Thursday, 5 December 2013

Dinasti Idrisiyah (789-926 M.)

Seiring dengan semakin melemahnya pemerintahan Abbasiyah yang ditandai dengan menurunnya kharisma istana, ketidakjelasan mekanisme politik dan administrasi Negara, kemorosotan ekonomi, serta munculnya berbagai pemborontakan- membawa peluang baru berupa tuntutan otonomisasi dan disintegrasi wilayah-wilayah propinsi yang dikepalai oleh seorang gubernur.[1]

Tidak banyak diduga oleh kalangan umum, ternyata di sisi kebebasan Abbasiyah-Bagdad (132-656 H./749-1258 M.) lahir pula dinasti-dinasti kecil yang memenuhi kurun waktu antara tahun 172-394 H./788-1003 M. (lebih dari dua abad).

Dinasti-dinasti tersebut bermunculan untuk pertama kalinya di Barat Baghdad. Di Maroko berdiri dinasti idrisi (172-311 H/788-932 M).[2] Yang mana disintegrasi di bidang politik sebenarnya sudah muncul sejak berakhirnya pemerintahan Bani Umayah, tetapi dalam sejarah politik Islam terdapat perbedaan antara pemerintahan Bani Umayah dan Pemerintahan Abbasiyah. Di antara perbedaan-perbedaan tersebut ialah jika pada masa pemerintahan Bani Umayah, wilayah kekuasaan sejajar dengan batas-batas wilayah kekuasaan Islam (mulai berdirinya sampai pada masa kehancurannya), pada masa pemerintahan Abbasiyah, wilayah kekuasaannya tidak pernah diakui di daerah Spanyol dan Afrika Utara, kecuali Mesir yang bersifat sebentar-sebentar, bahkan pada kenyataannya terdapat banyak daerah yang tidak dikuasai oleh khalifah.[3]

Dinasti Idrisiyah (789-926 M.)

Dinasti ini didirikan oleh seorang penganut Syi’ah, yaitu Idris bin Abdullah pada tahun 172 H./789 M. Dinasti ini merupakan Dinasti Syi’ah pertama yang tercatat dalam sejarah berusaha memasukkan Syi’ah ke daerah Maroko dalam bentuk yang sangat halus.[4]

Muhammad bin Idris merupakan salah seorang keturunan Nabi Muhammad SAW., yaitu cucu dari Hasan, putra Ali bin Abi Thalib[5]. Dengan demikian, dia mempunyai hubungan dengan garis imam-imam syi,ah. Dia juga ikut ambil bagian dalam perlawanan keturunan Ali di Hijaz terhadap Abbasiyah pada tahun 169/789, dan terpaksa pergi ke Mesir, kemudian ke Afrika Utara, di mana prestise keturunan Ali membuat para tokoh Barbar Zeneta di Maroko menerimanya sebagai pemimipin mereka. Berkat dukungan yang sangat kuat dari suku Barbar inilah, Dinasti Idrisiyah lahir dan namanya dinisbahkan dengan mengambil Fez sebagai pusat pemerintahannya.

Paling tidak, ada dua alasan mengapa Dinasti Idrisiyah muncul menjadi dinasti yang kokoh dan kuat, yaitu karena adanya dukungan yang sangat kuat dari bangsa Barbar, dan letak geografis yang sangat jauh dari pusat pemerintahan Abbasiyah yang berada di Baghdad sehingga sulit untuk ditaklukkannya.

Pada masa Kekhalifaan Bani Abbasiyah dipimpin oleh Harun Ar-Rasyid, (menggantikan Al-Hadi), Harun Ar-Rasyid merasa posisinya terancam dengan hadirnya Dinasti Idrisiyah tersebut, maka Harun Ar-Rasyid merencanakan untuk mengirimkan pasukannya dengan tujuan memeranginya. Namun, faktor geografis yang berjauhan, menyebabkan batalnya pengiriman pasukan. Harun Ar-Rasyid memakai alternatif lain, yaitu dengan mengirim seorang mata-mata bernama Sulaiman bin Jarir yang berpura-pura menentang Daulah Abbasiyah sehinngga Sulaiman mampu membunuh Idris dengan meracuninya. Taktik ini disarankan oleh Yahya Barmaki kepada Khalifah Harun Ar-Rasyid.

Terbunuhnya Idris tidak berarti kekuasaan Dinasti Idrisiyah menjadi tumbang karena bangsa Barbar telah bersepakat untuk mengikrarkan kerajaan yang merdeka dan independen. Dikabarkan pula bahwa Idris meninggalkan seorang hamba yang sedang mengandung anaknya. Dan ketika seorang hamba itu melahirkan, kaum Barbar memberikan nama bayi tersebut dengan nama Idris dan mengikrarkan sumpah setia kepadanya sebagaimana yang pernah diikrarkan kepada bapaknya. Dan Idris inilah yang melanjutkan jejak bapaknya (Idris bin Abdullah) dan disebut sebagai Idris II. 

