Sunday 13 October 2013

Suku_Kepercayaan_ Konsep Tumanurung

 1. Gambaran tentang suku bangsa di Sulawesi selatan 

a. Suku Bugis 


Permulaan sejarah Bugis lebih kepada mitos dari sejarah logika. Di dalam teks La Galigo, populasi awal adalah terhad dan terletak di persisiran pantai dan tebing sungai dan penempatan ini dihubungi dengan pengangkutan air. Penempatan di tanah tinggi pula didiami oleh orang Toraja. Penempatan-penempatan ini bergantung kepada salah satu daripada tiga pemerintahan iaitu Wewang Nriwuk, Luwu' dan Tompoktikka. Walaubagaimanapun, pada abad ke 15, terdapat kemungkinan penempatan awal tersebar di seluruh Tana Ugi, malahan jauh ketengah hutan dimana tidak dapat dihubungi melalui pengangkutan air. Mengikut mitos, terdapat migrasi yang ingin mencari tanah baru untuk didiami. Implikasi penempatan ditengah-tengah hutan ini ialah perubahan fizikal hutan, dimana hutan-hutan ditebang dan proses diteruskan sehingga abad ke20. 

Bugis adalah suku yang tergolong ke dalam suku-suku Melayu Deutero. Masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia tepatnya Yunan. Kata "Bugis" berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis. Penamaan "ugi" merujuk pada raja pertama kerajaan Cina yang terdapat di Pammana, Kabupaten Wajo saat ini, yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang atau pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu, ayah dari Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar di dunia dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio. Sawerigading Opunna Ware (Yang dipertuan di Ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra I La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk, Kaili, Gorontalo dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton

Dalam perkembangannya, komunitas ini berkembang dan membentuk beberapa kerajaan. Masyarakat ini kemudian mengembangkan kebudayaan, bahasa, aksara, dan pemerintahan mereka sendiri. Beberapa kerajaan Bugis klasik antara lain Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Suppa, Sawitto, Sidenreng dan Rappang. Meski tersebar dan membentuk suku Bugis, tapi proses pernikahan menyebabkan adanya pertalian darah dengan Makassar dan Mandar. Saat ini orang Bugis tersebar dalam beberapa Kabupaten yaitu Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Sidrap, Pinrang, Barru. Daerah peralihan antara Bugis dengan Makassar adalah Bulukumba, Sinjai, Maros, Pangkajene Kepulauan. Daerah peralihan Bugis dengan Mandar adalah Kabupaten Polmas dan Pinrang. Kerajaan Luwu adalah kerajaan yang dianggap tertua bersama kerajaan Cina (yang kelak menjadi Pammana), Mario (kelak menjadi bagian Soppeng) dan Siang (daerah di Pangkajene Kepulauan). 

b. Suku Makassar


Bahasa Makasar, juga disebut sebagai bahasa Makassar atau Mangkasara' adalah bahasa yang dituturkan oleh suku Makassar, penduduk Sulawesi Selatan, Indonesia. Bahasa ini dimasukkan ke dalam suatu rumpun bahasa Makassar yang sendirinya merupakan bagian dari rumpun bahasa Sulawesi Selatan dalam cabang Melayu-Polinesia dari rumpun bahasa Austronesia

Bahasa ini mempunyai abjadnya sendiri, yang disebut Lontara, namun sekarang banyak juga ditulis dengan menggunakan huruf Latin. Huruf Lontara berasal dari huruf Brahmi kuno dari India. Seperti banyak turunan dari huruf ini, masing-masing konsonan mengandung huruf hidup "a" yang tidak ditandai. Huruf-huruf hidup lainnya diberikan tanda baca di atas, di bawah, atau di sebelah kiri atau kanan dari setiap konsonan. 

Suku Makassar adalah nama Melayu untuk sebuah etnis yang mendiami pesisir selatan pulau Sulawesi. Lidah Makassar menyebutnya Mangkasara' berarti "Mereka yang Bersifat Terbuka." Etnis Makassar ini adalah etnis yang berjiwa penakluk namun demokratis dalam memerintah, gemar berperang dan jaya di laut. Tak heran pada abad ke-14-17, dengan simbol Kerajaan Gowa, mereka berhasil membentuk satu wilayah kerajaan yang luas dengan kekuatan armada laut yang besar berhasil membentuk suatu Imperium bernafaskan Islam, mulai dari keseluruhan pulau Sulawesi, kalimantan bagian Timur, NTT, NTB, Maluku, Brunei, Papua dan Australia bagian utara. Mereka menjalin Traktat dengan Bali, kerjasama dengan Malaka dan Banten dan seluruh kerajaan lainnya dalam lingkup Nusantara maupun Internasional (khususnya Portugis). Kerajaan ini juga menghadapi perang yang dahsyat dengan Belanda hingga kejatuhannya akibat adu domba Belanda terhadap kerajaan taklukannya. 

