Thursday 14 June 2012

Sejarah Pemikiran Islam



PENDAHULUAN 
A.    Latar Belakang.
Gagasan atau pemikiran adalah refleksi pemahaman terhadap Al-Qur’an, hadits, fenomena alam, social ekonomi, politik dan budaya yang dikeluarkan oleh seorang intelektual. Olehnya itu, adalah benar jika gagasan atau pemikiran akan terus ada dan eksis, walaupun aliran dan tokoh pencetusnya telah tiada atau terpinggirkan kejurang kemanusiaan yang sangat jauh. Begitu juga halnya dengan gagasan yang dicetuskan oleh aliran Khawarij, Murjiah, Qadariah, Jabariah, Mu’tazilah, Asy’ariah, Syi’ah dan Maturidiah Bukhara dan Samarkand, akan terus ada dan langgeng sepanjang dunia ini masih terus berputar dan manusia masih menjalani hidup dan kehidupan ini. Sederhananya pemikiran atau gagasan tidak lekang diterpa oleh terik sinar matahari dan tidak akan luntur akibat dibasahi oleh air hujan, akan tetapi sebuah gagasan akan terus muncul salama gagasan itu diperbincangkan atau diperdebatkan.
Menulis atau membaca ulang sejarah pemikiran Islam serta terus menerus melakukan pengkajian terhadapnya adalah sebuah keniscayaan yang harus ditempuh, agar dikemudian hari dapat memberi pelajaran dan hikmah dalam mengarungi hidup yang makmur, aman, damai dan tentram, sebagaimana cita-cita Islam yakni menciptakan masyarakat yang adil, makmur, tentram dan sejahtera. Meminjam bahasa K.H. Wahid Hasyim, kita harus memahami masa lalu, melihat masa kini untuk merancang dan menata masa depan kita.
B.     Rumusan Masalah
Dari deskripsi di atas, maka penulis dapat merumuskan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana pandangan kaum Khawarij, Murjiah, Asy’ariah, Mu’tazilah, Maturidiah Samarkand dan Bukhara mengenai masalah kosep iman dan kufur?
2.      Bagaimana pandangan kaum Asy’ariah, Mu’tazilah, Maturidiah Samarkand dan Bukhara mengenai masalah kosep akal dan wahyu?
3.      Bagaimana pendapat para aliran teolog terhadap perbuatan Tuhan, perbuatan manusia, Kalamullah, antromorphisme dan melihat Tuhan di akhirat?

