PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Gagasan
atau pemikiran adalah refleksi pemahaman terhadap Al-Qur’an, hadits, fenomena
alam, social ekonomi, politik dan budaya yang dikeluarkan oleh seorang
intelektual. Olehnya itu, adalah benar jika gagasan atau pemikiran akan terus
ada dan eksis, walaupun aliran dan tokoh pencetusnya telah tiada atau
terpinggirkan kejurang kemanusiaan yang sangat jauh. Begitu juga halnya dengan
gagasan yang dicetuskan oleh aliran Khawarij, Murjiah, Qadariah, Jabariah,
Mu’tazilah, Asy’ariah, Syi’ah dan Maturidiah Bukhara dan Samarkand, akan terus
ada dan langgeng sepanjang dunia ini masih terus berputar dan manusia masih
menjalani hidup dan kehidupan ini. Sederhananya pemikiran atau gagasan tidak
lekang diterpa oleh terik sinar matahari dan tidak akan luntur akibat dibasahi
oleh air hujan, akan tetapi sebuah gagasan akan terus muncul salama gagasan itu
diperbincangkan atau diperdebatkan.
Menulis
atau membaca ulang sejarah pemikiran Islam serta terus menerus melakukan
pengkajian terhadapnya adalah sebuah keniscayaan yang harus ditempuh, agar
dikemudian hari dapat memberi pelajaran dan hikmah dalam mengarungi hidup yang
makmur, aman, damai dan tentram, sebagaimana cita-cita Islam yakni menciptakan
masyarakat yang adil, makmur, tentram dan sejahtera. Meminjam bahasa K.H. Wahid
Hasyim, kita harus memahami masa lalu, melihat masa kini untuk merancang dan
menata masa depan kita.
B. Rumusan Masalah
Dari
deskripsi di atas, maka penulis dapat merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana
pandangan kaum Khawarij, Murjiah, Asy’ariah, Mu’tazilah, Maturidiah Samarkand
dan Bukhara mengenai masalah kosep iman dan kufur?
2. Bagaimana
pandangan kaum Asy’ariah, Mu’tazilah, Maturidiah Samarkand dan Bukhara mengenai
masalah kosep akal dan wahyu?
3. Bagaimana
pendapat para aliran teolog terhadap perbuatan Tuhan, perbuatan manusia,
Kalamullah, antromorphisme dan melihat Tuhan di akhirat?
PEMBAHASAN
1. Iman dan Kufur
Iman
dan Kufur adalah dua istilah yang berlawanan, jika iman diartikan sebagai
kepercayaan, kufur berarti ketidak percayaan. Dalam pengertian yang lebih
populer bahwa iman adalah “Meyakini dengan
hati, mengucapkan dengan lidah dan melaksanakan dengan anggota”.[1]
Sedangkan kufur adalah menutup diri atau menolak kebenaran yang datang
kepadanya. Adapun yang menjadi titik tekan dalam pembahasan ini adalah bukan
pada siapa yang beriman dan siapa yang kafir, akan tetapi lebih pada bagaimana
pandangan atau konsep iman dan kufur dari masing-masing mazhab teologi Islam.
Pengertian
iman menurut kaum Khawarij belum ditemukan dalam berbagai buku tentang teologi
Islam. Namun Al-Baghdadi mengatakan bahwa iman menurut Khawarij adalah kembali
kepada semua yang fardu dan meninggalkan dosa-dosa besar, sedangkan kufur
adalah berbuat dosa besar. Dengan demikian iman ala Khawarij bukan meyakini (tashdiq) dan mengetahui (ma’rifah) melainkan sejauh mana kita
melakukan kebaikan-kabaikan yang sesuai dengan tuntunan agama terutama yang
fardu (amal), sedangkan kufur ketika
berbuat dosa besar.[2]
Berbeda
dengan Khawarij, Murjiah mempunyai penilaian tersendiri atas keimanan dan
seseorang. Murjiah mengatakan bahwa iman itu terletak dalam hati setiap orang
dan tidak ada yang dapat mengetahui keimanan setiap orang kecuali Allah swt.
Bagi kaum Murjiah bahwa iman bukanlah tashdiq
dan juga bukan amal akan tetapi ma’rifah
dan iqrar dengan alasan bahwa yang
paling utama adalah pengakuan diri beriman, sedangkan persoalan melakukan
kebaikan (amal) itu bekangan. Dan bahkan
sebahagian dari kaum Murjiah berpendapat bahwa ketiadaan amal atau
keterlambatan beramal itu tidak merusak keimanan seseorang. Dengan demikian
iman adalah mengenal Allah swt, oleh karena itu orang yang tidak mengenal Allah
kafir.[3]
Sementara
itu, Asy’ariah berpendapat bahwa iman bukanlah mengetahui (ma’rifah) melainkan dengan pembenaran (tashdiq). Ini sejalan dengan prinsip kaum Asy’ariah yang mengatakan
bahwa akal tidak bisa mengetahui wajibnya mengenal Tuhan, kewajiban itu
diketahui melalui perantaraan wahyu. Maka wajib mengetahui Tuhan juga hanya
dengan wahyu sebagai konsekwensinya manusia harus menerima dan membenarkan apa
yang dibawa oleh wahyu.[4]
Mengenai masalah kufur Asy’ariah berpendapat bahwa kufur adalah mendustakan
Allah dan rasul-Nya. Sementara itu dosa besar selain syirik tidak membuat orang
menjdi kafir. Lebih jauh Asy’ariah mengatakan bahwa orang yang berdosa besar
tidak boleh dikatakan kafir seperti yang dikatakan oleh Khawarij karena ia
masih mengakui adanya Tuhan dan mengakui haramnya perbuatan dosa besar.
