Jatuhnya pemerintah militer dalam 1973 dan ditegakkannya demokrasi, yang berlangsung selama tiga tahun, mendatangkan suatu era baru dalam dunia politik Thai. Setiap lapisan masyrakat didorong untuk berpartisipasi dalam urusan negara. Semua keburukan sosial, politik, dan ekonomi yang telah ditutup-tutupi di bawah rezim diktatur, diangkat ke permukaan. Demikian halnya dengan unek-unek yang selama itu terdapat dikalangan Melayu-Muslim. Dalam periode tiga tahun (1973-1976) tersingkap fakta-fakta tentang segala penganiayaan, ketidakadilan, dan korupsi resmi yang pada umumnya telah dilakukan oleh terhadap kaum Muslim. Semakin hebat konflik antara pemerintah dan kaum Muslim, semakin mendesak pula kebutuhan yang dirasakan komunitas akan pimpinan yang lebih baik dan lebih efektif.
Perubahan dalam kepemimpinan menimbulkan perubahan dalam taktik dan bahkan dalam ideologi perjuangan komunitas Melayu-Muslim untuk memperoleh hak menentukan nasib sendiri. Pemimpin-pemimpin mudah lebih cangih dan berbicara dalam bahasa yang sama dengan pejabat-pejabat pemerintah. Berbagai imbauan dan proses sekarang didasarkan atas asas-asas yang diseruhkan oleh pemerintah sendiri: kebebsan, persamaan, dan jaminan hak-hak politik bagi semua warganegara Thai tanpa memandang asal usul ras. Kalau di masa lampau, pekik pemersatu adalah Islam dan tekanan di letakan pada perbedaan antara kebijakan integrasi pemerintah dan identitas golongan Melayu-Muslim, maka sekarang yang dijadikan asas pedoman adalah persamaan dan kebebasan. Apabila orang-orang Melayu-Muslim harus menjadi Thai-Muslim yang hidup di bawah pemerintahan Thai, maka mereka harus mendapat perlakuan yang sama dengan orang-orang Thai lainnya (yang Buddhis). Kegagalan pemerintah untuk menjamin pelakuan yang sama itulah, yang sekarang menjadi masalah yang sulit antara para pemimpin Melayu yang lebih muda dan berpendidikan universitas dan pemerintah.
Ini tidaklah berarti bahwa semua pemimpin muda golongan Melayu-Musllim dapat menerima status quo di bawah kekuasaan Thai. Sebab, keberhasilan atau apa yang tampak sebagai keberhasilan, pemerintah dalam upaya pengintegrasiannya melalui pendidikan sekuler modern hanya terbatas kepada pemuda-pemuda muslim yang mau dan mampu memanfaatkan kesempatan yang ditawarka oleh pemrintah. Namun masih ada orang lainnya dikalangan generasi muda tetap melalui jalur tradisonal dan melanjutkan pendidikan tinggi mereka di luar negeri, di negeri-negeri muslim di Timur Tengah. Mengingat lingkungan dimana mereka tinggal, mata kuliah yang merka ikuti bagian terbesar merupakn ilmu-ilmu agama Islam, dan indoktrinisasi ideologi mereka serap dari lembaga-lembaga perguruan tinggi Islam di Dunia Arab, maka dapatlah dimengerti bila mereka nantinya kembali ke Thai Selatan dengan membawa rasa kebanggaan etnik dan identitas Muslim yang lebih mengolora. Maka mereka pun berharap agar mendapat kesempatan mengurus komunitas mereka. Namun mereka dikecewakan oleh birokrasi negara dan pejabat-pejabat pemerintah yang tidak mau memberikan kedudukan kepada mereka. Maka timbulah kecuragan yang mendalam. Pemuda-pemua ynag marah dan tidak puas itu diterima dengan tangan terbuka sebagai pemmpin oleh komunitas mereka yang tradisional. Mengingat mereka telah mendapatkan pendidikan yang baik dan menguasai ilmu-ilmu agama.
Mereka pun mempunyai ikatan-ikatan yang kuat dengan gerakan-gerakan islam di negara-negara lain. Dan ikatan itu sering mereka manfaatkan. Kontak-kontak dengan mahasiswa-mahasiswa lain selama mereka belajar di Timur Tengah, telah menyebabkan semakin besarnya perhatian yang diberikan kepada penderitaan orang-orang Melayu-Muslim di Thai Selatan. Organisasi-organisasi Internasional memberikan perhatian yang semakin besar di bandingkan dengan waktu-waktu sebelumnya kepada nasib golongan orang minoritas ini. Orang-orang Melayu dari Thai Selatan selalu diwakili dalam pertemuan-pertemuan seperti Konperensi Liga Dunia Islam, Konperensi Para Menlu Islam, Konperensi Islam Asia, dan Konperernsi Liga Arab.