PEMBAHASAN 
1.      Iman dan Kufur
Iman dan Kufur adalah dua istilah yang berlawanan, jika iman diartikan sebagai kepercayaan, kufur berarti ketidak percayaan. Dalam pengertian yang lebih populer bahwa iman adalah “Meyakini dengan hati, mengucapkan dengan lidah dan melaksanakan dengan anggota”.[1] Sedangkan kufur adalah menutup diri atau menolak kebenaran yang datang kepadanya. Adapun yang menjadi titik tekan dalam pembahasan ini adalah bukan pada siapa yang beriman dan siapa yang kafir, akan tetapi lebih pada bagaimana pandangan atau konsep iman dan kufur dari masing-masing mazhab teologi Islam.
Pengertian iman menurut kaum Khawarij belum ditemukan dalam berbagai buku tentang teologi Islam. Namun Al-Baghdadi mengatakan bahwa iman menurut Khawarij adalah kembali kepada semua yang fardu dan meninggalkan dosa-dosa besar, sedangkan kufur adalah berbuat dosa besar. Dengan demikian iman ala Khawarij bukan meyakini (tashdiq) dan mengetahui (ma’rifah) melainkan sejauh mana kita melakukan kebaikan-kabaikan yang sesuai dengan tuntunan agama terutama yang fardu (amal), sedangkan kufur ketika berbuat dosa besar.[2]
Berbeda dengan Khawarij, Murjiah mempunyai penilaian tersendiri atas keimanan dan seseorang. Murjiah mengatakan bahwa iman itu terletak dalam hati setiap orang dan tidak ada yang dapat mengetahui keimanan setiap orang kecuali Allah swt. Bagi kaum Murjiah bahwa iman bukanlah tashdiq dan juga bukan amal akan tetapi ma’rifah dan iqrar dengan alasan bahwa yang paling utama adalah pengakuan diri beriman, sedangkan persoalan melakukan kebaikan (amal) itu bekangan. Dan  bahkan sebahagian dari kaum Murjiah berpendapat bahwa ketiadaan amal atau keterlambatan beramal itu tidak merusak keimanan seseorang. Dengan demikian iman adalah mengenal Allah swt, oleh karena itu orang yang tidak mengenal Allah kafir.[3]
Sementara itu, Asy’ariah berpendapat bahwa iman bukanlah mengetahui (ma’rifah) melainkan dengan pembenaran (tashdiq). Ini sejalan dengan prinsip kaum Asy’ariah yang mengatakan bahwa akal tidak bisa mengetahui wajibnya mengenal Tuhan, kewajiban itu diketahui melalui perantaraan wahyu. Maka wajib mengetahui Tuhan juga hanya dengan wahyu sebagai konsekwensinya manusia harus menerima dan membenarkan apa yang dibawa oleh wahyu.[4] Mengenai masalah kufur Asy’ariah berpendapat bahwa kufur adalah mendustakan Allah dan rasul-Nya. Sementara itu dosa besar selain syirik tidak membuat orang menjdi kafir. Lebih jauh Asy’ariah mengatakan bahwa orang yang berdosa besar tidak boleh dikatakan kafir seperti yang dikatakan oleh Khawarij karena ia masih mengakui adanya Tuhan dan mengakui haramnya perbuatan dosa besar.
Bagi Maturidiyyah Samarkand bahwa iman tidaklah cukup hanya dengan tashdiq, tapi harus disertai dengan ma’rifah. Karena bagi mereka akal dapat sampai pada kewajiban mengetahui Tuhan.[5] sehingga dengan ma’rifah akan menimbulkan tashdiq. Bahkan lebih jauh mereka mengatakan bahwa iman itu tidak hanya sekedar pengakuan (tashdiq) tapi berkaitan erat dengan amal ibadah. Pengertian ini sama dengan pendapat Mu’tazilah yang mengatakan iman tidak cukup dengan tashdiq tapi harus disertai dengan ma’rifah dan amal. Dengan alasan bahwa pada masa Rasulullah saw, bahkan sampai saat sekarang ini banyak orang yang menyatakan keimanannya tapi hatinya mengingkarinya dan orang seperti ini tidak bisa dikatakan sebagai orang yang beriman dan bukan pula orang yang kafir.[6]
2.      Akal dan Wahyu
Akal dan wahyu merupakan dasar dan menjadi tolak ukur dalam menganalisa dan menilai setiap persoalan. Dalam teologi Islam, akal dan wahyu dihubungkan dengan persoalan mengetahui Tuhan dan persoalan baik dan buruk. Persoalan pertama berkembang menjadi mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan sedangkan persoalan kedua berkembang memnjadi mengetahui baik dan buruk dan kewajiban mengerjakan perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan yang buruk. Dengan demikian ada empat persoalan yang berkaitan dengan akal dan wahyu. Keempat persoalan ini tlah dibicarakan oleh empat mazhab kalam, yaitu Mu’tazilah, Asy’ariah, Maturudiah Samarkand dan Bukhara.