Bagi
Maturidiyyah Samarkand bahwa iman tidaklah cukup hanya dengan tashdiq, tapi harus disertai dengan ma’rifah. Karena bagi mereka akal dapat
sampai pada kewajiban mengetahui Tuhan.[5]
sehingga dengan ma’rifah akan
menimbulkan tashdiq. Bahkan lebih
jauh mereka mengatakan bahwa iman itu tidak hanya sekedar pengakuan (tashdiq) tapi berkaitan erat dengan amal
ibadah. Pengertian ini sama dengan pendapat Mu’tazilah yang mengatakan iman
tidak cukup dengan tashdiq tapi harus
disertai dengan ma’rifah dan amal. Dengan alasan bahwa pada masa
Rasulullah saw, bahkan sampai saat sekarang ini banyak orang yang menyatakan
keimanannya tapi hatinya mengingkarinya dan orang seperti ini tidak bisa
dikatakan sebagai orang yang beriman dan bukan pula orang yang kafir.[6]
2. Akal dan Wahyu
Akal
dan wahyu merupakan dasar dan menjadi tolak ukur dalam menganalisa dan menilai
setiap persoalan. Dalam teologi Islam, akal dan wahyu dihubungkan dengan
persoalan mengetahui Tuhan dan persoalan baik dan buruk. Persoalan pertama
berkembang menjadi mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan sedangkan
persoalan kedua berkembang memnjadi mengetahui baik dan buruk dan kewajiban
mengerjakan perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan yang buruk. Dengan
demikian ada empat persoalan yang berkaitan dengan akal dan wahyu. Keempat
persoalan ini tlah dibicarakan oleh empat mazhab kalam, yaitu Mu’tazilah,
Asy’ariah, Maturudiah Samarkand dan Bukhara.
Kaum
Mu’tazilah yang menempatkan akal sebagai posisi sentral dalam mengetahui Allah,
kewajiban mengetahui Allah, mengetahui baik dan buruk dan kewajiban mengerjakan
perbuatan baik dan kewajiban menjauhi perbuatan buruk. Hal ini dilakukan oleh
Mu’tazilah karena mereka ingin merombak system pemerintahan Bani Umayyah yang
penuh dengan nepotisme, kousi, harta warisan dan keturunan. Kaum Mu’tazilah
mempergunakan ilmu pengetahuan sebagai nilai istimewa yang dimiliki manusia dan
juga sebanding dengan kehormatan, harta warisan dan keturunan.[7] Mu’tazilah
memberikan proporsi yang lebih terhadap akal dibandingkan dengan wahyu dalam
pemahaman ke-Islaman, khususnya dalam masalah aqidah seperti akal dapat
mengetahui Allah, kewajiban mengetahui Allah, mengetahui baik dan buruk dan
kewajiban mengerjakan perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan yang buruk.[8]
Bahkan Mu’tazilah mengatakan bahwa selain dari yang empat persoalan di atas,
akal mampu mengetahui nikamat Tuhan.[9]
Dalam alam ini terdapat berbagai unsur yang menjadi kebutuhan manusia nikmat,
seperti air, buah-buahan dan lain sebagainya, semua itu hanya diterma oleh
manusia sebagai nikmat. Maka akal yang sehat mengatakan bahwa semua itu
menrupakan nikmat dari Pencipta, yaitu Tuhan.
Pengenalan
akan baik dan buruk dapat diketahui melalui dengan pengalaman. Dalam hidup ini,
ada sesuatu yang menyanagkan dan ada pula yang menyakitkan. Dengan demikian,
akal berkesimpulan bahwa yang baik itu identik dengan hal-hal yang menyenangkan
dan yang buruk itu identik dengan hal-hal yang menyakitkan sebelum datangnya
wahyu.
Meski
demikian Mu’tazilah mengatakan bahwa akal dapat mengetahui keempat perkara
tersebut, namun bukan berarti bahwa akal tidak memerlukan wahyu sebab akal
tidak mampu memastikan apakah setiap yang diketahui oleh akal itu sesuai dengan
maksud Tuhan atau tidak. Maka wahyu dipelukan untuk membenarkan dalil akal,
dengan demikian bila pendapat akal sesuai dengan wahyu, maka pada saat itu
wahyu berfungdi sebagai legetimasi pendapat akal dan apa bila bertentangan
dengan wahyu (keliru) maka wahyu berfungsi untuk menunjukkan pendapat yang
benar. Oleh karena itu akal sangat membutuhkan datangnya wahyu untuk memberikan
perincian. Misalnya akal mengetahui bahwa wajib berterima kasih kepada Tuhan,
tapi wahyulah yang menjelaskan perician dan cara-cara bagaimana berterima kasih
kapada Tuhan.[10]
Begitu pun dengan persoalan zina dan hari akhirat.
