Berangkat dari sejarah masuknya Islam di Indonesia yang mempunyai tiga konsep pengertian tentang masuknya Islam di suatu daerah, yang bersangkut paut dengan keadaan umum pada zaman itu yakni hubungan perdagangan antar daerah dan hubungan sosio-politik dalam kerajaan-kerajaan feodal yang telah ada di daerah tersebut.
Konsep masuknya Islam di suatu daerah, dapat mengandung tiga pengertian yaitu:
- Hadirnya atau datangnya orang yang beragama Islam di daerah tersebut.
- Adanya penduduk Asli yang memeluk atau menerima agama Islam.
- Agama Islam Dijadikan Agama Resmi Kerajaan kemudian disusul oleh proses Islamisasi.
Penyebaran agama Islam dalam pengertian masuk untuk pertama kali seseorang beragama Islam masuk ke daerah itu dengan melalui sarana perdagangan. Pedagang-pedagang yang sudah beragama Islam mendatangi pelabuhan-pelabuhan dan kota-kota perdagangan yang terpenting untuk berdagang, dengan sendirnya telah membawa pula agama mereka ke daerah-daerah yang belum di Islamkan, maka demikian pengaruh Islam mulai masuk ke daerah itu.[1]
Dalam pengertian penerimaan Islam untuk pertama kalinya oleh suatu kerajaan, mula-mula seorang raja memeluk Islam dan memeluk agama Islam dan menyatakan bahwa Islam sebagai agama resmi kerajaan.
Kerajaan yang telah menerima Islam itu menjadi pusat pengislaman kepada daerah-daerah sekitarnya, dengan memanfaatkan pengaruh dan kekuasaan politik untuk meng-Islamkan daerah yang ada di sekitarnya.
Kerajaan Gowa dan Tallo menerima Islam sekaligus menjadi pusat penyebaran Islam di Sulawesi-Selatan, yang pertama dilakukannya adalah mengirim utusan dan menyerukan kepada raja-raja yang lain agar mereka menerima Islam sebagai agamanya. Berdasarkan pada perjanjian yang disepakati antara raja Gowa dengan raja-raja Bugis yang maksudnya barang siapa menemukan jalan yang terbaik berjanji untuk memberi tahukan yang baik itu kepada negeri-negeri lain.[2]
Seruan itu pada akhirnya sampai kepada daerah-daerah bugis antaranya Bone, Soppeng, dan Wajo yang tergabung dalam suatu aliansi yang disebut Tellumpoccoe menolak ajakan tersebut secara tegas sehingga Gowa mengangkat senjata menyatakan perang yang oleh orang Bugis menyebutnya “Musu’ Asellengeng”(=Perang pengislaman).[3] Namun, pada akhirnya satu persatu kerajaan Bugis takluk oleh Gowa dan kemudian masuk Islam melalui suatu perjanjian oleh Tellumpoccoe di Timurung yang disebut perjanjian “Lamumpatue ri Timurung” sebagai tanda masuknya Islam di kerajaan Bugis.
A. Proses Islamisasi di Tellumpoccoe
Proses Islamisasi di Sulawesi Selatan yang resmi diterima sebagai agama kerajaan pada tanggal 22 September 1605 bertepatan dengan 9 Jumadil awal 1014 H oleh Raja Gowa dan Tallo I mangngerangi Daeng Manrabbia dan I malingkaang Daeng Manyonri Karaeng Timenanga ri Bontobbiraeng sebagai mangkubumi kerajaan Gowa.[4]
Kerajaan Gowa sebagai salah satu kerajaan besar yang disegani sehingga kerajaan-kerajaan kecil disekitarnya dapat di ajak masuk Islam, namun tatkala ajakan itu sampai kepada daerah-daerah Bugis hal tersebut tidak diterimanya secara damai ,maka Gowa memaklumkan perang.
Rappeng sebagai salah satu kerajaan besar yang tergabung dalam Lima Ajattappareng, setelah mendapat serangan Kerajaan Gowa secara praktis menyatakan diri masuk Islam yang di ikuti oleh seluruh rakyatnya pada tahun 1609 dan resmilah agama Islam diterima sebagai agama di Rappeng.
Akan halnya juga Kerajaan Soppeng yang tergabung dalam Tellumpoccoe setelah terjadinya pertempuran di Tanete Soppeng mengalami kekalahan dari pasukan Kerajaan Gowa yang dibantu oleh orang-orang Rappeng. Raja Soppeng XIV Beowe memeluk Islam pada tahun 1609 serta seluruh masyarakat Soppeng.
