Wednesday 2 May 2012

MULTIKULTURALISME DALAM KONFLIK


Secara sederhana, multikulturalisme dapat kita pahami sebagai suatu konsep keanekaragaman budaya dan kompleksitas kehidupan di dalamnya. Multikulturalisme mengajak masyarakat dalam arus perubahan sosial, sistem tata nilai kehidupan yang menjunjung tinggi toleransi, kerukunan dan perdamaian bukan konflik atau kekerasan meskipun terdapat berbagai perbedaan sistem sosial di dalamnya. 

Wacana multikulturalisme ini mengemuka dan menjadi mainstream dalam kajian peru-bahan sosial budaya, seiring dengan realitas sosial kehidupan masyarakat memasuki abad XXI ini, yang menunjukkan realita sosial keanekaragaman budaya (multicultural). Dalam pada itu, masyarakat menuntut dilakukannya reformasi total sistem politik, dari totalitarianisme menuju demokrasi.

Seiring dengan itu pula, terjadi benturan kebudayaan dalam masyarakat sehingga terjadi ”kekacauan”. Arus perubahan sosial ini—dari hegemoni budaya ke pluralisme—dikatakan Samual Hutington telah memicu berbagai konflik sosial atau benturan peradaban diantara kebudayaan-kebudayaan dalam masyarakat.

Inilah yang terjadi di Indonesia, sebuah konflik sosial antaretnis berbau sara (suku, agama, ras dan antargolongan) seperti kasus Poso, Maluku dan lain sebagainya yang acapkali terjadi di berbagai kepulauan nusantara. Oleh karena itu, wacana multikulturalisme ini menemukan relevansinya di tengah konflik yang terjadi akibat hegemoni kebudayaan selama ini.

Sebagai instrumen atau perangkat analisis, multikulturalisme harus dipahami dalam kerangka berpikir keanekaragaman sosiokultural, budaya lokal, etnis, ras dan antargolongan suku bangsa. Dengan lain perkataan, multikulturalisme ini harus dimengerti sebagai suatu kekayaan budaya yang alamiah, sunnatullah atau natural.

Masyarakat multikultural harus mengakui dan memiliki karakteristik heterogenitas budaya guna tercipta pola hubungan sosial yang mencerminkan sikap toleransi, ramah dan saling menghargai manusia yang satu dengan lainnya tanpa membedakan status sosial seseorang. Akar-akar etnosentrisme yang mengarah pada rasialisme harus dikikis habis dan setiap individu harus bersedia hidup berdampingan dengan manusia lainnya dalam tali cinta kasih kemanusiaan, bukan sukuisme dan rasialisme. 

Apalagi, kita berada dalam arus globalisasi, persaingan hidup global yang meniscayakan pola hubungan antarindividu dalam masyarakat yang heterogen, maka setiap manusia harus memiliki karakter multikultural. Identitas budaya lokal harus dipahami sebagai khazanah budaya yang alamiah, bukan untuk membangun primordialisme, etnisitas atau sukuisme agar tercipta perdamaian. Membangun deklarasi Malino adalah penting, tetapi menjaga perdamaian adalah labih penting. Berpikir etnisitas dan primordialisme adalah bertentangan dengan hukum alam atau sunnatullah. 
Hegemoni Sosial 

Allah berfirman, ”Sesungguhnya kami ciptakan kamu (wahai umat manusia) dari komunitas laki-laki dan perempuan dan kami ciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar saling mengenali identitas masing-masing”. Untuk itu, Nabi Muhamad SAW menegaskan tidak adanya perbedaan substansial orang Arab dan bukan Arab, mereka yang berkulit hitam atau yang berkulit putih. 
Berpijak pada kerangka pemikiran ini, paradigma multikulturalisme diharapkan menjadi solusi konflik kemanusiaan selama ini. Disamping untuk menopang wacana demokratisasi sebagai agenda masa depan politik guna mencapai cita ideal perdamaian dan peradaban modern. 

Ditengah negara-bangsa (nation state) yang saat ini bergolak, fenomena kecenderungan konflik yang semakin fragmentaris pada berbagai level masyarakat, termasuk dalam politik, maka wacana multikulturalisme ini harus menjadi kajian utama dalam arus perubahan sosial budaya.