Sesungguhnya,
kaum Mu’tazilah membawa rasionalisme mereka sedemikian jauhnya dengan
mensejajarkan kemampuan akal denga wahyu dalam menemukan kebenaran agama.
Mereka tidak puas hanya dengan pernhyataan superioritas akal atas tradisi, tai
lebih jauh lagi menyamakan derajatnya dengan firman Tuhan sebagai petunjuk
agama. Imlikasi dari tindakan ini bahkan lebih jauh lagi karena mereka tidak
bisa menerima firman Tuhan sebagai sifat-Nya, maka mereka mengatakan bahwa
Al-Qur’an adalah kata yang diciptakan. Dalam masalah sifat-sifat Tuhan terutama
menyangkut firman Tuhan merekan terpengaruh oleh ide-ide
Hellenistik, khususnya formulasi-furmulasi Kristen tentang logos. Tetapi karena mereka menganggap bahwa akal
sebagai bentukan esensial Zat Tuhan maka hasil bersih dari mereka adalah
peletakan akal di atas wahyu.[11]
Salah
seorang tokoh dari Aliran Asy’ariah yaitu Al-Asy’ari menolak sebahagian besar
pendapat Mu’tazilah. Ia mengatakan bahwa segala kewajiban manusia hanya dapat
diketahui melalui wahyu. Akal tidak mampu membuat sesuatu itu menjadi wajib dan
tidak dapat mengetahui bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk
adalah wajib bagi manusia.[12]
Betul akal dapat mengetahui Tuhan, akan tetapi wahyulah yang mewajibkan orang
memngetahui Tuhan dan berterima kasih kepada-Nya. Juga dengan wahyulah dapat
diketahui bahwa yang patuh kepada Tuhan akan mendapat upah dan yang tidak patuh
kepada-Nya akan mendapat hukuman.[13]
Al-Baghdadi
mengatakan bahwa tidak ada kewajiban-kewajiban dan tidak ada pula
larangan-larangan atas manusia sebelum datangnya wahyu. Meskipun akal dapat
mengetahui Tuhan namun belum diwajibkan beriman kapada Tuhan sebelum turunnya
wahyu. Orang beriman sebelum datangnya wahyu tidak berhak mendapatkan pahal,
begitu pula dengan orang kafir tidak mesti pula mendapat hukuman oleh Tuhan,
namun semua itu tergantung sama kemurahan dan kehendak Tuhan.[14] Al-Ghazali
juga mengatakan bahwa akal tidak dapat membawa kewajiban-kewajiban kepada
manusia, karena kewajiban-kewajiban hanya ditentukan oleh wahyu. Dengan
demikian kewajiban mengetahui Tuhan dan kewajiban berbuat baik dan meninggalkan
yang buruk hanya dapat diketahui melalui perantaraan wahyu.
Berbeda
dengan Asy’ariah, Muturidiah Samarkand cenderung agak sepaham dengan Mu’tazilah.
Mereka mengatakan bahwa wajib hukumnya beriman kepada Tuhan dan bersyukur
(beribadah) kapada-Nya sebelum wahyu datang.[15]
Menurut Al-Maturidiy bahwa yang tidak dapat diketahui akal adalah kewajiban
melaksanakan yang baik dan menjauhi yang buruk. Abu ‘Uzbah juga mengutip
pendapat Al-Maturidiy, anak yang sudah
balig atau berakal berkewajiban untuk mengetahui Tuhan.
Pemikiran
Maturidiah golongan Bukhara sedikit berbeda dengan Samarkand. Golongan Bukhara
berkeyakinan bahwa akal tidak mampun mengetahui kewajiban-kewajiban karena akal
hanya mampu mengetahui sebab kewajiban (Tuhan). Akal meruakan alat untuk
mengetahui kewajiban. Al-Bazdawiy mengatakan bahwa tidak ada kewajiban sebelum
Rasulullah saw datang dan oleh karena itu iman kepada Tuhan tidak pula wajib
kecuali setelah datang Rasulullah saw.[16]
Menyangkut
persoalan kebaikan dan keburukan, Al-Maturidiy mengakui kemampuan akal
mengetahui nilai kebaikan yang terdapat dalam perbuatan yang baik dan nilai
buruk yang terdapat dalam perbuatan yang buruk. Meskipun demikian ia tidak
menegaskan bahwa pengetahuan akal mengenai kewajiban berbuat kebaikan dan
meninggalkan keburukan. Al-Bazdawiy mengatakan bahwa akal tidak menetapkan
kebaikan dan keburukan malainkan hanya mengetahuinya, Tuhan lah yang menetapkan
kebaikan dan keburukan itu.[17]
Dengan
demikian, posisi Maturidiah sebebarnya terletak diantara Mu’tazilah dan
Asy’ariah. Maturidiah tidak selamanya seendapat dengan Asy’ariah, tetapi juga
tidak selalu sependapat dengan Mu’tazilah.
3. Perbuatan Tuhan
dan Perbuatan Manusia
Umat
Islam meyakini bahwa alam ini adalah ciptaan dari Tuhan. Keyakinan ini
merupakan suatu penjelmaan dari kedudukan manusia kepada Tuhan, bahwa tiada
pencipta selain Allah swt. Pernyataan ini menunjukkan bahwa Tuhan Mahakuasa dan
Mahakuasa dalam berkehendak dan melaksanakan perbuatan manusia. Namun disisi
lain manusia juga mempunyai kehendak dan kemampuan untuk menentukan
perbuatannya sendiri.
