Thursday, 17 May 2012

Perjuangan Rakyat Melayu-Muslim Pathani


Pada umumnya salah satu efek yang langgeng dari perang dunia II di Asia Tenggara adalah bangkitnya nasionalisme, yang pada akhirnya membuahkan kemerdekaan nasional pada akhir perang. Berbagai analisir dan kekuatan pribumi dikawasan itu mengalami proses politisasi melalui partisipasinya dala perang melawan tentara penduduk Jepang, dan secara tiba-tiba bahwa Negara kolonial ternyata dapat dikalahkan juga. Zaman kolonialis kini telah berakhir.

Dimulailah fajar era kemerdekaan nasional pada periode ini menyaksikan suatu proses penyesuaian kembali dalam hubungan kekuasaan di Negara yang baru muncul. Dikedua Negara yang relevan bagi komunitas Melayu-Muslim, yaitu Negara Thai dan Malaya Inggris, terjadilah sutu perubahan dalam susunan kekuatan politik dan beberapa penyesuaian garis pendapat. Bagi komunitas Melayu di Thai Selatan terdapat garis perbatasan pada bulan November 1946, dalam perundingan antara Negara Thai dan Prancis mengenai Indocina, menghasilkan pengembalian daerah-daerah Indocina yang telah di caplok oleh Negara Thai pada tahap awal perang. Sebuah komisi internasional dibentuk untuk mempelajar sengketa perbatasan dan menyampaikan laporan bahwa Thai tidak mempunyai hak yang sesungguhnya atas daerah-daerah itu, karena adanya perbedaan etnik, gografis dan ekonomi dalam soal-soal yang bersangkutan. Putusan komisi yang beribawah ini membenarkan argument orang Melayu-Muslim bahwa, mengingat adanya perbedaan etnik, agama dan kebudayaan maka orang Thai tidak mempunyai klaim yang sah atas daerah mereka. Argument mereka menjadi sah berdasarkan presiden komisi.

Selain itu juga ada gerakan nasionalisme melayu yang meliputi seluruh kawasan itu, mulai dari Hindia-Belanda sampai kepada semenanjung Melayu dan daerah Melayu di Mindanao, Filipina-Selatan. Didaerah-daerah tersebut “pekik” melaya bagi orang- orang melayu yang merupakan sebuah slogam penuh emosi yang bergema dan megobarkan kembali hasrat mereka bersama untuk merdeka dan sampai tingkat tertentu, bersatu. Pada bulan oktober 1945 terbentuklah partai olitik melayu yang pertama, yang mempersatukan unsur-unsur nasionalisme dengan aspirasi pan-melayu. Dia dikenal dengan partai kebangsaan melayu sang melaya ( Malaya nationalist party atau MNP ). 

Hasil perang bagi para pemimpin petani, pada halnya mengecewakan dan menimbulkan firustasi. Pengembalian daerah-daerah Indocina Prancis tidak diikuti oleh pembagian propinsi-propinsi Melayu di Selatan Thai, kecuali keempat kesultanan : Kelantan, Trengganu, Edah dan Perlis ( yang telah diserahkan kepada inggris sesuai dengan persetujuan Inggeris – Siam 1909) yang oleh tentara penduduk jepang dikembalikan kepada negeri Thai pada tahap awal perang. Inggris mendapat tekanan dari Amerika Serikat yang menginginkan perdamainan kestabilan di kawasan itu, untuk membuang keinginannya mengambil alih daerah pantai raya. Inggris sendiri sedang membutuhkan persediaan beras dan makanan pokok lainya bagi jajahannya yang sedang menghadapi ancaman kelaparan yang luas sesudah berakhirnya perang. Satu-satunya Negara yang memiliki kelebihann beras untuk dieskpor adalah negeri Thai. Sedangkan orang Thai mengatakan, bahwa ekspor beras-beras mereka harus dibalas dengan pengakuan Inggris atas kekuasaan Thai di daerah itu. 

Oleh sebab itu, pertimbangan-pertimbangan ekonomi dan politik memaksa Inggeris untuk mengesampingkan masalah Patani. Perubahan situasi ini mendatangkan suatu era baru dalam perkembangan kepemimpinan di kalangan Melayu-Muslim di Pattani. Para pemimpin tradisional yang adalah keturunan langsung para mantan Raja telah memperoleh kesempatan mereka di masa perang, tapi tidak berhasil mewujudkan apa yang telah dijanjikan kepada rakyat : otonomi penuh atau kemerdekaan. Orang-orang seperti Tengku Mahyiddin dan tengku Abdul Jalal sekarang harus minggir untuk hanya bertindak sebagai pendukung aktif bagi tokoh-tokoh utama di kalangan kaum aktifis politik, yang dengan penuh kepercayaan keluar dari pengasingan mereka di balik tembok-tembok pesantren).

