Fatimiyah merupakan penguasa Syiah yang berkuasa di
berbagai wilayah di Maghrib, Mesir, dan Syam dari 909 hingga 1171. Negara ini dikuasai
oleh Syi'ah
Isma'iliyah. Fatimiyah berasal dari satu tempat yang kini dikenal sebagai Tunisia
(Afriqiya) yang didirikan
pada tahun 909
oleh Abdullah al-Mahdi. Namun
setelah penaklukan Mesir
sekitar 971,
ibukotanya dipindahkan ke Kairo. Dinasti ini terkadang disebut pula dengan dinasti
Ubaidillah, sesuai dengan nama pendiri dinasti.[1]
Pada masa Fatimiyah, Mesir menjadi pusat
kekuasaan yang mencakup Afrika Utara, Sisilia,
pesisir Laut Merah
Afrika,
Maroko,
Aljazair,
Libya,
Palestina,
Suriah,
Yaman
dan Hijaz.
Di masa Fatimiyah, Mesir berkembang menjadi pusat perdagangan luas di Laut Tengah
dan Samudera Hindia yang menentukan jalannya
ekonomi Mesir selama abad pertengahan
akhir yang saat itu dialami Eropa.[2]
Pada 1040-an,
Ziriyah (gubernur Afrika
Utara di masa Fatimiyah) mendeklarasikan kemerdekaannya dari Fatimiyah dan
berpindahnya mereka ke Islam Sunni, yang menimbulkan serangan Banu Hilal yang menghancurkan.
Setelah 1070,
Fatimiyah mengendalikan pesisir Syam dan bagian Suriah terkena serangan bangsa Turki, kemudian Pasukan Salib, sehingga
wilayah Fatimiyah menyempit sampai hanya meliputi Mesir. Setelah terjadi
pembusukan sistem politik Fatimiyah pada 1160-an,
penguasa Zengid Nur ad-Din
memerintahkan jenderalnya, Salahuddin al-Ayyubi,
menaklukkan Mesir pada 1169
membentuk dinasti Ayyubi Sunni.[4]
Bagimanapun juga, dinasti
Fatimiyah merupakan salah satu warna dari perjalanan dinamika umat Islam di
Mesir. Dalam rentang beberapa periode, dinasti ini telah mengukirkan nama
harumnya bagi kemajuan dan kebesaran serta kejayaan Islam. Meskipun kedinastian
ini menganut aliran Syi’ah Ismailiyah, tapi toh masih dalam bingkai Islam. Oleh
karena itu, peran dan sumbangannya bagi kebesaran nama Islam harus tetap
dijunjung tinggi dan dihargai.
A.
Sejarah
munculnya Dinasti Fatimiyah
Mengungkap tentang sejarah
munculnya dinasti Fatimiyah yang beraliran Syi’ah Isma’iliyah, tidak akan
terlepas dari gerakan-gerakan Syi’ah yang muncul sebelumnya.[5]
Gerakan Syi’ah Isma’iliyah ini muncul sejak berdirinya pemerintahan Abbasiyah
dengan menggunakan dua model gerakan:
- Gerakan militan (sembunyi-sembunyi)Gerakan militan ini dipelopori oleh Abdullah ibn Syi’i[6] dengan berusaha mendekati jama’ah haji yang berasal dari Tunisia, khususnya suku Kitamah dan berusaha memasukkan propaganda ajaran Isma’iliyah. Dia kemudian berhasil mempengaruhi para jama’ah haji tersebut sehingga dia ikut pulang ke Tunisia.
