalam Menghadapi Tantangan Zaman Cet VI, Jakarta, Lantabora Press, 2005.

Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur’an Cet. I; Yogya: PT. Tiara Wacana Yogya, 1997.

Ya’qub, Hamzah. Etika Islam Cet.IV; Bandung: CV. Diponegoro, 1988.


[1]Orientasi dari nilai etis manusia hanya pada ukuran baik dan buruk perbuatan tersebut. Lihat di Mohammad Tholah Hasan, Prospek Islam dalam Menghadapi Tantangan Zaman¸(Cet VI, Jakarta, Lantabora Press, 2005), h. 25. 

[2]Barsihannoor, Etika Islam (Cet. I; Makassar: University Alauddin Press, 2012), h. 50. 

[3] K.Bartens, Etika (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001), h. 4. 

[4] Pradana Boy ZTF, Filsafat Islam : Sejarah Aliran dan Tokoh (Malang : UMM Press, 2003),h.63. 

[5]Rosihan Anwar, Akidah Akhlak (Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 2008), h.205. 

[6]Barsihannoor, Etika Islam (Cet. I; Makassar: University Alauddin Press, 2012), h. 39-40. 

[7]Hamzah Ya’qub, Etika Islam (Cet.IV; Bandung: CV. Diponegoro, 1988), h. 13. 

[8]Dalam buku tersebut Izutsu dalam memahami relasi diri dengan Tuhan Izutsu menggunakan pendekatan semantic terhadap kata perkata dalam al-Qur’an. Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur’an (Cet. I; Yogya: PT. Tiara Wacana Yogya, 1997),h. 258 

[9]Al-Qur’anul Karim dan Terjemahannya (Cet.I; Jakarta: IKAPI, 2009), h. 599. 

[10]Al-Qur’anul Karim dan Terjemahannya (Cet.I; Jakarta: IKAPI, 2009), h. 490. 

[11]Barsihannoor, Etika Islam (Cet. I; Makassar: University Alauddin Press, 2012), h. 116. 

[12]Al-Qur’anul Karim dan Terjemahannya (Cet.I; Jakarta: IKAPI, 2009), h. 385. 

[13]Ahmad Amin, Etika Islam-Ilmu Akhlak (Cet.VIII; Jakarta: Bulan Bintang, 1998), h. 198. 

[14]Ian Barbour, Menemukan Tuhan dalam Sains Kontemporer dan Agama, terj. Fransiskus Borgias, (Bandung: Penerbit Mizan, 2005), h. 282-283. 

[15]Barsihannoor, Etika Islam (Cet. I; Makassar: University Alauddin Press, 2012), h. 137 

[16]Barsihannoor, Etika Islam (Cet. I; Makassar: University Alauddin Press, 2012), h. 139-141. 

[17]Barsihannoor, Etika Islam (Cet. I; Makassar: University Alauddin Press, 2012), h. 141. 

[18]Rosihan Anwar, Akidah Akhlak (Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 243. 

[19]Al-Qur’anul Karim dan Terjemahannya (Cet.I; Jakarta: IKAPI, 2009), h. 315. 

[20]Barsihannoor, Etika Islam (Cet. I; Makassar: University Alauddin Press, 2012), h. 136. 

[21]Al-Qur’anul Karim dan Terjemahannya (Cet.I; Jakarta: IKAPI, 2009), h. 517. 

[22]Al-Qur’anul Karim dan Terjemahannya (Cet.I; Jakarta: IKAPI, 2009), h. 516-517. 

[23]Al-Qur’anul Karim dan Terjemahannya (Cet.I; Jakarta: IKAPI, 2009), h. 91. 

[24]Barsihannoor, Etika Islam (Cet. I; Makassar: University Alauddin Press, 2012), h. 128. 

[25]Al-Qur’anul Karim dan Terjemahannya (Cet.I; Jakarta: IKAPI, 2009), h. 411. 

[26]Hamzah Ya’qub, Etika Islam (Cet.IV; Bandung: CV. Diponegoro, 1988), h. 138. 

[27]Al-Qur’anul Karim dan Terjemahannya (Cet.I; Jakarta: IKAPI, 2009), h. 203 

[28]Rosihan Anwar, Akidah Akhlak (Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 230. 

[29]Al-Qur’anul Karim dan Terjemahannya (Cet.I; Jakarta: IKAPI, 2009), h. 595. 

[30]Al-Qur’anul Karim dan Terjemahannya (Cet.I; Jakarta: IKAPI, 2009), h. 519.

0 komentar:

HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html