PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Pada
tahun 132 H/ 750 M. merupakan tahun peralihan dari bani Umayyah ke bani Abbas,
setelah meruntuhkan bani Umayyah dengan membunuh khalifah Marwan Ibn Muhammad
yang memerintah tahun 127/ 132H/ 744-759 M.[1]
Bani
Abbas berkuasa selama lima abad lamanya dengan khalifah yang pertama Abu
al-Abbas Ibn Abdullah al-Shaffah (tahun 132-137 H/ 750-754 M sampai ke khalifah
ke 37 Abu Ahmad ibn al-Mu’tashim (tahun 640-656 H/ 1242-1258 M), telah
memperlihatkan kepesatan perkembangan kebudayaan dan peradaban Islam.[2]
Runtuhnya bani Umayyah yang pada
kenyataanya telah membuka babak baru bagi perkembangan Islam secara keseluruhan
pada dinasti bani Abbas, pada hakekatnya disebabkan dari perbedaan dua dinasti
dalam memandang kepentingan negara. Dinasti Umayyah dengan corak Arabisme
nampaknya lebih mementingkan ekspansi wilayah atau lazim disebut sebagai
perluasan wilayah-wilayah Islam. Sedangkan dinasti bani Abbas, kepentingan
Negara tidak tertumpu selalu pada perluasan wilayah, tetapi telah melebar
kepada kepentingan-kepentingan pencapaian ilmu-ilmu pengetahuan dan peradaban.[3] Kemajuan dinasti Abbasiyah tidak dapat
disangkal adalah dimulai dari kepindahan ibu kota Negara di Baghdad yang
sebelumnya berada di Damaskus pada dinasti Umayyah. Perpindahan tersebut telah
mengakibatkan saling berinteraksinya orang-orang Arab dengan orang-orang
Persia, dimana mereka telah dikenal dengan tradisi-tradisi keilmuannya. Di kota
inilah kelak dimulai kemajuan-kemajuan Islam yang pernah dicapai sebelumnya dan
kota ini pula orang Arab telah menanggalkan tradisi-tradisi Baduinya menjadi
orang bijak yang penuh pertimbangan rasional. Olehnya, wajar bila seorang penulis
mengatakan bahwa Baghdad memang pantas disebut sebagai The Intelectual capital.[4]
B. Rumusan
Masalah
Dalam
makalah ini akan dibahas salah satu aspek kebudayaan yang mengalami kemjuan
pada masa Dinasti Abbasiyah yaitu ilmu pengetahuan. Maka yang menjadi permasalahan
dalam makalah ini adalah :
1. Bidang-bidang
apa saja yang mengalami kemajuan ?
2. Faktor-faktor
apa saja yang menyebabkan kemjuan ilmu pengetahuan dan usaha-usaha apa saja
yang telah dilakukan dalam pengembangannya ?
A. Bidang-Bidang
ilmu pengetahuan yang mengalami Kemajuan
1. Kemajuan
di Bidang Ilmiah
Terdapat
aktifitas ilmiah yang berlansung dikalangan umat Islam pada masa Dinasti
Abbasiyah dimana hal ini mengantar mereka mencapai kemajuan di bidang ilmu
pengetahuan.