- Gerakan frontal (terang-terangan)Sukses gemilang yang diraih oleh Abdullah al-Syi’i di wilayah Tunisia, mendorongnya melakukan perlawanan terhadap dinasti Aghlabiah. Kemudian pada tahun 909 M., dia memproklamirkan Sa’id ibn al-Husain sebagai khalifah dengan gelar al-imam Ubaidillah al-Mahdi dengan Raqadah[7] sebagai pusat ibu kota.[8]
Dengan demikian, Dinasti Fatimiyah
berdiri di Tunisia (Afrika Utara) pada tahun 909 M dibawah pimpin Sa’id ibn
al-Husain setelah mengalahkan dinasti Aghlabiah di Sijilmasa.[9]
Terbentuknya dinasti Fatimiyah pada saat itu menyebabkan Islam di bawah 3
penguasa yaitu: khalifah Abbasiyah di Bagdad, khalifah Umayyah di Cordova dan
khalifah Fatimiyah di al-Mahdiah.[10]
Selama berkuasa dari tahun 909 M.
hingga tahun 934 M, Ubaidillah membuktikan dirinya sebagai penguasa yang mampu
dan berbakat. Dua tahun pasca menjadi penguasa tertinggi, dia membunuh panglima
dakwahnya yaitu Abdullah al-Syi’i. Setelah itu, dia memperluas kekuasannya
sampai hampir meliputi seluruh wilayah Afrika, mulai dari Maroko yang dikuasai
Idrisiyah hingga perbatasan Mesir. Pada tahun 914, dia berhasil menguasai
Iskandariyah, dua tahun berikutnya Delta berada dalam kekuasaannya. Kemudian
dia mengirimkan seorang gubernur Baru dari suku Kitamah ke Sisilia dan menjalin
pertemanan dengan pemberontak Ibn Hafshun di Spanyol. Malta, Sardinia, Corsica,
Balearic dan pulau-pulau lainnya pernah merasakan kedahsyatan armada yang
diwarisi dari dinasti Aghlabiah.[11]
Pasca wafatnya Ubaidillah,
pemerintahan diambil alih oleh puteranya yaitu Abu al-Qasim Muhammad al-Qaim[12]
yang berkuasa dari tahun 934 M. hingga 946
M. kebijakannya lebih difokuskan pada upaya penyerbuan dan perluasan
wilayah kekuasaan. Oleh karena itu, pada tahun 935, dia mengirim armada untuk
menyerbu pantai utara Prancis, menguasai Genoa dan sepanjang pesisir Calabria
dan berusaha menaklukkan Mesir akan tetapi tidak berhasil.[13]
Kemudian dilanjutkan oleh puteranya al-Manshur pada tahun 946-952 M.
Penaklukkan Mesir berhasil
dilakukan oleh cucu al-Qaim yaitu Abu Tamim Ma’ad al-Mu’iz yang berkuasa pada
tahun 952-975 M.[14]
Penyerbuan ke Mesir itu dilakukan dengan dalih untuk melindungi kaum Syi’ah
yang di sana[15] dengan
mengirimkan seorang panglima Jendaral Jawhar al-S}iqilli> berkebangsaan
Sisilia atau Yunani, sekaligus untuk merebut kekuasaan dari tangan gubernur
Abbasiyah Abu> al-Khawa>rij pada tahun 969 M.[16]
Sejak kemenangannya atas ibu kota
Fusthat[17]
pada tahun 969, Jawhar kemudian mendirikan Masjid Agung al-Azhar yang
dikemudian hari berkembang menjadi universitas dan membuat markas baru dengan
nama al-Qahirah. Sejak 973 M., kota ini kemudian menjadi pusat kota dinasti
Fatimiyah. Pada tahun yang sama (969 M.), setelah merasa kedudukannya di Mesir
kokoh, Jawhar melirik negara tetangganya Suriah dan berhasil menaklukkan kota
Damaskus.
Untuk
mengetahui sekilas tentang dinasti Fatimiyah, berikut adalah para khalifah dinasti Fatimiyah:
- Khalifah Ubaidilah Al-Mahdi (909-934), pendiri Dinasti Fatimiyah.
- Abdul al-Qasim Muhammad al-Qa'im bi Amr Allah bin al-Mahdi Ubaidillah (934-946).
- Isma'il al-Mansur bi-llah (946-952).
- Abu Tamim Ma'add al-Mu'iz li-Din Allah (952 M - 975) M. Mesir ditaklukkan semasa pemerintahannya.
- Abu Mansur Nizar al-'Aziz bi-llah (975 M - 996 M).
