Nama Abdulah bin abdul wahab yang dikenal dengan gerakan Wahabi, sebenarnya bukan istilah baku dalam literatur Islam. Banyak kalangan menilai bahwa gerakan Wahabi merupakan pelopor kebangkitan pemikiran di dunia Islam, antara lain gerakan Mahdiyah di Sudan, Sanusiyah di Libia, pan Islamismenya Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh di Mesir dan gerakan lainnya di Benua India.
Di kemudian hari gerakan ini terus berkembang dan tersebar tidak saja di Hijaz sendiri, bahkan sampai ke daerah lainnya. Pada akhirnya, istilah salafi melekat kuat hingga sekarang sebagai penerus gerakan Wahabi. Namun seiring dengan perjalanan waktu, dakwah ini mengalami pasang surut dan tampak adanya kesan saling tarik menarik di antara kader-kadernya.tak jarang terlontar tuduhan sebagai kader sudah tidak konsisten lagi dengan jalur dakwah yang diemban, bahkan tudingan jumud dan apatis dilontarkan.
Muhammad bin Abdul wahhab al-Tamimi al-Naidi (1703-1791 M) lahir di Uyainah, daerah sebelah barat kota Riyadh. Ayahnya pernah menjabat ketua agama setempat, sedang kakeknya pernah menjabat qadhi (mufti besar).
Abdul Wahab pernah belajar di Mekah selama beberapa waktu, kemudian meneruskan ke madinah dan berguru npada dua ulama besar yang kelak membentuk pemikirannya, yaitu Syaikh abdulah bin Ibrahim al-Najdi dan syaikh Muhammad hayah al-Sindi.
Setelah menyelesaikan studinya, beliau meneruskan ke basrah. Di kota ini ia mempelajari hadist, fiqh dan ushul fiqh dan lainnya. Abdul wahab memulai dakwahnya di Basrah, tetapi dakwahnya tidak mendapat simpati. Beliau kemudian mengembara ke beberapa Negeri muslim. Dakwahnya disambut ketika berada di Dir’iyyah. Bahkan dijadikan guru dan dimuliakan oleh penguasa setempat, Muhammad Su’ud yang berkuasa pada tahun 1139-1179 H. gerakan ini terus berkembang dan menjadi semacam gerakan nasional di seluruh wilayah Saudi Arabia hingga hari ini.
Abdul Wahhab muncul menjadi pelopor gerakan islah (reformasi) yang muncul menjelang masa-masa kemunduran dan kebekuan berpikir di dunia Islam (abad ke 12 Hijriyyah). Dakwah ini menyerukan agar akidah Islam dikembalikan kepada makna dasarnya dengan membersihkan keimanan dari syirik, bid’ah, khuradfat dari segala manifestasinya. Mereka melarang membangun bangunan di atas kuburan, menyelimutinya atau memasang lampu di dalamnya. Mereka juga melarang orang meminta kepada kuburan, orang mati, dukun, peramal, dan tukang sihir. Mereka juga lerang tawassul dengan menyebut nama orang shaleh seperti kalimat “bi jaahi rasul” atau keramatnya syaikh fulan dan fulan.
Dakwah ini telah membangun umat Islam di bidang akidah yang telah lama jumud akibat kemunduran islam. Mereka memperhatikan pengajaran dan pendidikan umum serta merangsang para ulama dan cendikiawan untuk kembali membuka literature dari sumber yang mu’tabar, sebelum menerima sebuah pemikiran baru. Mereka tidak mengharamkan taqlid, namun meminta agar umat ini mau lebih jauh meneliti dan merujuk kembali pada nash dan dalil dari kitabullah dan sunnah Rasul SAW serta pendapat para ulama salafusshalih. Diantara tokoh ulama yang sering mereka jadikan rujukan adalah Ahmad bin Hambal, Ibn Taimiyyah, dan Ibnul Qayyim al-Jauziyyah.