Kaum Mu’tazilah yang menempatkan akal sebagai posisi sentral dalam mengetahui Allah, kewajiban mengetahui Allah, mengetahui baik dan buruk dan kewajiban mengerjakan perbuatan baik dan kewajiban menjauhi perbuatan buruk. Hal ini dilakukan oleh Mu’tazilah karena mereka ingin merombak system pemerintahan Bani Umayyah yang penuh dengan nepotisme, kousi, harta warisan dan keturunan. Kaum Mu’tazilah mempergunakan ilmu pengetahuan sebagai nilai istimewa yang dimiliki manusia dan juga sebanding dengan kehormatan, harta warisan dan keturunan.[7] Mu’tazilah memberikan proporsi yang lebih terhadap akal dibandingkan dengan wahyu dalam pemahaman ke-Islaman, khususnya dalam masalah aqidah seperti akal dapat mengetahui Allah, kewajiban mengetahui Allah, mengetahui baik dan buruk dan kewajiban mengerjakan perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan yang buruk.[8] Bahkan Mu’tazilah mengatakan bahwa selain dari yang empat persoalan di atas, akal mampu mengetahui nikamat Tuhan.[9] Dalam alam ini terdapat berbagai unsur yang menjadi kebutuhan manusia nikmat, seperti air, buah-buahan dan lain sebagainya, semua itu hanya diterma oleh manusia sebagai nikmat. Maka akal yang sehat mengatakan bahwa semua itu menrupakan nikmat dari Pencipta, yaitu Tuhan.
Pengenalan akan baik dan buruk dapat diketahui melalui dengan pengalaman. Dalam hidup ini, ada sesuatu yang menyanagkan dan ada pula yang menyakitkan. Dengan demikian, akal berkesimpulan bahwa yang baik itu identik dengan hal-hal yang menyenangkan dan yang buruk itu identik dengan hal-hal yang menyakitkan sebelum datangnya wahyu.
Meski demikian Mu’tazilah mengatakan bahwa akal dapat mengetahui keempat perkara tersebut, namun bukan berarti bahwa akal tidak memerlukan wahyu sebab akal tidak mampu memastikan apakah setiap yang diketahui oleh akal itu sesuai dengan maksud Tuhan atau tidak. Maka wahyu dipelukan untuk membenarkan dalil akal, dengan demikian bila pendapat akal sesuai dengan wahyu, maka pada saat itu wahyu berfungdi sebagai legetimasi pendapat akal dan apa bila bertentangan dengan wahyu (keliru) maka wahyu berfungsi untuk menunjukkan pendapat yang benar. Oleh karena itu akal sangat membutuhkan datangnya wahyu untuk memberikan perincian. Misalnya akal mengetahui bahwa wajib berterima kasih kepada Tuhan, tapi wahyulah yang menjelaskan perician dan cara-cara bagaimana berterima kasih kapada Tuhan.[10] Begitu pun dengan persoalan zina dan hari akhirat.
Sesungguhnya, kaum Mu’tazilah membawa rasionalisme mereka sedemikian jauhnya dengan mensejajarkan kemampuan akal denga wahyu dalam menemukan kebenaran agama. Mereka tidak puas hanya dengan pernhyataan superioritas akal atas tradisi, tai lebih jauh lagi menyamakan derajatnya dengan firman Tuhan sebagai petunjuk agama. Imlikasi dari tindakan ini bahkan lebih jauh lagi karena mereka tidak bisa menerima firman Tuhan sebagai sifat-Nya, maka mereka mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah kata yang diciptakan. Dalam masalah sifat-sifat Tuhan terutama menyangkut firman Tuhan merekan terpengaruh oleh ide-ide Hellenistik, khususnya formulasi-furmulasi Kristen tentang logos. Tetapi karena mereka menganggap bahwa akal sebagai bentukan esensial Zat Tuhan maka hasil bersih dari mereka adalah peletakan akal di atas wahyu.[11]
Salah seorang tokoh dari Aliran Asy’ariah yaitu Al-Asy’ari menolak sebahagian besar pendapat Mu’tazilah. Ia mengatakan bahwa segala kewajiban manusia hanya dapat diketahui melalui wahyu. Akal tidak mampu membuat sesuatu itu menjadi wajib dan tidak dapat mengetahui bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk adalah wajib bagi manusia.[12] Betul akal dapat mengetahui Tuhan, akan tetapi wahyulah yang mewajibkan orang memngetahui Tuhan dan berterima kasih kepada-Nya. Juga dengan wahyulah dapat diketahui bahwa yang patuh kepada Tuhan akan mendapat upah dan yang tidak patuh kepada-Nya akan mendapat hukuman.[13]
Al-Baghdadi mengatakan bahwa tidak ada kewajiban-kewajiban dan tidak ada pula larangan-larangan atas manusia sebelum datangnya wahyu. Meskipun akal dapat mengetahui Tuhan namun belum diwajibkan beriman kapada Tuhan sebelum turunnya wahyu. Orang beriman sebelum datangnya wahyu tidak berhak mendapatkan pahal, begitu pula dengan orang kafir tidak mesti pula mendapat hukuman oleh Tuhan, namun semua itu tergantung sama kemurahan dan kehendak Tuhan.[14] Al-Ghazali juga mengatakan bahwa akal tidak dapat membawa kewajiban-kewajiban kepada manusia, karena kewajiban-kewajiban hanya ditentukan oleh wahyu. Dengan demikian kewajiban mengetahui Tuhan dan kewajiban berbuat baik dan meninggalkan yang buruk hanya dapat diketahui melalui perantaraan wahyu.
Berbeda dengan Asy’ariah, Muturidiah Samarkand cenderung agak sepaham dengan Mu’tazilah. Mereka mengatakan bahwa wajib hukumnya beriman kepada Tuhan dan bersyukur (beribadah) kapada-Nya sebelum wahyu datang.[15] Menurut Al-Maturidiy bahwa yang tidak dapat diketahui akal adalah kewajiban melaksanakan yang baik dan menjauhi yang buruk. Abu ‘Uzbah juga mengutip pendapat Al-Maturidiy, anak yang sudah  balig atau berakal berkewajiban untuk mengetahui Tuhan.