Peran Baru Kaum Ulama
 
Kaum ulama Patani Raya bertindak sebagai penghubung antara keturunan langsung para mantan Raja, yang melambangkan aspirasi kemerdekaan daerah itu dan tidak melibatkan diri dalam percaturan politik sehari-hari, dan para politisi Melayu-Muslim, yang adalah anggota-anggota kerabat-jauh dari para mantan Raja itu. Periode antara pemilihan umuum 1937 dan tahun-tahun selama perang, penuh dengan berbagi peristiwa politik yang menyebabkan meningkatnya kesadaran politik dan mempertajam keterampilan kaum ulama dalam mobilisasi massa. Secara perlahan-lahan, para ulama itu mengalami perubahan peran, dari “makelar kekuasaan” menjadi aktifis politik. Dari orang-oranga yang mengabsahkan secara pasif kekuasaan yang ada, mereka menjelang akhir perang berubah menjadi orang-orang yang secara aktif mengejar kekuasaan, yang dianggap perlu untuk mengubah nasib komunitas dengan berubhnya situasi politik, berubah pula persepsi diri para ulama itu. 

Dapat dikatakan bahwa ini mrupakan suatu proses dimana kaum ulama secara berasngsur-angsur meengambil alih peran yang telah ditinggalkan kaum ‘bangsawan” dan politis yang karena terlalu gigih menentang“perintah –perintah kebudayaan”di bawah pemerintahan pibul Songkram yng ultra nasional, (1938-1944) telah terpaksa menyembunyikan peran kepemimpinan mereka sendiri di dalam wilayah Thai. Sementara mereka mungkin masih memperoleh kepercayaan dari penduduk Melayu-Muslim, kecurigaan dan sikap bermusuhan dari pihak pejabat-pejabat pemerintah Thai telah sangat menyulitkan keterlibatan politik mereka secara aktif. Dalam pemilihan tahun 1946, 1948 dan 1952, hanya dua orang muslim terpilih untuk dua orang Muslim untuk duduk dalam Parlemen Nasional. Para pejabat Melayu-Muslim juga telah didiskriminasi selama periode sivinisme struktur kaum ulama dihubungkan secara langsung dengan struktur kekuasaan Negara oleh factor-faktor di luar kekuasaan mereka sendiri.

Mereka dipaksa untuk memainkan dua peran: sebagai penjaga spiritual Agama Islam dan sebagai pemegang amanat komunitas dalam pejuangan mewujudkan aspirasi-aspirasi politiknya. Dalam kata-kata Gibb dan Bowen, kaum ulama, sebagai satu kelompok, menjadi “lembaga penguasa” dan “lembaga keagamaan.” 

 Otonomi Patani di Bidang Hukum di Bawah Monarki Absolut.

Ketika wilayah patani raya dimasukkan kedalam wilayah Negara Thai dalam 1902, diambil banyak langkah untuk menjamin bahwa orang-orang Melayu-Muslim secara berangsur-angsur akan menerimah status mereka dibawah kekuasaan Thai. Dalam dekrit Raja tahun 1902, mengenai penyelenggaraan pemerintahan di daerah itu, di gariskan bahwa “tak boleh diberlakukan undang-undang” tampa terlebih dahulu mendapatkan persetujuan khusus dari raja. 

Klasula ini dengan tegas mengacu pada para raja yang baru saja dibebaskan dari kedudukannya tapi masi mempunyai pengaruh di daerah itu. Di Negara yang berdaulat, kekuasaan legislative hanya berada ditangan pemegang kedaulatan. Raja chulalongkorn bertekad untuk menegakkan suatu system Hukum tunggal yang berlaku disetiap negeri. Akan tetapi, ia menghadapi pimpinan Agama yang sama bertekadnya, yang menganggap Dekrit itu melanggar bidang mereka yang suci. Sejak Patani menjadi negara yang taklut kepada Bangkok dalam 1782, tsk pernah ada raja atau Gubernur yang berani mencampuri urusan hukum daerah itu. 

Untuk menghindari akibat-akibat yang serius, chulalongkorn mengadakan kompromi dan menyetujui bahwa Bangkok tidak akan memaksakan kehendaknya di bidang Hukum keluarga dan Hukum waris yang peka itu. “Hukum pidana dan Hukum perdata akan diberlakukan,” demikian bunyi dekrit itu, ’’kecuali dalam kasus-kasus yang melibatkan suami dan istri, dan soal warisan dimana baik pengggugat dan yang digugatnya, atau hanya tergugatnya saja, adalah orang-orang muslim; dalam kasus-kasus itu yang akan ditetapkan adalah hukum-hukum Islam”( pasal XXXII). 

Mengapa yang diakui itu hanya bagian syariah yang menyangkut hubungan keluarga dan warisan? Ruupa-rupanya, dibanyak negara Islam yang dijajah, pembaharuan hukum diadakan oleh kaum penjajah dalam upaya mereka untuk “modernisasi” masyarakat-masyarakat itu. Sementara mereka menghadapi tentangan dari golongan Agama, bidang yang paling peka dan berbahaya adalah bidang “Hukum Perorangan (personal law). Di Malaya yang dikuasai Inggris, bidang hukum itu dibiarkan berada ditangan para Sulthan dan elit tradisional. 