Berbicara tentang Makassar maka adalah identik pula dengan suku Bugis yang serumpun. Istilah Bugis dan Makassar adalah istilah yang diciptakan oleh Belanda untuk memecah belah. Hingga pada akhirnya kejatuhan Kerajaan Makassar pada Belanda, segala potensi dimatikan, mengingat suku ini terkenal sangat keras menentang Belanda. Di mana pun mereka bertemu Belanda, pasti diperanginya. Beberapa tokoh sentral Gowa yang menolak menyerah seperti Karaeng Galesong, hijrah ke Tanah Jawa. Bersama armada lautnya yang perkasa, memerangi setiap kapal Belanda yang mereka temui. Oleh karena itu, Belanda yang saat itu dibawah pimpinan Spellman menjulukinya dengan "Si-Bajak-Laut". 


c. Suku Mandar


Manusia Mandar adalah salah satu suku yang menetap di Pulau Sulawesi bagian barat. Suku ini menetap di wilayah Kabupaten Polewali, Mandar dan Majene. Asal-usul kesatuan Lita atau Tana Mandar,di jelaskan bahwa Pitu Ulunna Salu (Tujuh Hulu Sungai) dan Pitu Ba, Bana Binanga (Tujuh Muara Sungai), adalah Negara Wilayah (Kesatuan) Mandar. Orang -orang dari wilayah permukiman itu, merasa bersaudara semuanya. Orang Mandar percaya bahwa mereka berasal dari satu nenek moyang (Leluhur), yaitu Ulu Sa’ dan yang bernama Tokombong di Wura, (Laki-laki) dan Towisse di Tallang (Perempuan). Mereka itu di sebut juga To-Manurung di Langi. 

Suku Mandar selama ini di kenal sangat kuat dengan budayanya.Mereka menjunjung tinggi tradisi, bahasa dan adat istiadatnya. Filosofi hidup mereka berbeda dengan suku Bugis, Makassar, Toraja dan suku lainnya yang berdekatan dengan lingkungan kehidupan mereka di Sulawesi. Suku Mandar di kenal teguh dengan prinsip hidupnya.Pada abad ke-20 karena banyak gerakan-gerakan pemurnian ajaran islam seperti Muhammadiyah, maka ada kecondongan untuk menganggap banyak bagian-bagian dari panngaderreng itu sebagai syirik, tindakan yang Tidak sesuai dengan ajaran Islam, dan karena itu sebaiknya ditinggalkan. Demikian Islam di Sulawesi Selatan telah juga mengalami proses pemurnian. 

Sekitar 90% dari Suku Mandar adalah pemeluk agama Islam, sedangkan hanya 10% memeluk agama Kristen Protestan atau Katolik. Umat Kristen atau Katolik umumnya terdiri dari pendatang-pendatang orang Maluku, Minahasa, dan lain-lain atau dari orang Toraja. Mereka ini tinggal di kota-kota terutama di Makassar.Adapun mereka yang tinggal di desa-desa di daerah pantai, mencari ikan merupakan suatu mata pencarian hidup yang amat penting. Dalam hal ini orang Mandar menangkap ikan dengan perahu-perahu layar sampai jauh di laut. Orang Mandar terkenal sebagai suku-bangsa pelaut di Indonesia yang telah mengembangkan suatu kebudayaan maritim sejak beberapa abad lamanya. Perahu-perahu layar mereka telah mengarungi perairan Nusantara dan lebih jauh dari itu telah berlayar sampai ke Srilangka dan Filipina untuk berdagang.Bakat berlayar yang rupa-rupanya telah ada pada orang Mandar, akibat kebudayaan maritim dari abad-abad yang telah lampau itu. Sebelum Perang Dunia ke-II, daerah Sulawesi Selatan merupakan daerah surplus bahan makanan, yang mengekspor beras dan jagung ke tempat-tempat lain di Indonesia. Adapun kerajinan rumah-tangga yang khas dari Sulawesi Selatan adalah tenunan sarung sutera dari Mandar. 