Sementara keadilan, kemiskinan atau ketimpangan sosial ekonomi masyarakat semakin tinggi. Hal ini memberi isyarat bahwa keinginan untuk membangun masyarakat berperadaban (civil society) dan keadilan sosial masih tanda tanya besar. Oleh karena itu, pemerintah harus segera melakukan reformasi mental, moralitas jajaran birokrasi, jika tidak maka krisis akan terus berlangsung dan disintegrasi bangsa bisa jadi kenyataan.

Mimpi indah untuk hidup damai, aman, adil dan sejahtera memasuki tahun ini pun masih dihantui rasa khawatir dan pesimis. Paling tidak karena empat hal berikut ini.
> Pertama, terjadinya krisis ekonomi di berbagai belahan dunia. Kasus paling mutakhir adalah kerusuhan besar di Argentina. Krisis ekonomi yang berkepanjangan ini secara otomatis akan memperburuk taraf hidup masyarakat, karena kemiskinan semakin meningkat. Seiring dengan itu, wabah penyakit semakin menyebar yang turut memperbesar pori-pori pesimisme cita kedamaian itu.

Kedua, adalah fenomena konflik antarbangsa yang menyebabkan perang dan konflik etnis berbau SARA turut pula menambah pesimisme kedamaian.

Ketiga, kecenderungan konflik para elite politik dan belum maksimalnya proses penegakan hukum dan hak asasi manusia (HAM) merupakan dilema tersendiri yang akan mempertajam konflik dan krisis di masa depan.

Keempat, krisis ekologi. Pencemaran lingkungan hidup yang mengancam kerusakan dan keseimbangan alam semesta yang berarti pula mengancam berlangsungnya kehidupan di muka bumi. Banjir, tanah longsor, kebakaran hutan dapat menghambat pertanian di samping pula menelan korban kemanusiaan yang cukup tinggi. Meskipun penderitaan fisik paling dasariah, namun penderitaan dalam arti kognitif dan psikologis juga membutuhkan biaya kemanusiaan yang cukup tinggi.

Oleh karena itu, wacana multikulturalisme ini harus segera ditransformasikan dalam konteks kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara guna memberi solusi alternatif penyelesaian konflik berbau sara (suku, agama, ras dan antar golongan) selama ini.

Dalam konteks Indonesia, transformasi sosial budaya ini butuh perhatian semua pihak. Butuh manajemen konflik, efektivitas kerja dan efisiensi waktu mengingat waktu mengalir begitu cepat sementara konflik terus berjalan menurut logikanya sendiri. Agar konflik segera berlalu, semua pihak harus rela berkorban melakukan transformasi sistem nilai sosial budaya ini untuk membangun masyarakat berperadaban (civil society). 

A. Teori-teori Konflik

Teori-teori utama mengenai sebab-sebab konflik adalah:

a. Teori hubungan masyarakat

Menganggap bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan di antara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat. Meningkatkan komunikasi dan saling pengertian antara kelompok yang mengalami konflik, serta mengusahakan toleransi dan agar masyarakat lebih bisa saling menerima keragaman yang ada didalamnya.

b. Teori Kebutuhan Manusia

Menganggap bahwa konflik yang berakar disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia (fisik, mental dan sosial) yang tidak terpenuhi atau dihalangi. Hal yang sering menjadi inti pembicaraan adalah keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi, dan otonomi. Mengidentifikasi dan mengupayakan bersama kebutuhan mereka yang tidak terpenuhi, serta menghasilkan pilihan-pilihan untuk memenuhi kebutuhan itu. 

c. Teori Negosiasi Prinsip

Menganggap bahwa konflik disebabkan oleh posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak yang mengalami konflik. Membantu pihak yang berkonflik untuk memisahkan perasaan pribadi dengan berbagai masalah dan isu dan memampukan mereka untuk melakukan negosiasi berdasarkan kepentingan mereka daripada posisi tertentu yang sudah tetap. Kemudian melancarkan proses kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak atau semua pihak.