Bidang itu dinyatakan tertutup bagi kekuasaan kolonial, yang telah memberlakukan suatu system Hukum perdata dan pidana yang asing untuk mengatur semua kegiatan kehidupan. Bidang itu oleh kekuasaan colonial disebut Agama dan adat Melayu (islam dan adat).

Kaum ulama patani Raya juga menganggap Hukum perorangan sebagai bidang yang paling dipengaruhi Islam dan yang memberi ciri khusus kepada masyarakat mereka. Ada dua bagian dalam syariah: ibadah (yang menyangkut hubungan seseorang dengan Allah) dan Muamalat (yang menyangkut kegiatan sosial). Ritual-ritual ibadah dengan sendirinya harus dipelajari dengan cermat agar dapat dilaksanakan dengan cara yang benar. Akan tetapi, dalam kegiatan-kegiatan anatar individu, biasanya yang berlaku adalah praktek-praktek dan adat kebiasaan daerah. 

Oleh Karena urusan keluarga begitu penting artinya bagi orang Melayu-Muslim, maka urusan tersebut dikecualiakan dari perundang-undangan negara. Tindangan ini disamping menunjukkan sikap menghormati kebudayaan minoritas, juga merupakan tindakan politik yang praktis di pihak Raja chulalongkorn.

Ada beberapa catatan yang perlu dikemukakan mengenai pembentukan “pengadilan-pengadilan Agama.” Pertama, perlu dicatat bahwa sejauh para ulama diberi peran dalam penyelenggaraan peradilan, terutama dalam bidang hukum perkawinan dan hukum waris, mereka hanya berperan dalam perkenan Gubernur Jenderal Thai di daerah itu. 

Masuk akal apabila ulama-ulama yang popular tidak dapat duduk di salaTo’(Qodi), Karena mereka tidak dapat bekerja sama dengan pejabat-pejabat pemerintah. Konflik antara mereka dapat bersifat pribadi atau politik.

Otonomi Hukum Kaum Muslim di Bawah Rezim Konstitusional

Upaya untuk mengintegrasikan kaum ulama kedalam Birokrasi Negara, dilaksanakan dengan banyak cara; dan cara itu tergantung kepada suasana politik. Ketika terjadi revousi konstitusional di tahun 1932, pemerintah memperbaharui upayanya untuk menyeragamkan dan mengeontrol praktek-praktek hukum di kalangan Melayu-Muslim di Patsni Raya. Pemerintah pusat ingin menegakkan kontrolnya yang tegas atas segala urusan diseluruh negeri. Pada waktu yang bersamaan, pemerintah harus menerjemahkan asas kedaulatan rakyat kedalam suatu system yang dapat dijalankan , dimana kebebasan dan persamaan rakyat dalam politik, di pengadilan dan dalam dunia usaha, harus dipertahankan. Akan tetapi dalam kasus orang-orang Melayu-Muslim di Selatan, memperketat control pemerintah pusat akan bertentangan dengan upaya untuk memajukan kebebasan dan persamaan dalam politik dan dipengadilan. 

Sebuah daerah yang memiliki karakteristik-karakteristik social, ekonomi, dan politik yang khas, tidak dapat diperlakukan dengan sama dengan bagian lainya dari negeri itu dan mengharapkan hasil-hasil yang sama.

Jalan keluarnya bagi pemerintah pusat adalah mengukuhkan ”otonomi hukum” bagi daerah itu, seperti yang telah dilakukan oleh Raja Chulalongkorn dan Raja Wachiravut. Pemerintah merasa harus mempunyai otoritas yang lebih luas dalam proses peradilan dan pengkodifikasian hukum Islam yang menyangkut hubungan-hubungan keluarga dan warisan. Dalam hal inipun pendirian pemerintah adalah bahwa ketentuan-ketentuan hukum harus disusun dalam buku-buku dengan cara yang seksama dan devinitif. Sekarang kedudukan Dato’ Yutiham memerlukan persetujuan final dewan Negara, sebutan bagi kabinet, sebelum di keluarkan maklumat Raja mengenai pengangkatannya, pada tahun 1935, ketika bagian V dari kitab UU hokum perdata menyangkut hubungan keluarga (Kot Mai Khrob Khrua) diberlakukan, daerah Patani Raya dengan dibebaskan darinya (pasal IV). Rencananya adalah, secepat mungkin merampungkan kodifikasi hukum Islam mengenai soal yang sama. Dan memang proyek kodifikasi itu tidak dimulai pelaksanaannya pada tahun 1929, dibawa pengarah seorang hakim Thai yang beragama Buddha, Phraya Sucharitthampisarn, kepala hakim daerah Selatan (kementrian kehakiman No. 1011/1940, 7 Juni 1940). Proyek itu baru selesai pada tahun 1941, dan dengan resmi diumumkan untuk diberlakukan di daerah Patani Raya pada 19 Nopember 1946.