- Abu 'Ali al-Mansur al-Hakim bi-Amr Allah (996M - 1021 M).
- Abu'l-Hasan 'Ali al-Zahir li-I'zaz Din Allah (1021 M - 1036 M).
- Abu Tamim Ma'add al-Mustanshir bi-llah (1036 M - 1094 M).
- Al-Musta'li bi-Allah (1094 M-1101 M). Pertikaian atas suksesinya menimbulkan perpecahan Nizari.
- Al-Amir bi Ahkam Allah (1101 M - 1130 M). Penguasa Fatimiyah di Mesir setelah tak diakui sebagai Imam oleh tokoh Ismailiyah Mustaali Taiyabi.
- Abd al-Majid (1130 M - 1149 M).
- Al-Wafir (1149 M - 1154 M).
- Al-Fa'iz (1154 M - 1160 M).
- Al-'Adid (1160 M - 1171 M). Setelah jatuhnya Al-`Adid, kekuasaan Dinasti Fatimiyah selama 200 tahun lebih berakhir.[18]
B.
Kejayaan Dinasti
Fatimiyah
Kejayaan dinasti Fatimiyah dimulai
saat al-Muiz pindah dari ibu kota al-Mahdiyah ke al-Qahirah (Kairo). Dan
puncak kejayaannya dicapai pada masa pemerintahan Abu al-Manshur Nizar al-Aziz
(975-996) di mana kerajaan diliputi dengan kedamaian dan nama al-Aziz
diagungkan dalam setiap khutbah jum’at sepanjang wilayah kekuasaannya.[19]
Al-Aziz berhasil menempatkan
dinasti Fatimiyah sebagai negara Islam terbesar di kawasan Mediterania Timur,
bahkan berhasil menenggelamkan famor penguasa Bagdad. Al-Aziz rela menghabiskan
dua juta dinar untuk membangun istana yang tidak kalah megah dari istana
Abbasiyah, Al-Aziz menjadi penguasa Fatimiyah yang bijaksana dan paling murah
hati.[20]
Salah satu bukti kemakmuran dan
kejayaan dinasti Fatimiyah adalah pekerja istana kerajaan pada saat itu
berjumlah 12.000 orang pelayan, 10.000 pengurus kuda dan 8.000 pengurus yang
lain. Kedamaian pada saat itu tergambar dengan tidak terkuncinya toko perhiasan
dan toko money changer . bahkan khalifah al-Aziz memiliki 20.000 rumah
di ibu kota yang dibangun menggunakan batu bata dengan ketinggian lima atau
enam lantai.[21]
Untuk melihat dan mengukur
kejayaan dinasti Fatimiyah yang telah berkuasa selama 262 tahun, berikut adalah
beberapa kontribusi mereka terhadap dunia Islam secara khusus dan seluruh dunia
secara umum:
a. Agama
Dalam bidang agama, dinasti Fatimiyah memberlakukan ajaran-ajaran
Syiah dengan menganggap bahwa para imam itu bersih dari dosa dan kesalahan,
memberikan toleransi yang tak terbatas kepada umat Kristen yang tidak pernah
dirasakan oleh mereka sebelumnya.[22]
b. Pendidikan
Pada masa khalifah al-Aziz
(976-996 M.), masjid al-Azhar ditingkatkan fungsinya dari tempat ibadah semata
menjadi universitas. Dan pada masa khalifah al-Hakim bi Amrillah (996-1021 M.),
didirikanlah sebuah akademi yang diberi nama dar al-hikmah[23]
(kampung kebijaksanaan) yang sederajat dengan lembaga-lembaga ilmu
pengetahuan di Cordova, Baghdad dan lain-lain.