a. Penyusunan
buku-buku ilmiah
Akitivitas
penyusunan buku ini melalui beberapa proses dimana masyarakat Islam pada saat
itu hanya mengandalkan hafalan hal ini bertahan sampai pemerintahan khalifah Harun
al-Rasyid.[5] Kemudian pencatatan pemikiran seperti ilmu
hadits kemudian dirangkap, lalu diadakan pembukuan pemikiran-pemikiran atau
hadits-hadits Rasulullah dalam satu buku seperti fiqhi, tafsir, hadits. Dan
terakhir disusun dan diatur kembali buku yang telah ada ke dalam pasal-pasal
dan bab-bab tertentu.[6]
b. Penterjemahan
Penterjemahan
merupakan aktivitas yang paling besar peranannya dalam mentrasfer ilmu pengetahuan
yang berasal dari buku-buku bahasa asing, seperti bahasa Sansekerta, Yunani ke
dalam bahasa Arab. Ketika pemerintahan
Abbasyiah ini sudah kokoh, terutama pada masa al-Mansyur, Harun al –Rasyid dan
al-Ma’mun, maka dari itu mereka mengirim misi untuk membawa kembali hasil karya
ilmiah, yang baik dalam bidang filsafat, logika, kedokteran, matematika,
astrologi, geografi serta sejarah. Kemudian memerintahkan agar hasil karya
mereka diterjemahkan dalam bahasa Arab.[7]
c. Pensyarahan
Sebelum
memasuki abad ke 10 M. kegiatan kaum muslimin tidak hanya menerjemahkan, bahkan
mulai memberikan syarahan (penjelasan) dan melakukan tahqiq (pengeditan), pada
awalnya muncul dalam bentuk karya tulis, lalu dipadukan dalam berbagai
pemikiran dan petikan, analisis dan kritis yang disusun dalam bentuk bab-bab
dan pasal-pasal, bahkan dengan keahlian mereka, hasil kritik dan analisis itu
dapat melahirkan teori-teori baru, seperti memisahkan aljabar dengan ilmu hisab
yang pada ahlinya menjadi ilmu tersendiri secara sistematis.[8] Pada masa inilah lahirnya karya-kaya ulama
yang telah tersusun rapi.
2. Kemajuan
dalam Bidang Pendidikan
Kemajuan
dalam bidang pendidikan ini, bukan berarti nanti pada masa pemerintahan
Abbasyiah akan tetapi diawal Islam lembaga pendidikan sudah mulai berkembang.
Hal ini dapat diketahui dengan adanya
pendidikan terdiri dua tingkat yang pertama, Maktab dan mesjid sebagai
pendidikan terindah tempat anak-anak mengenal dasar bacaan, hitungan dan tempat
para remaja belajar dasar-dasar ilmu agama, seperti tafsir, hadits, fiqih dan
bahasa, yang kedua tingkat pendalaman, para pelajar ingin meningkatkan
ilmunya keluar daerah menuntut ilmu kepda seorang, biasanya berlangsung di
mesjid-mesjid atau rumah ulama yang bersangkutan. Lembaga-lembaga pendidikan
tersebut semakin berkembang dengan berdirinya perpustakaan dan akademi, dimana
perpustakaan pada masa itu merupakan sebuah universitas karena terdapat
buku-buku, orang juga dapat membaca, menulis dan berdiskusi dan terjadinya
penterjemahan diberbagai macam ilmu ke dalam bahasa Arab.
3. Kemajuan
Ilmu di Bidang Agama
Pada
zaman Dinasti Abbasiyah telah terjadi semacam pembagian wawasan dalam bidang
keilmuan menjadi ilmu-ilmu agama (naqli) dan ilmu-ilmu duniawi (aqli) namun
yang dimaksud dengan ilmu-ilmu agama, menurut Ahmad Amin adalah ilmu-ilmu yang
bersumber baik secara lansung maupun tidak lansung dari agama dengan bahasa
Al_Quran.[9] Dalam batasan ini termasuk dalam kelompok ilmu-ilmu
agama adalah tafsir, hadits, fiqih, bahasa Arab dan ilmu Kalam.
a. Ilmu
Tafsir
Kemajuan
yang telah dicapai ilmu tafsir pada masa ini adalah berpisahnya dari ilmu hadits,
dan terjadi penafsiran secara sistematis. Tafsir pada masa itu terbagi ke dalam
dua bentuk :
1. Tafsir bi-al-ma’tsur
yaitu model penafsiran Al-Quran dengan menggunakan interpretasi Nabi dan
sahabat-sahabat terkemuka, diantara ahli tafsirnya adalah al-Thabari (w. 310
H). yang berjudul Jami al-Bayan fi Tafsir Al-Quran yang terdiri atas 30
jilid.[10]
2. Tafsir bi al-ra’yi yaitu model
penafsiran yang lebih banyak bertumpu pada kekuatan nalar, diantara ahli tafsir
dalam metode ini yang lebih banyak
dipelopori dari aliran Mu’tazilah seperti Abu Bakar al-Sham (w. 240 H).