d. Teori Identitas

Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh identitas yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa lalu yang tidak diselesaikan. Melalui fasilitas lokakarya dan dialog antara pihak-pihak yang mengalami konflik, sehingga dapat mengidentifikasi ancaman dan ketakutan di antara pihak tersebut dan membangun empati dan rekonsiliasi di antara mereka. 

e. Teori Kesalahfahaman Antarbudaya

Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh ketidakcocokan dalam cara-cara komunikasi di antara berbagai budaya yang berbeda. Menambah pengetahuan kepada pihak yang berkonflik mengenai budaya pihak lain, mengurangi streotip negatif yang mereka miliki tentang pihak lain, meningkatkan keefektifan komunikasi antarbudaya.

f. Teori Transformasi Konflik

Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah sosial, budaya dan ekonomi. Mengubah struktur dan kerangka kerja yang menyebabkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan termasuk kesenjangan ekonomi, meningkatkan jalinan hubungan dan sikap jangka panjang di antar pihak yang berkonflik, mengembangkan proses dan sistem untuk mempromosikan pemberdayaan, keadilan, perdamaian, pengampunan dan rekonsiliasi.

B. Manajemen Konflik

Manajemen konflik merupakan serangkaian aksi dan reaksi antara pelaku maupun pihak luar dalam suatu konflik. Manajemen konflik termasuk pada suatu pendekatan yang berorientasi pada proses yang mengarahkan pada bentuk komunikasi (termasuk tingkah laku) dari pelaku maupun pihak luar dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan (interests) dan interpretasi. Bagi pihak luar (di luar yang berkonflik) sebagai pihak ketiga, yang diperlukannya adalah informasi yang akurat tentang situasi konflik. Hal ini karena komunikasi efektif di antara pelaku dapat terjadi jika ada kepercayaan terhadap pihak ketiga.

Manajemen konflik merupakan langkah-langkah yang diambil para pelaku atau pihak ketiga dalam rangka mengarahkan perselisihan ke arah hasil tertentu yang mungkin atau tidak mungkin menghasilkan suatu akhir berupa penyelesaian konflik dan mungkin atau tidak mungkin menghasilkan ketenangan, hal positif, kreatif, bermufakat, atau agresif. Manajemen konflik dapat melibatkan bantuan diri sendiri, kerjasama dalam memecahkan masalah (dengan atau tanpa bantuan pihak ketiga) atau pengambilan keputusan oleh pihak ketiga. Suatu pendekatan yang berorientasi pada proses manajemen konflik menunjuk pada pola komunikasi (termasuk perilaku) para pelaku dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan dan penafsiran terhadap konflik.

Transformasi konflik secara lebih umum dalam menggambarkan situasi secara keseluruhan. 
Pencegahan Konflik, bertujuan untuk mencegah timbulnya konflik yang keras. 
Penyelesaian Konflik, bertujuan untuk mengakhiri perilaku kekerasan melalui persetujuan damai. 
Pengelolaan Konflik, bertujuan untuk membatasi dan menghindari kekerasan dengan mendorong perubahan perilaku positif bagi pihak-pihak yang terlibat. 
Resolusi Konflik, menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru dan yang bisa tahan lama diantara kelompok-kelompok yang bermusuhan. 
Transformasi Konflik, mengatasi sumber-sumber konflik sosial dan politik yang lebih luas dan berusaha mengubah kekuatan negatif dari peperangan menjadi kekuatan sosial dan politik yang positif. 

Tahapan-tahapan diatas merupakan satu kesatuan yang harus dilakukan dalam mengelola konflik. Sehingga masing-masing tahap akan melibatkan tahap sebelumnya misalnya pengelolaan konflik akan mencakup pencegahan dan penyelesaian konflik.