Di samping itu, dinasti Fatimiyah juga mendirikan
observatorium di bukit al-Mukattam untuk mempelajari astronomi, astrologi,
kedokteran, kimia dan sejenisnya.[24]
Ilmuan-ilmuan yang terkenal pada masa itu antara lain Ali ibn Yunus, salah
seorang astronom yang memperbaharui kalender, Abu Ali al-Hasan ibn al-Hasyim
yang telah menulis 100 buah buku dimana salah satu karya monumentalnya adalah al-Manaz|i r.[25]
c. Politik
Sistem pemerintahan Fatimiyah bernadakan teokrasi karena
menganggap jabatan khalifah ditentukan oleh nash atau wasiat Nabi kepada Ali di
Gadir Khummah. Hal itu diperkuat dengan penamaan-penamaan khalifahnya seperti
al-Muiz lidillah, al-Mustansir billah dll. Namun jika melihat bahwa khalifah merupakan
penunjukkan langsung maka disebut juga monarki bahkan bisa disebut monarki
absolut.[26]
Khalifah kemudian membawahi beberapa menteri yang direkrut dari orang yang
mampu dan memiliki kecakapan tanpa memandang sekte, suku bahkan agama.
d. Militer
Peninggalan dinasti Fatimiyah dalam peradaban Islam
keberadaan tentara bayaran sebagai penopang utama sebuah pemerintahan. Hal itu
terjadi karena dinasti Fatimiyah penganut Syiah Ismailiyah yang pada saat itu
merupakan kelompok minoritas. Tentara bayaran tersebut direkrut dari resimen
kulit hitam atau Zawila yang dibeli dari pasar budak di Afrika dan dari orang
Eropa Sakalaba atau yang kerap dipanggil dengan sebutan Bangsa Slav yang
menjadi bangsa termiskin di Eropa Timur.[27]
e. Ekonomi
Untuk meningkatkan ekonomi, dinasti Fatimiyah membuat jalan
terusan, jembatan sebagai lintas hasil pertanian agar pendapatan negara dari sektor pajak bisa ditingkatkan, menambah
aturan baru tentang perindustrian dengan membatasi para industriawan dari hidup
bermewah-mewahan. Satuan uang di Mesir digunakan dinar dengan kurs dirham yang
ditentukan. Hal itu dilakukan untuk melindungi para pedagang kecil dari
kesewenang-wenangan pedagang besar yang menggunakan dinar sebagai kurs.[28]
Sementara pendapatan Negara diperoleh dari pertanian,
perdagangan dan bea cukai karena Mesir pada saat menjadi jalur penghubung
antara Afrika Asia dan Eropa dan menjadi tempat pertukaran berbagai komoditas
antara Eropa dan Asia.[29]
f. Kebudayaan dan Peradaban
Salah satu warisan dinasti Fatimiyah yang eksis hingga saat
ini adalah kota Cairo[30]
yang dibangun oleh Panglima Jawhar al-Katib As-Siqilli pada tahun 969. Pada
tahun 975-1075 M, Fustat merupakan ibu kota Mesir dan menjadi pusat produksi
keramik dan karya seni Islami - sekaligus salah satu kota terkaya di dunia.
Ketika Dinasti Umayyah digulingkan dinasti Abbasiyah pada 750 M, pusat
pemerintahan Islam di Mesir dipindahkan ke Al-Askar - basis pendukung Abbasiyah
dan bertahan hingga tahun 868 M.[31
g.
Seni
Periode
Fatimiyah juga dikenal dengan keindahan produk tekstilnya, sedangkan produk
tenunan yang berkembang saat itu produk khas bangsa yang bergaya koptik Mesir,
kemudian dipengaruhi oleh gaya Iran dan Sasaniyah, seni keramik mengikuti
pola-pola Iran dan seni penjilidan buku yang begitu indah dan menjadi
penjilidan paling pertama dalam dunia Islam.[32]
h. Arsitektur
Salah satu bukti yang paling kuat
adalah berdirinya Masjid al-Azhar[33]
yang dibangun oleh Jendral Jawhar pada 972 M.[34]
Gaya arsitektur masjid al-Azhar merupakan penggabungan gaya masjid Ibnu Tulun
di Mesir dan gaya Persia dengan menara yang menjadi ciri khas Irak Utara.
C.
Kemunduran
Dinasti Fatimiyah
Setelah hampir 50 tahun menapaki sejarah keemasannya sejak masa pemerintahan
Al-Mu’iz, dinasti ini mulai menurun setelah berakhirnya masa pemerintahan Al-Aziz.