Pemberontakan Haji Sulong 1947-1948

Semenjak diintregasikan secara resmi mulai Patani Raya ke dalam wilayah Thai dalam 1902, pemerintahan pusat giat mencari suatu modus vivend dengan kaum ulama di daerah itu. Protes-protes sporadik yang di pimpin oleh tokoh-tokoh ulama terjadi pada waktu-waktu tertentu, tergantung dari kondisi-kondisi social, politik dan ekonomi. Tantangan yang serius terhadap kekuasaan Thai berkembang menjadi suatu gerakan yang terkordinasi dengan baik, yang bergabung dengan nasionalisme yand sedang mengalami pasang naik di dunia Melayu dimasa perang dunia II. Para ulama daerah Patani Raya, dalam peran mereka yang serupa dengan peran yang dimainkan oleh rekan-rekan mereka di Malaya Inggris dan Indonesia, terlibat dengan sangat aktif dalam gerakan-gerakan politik untuk kemerdekaan nasional dan pembentukan struktur politik nasional. Siasat mereka juga sangat mirip satu sama lain. Mereka semuanya mulai dengan proses pemurnian diri agama dan melebur ke dalam kesadaran nasionalis yang sudah bangkit.

Di Malaya, yang membangkitkan kesadaran politik melayu adalah gerakan pengendalian Islam. Di Indonesia, daya tarik Pan-Islamisme inilah yang untuk pertama kali memberikan daya ikat sosial kepada bangsa Indonesia. Baik orang-orang Indonesia maupun orang-orang Melayu mencari perlindungan politik dalam, dan memperoleh inspirasi dari Islam. Asumsi yang umum adalah bahwa buruknya keadaan umat Islam di bawah kekuasaan kolonial adalah akibat penyimpangan mereka dari ajaran-ajaran yang sebenarnya terdapat dalam al-Quran dan Hadis. Satu-satunya cara untuk menghidupkan kembali kebudayaan Islam dan memperoleh kembali kemerdekaan politik adalah “kembali kepada sumber”. Dan membuang kotoran yang telah di masukkan ke dalam Islam. Setelah selama berabad-abad bersimbiosis dengan kebudayaan-kebudayaan tradisional setempat, dominasi asing dan kelemahan spiritual dipihak kaum muslim sendiri, Islam kehilangan dinamisme dan daya vitalnya yang semula untuk mencapai kemajuan social dan kekuatan politik.

Dalam kasus daerah Patani Raya, masalahnya tidak begitu jelas. Yang pertama “dominasi asing” yang dapat dianggap bertanggung jawab atas pencemaran pemurnian agama Islam berasal dari tempat itu sendiri. Sudah ada sejarah koeksistensi yang panjang walupun kadang-kadang tidak begitu damai, antara orang-orang Buddhis Thai dan orang-orang muslim Melayu di Selatan. Kedua, orang-orang muslim hanya merupakan suatu minoritas, bukan mayoritas jumlahnya seperti Malaya yang dijajah Inggris dan Hindia Belanda. Dalam kegiatan politik dan perjuangan separatis mereka selama bertahun-tahun, tidak ada rumusan politik yang tegas oleh pimpinan dapat digambarkan dan disajikan kepada masa rakyat yang relative belum sadar politik. Kelihatannya tujuan-tujuan mereka berubah-ubah menurut keadaan, mulai dari perlawanan pasif di zaman Raja Chulalongkorn dan Raja Wachiravut sampai kepada partisipasi terbesar dalam proses politik Negara di bawah rezim konstitusional sejak revolusi 1932. Akhirnya, dibandingkan dengan masyarakat Malaya dan Indonesia, masyarakat Melayu Muslim di negeri Thai relative terisolasi dari perubahan-perubahan sosial ekonomi yang berlangsung dikawasan itu, perekonomian kolonial di Malaya Inggris dan Hindia Belanda dipengaruhi oleh perubahan-perubahan di pasar dunia.

Daerah Patani Raya yang merupakan bagian dari negeri Thai yang bukan jajahan tidak sampai mengalami guncangan sosial ekonomi seperti itu dan eksistensi dan kebiasaan tradisionalnya tidak mengalami gangguan yang besar. Ketiadaan gangguan sosial-ekonomi seperti itulah yang dapat menjelaskan watak yang relative pasif orang-orang Melayu-Muslim di Tahi Selatan selama dasawarsa-dasawarsa pertama abad ke-20. Bahkan reformisme Islam, yang melanda Dunia Melayu dalam perode ini, tidak menyentuh orang-orang Muslim di Patani. Itu semua berubah secara mendadak sekali dengan mulai dilancarkannya program asimilasi budaya yang dipaksakan gaya Phibul songkram dekat sebelum meletusnya Perang Dunia II. Walaupun pengkodifikasian dan penerjemahan hukum Islam tentang perkawinan dan warisan telah dapat dirampungkan dalam 1941, Phibul menolak untuk memberlakukannya. Lebih buruk lagi, di mata orang-orang Muslim Patani, ia telah membatalkan otonomi hukum yang telah diberikan kepada daerah sejak 1903 “ dengan pertimbangan keamanan dan kebudayaan nasional.

