Saturday, 24 January 2015

Sejarah perkembangan Ulumul Hadits

Racik Meracik Ilmu-Islam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai perkembangan ilmu pengetahuan termasuk di dalamnya ilmu pengetahuan tentang hadis yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia baik dalam hal sosial, hukum, kemitraan, kebersihan, egaliter (kesetaraan), persaudaraan, akhlak yang mulia dan sikap positif lainnya.[1] Alquran adalah sumber pertama syariat Islam dan hadis adalah sumber kedua. al-Sunnah merupakan penjelas Alquran, pemerinci hukum-hukumnya, dan mengeluarkan furū’ cabang dari ushūl pokoknya.[2]

Alquran adalah petunjuk bagi umat Islam.[3] Petunjuk-petunjuk Alquran merupakan dasar-dasar pokok yang bersifat ijmali. Hanya hokum faraidh yang dijelaskan secara tafshīli (detail). Di samping itu, Alquran yang ijmāli serta ayat-ayatnya yang mutasyābih memerlukan penjelasan.[4]

Pada waktu Rasul Allah masih hidup, para sahabat yang menemukan suatu permasalahan atau menginginkan suatu penjelasan mengenai suatu ayat, langsung bertanya kepada Rasul. Rasul menjelaskannya baik melalui perkataan, perbuatan atau taqrir. Setelah Rasul wafat, para sahabat berpegang kepada penjelasan Rasul. Penjelasan ini kemudian dikenal dengan nama hadis. Abdul Majid Khon menyatakan bahwa “fungsi hadis terhadap Alquran secara umum adalah untuk menjelaskan (li al-bayān) makna kandungan Alquran yang sangat dalam dan global.[5] Ada empat jenis fungsi al-bayān hadis terhadap Alquran yakni bayān taqrīr, bayān tafsīr, bayān naskhi dan bayān tasyri.[6]

Perkembangan situasi politik dan pertarungan kepentingan antar golongan sangat tajam setelah Rasul wafat. Masing-masing golongan berupaya membuat argumentasi untuk memperkuat posisinya dengan menyatakan suatu hadis yang disandarkan kepada Rasul dan sebenarnya tidak demikian. Bahkan ada yang dengan sengaja membuat hadis palsu.[7]

Para ulama berusaha untuk memelihara kemurnian hadis Nabi saw. dari pemalsuan. Mereka berusaha keras berinisiatif menyeleksi secara ketat riwayat-riwayat yang dikaitkan dengan Rasul. Mereka berusaha menjaga keagungan ajaran agama supaya tidak bercampur baur dengan kepentingan pribadi dan golongan yang dapat merusak keyakinan dan sendi-sendi kehidupan kaum muslimin.
Para ulama menetapkan berbagai syarat yang ketat dalam menyeleksi seluruh riwayat yang dikaitkan dengan Nabi saw. Syarat-syarat itu kemudian menjadi kaedah dan aturan yang digunakan dalam menerima sebuah riwayat. Aturan-aturan tersebut kemudian menjadi satu disiplin ilmu tersendiri yang disebut dengan ‘Ulūm al-Hadīs yang tertulis dalam berbagai buku karangan para ulama. Sampai sekarang, ‘Ulūm al-Hadīs menjadi pegangan pokok untuk menetapkan derajat kualitas suatu hadis yang dapat dijadikan dasar penetapan suatu hokum syar’i.

Kemunculan ‘Ulūm al-Hadīs sebagai suatu disiplin ilmu melalui suatu tahapan perjalanan sejarah yang panjang. Perjalanan sejarah yang dimulai dari masa Rasulullah Muhammad saw. sampai sekarang. Walaupun mengalami pasang surut, akan tetapi semangat para ulama tidak pernah surut atau berhenti menghasilkan karya-karya besar karena mereka termotivasi oleh semangat pengabdian yang tulus untuk memurnikan ajaran agama. Karya-karya tersebut berupa kitab-kitab yang merupakan kontribusi berharga dari para ulama terhadap perkembangan ‘Ulūm al-Hadis. Karya-karya ulama tersebut kemudian menjadi ilmu yang membahas secara spesifik hal-hal tertentu yang berkaitan dengan hadis Rasulullah Muhammad saw.

Belajar sejarah mengandung banyak manfaat. Orang yang mempelajari sejarah dan perkembangan suatu ilmu, termasuk ‘Ulum al-Hadis, akan menjadikan yang bersangkutan lebih bersikap cermat, teliti, bersungguh-sungguh, memiliki motivasi yang tinggi dan lebih bijaksana dalam menanggapi suatu masalah. Seseorang akan mampu mengendalikan diri dalam menetapkan status suatu hadis berdasarkan penerapan suatu kaedah atau metode yang tepat, sehingga tidak menimbulkan intrepretasi yang membingungkan.