Tindakan-tindakan kejam dari al-Hakim (996-1021) yang sangat belia (11 tahun)
menjadi titik awal kegoncangan dalam dinasti Fatimiyah. Toleransi yang
dijunjung sebelumnya dinafikan oleh al-Hakim, aturan-aturan yang merugikan
non-Islam diberlakukan sehingga mulailah timbul ketidaksenangan. Namun pada
saat al-Zhahir (1021-1035) naik tahta, dia membangun kembali kuburan suci sehingga
namanya disebutkan di Masjid-masjid kekuasaan Konstantin VIII.[35]
Pada masa pemerintahan al-Mustanshir (1035-1094), penguasa terlama dalam
dunia Islam yang diangkat pada usia 11 tahun, wilayah yang berada di bawah
kekuasaan Fatimiyah mulai melepaskan diri seperti Suriah, Palestina dan
kota-kota di Afrika. Banu Saljuk dari Turki membayang-bayangi kekuasaannya,
Banu Hilal dan Banu Sulaim dari Nejed memberontak dan bangsa Normandia
meronrong di pedalaman Afrika.[36]
Pasca al-Mustanshir, dinasti Fatimiyah terus-menerus dirundung pertikaian,
baik eksternal maupun internal, kehidupan masyarakat yang sangat sulit, sumber
kehidupan tinggal aliran sunagi Nil, kelaparan dan wabah penyakit yang sering
terjadi, akhirnya berimplikasi pada pajak yang tinggi dan pemerasan. Puncaknya
terjadi pada saat terjadi perang salib dan Shalahuddin al-Ayyubi merebut dinasti tersebut. Dia tidak
lagi mengangkat khalifah dari Fatimiyah, tapi menjadikan wilayah Mesir kembali
sebagai bagian dari wilayah kekuasaan Abbasiyah Baghdad dengan status keamiran.
Adapun dinasti keamirannya kemudian dikenal dengan dinasti al-Ayyubiyah.[37]
Ada beberapa faktor yang menjadi penyebabnya. Antara lain:
- Perilaku al-Hakim (pengganti al-Aziz) yang kejam menjadi awal kemunduran dinasti Fatimiyah. Al-Hakim membunuh beberapa wazir, menghancurkan beberapa gereja, menghancurkan kuburan suci umat Kristen (1009 M.), menetapkan aturan ketat terhadap non-Islam dengan menjadikan Islam eksklusif dari agama lain seperti pakaian dan identitas agama.[38]
- Konflik internal antar para elitnya yang cukup dahsyat dan berkepanjangan. Koflik internal dalam pemerintahan Fatimiyah muncul dikarenakan hampir semua khalifahnya, setelah wafatnya Al-Aziz, naik tahta ketika masih dalam usia sangat mudah bahkan kanak-kanak, misalnya, Al-Hakim naik tahta pada usia 11 tahun, al-Zhahir berusia 16 tahun, Al-Mustansir naik tahta usia 11 tahun, Al-Amir usia 5 tahun, Al-Faiz usia 4 tahun, dan Al-Adid usia 9 tahun. Akhirnya, jabatan wazir yang mulai dibentuk pada masa khalifah Al-Aziz bertindak sebagai pelaksana pemerintahan. Kedudukan al-wazir menjadi begitu penting, berpengaruh dan menjadi ajang perebutan serta ladang konflik.[39]
- Keberadaan tiga bangsa besar yang sama-sama mempunyai pengaruh dan menjadi pendukung utama kekuasaan Fatimiyah, yaitu bangsa Arab, bangsa Barbar dari Afrika Utara dan bangsa Turki. Di saat khalifah mempunyai pengaruh kuat, ketiga bangsa itu dapat diintegrasikan menjadi kekuatan yang dahsyat. Akan tetapi, ketika khalifahnya lemah, maka konflik ketiga bangsa itupun menjadi dahsyat untuk saling berebut pengaruh dan kekuasaan. Kondisi terakhir itulah yang terjadi pasca berakhirnya masa pemerintahan Al-Aziz.[40
