Friday 20 December 2013

Apa Yang dimaksud Metafisika ?

Seringkali ditemukan orang atau di televisi menyebut kata “metafisika”, sayangnya metafisika tersebut selalu condong dan dikaitkan ke arah yang ghaib/goib, ilmu nujum, perbintangan, pengobatan jarak jauh dan macam-macam lainnya. Beda dalam ranah filsafat, nama metafisika itu sendiri diberikan oleh Andronikos dari Rodhos pada tahun 70 SM terhadap karya-karya yang disusun sesudah buku Physika, tetapi harus diingat bahwa ini bukan secara kronologis (bukan karena Physika maka Metafisika ada) tetapi kebetulan karena muncul buku Physika maka barulah terbit istilah metafisika. Penyelidikan metafisika mula-mula hanya mencakup sesuatu yang ada di belakang dunia fisik, tetapi lalu berkembang menjadi ke penyelidikan terhadap segala sesuatu yang ada.

Di sini kita lihat bahwa metafisika memiliki tingkat keumuman yang paling tinggi, memang benar bahwa metafisika mencakup ke arah pembicaraan tentang alam ghaib atau ketuhanan, tetapi itu segi khususnya saja bukan segi umum dari metafisika itu sendiri. Metafisika pun menyelidiki tentang sesuatu yang objek fisik juga seperti manusia, hewan, tumbuhan, dan benda alam lainnya. Dari sini semakin jelas bahwa metafisika tidak sekedar tentang alam ghaib tetapi juga tentang semua yang ada

A. Definisi Metafisika

Cabang filsafat yang mempelajari penjelasan asal atau hakekat objek (fisik) di dunia adalah Metafisika. Dimana di dalamnya menjelaskan studi keberadaan atau realitas. Metafisika mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti : Apakah sumber dari suatu realitas ? Apakah Tuhan ada? Apa tempat manusia di dalam semesta?

Metafisika berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri atas dua kata yaitu meta dan pysika. Meta artinya sesudah atau dibalik sesuatu dan pyisika artinya nyata, kongkrit yang dapat diukur oleh jangkauan panca indera. Metafisika secara tradisional didefiniskan sebagai pengetahuan tentang pengada (Being). Eksistensinya dibalik sesudah fisik ( meta fisik ) perlu dikaji.. Istilah metafisika diketemukan Andronicus pada tahun 70 SM ketika menghimpun karya-karya Aristoteles, dan menemukan suatu bidang diluar bidang fisika atau disiplin ilmu lain.[1]

Aristoteles dalam bukunya yang berjudul Metaphysica mengemukakan beberapa gagasannya tentang metafisika antara lain:
  1. Metafisika sebagai kebijaksanaan (sophia), ilmu pengetahuan yang mencari pronsip-prinsip fundamental dan penyebab-penyebab pertama.
  2. Metafisika sebagai ilmu yang bertugas mempelajari yang ada sebagai yang ada (being qua being) yaitu keseluruhan kenyataan. 
  3. Metafisika sebagai ilmu tertinggi yang mempunyai obyek paling luhur dan sempurna dan menjadi landasan bagi seluruh adaan, yang mana ilmu ini sering disebut dengan theologia.[2]
Penggunaan istilah “metafisika” telah berkembang untuk merujuk pada “hal-hal yang diluar dunia fisik”. “ Beberapa tafsiran metafisika, diantaranya menurut M.J. Langeveld (tt; 132) dengan mengutif dari apa yang dikatakan oleh Nicolai Hartman mengartikan bahwa metafisika adalah tempat khusus yang diperuntukan bagi objek-objek transenden,daerah spekulatif bagi tanggapan-tanggapan tentang Tuhan, kebebasan dan jiwa, juga sebagai pangkalan bagi system-sistem spekulatif, teori-teori dan tanggapan dunia terhadap sesuatu yang eksistensinya di luar dimensi yang fisik - empirik.