Hasbi Ash-Shiddieqy mengemukakan bahwa untuk mempelajari sejarah pertumbuhan dan perkembangan ‘Ulūm al-Hadis perlu ditelusuri dua pokok, yaitu:

1. Mempelajari periode-periode ilmu hadis

2. Mempelajari pemuka-pemuka ilmu hadis.[8]

Para ahli berusaha menyusun secara sistematis periode-periode pertumbuhan dan perkembangan ilmu hadis. Nūr al-Dīn mengemukakan tahapan perkembangan ‘Ulūm al-Hadīs atas tujuh tahap, yaitu:

Tahap pertama: Kelahiran Ilmu Hadis

Tahap kedua: Tahap Penyempurnaan

Tahap ketiga: Tahap pembukuan Ilmu Hadis secara terpisah

Tahap keempat: Penyusunan Kitab-kitab Induk ‘Ulūm al-Hadīs dan penyebarannya

Tahap kelima: Kematangan dan kesempurnaan pembukuan ‘Ulūm al-Hadis

Tahap keenam: Masa Kebekuan dan kejumudan

Tahap ketujuh: Kebangkitan kedua.[9]

Masa Kelahiran ‘Ulūm al-Hadis

Benih-benih ilmu hadis telah tumbuh sejak zaman Rasulullah saw. sejalan dengan diwurudkannya hadis-hadis kepada para sahabatnya. Hal ini dapat dilihat misalnya bagaimana para sahabat dapat melihat adanya kedustaan yang disampaikan oleh seseorang yang mengatasnamakan Rasul saw. Rasul juga telah menetapkan beberapa aturan, bagaimana seharusnya hadis itu diterima dan disampaikan kepada yang lainnya, seperti juga Rasul menyampaikan hadis-hadis tertentu kepada orang-orang tertentu, dengan cara-cara yang tertentu pula.[10]

Sesuai dengan perkembangan hadis, ilmu hadis selalu mengiringinya sejak masa Rasulullah saw. sekalipun belum dinyatakan sebagai ilmu secara eksplisit. Pada masa Nabi masih hidup di tengah-tengah sahabat, hadis tidak ada persoalan karena jika menghadapi suatu masalah atau skeptis dalam suatu masalah, mereka langsung bertemu dengan beliau untuk mengecek kebenarannya. Pemalsuan hadis pun tidak pernah terjadi menurut pendapat ulama ahli hadis.[11] Ahmad Amin dalam bukunya Fajr al-Islām menyatakan bahwa dimungkinkan terjadi adanya pemalsuan hadis pada masa Nabi masih hidup.[12] Hal ini hanya pernyataan yang bersifat dugaan belaka, tidak disertai bukti otentik yang mendukung pernyataan tersebut.

‘Ulūm al-Hadis sebagai sebagai suatu disiplin ilmu mengalami masa pertumbuhan dan perkembangan, Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib mengemukakan hal ini sebagai berikut:

Ulumul Hadis tumbuh bersama dengan tumbuhnya periwayatan dan pemindahan hadis dalam Islam. Dasar-dasar ini mulai tampak setelah Rasul saw. wafat, yakni tatkala kaum muslimin memberikan perhatian serius dalam mengoleksi hadis Nabi, karena khawatir tersia-siakan. Mereka berusaha keras menghapal, menandai, memindahkan dan mengkodifikasikannya. Secara alamiah kodifikasi hadis mendahului kodifikasi Ilmu Ushulul Hadis. Karena hadis adalah materi yang dikumpulkan dan dikaji. Sedang Ushulul Hadis adalah kaedah dan metode yang harus diikuti untuk menerima dan menolak hadis dan mengetahui yang shahih dari yang dha’if.[13]

Penjelasan ‘Ajjaj ini, memberikan pemahaman bahwa pertumbuhan dan perkembangan ‘Ulum al-Hadis melalui suatu tahapan yang cukup panjang. Ilmu itu tumbuh dan berkembang dari masa ke masa secara terus neberus dan berkesinambungan mengkuti irama periwayatan hadis terutama sebelum hadis terkodifikasi dengan baik.

Sekalipun pada masa Nabi tidak dinyatakan adanya ilmu hadis, tetapi para peneliti hadis memperhatikan adanya dasar-dasar dalam Alquran dan hadis Rasulullah saw.[14] Misalnya anjuran pemeriksaan berita yang datang dan perlunya persaksian yang adil. Firman Allah dalam QS. Al-Hujurat (49): 6:

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.[15]

Demikan pula dalam QS. Al-Baqarah (2): 282:

Terjemahnya:

Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya.[16]



QS. Ath-Thalaq (65): 2


Terjemahnya:

“…dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu…”[17]

Ayat-ayat di atas menunjukkan pemberitaan dan persaksian orang fasik tidak diterima. Muslim mengatakan, sekalipun pemberitaan dan persaksian tidak sama pengertiannya, tetapi dalam beberapa hal mempunyai arti yang sama. Jika berita yang dibawa orang fasik tidak diterima oleh ahli ilmu demikian juga persaksiannya juga ditolak oleh mereka.[18] Ayat-ayat di atas berarti perintah memeriksa, meneliti, dan mengkaji berita yang dating dibawa seorang fasik yang tidak adil. Tidak semua berita yang dibawa seseorang dapat diterima sebelum diperiksa siapa pembawanya dan apa isi berita tersebut. Jika pembawanya orang jujur, adil dan dapat dipercaya diterima, tetapi sebaliknya jika pembawa berita itu orang fasik, tidak objektif, pembohong dan lain-lain, maka tidak diterima karena akan menimpakan musibah terhadap orang lain yang menyebabkan penyesalan dan merugikan.[19]