Perbedaaan
tersebut menimbulkan pertentangan yang serius dikalangan pemikir kalam. Mazhab
kalam Qadariah, Mu’tazilah dan Maturudiah Samarlkan misalnya berpendapat bahwa manusialah yang berkehendak dan
mewujudkan perbuatannya. Sebaliknya mazhab kalam Jabariah dan Asy’Ariah
berkeyakinan bahwa Tuhanlah yang berkemampuan dalam berbuat dan menciptakan
sesuatu, termasuk perbuatan manusia itu sendiri. Bagi
Al-Maturidi, perbuatan manusia itu diciptakan oleh Tuhan. Namun ia membagi
perbuatan manusia kedalam dua bagian yaitu pertama,
perbuatan yang diciptakan oleh Tuhan dalam bentuk daya-daya dalam diri manusia.
Kedua, perbuatan yang diciptakan oleh
manusia adalah pemakaian daya-daya yang diciptakan Tuhan.[18]
Qadariah
dan Mu’tazilah pada umumnya beralasan bahwa dalam perbuatan manusia itu
terkadang ada dosa dan penganiayaan. Sementara sesuatu yang jahat itu tidak
mungkin kita sandarkan sama Tuhan yang Maha suci dari kekurangan. Abd.
Al-Jabbar mengatakan bahwa kalau ada orang yang mengatakan bahwa Tuhan terlibat
dalam perbuatan manusia, hal itu adalah kesalahan besar karena keterikatan
Tuhan dalam perbuatan manusia mengandung arti bahwa manusia tidak berkehendak dan
berkemampuan. Namun bukan berarti Tuhan tidak mampu untuk melakukan perbuatan
yang buruk. Tuhan tidak melakukan perbuatan yang buruk karena Tuhan mengetahui
keburukan dari perbuatan buruk tersebut. Sebagaimana yang dijelaskan dalam
Al-Qu’an: “Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah
yang akan ditanya”[19] dan
“Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya,
melainkan dengan (tujuan) yang benar”.[20]
Selanjutnya
dalam hal perbuatan manusia, Qadariah dan Mu’tazilah mengatakan bahwa manusia
mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatannya atas kehendaknya
sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat dan karena itu manusia berhak
mendapatkan pahala dari perbuatan baiknya dan berhak pula mendapatkan hukuman
atas kejahatan yang diperbuatnya.[21]
Mereka melandaskan pendapatnya dengan ayat Al-Qur’an: “…..barang siapa yang
mau maka berimanlah ia dan barang siapa yang ingin kafir maka kafirlah ia”[22]
dan “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, kecuali jika
mereka yang mengubah nasib mereka sendiri”[23].
Pada
dasarnya Al-Asy’ari ingin meneguhkan Kekuasaan dan Rahmat Tuhan, sebagaimana
yang telah dipertahankan oleh ortodoksi. Bahwa setiap perbuatan manusia itu
terjadi karena adanya kehendak dan ridha Tuhan baik perbuatan baik maupun perbuatan
yang buruk.[24]
Kalau kita melihat bahwa pendapat Al-Asy’ari ini sangat dipengaruhi oleh respon
kaum ortodoks terhadap doktrin Mu’tazilah yang seolah-olah ingin membatasi
Tuhan. Dan sesungguhnya ia tidak menyembunyikan fakta bahwa ia tidak ingin
menyimpang dari ajaran Ahmad Ibnu Hambal.
Pandangan
Asy’ariah, faham bahwa Tuhan berkewajiban berbuat baik dan terbaik bagi
manusia, sebagaimana pandangan Mu’tazilah, tidaklah dapat diterima karena
bertentangan dengan faham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Hal ini
ditegaskan oleh Al-Ghazali ketika mengatakan bahwa Tuhan tidak berkewajiban
berbuat baik dan terbaik bagi manusia.[25]
Sementara dalam hal perbuatan manusia Al-Asy’ari, manusia ditempatkan pada
posisi yang sangat lemah. Ia diibaratkan seperti anak kecil yang tidak memiliki
pilihan dalam hidupnya.[26]
Ia menyandarkan pendapatnya pada ayat: “Dan Allah menciptakan kamu dan apa
yang kamu perbuat”.[27]
Maturidiyah
Bukhara sependapat dengan Asy’ariah dalam soal kekuasaan mutlak Tuhan dan soal
tidak mesti Tuhan berbuat baik kepada makhluk-Nya. Berbeda dengan Samarkand
yang sepaham dengan Mu’tazilah dalam hal kekuasaan Tuhan yang tidak absolut.
Bagi Maturidiah Samarkand bahwa Tuhan mustahil berbuat sewenang-wenang terhadap
makhluknya.[28]
Sementara dalam hal perbuatan manusia Samarkand lebih dekat dengan paham
Mu’tazilah, bahwa kehendak dan daya berbuat pada diri manusia, adalah daya dan
kehendak manusia dalam arti yang sebenarnya, bukan dalam arti kiasan. Perbedaannya
dengan Mu’tazilah, adalah bahwa daya unuk berbuat tidak diciptakan sebelumnya
tetapi bersamaan dengan perbuatan. Oleh karena itu manusia dalam pandangan
Al-Maturidi tidaklah sebebas manusia dalam pandangan Mu’tazilah.[29]
Sementara golongan Bukhara berpandangan bahwa manusia tidak mempunyai daya unuk
melakukan perbuatannya, hanya Tuhanlah yang dapat mencipta dan manusia hanya
dapat melakukan perbuatan yang telah dicipakan oleh Tuhan bagi manusia.