Jadi pada masa inilah semakin berkembang interpretasi Al-Quran, hal ini
dipengaruhi oleh perkembanagan-perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan.
b. Ilmu
Hadits
Hadits-hadits
pada masa sekarang telah diadakan pengkodifikasian sebagai lanjutan dari usaha para
ulama sebelumnya. Dimana ulama pada waktu itu pengkodifikasian dilakukan tanpa
ada penyaringan sehingga bercampur antara yang datang dari Nabi dan yang bukan
dari Nabi. Nanti pada masa Abbasiyah baru diadakan penyaringan dengan melakukan
kritik pada sanad hadits, dari sinilah lahirlah kualitas hadits yang terdiri
dari hadits shahih, hasan dan dhaif.[11] Ulama yang terkenal pada masa ini antara lain;
Imam Bukhari bukunya shaih Bukhari, Muslim bukunya shahih Muslim,
Ibnu Majah dan lain sebagainya. Perkembangan hadits ini sangat dipengaruhi oleh
sarana dan prasarana seperti alat tulis dan transportasi.
c. Ilmu
Kalam dan teologi
Ilmu
kalam lahir karena dorongan untuk membela Islam dengan pemikiran filsafat dari
serangan orang-orang Kristen, Yahudi yang mempergunakan senjata filsafat dan
menyelesaikan persoalan agama dengan kemampuan akal pikiran dan ilmu
pengetahuan. Orang-orang dari golongan Mu’tazilah yang andil besar dalam mengembangkan
ilmu kalam, dan penyelesaiannya bercorak filsafat Islam.[12] Pada masa ini tokoh-tokoh besar dalam bidang
ilmu kalam, seperti dari Mu’tazilah dikenal antara lain Abu al-Huzail al-Allaf
(w. 235 H) al-Nizam (w. 231), serta al-Jubbai (w. 290H). sedangkan dari ahlu
Sunnah waljamaah antara lain, al-Asy’ary (w. 234), al-Baqillani (w. 403 H),
al-Juwaini (w. 479H). Ilmu kalam semakin berkembang pada masa ini dikarenakan
adanya penerjemahan bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab. Ilmu pengetahuan yang
paling penting yang muncul dari kecenderungan itu adalah teologi, Hadits,
Fikih, dan Linguistik. Kebanyakan sarjana dalam bidang ini adalah keturunan
Arab. Minat orang Arab Islam paling awal tertuju pada cabang keilmuan yang
lahir karena motif keagamaan. Kebutuhan untuk memahami dan menjelaskan
Al-Quran, kemudian menjadi landasan teologis dan linguistik yang serius.
Interaksi dengan dunia Kristen pada abad pertama Hijriah di Damaskus telah
memicu munculnya pemikiran spekulatif teologis yang melahirkan mazhab pemikiran
Murjiah dan Qadariah.[13]
Bidang
kajian berikutnya adalah Hadits (sunnah),[14]
yaitu perilaku, ucapan, dan persetujuan (taqrir)
Nabi, yang kemudian menjadi sumber ajaran yang paling penting. Awalnya hanya
diriwayatkan dari mulut ke mulut, Hadits Nabi kemudian direkam dalam bentuk
tulisan pada abad kedua Hijriah. Selama
dua setengah abad pertama setelah Nabi Muhammad wafat, catatan tentang
perkataan dan perilakunya terus bertambah,
terhadap berbagai persoalan agama, politik, atau sosial setiap kelompok
berusaha mencari Hadits untuk memperkuat pendapatnya baik Hadits itu shahih
atau palsu. Perseteruan politik antara Ali dan Abubakar, konflik antara
Muawiyah dan Ali, permusuhan antara Dinasti Abbasiyah dan Dinasti Umayyah,
serta persoalan supriritas antara orang Arab dan non- Arab, membuka pintu yang
sangat yang sangat lebar untuk menjamurnya pemalsuan Hadits.