d. Suku Toraja 

Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan 500.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa. Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma

Kata toraja berasal dari bahasa Bugis, to riaja, yang berarti "orang yang berdiam di negeri atas". Pemerintah kolonial Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun 1909.[3] Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonan dan ukiran kayunya. Ritual pemakaman Toraja merupakan peristiwa sosial yang penting, biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari. Sebelum abad ke-20, suku Toraja tinggal di desa-desa otonom. Mereka masih menganut animisme dan belum tersentuh oleh dunia luar. Pada awal tahun 1900-an, misionaris Belanda datang dan menyebarkan agama Kristen. Setelah semakin terbuka kepada dunia luar pada tahun 1970-an, kabupaten Tana Toraja menjadi lambang pariwisata Indonesia. Tana Toraja dimanfaatkan oleh pengembang pariwisata dan dipelajari oleh antropolog. Masyarakat Toraja sejak tahun 1990-an mengalami transformasi budaya, dari masyarakat berkepercayaan tradisional dan agraris, menjadi masyarakat yang mayoritas beragama Kristen dan mengandalkan sektor pariwisata yang terus meningkat. 

Suku Toraja memiliki sedikit gagasan secara jelas mengenai diri mereka sebagai sebuah kelompok etnis sebelum abad ke-20. Sebelum penjajahan Belanda dan masa pengkristenan, suku Toraja, yang tinggal di daerah dataran tinggi, dikenali berdasarkan desa mereka, dan tidak beranggapan sebagai kelompok yang sama. Meskipun ritual-ritual menciptakan hubungan di antara desa-desa, ada banyak keragaman dalam dialek, hierarki sosial, dan berbagai praktik ritual di kawasan dataran tinggi Sulawesi. "Toraja" (dari bahasa pesisir ke, yang berarti orang, dan Riaja, dataran tinggi) pertama kali digunakan sebagai sebutan penduduk dataran rendah untuk penduduk dataran tinggi. Akibatnya, pada awalnya "Toraja" lebih banyak memiliki hubungan perdagangan dengan orang luar—seperti suku Bugis dan suku Makassar, yang menghuni sebagian besar dataran rendah di Sulawesi—daripada dengan sesama suku di dataran tinggi. Kehadiran misionaris Belanda di dataran tinggi Toraja memunculkan kesadaran etnis Toraja di wilayah Sa'dan Toraja, dan identitas bersama ini tumbuh dengan bangkitnya pariwisata di Tana Toraja. Sejak itu, Sulawesi Selatan memiliki empat kelompok etnis utama—suku Bugis (kaum mayoritas, meliputi pembuat kapal dan pelaut), suku Makassar (pedagang dan pelaut), suku Mandar (pedagang dan nelayan), dan suku Toraja (petani di dataran tinggi). 

2. Kepercayaan asli masyarakat Sulawesi selatan 

a. Dewata Seuwae 

Dalam hal kepercayaan penduduk Sulawesi Selatan telah percaya kepada satu Dewa yang tunggal. Dewa yang tunggal itu disebut dengan istilah Dewata SeuwaE (dewa yang tunggal). Terkadang pula disebut oleh orang Bugis dengan istilah PatotoE (dewa yang menentukan nasib). Orang Makassar sering menyebutnya dengan Turei A’rana (kehendak yang tinggi). Orang Mandar Puang Mase (yang maha kedendak) dan orang Toraja menyebutnya Puang Matua (Tuhan yang maha mulia). Mereka pula mempercayai adanya dewa yang bertahta di tempat-tempat tertentu. Seperti kepercayaan mereka tentang dewa yang berdiam di Gunung Latimojong. Dewa tersebut mereka sebut dengan nama Dewata Mattanrue. Dihikayatkan bahwa dewa tersebut kawin dengan Enyi’li’timo’ kemudian melahirkan PatotoE. Dewa PatotoE kemudian kawin dengan Palingo dan melahirkan Batara Guru. 