Salah satu perubahan yang paling penting yang telah terjadi pada golongan Melayu-Muslim adalah terbentuknya berbagai kelompok militan yang secara terang-terangan bertujuan membebaskan daerah Melayu dari Kekuasaan Thai. Golongan Melayu-Muslim di Thai Selatan telah berganti pemimpin dan sedang bereksperimen dengan taktik-taktik baru dan bahkan ideologi baru untuk mencapai tujuannya, yakni hak menentukan nasib sendiri. Dalam tahun-tahun belakangan ini, Partai Komunis Thai (CPT) dan Partai Komunis Malaya (CPM) giat membantu gerakan separatis Melayu itu. Walaupun Organisasi Bersangkutan telah membantah hal itu, ada bukti-bukti yang menunjukan bahwa setidak-tidaknya tujuan bersama untuk mengacaukan daerah perbatasan dan menghasut penduduk agar menentang pemerintah. Baik CPT maupun CPM memanfaatkan kepekaan dan kebencian orang Melayu-Muslim terhadap tindakan-tindakan pemerintah yang sedang meronrong identitas kebudayaab mereka.
Dengan demikian, diantara orang Melayu di Thai Selatan ada yang mendapatkan sekutu-sekutu yang bersimpati dalam Partai Komunis Thai dan Partai Komunis Malaya. Sudah jelas bahwa konflik-konflik ideologis pasti akan terjadi kelak, tetapi untuk sementara waktu, tujuan bersama: pembebasan nasional merupakan sumber inspirasi yang cukup ampuh untuk ketiga kawan seperjuangan yang sebetulnya saling bertentangan.
Semua perubahan situasi yang telah dikemukakan hingga disini pada waktunya membantu meningkatkan konflik kekerasan antara orang-orang Melayu dan pejabat-pejabat pemerintah. Walaupun masa rakyat masih bersikap pasif dan belum menanggapi seruan pembebasan, nnamun meningkatnya tindakan kekerasan, penindasan dan kesulitan ekonomi yang diakibatkan oleh operasi-operasi politik militer, pada akhirnya akan memaksa untuk dalam waktu singkat menentukan sikap.
Gerakan Saparatis dan Perang Gerilya
Dimasa lampau, orang Melayu-Muslim tidak pernah menyetujui kekuasaan Thai atas diri merekka, tetapi perlawanan mereka hanya terbatas kepada perlawanan pasif atau ledak-ledakan kekekrasan apabila sesuatunya menjadi gawat. Pimpinan-pimpinan pemberontakan dan ledakan-ledakan kekerasan yang sporadis itu biasanya terdiri dari para ulama. Dalam dasawarsa yang lalu pola oposisi itu menjadi lebih berorientasi ideologi, dan kekerasan tempaknya merupakan taktik yang lebih disukai untuk mencapai tujuan akhir. Para pemimpin dari berbagai kelompok saparatis itu cenderung dari generasi mudah dengan pendidikan akademis yang mengesankan.
Dawasa ini terdiri dari tiga gerakan saparatis utama yang beroperasi didearah patani Raya. Sementara mereka semua mengejar tujuan akhir yang sama yakni pemerintahan sendiri maka dari segi ideologis, taktik dan lingkup operasi ada beberapa perbedaan diantara mereka, tegantung kepada latar belakang dan komposisi pimpinan serta keangggotaan mereka.
Untuk memperoleh gambaran menyeluruh mengenai gerakan saparatis dikalangan golongan Melayu di Thai Selatan, perlu dibahas setiap kelompok secara berurut-urut.
1. Barisan Nasional Pemberatasan Patani (BNPP)
National Liberation front of Pattani (NLPP) yang dalam bahasa Melayu dikenal dengan sebutan barisan nasional pembebasan patani (BNPP) dianggap sebagai organisassi yang paling tua diantara organisasi-organisasi saparatis. Ia didirikan oleh Tengku Mahyidin, Putra Raja Patani yang terakhir, Abdul Kadir, sesudah Perang Dunia II. Sejak 1977, organisasi itu diambil ahli oleh sebuah kelompok baru yang secara terangan-terangan bertujuan memulihkan Patani kedalam kejayaannya yang lama, dibawah pimpinan seorang Raja atau sultan. Organisasi itu juga dikabarkan telah mendirikan sebuah kantor pusat di Kota Mekkah untuk mengkoordinasikan berbagai kegiatannya di bagian Dunia.