Orang-orang Melayu-Muslim Patani Raya menenukan pimpinan yang ideal itu dalam diri Haji Sulong bin Abdul Kadir bin Muhammad al-Fatani, yang lebih dikenal dengan nama Haji Sulong, Haji Sulong yang dianggap sebagai “Bapak Perjuangan Patani” oleh sejumlah gerakan pada waktu itu.

Haji Sulong tergolong kelompok cendekiawan Muslim yang memimpin pembaharuan agama dan gerakan nasionalis di Malaya dan Indonesia dalam dasawarsa-dasawarsa pertama abaad ke-20. Mereka mula-mula mempelajari Islam dalam bahasa Melayu dan Arab di tempat asal mereka, lalu menunaikan ibadah haji dalam usia 20 tahunan, dan tinggal beberapa tahun lagi di Mekkah untuk melanjutkan studinya. Seperti kebanyakan ulama di asia Tenggara, Haji Sulong mula-mula masuk sebuah sekolah menengah Indonesia yang terkenal, yang didirikan bagi pelajar-pelajar yang berbahasa Melayu di dekat Ka’bah, di Mesjidil Haram, yang diberi nama Dar al-Ulum (Rumah Ilmu Pengetahuan). Di san diberikan pelajaran mengenai ilmu-ilmu tradisional seperti: tafsir al-Quran, Hadis, asas-asas ilmu hokum (ushul al-fiqh), ilmu hokum (fiqh), dan tata bahasa Arab (Nahwi). Haji Sulong bergabung dengan lingkaran-lingkaran skolastik (halqah) yang berbahasa Melayu di Masjidil Haram, di mana ia menjadi seorang lector yunior mengenai hokum islam mazhab Syafi’I dalam 1927. Ia berkenalan dengan gagasn-gagasan pembaharuan dari Jamal al-Din al-Afghani (1839-1897) dan Muhammad Abduh (1925-1905) selama tiga tahun mengajar di Makkah, ketika ia mendapat kesempatan untuk bergaul dengan beberapa ulama dari Mesir. Dari pengalamannya di Mekkah dan pergaulannya dengan ulama-ulama lain yang berbahasa Melayu (yang disebut “orang-orang Jawa”) yang juga mulai menyadari potensi dan kemungkinan Islam sebagai suatu kekuatan politik, Haji Sulong memupuk suatu keyakinan yang semakin kuat terhadap keterlibatan politik dan aktivitas sosial.

Haji sulong menjadi popular dikalangan pelajar dan jemaah haji dari Asia Tenggara di Mekkah, dan melalui mereka prestise dan pengaruhunya bertambah besar, ia kembali di Patani pada tahun 1930, dan memulai karir sebagai pengajar yang menarik murid-murid dari seluruh pelosok Dunia Melayu. Sementara ia menolak unuk ambil bagian dlam upaya pemerintah untuk mengkodifikasikan dan menerjemahkan hokum Islam tentang perkawinan dan warisan dan untuk berpartisipasi dalam sala To’ Kodi sebagai Dato’ Yutitham, ia aktif dalam pencaturan politik setempat di mana ia bertindak sebagai “penghubung” antara komunitas Melayu dan pejabat-pejabat Thai. Ia menyadari perannya sebagai sebagai seorang pialang kebudayaan, yang merupakan ciri khas seorang alim (orang terpelajar) dalam masyarakat Melayu-Muslim. Menurut memoarnya, menjelang 1932, tahun berakhirnya monarki absolut, ia sudah mapan dalam kedudukannya sebagai seorang ahli agama, yang diminta pendapatnya oleh gubenur dan juga dukungannya untuk kebijakan yang hendak ditempuh.


Haji Sulong tergolong ulama yang mencurigai keterlibatan pemerintah dalam urusan agama komunitas. Ia berpendapat bahwa campur tangan politik dalam soal-soal hukum sejak masa Raja Chulalongkorn merusak kemurnian Islam. Sikapnya dengan jelas menunjukkan bahwa misi hidupnya adalah untuk mengikuti jejak Nabi, untuk “mengangkat kemurnian Islam”. Sehingga beliau bersedia untk menjabat ketua Majelis Agama Islam provinsi dalam 1945 adalah konsisten dengan keyakinannya bahwa adalah mungkin untuk mengadakan kerja sama politik tanpa campur tangan kebudayaan. Majelis dapat berfungsi sebagai penghubung antara pemerintah dan komunitas yang harus tetap bebas dan murni secara mutlak. Mejelis melakukan tugasnya sebagai penasihat tanpa tergantung kepada birokrasi pemerintah. Ia berfungsi tanpa mengurangi tanggung jawab moral dan perikemanusiaannya. Semua ke-15 anggotanya, dan khususnya ketua, berhak mengkritk dan menegur. Haji Sulong benar-benar seorang aktivis politik dalam kedudukannya sebagai pemimpin moral yang diakui oleh komunitas Melayu-Muslim. Dihadapkan kepada kasus-kasus pelanggaran terhadap hak-hak dan kebebasan, serta korupsi dan pemerasan yang dilkukan dengan leluasa oleh pejabat-pejabat pemerintah, Ketua Majelis menyatakan kemarahan moralnya: “tak seorang pun yang masih punya rasa kemanusiaan akan menenggang perlakuan yang begitu kejam dari pejabat –pejabat pemerintah.


