”...Orang tua yang sangat pandai ini adalah
seorang yang jenius. Ia mampu bicara dan menulis secara sempurna
sedikitnya dalam 9 bahasa. Kelemahannya hanya satu: ia hidup melarat.” (Prof.
Schermerhon dalam Het dagboek van Schermerhon).
Soekarno Bersama H. Agus Salim |
Hindia
Belanda 1915. Terbetik sebuah isu, Syarikat Islam (SI) lewat Tjokroaminito,
menerima uang 150.000 gulden dari Jerman. Dana sebesar itu, konon sengaja digelontorkan
salah satu negara adi kuasa era tersebut, sebagai upaya untuk membeayai sebuah
pemberontakan besar di tanah Jawa.
Demi
menerima isu panas itu, pemerintah Hindia Belanda tidak tinggal diam. Mereka
lantas menugaskan salah satu agen intel muda di PID (Politiek Inlichtingen
Dien) untuk menyelidiki kebenaran isu tersebut. Namun, alih-alih mendapat
informasi yang berharga, sang agen malah mengirim berita “mengejutkan” dari
Surabaya. Isinya, ia menyatakan keluar dari PID.
“Rupanya,
pesona kharisma Tjokro, telah menyihir sang anak muda untuk membelot ke SI,”
ujar sejarawan Ridwan Saidi dalam sebuah diskusi sejarah di Republika beberapa
waktu yang lalu. Siapakah anak muda itu? Ia tak lain adalah Agus Salim.
Lahir di
Koto Gadang, Bukittinggi, 8 Oktober 1884, sedari kecil Agus Salim menikmati
pendidikan eksklusif gaya Eropa. Itu terjadi, selain karena ia putera seorang
jaksa, ia pun memiliki otak yang encer. Begitu cerdasnya Agus Salim, hingga
saat duduk di Europese Lagere School (ELS, sekolah eropa setingkat lanjutan
pertama) di Riau, sang kepala sekolah tertarik untuk langsung mendidiknya
dengan etika dan bahasa Belanda.
Setelah lulus
dari HBS (sekolah Belanda setingkat lanjutan atas), Agus bekerja di Konsulat
Belanda di Jeddah, Saudi Arabia. Bekerja di lingkungan asal datangnya Islam
itu, membuat Agus belajar banyak soal Islam dan bahasa Arab. Bisa jadi, karena
keahliannya di dua bidang tersebut, membuat PID tertarik untuk merekrutnya.
Maka, pada sekitar 1913, ia kembali ke Batavia dan resmi bekerja sebagai agen PID.
Seperti
sudah disebutkan di atas, PID lantas menugaskan Agus untuk menyelidiki
Tjokroaminoto di Surabaya. Penyelidikan itu ternyata berakhir dengan masuknya
Agus ke SI. Sejarah menyatat, Agus tidak hanya menjadi anggota SI. Sampai
meninggalnya Tjokro pada 1934, ia bahkan selalu disebut-sebut sebagai orang
kedua di SI. “Tjokro dan Agus adalah dwitunggal Syarikat Islam,” tulis Mohamad
Roem dalam Manusia dalam Kemelut Sejarah.
Hingga
1921, Agus Salim masih memperlihatkan sikap kooperatif terhadap pemerintah
Hindia Belanda. Itu dibuktikan dengan kesediannya menjadi anggota Volksraad
atau Dewan Rakyat (1921-1924) mewakili SI. Justru di Dewan Rakyat itu sikap
radikal Agus mulai terpupuk. Tak jarang ia bicara terbuka, keras, dan
menantang. Salah satu bentuk keradikalannya adalah saat ia ngotot menggunakan
bahasa Melayu dalam rapat-rapat di Dewan Rakyat. Sebuah sikap yang berani dari
seorang bumiputera saat itu.
“Ia pernah
mengeritik Dewan Rakyat sebagai ‘komidi ngomong’,” tutur Mohamad Roem.
Seiring
bergesernya gaya perjuangan SI ke arah nonkooperatif, Agus dan kawan-kawan
SI-nya lantas menyatakan mundur dari Dewan Rakyat. Ia kemudian aktif di JIB
(Jong Islamieten Bond) dan sehari-hari bekerja sebagai seorang jurnalis.
Tulisannya yang sangat keras bertaburan di beberapa koran dan majalah Hindia
Belanda, seperti Hindia Baru, Fadjar Asia dan Het Linch.
Sebagai
seorang jurnalis, Agus meliput berbagai peristiwa di pedalaman Jawa, Sumatera,
dan Kalimantan. Dengan mata kepalanya sendiri, ia menyaksikan ketidakadilan
berbagai aturan Pemerintah Hindia Belanda. Ia juga menjadi saksi berbagai
sisitem yang memeras rakyat untuk kepentingan penjajah, mulai praktik kuli
kontrak dengan pembayaran minim (poenale sanctie) hingga penyewaan tanah rakyat
kepada pengusaha Eropa dalam jangka panjang (erfpacht).
Berbagai
pengalaman itu berpengaruh terhadap cara pandangnya di kemudian hari. Termasuk
saat ia bersama-sama tokoh pendiri bangsa lainnya menyusun UUD 1945. Konon,
Pembukaan Undang-undang Dasar (UUD) 1945 yang di antaranya berbunyi,
“Sesungguhnya kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka
penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri
kemanusiaan dan peri keadilan,” mengandung ide-ide pemikiran Agus Salim.
Agus Salim
memang memiliki sumbangan yang tidak kecil dalam pembangunan bangsa baru
bernama Indonesia. Bukan hanya sebagai anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI), ia bahkan termasuk dalam tim kecil perumus Pembukaan UUD RI.
Mungkin karena keahliannya dalam tata bahasa Melayu, ia bersama Djajadiningrat
dan Soepomo, menjadi penghalus bahasa dalam penyusunan batang tubuh UUD 1945.
“Jauh
sebelum dunia Barat bicara tentang hak asasi manusia, Haji Agus Salim sudah
menyinggung dalam perjuangannya menuntut kemerdekaan sebagai hak manusia,
bahkan hak segala bangsa!” demikian Emil Salim dalam Seratus Tahun Haji Agus
Salim.
Kiprah
perjuangan “the grand old man” –julukan Soekarno terhadap Agus Salim– tidak
hanya sebatas pendirian Indonesia. Pada beberapa kabinet, Agus Salim selalu
menduduki peran sebagai menteri luar negeri. Posisinya itu menjadikan ia sering
bertemu dan terlibat perdebatan alot dengan para diplomat Kerajaan Belanda.
Salah satu diplomat itu adalah Prof. Schermerhon.
Sebagai
seorang “musuh” Schermerhon memiliki kesan yang mendalam terhadap Agus Salim.
Dalam Het dagboek van Schermerhoon (Buku Harian dari Schermerhoon), ia menggambarkan
Agus Salim: “Orang tua yang sangat pandai ini adalah seorang yang jenius. Ia
mampu bicara dan menulis secara sempurna sedikitnya dalam 9 bahasa.
Kelemahannya hanya satu: ia hidup melarat.”
Berdamai
dengan kemelaratan seolah telah menjadi pilihan hidupnya. Itu dibuktikannya
pada 4 November 1954, saat bapak pendiri bangsa tertua itu menutup mata
selamanya. Tak ada warisan harta dan kemilau materi yang diwariskan kepada
anak-anaknya. Ya, hidup sederhana seolah telah “dihitung” sang diplomat tua sejak
jauh hari. Sejak ia memutuskan ke luar dari pekerjaannya yang bergaji besar di
PID.
sumber : esq-news.com
2 komentar:
Komentar
tes
Post a Comment