Di Daerah Patani Raya, BNPP dengan giat menentang upaya pemerintah mendirikan pemukiman pemukiman Buddhis.
BNPP, yang beroperasi di negara kelantan dan di wilayah thai, juga giat mendrorong orang Melayu Patani untuk minta menjadi warganegara Malaysia. Dengan demikian, orang-orang Melayu-Muslim Patani secara berangsur-angsur memasuki birokrasi negara-negara bagian dan Federan Malaysia.
2. Bagian Revolusion Nasional (BRN)
Organisasi saparatis yang kedua adalah Barisan Revolusion Nasional (BRN) atau Liberation Front of Republic Patani (LFRP). Organisasi ini bertujuan republik, dan cenderung kearah suatu bentuk sosialisme Islam. BRN yang dimpimpin oleh seorang bekas guru pondok, Ustaz Karim Haji Hassan, bertujuan mencetuskan suatu revolusi sosial dan bebaskan daerah Patani dengan kekerasan.
3. Petubohan Persatuan Pembibasan Patani (PPPP)
Petubohan Persatuan Pembibasan Patani (PPPP) atau Patani United Liberation Organization (PULO). Ia dibentuk dalam 1968, sebagai organisasi induk yang mengoordinasikan banyak kelompok gerilya yang memerang pemertintah Thai. Struktur organisasi PPPP (PULO) menunjukan adanya tiga tingkat pimpinan. Dan yang menarik adalah bahwa tingkat paling atas, yang menentukan kebijakan, berada di Mekkah berada di Saudi Arabia. Tingkat pimpinan kedua, bertanggung jawab atas urusan politik, dan markasnya ada di tumpat, Kelantan (Malaysia). Tingkat pimpinan yang ketiga yang paling dikenal dengan sendirinya, adalah pimpinan operasi militer (Jabatan Tentara).
C. Bentuk-bentuk Operasi Politik dan Militer Lainnya.
Bentuk kekerasan yang paling umum adalah taktik pemerasan atau pemungutan uang perlindungan. Para pejabat pemerintah dan para pengusaha Thai dan Cina merupakan sasaran jenis kekerasn. Antara Agustus 1978 dan Juli 1979, pejabat-pejabat pemerintah provinsi di Patani, Yala, dan Narathivat melaporkan lebih dari 100 kasus melalui penculikan, penutupan perkebunan karet dan pemungutan uang perlindungan terhadap gangguan. Tiap kasus melibatkan uang antara 50.000 Baht (US$ 2.500) dan 150.000 Baht (US$ 7.500). Mereka yang menolak untuk membayar uang perlindungan atau uang tebusan dalam hampir semua kasus, dibunuh.
Kampanye teror itu tampaknya mempunyai tujuan lain selain uang. Rasa tidak aman dan tidak ada perlindungan dari pihak pemerintah terhadap kampanye itu, tak boleh tidak menghalau orang-orang Thai-Buddhis dari ketiga pprovinsi perbatasan di Selatan.
Kegiatan-kegiatan yang paling menarik perhatian adalah serangan terhadap para pejabat pemerintah, pusat-pusat pemertintah komunikasi internasional dan fungsi-fungsi raja. Dan dalam kasusu-kasus seperti itu pemerintah pusat tidak mempunyai pilihan lain selain membalas dengan tindakan militer yang lebih keras lagi. Dan yang akan menimbulkan lebih banyak korban dikalangan penduduk yang tidak berdosa. Situasi akan semakin memburuk setelah terjadi serangan gerilya dan serangan balasan oleh pasukan pemerintah. Yang paling spektakuler adalah pemboman di Bandar Udara Internasional Don Muang, Bangkok, pada 4 Juni 1977, dan pemboman station kereta api Had Yai yang menghubungkan Thai Selatan dengan Malayssia dan Singapura pada 8 Februari 1980. Ketiga kasus itu telah menarik perhatian luas di dunia internasional.
