Thursday, 17 May 2012

Kota Pusat Kerajaan dan Kota di Luar Pusat Kerajaan Islam Indonesia

Jika kita perhatikan letak geografis kota-kota pusat kerajaan yang bercorak Islam pada umumnya adalah kerajaan pesisir, seperti Samudera Pasai, Demak, Banten, Ternate, Gowa-Makassar dan Banjarmasin. Yang berfungsi pula sebagai kota pusat kerajaan yang bercorak maritim. Sedangkan Pajang adalah kerajaan yang bercorak agraris. Dilihat dari sudut ekonomi dan militer terdapat perbedaan antara corak kota pusat kerajaan maritim dengan kota pusat kerajaan bercorak agraris.

Masyarakat kota pusat kerajaan maritim lebih menitikberatkan kehidupannya pada perdagangan yaitu suatu ciri yang erat berhubungan dengan kenyataan bahwa para pedagang lebih sesuai hidup dalam masyarakat kota yang bercorak maritim. Kekuatan militernya lebih dititikberatkan pada angkatan laut. Sebaliknya masyarakat kota agraris dalam kehidupan ekonominya lebih menitikberatkan pada pertanian, sedang kekuatan militernya lebih dititiberatkan pada angkatan darat. Pada zaman Indonesia-Hindu ada suatu contoh kota pusat kerajaan yang bercorak campuran agraris-maritim yaitu Majapahit.

Hubungan antar kota, baik di daerah Indonesia sendiri maupun dengan kota-kota lain di luar Indonesia, jelas merupakan faktor penting dalam pertumbuhan dan perkembangan kota itu sendiri. Kerajaan- kerajaan maritim di mana pelabuhan-pelabuhan merupakan pusat perdagangan jelas akan menjadi ramai dikunjungi oleh kapal-kapal yang melakukan perdagangan (seperti pelabuhan Gresik, Tuban, Gowa-Makassar). Sehingga kerajaan maritim akan mengalami perkembangan di bidang ekonomi-politik dan kultural.

Sejak pertumbuhan dan perkembangan islam di Jawa dengan munculnya kota pusat kerajaan Demak dan kota-kota pelabuhan seperti Tuban, Gresik. Begitu juga sejak terbentuknya kerajaan-kerajaan lain di jawa seperti Jawa barat, seperti Cirebon, Banten. Lalu kemudian membentuk jalinan perhubungan pelayaran, perekonomian dan politik dengan Demak.

Sedangkan penataan kota-kota di luar pusat kerajaan adalah menunjukkan hal biasa dilakukan oleh kerajaan. Setiap perkampungan masyarakat muslim didirikan masjid-masjid. Yang menjadi ciri lagi perkembangan kota-kota adalah adanya pasar sebagai tempat menggerakkan ekonomi kerakyatan. Misalnya di Banten, sekitar abad ke-16 terdapat beberapa pasar dalam upaya pemerintah kerajaan menggerakkan ekonomi masyarakatnya.

Perlu juga diketahui bahwa pada awal-awal pertumbuhan kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam di Indonesia masih terdapat penggolongan atau pelapisan-pelapisan masyarakat:

1.Golongan raja-raja dan keluarganya

2.Golongan Elite

3.Golongan nonelite

4.Golongan Budak.


Pembagian golongan atau lapisan penduduk kota seperti tersebut tidak lain untuk lebih memungkinkan keleluasaan mengklasifikasikan pejabat pemerintahan, ulama, tukang-tukang, pedagang serta petani. Uraian lebih lanjut lihat SNI III oleh Marwati Djoened Poesponegoro, h.235 dst.

B.Pasar, pusat perekonomian kota

Dalam pengertian umum pasar adalah tempat jalinan hubungan antara pembeli dan penjual serta produsen yang turut serta dalam pertukaran itu. Pasar tidak hanya terdapat di kota-kota saja tetapi juga diberbagai tempat di desa-desa. Adanya pasar di dalam kota-kota pusat kerajaan maupun di kota-kota yang bukan di pusat kerajaan, sangatlah erat hubungannya dengan sifat corak kehidupan ekonomi kota itu sendiri. Kota, dilihat dari pengertian ekonomi adalah suatu tempat menetap di mana penduduknya terutama hidup dari perdagangan dan bukan dari pertanian.

Hal itu sesuai pula dengan kehidupan kota-kota pusat kerajaan dan kota-kota pelabuhan dari zaman pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan maritim bercorak Islam di Indonesia. Kota-kota pusat kerajaan dan kota-kota pelabuhan seperti Samudera Pasai, Demak, Banten, Ternate, Gowa-Makassar dan Banjarmasin, banyak dikunjungi pedagang-pedagang dari berbagai negeri asing maupun antar daerah kerajaan di Indonesia.