d. Ilmu
Fiqh
Merupakan
kebanggaan pada masa pemerintahan Abbasiyah ini adalah lahirnya empat imam
mazhab yang ulung. Mereka itu adalah Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i
dan Imam Ahmad bin Hambal. Keempat ulama inilah merupakan ulama fiqih yang
paling agung dan tiada tandingannya di dunia Islam.
Metode
istimbat hukum yang digunakan oleh para fuqaha pada masa ini dapat dibedakan
menjadi ahl ra’yi dan ahl hadits. Yang pertama banyak dipengaruhi
perkembangan yang terjadi di Kufah, dimana kehidupan masyarakat telah mencapai
tingkat kemajuan yang lebih tinggi. Olehnya itu mazhab ini lebih banyak
menggunakan pemikiran rasional dari pada hadits, dan tradisi masyarakat
Madinah. Perbedaan kedua mazhab ini dapat ditengahi oleh Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal.[15] Kitab-kitab yang terkenal sekaligus menjadi
pegangan mazhab mereka adalah al-fiqh al-Akbar karya Imam Abu hanafi, al-Muwaththa
karya Imam Malik, Al-Risalah Karya Imam Syafi’i serta al-Kharfy pada
masa ini mengalami kemajuan seiring dengan perkembangan pemikiran masyarakat
serta lahirnya beberapa buku-buku yang telah dikarang oleh para imam mazhab.
Selain keempat bidang tersebut di bidang
lain ilmu nahwu, tasawuf serta penulisan sejarah juga mengalami kemajuan yang
pesat. Tokoh-tokoh ilmu nahwu pada masa ini seperti Basrah adalah Umar
al-Tsaqafi, al-Akhfasy dan Labawaihi. Sementara Kufah adalah Abu Jafar al-Kisai
dan al-Farra’ sufi yang terkenal adalah Abun Jafar al-Kisai dan al-farra’. Sufi
terkenal adalah al-Qusayri Sahabuddin dengan karyanya al-Risalah al-Qusairiyah dan Sahabuddin dengan karyanya Awaruf al-Ma’arif. [16]
Penulisan sejarah tentang biografi
Nabi saw oleh Ibn Ishaq, buku ini telah sampai ditangan kita dengan perantaraan
muridnya Ibn Hisyam.[17] Jadi perkembangan ilmu pengetahuan agama pada
masa Bani Abbasiyah ini disebabkan karena kesadaran para tokoh yang masing-masing
ingin mengembangkan ilmu pengetahuan sesuai dengan keahliannya.
4. Kemajuan
Ilmu di bidang Filsafat
Kemajuan
ilmu pengetahuan yang dicapai pada zaman Abbasiyah ini diawali dengan maraknya
kegiatan keilmuan, hal ini disebabkan karena adanya penerjemahan buku-buku
karya filosof Yunani ke dalam bahasa Arab yang telah dipelopori Harun al-Rasyd
dan al-Ma’mun di lembaga Bait al-Hikmah. Fisofof –filosof muslim yang terkenal
pada masa ini antara lain Ya’kub Ibn Ishak al-Kindi, ia turut aktif dalam penerjemahan,
namun banyak dalam memberikan kesimpulan dari pada menerjemah karena ia orang
kaya sehingga dapat membayar orang untuk menerjemahkan buku-buku yang
dibutuhkan.[18]
Ia seorang filosof yang terkenal pada
zaman itu karena pendapat-pendapatnya tentang filsafat ketuhan dan filsafat
jiwa.