Cabang utama metafisika adalah mitologi, studi mengenai kategorisasi benda-benda di alam dan hubungan antara satu dan lainnya. Ahli metafisika juga berupaya memperjelaspemikiran-pemikiran manusia mengenai dunia, termasuk keberadaan, kebendaan, sifat, ruang, waktu, hubungan sebab akibat, dan kemingkinan.

B. Tafsiran Tentang Metafisika

Manusia mempunyai beberapa pendapat mengenai tafsiran metafisika. Tafsiran yang pertama yang dikemukakan oleh manusia terhadap alam ini adalah bahwa terdapat hal-hal gaib (supranatural) dan hal-hal tersebut bersifat lebih tinggi atau lebih kuasa dibandingkan dengan alam yang nyata. Pemikiran seperti ini disebut pemikiran supernaturalisme. Dari sini lahir tafsiran-tafsiran cabang misalnya animisme. Selain faham diatas, ada juga paham yang disebut paham naturalisme. Paham ini amat bertentangan dengan paham supernaturalisme.paham naturalisme menganggap bahwa gejala-gejala alam tidak disebabkan oleh hal-hal yang bersifat gaib, melainkan karena kekuatan yang terdapat dalam itu sendiri, yang dapat dipelajari dan diketahui. Orang orang yang menganut paham naturalisme ini beranggapan seperti itu karena standar kebenaran yang mereka gunakan hanyalah logika akal semata, sehingga mereka menolak keberadaan hal-hal yang bersifat gaib itu. Dari paham naturalism ini juga muncul paham materialisme yang menganggap bahwa alam semesta dan manusia berasal dari materi. Salah satu yang menggap bahwa alam semesta dan manusia berasal dari materi. Salah satu pencetusnya ialah Democritus (460 – 370 SM).

Adapun bagi mereka yang mencoba mempelajari mengenai makhluk hidup. Timbul dua tafsiran yang masih saling bertentangan yakni paham mekanistik dan paham vitalistik. Kaum mekanistik melihat gejala alam (termasuk makhluk hidup) hanya merupakan gejala kimia-fisika semata. Sedangkan bagi kaum vitalistik hidup adalah sesuatu yang unik yang berbeda secara substansif dengan hanya sekedar gejala kimia-fisika semata berbeda halnya dengan telah mengenai akal dan pikiran, dalam hal ini ada dua tafsiran yang juga saling berbeda satu sama lain. Yakni faham monoistik dan dualistic. Sudah merupakan aksioma bahwa proses berfikir manusia menghasilkan pengetahuan tentang zat (objek) yang ditelaahnya. Dari sini aliran monoistik mempunyai pendapat yang tidak membedakan antara pikiran dan zat. Keduanya (pikiran dan zat) hanya berbeda dalam gejala disebabkan proses yang berlainan namun mempunyai substansi yang sama. Perndapat ini ditolak oleh kaum yang menganut paham dualistic. Dalam metafisika, penafsiran dualistic membedakan antara zat dan kesadaran (pikiran) yang bagi mereka berbeda secara subtsansif. Aliran ini berpendapat bahwa yang ditangkap oleh fikiran adalah bersifat mental. Maka yang bersifat nyata adalah fikiran, sebab dengan berfikirlah maka sesuatu itu lantas ada.

C. Perdebatan Seputar Metafisika


Metafisika ternyata mendapat pertentangan dari beberapa ilmuan, antara
lain adalah yang menganut paham positivism. Paham positivism logis menyatakan bahwa metafisika tidak bermakna.[3] Wittgenstein, 1921; Carnap, 1936/37; Ayer, 1946 dalam Ebook of General Philosopgy of Science menyatakan bahwa the statement of science is veryfiable and thus meaningful, those of metaphysic and all other kind of bad philosophy were not; they were just nonsense.[4]