Pasar dalam menggerakkan ekonomi rakyat tidak lepas dari pemerintah yang berkuasa. Hubungan antara pasar kota dan pasar yang dibangun oleh penguasa tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan perekonomian karena saling tergantung. Golongan petani yang menjual hasil buminya kepada golongan pedagang, pegagang juga berinteraksi dengan petani lalu terjadilah pertukaran barang-barang antara keduanya yang mereka masing-masing saling memerlukan.

Fungsi pasar di kota-kota pelabuhan besar, baik di pusat kerajaan maupun bukan yang dikunjungi oleh pedagang-pedagang asing di samping untuk melengkapi perdagangan lokal juga untuk perdagangan nasional sebagai contoh, pasar-pasar yang bersifat internasional Banten, Demak, Samudera Pasai, Gowa, Banjarmasin, Ternate (Tidore). Pasar-pasar yang berada di pusat-pusat kota-kota pelabuhan maupun kota-kota lainnya, merupakan salah satu sumber penghasilan penguasa.

Di Indonesia pada masa pertumbuhan dan perkembangan Islam, bukti-bukti tentang pasar sebagai salah satu sumber penghasilan raja atau pemerintah suatu kerajaan, dapat dilihat dari berita Cina, bahwa dari tahun 1618 M., setiap hari raja menarik cukai dari pasar. Di Aceh pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda dipungut cukai pasar.”Dan ialah yang memaknakan Bail um-Mal dan uzur negeri Aceh Dar-us-Salam dan cukai pekan dan ialah yang sangat murah karunianya akan segala rakyat dan mengaruniai sedekah akan segala fakir miskin, pada tiap-tiap berangkat sembahyang Jum’at”. (Uraian lebih lanjut baca SNI jilid III, h. 265-278). Barang yang diperjual-belikan, h. 272 dst.

Sistem jual beli barang masih melanjutkan tradisi sebelum Islam yaitu dengan cara barter atau tukar-menukar antara barang-barang yang diperlukan. Tapi juga sudah ada yang menggunakan yang dinamakan mata uang. Biasanya sistem barter tersebut dilakukan antara pedagang-pedagang dari daerah-daerah pesisir dengan daerah-daerah pedalaman bahkan kadang-kadang langsung dengan petani-petani. Di antara barang-barang yang dibawa dari daerah-daerah pesisir adalah garam dan barang-barang impor dari luar negeri seperti pakaian, barang-barang dari porselin buatan Cina dan lain-lain. Sebaliknya barang-barang yang diperlukan masyarakat pesisir, terutama masyarakat kota adalah hasil-hasil pertanian, misalnya beras, dan buah-buahan. Bahkan hasil-hasil hutan dan pertanian untuk keperluan ekspor sangat diperlukan oleh pedagang-pedagang pesisir yang oleh pedagang-pedagang perantara itu dijual lagi kepada pedagang asing.

Pasar seperti di kota-kota sewaktu-waktu dapat diselenggarakan di desa-desa, misalnya setahun sekali atau secara tidak resmi dapat saja dilakukan oleh masyarakat. Tradisi jual beli dengan sistem barter hingga kinipun masih dilakukan oleh beberapa masyarakat sederhana dan masyarakat yang terpencil jauh dari kota. Tetapi di pasar beberapa kota pada zaman pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam, sistem jual beli barang-barang agaknya sudah menggunakan mata uang, bahkan mata uang asing juga ada yang berlaku di pasar kota-kota Indonesia.

Sebenarnya pada zaman Indonesia-Hindu di Jawa telah kita ketahui adanya peredaran mata uang, bak mata uang pribumi maupun mata uang asing, seperti diberitakan oleh berita-berita Cina dan beberapa prasasti yang menjelaskannya. Pada zaman pertumbuhan dan perkembangan Islam juga banyak beredar mata uang baik berasal dari kerajaan-kerajaan di Indonesia sendiri maupun mata uang asing, seperti: Cina, India, Arab, Persia, Portugis, Belanda dan Inggris.

Tome Pires mengatakan bahwa peredaran mata uang pada zaman kerajaan sebagai alat penukar dalam perdagangan di beberapa kota pusat kerajaan sudah Nampak terlihat pada waktu itu. Contohnya di Kerajaan Samudera Pasai di Aceh Utara, mata uangnya itu menggunakan nama-nama Sultan. Seperti Sultan Ala’uddin, Sultan Manshur Malik az-Zahir, Sultan Abu Zaid dan Sultan Abdullah. Kemudian pada awal tahun 1973, telah ditemukan mata uang 11 buah, yaitu mata uang dirham di antaranya memuat nama Sultan Muhammad Malik az-Zahir Sultan Ahmad, Sultan Abdullah semuanya adalah raja-raja Kerajaan Samudera Pasai yang dikenal pada abad ke-14 dan 15 M. (Uraian lebih lanjut dapat dibaca SNI Jilid III, h. 279-284).