- Faktor eksternal juga ikut mempercepat kehancuran dinasti Fatimiyah seperti ronrongan bangsa Normandia, Banu Saljuk dari Turki dan Banu Hilal dan Banu Sulaim dari Nejed yang menguasai sedikit demi sedikit terhadap wilayah kekuasan Fatimiyah.[41]
- Realita bahwa meski dinasti Fatimiyah telah berkuasa di Mesir hampir 200 tahun, ternyata secara ideologis belum berhasil membumikan doktrin ideologi Syi’ah Ismailiyah. Masyarakat Muslim di Mesir teryata masih tetap setia kepada ideologi Sunni. Oleh karena itu, ketika dinasti Fatimiyah berada di ambang kehancurannya, masyarakat Muslim Mesir bukannya berusaha membantu, tapi justru berusaha mempercepat kehancurannya.[42]
- Pukulan menentukan dari kehancuran Fatimiyah terjadi pada masa pemerintahan khalifah Al-Adid Lidinillah. Pada saat itu, wilayah kekuasaan dinasti Fatimiyah menjadi ajang perebutan antara Nuruddin Zinki sebagai wakil dinasti Abbasiyah yang ada di Syiria dan pasukan Salib yang ada di Yerusalem pimpinan Raja Almeric. Pada tahun 1169 M, pasukan Nuruddin Zinki yang dipimpin panglima besar Shalahuddin al-Ayyubi dapat mengusir pasukan Salib dari Mesir dan menaklukkan kekuasaan wazir dari khalifah al-‘Adid. Setelah khalifah al-‘Adid wafat pada tahun 1171.[43]
Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan-pemaparan
sebelumnya dalam pembahasan, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
- Sejarah kemunculan dinasti Fatimiyah tidak terlepas dari gerakan-gerakan militan dan prontal yang dilakukan oleh Syi’ah Ismailiyah yang dipimpin oleh Abdullah ibn Syi’i dengan terampil dan terorganisir. Pada tahun 909, gerakan tersebut berhasil mendirikan dinasti Fatimiyah di Tunisia (Afrika Utara) dibawah pimpinan Sa’id ibn al-Husain setelah mengalahkan dinasti Aghlabiah di Sijilmasa. Dinasti Fatimiyah merasakan tiga ibu kota yaitu Raqadah, al-Mahdiyah dan Kairo dibawah 14 khalifah selama 262 tahun yaitu sejak tahun 909 hingga 1171.
- Kejayaan dinasti Fatimiyah dimulai sejak pindahnya pemerintahan dari Abu Tamim Ma'add al-Mu'iz li-Din Allah (952 M - 975) M. dan mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Abu al-Manshur Nizar al-Aziz (975-996). Kejayaan itu dapat dilihat dalam bidang agama dengan toleransi yang tinggi, pendidikan dengan pembangunan universitas dan perpustakaan, politik dengan system teokrasi dan monarki akan tetapi demokrasi di bawah level khalifah, militer dengan pasukan bayaran, ekonomi dengan infrastruktur, aturan yang adil dan menjadi jalur internasional, kebudayaan dan peradaban dengan kota Kairo sebagai bukti, arsitektur dengan masjid al-Azhar dan kesenian dengan produk tekstil, tenunan, keramik dan penjilidan.
- Kemunduran dinasti Fatimiyah dimulai dari masa pemerintahan al-Hakim ((996-1021) yang membuat kebijakan kontroversial dalam bidang agama dan terus merosot pasca pemerintahan al-Zhahir ((1021-1035) dan musnah pada masa al-Adid (1160 M - 1171 M), kemunduran itu karena faktor eksternal berupa rongrongan dari penguasa luar dan rongrongan internal, perilaku al-Hakim yang kontroversi, khalifah yang masih belia, dan ajaran Syi’ah Ismailiyah yang belum sepenuhnya diterima masyarakat Mesir yang ditandai dengan kembalinya masyarakat Mesir ke ajaran sunnah bersamaan ketika Shalahuddin al-Ayyubi bersama pasukannya mengendalikan Mesir setelah mengalahkan pasukan salib.
