Salah satu perubahan penting dalam perkembangan Islam di Indonesia adalah pertumbuhan kota pelabuhan dan ibu kota kerajaan. Seiring dengan penyebaran agama Islam di Indonesia, mulai bermunculan kota yang berada di pesisir dan di muara sungai besar, misalnya Samudra Pasai, Aceh, Demak, Banten, Ternate, Gowa, dan Banjarmasin. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan kota, antara lain sebagai berikut:
- Faktor ekonomi. Pada waktu itu hubungan lalu lintas pelayaran dan perdagangan melalui sungai atau laut dengan menggunakan perahu atau kapal dianggap lebih mudah dan cepat. Karena ramainya aktivitas pelayaran dan perdagangan melalui sungai dan laut, kemudian muncul kota di pesisir dan muara sungai.
- Faktor Politik. Faktor politik ikut juga menentukan pertumbuhan dan perkembangan kota. Misalnya, kota yang terletak di pesisir utara Pulau Jawa, yaitu Demak, menjadi pusat kerajaan karena jasa Raden Patah yang berhasil menghimpun kekuatan rakyat untuk menundukkan Majapahit.
Hampir bersamaan dengan tumbuhnya Cirebon muncul pula kota pelabuhan lainnya di Jawa Barat, seperti pelabuhan Sunda Kelapa dan Banten. Sejak zaman Kerajaan Pajajaran, pelabuhan Sunda Kelapa dan Banten sudah cukup ramai. Keduanya berkembang lebih pesat lagi sejak berdirinya kerajaan Islam. Selain dua faktor tersebut, pertumbuhan beberapa kota sebagai pusat kerajaan tidak dapat dilepaskan dari faktor yang berhubungan dengan kosmologi dan kepercayaan magis religius masyarakatnya.
Cara penempatan keraton atau istana sebagai pusat kerajaan juga dihubungkan dengan kepercayaan tradisional. Keraton biasanya menghadap ke utara, menghadap alun-alun, di sisi luar alun-alun terdapat masjid, dan di sebelah timur alun-alun terdapat pasar. Contoh letak keraton semacam itu dapat dilihat di Keraton Cirebon, Banten, dan Mataram.
Tumbuhnya kota juga berkaitan erat dengan faktor geografis, terutama dalam hubungan lalu lintas. Di Sumatra muncul kota Aceh dan Palembang. Di tempat lain muncul kota pelabuhan, seperti Jepara, Tuban, Gresik dan Sedayu yang membentuk rangkaian kota pelabuhan di pesisir utara Jawa. Munculnya kota tersebut disebabkan ramainya aktivitas pelayaran dan perdagangan yang terbentang antara Malaka sampai Maluku yang sebagian besar dikuasai oleh para pedagang Islam. Adipati pesisir yang semula merupakan daerah bawahan Kerajaan Majapahit melepaskan diri dan menjalin hubungan dengan pedagang Islam. Semakin ramai aktivitas pelayaran dan perdagangan di Nusantara, semakin mendorong munculnya pusat perdagangan di sepanjang jalur perdagangan sehingga menumbuhkan kota yang bercorak muslim.
Selain berkembangnya kota-kota dagang di Indonesia, proses terbentuknya jaringan intelektual atau ulama di Nusantara berkaitan erat dengan perkembangan tradisi keilmuan Islam. Tradisi intelektual di Nusantara lahir dalam suasana perubahan mendasar pada masyarakat seiring dengan kekuatan yang ditampilkan Islam dan di tengah upaya mencari pijakan baru bagi sistem budaya masyarakat. Tradisi tersebut dipahami sebagai upaya penerjemahan nilai-nilai Islam ke dalam sistem nilai budaya masyarakat, sehingga terbentuk corak Islam Nusantara yang khas.
Dalam sejarah Islam di Nusantara, tradisi intelektual umumnya mengacu pada proses transmisi keislaman dan pembentukan wacana intelektual yang dalam proses selanjutnya dipelihara dan dikembangkan secara terus-menerus. Pada tahap awal, proses transmisi itu berasal dari suatu wilayah yang dikenal sebagai pusat Islam, yakni Timur Tengah.
Tahap pertama saluran islamisasi di Indonesia adalah melalui perdagangan, sebab sejak abad ke-7 para pedagang muslim dari Arab, Persia, dan India telah ikut ambil bagian dalam kegiatan perdagangan di Indonesia. Di samping berdagang, setiap muslim dapat menyampaikan ajaran Islam kepada orang lain.
Pengenalan nilai-nilai dan ajaran Islam oleh para pedagang muslim mancanegara dimungkinkan oleh adanya kesempatan menetap cukup lama di bandar Indonesia sampai menunggu pergantian musim. Pengenalan itu juga dimungkinkan oleh sikap terbuka masyarakat Indonesia terhadap hal-hal baru yang positif. Oleh sebab itu, pedagang muslim mancanegara diperkenankan mendirikan permukiman beserta tempat ibadah.
Perdagangan amat berperan untuk mendatangkan para muballig ke bandar Indonesia. Misalnya, bandar penting di sekitar Selat Malaka mengundang para muballig dari Arab, Persia, dan India. Dengan semakin majunya kota Malaka, banyak kaum intelektual Islam menetap di Malaka. Sesudah Raja Malaka masuk Islam, perkembangan Islam di Malaka semakin pesat. Masjid dan madrasah mulai bermunculan. Kebudayaan Islam, terutama di bidang kesusastraan, berkembang dengan pesat.
0 komentar:
Post a Comment