Fisofof
lain juga seperti Abu Nasr Muhammad al-Farabi yang lahir di Arab pada tahun 870
M, dari Arab pindah ke Baghdad sebagai pusat ilmu pengetahuan. Al-Farabi ada
yang menjuluki sebagai seorang filosof Islam pertama. Dialah yang pertama
menciptakan sistem Filsafat yang lengkap sebagai mana peran Plotinus bagi dunia
barat, karangan-karangannya ada sekitar 30 buah.[19] Di antara karangan-karangannya adalah Agradha ma Baida at-Tabiah, Tahsil
as-sahadah dan sebagainya.
Ibnu
Sina salah seoarang filosof muslim karyanya dalam bidang filsafat yang berjudul
Asy-Syifa, buku ini terdiri atas
empat bagian yaitu logika, fisika, matematika dan metafisika (ketuhanan),
al-Gazali yang terkenal antara lain Ihya Ulumuddin yang artinya
menghidupkan ilmu-ilmu agama, al-Mungqis Dhalal yang berarti penyelamat
dari kesesatan. Bagi orang Arab, filsafat (falsafah)
merupakan pengetahuan tentang kebenaran dalam arti yang sebenarnya, sejauh hal
itu biasa dipahami oleh pikiran manusia. Secara khusus nuansa filsafat mereka
berakar pada tradisi filsafat Yunani. Yang dimodifikasi denagan pemikiran para
penduduk di wilayah taklukan, serta pengaruh-pengaruh Timur lainnya, yang
disesuaikan dengan nilai-nilai Islam, dan diungkapkan dalam bahasa Arab. Orang
Arab percaya bahwa karya-karya Aristoteles merupakan kodifikasi filsafat Yunani
yang lengkap. Dengan demikian, filsafat dan kedokteran Yunani yang berkembang
saat itu senyatanya merupakan ilmu yang dimilki oleh Barat. Sebagai muslim
orang Arab percaya bahwa Al-Quran dan teologi Islam merupakan rangkuman dari
hukum dan pengalaman agama. Karena itu kontribusi orisinal mereka terletak di
antara filsafat dan agama di satu sisi, dan di antara filsafat dan kedokteran
di sisi lainnya.
Filosof
pertama, al-Kindi atau Abu Yusuf Ya’kub ibn Ishaq, ia memang representasi
pertama dan terakhir dari seorang murid Aristoteles di dunia Timur yang murni
keturunan Arab. al-Kindi lebih dari sekedar seorang filosof, ia ahli
perbintangan, kimia, ahli mata dan musik. Kemudian dilanjutkan oleh al-Farabi,
nama lengkapnya Muhammad Ibn Muahammad ibn Tharkhan Abu Nashr al-Farabi
(Alpharabius), 29 seorang keturunan Turki, dan disempurnakan di dunia Timur
oleh Ibn Sina, (w. 1037) seorang keturunan Suriah, yang pernah dijuluki ahli
kedokteran yang banyak mengadopsi pandangan filosofis al-Farabi. Menurut Ibnu
Khallikan, 34 “tidak ada satupun orang Islam yang pernah mencapai pengetahuan
filosofis yang menyamai prestasi al-Farabi; dan melalui terhadap berbagai
kajian karyanya, serta peniruan terhadap gaya penulisannya itulah Ibn Sina
mencapai keunggulan, dan menjadikan karya-karyanya sedemikian bermanfaat”.
Meski demikian, Ibn Sina merupakan pemikir yang sanggup menyatukan berbagai
kebijaksanaan Yunani dengan pemikirannya sendiri yang dipersembahkan untuk
kalangan muslim terpelajar dalam bentuk yang mudah dicerna.[20] Demikianlah
diantara tokoh-tokoh yang hidup pada masa Abbasiyah.
5. Kemajuan
Ilmu dalam Bidang Sains
Merupakan
bukti sejarah, bahwa banyak dari peradaban Islam khususnya dalam kemajuan sains
yang ditransfer ke Eropa, dan dapat dibuktikan bahwa telah ada suatu peradaban
gemilang yang dimainkan oleh para pelaku sejarah dari kalangan dunia Islam.