Dengan mengikuti birokrasi rumusan Muhammad Abduh mengenai suatu hubungan yang jelas antara kemanusiaan, keberagamaan, keadilan, dan kelihaian, bersama-sama denga manifestasi-manifestasinya di kalangan umat Islam, maka menjelang Juni 1946, Haji Sulong memperoleh keyakinan bahwa komunitas seperti itu tidak dapat ditegakkan selama Patani Raya masih berada di bawah kekuasaan Thai. Sebab orang yang paling maju pandangannya dan paling toleran di antara pemimpi-pemimpin Thai, yakni Pridi Phanomyong, telah digulingkan dari jabatannya sebagai perdana menteri pada tanggal 9 Juni 1946. Haji Sulong diilhami oleh pandangan pridi yang menganjurkan suatu fedelalisme gaya Swis, otonomi kebudayaan bagi golongan-golongan etnik dalam lingkungan bangsa Thai, desentralisasi kekuasaan, dan dari segi moral menentang kesewenangan-wenangan “kaum fasis dan militeris dalam memperlakukan glongan-golongan minoritas”.


Demikianlah, maka pada 3 April 1947, golongan Melayu-Muslim Patani Raya di bawah pimpinan Haji Sulong maenyampaikan kepada pemerinyah Thai sebuah rencana tujuh pasal bagi pembentukan sebuah daerah otonom. Rencana itu mencerminkan gagasan-gagasan politik Haji Sulong dan upayanya untuk mempertahankan kemandirian dan kemurnian Islam. Pasal-pasal rencana itu adalah sebagai berikut:


1. Pengangkatan seorang komisaris tinggi untuk memerintah Daerah Patani Raya dengan wewenang penuh untuk memecat, menkors, atau mengganti semua pejabat pemerintah yang bekerja di daerah itu; orang itu harus putra daerah dan dipilih oleh rakyat dalam suatu pemilihan umum yang diadakan khusus untuk tujuan itu.


2. Delapan puluh persen (80%) dari pejabat pemerintah di daerah itu harus Melayu-Muslim (untuk mencerminkan rasio penduduk).


3. Bahasa Melayu dan Bahasa Siam akan merupakan bahasa resmi.


4. Bahasa Melayu akan diajarkan di sekolah dasar


5. Hokum Islam akan diberlakukan di daerah itu, dengan pengadilan-pengadilan Islam yang terpisah dan bebas dari system peradilan pemerintah.


6. Semua hasil pajak di daerah itu akan digunakn untuk kesejahteraan rakyat daerah itu


7. Majelis agama Islam provinsi akan diberi wewenang penuh atas perundang-undangan menurut hokum Islam mengenai semua urusan Muslim dan kebudayaan Melayu, di bawah pimpinan tertinggi komisaris tinggi seperti yang disebut dalam No.1


Haji Sulong tidak mengusulkan pembentukan sebuah Negara merdeka, tapi hanya sebuah entitas territorial dan kebudayaan yang otonom yang mempertahankan identitasnya yang khas. Ini merupakan suatu usul minimum untuk memungkinkan golongan Melayu-Muslim mempertahankan cara hidup tradisional mereka dan agama Islam yang mereka anut. Walaupun ia tidak memberikan penjelasaan yang lebih rinci mengenai sifat orang yang akan dipilih untuk memerintah daerah itu, sudah jelas bahwa ia harus berfungsi sebagai lambing komunitas Islam berdasarkan Syari’ah. Islam akan merupakn bagian dari pemerintahan di daerah itu, ia tidak lagi akan diperlakukan sebagai sesuatu yang terpisah dari proses pemerintahan.


Tuntutan agar 80% dri pegawai pemerintah terdiri dari Melayu-Muslim juga dimaksudkan untuk menjamin agar jurang tradisional yang memisahkan para penguasa yang Buddhis dan rakyat yang diperintah tidak akan terus merupakan penyebab salah pengertian dan tindakan kekerasan di daerah itu. Menurut Haji Sulong, masih ada dua masalah penting lainnya yang menyangkut pemerintahan dan yang berasal dari keganjilan kekuasaan minoritas ini. Pertama, penindasan oleh pejabat-pejabat pemerintah.


Apabila pejabat-pejabat merasa terganggu, apapun penyebabnya, mereka akan merubah rakyat melanggar hokum menangkapinya. Orang-orang itu akan ditembak mati di perjalanan, dan pejabat-pejabat yang bersangkutan akan selalu mengemukakan alasan bahwa orang-orang itu melawan para petugas yang sedang melaksanakn tugasnya.


Kedua, masalah korupsi resmi:


Pejabat akan menuduh rakyat melakukan pelanggaran lalu memeras uangnya. Dan apabila rakyat menolak. Akan ditangkap dan kadang-kadang akan ditembak mati.