Al-Maturidi,
sebagaimana Al-Asy’ari mengatakan bahwa semua perbuatan manusia adalah
dikehendaki oleh Tuhan. Namun pandangan ini berbeda dengan apa yang dikemukakan
oleh Al-Asy’ari, ia berpendapat bahwa perbuatan-perbuatan yang jahat tidaklah
diiringi oleh ridho Tuhan. Yang lebih penting lagi bahwa Maturidiah sementara
menekankan kekuasaan Tuhan namun masih mengakui Effikasi (kekuatan) kehendak
manusia. Namun dalam perkembangan selanjutnya, juga menyatakan dengan tegas
kemerdekaan mutlak manusia dalam perbuatan-perbuatannya.[30]
4. Kalamullah
Menurut
faham Mu’tazilah bahwa kalam Allah itu baharu yang ada pada zat-Nya karena
kalam Allah itu sendiri terdiri dari huruf, suara dan tulisan mushaf yang dapat
di tiru bunyinya. Oleh karena itu sifat kalam seperti itu ialah yang baharu
yang ada pada zat, maka kalam yang seperti itu dapat hilang (tidak kekal).[31] Mereka
mengatakan Al-Qu’an tersusun dari bagian-bagian berupa ayat dan surah, ayat
yang satu mendahului ayat yang lain dan surat yang satu mendahului surat yang
lain pula. Dengan adanya sifat yang terdahulu dan sifat yang datang kemudian
membuat sesuatu (Al-Qir’an) menjadi kekal atau qadim. Kaum Mu’tazilah
menyandarkan pendapatnya pada sebuah ayat: “Kitab
yang ayat-ayatnya dibuat sempurna dan kemudian diperinci”.[32]
An-Najjar
seorang tokoh dari kalangan Jabariah mengatakan bahwa kalam Allah itu adalah
makhluk, walaupun dalam beberapa hal ia berbeda pendapat dengan Mu’tazilah yang
diantaranya: kalam Allah menurutnya bila dibaca maka ia menjadi sifat, apabila
dituliskan ia menjadi huruf atau tubuh dan yang lebih aneh lagi An-Najjar
mengatakan bahwa kalam Allah bukanlah zat dan bukan pula sifat dan setiap yang
bukan zat dan sifat Allah adalah makhluk Allah. Namun demikian katanya siapa
yang mengatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk maka ia kafir. Hal ini sesuai
dengan hadits Nabi saw: “Kalam Allah
bukanlah makhluk”.[33]
Lain
halnya dengan kaum Asy’ariah yang mengatakan bahwa kalam Tuhan adalah sifat dan
sebagai sifat Tuhan mestilah kekal. Dan menurut mereka yang dimaksud dengan
Al-Qur’an bukanlah apa yang tersusun dari huruf-huruf, kata-kata dan surat-surat,
tapi makna abstrak. Dalam arti inilah Al-Qur’an menjadi kekal, dan dalam arti
huruf, kata dan surat yang ditulis dan dibaca, Al-Qur’an bersifat baharu serta
diciptakan dan bukan kalam Tuhan.[34]
Untuk memperkuat pendapatnya kaum Asy’ariah mengambil beberapa ayat dari
Al-Qur’an sebagai berikut: “Bukankah penciptaan dan perintah kepunyaan-Nya”[35]
dan di ayat yang lain “Jika kami menghendaki sesuatu kami barkata:
‘Terjadilah’, maka jadilah”.[36]
Kaum
Maturidiah sepaham dengan kaum Asy’ariah bahwa kala Tuhan itu kekal (qadim). [37]
Al-Qur’an menurut al-Maturidi adalah sifat kekal dari Tuhan, satu, tidak
terbagi dan tidak berbahasa Arab. Lebih jauh menurut al-Bazdawi bahwa apa yang
tersusun dan disebut Al-Quran bukanlah kalam Tuhan, tetapi merupakan tanda dari
sabda atau kalam Tuhan, ia disebut kalam Tuhan hanya dalam arti kiasan.
5. Antropomorphisme
Bagi
kaum Mu’tazilah yang senantiasa berpegang teguh pada kekuatan akal dan Tuhan
bersifat immateri, dengan demikian Tuhan tidak memiliki sifat-sifat jasmani.
Hal ini diungkapkan oleh salah seorang tokoh Mu;tazilah yaitu Abd al-Jabbar
bahwa Tuhan tidak mempunyai badan materi oleh karena itu Tuhan juga pasti tidak
mempunyai sifat-sifat materi pula.