Batara Guru dipercaya oleh sebagian masyarakat Sulawesi Selatan sebagai dewa penjajah. Ia telah menjelajahi seluruh kawasan Asia dan bermarkas di puncak Himalaya. Kira-kira satu abad sebelum Masehi Batara Guru menuju ke Cerekang Malili dan membawa empat kasta. Keempat kasta tersebut adalah kasta Puang, kasta Pampawa Opu, kasta Attana Lang, dan kasta orang kebanyakan. Selain itu Batara Guru juga dipercaya membawa enam macam bahasa. Keenam bahasa tersebut dipergunakan di daerah-daerah jajahannya. Keenam bahasa itu adalah: 
  1. Bahasa TaE atau To’da. Bahasa ini dipergunakan masyarakat yang bermukim di wilayah Tana Toraja , Massenrengpulu dan sekitarnya. Mereka dibekali dengan kesenian yang bernama Gellu’. 
  2. Bahasa Bare’E. Bahasa ini dipergunakan oleh masyarakat yang bermukim di wilayah Poso Sulawesi Tengah. Mereka dibekali dengan kesenian yang disebutnya Menari. 
  3. Bahasa Mengkokak, bahasa ini dipergunakan oleh masyarakat yang bermukim di wilayah Kolaka dan Kendari Sulawesi Tenggara. Mereka pula dibekali dengan kesenian, yang namanya Lulo’. 
  4. Bahasa Bugis, Bahasa ini dipergunakan oleh masyarakat yang bermukim di Wajo seluruh daerah disekitarnya dan dibekali dengan kesenian Pajjaga. 
  5. Bahasa Mandar. Bahasa ini dipergunakakan oleh masyarakat yang berdiam di wilayah Mandar dan sekitarnya. Mereka dibekai dengan kesenian Pattundu. 
  6. Bahasa Tona. Bahasa ini dipergunakan oleh masyarakat yang bermukim di wilayah Makassar dan sekitarnya. Mereka dibekali dengan kesenian dan sebutnya Pakkarena. 
Keturunan Batara Guru tersebar ke mana-mana. Keturunannya terbagi-bagi pada seluruh wilayah jelajahnya yang meliputi wilayah bahasa tersebut diatas. Mereka menduduki tempat-tempat yang strategis seperti puncak-puncak gunung. Beberapa gunung yang mereka jadikan tempat strategis adalah sebagai berikut: 
  1. Dipuncak Gunung Latimojong. Mereka menyebut Puang ri Latimojong dengan gelar Puang Ma’tinduk Gallang, Puang Ma’taro Bessi, Dewata Kalandona Buntu, Puang Lajukna Tanete. 
  2. Dipuncak Gunung Nonaji. Mereka mengelari Puang ri Sinaji dengan Dewata Mararang Ulunna, Maea Pa’barusunna, Borrong Lise’matanna. 
  3. Di puncak Gunung A’do, dengan nama Puang Tontoria’do’. 
  4. Di tasik Mengkombong dengan nama Londong di Langi 
  5. Di Napo’ (Dende’) dinamakan Datue ri Naopo.
Dengan pengawasan Batara Guru melalui puncak gunung yang tinggi, ia melantik anak-anak keturunannya untuk menjadi raja di tiga kerajaan besar. Ketiga kerajaan yang dimaksud adalah Pajung di Luwu, Somba di Gowa dan Mangkau di Bone. Kemudian disusul dengan kerajaan-kerajaan bagian, seperti Addatuang Sidenreng, Datu Soppeng, Arung Matoa Wajo, Arajang di Mandar, Puang di Tana Toraja dan sebagainya. Kepemimpinan dari raja-raja ini dimotori oleh kharisma dan kesaktian dewa-dewa yang menguasai puncak ketinggian di Sulawesi Selatan. 


b. Aluk To Dolo 


Di antara kepercayaan sebagian penduduk Sulawesi Selatan adalah Aluk To Dolo oleh orang Toraja. Sebelum masuknya agama Islam sebagian penduduk Sulawesi Selatan telah mempercayai terhadap sesuatu yang Maha Pencipta, pengatur segenap alam. Mereka menyebutnya dengan “Puang Matua”. Pemimpin Aluk To Dolo disebut Burako memimpin dua aluk yaitu Aluk Mata Allo dan Aluk Mata Ampu. Kedua aluk tersebut merupakan cara pengaturan jagad raya. Aluk Mata Allo dianut oleh penduduk Tana Toraja bagian Timur dengan tatacara upacara keagamaan dan kemasyarakatan bercorak aristokratis. Sedangkan Aluk Mata Ampu dianut oleh masyarakat Tana Toraja bagian Barat dengan tata upacara keagamaan kemasyarkatan yang bercorak kerakyatan. Pelaksanaan aluk-aluk tersebut yang mengilhami kebudayaan masyarakat Tana Toraja dalam aspek rohaniah, fisik dan tingkah lakunya. 