Mengenai soal-soal perundang-undangan Isalm dan pengadilan-pengadilan agama, yang bebas dari pengadilan biasa tingkat provinsi, Haji Sulong menyatakan keyakinan yang telah lama dianutnya, bahwa pengkodifikasian dan penerjemahan hokum Islam mengenai perkawinan dan warisan yang diupayakan oleh pemerintah dan yang hasilnya telah diberlakukan untuk daerah itu tahun sebalumnya tidak dapat diterima oleh golongan Melayu-Muslim. Kenyataan bahwa Dato’ Yutitham mendampingi hakim Thai yang mengadili perkara-perkara yang menyangkut agama, tidak merupakan “otonomi hokum” bagi orang-orang Melayu. Keseluruhan pembuatan undang-undang dan peradilan harus diserahkan kepada pejabat-pejabat agama yang diangkat. Dalam masyarakat Islam, hokum dianggap sacral karean ia merupakan pengejawantahan kehendak Ilahi. Bahkan kekuasaan untuk membuat undang-undang hanya ada pada Allah. Mengingat asas umum Hukum Islam, bahwa semua perilaku manusia harus sesuai dengan kehendak Allah, dapatlah dimengerti bila Haji Sulong tidak akan merasa puas apabila hokum tentang perkawinan dan warisan hanya ditempatkan di bawah pengawasan pejabat-pejabat agama. Pada akhirnya, bahkan hokum pidana pun di daerah itu harus ditempatkan di bawah wewenang kaum ulama.


Pemerintah Thai idak bersedia merundingkan soal penyerahan kontrolatas daerah yang telah diselamatkannya dengan begitu susah payah dari kekuasaan colonial. Memenuhi tuntutan golongan Melayu-Muslim akan mencetuskan tuuntutan-tuntutan yang serupa dari berbagai minoritas etnik di bagian-bagian lain di Negara itu. Sebab, walaupun bebas dari kekuasaan colonial, negeri Tahi merupakan sebuah Negara kebangsaan yang rapuh dan mudah bercerai-berai apabila pemerintah pusat tidak bersikap tegas. Selama bertahun-tahun, pemerinyah berupaya untuk memasukkan “rakyat-rakyat marginal” ke dalam lingkungan nasioanl. Setipa tanda kelemahan politik di pihak pemerintah pusat dapat mendorongterjadinya disintegrasi nasional. Karena itu pemerintah tidak dapat berkompromi dengan golongan Melayu di Selatan, yang merupakan golongan yang paling marginal. Namun demikian, tidak dapat diadakan perubahan dalam struktur hubungan kekuasaan antar daerah Patani Raya dan Bangkok.


Namun demikian, banyak factor yang menguntungkan posisi orang-orang Melayu. Haji Sulong berhasil menggalang dukungan dari kaum ulama dan politisi Melayu-Muslim, yang telah dikecewakan oleh system parlementer yang tidak menghasilkan sesuatu perbaikan di daerah mereka. Bahkan anggota-anggota parlemen yang bergabung buddah merasa yakin bahwa Haji Sulong mendapat dukungan penuh dari malayu bahkan tuntutan mereka wajar mengingat kenyataan bahwa tuntutan itu didasarkan atas penderitaan yang nyata yang tidak dapat dikurangi dibawah struktur kekuasaan yang ada. Dan yang palingg penting adalah bahwa anggtota yang paling berpengaruh dari keluarga-keluarga bangsawan Melayu menggunakan kesempatan itu sebagai peluang mereka yang terakhir untuk mendesakkan apa yang mereka anggap sebagai hak mereka atas kekuasaan prestasi, apabilah rencana tujuan pasal itu diterima baik dan daerah mereka memproleh otonomi yang sesungguhnya. Koalisi dukungan ini, ditamba dengan keyataan bahwa Haji sulong bertindak kedudukan dalam sebagai ketua yang diakui resmi dari majelis agama islam provinsi, memberikan kepada perjuangan kaum Melayu itu kredibilitas dan bahkan legitimasi dikalangan masyarakat umum. 


Nampaknya Haji sulong mengetahui benar urusan dalam negri Malayu inggeris dan peran penting Tengkku Mayiddin dalam Malaya Union ynag sedang direncanakan dan yang akan bebrbentuk federasi dari semua kesultanan di Malaya dia juga amengetahui bahwa ahli waris bekas keswultanan patani itu, yang dianggap sebagai pemimpin golonganan Melayu di thai selatan, memerlukan sutau landasan kekuasaannya sendiri yang sah, apabilah ia ingin mempertahankan pengaruh politiknya setelah Malayu merdeka. Dan golongan Melayu thai selatan seta kesultanan patani yang dihidupkan kembali akan merupakan landasan yang ideal baginya


Ketika sedang mempersiapkan rencana untuk memboikit pemelihan umum secara menghadapi kemungkinan akan timbulnya pemberontakan umu, Haji sulong ditangkap pada tanggal 10 januari 1948, bersama-sama dengan anak laki-lakinya dan tiga rekannya, dengan tuduhan sedang “mempersiapkan dan berkomplot untuk mengubah pemerintahan kerajaan yang tradisional dan mengancam kedaulatan dan keamanan nasional dengan kekuatan-kekuatan dari luar”. Pemerintahan bertekad untuk mengatasi situasi yang sedang memburuk itu dengan tegas dengan jalan melarang kaum ulama untuk berorganisasi banyak lagi yang ditangkap dan sejumlah tokoh politik dan agama memutuskan untuk mencari suaka politik di Malaya Inggris dan meneruskan perjuangan mereka dari sana. 