Idris ibn Idris ibn Abdullah (Idris II) datang menggantikan ayahnya sebagai amir (177 H./793M.). Pada masa kepemimpinannya Dinasti Idrisi berkembang pesat. Pusat pemerintahan yang semula dari Walila dipindahkan ke Fes sebagai ibukota baru (192 H.). Dengan demikian, Idris II inilah yang dianggap sebagai pendiri yang sebenarnya Dinisi Idris.

Idris I dan putranya Idris II telah berhasil mempersatukan suku-suku Barbar, imigran-imigran Arab yang berasal dari Spanyol dan Tripolotania di bawah satu kekuasaan politik, mampu membangun kota Fez sebagai kota pusat perdagangan, kota suci, tempat tinggal Shorfa (orang-orang terhormat keturunan Nabi dari Hasan dan Husain bin Ali bin Abi Thalib), dan pada tahun 1959 di kota ini, telah didirikan sebuah masjid Fathima dan Universitas Qairawan yang terkenal.[6]

Pada masa kekuasaan Muhammad bin Idris (828-836 M.), Dinasti Idrisiyah telah membagi-bagi wilayahnya kepada delapan orang saudaranya, walaupun ia sendiri tetap menguasai Fez dan memiliki semacam supremasi moral terhadap wilayah-wilayah lainnya.[7] Setelah ia memerintah selama masa yang cukup tenang, putranya yang bernama Ali menggantikannya sebagai raja.

Pada masa Ali bin Muhammad (836-849M.), terjadi konflik antarkeluarga dengan kasus yang klasik, yaitu terjadi penggulingan kekuasaan yang pada akhirnya kekuasaan Ali pindah ketangan saudaranya sendiri, yaitu Yahya bin Muhammad.

Pada masa Yahya bin Muhammad ini, kota Fez banyak dikunjungi imigran dari Andalusia dan daerah Afrika lainnya. Kota ini berkembang begitu pesat baik dari segi pertumbuhan penduduk maupun pembangunan gedung-gedung megah. Di antara gedung yang dibangun pada masa itu ialah masjid Qairawan dan masjid Andalusia. Tapi ada pendapat lain bahwa di kota tersebut didirikan pula sebuah masjid yang diberi nama masjid Fathima yang merupakan benih dari masjid dan Universitas Qairawan yang terkenal pada tahun 859 M. tepat pada tahun 863 M., Yahya bin Muhammad meninggal dan kekuasaannya berpindah ke tangan putranya yaitu Yahya II.

Pada masa pemerintahan Yahya II ini terjadi kemerosotan yang disebabkan oleh ketidakmahiran Yahya II dalam mengatur pemerintahannya, sehinnga terjadilah pembagian wilayah kekuasaan. Keluarga Umar bin Idris I tetap memerintah wilayahnya, sedangkan Dawud mendapat wilayah yang lebih luas kea rah timur kota Fez. Keluarga Kasim menerima sebagian dari sebelah kota Fez bersama-sama dengan pemerintah wilayah suku Luwata dan Kutama. Husain (paman Yahya II), menerima bagian wilayah selatan kota Fez sampai ke pegunungan Atlas. Di samping ketidakmampuan mengatur pemerintahannya, Yahya juga pernah terlibat perbuatan yang tidak bermoral terhadap kaum wanita. Sebagai akibatnya, ia harus melarikan diri karena diusir oleh penduduk Fez dan mencari perlindungan di Andalusia sampai akhir hayatnyapada tahun 866 M.[8]

Dalam suasana yang mengecewakan rakyat, seorang penduduk Fez bernama Abdurrahman bin Abi Sahl Al-Judami mencoba menarik keuntungan dengan jalan mengambil alih kekuasaan. Namun, istri Yahya (anak perempuan dari saudara sepupunya), Ali bin Umar berhasil menguasai wilayah Kawariyyir (Qairawan) dan memulihkan ketentraman dengan bantuan ayahnya. Menurut cerita lain bahwa setelah Yahya II diusir oleh penduduk kota Fez, Ali bin Umar (paman dari ayah tiri Yahya) diangkat untuk menduduki tahta yang tak lama kemudian harus dilepaskan lagi akibat satu pemberontakan[9].

Pada masa Yahya III, pemerintahan yang semrawut ditertibkan kembali sehingga menjadi tentram dan aman. Namun, setelah Yahya III memerintah dalam waktu cukup lama, ia terpaksa harus menyerahkan kekuasaan kepada teman kerabatnya yang diberi nama Yahya IV.