Sebagai bukti bahwa ketika Harun al-Rasyid dan al-Ma’mun sudah giat menyelami
filsfat Yunani dan Persia, sementara orang-orang di dunia Barat pada waktu itu
seperti Karl Agung dan kaum ningratnya masih bercakar-cakar untuk belajar
menulis nomornya sebagaimana yang diungkapkan oleh Philip K. Hitti.[21] Perkembangan sains itu merupakan pengaruh
gerakan terjemahan terutama di bidang astronomi, kedokteran, matematika dan
lain sebagainya.
a. Astronomi
Ahli
astronomi Islam yang terkenal adalah al-Fazzari yang hidup pada masa khalifah
al-Mansyur sebagai seorang Islam yang pertama kali yang menyusun astrolober (alat
yang dahulu dipakai sebagai pengukur tinggi bintang), sedang al-Farqani yang
dikenal di Eropa mengarang ringkasan tentang ilmu astronomi kemudian diterjemahkan
ke dalam bahasa latin lalu diterjemahkan oleh Gewrar Cremona dan Johannes
Hispalensis.[22]
Astronomi Islam yang lainya seperti
Ya’qub bin Thariq, Muhammad bin Umar al-Balkhi dengan karyanya seperti kitab
al-Madhal al-Kabir, al-Battani penulis buku al-Zaij al- Shabi oleh
al-Khawarizmi dan lain sebagainya.[23] Demikianlah berbagai ahli astronom Islam Abbasiyah.
b. Kedokteran
Pada
masa Dinasti Abbasiyah ini ilmu kedokteran telah mencapai puncaknya sehingga
melanirkan para dokter yang terkenal. Diantaranya adalah Yuhannah bin Musawai
dalam bukunya yang terkenal al-Asyr al-Maqalat fi al- Ain tentang
pengobatan penyakit mata, Abu Bakar al-Razi termasuk ketua seluruh dokter di
seluruh Baghdad, karyanya yang sangat terkenal adalh Kitab Asrar, kitab
al-Manshuri, al-Juwadi wa al-Hasbah serta al-Hawi yang merupakan
Ensiklopedi tentang medis dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa latin pada
tahun 1279.[24]
Ibnu Sina termasuk juga seorang dokter yang
sangat mashur karangannya dalam bentuk ensiklopedi berjudul al-Qanun fi
al-Thib, yang diterjemahkan ke dalam bahasa latin dan menjadi buku-buku
standar untuk universitas-universitas di Eropa sampai akhir abad ke 17 M. Buku
ini pernah diterbitkan di Roma pada tahun 1593 M. dan di India pada tahun 3123
H.[25] Jadi pada dasarnya perkembangan kedokteran
disebabkan perkembangan dalam bidang perekonomian karena sebagian kekayaan
Negara dipakai untuk membiayai kedokteran dan rumah sakit.
c. Matematika
Disamping
perkembangan sains di atas ilmu pasti (matematika), dikenal Muhammad ibn Musa
al-khawarizmi, adalah yang menemukan ilmu al-jabar wa al-Muqabalah yang
sangat mempengaruhi ilmuan sesudahnya seperti Umar Khayam.
Demikianlah
puncak kejayaan yang telah dialami oleh Khalifah Abbasiyah sampai masa khalifah
al-Mutawakkil. Sepeninggalnya daulat ini
mulai mengalami kemunduran karena khlifah-khlifah penggantinya pada
umumnya lemah tidak mampu melawan kehendak tentara yang sangat berkuasa
sehingga khalifah tidak punya peranan lagi yang punya peranan hanyalah
tentara-tentara dari Turki.