Pada zaman dahulu, masyarakat Tana Toraja mengenal empat puluh persekutuan adat yang dikenal dengan “Arruan Patampulo”. Keempat puluh persekutuan tersebut tergabung dalam daerah persekutuan yang disebut dengan “Lampangan Bulan” . Wilayahnya adalah meliputi Tana Toraja dan sekitarnya. Menurut Dr. Noorduyn bahwa persekutuan inilah yang merupakan masyarakat asli Sulawesi Selatan. Keberadaan mendahului priode Galigo dan priode Lontara yang mengadabtasi berbagai unsur kepercayaan dan kebudayan dari luar Sulawesi Selatan. Kepercayaan Aluk To Dolo masih dipercayai oleh banyak orang Toraja dewasa ini dengan bentuk-bentuk persekutuan kaum dalam lingkup-lingkup keluarga yang disebut Tongkonan. Ciri khas kepercayaannya yang dianut sejak dulu masih eksis dalam prilaku keagamaan dan adat masyarakat Toraja saat ini. 

Misteri makna dari sistem kepercayaan itu sampai saat ini belum diungkap secara memuaskan. Dari hasil pengamatan sementara, dapat dikatakan bahwa ketuhanan Aluk To Dolo bersifat monoteistik dan tidak mengenal hirach dewa-dewa. Puan Matua sebagai pencipta segala sesuatu, memberi berbagai aluk untuk tata tertib dalam kehidupan dunia. Puan Matua itu sendiri dapat dipahami penyataannya melalui penyelenggaraan berbagai macam upacara aluk yang dilakukan oleh orang-orang yang masih hidup dalam rangka hubungan yang tetap dengan dunia roh-roh yang terdapat dalam dunia ini.

c. Patuntung 


Di Tana Toa Kajang (Kabupaten Bulukumba) dan di Onto, pegunungan terpencil di Camba dan Barru. Kepercayaan mereka dikenal oleh masyarakat luar dengan agama Patuntung. Agama Patuntung mempercayai adanya sesuatu yang Maha Kuasa, MahaTunggal dengan berbagai nama. Ada yang menamakannya Turia a’rana (yang berkehendak) dan sebagainya. Agama Patuntung dipercayai oleh persekutuan dan dipimpin oleh seorang yang mereka telah mendapat petunjuk dari Yang Maha Kuasa dengan tanda-tanda tentang adanya sesuatu kelebihan di dalam kehidupannya. Oleh karena itu, Dia dipilih untuk memimpin kaum dan sekaligus menjadi pemimpin agama. Kaum menghormatinya sebagai makhluk yang suci ditaati segala kehendaknya. 

Saat ini penganut agama Patuntung sudah mendapat pengaruh dari luar. Penganut agama Patuntung yang dikenal sejak dahulu lebih memilih hidup memencilkan diri di daerah-daerah yang sukar dikunjungi oleh orang luar. Namun saat ini kebudayaan dari luar juga sempat mempengaruhi kebudayaan mereka. Hal ini dapat dilihat pada penyataan-pernyataan ritual mereka yang tergambar keadaan sikritisme. Tampak dalam unsur kepercayaannya telah dipengaruhi oleh kepercayaan yang mirip dengan kepercayaan agama Budha dan Islam. Pada umumnya agama Patuntung berpakaian yang berwarna gelap yaitu hitam atau biru tua. 

d. Towani Tolotang


Agama Towani Tolotang dianut oleh sebagian masyarakat Sindenreng Rappang, terutama di beberapa bagian pedalaman. Agama tersebut merupakan suatu kepercayaan yang mempercayai adanya kekuasaan alam yang tinggi yang mereka namai To PalanroE (orang yang mencipta), Dewa SeuwaE (Dewa yang tunggal). Dalam perurutan nama-nama yang mengandung aspek-aspek kedewaan terdapat nama Batara Guru, Sawerigading, Galigo dan sebagainya. 

