Pola Pelayaran dan Perdagangan Indonesia zaman pertengahan

A. Teknologi dan pusat-pusat pelayaran

Dalam perspektif sejarah sebelum tarikh Masehi kabar tentang Indonesia telah sampai ke tanah India, Cina dan Yunani. Orang India menyebutnya Jawadwipa di dalam kitab Ramayana (jawa =jewawut, dwipa=pulau atau negeri). Nama jawadwipa itu dipakai untuk menyebut pulau sebelah Timur India, yaitu pulau Jawa, yang banyak menghasilkan padi atau jewawut. Ada pula pulai di Jawa, yang banyak menghasilkan padi atau jewawut. Ada pula pulau Indonesia yang disebut swarnadwipa (suwarna=emas, dwipa=pulau), yaitu pulau yang menghasilkan emas. Pulau yang dimaksud kemungkinan nama bagi pulai Sumatera, yang menghasilkan emas. Seorang ahli ilmu bumi bangsa Yunani bernama Ptolemaeus. Ia menyebut kepulauan kita dengan nama jabadiu, pulau yang menghasilkan emas. Nama tadi mungkin berasal dari jawadwipa. Orang-orang Cina Ye po-ti untuk nama kepulauan kita. Sedang orang Arab menamainya Sayabija. 

Indonesia terletak di tepi jalan lalu lintas pelayaran dan perdagangan di perairan selat Malaka. Hubungan antara Cina dan India telah ada sejak zaman dulu. Hubungan itu ada yang melalui darat dan laut. Jalan darat melalui Asia Tengah dan Turkistan sampai ke Laut Tengah disebut jalan sutra. Jalan laut mulai dari negeri Cina melalui perairan Indonesia dan Selat Malaka menuju ke India terus ke Teluk Persia melalui laut Merah ke Laut Tengah. Melalui jalan laut inilah terjadi kontak dengan saudagar-saudagar dari India, Persia dan Cina.

Pada permulaan abad pertama Masehi pelayaran antara India dan Cina semakin ramai. Lalu lintas perdagangan antara kedua negeri itu melalui Selat malaka. Indonesia terletak di tengah-tengah jalan perdagangan antara India dan Cina. Dengan demikian Indonesia juga mempunyai hubungan dagang dengan kedua negeri besar itu. Bandar-bandar di selat Malaka semakin berkembang dan dijadikan tempat mengambil bahan makanan, air minum, barang-barang dagangan. Hasil perdagangan Indonesia dewasa itu antara lain emas, perak, rempah-rempah, beras dan lain-lain. Barang-barang dari India antara lain tenunan halus. Dari Cina ialah porselin dan sutra.

Nugroho Notosusanto mengatakan bahwa alat transportasi adalah kapal-kapal yang cukup bagus buatannya untuk ukuran teknologi saat itu. Fakta historis menunjukkan bahwa di candi Borobudur tidak kurang dari sepuluh relief melukiskan perahu atau kapal, yang dapat kita golongkan dalam tiga jenis: 

A. Perahu Lesung

B. Kapal besar yang tidak bercadik

C. Kapal besar yang bercadik.

Ini menunjukkan bahwa orang-orang ketika itu sudah pandai membuat kapal.

Seiring perkembangan waktu memasuki abad ke-15 Selat Malaka merupakan pusat utama untuk lalulintas perdagangan dan pelayaran, dan dari Malaka hasil hutan dan rempah-rempah dibawa ke India. Pada tahun 1521 Sabastian del Cano telah menemukan jalan baru yang menghubungkan Indonesia (Maluku) dengan Eropa Barat. Del Cano berlayar dari Tidore menuju ke ujung selatan Afrika, lalu ke laut Atlantik sampai ke muara sungai Guadalquivir di Iberia Selatan. Dengan demikian untuk pertama kalinya dalam sejarah kita, rempah-rempah dari Maluku diangkut langsung dari tempat asalnya ke Eropa.

Kemudian juga yang menjadi pusat pelayaran adalah laut Arab. Perjalanan yang melintasi laut Arab bercabang dua; pertama di sebelah utara menuju ke teluk Oman, melalui selat Ormuz, ke teluk Persia. Jalan kedua ialah melalui teluk Aden dan Laut Merah, dan dari kota suez jalan perdagangan melalui daratan ke Kairo. Melalui jalan pelayaran tersebut di atas kapal-kapal Arab, Persia dan India telah mundar-mandir dari barat ke timur dan terus ke negeri Cina dengan menggunakan angin musim untuk pelayaran pulang perginya. Kapal-kapal Indonesia telah mengambil bagian dalam perdagangan tersebut. Pada zaman Sriwijaya pedagang-pedagang kita telah mengunjungi pelabuhan-pelabuhan Cina dan pantai timur Afrika.

