Friday 3 January 2014

DEKOLONISASI HISTORIOGRAFI INDONESIA

Sejak tercapainya kemerdekaan di antara permasalahan tentang sejarah Indonesia tidak ada yang lebih menarik perhatian serta banyak memerlukan penggarapan seperti persoalan sekitar sejarah nasional. Tidak dapat disangkal lagi bahwa jenis sejarah ini dalam situasi kita dewasa ini menjadi keperluan yang sangat mendesak, lebih-lebih dalam bidang pendidikan dan pengajaran di mana pelajaran sajarah nasional memegang peranan penting dalam menggalang kesadaran nasional pada para pelajar. Perhatian terhadap sejarah nasional sesungguhnya tidak lepas dari munculnya negara nasional., bahkan lazim diakui bahwa perhatian itu merupakan suatu refleksi dari kebangkitan bangsa Indonesia dari alam penjajahan ke kemerdekaan. 

Pemikiran yang pada umumnya lebih bersifat filosofis atau teoritis itu memang berhasil memberikan saran-saran, pengertian-pengertian serta pandangan-pandangan baru terhadap sejarah Indonesia, kadang-kadang malahan bersifat sangat provokatif, akan tetapi kemudian terbukti bahwa pemikiran itu “more successful in conception than in execution”, konsep-konsepsinya lebih bersifat filosofis tanpa landasan pada studi yang mendetail dari sumber-sumber sejarah.

Pemikiran sejarah yang tidak didasarkan pada suatu akumulasi pengetahuan factual atau pada bukti-bukti substansial ternyata tidak menyuburkan penelitian serta penulisan sejarah, hal mana terbukti dari perkambangan historiografi Indonesia selama dua puluh tahun terakhir ini yang sangat sedikit menghasilkan karya-karya sejarah yang dapat disebut sejarah nasional.

A. Sejarah Nasional sebagai Unit Historis

Unit historigrafi di sini ialah suatu bagian dari pengetahuan sejarah merupakan suatu kategori serta bidang yang dapat dipahami (intelligible field), unit ini merupakan juga suatu kompleks problem-problem, tema-tema, dan topik-topik yang samuanya di tempatkan dalam pasangan waktu (time setting). Kategori dalam perkembangan historiografi, mengungkapkan pola-pola yang mendasarinya menurut perkembangan tertentu. Jadi penulisan sejarah tidak hanya merupakan pengumpulan fakta-fakta serta urutan-urutannya, tetapi semuanya itu disusun menurut pola-pola yang mendasarinya serta kerangka yang mencakupnya sebagai suatu kesatuan. Unit-unit atau kategori historis ini tidak hanya mencakup persamaan-persamaan tetapi keanekawarnaan, tidak hanya kontinuitas tetapi juga diskontinuitas, semuanya bersama-sama kompleksitas historis. Sebagai contoh antara lain, kerajaan, wangsa, kota, negara, lembaga politik gerakan sosial dan sebagainya. 

Dalam historis tercantum pula konsep kronologi yaitu periodisasi. Selanjutnya setiap unit yang dipelajari perlu diselidiki pula prosesnya yang menyangkut aspek perubahan atau perkembangannya. Kiranya cukuplah disini ditegaskan, bahwa:

  1. Pembagian waktu dari sejarah nasional berpangkal pada pengakuan adanya diskontinuitas antara periode-periode sebagai unit waktu, 
  2. Unit waktu sebagai kategori ditentukan menurut kriteria tertentu,
  3. periodisasi yang baik tidak melupakan bahwa proses historis selalu bersegi banyak dan di samping diskontinuitas dalam satu bidang terdapat kontinuitas dalam bidang lain, 
  4. Setiap periodisasi bersifat relatif,
  5. Perlu dipikirkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh periodisasi yang berlaku bagi semua bagian dari sejarah nasional. 

Pluralitas masyarakat Indonesia mengharuskan kita menggunakan penggarapan teoris-metodologis tertentu agar sejarah nasional tetap berlaku sebagai unit historis, sehingga kontinuitasnya lebih menonjol daripada diskotinuitasnya. 