Dampak yang merugikan pemerintah pusat, berupa berkurangnya minat investasi, berahlinya arus turis dari negeri Thai ke daerah-daerah yang lebih damai dan stabil. Dan dampak pisikologis terhadap rakyat Thai pada umumnya. Namun satu hal sudah pasti, tingkat kekerasan naik secara mencolok dan perpecahan antara mayoritas Melayu-Muslim dan minoritas Thai Buddhis di Selatan mencapai titik yang semakin membahayakan.
Fundamentalisme Islam
Ada dua hal yang menyebabkan orang berpaling kepada fundamentalisme Islam di Thai Selatan. Pertama, ada suatu keinginan yang murni untuk mempertahankan bentuk-bentuk praktek Islam yang telah turun-temurun. Kedua, keharusan untuk membenarkan kekerasan yang diguunakan dalam perjuangan melawan proses ontegrasi yang sedang dilakukan oleh pemerintah.
Kedua alasan itu, keinginan murni untuk kembali kepada nilai-nilai fundamental Islam dan kebutuhan untuk membenarkan perjuangan yang menggunakan kekerasan, telah melahirkan banyak bentuk fundamentalisme Islam dikalangan orang Melayu-Muslim di Thai Selatan. Di bawah ini akan dijelas tiga gerakan, sperti:
a. Gerakan Dakwah
Gerakan dakwah menurut defensinya bebas dari kontrol pemerintah, sesunggunya ia dimaksudkan untuk mengimbangi kontrol pemerintah atas pondok. Gerakan itu dipimpin oleh para ulama yang menolak berpartisipasi dalam program pengintegrasian yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat. Gerakan itu dibiayai oleh masyarakat. Dan dakwah merupakan bentuk penyebaran agama Islam yang paling tradisonal.
Pemerintah semakin merasa cemas dengan meluasnya gerakan dakwah di kalangan orang Melayu di daerah perbatasan. Mengingat gerakan itu bersifat keagamaan semata-mata. Maka tidak ada alasan lagi bagi pemerintah untuk campur tangan.
b. Gerakan Tariqah
Gerakan tariqah (tarekat) merupakan jalan esoterik yang menekankan kehidupan batin dengan tujuan akhir kesempurnaan rohani. Akan tetapi dalam konteks Thai selatan, kata tariqah mengandung konotasi keterlibatan dalam ilmu dan praktek sihir, guna-guna, dan ilmu hitam.
Bahaya yang sebenarnya dari gerakan tariqah itu, dari sudut pandang pemerintah, adalah sifatanya yang transnasional. Apa yang sudah diketahui dari gerakan tariqah di Thai Selatan mungkin saja merupakan bagian dari suatu jaringan internasional orde-orde sufi yang meliputi seluruh asia tenggara. Para pejabat pemerintah sangat berhati-hati dalam menyelidiki gerakan tariqah itu.
c. Kelompok-kelompok Muslim dan Militan
Fundamentalisme Islam juga menampakkan diri dalam banyak kelompok militan yang beroperasi semata-mata dengan tujuan untuk mempertahankan Islam, jangan sampai digusur oleh orang-orang Thai-Buddhis pemuja berhala.
Dimensi Internasional
Konflik-konflik etnik cenderung menarik perhatian dari luar atas dasar afinitas atau ikatan-ikatan bersama seperti agama dan ideologi. Dalam kasus golongan Melayu-Muslim di Thai Selatan, ada tiga faktor yang menarik perhatian internasional kepada persolan mereka. Pertama, dengan sendirinya, adalah afintas etnis antara mereka dan hampir dua ratus jiwa rakyat ras Melayu di Asia Tenggara. Sejak pergantian abad yang silam, para pemimpin politik di Indonesia dan Malaya merasa perihatin dengan situasi-situasi saudara yang belum dibebaskan dari kekuasaan Thai itu. Kedua, adalah ikatan Islam yang menghubungkan golongan minoritas Melayu ini dengan Dunia Islam. Sedangkan Faktor ketiga, adalah kepentingan ideoligis negara lain yang berharap untuk memperoleh sekutu dari kalangan berbagai kelompok gerilya yang mengaku mewakili aspirasi-aspirasi golongan Melayu-Muslim.