Sementara itu, tekanan internasional bertambah besar dan peristiwa H.Sulong menyebabkan masalah Patani mendapat perhatian Liga Arab dan PBB tapi, yang paling ampuh dari semua koalisi internasional yang terbentuk untuk mendukung perjuangan muslim itu adalah Gabongan Melayu Pattani Raya (GAMPAR) yang terbentuk dalam bulan Februari 1944. Ia menjadi sebuah organisasi yang mengordi nasikan berbagai unsur yang bekerja untuk pembebasa petanai Raya. Organisasi itu memperoleh dukungan dari berbagai golongan dan partai politik di Malaya GAMPAR juga berhasil menarik dukungan pimpinan Malaya nasionalist Partai (MNP, Partai Nasional malyu) yang bercita-citakan penyatuan semua rakyat Melayu kedalam Indonesia Raya.Tenggkuh mayiddin, yang mengordinasikan bagian terbesar upaya internasional untuk meredakan ketenangan di thai selatan, berhasil menarik dukungan dan perhatian Presiden Sukarno dari Indonesia yang baru merdeka, dan dari Tunku Abdul Rahman yang nantinya menjadi perdana mentri Malayu, akan tetapi, kedua negarawan itu menyadari bahwa tanpa dukungan inggris kepada golongan Melayu muslim di Thai selatan, mereka tidak berbuat apa-apa. Untuk memperoleh dukungan GAMPAR bagi kemerdekaan Malaya, Tunku Abdul Rahman merasa harus turun tangan atas nama kaum Muslim Patani. Oprasi-oprasi gerilya suda mulai dilancarkan melintas perbatasan dari Malaya ke Thai Selatan. 


Persoalang Haji Sulong baru dapat diselesaikan dalam 1952, ketika dia dibebaskan dari penjara selatan meringkuk di sana selama lebih dari empat tahun. Rupa-rupanya apa yang tidak dapat dicapainya, sebagai orang bebas, dapat dicapainya selama berada di tahanan. Koalisi dukungan terhadap perjuangan kaum Melayu muslim, yag disebabkan oleh penangkapan atas dirinya, tetapi mrupakan landasan tumpuan gerakan-gerakan kemerdekaan hingga sekarang. Sumbangan yang paling besar diberikan oleh Haji Sulong kepada perjuangan Patani Raya adalah rasa setikawan diantara berbagai unsure pimpinan dan rakyat.


Haji sulong dan anak laki-lakinya, Ahmad To’mina menghilang secara misterius dalam 1954, dan didugah telah ditenggelamkan oleh polisi, ini merupakan suatu pengakuan kegagalan dipihak pemerintahan bahwa mereka tidak mampu mengintegrasikan golongan minoritas paling besar ke dalam negeri Thai, sebagaiman yang telah dilakukannya dengan golongan-golongan etnik di daerah-daerah lainnya. Kekuatan-kekuatan pengikat yang diberikan Islam kepda golongan Melayu-Muslim di Patani Raya telah berfungsi untuk menciptakan apa yang oleh Ibn Khaldun dinamakan “setia kawan social” (Ashabiyyah) dikalangan mereka dan memperkukuh loyalitas mereka dalam menghadapi kekuasaan Negara yang semakin besar. Persaudaraan keagamaanlah yang mempererat ikatan-ikatan rimordial yang sudah ada dikalangan golongan etnik Melayu dan memperkukuhnya dalam menghadapi berbagai upaya pemerintah untuk mengintegrasikan mereka. Haji Sulong mengungkapkan secara simbolis dengan sebuah ayat al-Quran. Ketika ia menulis “……tangan Allah di atas tangan mereka….”.


Kematian Haji Sulong menandai berakhirnya pemberontakan umum yang dipimpin Ulama, yang dimulai segera setelah berakhirnya perang dunia ke-2. Kualisi oposisi Melayu yang mempunyai landasan yang luas, yang telah ia bangun, melanjutkan kegiatan-kegiatan anti pemerintahannya dengan menggunakan berbagai kedok. Pemerintahan thibul songkram meneruskan poltik pembangunan bangsanya yang ultra nasonalistik melalui asimilasi kebudayaan yang dipaksakan sampai September 1957, ketika ia digulingkan oleh “orang Kuat” militer lainnya, Sarit Thanarat, dimulailah suatu idiologi pembangunan bangsa yang baru dengan nama patanakarn (pembangunan). Integrasi nasional sekarang akan diupayakan melalui usaha-usaha pembangunan social-ekonomi. Orang-orang Melayu-Muslim di Patani terpaksa menempuh siasat-siasat baru untuk mempertahankan kekhasan social dan kebudayaan mereka, dalam menghadapi idiologi nasional baru itu.










0 komentar:

HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html