Kurang lebih satu tahun kemudian Raja Gowa bersama Datu Soppeng, mengirim utusan menemui Arung Matoa Wajo La Sangkuru Petau untuk mengajaknya masuk Islam secara damai akan tetapi arung Matoa menolaknya maka peperangan tak dapat dihindari, pasukan gabungan Gowa, Rappeng menyerbu Wajo, dalam waktu yang sangat singkat wajo ditaklukkan, maka Arung Matoa Wajo mengutus Pilla, Patola, dan Cakkuridi (Bate Lompo), menyampaikan permintaan damai.[5]
Setelah agama Islam di terima di Wajo, Raja Gowa mengutus Datuk Sulaiman (Khatib Sulung) mengajarkan agama Islam di Wajo atas permintaan Arung Matoa Wajo La Sangkuru Patau untuk memperdalam pengetahuannya tentang Islam. Dalam perkembangan selanjutnya Arung Matoa Wajo menambah struktur pemerintahannya dengan memasukkan Sara’ sebagai salah satu lembaga yang mengurusi masalah-masalah keagamaan. Dato Sulaiman dipercayakan untuk mengorganisir urusan Sara’ di Tana Wajo.
Setelah kerajaan Soppeng dan Wajo memeluk Islam, Raja Bone La Tenri Tuppu berangkat ke Sidenreng secara diam-diam dengan maksud mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan Islam. Raja La Tenri Tuppu memeluk Islam sebelum diserang penyakit yang menyebabkan dia Wafat sedangkan Bone pada Waktu itu belum masuk Islam.
Pada masa pemerintahan Raja Bone XI La Tenri Ruwa pasukan Gowa yang dibantu oleh seluruh kerajaan menyerang Bone. Namun saat pasukan itu tiba di Cenrana, Raja La Tenri Ruwa mengumpulkan Ade pitue untuk menyampaikan bahwa Raja Gowa Sultan Alauddin bermaksud menunjukkan kita ke jalan yang terang dan untuk itu beliau datang karena menganggap bahwa Islam adalah suatu kebaikan maka hal itu disampaikannya pula kepada kita, sebagai realisasi perjanjian luhur kita dengan Raja Gowa tempo dahulu.
Akan tetapi ajakan Raja La Tenri Ruwa di tolak oleh Ade Pitue maka beliau meninggalkan Bone, dan pindah menetap di Pattiro bersama keluarganya dan pengikut setianya. Dan untuk menggantikannya rakyat dan Ade Pitue sepakat mengangkat La Tenri Pale Arung Timurung yang bergelar To Akkepeang menjadi Raja Bone XII.
Karena ajakan Raja Gowa ditolak oleh Raja Bone XII maka pertempuran tak dapat dihindari sehingga Bone takluk dan akhirnya memeluk Islam pada 23 Ramadhan 1021 H (1610 M). Setelah La Tenri Pale memeluk Islam, beliau berangkat ke Gowa untuk mempelajari agama Islam kepada Khatib Tunggal Datuk ri Bandang, da diberi gelar Sultan Abdullah sampai akhirnya beliau meninggal di Tallo.
Pada perkembangannya di Kerajaan Bone struruktur pemerintahan yang ada dilengkapi dengan memasukkan Sara’ sebagai suatu lembaga yang mengurusi masalah-maslah agama yang kemudian digelar Petta Kallie (Qadi) dan dietiap Palili diangkat imam yang dibantu oleh seorang “Khatib” dan seorang “Bilal”.
B. Pengaruh Perjanjian Lamumpatue Terhadap Proses Islamisasi di Tellumpoccoe
Istilah Lamumpatue ri Timurung merupakan perjanjian tiga kerajaan yang dikokohkan dengan menanam batu sebagai pertanda perjanjian tersebut telah disepakati bersama. Peristiwa ini bertujuan untuk menanggulangi politik ekspansi Kerajaan Gowa yang hendak menanamkan pengaruhnya sekaligus untuk memperluas wilayahnya.