C.Tempat Peribadatan dan Upacara 

Sebagai ciri dari kerajaan Islam biasanya setiap kerajaan itu mendirikan tempat peribadatan, yaitu masjid. Kalau di Jawa letak bangunan biasanya di sebelah barat alun-alun dan tidak terpisahkan dari komposisi tatakota inti di mana terdapat keraton. Dengan adanya masjid yang letaknya di sebelah barat alun-alun pusat kota itu, tidak berarti bahwa dalam sebuah kota hanya didirikan sebuah masjid. Berdasarkan data sejarah ternyata dalam sebuah kota pusat kerajaan terdapat beberapa buah masjid. Kecuali bangunan yang disebut masjid dibeberapa bagian kota terdapat pula surau, langgar atau meunasah ( di Aceh) yang juga dipakai sebagai tempat peribadatan umum. Pendirian masjid, surau lebih dari satu dalam suatu masyarakat sudah tentu disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat yang semakin lama berkembang.

Dilihat dari sudut arsitektur, masjid-masjid kuno di Indonesia menunjukkan kekhasan yang membedakannya dengan arsitektur masjid-masjid di negeri-negeri Islam lainnya. Kekhasan gaya arsitektur itu dinyatakan oleh atabnya yang bertingkat 2, 3, 5, denahnya persegi empat atau bujur sangkar dengan serambi di depan atau di samping, fondasinya pejal (padat, keras) dan tinggi, pada bagian depan atau samping terdapat parit berair (kulah). Masjid-masjid kuno yang atapnya bertingkat dua antara lain Masjid Agung di Cirebon (Jawa Barat) dari abad ke-16, masjid Katangka di Sulawesi Selatan abad ke-17 M. Masjid-masjid di Jakarta yang berasal dari abad ke-18 umumnya beratap dua tingkat. Masjid yang atapnya bertingkat tiga antara lain masjid Demak (Jawa Tengah) dari awal abad ke-16, masjid Agung Banten abad ke-16, masjid Baiturrahman dari masa Iskandar Muda di kota Banda Aceh, masjid Jepara (Jawa Tengah) abad ke-17 dan masjid Ternate dari tahun 1870 M.

Mengenai asal pengaruh yang terdapat pada masjid-masjid yang mempunyai corak atau gaya Indonesia itu ada dua pendapat: pertama, pendapat yang menyatakan pengaruh gaya masjid di India dari daerah Malabar. Kedua, bahwa gaya masjid dengan atap bertingkat berasal dari Indonesia sendiri yaitu berupakan tradisi seni bangunan candi yang telah dikenal zaman Indonesia Hindu-Budha. Sesungguhnya masyarakat Indonesia sudah mengenal bangunan atap bertingkat yaitu bangunan yang dinamakan meru, sebuah gunung kahyangan tempat para dewa. Antara candi dan meru atau gunung kahyangan itu erat hubungannya, karena candipun dianggap lambing rumah kedewaan dan replika meru.

Gaya khas masjid-masjid kuno Indonesia itu sesuai dengan gaya bangunan keraton dan bagian-bagian lainnya. Pusat kota kerajaan terdiri dari bangunan-bangunan, alun-alun, dan jalan-jalan utama. Di Jawa pohon beringin yang ditanam di alun-alun, yang disebut wringin-kurung, senantiasa menjadi lambing pusat pemerintahan di mana terdapat keraton sebagai tempat raja.

Gaya masjid-masjid kuno di Indonesia menimbulkan pertanyaan: mengapa bangunan tersebut dibuat demikian? Hal itu disebabkan oleh beberapa faktor, pembuat-pembuat bangunan itu adalah orang-orang Muslim Indonesia sendiri sehingga seni-bangunan bahkan seni ukir yang sudah ada sebelumnya, secara tradisional masih tradisional. Raden Sepat misalnya, dia adalah kepala tukang atau arsitek asal Majapahit yang membuat kota di Cirebon. Masjid Demak didirikan atas pimpinan dan petunjuk para wali dan dilaksanakan oleh tukang-tukang dari Majapahit. Bahkan menurut cerita dalam babad dikatakan serambi masjid itu sendiri berasal dari kota Majapahit. Bangunan Keraton dan masjid-masjid di Banjarmasin, Kutai, Sulawesi berdasarkan berita-berita dalam hikayat-hikayat didirikan orang-orang setempat. Dari bukti-bukti tersebut jelas pula bagi kita bahwa pendirian masjid dilakukan oleh berbagai lapisan masyarakat. Dorongan besar untuk bergotong-royong dalam mendirikan tempat peribadatan masjid juga mungkin karena pengaruh hadis yang antara lain mengatakan:

“Barang siapa membina masjid karena Allah dan mengharapkan keridhaan-Nya, maka Allah akan membuat rumah baginya dalam sorga”.