Berikut adalah pendapat para ilmuwan tentang Metafisika. Alfred, J. Ayer menyatakan bahwa sebagian besar perbincangan yang dilakukan oleh para filosof sejak dahulu sesungguhnya tidak dapat dipertanggungjawabkan dan juga tidak ada gunanya, problem yang diajukan dalam bidang metafisika adalah problem semu, artinya permasalahan yang tidak memungkinkan untuk dijawab, berkaitan dengan pendapat Ayer tersebut. Dan Katsoff menyatakan bahwa sepertinya Ayer berupaya untuk menunjukan bahwa naturalism, materialism, dan lainnya merupakan pandangan yang sesat. Adapun Penentang lain adalah Luwig Winttgenstien yang menyatakan bahwa metafisika bersifat the mystically, hal-hal yang tak dapat diungkapkan ke dalam bahasa yang bersifat logis. Wittgenstien menyatakan terdapat tiga persoalaan dalam metafisika, yaitu; 1). Subjek bukan merupakan dunia atau bagian dari dunia, melainkan lebih dapat dikatakan sebagai batas dari dunia. 2). Kematian, kematian bukanlah sebuah peristiwa dalam kehidupan, manusia tidak hidup untuk mengalami pengalaman kematian. 3). Tuhan, Ia tidak menampakkan diri-Nya di dunia. Dengan demikian Wittgenstein menyimpulkan, bahwa sesuatu yang tidak dapat diungkapkan secara logis sebaiknya didiamkan saja. Namun pada kenyataanya banyak ilmuan besar, terutama Albert Einstein yang merasakan perlunya membuat formula konsepsi metafisika sebagai konsekuensi dari penemuan ilmiahnya.

Metafisika menuntut orisinalitas berpikir yang biasanya muncul melalui kontemplasi atau intuisi berupa kilatan-kilatan mendadak akan sesuatu, hingga menjadikan para metafisikus menyodorkan cara berpikir yang cenderung subjektif dan menciptakan terminology filsafat yang khas. Situasi semacam ini dinyatakan oleh Van Peursen sangat diperlukan untuk pengembangan ilmu dalam rangka menerapkan heuristika. Berkaitan dengan pembentukan minat intelektual, maka metafisika mengajarkan mengenai cara berpikir yang serius dan mendalam tentang hakikat-hakikat segala sesuatu yang bersifat enigmatik, hingga pada akhirnya melahirkan sikap ingin tahu yang tinggi sebagaimana mestinya dimiliki oleh para intelektual. Metafisika mengajarkan pada peminat filsafat untuk mencari prinsip pertama sebagai kebenaran yang paling akhir.

Kennick juga mengungkapkan bahwa metafisika mengajarkan cara berfikir yang serius, terutama dalam menjawab problem yang bersifat enigmatif (teka-teki), sehingga melahirkan sikap dan rasa ingin tahu yang mendalam. Perdebatan dalam metafisika melahirkan berbagai aliran, mainstream seperti : Monisme, Dualisme, Pluralisme, sehingga memicu proses ramifikasi, berupa lahirnya percabangan ilmu.

Sementara Van Peursen mengatakan bahwa metafisika menuntut orisinalitas berfikir, karena setiap metafisikus menyodorkan cara berfikir yang cenderung subjektif dan menciptakan terminology filsafat yang khas. Situasi semacam ini diperlukan untuk pengembangan ilmu dalam rangka menerapkan heuristika. Metafisika mengajarkan pada peminat filsafat untuk mencari prinsip pertama (First Principle) sebagai kebenaran yang paling akhir. Serta hal yang paling booming dalam dunia filsafat adalah bagaimana Descartes mengungkapkan bahwa Kepastian ilmiah dalam metode skepticnya hanya dapat diperoleh jika kita menggunakan metode deduksi yang bertitik tolak dari premis yang paling kuat (Cogito ergo sum) Skeptis-Metodis Rene Descartes.[5]

Disamping itu Bakker mengemukakan bahwasanya metafisika mengandung potensi untuk menjalin komunikasi antara pengada yang satu dengan pengada yang lain. Aplikasi dalam ilmu berupa komunikasi antar ilmuwan mutlak dibutuhkan, tidak hanya antar ilmuwan sejenis, tetepi juga antar disiplin ilmu, sehingga memperkaya pemahaman atas realitas keilmuwan.
 