B. Faktor-Faktor
Penyebab Kamajuan Ilmu Pengetahuan
Masyarakat
Islam pada Dinasti Abbasiyah ini mengalami kemajuan dalam bidang ilmu
pengetahuan yang sangat pesat yang dipengaruhi oleh dua factor :
1.Faktor
politik
a. Perpindahan
ibu kota Negara dari Syam ke Irak dan Baghdad sebagai ibu kota pada tahun 146
H. dimana Baghdad pada waktu itu merupakan kota yang tinggi kebudayaannya dan
sudah lebih dahulu mencapai tingkat ilmu yang lebih tinggi dari Syam.
b. Banyaknya
cendekiawan yang diangkat sebagai pegawai pemerintah dan istana.
Khalifah-khalifah Abbasiyah seperti al-Mansyur banyak mengangkat pegawai
pemerintahan dan istana dari cendekiawan Persia, yang banyak berpengaruh
seperti dia mengamgkat Khalid keluarga dari Barmark sebagai Wazir.
c. Mu’tazilah
diakui sebagai mazhab resmi Negara pada masa al-Ma’mun dan dilanjutkan oleh
adiknya al-Mu’tasim.
1. Faktor
Sosiografi
Yang termasuk faktor sosiografi
adalah sebagai berikut :
a. Peningkatan
kemakmuran umat pada masa Dinasti Abbasiyah ini, menurut Ibnu Khaldun adalah
ilmu itu seperti industri, banyak atau sedikitnya tergantung pada kemakmuran,
kebudayaan dan kemewahan hidup masyarakat.[26] Sehingga apabila taraf hidup masyarakat itu rendah
maka peningkatan ilmu itu sulit dicapai dengan baik.
b. Luasnya
wilayah kekuasaan Islam menyebabkan banyaknya orang Persia dan Romawi masuk
Islam. Hal ini disebabkan hasil perkawinan yang melahirkan keturunan yang
tumbuh dengan memadukan kedua kebudayaan.[27]
c. Pribadi
beberapa khalifah pada masa itu terutama pada masa pemerintahan al-Mansyur,
Harun al-Rasyid dan al-ma’Mun yang sangat mencintai ilmu pengetahuan sehingga
kebijakanya banyak ditujukan pada peningkatan ilmu pengetahuan.[28]
d. Selain
permasalahan tersebut, bahwa permasalahan yang dihadapi masyarakat semakin
kompleks dan berkembang.
Kesimpulan
Perkembangan
ilmu dalam bidang agama, filsafat, pendidikan dan sains, sangat pesat
disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk faktor kebijakan politik pemerintahan
dan sosiografi, dimana permasalahan masyarakat semakin kompleks dan masyarakat
membutuhkan pengaturan pembukuan dari berbagai macam ilmu pengetahuan, termasuk
kemajuan yang dicapai pada masa Dinasti Abbasiyah ini yang ditandai dengan adanya
aktifitas ilmiah, seperti penerjemahan, pensyarahan dan penyusunan buku-buku
ilmiah.
DAFTAR PUSTAKA
al-Basya, Hasan. Dirasat Fiy Hadarat al-Islamiyah. Cairo:
Matba’at Jami’at al-Qahirat 1992.
Amin,
Ahmad , Dhuha Islam, Juz II Kairo: Maktaba
al-Nahdah al-Mishriyat,
Hasyim, A. Sejarah
Kebudyaan Islam. Jakrta: Bulan Bintang, 1979.
Ibrahim Hassan, Hassan, Islamic History and Culture,
diterjemahkan oleh Jhohan Human dengan judul “Sejarah dan Kebudayaan Islam”, Cet. I; Yogyakarta: Kota Kembang,
1989
Muafradi, Ali,
Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Cet. II; Jakarta: Logos, 1999.
Nasution, Harun, Ensiklopedi
Islam di Indonesia, Vol I, Jakarta : Depag RI, Direktorat Pembinaan
Kelembagan Islam Proyek Peningkatan Prasarana dan Sarana Pengurus Tinggi
Agama/IAIN, 1992/1993.
______________, Islam
Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid I, Jakart: UI Press, 1984.
______________,
Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam,
Cet. VII; Jakarta, 1990.
K. Hitti, Philip, Dunia Islam, Sejarah Ringkas,
diterjemahkan oleh Ushuluddin Hutagalung dan O.D.P. Sihombing (Bandung; Sumur,
t. t.)