Setelah Rasulullah meninggal, kondisi sahabat sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadis karena konsentrasi mereka kepada Alquran yang baru dikodifikasikan pada masa Abu Bakar tahap awal dan masa Utsman tahap kedua. Masa ini terkenal dengan masa taqlil ar-riwayah (pembatasan periwayatan), para sahabat tidak meriwayatkan hadis kecuali tidak disertai dengan saksi dan bersumpah bahwa hadis yang ia riwayatkan benar-benar dari Rasulullah saw. Pada masa awal Islam belum diperlukan sanad dalam periwayatan hadis karena orangnya masih jujur-jujur, saling mempercayai satu dengan yang lain. Tetapi setelah terjadinya konflik fisik (fitnah) antar relit politik yakni antar pendukung Ali dan Mu’awiyah dan umat berpecah menjadi beberapa sekte; Syi’ah, Khawarij, dan Jumhur Muslimin. Setelah itu mulailah terjadi pemalsuan hadis (hadis mawdhu’) dari masing-masing sekte dalam rangka mencari dukungan politik dari massa yang lebih luas.[20]

Melihat kondisi seperti hal di atas, para ulama bangkit membendung hadis dari pemalsuan dengan berbagai cara, di antaranya rihlah checking kebenaran hadis dan mempersyaratkan kepada siapa saja yang mengaku mendapat hadis harus disertai dengan sanad. Sebagaimana ungkapan ulama hadis ketika dihadapkan suatu periwayatan: “Sebutkan kepada kami para-para pembawa beritamu”.[21] Ibnu al-Mubarak berkata: “Isnad/sanad bagan dari agama, jikalau tidak ada isnad sungguh sembarang orang akan berkata apa yang dikehendaki”[22]

Pada masa sahabat dan (lebih-lebih) masa tabi’in, kebutuhan terhadap ilmu ini semakin terasa. Hal ini karena, Rasul saw. sebagai sumber untuk merujuk hadis sudah wafat, sehingga diperlukan adanya tolak ukur untuk menguji kebenaran suatu hadis, terutama hadis-hadis yang hanya didengar atau disampaikan oleh seseorang saja. Lebih-lebih ketika umat Islam memulai upaya mengumpulkan hadis dan mengadakan perlawatan yang mereka lakukan ke seluruh wilayah kekuasaan Islam. Hal ini sudah barang tentu secara langsung atau tidak, memerlukan kaidah-kaidah guna melakukan seleksi dalam penerimaan dan periwayatan atau penyampaian hadis kepada para muridnya.[23]

B. Masa Penulisan ‘Ulum al-Hadis

Tahap kedua dari perkembangan ‘Ulum al-Hadis ialah tahap penyempurnaan. Pada tahap ini, ilmu hadis mencapai titik kesempurnaannya. Setiap cabangnya dapat berdiri sendiri dan sejalan dengan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan dan dipergunakan oleh ulama. Tahap ini berlangsung dari abad kedua sampai awal abad ketiga. Peristiwa-peristiwa menonjol yang menendai periode ini ialah:

  1. Melemahnya daya hapal di kalangan umat Islam sebagaimana disebutkan al-Dzahabi dalam kitab Tazkirat al-Huffazh.
  2. Panjang dan bercabangnya sanad-sanad hadis, lantaran bentangan jarak waktu dan semakin banyak rawi.
  3. Munculnya sejumlah kelompok umat Islam yang menyimpang dari jalan kebenaran yang ditempuh para sahabat dan tabi’in, seperti Mu’tazilah, Jabariyah, Khawarij, dan sebagainya. Oleh karena itu, para ulama bangkit untuk mengantisipasi kekacauan ini dengan langkah yang dapat menutupi pengaruh yang mungkin timbul. Antara lain:

  • Pembukuan hadis secara resmi
  • Mengembangkan jarh wa ta’dil untuk mengkritisi rawi hadis
  • Mengembangkan sikap tawaqquf yaitu tidak menolak atau menerima bila mendapatkan hadis dari sesorang yang mereka tidak kenal sebagai ahli hadis.
  • Menelusuri sejumlah hadis untuk mengungkap kecacatan yang mungkin tersembunyi di dalamnya.[24]

Para ulama sangat ketat dalam menyeleksi hadis. Mereka meneliti setiap keadaan perawi sehingga hadis dapat diketahui kualitasnya. Bahkan, mereka bersedia melakukan perjalanan panjang untuk mengecek kebenaran sebuah hadis yang diriwayatkan oleh seseorang dengan mempersyaratkan kriteria-kriteria tertentu sesuai dengan kaidah yang ditetapkan para ulama.[25] Dengan demikian, hadis yang diriwayatkan oleh seseorang akan dapat diketahui antara lain keadilan, kecacatan, dan kedhabitan seorang perawi dan sebagainya.