Manajemen konflik merupakan proses, sama halnya dengan perencanaan kota merupakan proses. Proses manajemen konflik perencanaan kota merupakan bagian yang rasional dan bersifat iteratif, artinya bahwa pendekatan model manajemen konflik perencanaan kota secara terus menerus mengalami penyempurnaan sampai mencapai model yang representatif dan ideal. Sama halnya dengan proses manajemen konflik yang telah dijelaskan diatas, bahwa manajemen konflik perencanaan kota meliputi beberapa langkah yaitu: penerimaan terhadap keberadaan konflik (dihindari atau ditekan/didiamkan), klarifikasi karakteristik dan struktur konflik, evaluasi konflik (jika bermanfaat maka dilanjutkan dengan proses selanjutnya), menentukan aksi yang dipersyaratkan untuk mengelola konflik, serta menentukan peran perencana sebagai partisipan atau pihak ketiga dalam mengelola konflik. Keseluruhan proses tersebut berlangsung dalam konteks perencanaan kota dan melibatkan perencana sebagai aktor yang mengelola konflik baik sebagai partisipan atau pihak ketiga.

C. Konflik Peradaban Dan Manajemen Publik

Salah satu tanggung jawab dan kesalahan politik terbesar, sekaligus melahirkan kekerasan sipil yang paling eksplosif, adalah munculnya sentimen dan diskriminasi peradaban. Dimasa sekarang ini sentimen dan diskriminasi identitas dianggap sebagai kejahatan moral yang mengerikan, sebangun dengan kekerasan yang sering ditimbulkannya. Bahkan di beberapa negara penyakit sosial ini, baik sebagai suatu sikap maupun tindakan, tidak sekedar dianggap sebagai kejahatan moral, tetapi dengan tegas dinyatakan sebagai sesuatu yang ilegal, dan harus diganjar dengan hukuman sebagaimana tindakan kriminal lainnya.

Persolan sentimen dan diskriminasi identitas kembali menjadi perhatian dunia internasional setelah berlalunya musim semi komunisme. Potensi konflik dalam kehidupan masyarakat global pasca perang dingin mulai bergeser dari konflik ideologi dan ekonomi ke konflik peradaban. Adrenalin dalam diri manusia, mungkin secara tidak sadar, senantiasa mendorong 'kita' untuk menarik garis embarkasi agar tercipta 'mereka'. Ketika 'mereka' tidak bisa diciptakan lagi dari bongkah es ideologi yang telah mencair, maka 'kita' berusaha menggali unsur-unsur lain yang dapat mempersonifikasikan 'mereka'.

Konflik antara pemeluk peradaban ini - yang masing-masing berakar dan didukung oleh kelompok negara-negara Barat, Timur dan Timur Tengah - jauh lebih dahsyat. Hal ini dikarenakan oleh unsur-unsur peradaban, antara lain bahasa, sejarah, adat istiadat, profesi dan agama, jauh lebih komplex dan mengkristal dibandingkan ideologi. Jika konflik ideologi hanya bertujuan menekuk pemerintah yang berkuasa dan mengganti ideologi yang ada, maka konflik peradaban tidak cukup hanya menumbangkan mereka yang berkuasa, namun pembasmian seluruh pendukung peradaban tersebut. 

Kehadiran 'mereka' secara natural justru menumbuhkan vitalitas dalam dinamika kehidupan bermasyarakat. 'Mereka' akan menjelma menjadi sosok yang mengancam ketika 'mereka' mulai dipolitisir. Sejarah telah menunjukkan bagaimana keragaman manusia ini, pada awal-awal berkembangnya alat transportasi yang memungkinkan manusia untuk melihat sisi-sisi lain dari bumi ini, diterima dengan apa adanya. Baru ketika kepentingan politik ikut berbicara - kolonialisme pada awalnya - maka harmoni ini seketika berubah menjadi mimpi buruk.

Puncak dari eksploitasi politik terhadap pluralitas manusia terjadi pada era Nazi, dan yang masih terasa hangat dalam ingatan tentunya Bosnia dan Czechnya. Sejarah menunjukkan bahwa konflik sosial tidak pernah berlangsung secara spontan dan alamiah. Ia selalu dibingkai oleh kepentingan 'ideologi' dan untuk itu diperlukan operator politik yang mampu menyulap simbol menjadi ideologi semu, dan bila perlu didukung oleh legitimasi dari tampuk kekuasaan.