Pemikiran Maturidiah golongan Bukhara sedikit berbeda dengan Samarkand. Golongan Bukhara berkeyakinan bahwa akal tidak mampun mengetahui kewajiban-kewajiban karena akal hanya mampu mengetahui sebab kewajiban (Tuhan). Akal meruakan alat untuk mengetahui kewajiban. Al-Bazdawiy mengatakan bahwa tidak ada kewajiban sebelum Rasulullah saw datang dan oleh karena itu iman kepada Tuhan tidak pula wajib kecuali setelah datang Rasulullah saw.[16]
Menyangkut persoalan kebaikan dan keburukan, Al-Maturidiy mengakui kemampuan akal mengetahui nilai kebaikan yang terdapat dalam perbuatan yang baik dan nilai buruk yang terdapat dalam perbuatan yang buruk. Meskipun demikian ia tidak menegaskan bahwa pengetahuan akal mengenai kewajiban berbuat kebaikan dan meninggalkan keburukan. Al-Bazdawiy mengatakan bahwa akal tidak menetapkan kebaikan dan keburukan malainkan hanya mengetahuinya, Tuhan lah yang menetapkan kebaikan dan keburukan itu.[17]
Dengan demikian, posisi Maturidiah sebebarnya terletak diantara Mu’tazilah dan Asy’ariah. Maturidiah tidak selamanya seendapat dengan Asy’ariah, tetapi juga tidak selalu sependapat dengan Mu’tazilah.
3.      Perbuatan Tuhan dan Perbuatan Manusia
Umat Islam meyakini bahwa alam ini adalah ciptaan dari Tuhan. Keyakinan ini merupakan suatu penjelmaan dari kedudukan manusia kepada Tuhan, bahwa tiada pencipta selain Allah swt. Pernyataan ini menunjukkan bahwa Tuhan Mahakuasa dan Mahakuasa dalam berkehendak dan melaksanakan perbuatan manusia. Namun disisi lain manusia juga mempunyai kehendak dan kemampuan untuk menentukan perbuatannya sendiri.
Perbedaaan tersebut menimbulkan pertentangan yang serius dikalangan pemikir kalam. Mazhab kalam Qadariah, Mu’tazilah dan Maturudiah Samarlkan misalnya berpendapat  bahwa manusialah yang berkehendak dan mewujudkan perbuatannya. Sebaliknya mazhab kalam Jabariah dan Asy’Ariah berkeyakinan bahwa Tuhanlah yang berkemampuan dalam berbuat dan menciptakan sesuatu, termasuk perbuatan manusia itu sendiri. Bagi Al-Maturidi, perbuatan manusia itu diciptakan oleh Tuhan. Namun ia membagi perbuatan manusia kedalam dua bagian yaitu pertama, perbuatan yang diciptakan oleh Tuhan dalam bentuk daya-daya dalam diri manusia. Kedua, perbuatan yang diciptakan oleh manusia adalah pemakaian daya-daya yang diciptakan Tuhan.[18]
Qadariah dan Mu’tazilah pada umumnya beralasan bahwa dalam perbuatan manusia itu terkadang ada dosa dan penganiayaan. Sementara sesuatu yang jahat itu tidak mungkin kita sandarkan sama Tuhan yang Maha suci dari kekurangan. Abd. Al-Jabbar mengatakan bahwa kalau ada orang yang mengatakan bahwa Tuhan terlibat dalam perbuatan manusia, hal itu adalah kesalahan besar karena keterikatan Tuhan dalam perbuatan manusia mengandung arti bahwa manusia tidak berkehendak dan berkemampuan. Namun bukan berarti Tuhan tidak mampu untuk melakukan perbuatan yang buruk. Tuhan tidak melakukan perbuatan yang buruk karena Tuhan mengetahui keburukan dari perbuatan buruk tersebut. Sebagaimana yang dijelaskan dalam Al-Qu’an: “Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanya”[19] dan “Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya, melainkan dengan (tujuan) yang benar”.[20]
Selanjutnya dalam hal perbuatan manusia, Qadariah dan Mu’tazilah mengatakan bahwa manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatannya atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat dan karena itu manusia berhak mendapatkan pahala dari perbuatan baiknya dan berhak pula mendapatkan hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya.[21] Mereka melandaskan pendapatnya dengan ayat Al-Qur’an: “…..barang siapa yang mau maka berimanlah ia dan barang siapa yang ingin kafir maka kafirlah ia”[22] dan “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, kecuali jika mereka yang mengubah nasib mereka sendiri”[23].
Pada dasarnya Al-Asy’ari ingin meneguhkan Kekuasaan dan Rahmat Tuhan, sebagaimana yang telah dipertahankan oleh ortodoksi. Bahwa setiap perbuatan manusia itu terjadi karena adanya kehendak dan ridha Tuhan baik perbuatan baik maupun perbuatan yang buruk.[24] Kalau kita melihat bahwa pendapat Al-Asy’ari ini sangat dipengaruhi oleh respon kaum ortodoks terhadap doktrin Mu’tazilah yang seolah-olah ingin membatasi Tuhan. Dan sesungguhnya ia tidak menyembunyikan fakta bahwa ia tidak ingin menyimpang dari ajaran Ahmad Ibnu Hambal.
Pandangan Asy’ariah, faham bahwa Tuhan berkewajiban berbuat baik dan terbaik bagi manusia, sebagaimana pandangan Mu’tazilah, tidaklah dapat diterima karena bertentangan dengan faham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Hal ini ditegaskan oleh Al-Ghazali ketika mengatakan bahwa Tuhan tidak berkewajiban berbuat baik dan terbaik bagi manusia.[25] Sementara dalam hal perbuatan manusia Al-Asy’ari, manusia ditempatkan pada posisi yang sangat lemah. Ia diibaratkan seperti anak kecil yang tidak memiliki pilihan dalam hidupnya.[26] Ia menyandarkan pendapatnya pada ayat: “Dan Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat”.[27]