Adapun
ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang menggambarkan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat
jasmani itu harus diberikan pemaknaan lain. Dengan demikian kata al-‘Arsy yang berarti tahta kerajaan
misalnya diartikan sebagai kekuasaan, al-‘Ain,
mata diartikan sebagai pengetahuan, al-Wajh,
muka diartikan sebgai esensi dan al-yad,
tangan diartikan sebagai kekuasaan. Mereka mengklaim bahwa manusia tidak bisa
memahami makna yang sebenarnya dari sifat-sifat Tuhan seperti mendengar,
melihat dan sebagainya karena sifat-sifat tersebut identik dengan esensi
ketuhanan. [38]
Kaum
Asy’ariah juga tidak menerima antropomorphisme[39]
dalam artian bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani yang sama dengan
sifat-sifat jasmani manusia. Sungguhpun demikian mereka tetap mengatakan bahwa
Tuhan sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an yang mempunyai mata, wajah, tangan
dan sebagainya, itu tidak sama dengan yang dimiliki oleh manusia. Mereka
mengatakan bahwa kata-kata ini tidak boleh diberi makna lain.
Lebih
lanjut kaum Asy’ariah mengatakan bahwa Tuhan mempunyai dua tangan, akan tetapi
itu tidak boleh diartikan sebagai rahmat atau kekuasaan. Begitu pula dengan
bahwa Tuhan itu hidup, memiliki tangan, mata, wajah dan sebagainya, akan tetapi
keadaan Tuhan dan kehidupan-Nya sama sekali tidak sama dengan keadaan dan
kehidupan manusia. Lebih lauh Asy’ariah mengatakan bahwa Tuhan memiliki mata,
tangan, wajah dan sebagainya yang tidak dapat diberikan gambaran atau defenisi.
Dalam
pandangan Asy’ariah bahwa manusia itu lemah dan akalnya tidak mampu memberikan
pemaknaan atau intepretasi lebih jauh tentang sifat-sifat jasmaniah Tuhan yang
tersebut dalam Al-Qur’an, sehingga meniadakan sifat-sifat jasmani Tuhan
tersebut. Tetapi sebaliknya, sungguhpun akal manusia itu lemah, namun akal
tidak bisa menerima bahwa Tuhan itu mempunyai anggota badan seperti yang
dipahami oleh kaum antropomorphisme.
Oleh karena itu Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani seperti yang disebut dalam
Al-Qur’an, tetapi kita tidak ketahui bagaimana bentuknya (bila kayfa).[40]
Lain
halnya pandangan kaum Maturiah golongan Bukharah yang dalam hal ini tidak sepakat
dengan kaum Asy’ariah. Al-Bazdawi, salah seorang tokoh Maturidiah mengatakan
bahwa tangan Tuhan adalah sifat dan bukan anggota badan Tuhan yaitu sifat sama
dengan sifat-sifat Tuhan yang lain seperti pengetahuan, daya dan kemauan. Lain
halnya dengan golongan Samarkan, mereka lebih sependapat dengan kaum
Mu’tazilah.
6. Melihat Tuhan di
Akhirat
Kaum
Asy’ariah berpendapat bahwa Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala ketika di akhirat, dengan asumsi bahwa yang
tidak dapat dilihat hanyalah yang tidak mempunyai wujud sementara yang
mempunyai wujud mesti dapat dilihat. Oleh karena Tuhan memiliki wujud, maka
Tuhan pun dapat dilihat. Sementara kaum Maturidiah sepaham dengan Asy’ariah
yang berpendapat bahwa Tuhan dapat dilihat karena Tuhan memiliki wujud. Jadi
Tuhan dapat dilihat sungguhpun Tuhan tidak terikat oleh ruang dan waktu.
Kaum
Asy’ariah menyandarkan pendapatnya pada dalil Al-Qur’an yang berbunyi: “Wajah-wajah yang pada ketika itu berseri-seri memandang kepada Tuhannya”.[41] Kata
nazhirah dalam ayat ini tidak bisa
berarti memikirkan karena akhirat bukanlah tempat berfikir dan juga bukan
berarti menunggu karena wujuh yaitu
muka atau wajah tidak dapat menunggu, maka yang menunggu yang dimaksud ayat ini
adalah manusia. Maka kata niazhirah
mesti diartikan melihat dengan mata.
Akan
tetapi, kaum Mu’tazilah menyangkal kemungkinan mengenai penyaksian yang
mendatangkan bahagia itu dengan alasan bahwa hal itu secara logis tidak
mungkin. Sebab, hanya sesuatu yang ada dalam bentuk material atau mempunyai
warna atau permukaan sajalah yang dapat dilihat oleh mata manusia. Mereka
berpendapat bahwa karena Tuhan tidak mempunyai bentuk dan tidak pula mempunyai
subtansi, dan Dia tidak berada dalam ruang dan waktu, maka persoalan ihwal
melihat Dia tidak akan timbul.[42] Kemungkinan
untuk melihat Tuhan ditolak oleh kaum Mutazilah berdasarkan argument-argumen
yang rasional, meskipun penolakan semacam itu sama hal dengan menyangkal apa yang
telah ditetapkan oleh Al-Qur’an yang berkaitan dengan hal itu.
Kaum
Mu’tazilah menyadarkan pendapatnya pada ungkapan orang Arab yang berbunyi: “nazhartu
ila al-hilali falam arahu” yang artinya “Aku memandang ke bulan tapi tak melihatnya” dan menurut Mu’tazilah
bahwa kata nazhara tidak berarti raaitu atau ru’yah. Dan kata nazhara itu bermakna memandang / menanti-nanti.[43]
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan uraian dalam pembahasan makalah ini,
maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.