Mereka mempercayai sebuah kitab suci, namanya Mitologi Galigo. Mereka menganggap ajaran dalam kitab ini sebagai jalan kebenaran yang tinggi, dan disitulah mereka mengambil pedoman tentang tata cara hidup kemasyarakatan seperti perkawinan di antara mereka, termasuk upacara dalam hidup keagamaan mereka lakukan dengan sangat ketat. Pada zaman dahulu orang Bugis tidak menguburkan mayat mereka, akan tetapi dibakar dan hasil pembakarannya dimasukkan ke dalam guci. Tentang pembakarannya mayat tersebut ada hubungannya dengan kepercayaan agama Tolotang atau Toani yang diduga asalnya dari Ware Luku sebagai tempat asal Mitologi Galigo. 

3. Nilai-nilai utama Budaya masyarakat Sulawesi selatan 


Dikalangan orang-orang Bugis Makassar dikenal pula syair-syair menyatakan sesuatudengan perasaan . syair dapat melahirkan ekses sirik dan pacce. Syair-syair yang erat kaitannya dengan sirik, antara lain berbunyi sebagai berikut: 

TAKUNJUNGA BANGUNG TURU NAKUGUNCIRI 

GULINGKUKUALEANNATALLANGA NATOALIA 

Artinya:Semula kuperturutkan arus mengalir Kemudi kutancapkan Dan kupilihlah Lebih baik tenggelam dari pada surut kembali tanpa hasil. 

KUSORONA BISEANGKUKUCAMPANA 

SOMBALAKKUTAMMAMMELAKKAPUNNA TEAI LABUANG 

Artinya:Kudayung sampanku lajuKukembangkan layar Pantang berbelok kearah lainKecuali arah pantai berlabu. 

Syair tersebut di atas melambang orang-orang Bugis Makassar yang pantang menyerah menghadapi tantangan-tantangan betapapun wujudnya,karena masyarakat menyerah menghadapi tantangan dinilai oleh orang Bugis Makasaar sebagai sirik, contoh syair lain : 

ANGGANGASSENG TONJA LABBA BOYOPACCE TANAEBBA LADINGTENNA GARINGKU NAMALANTANG PA’RISIKU 

Artinya :Daku nikmati tawarnya labu Pedis tak tergores pisau Kutak menderita penyakit Namun betapa pedisnya terasa menusuk jauh dilubuk hati. 

Pada umumnya, bila orang Makassar telah bersyair seperti tersebut diatas, lazimnya disusul dengan rasa pacce (rasa pedih yang mendalam, kerena disinggung kehormatannya). Logikanya, ia mengandung aspek-aspek sirik dan penyelesaiannya otomatis :darah ..... sebagai tebus ketersingggungan (pacce) tersebut.Jadi, pacce sebagai aspek yang hakiki dari pada sirik itu, bukan berarti kesetiakawanan dalam membelah kehormatan (sirik), melainkan ia mengandung makna : kepedihan yang tiada taranya, karena martabat harkat diri tersinggung.Ia tersayat-sayat menjangkau jauh kedalam lubuk hati. Itulah hakekat dasar yangdisebut pacce. Sebagai perwujudan lanjut (inti sari) dari pada sirik tersebut. 
Dalam budaya orang Bugis Makassar, ada disebut “PASENG” yakni amanat, pesan- pesan yang dituangkan oleh orang tua (leluhur) kepada genersasi-generasi penerus. Atau dapat katagorikan sebagai jenis wasiat. Tersebutlah bahwa dalam buku “PASENG” yakni sejenis sastera Bugis, tercantum lima pesanan. Yaitu lima bentuk petuah yang diharapkan menjadi pegangan generasi yakni: 