Pada masa tabi’in, ulama yang pertama kali menetapkan dasar-dasar ilmu hadis ialah Ibn Syihab az-Zuhri (51-124 H). Ini diperlukan, sehubungan dengan keahliannya dalam bidang hadis dan kedudukan dirinya sebagai pengumpul hadis, atas perintah resmi dari khalifah Umar bin Abd al-Azis. Dari sini ilmu hadis mulai terlihat wujudnya meskipun dalam bentuk kaidah-kaidah yang simpel dan sederhana.[26] Di samping itu, Imam Al-Syafii menulis kitab al-Risalah yang mengulas kriteria hadis yang dapat dijadikan hujjah. Kitab al-Risalah merupakan kitab ‘Ulum al-Hadis yang pertama.[27]

Pada perkembangan berikutnya, kaidah-kaidah itu semakin dikembangkan oleh para ulama yang muncul pada abad kedua dan ketiga Hijriyah, baik mereka yang mengkhususkan diri dalam mempelajari bidang hadis, maupun bidang-bidang lainnya.[28] Dalam hal ini dapat dilihat misalnya para ulama imam mazhab fiqh, yang juga turut membicarakan dan menyusun ilmu ini. Kemudian, lebih berkembang lagi dengan hadirnya para ulama mudawwin hadis, seperti Malik in Anas, al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, at-Turmudzi, an-Nasa’I, dan Ibnu Majah. Akan tetapi karya-karya mereka masih berserakan dalam bentuk risalah-risalah-nya.[29]

C. Masa Pembukuan ‘Ulum al-Hadis


  1. Tahap Pembukuan Ilmu Hadis secara terpisah

Tahap ini berlangsung sejak abad ketiga sampai pertengahan abad keempat Hijriah. Tahap ini merupakan tahap pembukuan hadis dan merupakan zaman keemasan sunnah. Sebab, dalam abad inilah sunnah dan ilmu-ilmunya dibukukan dengan sempurna.

Tahap ini ditandai dengan inisiatif para ulama untuk membukukan hadis Rasul secara khusus. Untuk itu mereka susun kitab-kitab musnad untuk menghimpun hadis Rasul yang mereka kelompokkan berdasarkan nama-nama sahabat, sehinga hadis-hadis yang diriwayatkan dari Abu Bakar –misalnya- dikumpulkan dalam satu tempat dengan judul Musnad Abu Bakar, demikian pula hadis-hadis umar yang lainnya.

Bukhari memberikan terobosan baru dengan membukukan hadis-hadis shahih secara khusus dan disusun berdasarkan bab-bab tertentu, agar mudah dicari dan dipahami. Kitab yang disusunnya bernama al-Jami’ al-Shahih. Berikutnya datanglah enam imam lainnya yang tiada lain adalah murid-muridnya kecuali al-Nasai. Mereka menyusun kitab masing-masing berdasarkan bab-bab fiqh dengan hadis-hadis yang mereka pilih secara selektif, meskipun para penulis kitab sunnah itu tidak mensyaratkan semua hadisnya shahih.

Pada tahap ini, cabang-cabang ilmu hadis telah berdiri sendiri sebagai suatu ilmu, seperti ilmu hadis shahih, ilmu hadis mursal, ilmu al-Asma wa al-Kuna, dan sebagainya. Ulama yang dikenal menyusun buku yang berkaitan dengan ilmu hadis pada masa ketiga ini ialah:

2. Yahya ibn ma’in (w.234 H) menyusun kitab tentang biografi para rawi


3. Muhammad ibn Sa’d (w. 230 H) menyusun kitab tentang thabaqat para rawi.     Kitab ini merupakan kitab yang paling baik.


4. Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H) menyusun kitab al-‘Ilal wa al-Ma’rifah al-Rijal       dan al-Nasikh wa al-Mansukh.


5. ‘Ali ibn ‘Abdullah ibn al-Madani (w.234 H) Guru al-Bukhari, menyusun buku        tentang banyak hal yang mencapai dua ratus judul. Kebanyakan kitab yang       disusunnya selalu menjadi perintis dalam bidangnya sehingga para ulama          menyatakan bahwa tiada cabang ilmu hadis yang luput dari bahasannya dan tidak tersentuh dalam tulisannya.[30]


Pada masa ini, para ulama telah mempelajari dan meneliti seluruh matan dan sanad hadis dengan sempurna melalui kajian ilmu hadis. Istilah-istilah yang berkaitan dengan hadis pada masa ini telah baku sebagaimana yang terlihat dalam kitab al-Turmudzi dan selainnya. Walaupun demikian, dalam tahap ini belum ditemukan suatu tulisan yang pembahasannya mencakup seluruh kaidah-kaidah cabang-cabang ilmu hadis dengan batasan istilah-istilahnya. Sebabnya ialah mereka masih mengandalkan hapalan dan penguasaannya terhadap semua itu; kecuali sebuah kitab kecil yang berjudul al-‘Ilal al-Shagir karya Imam al-Turmudzi (w. 279 H). kitab ini merupakan penutup kitab Jami’ al-Turmudzi.[31]

2. Tahap penyusunan Kitab-Kitab Induk ‘Ulum al-Hadis dan penyebarannya

Masa ini bermula pada pertengahan abad keempat dan berakhir pada awal abad ketujuh. Pada periode ini, para ulama menekuni dan mendalami kitab-kitab yang telah disusun oleh para ulama sebelumnya. Kemudian mereka menghimpun keterangan-keterangan yang masih berserakan kemudian melengkapinya dengan keterangan-keterangan ulama lain yang diriwayatkan dengan sanad yang sampai kepada pembicaranya. Sesudah itu mereka memberi komentar terhadap keterangan-keterangan dan digali hukumnya.