DAFTAR PUSTAKA
Adawi, Ibrahim Ahmad. Tarikh
al-‘Alam al-Islmi. Diktat al-Ma’had al-Dirasah al-Islamiyah, 1998 M.
Al-Dimasyqi, Abu al-Fada’ Isma’il ibn
Kasir. al-Bidayah wa al-Nihayah. Cet. I; Bairut: Dar Ih}ya al-Turas
al-‘Arabi, 1408 H./1988 M.
Hitti, Philip K. History of the
Arabs; From the Earliest Times to the Present. diter. R. Cecep Lukman Yasin
dkk, History of the Arabs. Cet. I; Jakarta: Serambi Ilmu Semesta IKAPI,
1429 H./2008 M.
Karim, M. Abdul. Sejarah Pemikiran
dan Peradaban Islam. (Cet. I; Yogyakarta; Pustaka Book Publisher, 2007 M.).
Newsroom, Republika. al-Azhar,
Simbol Intelektual Islam Sepanjang Masa. http://www.republikaonline.com. (10-12-2010
M.).
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban
Islam II. Cet.II; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994.
Zuhra, Farah. Ilmu
Militer Dalam Peradaban Islam. http://www.gaulislam.com, (10-12-2010 M.).
Fote Note
Fote Note
[1]Ramadhani
Pratama Guna, Cairo, Kota Peradaban, http://www.kebunhikmah.com,
(10-12-2010 M.).
[2]Republika
Newsroom, al-Azhar, Simbol Intelektual Islam Sepanjang Masa, http://www.republikaonline.com,
(10-12-2010 M.).
[3]M. Abdul
Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Cet. I; Yogyakarta;
Pustaka Book Publisher, 2007 M.), h. 191.
[4]Wikipedia,
Kekhalifahan Fatimiyah, http://www.wikipedia.com, (10-12-2010 M.).
[5]Sebenarnya, sekte Syi’ah sudah lama
mendambakan dan mencita-citakan berdirinya kekhalifahan yaitu sejak memudarnya
kekhalifahan Ali ibn Abi Thalib di Kufah, namun mereka selalu mendapatkan
tekanan politik dari dinasti umayyah dan Abbasiyah sehingga salah satu cara
yang dilakukannya adalah taqiyah, yaitu taat kepada penguasa secara
lahiriyah akan tetapi menyusun kekuatan secara diam-diam. Lihat: M. Abdul
Karim, op.cit., h. 190.
[6]Ia adalah seorang penduduk asli San’a
Yaman yang menjelang awal abad ke-9 memproklamirkan diri sebagai pelopor paham al-mahdi
dan menyebarkan hasutannya dalam suku Berber di Afrika Utara.
[7]Raqadah
terletak 10 mil dari wilayah qairawan Tunisia (Afrika Utara).
[8]Namun
karena Raqadah terlalu dekat dari kota pusat Sunni yaitu qairawan, maka pusat
pemerintahan dipindahkan ke al-Mahdiyah, sekitar 16 mil arah tenggara Raqadah
pada tahun 915. Lihat: Ibrahim Ahmad Adawi, Tarikh al-‘Alam al-Islami, (Diktat
al-Ma’had al-Dirasah al-Islamiyah, 1998 M.) h. 259.
[9]Dinasti
Aghlabiah berdiri pada masa pemerintahan Khalifah Harun al-Rasyid ketika dia
mengangkat Ibrahim ibn al-Aghlab sebagai penguasa Ifriqiyah (Tunisia)
pada tahun 800 M secara independen dengan gelar ami>r. untuk
membendung kekuatan luar yang ingin melemahkan dinasti Abbasiyah, terutama dinasti
Rustamiah (khawarij) dan Idrisiah. Kemudian pada tahun 909 M. Dinasti Aghlabiah
yang dipimpin oleh Ziadatullah al-Aghlabiah III dilenyapkan oleh dinasti
Fatimiah. Lihat: M. Abdul Karim, op.cit., h. 189.