Maturidiyah Bukhara sependapat dengan Asy’ariah dalam soal kekuasaan mutlak Tuhan dan soal tidak mesti Tuhan berbuat baik kepada makhluk-Nya. Berbeda dengan Samarkand yang sepaham dengan Mu’tazilah dalam hal kekuasaan Tuhan yang tidak absolut. Bagi Maturidiah Samarkand bahwa Tuhan mustahil berbuat sewenang-wenang terhadap makhluknya.[28] Sementara dalam hal perbuatan manusia Samarkand lebih dekat dengan paham Mu’tazilah, bahwa kehendak dan daya berbuat pada diri manusia, adalah daya dan kehendak manusia dalam arti yang sebenarnya, bukan dalam arti kiasan. Perbedaannya dengan Mu’tazilah, adalah bahwa daya unuk berbuat tidak diciptakan sebelumnya tetapi bersamaan dengan perbuatan. Oleh karena itu manusia dalam pandangan Al-Maturidi tidaklah sebebas manusia dalam pandangan Mu’tazilah.[29] Sementara golongan Bukhara berpandangan bahwa manusia tidak mempunyai daya unuk melakukan perbuatannya, hanya Tuhanlah yang dapat mencipta dan manusia hanya dapat melakukan perbuatan yang telah dicipakan oleh Tuhan bagi manusia.
Al-Maturidi, sebagaimana Al-Asy’ari mengatakan bahwa semua perbuatan manusia adalah dikehendaki oleh Tuhan. Namun pandangan ini berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Al-Asy’ari, ia berpendapat bahwa perbuatan-perbuatan yang jahat tidaklah diiringi oleh ridho Tuhan. Yang lebih penting lagi bahwa Maturidiah sementara menekankan kekuasaan Tuhan namun masih mengakui Effikasi (kekuatan) kehendak manusia. Namun dalam perkembangan selanjutnya, juga menyatakan dengan tegas kemerdekaan mutlak manusia dalam perbuatan-perbuatannya.[30]
4.      Kalamullah
Menurut faham Mu’tazilah bahwa kalam Allah itu baharu yang ada pada zat-Nya karena kalam Allah itu sendiri terdiri dari huruf, suara dan tulisan mushaf yang dapat di tiru bunyinya. Oleh karena itu sifat kalam seperti itu ialah yang baharu yang ada pada zat, maka kalam yang seperti itu dapat hilang (tidak kekal).[31] Mereka mengatakan Al-Qu’an tersusun dari bagian-bagian berupa ayat dan surah, ayat yang satu mendahului ayat yang lain dan surat yang satu mendahului surat yang lain pula. Dengan adanya sifat yang terdahulu dan sifat yang datang kemudian membuat sesuatu (Al-Qir’an) menjadi kekal atau qadim. Kaum Mu’tazilah menyandarkan pendapatnya pada sebuah ayat: “Kitab yang ayat-ayatnya dibuat sempurna dan kemudian diperinci”.[32]
An-Najjar seorang tokoh dari kalangan Jabariah mengatakan bahwa kalam Allah itu adalah makhluk, walaupun dalam beberapa hal ia berbeda pendapat dengan Mu’tazilah yang diantaranya: kalam Allah menurutnya bila dibaca maka ia menjadi sifat, apabila dituliskan ia menjadi huruf atau tubuh dan yang lebih aneh lagi An-Najjar mengatakan bahwa kalam Allah bukanlah zat dan bukan pula sifat dan setiap yang bukan zat dan sifat Allah adalah makhluk Allah. Namun demikian katanya siapa yang mengatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk maka ia kafir. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi saw: “Kalam Allah bukanlah makhluk”.[33]
Lain halnya dengan kaum Asy’ariah yang mengatakan bahwa kalam Tuhan adalah sifat dan sebagai sifat Tuhan mestilah kekal. Dan menurut mereka yang dimaksud dengan Al-Qur’an bukanlah apa yang tersusun dari huruf-huruf, kata-kata dan surat-surat, tapi makna abstrak. Dalam arti inilah Al-Qur’an menjadi kekal, dan dalam arti huruf, kata dan surat yang ditulis dan dibaca, Al-Qur’an bersifat baharu serta diciptakan dan bukan kalam Tuhan.[34] Untuk memperkuat pendapatnya kaum Asy’ariah mengambil beberapa ayat dari Al-Qur’an sebagai berikut: “Bukankah penciptaan dan perintah kepunyaan-Nya”[35] dan di ayat yang lain “Jika kami menghendaki sesuatu kami barkata: ‘Terjadilah’, maka jadilah”.[36]
Kaum Maturidiah sepaham dengan kaum Asy’ariah bahwa kala Tuhan itu kekal (qadim). [37] Al-Qur’an menurut al-Maturidi adalah sifat kekal dari Tuhan, satu, tidak terbagi dan tidak berbahasa Arab. Lebih jauh menurut al-Bazdawi bahwa apa yang tersusun dan disebut Al-Quran bukanlah kalam Tuhan, tetapi merupakan tanda dari sabda atau kalam Tuhan, ia disebut kalam Tuhan hanya dalam arti kiasan.
5.      Antropomorphisme
Bagi kaum Mu’tazilah yang senantiasa berpegang teguh pada kekuatan akal dan Tuhan bersifat immateri, dengan demikian Tuhan tidak memiliki sifat-sifat jasmani. Hal ini diungkapkan oleh salah seorang tokoh Mu;tazilah yaitu Abd al-Jabbar bahwa Tuhan tidak mempunyai badan materi oleh karena itu Tuhan juga pasti tidak mempunyai sifat-sifat materi pula.