Iman dan Kufur, Khawarij
berpendapat bahwa semua orang yang terlibat dalam dan menerima tahkim
adalah kafir karena telah melakukan dosa besar, sedangkan Murjiah berpandangan
lain, bahwa orang yang menerima tahkim bukanlah kafir, mereka tetap mukmin
karena mereka masih memiliki keyakinan terhadap Tuhan. Berbeda dengan
Mu’tazilah yang berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa besar bukanlah
kafir dan bukan pula mukmin tetapi fasiq. Sedangkan Asy’ariah mengatakan bahwa
orang yang melakukan dosa besar bukanlah kafir tapi mukmin yang fasiq dan
hukumannya itu tergantung kepada Tuhan.
2.
Akal dan Wahyu, Mu’tazilah memberikan penekanan yang besar pada akal dari
pada wahyu dalam mengkaji pemikiran keagamaan, seperti mengetahui Tuhan,
kewajiban mengetahui Tuhan berbuat baik dan buruk dan kewajiban berbuat baik
dan menjauhi yang buruk, hal sama dengan apa yang di kemukakan oleh Maturidiah
Samarkand cuman aliran ini tidak memasukkan kewajiban berbuat baik dan menjauhi
yang buruk, karena itu hanya bisa deketahui melalui wahyu. Berbeda dengan
Asy’ariah yang memberikan penekanan yang lebih besar kepada wahyu dari pada
akal. Menurutnya akal hanya mampu mengetahui Tuhan, sedangkan kewajiban
mengetahui Tuhan, mengetahui baik dan buruk dan kewajiban berbuat baik dan
menjauhi yang buruk hanya dapat diketahui melalui wahyu karena akal tidak mampu
mengetahuinya. Lain halnya dengan Maturidiah Bukhara, bahwa akal dan wahyu
memiliki porsi yang sama, dengan akal manusia dapat mengetahui Tuhan dan
mengetahui baik dan buruk, sedangkan dengan wahyu manusia dapat mengetahui
kewajiban mengetahui Tuhan dan kewajiban mengejakan yang baik dan menjauhi yang
buruk.
3.
Dalam hal perbuatan Tuhan, kaum Mu’tazilah dan Maturidiah Samarkand
sependapat bahwa Tuhan mempunyai kewajiban terhadap manusia yang pada intinya
kewajiban berbuat baik dan terbaik bagi manusia. Sedangkan kaum Asy’ariah dan
Maturidiah Bukhara mengatakan bahwa Tuhan tidak memiliki kewajiban bagi
manusia. Kemudian persoalan perbuatan manusia, kaum Qadariah dan Mu’tazilah,
bahwa manusia memiliki kemampuan untuk berkehendak dan memilih perbuatannya.
Sedangkan kaum Jabariah dan Asy’ariah, bahwa manusia tidak memiliki daya untuk
memilih dan berbuat.
4.
Mengenai Kalamullah, Mu’tazilah memahami bahwa Kalamullah adalah makhluk,
sedangkan Asya’ariah memahami bahwa Kalamullah itu qadim. Sementara Maturidiah
Bukhara berpandangan lain bahwa apa yang tersusun dan disebu sebagai Al-Qur’an
bukanlah Kalam Allah, tapi sebagai tanda dari Kalam Allah. Kalaupun disebut
Kalamullah itu bukan arti yang hakiki tapi dalam arti kiasan.
5.
Antropomorphisme, bagi Mu’tazilah dan Maturidiah Samarkand, bahwa Tuhan
bersifat immateri dan tidak memiliki sifat-sifat jasmani. Adapun mengenai
ayat-ayat yang menujukkan sifat-sifat jasmaniah Tuhan itu harus diberi
interpretasi lain. Sedangkan Asy’ariah dan Maturidiah Bukhara menolak pandangan
bahwa Tuhan memiliki sifat-sifat jasmani yang sama dengan manusia, adapun
ayat-ayat yang menujukkan sifat-sifat jasmaniah Tuhan, merekan meyakini akan
hal itu namun tidak boleh diberikan interpertasi.
6.
Meliaht Tuhan di akhirat, bagi Mu’tazilah bahwa hal itu tidak mungkin,
karena Tuhan bersifat immateri dan tidak mungkin dilihat dengan mata kepala.
sedangkan Asy’ariah dan Maturidiah Samarkand dan Bukhara mengaakan bahwa Tuhan
dapat dilihat di akhirat.
DAFTAR PUSTAKA
Abu
Zaid, Nashr Hamid, al-Ittihad al-‘Aqli fi
al-Tafsir: Dirasah fi Qadhiyyah al-Majaz fi al-Qur’an ‘inda al-Mu’tazilah, diterjemahkan
oleh Abdurrahman Kasdi dan Hamka Hasan dengan judul Menalar Firman Tuhan:Wacana Majaz dalam Al-Qur’an Menurut Mu’tazilah,
Cet. I; Bandung Mizan, 2003.
Abu
Zahra, Imam Muhammad, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah, diterjemahkan
oleh Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qorib dengan judul Aliran Politik dan
‘Aqidah dalam Islam, Cet. I; Jakarta: Logos Publishing House, 1996.
Asy-yahrastani,
Al-Milal wa Al-Nihal diterjemahkan oleh
Prof. Asywadie Syukur, LC, Surabaya: PT. Bina Ilmu, t.th.
Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya.
Haq,
Hamka, Dialog Pemikiran Islam
(Tradisionalisme, Rasionalisme dan Empirisme dalam Teologi, Filsafat dan Ushul
Fikih), Ujung Pandang: Yayasan AHKAM, 1995.
Imam
al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Jilid
1. Dar al-Muthbi’, t.th.
Nasr,
Sayyed Hossein, Ensiklopedi Spiritualitas
Islam: Manifestasi, Cet. I; Bandung: Mizan, 2003.
Nasution,
Harun Nasution, Teologi Islam:
Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Cet. V; Jakarta: UI-Press, 2002.
Rahman,
Fazlur, Islam, Cet. IV; Bandung:
Pustaka, 2000.
Rusyd,
Ibn, Tujuh Perdebatan Utama dalam Teologi
Islam, Jakarta: Erlangga, 2006.
Rozak,
Abdul, dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Cet. III; Bandung: CV. Pustaka
Setia, 2007.
[1] Imam al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Jilid 1. Dar al-Muthbi’,
t.th), h. 82.
[2] Ibn Rusyd, Tujuh Perdebatan Utama dalam Teologi Islam, (Jakarta: Erlangga,
2006), h. 41.
[3] Ibid., h. 42.
[4] Hamka Haq, Dialog Pemikiran Islam (Tradisionalisme, Rasionalisme dan Empirisme
dalam Teologi, Filsafat dan Ushul Fikih), (Ujung Pandang: Yayasan AHKAM,
1995), h. 45.
[5] Harun Nsution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa
Perbandingan, (Cet. V; Jakarta: UI-Press, 2002), h. 148.
[6] Fazlur Rahman, Islam, (Cet. IV; Bandung: Pustaka,
2000), h. 120.
[7] Nashr Hamid Abu Zaid, al-Ittihad al-‘Aqli fi al-Tafsir: Dirasah fi
Qadhiyyah al-Majaz fi al-Qur’an ‘inda al-Mu’tazilah, diterjemahkan oleh
Abdurrahman Kasdi dan Hamka Hasan dengan judul Menalar Firman Tuhan:Wacana Majaz dalam Al-Qur’an Menurut Mu’tazilah,(Cet.
I; Bandung Mizan, 2003), h. 71.
[8] Ibn Rusyd, Tujuh erdebatan, op. cit., h. 38.
[9]Asy-yahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal diterjemahkan oleh
Prof. Asywadie Syukur, LC, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, t.th), h. 39.
[10] Hamka Haq, Dialog Pemikiran Islam, op. cit., h. 21.
[11] Fazlur Rahman, Islam, op. cit., h. 123-124.
[12] Harun Nasution, Teologi Islam, op. cit., h. 83.
[13] Asy-Syahrastani, Al-Milal, o. cit., h. 85.
[14] Harun Nasution, Teologi Islam, op. cit., h. 84.
[15] Ibn Rusyd, Tujuh Perdebatan, op. cit., h. 39
[16] Hamka Haq, Dialog Pemikiran Islam, op. cit., h. 23-24.
[17] Ibid.,
[18] Ibn Rusyd, Tujuh Persoalan, op. cit., h. 48.
[19] Q.S.
Al-Anbiyaa (21): 21.
[20] Q.S. Al-Ruum
(30): 8.
[21] Abdul Rozak
dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Cet. III; Bandung: CV. Pustaka Setia,
2007), h. 161.
[22] Q.S. Al-Kahfi
(18): 29.
[23] Q.S. Al-Rad
(13): 165.
[24] Fazlur Rahman, Islam, op. cit., h. 128.
[25] Abdul Rozak, Ilmu
Kalam, op. cit., h 156.
[26] Ibid., h
165.
[27] Q.S.
Al-Shaffat (37): 96.
[28] Hamka Haq, Dialog Pemikiran
Islam, op. cit., h. 38.
[29] Abdul Rozak, Ilmu
Kalam, op. cit., h 166.
[30] Ibid.,
[31] Asy-yahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal diterjemahkan oleh
Prof. Asywadie Syukur, LC, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, t.th), h. 38.
[32] Q.S Hud (11): 1.
[33] Asy-yahrastani, Al-Milal wa
Al-Nihal op. cit., h. 74.
[34] Harun Nasution, op. cit., h. 144.
[35] Q. S Al-A’raf (7): 54.
[36] Q. S Al-Nahl (16): 40.
[37] Ibn Rusyd, op. cit., h. 36.
[38] Sayyed Hossein Nasr, Ensiklopedi Spiritualitas Islam:
Manifestasi, (Cet. I; Bandung: Mizan, 2003), h. 511.
[39] Antropomorphisme
adalah melekatkan
sifat-sifat Tuhan manusia dengan sifa-sifat bentuk manusia. Kamus Ilmiah
Populer, (Cet. I; Surabaya: Gitamedia Press, 2006), h. 38.
[40] Hamka Haq, Dialog, op. cit., h. 40.
[41] Q.S Al-Qiyamah (75): 22-23.
[42] Sayyed Hossein Nasr, Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam,
(Cet. II; Bandung: Mizan, 2003), h. 207.
[43] Harun Nasution, Teologi Islam, op. cit., h. 141.
0 komentar:
Post a Comment