Hal itu diperkuat pula oleh ayat AlQur’an surah At-Taubah ayat 18 dan 19, mengenai orang-orang yang memakmurkan masjid-masjid Allah, dianggap orang-orang yang beriman. 

Bahwa inisiatif mendirikan masjid di Indonesia mula-mula timbul dari sultan atau wali, diperkuat oleh unsur-unsur tradisional yang memandang raja atau sultan dan wali sebagai orang-orang suci yang mempunyai kelebihan-kelebihan tersendiri. Menurut babat, masjid-masjid kuno yang didirikan di bawah pimpinan Wali Sanga secara gotong-royong adalah masjid Demak dan Masjid Agung di Cirebon. Bahkan dikedua masjid itu terdapat saka guru (tiang utama) yang dibuat dari tatal, yaitu pecahan-pecahan kayu kecil-kecil yang disatukan sehingga kuat untuk menjadi salah satu tiang utama. Kemungkinan maknanya melambangkan kesatuan atau kegotong-royongan, ssuatu pekerjaan yang bukan karena hanya pengaruh hadis dan ayat AlQur’an tetapi juga oleh karena dasar gotong-royong yang merupakan suatu unsur yang sudah ada di dalam masyarakat Indonesia.

Faktor lain mengenai latar belakang gaya bangunan dan beberapa ukiran yang menunjukkan kelanjutan tradisi sebelum Islam mungkin disebabkan pembuatannya mempunyai maksud-maksud yang lebih dalam dari pada itu. Maksud tersebut yaitu untuk menarik perhatian masyarakat yang belum masuk Islam atau yang baru saja masuk Islam sehingga mereka senang mengunjungi masjid yang gayanya masih mengingatkan unsur bangunan candi. Perubahan kepercayaan dari agama Hindu-Budha ke Islam memerlukan penyesuaian perlahan-lahandan penuh kebijaksanaan. Dan cara-cara itu dilakukan para wali, seperti Sunan Kali Jaga dalam mengislamkan masyarakat lapisan atas dan bawah menggunakan unsur-unsur budaya yang sudah ada seperti pertunjukan wayang yang sedikit demi sedikit tokohnya diganti oleh tokoh Islam.

Masjid dan langgar atau tajug mempunyai fungsi yang berbeda. Masjid adalah tempat peribadatan yang dapat dipergunakan untuk sholat Jum’at, sedangkan langgar atau tajug umumnya dipergunakan untuk sholat berjamaah sehari-hari dan bukan untuk sholat Jum’at. Karena itu dalam ukuran serta bangunannya berbeda. Masjid umumnya dibangun dalam ukuran yang besar sedang langgar cukup untuk menampung beberapa orang saja. Masjid-masjid besar terutama didirikan di pusat-pusat kerajaan seperti di Samudera Pasai, Demak, Banten, Gowa-Makassar, Banjarmasin dan Ternate. Masjid-masjid besar dinamakan juga masjid Raya, di Jawa disebut masjid Agung. Sebutan lainnya juga adalah masjid Jami.

Fungsi masjid pada saat itu bukan hanya sebagai tempat ibadah ritual saja tetapi juga sebagai tempat kegiatan-kegiatan kemasyarakatan seperti maulid, kenduri dan lainnya. Para Wali Sanga menyelenggarakan musyawarah mengenai soal-soal kemasyarakatan dan keagamaan di dalam masjid Demak dan Cirebon. Bahkan disebutkan bahwa masjid juga sebagai tempat pengadilan. Di Jawa masjid-masjid kuno ada juga ruangan khusus tempat wanita sholat yaitu di sebelah selatan masjid ada dinding pemisah dengan jamaah laki-laki. Itu artinya kaum wanita turut serta mengambil bagian dalam melakukakan sembahyang di masjid bersama-sama kaum pria.

Di bagian belakang dan samping halaman masjid kuno di Indonesia biasanya terdapat pula tempat makam raja-raja atau sultan-sultan dan beberapa anggota keluarganya dan orang-orang yang dianggap keramat juga dimakamkan bersama-sama. Contohnya di masjid Demak, masjid Ampel, masjid Kuta Gede, masjid Banten, dan masjid Katangka Makassar. Mengapa hal itu dilakukan. Tidak lain adalah adanya hubungan antara makam dengan sultan sebagai pendirinya. Disebutkan dalam sumber sejarah bahwa sultan juga selalu menghadiri masjid untuk melakukan ibadah. Ketika itu, kehadiran sultan di samping melakukan ibadah bersama-sama dengan tokoh-tokoh masyarakat kota pusat kerajaan, juga sebagai tempat untuk memperhatikan loyalitas penguasa-penguasa di bawah raja dan juga tokoh-tokoh ulama serta masyarakat umumnya terhadap sultan. 











0 komentar:

HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html