1. Ada Tongeng (berkata dengan benar) 

2. Lempuk (kejujuran) 

3. Getting (berpegangan teguh pada prinsip keyakinan pendirian) 

4. Sipakatau (hormat menghormati sesame manusia ) 

5. Mappesona Ri Dewata SeuwaE (pasrah pada kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa). 

Dengan mentaati kelima pesanan tersebut diatas, orang-orang Bugis mengharapkan keturunanya akan tampil sebagai insan yang berguna. Atau yang disebut denganPembangunan manusia seutuhnya. Orang-orang Bugis mengamanatkan kepada keturunannyasifat-sifat kesatria. Yakni berkata dengan benar. Tidak munafik. Satunya kata dengan perbuatan. Disamping itu, diwajibkan kepada keturunan orang-orang Bugis-Makassar untuk senantiasa jujur. Tidak menonjok kawan seiring. Tidak menipu dan memperbodoh sesama manusia. Sejalan dengan itu, wajib piula setia pada keyakinan. Tidak terombang-ambing oleh pengaruh-pengaruh situasi yang timbul dalam keadaan bagaimanapun. Saling hormat menghormati, harga menghargai dengan sesame manusia atau masyarakat lingkungannya.Yakin seyakin-yakinnya, bahwa tidak kekuasaan lain yang jadi kehendaknya,selainKekuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Manusia berjuang, berikhiar dan berusaha,namun Tuhan jualah penentu atas segala-galanya. Tiada selembar daunpun jatuh,tanpa kehendakNya.Kelima pegangan atau pesanan yang diistilahkan dalam bahasa Bugis sebagai LimaPappaseng (Lima pesanan) dikaitkan pula dengan sendi-sendi SIRIK. 

Kelima pegangan tersebut diatas merupakan cirri penilaian terhadap seseorang. Yakni, bahwa mereka yang mempunyai harga dir (Sirik) harus berpegangan pada kelima prinsip pesanan tersebut di atas. Betapa tidak, misalnya, seseorang yang tidak lagi memiliki sifat-sifat dan ada Tongeng (berkata dengan benar),Lempuk (kejujuran), Getteng (berpeganga teguh pada prinsip keyakinan pendiriaan ), Sipakatau (saling hormat menghormati),Mappesona Ri Dewata SeuwaE (pasrah pada kebesaran Tuhan Yang Maha Esa ), maka dia dia dinilai sebagai orang “kurang Sirik” (tidak ada harga diri ). Ia bukan manusia. Sebab manusia dipoegang pada perbuatun-perbuatannya atau diukur dari perangai-perangainya. Apabila ia tidak berperilaku yang wajar maka ia dinamai “Rapang – Rapang Tau”(orang-orangan alias boneka). Jelaslah bahwa makna “Srik” itu, menyangkut jauh ke dalam persendian budi pekerti. Ia merupakan hakekat hidup yang prinsipil bagi orang-orang Bugis-Makassar, pewaris budaya Sirik tersebut. Karena hanya mereka yang memiliki “Sirik” yang dinilai manusia oleh orang-orang Bugis tersebut. 

Dalam pengertian,bahwa manusia yang baik ialah mereka yang berbudi pekerti luhur (yang memiliki Sirik). Kebenaran-kebenaran ucapkannya dapatdipercaya . tingkah lakunya sopan, kejujurannya menyakinkan . Sikap pendiriaannya tidak diragukan . Karena ia tidak bermental pengecut. Taqwa kepada tuhan yang bila disimpulkan secara luas,adalah manusia yang menghayati dan mengamalkan nilai-nilai pancasila. Dengan mengamalkan “lima Pappaseng” atau lima pesanan (pegangan) tersebut di atas, ia sudah dapat dikatagorikan: Manusia Pancasilais. Karena Pancasila memang digali dari nilai-nilai Bangsa Indonesia sendiri yang Bhinneke Tunggal Ika. Yang salah satu aspeknya adalah Lima Paseng tersebut, sebagai unsur-unsur dasar falsafah ke-Indonesia-an.


4. Konsep kekuasaan kaitannya dengan To Manurung


Berlandas berbagai tata nilai kepemimpinan (pemerintahan) yang menitik-beratkan pada etika dan moralitas politik, kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan pun membangun sistem pemerintahannya. Sistem kepemimpinan yang diterapkan dalam kehidupan bernegara masyarakat Sulawesi Selatan yang lebih menitik-beratkan pada aspek etika dan moralitas politik seorang pemimpin –sejak masa Galigo terlebih setelah masuknya Islam– inilah yang kemudian melahirkan pemimpin-pemimpin dengan kualitas moral yang baik. 

Dalam berbagai manuskrip tentang kepemimpinan di Sulawesi Selatan, unsur etika dan moralitas kepemimpinan memang merupakan tolak ukur utama dalam menjalankan roda kekuasaan bagi seorang pemimpin. Hal ini, misalnya dapat dilihat dari beberapa pesan To Ciung Maccae ri Luwu kepada La Manussa To Akkaranggeng, calon Datu Soppeng Sonrongpole, sebelum menduduki tahta kerajaan di Soppeng: “Lima hal yang menyebabkan seorang raja tetap tenang dalam kerajaannya”. 