Wilayah Indonsia tidak merupakan konteks historis yang statis. Sebagai pasangan hubungan-hubungan menunjukkan perubahan-perubahan serta dinamik yang disebabkan oleh penggeseran dalam hubungan antara daerah-daerah. Konfigurasi interegional inilah yang menjadi kerangka sejarah Indonesia sebagai kesatuan. Dalam hubungan ini tidak boleh diabaikan kekuatan-kekuatan historis yang datang dari luar, sebagai akibat dari rantai hubungan komersial yang berpangkal di Timur Tengah dan berujung di daerah Indonesia Timur. Daerah komersial ini meliputi lebih dari setengah bumi. Dipandang secara demikian maka wilayah Indonesia dapat dianggap sebagai suatu unit historis yang terletak pada pangkal interelasi antara unit-unit lainnya. Apabila kita melihat daerah perdagangan rempah-rempah sebagai suatu unit fungsional, maka wilayah Indonesia menjadi satu sub unit dari itu. Pendekatan kultural yang memandang kebudayaan “Melayu” di Asia Tenggara sebagai unit struktural, dan menetapkan Indonesia sebagai sub unit juga. Dengan demikian sejarah nasional sebagai unit dapat juga ditempatkan sebagai unsur dari kerangka yang lebih luas. Hal ini perlu ditegaskan untuk menunjukkan bahwa otonomi sejarah nasional bersifat relative. Lagi pula kita perlu menyadari bahwa unit historis ini tidak dimaksudkan sebagai suatu yang organis, yang mempunyai kehidupan tersendiri.

B. Skala Sejarah Nasional ; Relasi antara Sejarah Lokal dan Sejarah Nasional

Penjelasan tentang skala sejarah Nasional ini mengambil sebagai pangkalngnya peta historis Indonesia yang hingga kini disusun menurut ukuran yang sesuai dengan historiografi colonial, artinya yang diproyeksikan kejadian-kejadian tertentu saja sekitar peranan bangsa belanda pada tinggal Nasional, apakah tindakan penguasa kolonial dalam menjalankan pemerintahannya, bagaimana hubunganya dengan pemerintah pusat pada satu pihak, dan penguasa-penguasa daerah pada pihak lain, tindakan-tindakan militernnya untuk menindas perlawanan dan seterusnya. Yang jelas ialah bahwa kejadian-kejadian ragional atau local tidak tampak pada panorama historis semacam ini. Seperti yang telah kami utarakan di tempat lain. Dalam kerangka sejarah kolonial yang berskala seperti ini sudah barang tentu peranan bangsa Indonesia sendiri itu tidak cukup tampak, maka langkah yang logis ialah mengganti skalanya jadi mengubah makrohistori ke mikrohistori dengan mengganti tingkat “Nasional” dengan tingkat regional atau lokal. Dengan demikian sekaligus dapat dipenuhi tuntutan yang timbul dari perspektif Indonesiasentris, tuntutan mana hendak menempatkan peranan bangsa Indonesia sendiri sebagai fokus proses sejarah.

Obyek dari Sejarah Lokal pada umumnya tidak identik dengan obyek sejarah Nasional, baik mengenai aspek temporal maupun aspek spatial-nya kedua macam sejarah adalah termasuk dua kategori yang berlainan. Hal ini tindak mengurangi kenyataan,bahwa banyak kejadian-kejadian historis pada tingkat lokal merupakan dimensi dari sejarah Nasional. Sebagai contoh dapat dikemukakan akibat dari westernisasi, seperti introduksi pajak, sewa tanah, birokrasi modern, dan seterusnya 

Contoh-contoh itu dapat menjelaskan bahwa sejarah lokal tidak dapat dipelajari tanpa dihubungkan dengan sejarah nasional. Pada umumnya dapat dikatakan, bahwa pada tingkat regional atau lokallah praktek politik kolonial dapat diperlihatkan. Bukanlah peraturan-peraturan dan undang-undang pemerintahan kolonial yang kering, melainkan kehidupan rakyat yang penuh dinamika , pertentangan antara pro dan kontra tindakan penguasa kolonial, pengerahan pengikut untuk melancarkan gerakan protes jaringan hubungan kekeluargaan antara kaum aristocrat sebagai saluran pengaruh-pengaruh untuk menguasai dan menopoli daerah dan sebagainnya. 