Dalam catatan sejarah perkembangan hadis, diketahui bahwa ulama yang pertama kali berhasil menyusun ilmu hadis dalam suatu disiplin ilmu secara lengkap, adalah seorang ulama sunni bernama al-Qadi Abu Muhammad al-Hasan bin Abd ar-Rahman bin Khalad ar-Ramahurmuzi (w. 360 H), dengan kitabnya Al-Muhaddiits al-Fashil baina ar-Rawi wa al-Wa’i. Menurut Ibn Hajar al-Asqalani,[32] karya ar-Ramahurmuzi ini belum mencakup seluruh ilmu hadis. Meskipun demikian, menurutnya lebih lanjut, kitab ini sampai pada masanya merupakan kitab terlengkap, yang kemudian dikembangkan oleh para ulama berikutnya.

Orang kedua setelah ar-Ramahurmuzi, ialah al-Hakim Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah an-Naisaburi (321-405H) dengan kitabnya Ma’rifah ‘Ulum al-Hadis. Pada kitab ini dibahas sebanyak 52 macam pembahasan. Namun, seperti karya ar-Ramahurmuzi, karya al-Hakim ini juga belum sempurna dan kurang sistematis dibanding dengan kitab-kitab karya ulama berikutnya.[33]

Setelah itu, muncul Abu Nu’aim Ahamad bin Abdillah al-Ashafani (336-430 H) dengan kitabnya al-Mustakhraj ‘ala Ma’rifah’Ulum al-Hadits. Dalam kitab ini, ia mengemukakan kaidah-kaidah temuannya yang tidak terdapat dalam kitab Ma’rifah ‘Ulum al-Hadits karya al-Hakim.[34]

Berikutnya, al-Khathib al-Bagdadi Abu Bakr ahmad bin Ali (w. 463 H) dengan kitabnya yang terkenal, ialah “Al-Kifayah fi Qawanin ar-Riwayah”. Kitab ini berisi berbagai uraian ilmu hadis da kaidah-kaidah periwayatan. Karya lainnya, ialah Al-Jami’ li Adabi asy-Syeikh wa As-Sa’mi. Menurut Abu Bakr bin Nuqthah, para ulama muhaddisin yang menyusun ilmu ini setelah al-Khatib al-Bagdadi, menginduk kepada kitabnya.[35]

Selang beberapa waktu, menyusul al-Qadi ‘Iyadh bin Musa al-Yahshibi (w. 544 H) dengan kitabnya Al-Ilma’ fi Dabth ar-Riwayah wa Taqyid al-Asma’. Berikutnya, ialah Abu Hafidz Umar bin Abd Majid al-Mayanji (w. 580 H) dengan kitabnya ‘Ulum al-Hadits yang dikenal dengan Muqaddimah ibn ash-Shalah. Kitab ini oleh para ulama berikutnya disyarahkan dan dibuat 27 mukhtashar-nya, sehingga dapat dijadikan pegangan oleh ulama generasi berikutnya.[36]

D. Masa Pentashihan ‘Ulum al-Hadis

Tahap kematangan dan kesempurnaan pembukuan ‘Ulum al-Hadis bermula pada abad ketujuh dan berakhir pada abad kesepuluh. Pembukuan ‘Ulum al-Hadis pada tahap ini mencapai tingkat kesempurnaan dengan ditulisnya sejumlah kitab yang mencakup seluruh cabang ilmu hadis. Pada tahap ini dilakukan penelitian secara mendetail terhadap sejumlah masalah dan upaya perbaikan sejumlah ungkapan yang memerlukan penghalusan redaksi. Para penyusun kitab adalah para imam besar yang hapal semua hadis dan menyamai pengetahuan dan penalaran para imam besar terdahulu terhadap cabang-cabang hadis, sanad dan matannya.

Pelopor pembaharuan dalam pembukuan ilmu hadis pada masa ini ialah al-Imam al-Muhaddits al-Faqih al-Hafidz al-Ushul Abu ‘Amr ‘Utsman ibn al-Shalah (w. 643) dengan kitab ‘Ulum al-Hadis yang sangat masyhur. Keistimewaan kitab ini ialah:
  1. Kemampuannya menarik kesimpulan yang sangat baik terhadap dan kaidah yang dikemukakan para ulama.
  2. Memberi batasan terhadap defenisi-defenisi yang ada sambil menguraikannya, juga menjelaskan definisi-definisi yang belum pernah dijelaskan sebelumnya.
  3. Mengomentari pendapat para ulama berdasarkan hasil penelitian dan ijtihad penyusunnya.