Jatuhnya rezim militer pada tahun 1973 dan ditegakkannya demokrasi yang berlangsung hingga 1976 saat Jenderal Kriangsak Chomanan mengambil alih pemerintahan sipil merupakan era baru dalam dunia politik Thai. Tokoh-tokoh muda Melayu-Muslim kini lebih canggih dalam mengorganisasikan dan menyusun strategi gerakan. Dalam forum-forum Internasional, masalah yang menyangkut dengan status hukum etnis Melayu-Muslim di Muangthai Selatan ini semakin mendapat perhatian. Etnis Melayu-Muslim ini kini telah mempunyai wakil-wakil dalam pertemuan-pertemuan misalnya dalm Konferensi Liga Dunia Islam. Sedangkan dahulu, tuntutan masyarakat etnis Melayu-Muslim kepada pemerintah Thai hanya terbatas pada otonomi dalam urusan keagamaan, kebudayaan dan hokum, mulai sekitar pertengahan 1970-an tuntutan itu baru berubah, yakni suatu pemerintahan yang otonom.
Dalam memperjuangkan cita-cita itu, ternyata kalangan masyarakat Melayu-Muslim terdapat perbedaan dalam orientasi ideology, taktik dan ruang lingkup opersi perjuangan. Hal inlah yang memicu gerakan Melayu-Muslim terbagi ke dalam tiga kelompok utama yang masing-masing memiliki struktur kepemimpinan dan keanggotaan dengan latar belakang sosial-ekonomi yang berbeda.
Ketiga kelompok ini antara lain yaitu yang pertama, National Liberation Front of Patani (NLFP) atau Barisan Nasional Pembebasan Patani ( BNPP ). Ini merupakan organisasi tertua , yang didirikan oleh Tengku Mahyiddin, putra Abdul Kadir, raja Patani terakhir. Tujuan didirikan organisasi ini setelah berkhirnya Perang Dunia II adalah otonomi Patani dalam Federasi Malaysia. Yang kedua, Liberation Front of Republic Patani ( LFRP ) atau Barisan Revolusion Nasional ( BRN ). Aspirasi utamanya adalah mendirikan suatu Republik Patani dengan dasar ideologi Sosialisme Islam. Yang ke Tiga adalah Patani United Liberation Organization ( PULO ) atau Pertubohan Persatuan Pembibasan Patani ( PPPP ). Organisasi ini memiliki system pengorganisasian yang lebih efektif. Landasan dari organisasi ini adalah agama, bangsa, tanah air, dan perikemanusiaan.
Dalam tahun 1975-1976 PULO memobilisasikan masa untuk melakukan serangkaian demonstrasi menuntut pemerintahan yang otonom. Aksi-aksi ini mampu menarik perhatian pers dunia, sehingga mendapat dukungan internasional. Dalam memperjuangkan cita-citanya, yaitu suatu pemerintahan yang otonom, yang terpisah dari kerajaan Thailand, PULO melakukan kaderisasi dengan cara mendorong para anggotanya untuk memasuki lembaga-lembaga pendidikan keagamaan. Dalam kasus gerakan Melayu-Muslim di Muangthai Selatan, faktor-faktor ras, bahasa. agama, adat istiadat dan kesadarn akan suatu identitas kolektif yang khas, telah memobilisasikan untuk memperkuat solidaritas kolektif dalam melawan setiap upaya pengintegrasian dan pengasimilasian yang dilakukan pemerintah Muangthai.
Dalam masyarakat Melayu-Muslim di Muangthai, bentuk-bentuk gerakan fundamentalisme Islam itu adalah sebagai berikut.
1. Gerakan Dakwah
Gerakan ini dimotori oleh kaum elite agama yang cemas akan lunturnya identitas keislaman karena proses sekularisasi yang telah menyusup ke dalam pondok pesantren.
2. Gerakan Tariqah
Tariqh merupakan jalan esoteric yang menekankan kehidupan batin dengan tujuan akhir kesempurnaan rohani. Di Muangthai, kata tariqh mempunyai arti keterlibatan dalam ilmu dan praktek sihir, guna-guna dan ilmu hitam.
3. Kelompok-kelompok Muslim Militan
Kelompok ini menampakkan diri dalam kelompok militant yang gigih mempertahankan Islam supaya tidak tergusur oleh orang-orang Thai-Budhis pemuja berhala. Dalam hal ini, ada dua kelompok miltan yang sangat menonjol yaitu Sabilillah yang pernah melakukan pemboman terhadap Bandar Udara Internasional Dong Muang di Bangkok pada tanggal 4 Juni 1977 dan Gerakan Islam Patani GIP ) yang merekrut calon-calon anggotanya dari kalangan terpelajar.
0 komentar:
Post a Comment