 Kesimpulan

Metafisika merupakan suatu kajian tentang hakikat keberadaan zat, hakikat pikiran dan hakikat kaitan zat dengan pikiran. Beberapa tafsiran metafisika dalam menafsirkan hal ini, manusia mempunyai beberapa pendapat mengenai tafsiran metafisika.

Manfaat Metafisika bagi Pengembangan Ilmu
  1. Kontribusi metafisika terletak pada awal terbentuknya paradigma ilmiah, ketika kumpulan kepercayaan belum lengkap pengumpulan faktanya, maka ia harus dipasok dari luar, antara lain : metafisika, sains yang lain, kejadian personal dan historis.
  2. Metafisika mengajarkan cara berfikir yang serius, terutama dalam menjawab promlem yang bersifat enigmatif (teka-teki), sehingga melahirkan sikap dan rasa ingin tahu yang mendalam. 
  3. Metafisika mengajarkan sikap open-ended, sehingga hasil sebuah ilmu selalu terbuka untuk temuan dan kreativitas baru. 
  4. Perdebatan dalam metafisika melahirkan berbagai aliran, mainstream seperti : Monisme, Dualisme, Pluralisme, sehingga memicu proses ramifikasi, berupa lahirnya percabangan ilmu. 
  5. Metafisika menuntut orisinalitas berfikir, karena setiap metafisikus menyodorkan cara berfikir yang cenderung subjektif dan menciptakan terminology filsafat yang khas. Situasi semacam ini diperlukan untuk pengembangan ilmu dalamrangka menerapkan heuristika. 
  6. Metafisika mengajarkan pada peminat filsafat untuk mencari prinsip pertama (First Principle) sebagai kebenaran yang paling akhir. Kepastian ilmiah dalam metode skeptic Descartes hanya dapat diperoleh jika kita menggunakan metode deduksi yang bertitik tolak dari premis yang paling kuat (Cogito ergo sum) Skeptis-Metodis Rene Descartes. 
  7. Metafisika mengandung potensi untuk menjalin komunikasi antara pengada yang satu dengan pengada yang lain. Aplikasi dalam ilmu berupa komunikasi antar ilmuwan mutlak dibutuhkan, tidak hanya antar ilmuwan sejenis, tetepi juga antar disiplin ilmu, sehingga memperkaya pemahaman atas realitas keilmuwan.        
DAFTAR PUSTAKA 

Bagus, Loren. Metafisika. Jakarta: Gramedia. 1991 Bertens, Kees. Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta: Kanisius. 1988

“Positivisme Logis” Wikipedia Indonesia, http://id.wikipedia.org/wiki/Positivisme_logis

M. Gabbay, Dov., Paul Thagard, and John Woods. Ebook of General Philosophy of Science.

[1] Loren Bagus, Metafisika, (Jakarta: Gramedia, 1991), h 18.

[2] Kees Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, (Yogyakarta: Kanisius, 1988), h.154

[3] “Positivisme Logis”Wikipedia Indonesia, http://id.wikipedia.org/wiki/Positivisme_logis

[4] Dov. M. Gabbay, Paul Thagard, and John Woods. Ebook of General Philosophy of Science. h. 517.

[5] Ibid. h.66


5 komentar:

Belajarasantuy said...

terimakasih ..penjelasanya cukup bermanfaat

Unknown said...

Really right and thanx

Ku ingin tau said...

Terima kasih penjelasannya:')

Unknown said...

Benar sekali...

ANDI MANDI said...
This comment has been removed by the author.
HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html