Kitab-kitab yang tercatat sebagai tahap kematangan dan kesempurnaan pembukuan ‘Ulum al-Hadis ialah:

  1. Al-Irsyad karya Imam Yahya ibn Syaraf al-Nawawi (w. 676 H). Kitab ini merupakan ringkasan dari kitab ‘Ulum al-Hadis kemudian diringkaskan lagi menjadi al-Taqrib wa al-Taisir li Ahadis al-Basyir al-Nadzir.
  2. Al-Tabshirah wa al-Tadzkirah. Kitab yang disusun dalam bentuk syair sebanyak seribu bait karya al-Hafidz Abd al-Rahman ibn al-Husain al-Iraq (w. 806 H). Kitab ini mencakup seluruh isi kitab ‘Ulum al-Hadis dengan menjelaskan dan menambah kekurangannya dengan beberapa masalah lalu disyarahi dengan syarah yang sangat baik.
  3. Al-Taqyid wa al-Lidhah li ma Uthliqa min Kitab ibn al-Shalah yang dikenal dengan nama al-Nukat. Kitab ini diberi catatan kaki oleh Fadhilat al-Syaikh Muhammad Raghib al-Thabbah dengan keterangan-keterangan yang sangat bermanfaat.
  4. Al-Ifshah ‘ala Nukat ibn al-Shalah. Kitab syarah ‘Ulum al-Hadis disusun oleh al-Hafidz Ahmad ibn ‘Ali ibn Hajar al-Atsqalani (w. 852 H). kitab ini sampai sekarang masih dalam bentuk naskah tulisan tangan yang terdapat di India.
  5. Fath al-Mughits Syarh Al-Fiyah al-Iraqi fi ‘Ilm al-Hadis karya al-Hafidz Syamsuddin Muhammad al-Shakhawi (w. 902 H). Kitab ini memuat hasil studi kritis terhadap masalah-masalah yang terdapat dalam kitab-kitab sunnah dan ‘Ulum al-Hadis. Kitab ini dicetak di India dalam satu jilid tebal.
  6. Tadrib al-Rawi Syarah Taqrib al-Nawawi karaya al-hafidz Jalaluddin Abd al-Rahman al-Suyuthi (w. 911 H).
  7. Nukhbat al-Fikr dan syarahnya Nuzhat al-Nadzar. Keduanya karya al-hafidz Ibn Hajar.[37]

Dalam perkembangannya, ‘Ulum al-Hadis sempat mengalami masa kebekuan dan kejumudan. Keadaan ini berlangsung dari abad kesepuluh sampai awal abad keempat belas Hijriyah. Pada masa ini, ijtihad dalam masalah ilmu hadis dan penyusunan kitab nyaris berhenti total. Kitab-kitab yang ditulis pada umumnya ringkas dan praktis, baik dalam bentuk syair maupun prosa. Para penulis hanya sibuk dengan kritikan-kritikan terhadap istilah-istilah yang terdapat dalam kitab yang telah ada tanpa ikut menyelami inti permasalahannya. Mereka kurang melakukan penelitian dan ijtihad sehingga perkembangan ‘Ulum al-Hadis mengalami kemandekan. Walaupun demikian masih ada penerbitan buku yang berkaitan dengan ‘Ulum al-Hadis, di antaranya:
  1. Al-Manzhumat al-Baiquniyyah karya ‘Umar ibn Muhammad ibn futuh al-Baiquni al-Dimasqi (w. 1080 H). kitab ini berisi 36 bait syair. Keistimewaan kitab karena disusun secara sistematis dan dengan bahasa yang sangat sederhana sehingga mudah dihapalkan oleh orang-orang yang mempelajarinya.
  2. Taudhih al-Afkar karya Al-Shan’ani Muhammad ibn Isma’il al-Amir (w. 1182 H).
  3. Syarah Nuzhat al-Nazhar karya Syekh ‘Ali ibn Sulthan al-Harawi al-Qari’i (w. 1014 H).[38]

Pada masa kebekuan dan kejumudan ini, bangkit pengkajian al-Hadis di India yang dipelopori oleh al-Allamah al-Imam al-Muahddits syah Waliyu Aliah al-Dahlawi (w. 1176 H). Upaya pengkajian ini dilanjutkan oleh anak dan cucunya serta murid-muridnya dengan berpedoman kepada kaedah-kaedah yang sudah baku.[39]

E. ‘Ulumul Hadis di Masa Kontemporer

Setelah mengalami masa kebekuan dan kejumudan, pengkajian terhadap ‘Ulum al-Hadis semakin dikembangkan oleh ulama-ulama kontemporer. Tahap ini diistilahkan oleh Nur al-Din sebagai masa kebangkitan kedua. Masa kebangkitan kedua bermula pada permulaan abad keempat belas hijriyah. Umat Islam bangkit kembali karena khawatir pengaburan ajaran agama akibat persentuhan dunia Islam dengan dunia Barat dan Timur, bentrokan mliter yang tidak manusiawi, orientalis kolonialisme pikiran yang lebih jahat dan lebih berbahaya. Kondisi telah menuntut untuk disusunnya kitab-kitab yang membalas tuduhan dan menyanggah kesalahan-kesalahan dann kedustaan mereka. Tuntutan ini menghasilkan beberapa karya ulama antara lain:

  • Qawaid al-Tahdits karya Syekh Jamaluddin al-Qasimi. Kitab ini membahas: Hadis Shahih dan Hadis Hasan, Hadis dhaif, dan Hal-hal yang berkaitan dengan ketiga hadis tersebut.