B. Pola Pelayaran dan Perdagangan

Dalam konteks ini kita akan membahas mengenai bagaimana sistem kontrak antara pemilik modal dengan orang-orang pedagang yang tidak bermodal. Dalam buku Sejarah Nasional Indonesia jilid III dikatakan bahwa “Para pedagang yang kaya pada umumnya tinggal di rumah, bilamana ada kapal yang mau berangkat, mereka menyerahkan sejumlah uang kepada orang-orang yang akan berlayar dengan maksud bahwa uang ini akan dikembaliikan nanti dua kali lipat, menurut perjanjian yang dibuat. Jumlah uangnya kurang lebih sesuai dengan lama dan jauhnya perjalanan. Jikalau pelayaran ini berhasil baik, pemberian uang dibayar kembali sesuai dengan perjanjiannya. Akan tetapi jika peminjam uang tidak sanggup membayarnya kembali karena suatu kemalangan, maka ia harus memberikan istri dan anaknya sebagai jaminan sampai utangnya telah lunas, kecuali apabila kapalnya karam, dalam hal ini pemilik modal kehilangan uang yang dipinjamkannya. (Banten).

Menurut undang-undang Amanna Gappa abad ke-17 (Sulawesi selatan) mengatakan kerugian yang dipikul bersama hanya terbatas pada tiga hal, yaitu apabila barangnya telah rusak di lautan, dimakan api, atau kecurian. Sedangkan yang tidak dipikul bersama (ditanggung oleh pelaksana perdagangan, yaitu dijudikan, diperlacurkan, dipergunakan beristri, diboroskan, dipinjamkan, dimadatkan dan diberikan makan kepada orang yang menjadi tanggungannya.

D.Pelabuhan

Fungsi pelabuhan adalah sebagai penghubung antara jalan maritim dan jalan darat. Pelabuhan bukan saja tempat berlabuh, tetapi tempat di mana kapal dapat berlabuh dengan aman, terlindung dari ombak besar, angin dan arus yang kuat. Pelabuhan harus mempunyai daya penarik yang besar bagi kapal-kapal yang dari luar, misalnya pasar yang ramai di mana hasil hutan dari pedalaman diperdagangkan dan di mana bahan makanan dan air minum disediakan untuk konsumsi di kapal. Ada korelasi erat antara besarnya volume perdagangan (termasuk persediaan bahan makanan) dan frekwensi kunjungan serta jumlah kapal yang singgah di suatu pelabuhan.

Pada abad ke-15 salah satu pelabuhan di Sumatera (Palembang) melalui sungai Musi kapal-kapal dari segala penjuru datang ke sini. Mula-mula mereka tiba di muara sungai yang berair tawar, kemudian masuk selat, kapal ditambatkan di darat di mana terdapat banyak tiang, dengan menggunakan perahu kecil mereka memasuki muaranya, dan dengan demikian mereka tiba di ibukota. Harapan untuk mendapat laba adalah besar, karena penduduknya sangat makmur dan kaya. Tanah Sumatera adalah amat subur, seperti kata pepatah “Hamburlah padi untuk satu musim, hasilnya menjadi beras untuk tiga musim”. Demikian juga pelabuhan di Surabaya pada abad ke-15, juga banyak kapal-kapal besar Cina berdatangan. Selat Malaka adalah yang paling strategis posisinya karena letaknya berada antara Cina dan India. Maju mundurnya suatu pelabuhan tergantung dari soal keamanan (bebas dari bajak laut, pemerasan dari pihak penguasa),sistem perpajakan yang masih memungkinkan pedagang mendapat laba dan fasilitas-fasilitas lain seperti persediaan air minum, bahan makanan dan galangan untuk memperbaiki kerusakan kapal. Sumber-sumber Belanda dari abad ke-16 dan 17 memuji pelabuhan Jayakarta karena ada persediaan air tawar yang cukup. 

Ada aturan yang mengatur setiap kapal yang sandar di pelabuhan, yaitu ketika kapal memasuki pelabuhan, segera syahbandar datang mengunjunginya. Pelabuhan yang banyak didatangi kapal dan pedagang dan pedagang asing memerlukan lebih dari seorang syahbandar. Di malaka pada masa jayanya terdapat sampai empat orang syahbandar yang bertugas. Syahbandar yang menempati kedudukan pertama adalah syahbandar yang memperhatikan kepentingan orang-orang dari Jawa, Maluku, Banda, Palembang, Kalimantan, Brunai dan pulau-pulau Filipina. Untuk orang-orang Cina ada juga syahbandar khususnya. Tugas utama dari Syahbandar adalah mengurus dan mengawasi perdagangan orang-orang yang dibawahinya, termasuk pengawasan di pasar dan gudang, ia harus mengawasi timbangan,ukuran dagangan dan mata uang yang dipertukarkan. Syahbandar juga menjelaskan tentang tata cara berdagang di wilayah setempat. Pemungutan beacukai juga telah diatur dengan baik, sehingga para saudagar merasa terjamin dalam kegiatan jual belinya.

TERIMA KASIH