Adapun ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang menggambarkan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani itu harus diberikan pemaknaan lain. Dengan demikian kata al-‘Arsy yang berarti tahta kerajaan misalnya diartikan sebagai kekuasaan, al-‘Ain, mata diartikan sebagai pengetahuan, al-Wajh, muka diartikan sebgai esensi dan al-yad, tangan diartikan sebagai kekuasaan. Mereka mengklaim bahwa manusia tidak bisa memahami makna yang sebenarnya dari sifat-sifat Tuhan seperti mendengar, melihat dan sebagainya karena sifat-sifat tersebut identik dengan esensi ketuhanan. [38]
Kaum Asy’ariah juga tidak menerima antropomorphisme[39] dalam artian bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani yang sama dengan sifat-sifat jasmani manusia. Sungguhpun demikian mereka tetap mengatakan bahwa Tuhan sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an yang mempunyai mata, wajah, tangan dan sebagainya, itu tidak sama dengan yang dimiliki oleh manusia. Mereka mengatakan bahwa kata-kata ini tidak boleh diberi makna lain.
Lebih lanjut kaum Asy’ariah mengatakan bahwa Tuhan mempunyai dua tangan, akan tetapi itu tidak boleh diartikan sebagai rahmat atau kekuasaan. Begitu pula dengan bahwa Tuhan itu hidup, memiliki tangan, mata, wajah dan sebagainya, akan tetapi keadaan Tuhan dan kehidupan-Nya sama sekali tidak sama dengan keadaan dan kehidupan manusia. Lebih lauh Asy’ariah mengatakan bahwa Tuhan memiliki mata, tangan, wajah dan sebagainya yang tidak dapat diberikan gambaran atau defenisi.
Dalam pandangan Asy’ariah bahwa manusia itu lemah dan akalnya tidak mampu memberikan pemaknaan atau intepretasi lebih jauh tentang sifat-sifat jasmaniah Tuhan yang tersebut dalam Al-Qur’an, sehingga meniadakan sifat-sifat jasmani Tuhan tersebut. Tetapi sebaliknya, sungguhpun akal manusia itu lemah, namun akal tidak bisa menerima bahwa Tuhan itu mempunyai anggota badan seperti yang dipahami oleh kaum antropomorphisme. Oleh karena itu Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani seperti yang disebut dalam Al-Qur’an, tetapi kita tidak ketahui bagaimana bentuknya (bila kayfa).[40]
Lain halnya pandangan kaum Maturiah golongan Bukharah yang dalam hal ini tidak sepakat dengan kaum Asy’ariah. Al-Bazdawi, salah seorang tokoh Maturidiah mengatakan bahwa tangan Tuhan adalah sifat dan bukan anggota badan Tuhan yaitu sifat sama dengan sifat-sifat Tuhan yang lain seperti pengetahuan, daya dan kemauan. Lain halnya dengan golongan Samarkan, mereka lebih sependapat dengan kaum Mu’tazilah.
6.      Melihat Tuhan di Akhirat
Kaum Asy’ariah berpendapat bahwa Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala  ketika di akhirat, dengan asumsi bahwa yang tidak dapat dilihat hanyalah yang tidak mempunyai wujud sementara yang mempunyai wujud mesti dapat dilihat. Oleh karena Tuhan memiliki wujud, maka Tuhan pun dapat dilihat. Sementara kaum Maturidiah sepaham dengan Asy’ariah yang berpendapat bahwa Tuhan dapat dilihat karena Tuhan memiliki wujud. Jadi Tuhan dapat dilihat sungguhpun Tuhan tidak terikat oleh ruang dan waktu.
Kaum Asy’ariah menyandarkan pendapatnya pada dalil Al-Qur’an yang berbunyi: “Wajah-wajah yang pada ketika itu  berseri-seri memandang kepada Tuhannya”.[41] Kata nazhirah dalam ayat ini tidak bisa berarti memikirkan karena akhirat bukanlah tempat berfikir dan juga bukan berarti menunggu karena wujuh yaitu muka atau wajah tidak dapat menunggu, maka yang menunggu yang dimaksud ayat ini adalah manusia. Maka kata niazhirah mesti diartikan melihat dengan mata.
Akan tetapi, kaum Mu’tazilah menyangkal kemungkinan mengenai penyaksian yang mendatangkan bahagia itu dengan alasan bahwa hal itu secara logis tidak mungkin. Sebab, hanya sesuatu yang ada dalam bentuk material atau mempunyai warna atau permukaan sajalah yang dapat dilihat oleh mata manusia. Mereka berpendapat bahwa karena Tuhan tidak mempunyai bentuk dan tidak pula mempunyai subtansi, dan Dia tidak berada dalam ruang dan waktu, maka persoalan ihwal melihat Dia tidak akan timbul.[42] Kemungkinan untuk melihat Tuhan ditolak oleh kaum Mutazilah berdasarkan argument-argumen yang rasional, meskipun penolakan semacam itu sama hal dengan menyangkal apa yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an yang berkaitan dengan hal itu.
Kaum Mu’tazilah menyadarkan pendapatnya pada ungkapan orang Arab yang berbunyi: “nazhartu ila al-hilali falam arahu” yang artinya “Aku memandang ke bulan tapi tak melihatnya” dan menurut Mu’tazilah bahwa kata nazhara tidak berarti raaitu atau ru’yah. Dan kata  nazhara itu bermakna memandang / menanti-nanti.[43]  