  • Miftah al-Sunnah atau Tarikh Funun al-Hadis karya ‘Abd Aziz al-Khuli. Kitab ini menjadi pelopor pengkajian sejarah Hadis dan perkembangan ilmu-ilmunya.
  • Al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri al-Islami karya Dr. Musthafa al-Siba’i. Kitab ini membicarakan hal ikhwal orientalis, serangan mereka terhadap Hadis, dan serangan balik mereka ketika kalah berargumentasi. Kitab ini juga menyanggah anggapan-anggapan kelompok ingkar al-Sunnah baik dari generasi terdahulu dan pada saat itu.
  • Al-Hadis wa al-Muhadditsin karya Dr. Muhammad Abu Zahw. Kitab ini menjelaskan tentang ketekunan para ulama dalam mengabdi kepada al-Sunnah disertai hasil penelitian kondisi hadis pada periode pertama yaitu periode sahabat, tabi’in sampai periode pembukuan hadis. Kitab ini juga dilengkapi dengan sanggahan terhadap isu dan anggapan yang bathil berkenaan dengan hadis.
  • Al-Manhaj al-Hadis fi ‘Ulum al-Hadis karya Dr. Syekh Muhammad al-simahi, yang menguasai seluruh cabang Ilmu Hadis secara luas dan komprehensif, begitu juga kaidah-kaidahnya yang panjang dan mencakup. Kitab ini terbagi atas empat bagian.

Bagian pertama : Sejarah Hadis terdiri atas tiga jilid
Bagian Kedua : Musthalah al-Hadis
Bagian Ketiga : Periwayatan Hadis
Bagian Keempat : Hal Ikhwal para rawi.[40]

Perjalanan sejarah pertumbuhan dan perkembangan ‘Ulum al-Hadis menunjukkan kecintaan umat Islam, khususnya para ulama kepada ajaran Islam yang murni. Berbagai upaya telah dilakukan agar ‘Ulum al-Hadis tetap eksis sebagai suatu disiplin ilmu, di antaranya denga menyusun berbagai kitab yang memuat kaedah-kaedah dan aturan-aturan yang cukupo akurat untuk dipergunakan meneliti, menyeleksi, menghimpun dan mengklasifikasi hadis dan menyanggah setiap usaha yang mencoba mencederai atau meremehkan kedudukan hadis Rasul saw..

Kesimpulan

  1. Benih-benih ‘Ulūm al-Hadīts telah tumbuh sejak zaman Rasulullah saw.. sekalipun belum dinyatakan sebagai ilmu secara eksplisit. Nur al-Din menyebutkan bahwa kelahiran ‘Ulūm al-Hadīts berlangsung pada masa sahabat sampai penghujung abad pertama Hijriyah
  2. Pada masa tabi’in, ulama yang pertama kali menetapkan dasar-dasar ilmu hadis ialah Ibn Syihab az-Zuhri (51-124 H). Di samping itu, Imam Al-Syafii menulis kitab al-Risalah yang mengulas kriteria hadis yang dapat dijadikan hujjah. Kitab al-Risalah merupakan kitab ‘Ulūm al-Hadīts yang pertama.
  3. Dalam catatan sejarah perkembangan hadis, diketahui bahwa ulama yang pertama kali berhasil menyusun ilmu hadis dalam suatu disiplin ilmu secara lengkap, adalah seorang ulama sunni bernama al-Qadi Abu Muhammad al-Hasan bin Abd ar-Rahman bin Khalad ar-Ramahurmuzi (w. 360 H), dengan kitabnya Al-Muhaddiits al-Fashil baina ar-Rawi wa al-Wa’i.
  4. Abad ketiga sampai pertengahan abad keempat Hijriah merupakan Tahap pembukuan Ilmu Hadis secara terpisah dan tahap penyusunan Kitab-Kitab Induk ‘Ulūm al-Hadīs dan penyebarannya bermula pada pertengahan abad keempat dan berakhir pada awal abad ketujuh.Tahap kematangan dan kesempurnaan pembukuan ‘Ulūm al-Hadīts bermula pada abad ketujuh dan berakhir pada abad kesepuluh.
  5. Setelah mengalami masa kebekuan dan kejumudan, pengkajian terhadap ‘Ulūm al-Hadis semakin dikembangkan oleh ulama-ulama kontemporer. Tahap ini diistilahkan oleh Nūr al-Dīn sebagai masa kebangkitan kedua. Masa kebangkitan kedua bermula pada permulaan abad keempat belas Hijriyah

DAFTAR PUSTAKA

Abduh, Muhammad. Risālah al-Tauhīd. Cet. 7; Jakarta: Bulan Bintang, 1979.

Amin, Ahmad. Fajr al-Islam (Cet.11; Cairo: An-Nahdhah al-Mishriyah, 1975.

Hasyim, Ahmad Umar. As-Sunnah an-Nabawiyah wa ‘Ulumuha. Cairo: Maktabah Gharib, t.th.

Ismail, M. Syuhudi Pengantar Ilmu Hadis. Cet. 2; Bandung; Angkasa, 1994.

‘Itr, Nur al-Din. Manhāj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis, terj. Mujiyo, ‘Ulum Al-Hadits I. Cet. 1; Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994.

Al-Khatib, M. Ajjaj. al-Sunnah Qabla Tadwīn, terj. AH. Akrom Fahmi, Hadits Nabi Sebelum Dibukukan. Cet. 1; Jakarta: Gema Insani Press, 1999.

-------------Ushul al-Hadis. terj. M. Qadirun Nur & Ahmad Musyafiq, Pokok-Pokok Ilmu Hadis. Cet. 1; Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998.

Khon, Abdul Majid. Ulumul Hadis. Cet. 1; Jakarta: Amzah, 2008.