______________, History of Thale
Arabs; From thale Earliest Times to thale
Present, New York: Palgrave
Macmillan, 2002
____________, The Capital Cities Of Arab Islam. Minneapolis: Oxford University
Press
Poerwantha.
(et.al), Seluk Beluk Filsafat Islam.
Cet I; Bandung: Rosda Karya, 1988.
[1] Lihat
HALasan al-Basya, Dirasat Fiy HALadarat
al-Islamiyahal (Cairo: Matba’at Jami’at al-Qahalirat 1992), hal. 24
[2]HALarun
Nasution (edit), Ensiklopedi Islam di
Indonesia, Vol I, (Jakarta : Depag RI, Direktorat Pembinaan Kelembagan
Islam Proyek Peningkatan Prasarana dan Sarana Pengurus Tinggi Agama/IAIN,
1992/1993), hal. 8.
[3] HALarun
Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai
Aspeknya, jilid I, (Jakart: UI Press, 1984), hal. 70
[4] Phalilip
K. HALitti, Thale Capital Cities Of Arab
Islam (Minneapolis: Oxford University Press), hal. 85
[5] Lihat,
HALassan Ibrahalim HALassan, Islamic HAListory
and Culture, diterjemahalkan olehal Jhalohalan HALuman dengan judul “Sejarahal dan Kebudayaan Islam”, (Cet.
I; Yogyakarta: Kota Kembang, 1989), hal. 131.
[6] Lihat Montohala, (et. al), op. cit, hal. 45
[7] Lihat
Ahalmad Amin, Dhaluhala Islam, Juz II
(Kairo: Maktaba al-Nahaldahal al-Mishalriyat, t. thal), hal. 12
[8] Lihat
Ibid.
[9] Lihat
Ahalmad Amin, Dhaluhala Islam, op.cit., hal. 12
[10] Lihat,
HALasan Ibrahalim, HALassan, op.cit.,
hal. 138
[11] Lihat,
Ibid
[12] Lihat
Munthalohala, (et. al), op.cit, hal.
52
[13] Philip
K. Hitti, History of Thale Arabs; From
thale Earliest Times to thale Present,
(New York: Palgrave Macmillan, 2002), hal. 492
[14] Ibid,
[15] Lihat
Ibid., hal. 54.
[16] Lihat
A. HALasjmi, op. cit., hal. 260
[17] Lihat
HALasan Ibrahalim HALassan, op. cit.,
hal. 135.
[18] Lihat
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme
Dalam Islam (Cet. VII; Jakarta, 1990), hal. 26
[19] Lihat
Poerwantha. (et.al), Seluk Beluk Filsafat
Islam. (Cet I; Bandung: Rosda Karya, 1988), hal. 134.
[20] Phalilip
K. HALitti, HAListory of Thale Arabs;
From thale Earliest Times to thale Present, 0p.cit.halal. 462
[21] Lihat
Phalilip K. HALitti, Dunia Islam, Sejarahal
Ringkas, diterjemahalkan olehal Ushaluluddin HALutagalung dan O.D.P. Sihalombing
(bandung; Sumur, t. t.). hal. 119
[22] Lihat
Badri Yatim, op.cit., hal. 57-58. Lihat
juga Muntohala, (et.al), op.cit., hal.
57.
[23] Lihat
Muntohala, Ibid.
[24] Lihat
Ibid., hal. 56
[25] Lihat
Poerwantahala, (et.al), op.cit., hal.
146.
[26] Lihat
Muntohala (et.al), op.ci., hal. 43
[27] Lihat
A. HALasyim, Sejarahal Kebudyaan Islam.
(Jakrta: Bulan Bintang, 1979), hal. 245.
[28] Lihat
Ali Muafradi, Islam di Kawasan Kebudayaan
Arab, (Cet. II; Jakarta: Logos, 1999), hal.102
0 komentar:
Post a Comment