PENUTUP

Kesimpulan
Berdasarkan uraian dalam pembahasan makalah ini, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.      Iman dan Kufur, Khawarij  berpendapat bahwa semua orang yang terlibat dalam dan menerima tahkim adalah kafir karena telah melakukan dosa besar, sedangkan Murjiah berpandangan lain, bahwa orang yang menerima tahkim bukanlah kafir, mereka tetap mukmin karena mereka masih memiliki keyakinan terhadap Tuhan. Berbeda dengan Mu’tazilah yang berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa besar bukanlah kafir dan bukan pula mukmin tetapi fasiq. Sedangkan Asy’ariah mengatakan bahwa orang yang melakukan dosa besar bukanlah kafir tapi mukmin yang fasiq dan hukumannya itu tergantung kepada Tuhan.
2.      Akal dan Wahyu, Mu’tazilah memberikan penekanan yang besar pada akal dari pada wahyu dalam mengkaji pemikiran keagamaan, seperti mengetahui Tuhan, kewajiban mengetahui Tuhan berbuat baik dan buruk dan kewajiban berbuat baik dan menjauhi yang buruk, hal sama dengan apa yang di kemukakan oleh Maturidiah Samarkand cuman aliran ini tidak memasukkan kewajiban berbuat baik dan menjauhi yang buruk, karena itu hanya bisa deketahui melalui wahyu. Berbeda dengan Asy’ariah yang memberikan penekanan yang lebih besar kepada wahyu dari pada akal. Menurutnya akal hanya mampu mengetahui Tuhan, sedangkan kewajiban mengetahui Tuhan, mengetahui baik dan buruk dan kewajiban berbuat baik dan menjauhi yang buruk hanya dapat diketahui melalui wahyu karena akal tidak mampu mengetahuinya. Lain halnya dengan Maturidiah Bukhara, bahwa akal dan wahyu memiliki porsi yang sama, dengan akal manusia dapat mengetahui Tuhan dan mengetahui baik dan buruk, sedangkan dengan wahyu manusia dapat mengetahui kewajiban mengetahui Tuhan dan kewajiban mengejakan yang baik dan menjauhi yang buruk.
3.      Dalam hal perbuatan Tuhan, kaum Mu’tazilah dan Maturidiah Samarkand sependapat bahwa Tuhan mempunyai kewajiban terhadap manusia yang pada intinya kewajiban berbuat baik dan terbaik bagi manusia. Sedangkan kaum Asy’ariah dan Maturidiah Bukhara mengatakan bahwa Tuhan tidak memiliki kewajiban bagi manusia. Kemudian persoalan perbuatan manusia, kaum Qadariah dan Mu’tazilah, bahwa manusia memiliki kemampuan untuk berkehendak dan memilih perbuatannya. Sedangkan kaum Jabariah dan Asy’ariah, bahwa manusia tidak memiliki daya untuk memilih dan berbuat.
4.      Mengenai Kalamullah, Mu’tazilah memahami bahwa Kalamullah adalah makhluk, sedangkan Asya’ariah memahami bahwa Kalamullah itu qadim. Sementara Maturidiah Bukhara berpandangan lain bahwa apa yang tersusun dan disebu sebagai Al-Qur’an bukanlah Kalam Allah, tapi sebagai tanda dari Kalam Allah. Kalaupun disebut Kalamullah itu bukan arti yang hakiki tapi dalam arti kiasan.
5.      Antropomorphisme, bagi Mu’tazilah dan Maturidiah Samarkand, bahwa Tuhan bersifat immateri dan tidak memiliki sifat-sifat jasmani. Adapun mengenai ayat-ayat yang menujukkan sifat-sifat jasmaniah Tuhan itu harus diberi interpretasi lain. Sedangkan Asy’ariah dan Maturidiah Bukhara menolak pandangan bahwa Tuhan memiliki sifat-sifat jasmani yang sama dengan manusia, adapun ayat-ayat yang menujukkan sifat-sifat jasmaniah Tuhan, merekan meyakini akan hal itu namun tidak boleh diberikan interpertasi.
6.      Meliaht Tuhan di akhirat, bagi Mu’tazilah bahwa hal itu tidak mungkin, karena Tuhan bersifat immateri dan tidak mungkin dilihat dengan mata kepala. sedangkan Asy’ariah dan Maturidiah Samarkand dan Bukhara mengaakan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat.

DAFTAR PUSTAKA


Abu Zaid, Nashr Hamid, al-Ittihad al-‘Aqli fi al-Tafsir: Dirasah fi Qadhiyyah al-Majaz fi al-Qur’an ‘inda al-Mu’tazilah, diterjemahkan oleh Abdurrahman Kasdi dan Hamka Hasan dengan judul Menalar Firman Tuhan:Wacana Majaz dalam Al-Qur’an Menurut Mu’tazilah, Cet. I; Bandung Mizan, 2003.

Abu Zahra, Imam Muhammad, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah, diterjemahkan oleh Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qorib dengan judul Aliran Politik dan ‘Aqidah dalam Islam, Cet. I; Jakarta: Logos Publishing House, 1996.

Asy-yahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal diterjemahkan oleh Prof. Asywadie Syukur, LC, Surabaya: PT. Bina Ilmu, t.th.