A. Biografi Muh Ibn Abd Wahab
Muhammad Ibn Abd al-Wahab lahir di Najd, salah satu kota penting dalam sejarah Hijaz Arab modern, tahun 1703. Masa kecil Abd al-Wahab dihabiskan di kota ini. Ia belajar ilmu-ilmu agama dan menyukai kajian-kajian Al-Qur’an dan Hadits. Ia memperdalam ilmu-ilmu Al-Qur’an di Madinah, Mekah, dan beberapa kota penting di Arab Saudi. Dalam usia belajarnya, Ibn Abd al-Wahab juga sempat berkunjung ke beberapa negara di luar Arab Saudi, termasuk ke Iran, di mana dia melihat adanya praktik-praktik keagamaan yang menurutnya dianggap menyimpang.
Para pengamat pemikiran modern kerap menganggap gerakan fundamentalisme selalu berada pada margin kekuasaan yang tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap kebijakan-kebijakan negara. Anggapan semacam ini tentu keliru jika kita mengaitkan dengan peran Muhammad Ibn Abd al-Wahab dan para pengikutnya yang terkenal dengan sebutan Wahabiyah. Gerakan ini bukan hanya “bermain” di pusat kekuasaan, tapi juga turut memberikan pengaruh yang luar biasa bagi pembentukan dan perkembangan kerajaan Arab Saudi.
Kecintaan terhadap al-Qur’an dan hadits mendorong untuk menghidupkan dua sumber utama Islam ini dan mengaplikasikan dalam kehidupan modern kaum Muslim. Ia kemudian memperkenalkan jargon “kembali kepada al-Qur’an dan hadits.” Ia berpendapat, ajaran keagamaan Islam harus dilandasi dengan dua kitab utama kaum Muslimin yaitu al-quran dan al-hadist. Abd al-Wahab tak sekadar mengajak kaum Muslimin kembali kepada ajaran al-Qur’an dan juga hadits, tapi menganjurkan mereka melawan dan memusnahkan praktik-praktik yang dianggap bertentangan dengan ajaran-ajaran yang terkandung dalam dua kitab utama itu. Abd Al-Wahab adalah seorang yang pandai berbicara dan menulis. Selain memberikan cermah-ceramah keagamaan kepada para pengikutnya, ia juga menulis banyak buku. Di antaranya Kitab al-Tauhid yang menjadi rujukan utama bagi para murid dan pengikutnya, Al-Ushul al-Tsalatsah wa al-Qawa’id al-Arba’ah, Tafsir al-Fatihah, Tafsir Kalimat al-Tauhid, dan Nasihat al-Muslimin.
Karya-karya Abd al-Wahab memiliki nuansa teologis (‘ilm tauhid) yang kental. Karenanya, banyak orang yang menganggapnya lebih sebagai seorang teolog ketimbang seorang faqih (ahli fikih) atau mufassir (ahli tafsir), kendati ia juga menulis beberapa buku fikih dan tafsir. Hal ini berkaitan dengan sikap dan semangat Abd al-Wahab untuk memurnikan ajaran-ajaran Islam. Dan menurutnya, pemurnian Islam tak akan bisa terlaksana selama persoalan-persoalan aqidah mereka masih tercemari.
Sebagai orang yang dibesarkan di lingkungan penganut paham Hanbali, Abd al-Wahab adalah seorang yang puritan dalam hal praktik keagamaan. Sama seperti Ibn Hanbal (pendiri mazhab Hanbali) sendiri dan juga pengikut-pengikutnya kemudian (seperti Ibn Taymiyyah dan Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah), Abd al-Wahhab bersikap tegas kepada lingkungannya yang dianggap menyimpang dari ajaran-ajaran Islam. Dengan modal fikih mazhab Hanbali yang dikenal tegas (untuk tidak mengatakan kaku), dan sikap teologis model Ibn Taymiyyah yang keras, Abd al-Wahab bertekad memerangi segala bentuk kebida’han dalam beribadah dan kemusyrikan dalam beraqidah. Sikap tegasnya terhadap berbagai bentuk kemusyrikan didorong oleh adanya fakta semakin meruyaknya praktik-praktik keagamaan yang menyimpang. Di pusat-pusat keagamaan seperti Makkah dan Madinah, Abd al-Wahab melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana praktik-praktik keagamaan itu sudah kelewatan. Seperti pengangung-agungan berlebihan terhadap kuburan Nabi dan para sahabatnya. Momen ziarah yang sering digunakan kaum Muslim di dua kota suci itu, menurut Abd al-Wahab, telah menjadi ajang praktik kemusyrikan dan kemaksiatan atas nama ibadah.