Nata, Abuddin. Metodologi Studi Islam. Edisi Revisi; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008.

An-Nawawi, Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syaraf. Shahih Muslim bi Syarh An-Nawawi, jil.IX. Cet. 1; Cairo: Dar al-Fajr, 1999.

Program Alquran Word

Qardhawi,Yusuf. Kaefa Nata’amalu ma’a al-Sunnah al-Nabawiyah. terj. Muhammad Al-Baqir, Bagaimana Memahami Hadis Nabi SAW. Cet. 4; Bandung: Kharisma, 1995.

Ranuwijaya, Utang, Ilmu Hadis (Cet.4; Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001.

Ash-Shiddieqy, Hasbi. Sedjarah dan Pengantar Ilmu Tafsir. Djakarta: Bulan Bintang, 1967.

As-Shalih, Shubhi. ‘Ulum al-Hadits wa mushthalahah. Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1997.

ath-Thahhan, Mahmud. Tafsir Musthalah al-Hadits. Beirut: Dar ats-Tsaqafah al-Islamiyah, t.th.

CATATAN KAKI

[1]Abuddin Nata, M.A., Metodologi Studi Islam, Edisi Revisi (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008), h. 1.

[2]M. Ajjaj Al-Khatib, al-Sunnah Qabla Tadwīn, diterjemahkan AH. Akrom Fahmi, Hadits Nabi Sebelum Dibukukan (Cet. 1; Gema Insani Press, 1999), h. 21

[3]Lihat QS. Al-Isra’ (79): 9. Lihat uraian Muhammad Abduh mengenai wahyu dan Alquran dalam “Risalah al-Tauhid” (Cet. 7; Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 144-154 dan h. 185-192.

[4]Hasbi Ash-Shiddieqy, Sedjarah dan Pengantar Ilmu Tafsir (Djakarta: Bulan Bintang, 1967), h. 149. Uraian yang sama terdapat dalam M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis (Cet. 2; Bandung; Angkasa, 1994), h. 55.

[5]Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Cet. 1; Jakarta: Amzah, 2008), h. 16.

[6]Ibid., h. 17-19.

[7]Lihat Yusuf Qardhawi, Kaefa Nata’amalū ma’a al-Sunnah al-Nabawiyah. terj. Muhammad Al-Baqir, Bagaimana Memahami Hadis Nabi SAW (Cet. 4; Bandung: Kharisma, 1995), h. 24.

[8]Hasbi Ash-Shiddieqy, op.cit., h. 45.

[9]Nūr al-Dīn ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulūm al-Hadis, terj. Mujiyo, ‘Ulum Al-Hadits I (Cet. 1; Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), h. 21.

[10]Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis (Cet.4; Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), h. 87.

[11]Abdul Majid Khon, op.cit., h. 78.

[12]Ahmad Amin, Fajr al-Islām (Cet.11; Cairo: An-Nahdhah al-Mishrīyah, 1975), h. 211.

[13]Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadis. terj. M. Qadirun Nur & Ahmad Musyafiq, Pokok-Pokok Ilmu Hadis (Cet. 1; Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998), h. xiv.

[14]Abdul Majid Khon, op.cit., h. 78.

[15]Program alquran Word.

[16]Program Alquran Word.

[17]Program Alquran Word.

[18]Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarh An-Nawawi, jil.IX (Cet. 1; Cairo: Dar al-Fajr, 1999), h. 80.

[19]Abdul Majid Khon, op.cit., h. 79.

[20]Ibid., h. 80.

[21]Ahmad Umar Hasyim, As-Sunnah an-Nabawiyah wa ‘Ulumuha (Cairo; Maktabah Gharib, t.th), h. 363-364.

[22]An-Nawawi, op. cit., h. 103.

[23]Utang Ranuwijaya, op.cit., h. 87-88.

[24]Nur al-Din, op.cit., h. 36.

[25]Perjalanan untuk meneliti suatu hadis dideskripsikan dalam Subhi Al-Shalih, op.cit., h. 61-80. Perjalanan ini diistilahkan dengan Rihlah Checking oleh Abdul Majid Khon, op.cit., h. 80

[26]Utang Ranuwijaya, op.cit., h. 88.

[27]Nur al-Din, op.cit., h. 48.

[28]Shubhi as-Shalih, ‘Ulum al-Hadits wa mushthalahah (Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1997), h. 5.

[29]Utang Ranuwijaya, op.cit., h. 88.

[30]Nur al-Din, op.cit., h. 49.

[31]Ibid.,

[32]Shubhi as-Shalih, op.cit., h. 5.

[33]Kitab Ma’rifat ‘Ulum al-Hadits ini diikhtiarkan oleh Thahir al-Jaza’iri (w. 1338 H) dalam kitabnya berjudul “Taujih an-Nazhar”

[34]Utang Ranuwijaya, op.cit., h. 89.

[35]Mahmud ath-Thahhan, Tafsir Musthalah al-Hadits (Beirut: Dar ats-Tsaqafah al-Islamiyah, t.th), h. 12.

[36]Shubhi as-Shalih, op.cit., h. 89.

[37]Nur al-Din, op.cit., h. 49.

[38]Ibid.,

[39]Ibid.,

[40]Ibid.,

0 komentar:

HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html