Departemen Agama RI,  Al-Qur’an dan Terjemahannya.

Haq, Hamka, Dialog Pemikiran Islam (Tradisionalisme, Rasionalisme dan Empirisme dalam Teologi, Filsafat dan Ushul Fikih), Ujung Pandang: Yayasan AHKAM, 1995.

Imam al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Jilid 1. Dar al-Muthbi’, t.th.

Nasr, Sayyed Hossein, Ensiklopedi Spiritualitas Islam: Manifestasi, Cet. I; Bandung: Mizan, 2003.

Nasution, Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Cet. V; Jakarta: UI-Press, 2002.

Rahman, Fazlur, Islam, Cet. IV; Bandung: Pustaka, 2000.

Rusyd, Ibn, Tujuh Perdebatan Utama dalam Teologi Islam, Jakarta: Erlangga, 2006.

Rozak, Abdul, dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Cet. III; Bandung: CV. Pustaka Setia, 2007.



[1] Imam al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Jilid 1. Dar al-Muthbi’, t.th), h. 82.
[2] Ibn Rusyd, Tujuh Perdebatan Utama dalam Teologi Islam, (Jakarta: Erlangga, 2006), h. 41.
[3] Ibid., h. 42.
[4] Hamka Haq, Dialog Pemikiran Islam (Tradisionalisme, Rasionalisme dan Empirisme dalam Teologi, Filsafat dan Ushul Fikih), (Ujung Pandang: Yayasan AHKAM, 1995), h. 45.
[5] Harun Nsution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Cet. V; Jakarta: UI-Press, 2002), h. 148.
[6] Fazlur Rahman, Islam, (Cet. IV; Bandung: Pustaka, 2000), h. 120.
[7] Nashr Hamid Abu Zaid, al-Ittihad al-‘Aqli fi al-Tafsir: Dirasah fi Qadhiyyah al-Majaz fi al-Qur’an ‘inda al-Mu’tazilah, diterjemahkan oleh Abdurrahman Kasdi dan Hamka Hasan dengan judul Menalar Firman Tuhan:Wacana Majaz dalam Al-Qur’an Menurut Mu’tazilah,(Cet. I; Bandung Mizan, 2003), h. 71.
[8] Ibn Rusyd, Tujuh erdebatan, op. cit., h. 38.
[9]Asy-yahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal diterjemahkan oleh Prof. Asywadie Syukur, LC, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, t.th), h. 39.
[10] Hamka Haq, Dialog Pemikiran Islam, op. cit., h. 21.
[11] Fazlur Rahman, Islam, op. cit., h. 123-124.
[12] Harun Nasution, Teologi Islam, op. cit., h. 83.
[13] Asy-Syahrastani, Al-Milal, o. cit., h. 85.
[14] Harun Nasution, Teologi Islam, op. cit., h. 84.
[15] Ibn Rusyd, Tujuh Perdebatan, op. cit., h. 39
[16] Hamka Haq, Dialog Pemikiran Islam, op. cit., h. 23-24.
[17] Ibid.,
[18] Ibn Rusyd, Tujuh Persoalan, op. cit., h. 48.
[19] Q.S. Al-Anbiyaa (21): 21.
[20] Q.S. Al-Ruum (30): 8.
[21] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Cet. III; Bandung: CV. Pustaka Setia, 2007), h. 161.
[22] Q.S. Al-Kahfi (18): 29.
[23] Q.S. Al-Rad (13): 165.
[24] Fazlur Rahman, Islam, op. cit., h. 128.
[25] Abdul Rozak, Ilmu Kalam, op. cit., h 156.
[26] Ibid., h 165.
[27] Q.S. Al-Shaffat (37): 96.
[28] Hamka Haq, Dialog Pemikiran Islam, op. cit., h. 38.
[29] Abdul Rozak, Ilmu Kalam, op. cit., h 166.
[30] Ibid.,
[31] Asy-yahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal diterjemahkan oleh Prof. Asywadie Syukur, LC, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, t.th), h. 38.
[32] Q.S Hud (11): 1.
[33] Asy-yahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal op. cit., h. 74.
[34] Harun Nasution, op. cit., h. 144.
[35] Q. S Al-A’raf (7): 54.
[36] Q. S Al-Nahl (16): 40.
[37] Ibn Rusyd, op. cit., h. 36.
[38] Sayyed Hossein Nasr, Ensiklopedi Spiritualitas Islam: Manifestasi, (Cet. I; Bandung: Mizan, 2003), h. 511.
[39] Antropomorphisme adalah melekatkan sifat-sifat Tuhan manusia dengan sifa-sifat bentuk manusia. Kamus Ilmiah Populer, (Cet. I; Surabaya: Gitamedia Press, 2006), h. 38.
[40] Hamka Haq, Dialog, op. cit., h. 40.
[41] Q.S Al-Qiyamah (75): 22-23.
[42] Sayyed Hossein Nasr, Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam, (Cet. II; Bandung: Mizan, 2003), h. 207.
[43] Harun Nasution, Teologi Islam, op. cit., h. 141.

0 komentar:

HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html