Ibn Abd al-Wahab sendiri tidak pernah menyuruh murid-muridnya untuk membongkar nisan-nisan kuburan para sahabat atau simbol-simbol keagamaan lainnya di tempat-tempat suci di Hijaz. Tapi para pengikutnya, khususnya setelah kerajaan Arab Saudi berdiri dan mengadopsi ajaran-ajaran Abd al-Wahab, mengambil langkah radikal dalam membersihkan praktik-praktik keagamaan masyarakat Hijaz saat itu. Mereka bukan hanya membersihkan keyakinan dan cara berpikir kebanyakan kaum Muslim di wilayah Hijaz itu. Tapi juga membersihkan tempat-tempat dan simbol-simbol keagamaan yang selama itu diagungkan, termasuk nisan-nisan kuburan para sahabat dan orang-orang suci di Madinah.
Sikapnya yang tegas terhadap praktik-praktik keagamaan yang menyimpang, khususnya praktik-praktik berbau musyrik, membuat Abd al-Wahab tidak menoleransi kaum sufi yang menurutnya sebagai sumber meluasnya praktik-praktik kemusyrikan. Sikap antagonistik terhadap sufi dan tasawuf sebetulnya tak hanya bersumber dari pengalaman pribadi Abd al-Wahab sendiri, khususnya ketika ia berkunjung ke beberapa kota di Irak dan Iran di mana ia menjumpai banyak penganut sufi dan Syi’ah yang melakukan praktik ibadat dan pemujaan di kuburan tokoh-tokoh agama. Tapi, sikap semacam itu adalah warisan aseli Ibn Taymiyyah dan Ibn Qayyim Al-Jauziyyah, dua tokoh Hanbali yang sangat mempengaruhi cara dan sikap berpikir Abd al-Wahab.
Abd al-Wahab tak hanya menolak praktik-praktik yang dilakukan sebagian besar kaum Sufi, khususnya menyangkut keyakinan terhadap wasilah (perantara), tapi juga menolak seluruh struktur ajaran sufi dan menganggapnya sebagai bagian dari bid’ah dan syirik. Penolakan ini adalah konsekwensi logis dari sikap teologis Abd al-Wahab yang tegas terhadap doktrin tauhid (pengesaan Allah), bahwa keyakinan terhadap keesaan Allah tidak seharusnya dikotori dengan praktik-praktik yang membawa kemusyrikan, kendati praktik-praktik itu berbau keagamaan. Satu-satunya hal yang diakui baik dari ajaran sufi adalah sikap penyucian diri. Tapi, menurut Abd al-Wahab, orang tak perlu menjadi sufi kalau hanya untuk melakukan pembersihan diri.
Salah satu praktik yang yang dibenci Abd al-Wahab adalah praktik wasilah dan kepatuhan yang berlebihan terhadap tokoh-tokoh agama yang dianggap suci. Praktik ini, menurut Abd al-Wahab, selain tidak memiliki dasar perintah yang jelas, baik dari al-Qur’an maupun hadits, praktik semacam itu juga merugikan umat Islam. Salah satu dampaknya adalah meluasnya sikap taqlid (pengikutan secara membabibuta) di kalangan umat Islam. Sikap taqlid, menurut Abd al-Wahab, adalah salah satu penyebab kemunduran kaum Muslim modern. Kendati tidak menganjurkan perlunya setiap orang menjadi mujtahid (pembaru fikih), inspirator negara Arab Saudi itu menganjurkan kaum Muslim agar independen dan tidak bergantung kepada pendapat orang lain. Abd al-Wahab juga mengkritik para ulama dan kaum Muslim yang sangat bergantung kepada kitab-kitab klasik dan menganggap seolah-olah kitab-kitab itu sebagai sumber kebenaran yang sama kedudukannya dengan al-Qur’an atau hadits. Sikap penerimaan berlebihan terhadap kitab-kitab itu hanya akan menjauhkan umat Islam dari sumber yang seharusnya mereka jadikan acuan utama mereka. Yakni, al-Qur’an dan hadits.