[10]Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam II, (Cet.II; Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 1994), h. 76. Al-Mahdiyah adalah nama yang diambil dari penguasa pada
saat itu yaitu Ubaidillah al-Mahdi, Lihat: Ibrahim Ahmad Adawi, op.cit., h.
259.
[11]Philip
K. Hitti, History of the Arabs; From the Earliest Times to the Present, diter.
R. Cecep Lukman Yasin dkk, History of the Arabs, (Cet. I; Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta IKAPI, 1429 H./2008 M.) h. 789.
[12]Dia
diberi gelar dengan nama al-Qaim bi amri Allah. Lihat: Abu al-Fada’ Isma’il
ibn Kasir al-Dimasyqi, al-Bidayah wa al-Nihayah, (Cet. I; Bairut:
Da>r Ih}ya> al-Tura>s| al-‘Arabi>, 1408 H./1988 M.) Jilid 11 h.
203.
[13]Ibid,
Jilid 11 h. 203.
[14]Keberhasilan
itu tidak lepas dari kondisi Mesir yang penduduknya dapat menerima berbagai
aliran mazhab dan makmur.
[15]Perlindungan
itu diberikan karena terjadi sengketa pelaksanaan upaca keagamaan ‘id
al-gadir.
[16]M. Abdul
Karim, op.cit., h. 192.
[17]Fusthat
adalah Ibu kota Mesir sejak tahun 639-969 M. dibawah dinasti Abbasiyah.
[18]Wikipedia,
Bani Fatimiyah, http://www.wikipedia.com
(10-12-2010 M.)..
[19]Philip
K. Hitti, op.cit., h. 791.
[20]Ibid,
h. 791.
[21]Ibid,
798.
[22]Hal itu
dilakukan oleh al-Aziz karena pengaruh dari wazirnya yang beragama Kristen Isa
ibn Natshur dan istri al-Aziz yang berasal dari Rusia. Lihat: Philip K. Hitti, History of the Arabs, op.cit., h.
791.
[23]Nama ini
terkait dengan pusat studi ilmu pengetahuan di Bagdad pada masa khalifah
al-Makmun dari dinasti Abbasiyah.
[24]M Abdul
Karim, op.cit., h. 201.
[25]Ibid,
h. 202.
[26]Ibid,
h. 194.
[27]Farah Zuhra, Ilmu Militer Dalam Peradaban
Islam, http://www.gaulislam.com, (10-12-2010
M.).
[28]M Abdul
Karim, op.cit., h. 199-200.
[29]Ibid,
h. 200.
[30]Al-Qahirah
atau Kairo yang berarti penaklukan atau kejayaan.
[31]Ramadhani Pratama Guna, Cairo, Kota Peradaban, www.kebunhikmah.com, (10-12-2010 M.).
[32]Philip
K. Hitti, op.cit., h. 806.
[33]Nama
Al-Azhar terinspirasi dari kata Zahra yang diambil dari nama belakang Sayidah
Fatimah Al-Zahra putri Nabi Muhammad saw, sebagai sebuah penghormatan
kepadanya. Lihat: Republika Newsroom, al-Azhar: Simbol Intelektual Islam
Sepanjang Zaman, http://www.Republikaonline.com, (10-12-2010
M.).
[34]M. Abdul
Karim, op.cit., h. 202.
[35] Philip
K. Hitti, op.cit., h. 792.
[36]Ibid,
h. 796.
[37]Ibid,
h. 796.
[38]Philip
K. Hitti, op.cit., h. 792.
[39]Philip
K. Hitti, op.cit., h. 792.
[40]Anggota
Pondok Baca, Dinasti Fatimiyah, http://www.blogger.com, (10-12-2010 M.).
[41]Philip
K. Hitti, op.cit., h. 794.
[42]Anggota
Pondok Baca, Dinasti Fatimiyah, http://www.blogger.com, (10-12-2010 M.).
[43]Philip
K. Hitti, op.cit., h. 796.
1 komentar:
Alkhmdulillah
Membuka & menambah cakrawala ilmu sejarah islam
Post a Comment