Pertama, jujur ia terhadap dewata serta kepada sesamanya raja, terhadap negeri tetangganya, serta kepada rakyatnya. Ia juga jujur terhadap dirinya dan kepada isi rumahnya. Jujur pula ia kepada semua yang dilihat mata serta yang didengar telinga. Sebab, yang dikatakan sebenarnya jujur, hanyalah mereka yang jujur kepada semua yang tersebut tadi.” 

Kedua, apa saja yang hendak dilakukan oleh seorang raja, atau mau ia katakan, dilihatnya yang ada di depannya dan ia memperkirakan apa yang ada di belakangnya. Dipertimbangkannya pula kepada para hakim dan kepada rakyatnya dan menanyai sikap jiwanya. Hal itu dia kerjakan atau ia katakan jika telah disepakati oleh mereka yang mengetahui nasehat yang berujung kebaikan. Sebab, keburukan yang baik adalah yang disepakati. Dan kebaikan yang buruk ialah yang tidak disepakati. Persahabatan yang baik ialah yang tidak saling menyesali dan tidak saling menggerutui. 

Ketiga, mudah ia membantu orang dalam suka dan duka menurut wajarnya. Mudah ia menyapa serta memberi nasehat menurut patutnya. Mudah ia memberi kepada hambanya (rakyatnya), serta sangat pengasih dan penyayang ia, lagi selalu memberi makan dan minum siang dan malam. Orang yang sungguh-sungguh pemurah, ialah mereka yang menyenangi perbuatan yang tersebut itu. 

Keempat, teguh pendiriannya. Artinya, ia tidak meninggalkan janji. Ia juga teguh memegang ikrar (antar negara) dan tidak akan mementahkan keputusan hakim. Ia teguh pada batas-batas yang sudah ditentukan, tidak melebih-lebihkan perbuatannya, dan tidak menguranginya. Ia teguh juga untuk tidak melebih-lebihkan perkataannya, atau pun menguranginya. Ia juga tidak akan melebih-lebihkan penglihatannya daripada apa yang sudah dilihatnya. Demikian juga pendengarannya serta pengetahuannya daripada apa yang telah diketahuinya. Orang yang teguh memegang apa yang sudah disebutkan tadi, itulah orang yang sungguh-sungguh pendiriannya. 

Kelima, raja itu harus berani. Adapun orang yang berani, berani melakukan pekerjaan baik dalam kesulitan maupun dalam hal yang tidak sulit menurut patutnya. Berani ia mengucapkan perkataan yang keras maupun yang lemah lembut menurut wajarnya. Berani ia memutus perkara yang sulit maupun yang mudah sesuai dengan kebenaran. Berani ia mengingatkan serta menasehati para pembesar maupun kepada orang awam sesuai dengan kemampuannya. Berani juga ia berjanji dengan sesamanya raja atau negeri, baik menyangkut kebaikan maupun keburukan menurut wajarnya. Berani ia melihat yang luas maupun yang sempit, yang tinggi maupun yang rendah, yang besar maupun yang kecil, yang menyenangkan maupun yang susah, sampai yang sepatutnya dilihat oleh mata. Berani ia mendengar perkataan yang jelek maupun yang baik, suara yang keras maupun yang lembut, jauh maupun dekat. Jika seseorang berani terhadap semua yang sudah disebutkan itu, ia itulah raja yang panjang umur dan banyak anak. Berkembang rakyatnya, berbiak ternaknya, subur pohon buah-buahannya. Padi selalu menjadi. Tidak ditimpa bencana negerinya. Tidak curiga raja tetangganya. Ia disegani oleh negeri tetangganya serta dipatuhi oleh rakyatnya. Raja yang seperti itu pulalah kaya dan selalu menang dalam perang. Bertambah terus kerajaannya. Bertambah juga kebesarannya. Dipuji oleh semua orang, tersohor barat, timur, utara dan selatan. Berita kebaikannya sampai kepada anak cucunya.” 

Sumber
http://id.wikipedia.org
Berbagai Sumber

0 komentar:

HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html