Sikap Abd al-Wahab yang mendukung ijtihad dan menolak taqlid menempatkannya sebagai pembaru Islam sejati. Kendati banyak dipengaruhi oleh pemikiran dan karya-karya Ibn Taymiyyah dan Ibn Qayyim Al-Jauziyyah, ia sendiri mengaku tidak kaku dalam mengikuti pendapat dua ulama besar itu. “Ibn Taymiyyah dan Ibn Qayyim Al-Jauziyyah adalah dua ulama terpandang bagi kaum Sunni, tapi saya tidak mengikuti mereka secara ketat,” akunya dalam bukunya al-Hadyat al-Saniyyah (edited by Sulaiman Bin Sahman). Sayang, sikapnya yang independen serta sangat percaya diri ini tidak diikuti oleh para pengikutnya. Para pengikut Abd al-Wahab yang dikenal sebagai anggota Wahabi cenderung tertutup serta sangat fanatik terhadap pandangan-pandangan gurunya. Dalam beberapa hal, mereka bahkan melakukan praktik taqlid, sesuatu yang dibenci oleh Abd al-Wahab sendiri. Ajaran-ajaran Abd al-Wahab menyebar secara luas sejak Muhammad Ibn Saud, seorang pemimpin suku di Dariyah, sebuah kawasan di Hijaz Arab, berhasil membangun kekuatan sebagai cikal-bakal negara Arab Saudi pada awal tahun 1800-an. Setelah Ibn Saud menaklukkan Mekah pada tahun 1803, ajaran-ajaran Abd al-Wahab diadopsi sebagai doktrin resmi kerajaan. Hal 1ini terus berlangsung hingga sekarang.
A. Kesimpulan
Muhammad Ibn Abd al-Wahab lahir di Najd, salah satu kota penting dalam sejarah Hijaz Arab modern, tahun 1703. Masa kecil Abd al-Wahab dihabiskan di kota ini. Ia belajar ilmu-ilmu agama dan menyukai kajian-kajian Al-Qur’an dan Hadits. Ia memperdalam ilmu-ilmu Al-Qur’an di Madinah, Mekah, dan beberapa kota penting di Arab Saudi. Dalam usia belajarnya, Ibn Abd al-Wahab juga sempat berkunjung ke beberapa negara di luar Arab Saudi, termasuk ke Iran, di mana dia melihat adanya praktik-praktik keagamaan yang menurutnya dianggap menyimpang. Gerakan Wahabiyah yang dibentuk oleh Muhammad Ibn Abd al-Wahab memiliki pengaruh yang besar terhadap pemerintahan di Arab Saudi.
Ia kemudian memperkenalkan jargon “kembali kepada al-Qur’an dan hadits.” Ia berpendapat, ajaran keagamaan Islam harus dilandasi dengan dua kitab utama kaum Muslimin yaitu al-quran dan al-hadist. Abd al-Wahab tak sekadar mengajak kaum Muslimin kembali kepada ajaran al-Qur’an dan juga hadits, tapi menganjurkan mereka melawan dan memusnahkan praktik-praktik yang dianggap bertentangan dengan ajaran-ajaran yang terkandung dalam dua kitab utama itu.
Karya-karya Abd al-Wahab memiliki nuansa teologis (‘ilm tauhid) yang kental. Karenanya, banyak orang yang menganggapnya lebih sebagai seorang teolog ketimbang seorang faqih (ahli fikih) atau mufassir (ahli tafsir), kendati ia juga menulis beberapa buku fikih dan tafsir. Hal ini berkaitan dengan sikap dan semangat Abd al-Wahab untuk memurnikan ajaran-ajaran Islam. Dan menurutnya, pemurnian Islam tak akan bisa terlaksana selama persoalan-persoalan aqidah mereka masih tercemari.
Musdhalifha
0 komentar:
Post a Comment