Nampaknya kerajaan yang tergabung dalam Tellumpoccoe mengadakan suatu perjanjian atau persekutuan antara Raja Bone, Soppeng, dan Wajo, sebab Tellumpoccoe khawatir akan pengaruhnya dibidang politik yakni kekuasaan perluasan pemerintahan, yang sementara itu Kerajaan Bone, Soppeng, dan Wajo masing-masing mempunyai otonomi pemerintahan tersendiri. Oleh karena itu, asumsi yang menganggap bahwa Lamumpatue ri Timurung atau perjanjian Tellumpoccoe merupakan persekutuan yang menghambat penyiaran Islam di Sulawesi-Selatan khususnya di wilayah Tellumpoccoe.
Hal ini dapat dibuktikan terhadap keberadaan Raja Gowa untuk menjalin persahabatan dengan kerajaan-kerajaan yang tergabung dalam Tellumpoccoe dengan mengajaknya ke dalam suatu agama yaitu agama Islam seperti berikut ini: “ Berkatalah utusan Raja Wajo, hanya saja yang amat diharapkan saudaramu Gowa ialah bersatu padunya kita semua layaknya orang-orang berkerabat. Jangan hendaknya kita saling bertikai antara saudara sendiri, saling mengangkat senjata, sebab kalau kamu bertikai antara orang Bugis dan Makssar, apabila ada orang yang merusakkan agama. Satulah orang Bone, Soppeng, dan Wajo.[6]
Keterangan di atas mengandung arti dan maksud terutama mengangkat senjata semata-mata untuk memerangi orang yang ingin merusak laju perkembangan agama Islam khususnya dalam wilayah Tellumpoccoe.
Dengan demikian Raja Bone ketika itu ialah La Tenri Ruwa menyampaikan kepada selurh rakyatnya ikut memeluk agama baru yaitu agama Islam, sehingga dengan sendirinya mempengaruhi kehidupan keagamaan yang ada di wilayah Tellumpoccoe. Sehingga terlihat Islam mulai dianut masyarakat secara umum. Hal ini disebutkan karena Raja-raja di Tellumpoccoe tidak sekaligus dalam artian menerima Islam sebagai agama resmi kerajaan dalam wilayah masing-masing. Seperti diketahu bahwa raja Soppeng menerima Islam pada tahun 1609 M, dan Wajo pada tahun 1610 sedangkan Bone baru menerima Islam pada tahun 1611 sebagai agama resmi kerajaan.[7]
Kesimpulan
- Proses Islamisasi di daerah-daerah Bugis tidak lepas dari pengaruh dan peranan kerajaan Gowa sebagai salah satu kerajaan besar yang menerima Islam sebagai agama resmi Kerajaannya pada tahun 1605 M.
- Perjanjian Tellumpoccoe di Timurung itu membawa pengaruh terhadap Proses Islamisasi di Soppeng, Wajo dan Bone, sehingga Islam sebagai agama resmi kerajaan yang secara berturut-turut memeluk Islam mulai pada tahun 1609 di Soppeng, Wajo tahun 1610, dan Bone pada tahun 1611.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik., Agama dan Perubahan Sosial, Jakarta: CV. Rajawali, 1983
Hamid, Pananrangi. Sejarah Daerah Gowa. Ujungpandang: Balai Kajian Sejarah dan Nilai-Nilai Tradisional, 1984.
Kartodirjo, Sartono. Sejarah Nasional Indonesia. Jilid III ,Jakarta: Balai Pustaka, 1975.
Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia; Jakarta: Djambatan, 1984.
Mattulada, Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar dalam Sejarah .Cet. I; Ujungpandang: Bakti Baru-Berita Utama, 1982.
Nur, Azhar. Trialianci Tellumpoccoe . Cet. II; Yogyakarta: Cakrawala, 2010
[1] Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia; (Jakarta: Djambatan, 1984), h. 272.
[2] Mattulada, Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar dalam Sejarah (Cet. I; Ujungpandang: Bakti Baru-Berita Utama, 1982), hal. 33-41.
[3] Azhar Nur, Trialianci Tellumpoccoe (Cet. II; Yogyakarta: Cakrawala, 2010) , hal. 122.
[4] Sartono Kartodirjo, et. al, Sejarah Nasional Indonesia. Jilid III (Jakarta: Balai Pustaka, 1975), h. 98.
[5] Pananrangi Hamid, Sejarah Daerah Gowa (Ujungpandang: Balai Kajian Sejarah dan Nilai-Nilai Tradisional, 1984), h. 104.
[6] Azhar Nur, op. cit., h. 68.
[7] Taufik Abdullah ed, Agama dan Perubahan Sosial, (Jakarta: CV. Rajawali, 1983) h. 245