Demikian pula yang terjadi dalam diri bangsa kita, dimana seluruh peradaban dunia terepresentasikan dalam masyarakat Indonesia yang begitu majemuk. Bangsa kita telah berulangkali menyaksikan akrobatik para operator politik dan merasakan akibat dari konflik peradaban ini Ketika kita tidak berdaya menghadapi berbagai persoalan kehidupan, maka diperlukan 'mereka' untuk memompa kembali kadar adrenalin kita. Sekalipun sejak SD telah diajarkan bahwa nenek moyang kita berasal dari Cina, kita pura-pura lupa dan perlu menciptakan 'mereka' sebagai non-pri, dan serta-merta mengklaim diri 'kita' sebagai pribumi Indonesia. Bahkan jika paket ini dianggap kurang menggelegak karena telah usang, tukang santet pun dapat diikhtiarkan untuk menjadi 'mereka'.

Setiap rezim memang selalu memerlukan conflicts dan management of conflicts. Kedua hal tersebut dibutuhkan untuk menumbuhkan demokrasi. Namun yang lebih sering terjadi justru hal tersebut direkayasa untuk mengalihkan perhatian publik dari suatu persoalan, sekaligus juga menempatkan sang penguasa sebagai pahlawan yang mampu meredakan pertikaian tersebut.

Para operator politik memperlakukan 'mereka' sebagai partner shadow boxing hanya untuk sementara waktu hingga tujuan politiknya terpenuhi. Namun celakanya bagi masyarakat yang terprovokasi, 'mereka' tetap disembah sebagai berhala yang harus rajin digebuk. Oleh karena itu penting kiranya untuk segera memberikan porsi yang layak bagi pembangunan peradaban dan kebudayaan., serta menciptakan suatu kebijakan publik yang mengatur agar simbol-simbol peradaban tidak digunakan, setidaknya dibatasi, dalam wacana politik. Agar kopiah dan cungkup dapat dilihat sebagai penutup kepala yang dapat digunakan siapa saja dan dimana saja, bukan secara eksklusif diarak sebagai simbol islam atau kristen. Dan yang terpenting agar penalaran masyarakat tidak diredusir dari esensi menjadi simbol dan menyihir simbol menjadi esensi. Masyarakat perlu diberi ketentraman untuk mengembangkan peradabannya, bukan dicabik untuk kepentingan politik.

PENUTUP

Berbagai kebijakan publik kita yang menyangkut persoalan pluralisme, tidak jauh berbeda dengan suatu perlombaan lari, dimana salah seorang peserta dibelenggu kakinya. Ketika lomba telah berjalan, penonton mulai memprotes pertandingan yang tidak adil ini. Lalu bagaimanakah cara menyeimbangkan keadaan ini? Apakah mereka yang dibelenggu harus dilepaskan dari rantai terlebih dahulu, atau menebas kaki mereka yang lebih unggul agar perlombaan dapat dimulai kembali dengan adil? Persoalannya mungkin bukan pada merantai atau menebas peserta lomba itu sendiri, tapi aturan kompetisi yang adil dan memberikan perlindungan serta kesempatan yang sama kepada para peserta, wasit yang tidak suka main mata dan juga panitia yang tidak mudah digosok. Perlu kiranya diupayakan lahirnya kebijakan publik yang dapat mengatur kehidupan masyarakat yang beragam ini dan tidak diskriminatif. Karena pada akhirnya tujuan sebuah kebijakan publik harus mencakup pemerataan hasil dan juga kesempatan, bukan salah satu diantara keduanya.

Assalamu Alaikum Wr. Wb. 


DAFTAR PUSTAKA

Nurdin, Ali, Quranic Society, Penerbit Erlangga, Jakarta: 2006. 

Ibrahim, marwah Daud, Mengelola Hidup dan Merencanakan Masa Depan, MHMMD, Jakarta: 2003. 

Netty, Hartati, Islam dan Psikologi, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta: 2004. 

Sulastomo, Transisi Orde Lama Ke Orde Baru, Penerbit Kompas, Jakarta: 2008. 

Muthahhari Murtadha, Manusia dan Alam Semesta, Penerbit Lentera, Jakarta: 2002. 














0 komentar:

HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html