Yahya IV ini berhasil mempersatukan kembali wilayah-wilayah yang dikuasai oleh kerabat-kerabat yang lainnya, dan sejak itu Dinasti Idrisiyah terlibat dalam persaingan antara dua kekuatan besar, yaitu Bani Umayah dari Spanyol dan Dinasti Bani Fatimiah dari Mesir dalam memperebutkan supremasi dari Afrika Utara. Sebagaimana diketahui bahwa dinasti tersebut mempunyai aliran yang berbeda, yang satu beraliran Sunni (Bani Umayah), sementara yang satunya lagi (Bani Fatimiyah) beraliran Syi’ah. Kedua kekuatan tersebut, secara hati-hati menghindari bentrokan sehingga Fez dan wilayah-wilayah Idrisiyah pada waktu itu menjadi daerah pertikaian mereka.

Setelah masa Yahya IV, saat kota Fez dan wilayah-wilayah Idrisiyah menjadi pertikaian, seorang cucu Idris II, yang bernama Al-Hajjam berhasil menguasai Fez dan daerah sekitarnya. Akan tetapi, ia kemudian mendapatkan pengkhianatan dari seorang pemimpin setempat sehinnga kekuasaannya hilang dan hidupnya berakhir pada tahun 962 M., sedangkan anak-anaknya dan saudara-saudaranya mengundurka diri ke daerah sebelah utara (suku Barbar Gumara). Di sana, keluarga Idris dari kelompok Bani Muhammad mendirikan benteng di atas bukit yang diberi nama Hajar An-Nashr. Di benteng tersebut, mereka bertahan sampai lima puluh tahun sambil mengamat-amati kubu pertahanan Daulah Umawiyah dan Daulah Fatimiah.

Ada juga riwayat yang menerangkann bahwa jatuhnya Dinasti Idrisiyah disebabkan oleh Khalifah Muhammad Al-Muntashir yang membagi-bagikan kekuasaannya kepada saudara-saudaranya yang cukup banyak, sehingga mengakibatkan pecahnya Idrisiyah secara politis. Perpecahan tersebut merupakan faktor yang membahayakan keberadaan Dinasti Idrisiyah karena dalam waktu bersamaan, dating pula serangan dari Dinasti Fatimiah[10].

Pada masa kepemimpinan Yahya III, Dinasti Idrisiyah ditaklukan oleh Fatimiyah dan yahya terusir dari kerajaan hinnga wafatnya di Mahdiyah. Dengan akhirnya Yahya, berakhir pula dinasti Idrisiyah.[11]

Kesimpulan

Bahwasanya Dinasti Idris didirikan oleh Idris bin Abdullah yang merupakan cucu Hasan, putra Ali bin Abi Thalib yang juga mempunyai hubungan dengan garis imam-imam Syi’ah. Berkat dukungan yang sangat kuat dari suku Barbar, maka lahirlah Dinasti Idrisiyah dan namanya dinisbahkan dengan mengambil Fez sebagai pusat pemerintahannya.

Adapun mengenai status dan hubungan Idrisi dengan pemerintahan pusat tidak pernah memperoleh pengakuan dan tidak banyak mencatat keunggulan-keunggulan dimasa pemerintahannya, bukan berarti sama sekali dia tidak mempunyai andil terhadap Islam, namun dalam aspek dakwah Idrisi telah membawa Islam dan meyakinkannya kepada penduduk Maroko dan sekitarnya. Melalui dinasti ini suku Barbar yang dulunya hidup secara tidak teratur,akhirnya dapat membangun suatu pemerintahan sendiri.

DAFTAR PUSTAKA
Hitti, Philip K. History of The Arabs, Cet. I; New York: The Mac Millan Press, 1974
Noerhakim, Moh, Sejarah Peradaban Islam, Cet. I; Malang: UMM Pres, 2003
Supriyadi, Dedi, Sejarah Perdaban Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2008


[1] Moh. Nurhakim, Sejarah dan Peradaban Islam,(Cet. I; Malang: UMM Pers, 2003), h. 7
[2] Ibid., h. 77
[3] Sirr Wiliam Munir. The Caliphat. New York: AMS Inc., 1975, yang dikutip dari Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam
[4] Philip K. Hitti. History of the arab, The Mac Millan Press, 1974, h. 450
[5] C.E. Bosworth. Dinasti-dinasti Islam, Terj. Ilyas Hasan, 1980, h. 42
[6] Opcit, hal 451
[7] Moh. Nurhakim, Sejarah dan Peradaban Islam,(Cet. I; Malang: UMM Pers, 2003), h. 8-9

[8] Dedi Supriyadi. Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 159
[9] Ibid., h. 160.
[10] Ensiklopedi IslamI, Jilid II, h. 178
[11] Ibid., h. 583

0 komentar:

HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html