Kita hidup dalam masa pertumbuhan negara nation, maka suatu pandangan nasional adalah kebutuhan real, artinya banyak permasalahan sentral yang kita hadapi sekarang dan pada masa yang akan datang adalah masalah nasional. sudah sewajarnya apabila sejarah nasional meneliti bagaimana perkembangan atau kemajuan proses integrasi dalama masa lampau. 

Pertumbuhan kearah Integrasi antara kompleks historis itu di pekuat atau di perlemah karena datangnya pengaruh-pengaruh dari luar:

1). Pengaruh ekonomis dari aktivitas komorsial, 

2). Pengaruh relijius, terdiri dari budha- Hindhu, Islamisasi, 

3). Pengaruh barat. 

Apabila derajat integrasi dipakai sebagai kriteria atau prinsip dalam penulisan sejarah nasional, maka yang menimbulkan kesulitan adalah kenyataan bahwa perkembangan menurut tiga garis dari proses integrasi itu bagi kompleks-kompleks historis tidak berjalan sejajar.

Untuk menentukan seleksi kejadian-kejadian kita perlu mempusatkan perhatian terhadap bagian-bagian yang menduduki tempat dominan yang dapat dipakai sebagai pusat cerita sejarah. Jadi salah satu tugas pokok penulisan sejarah nasional adalah mengidentifikasikan urutan unit-unit yang dominan sehingga ‘mainstream’ (aliran pokok) dari sejarah nasional dapat disimpulkan. 

C. Perspektif Historis

Di atas telah diutarakan salah satu perspektif yang cocok bagi sejarah nasional, ialah apa yang dinamakan perspektif nasional. Sejarah lokal mempunyai arti apabila dipandang sebagai bagian dari sajarah nasional, dengan perkataan lain, kejadian-kejadian diinterspretasikan dalam hubungannya dengan peristiwa-peristiwa dari sejarah atau dikatakan secara lebih tegas, banyak peristiwa-peristiwa lokal tidak dapat diterangkan tanpa menunjukkan hubungannya dengan peristiwa-peristiwa dalam sejarah nasional. Pendeknya, dalam penyusunan sejarah yang menjadi kerangka sintese ialah konteks nasional.

Apabila historiografi kolonial mencantumkan Sejarah Indonesia hanya sebagai perpanjangan dari Sejarah bangasa Belanda di seberang dan tokoh-tokoh Belanda yang memegang peranan, maka dalam merekonstruksi Sejarah Indonesia sebagai Sejarah Nasional sudut penglihatan yang eropasentris ataupun Neerandosentris itu diganti dengan pandangan yang menempatkan Indonesia sebagai pusat kejadian serta di mana bangsa Indonesia sendiri yang memegang peranan. Pandangan ini telah lazim kita sebut Indonesiasentrisme. Implikasi metodologis dari Indonesiasentrisme ini ialah bahwa untuk periode penjajahan kita perlu memusatkan perhatian kepada Sejarah Regional/Lokal dengan maksud untuk menonjolkan peranan bangsa Indonesia sendiri, oleh karena pada masa itu peristiwa-peristiwa pada tingkat ‘nasional’nsudah barang tentu terutama berkisar sekitar peranan tokoh-tokoh kolonial.

D. Approach Multidimensional

Pembicaraan tenang infrastruktur masyarakat Indonesia secara langsung menyangkut approach multidimensional, sebabnya ialah, bahwa untuk mengungkapkan infrastruktur itu kita tidak cukup menggunakan metode deskriptif seperti yang lazim dipakai dalam sejarah konvensional, melainkan perlu memakai analisa structural. Tambahan pula infrastruktur itu kompleks sifatnya dan memerlukan definisi multifactor berdasarkan berbagai aspek dari kehidupan historis pada tingkat lokal. Analisa berdasarkan interpretasi satu faktor-ekonomis, sosial dan politik-tidak akan mencukupi untuk menerangkan pola-pola sejarah. Pendekatan menurut satu garis penelitian akan terlalu bersatu pihak dan keterangannya terlal sederhana. Unutk mencakup suatu kehidupan historis yang bersegi banyak itu perlu diadakan analisa multidimensional yang mampu mengungapkan faktor-faktor atau unsure-unsur ekonomis, sosial, politik, religious dan sebagainya

. Kompleksitas kehidupan historis akan dapat diuraikan tidak hanya sebagai kesatuan yang terdiri dari faktor-faktor itu dalam interaksinya dan mana diantaranya yang dominan. Sejarah konvensional lazimnya member tekanan pada segi-segi politik, sehingga gambaran sejarahnya berupa politik, atau militer saja, lagipula yang menjadi perhatian hanya peristiwa-peristiwa besar, tokoh-tokoh historis, seperti raja-raja, panglima-panglima perang. Sejarah politiknya terdiri atas perebutan kekuasaan antara golongan-golongan elite, atau antara clique-clique, pengaruh ideology pada rakyat, kedudukan pemilik tanah serta pengaruhnya dalam pemerintah lokal.

E. Sejarah Nasionalistis 

Disini akan dijelaskan perbedaan antara sejarah Nasional dan Sejarah Nasionalistis. Sejarah Nasionalistis sejarah yang cenderung menekankan kebesaran masa lampau bangsa Indonesia, peristiwa-peristiwa yang gemilang sebagai hasil perjuangannya, mendewakan pahlawan-pahlawannya; bangsa Indonesia digambarkan sebagai bangsa yang gagah berani, penuh heroism, bangsa yang cerdik. Sejarah Nasionalistis itu dikuasai oleh prasangka nasionalistis-atau lebih tepat chauvinistis-dengan memuji bangsa sendiri serta memandang rendah bangsa lain. Semboyan yang typis untuk kerangka mental seperti ini ialah Right or wrong, my country. Ide tentang superioritas bangsa sendiri berhubungan dekat mitoligisasi dari nation dengan menegembalikan asalnya kepada kekuatan yang metafisis. 

Yang sangat esensial dalm studi tentang nation ialah meneliti asal mulanya dari kekuatan dan ide historis yang mendorong pertumbuhannya. Masalah pokok ialah bagiamana negara, territoir, dan kultur (bahasa, kesusasteraan, sejarah) terbentuk. Faktor sosial, ekonomis, politik dan cultural manakah yang mendorong perkempangannya. Dalam hubungan ini perlu dicatat, bahwa Sejarah Nasional dalam arti sempit ialah sejarah yang mencakup aliran-aliran (trends) historis yang menuju kea rah pembentukan nation dan nasionalisme. Jadi tidak berlebih-lebihan apabila dikatakan, bahwa pengertian nation tidak dapat dijelaskan tanpa mengikuti sejarahnya. Di sini pula letaknya fungsi yang strategis bagi Sejarah Nasional sebagai ilmu dan mata pelajaran.

Ilmu Sejarah merupakan alat bagi kita untuk menyusun Sejarah Nasional, sesuai dengan tuntutan metode kritis-historis sehingga substansinya secara alamiah dapat dipertanggungjawabkan. Kemudian buku hasil itu dapat dipergunakan untuk menyusun buku-buku pelajaran sekolah dengan disusun sesuai dengan syarat-syarat metodik dan didaktik, sehingga fungsinya pelajaran sejarah dapat dipenuhi. Sejarah Nasionalistis yang totaliter dan fanatic akan menghalang-halangi tumbuhnya nasionalisme yang rasional dan yang terarahkan kepada kebebasa pada satu pihak dan kewarganegaraan yang sehat pada pihak lain.

0 komentar:

HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html