Monday 7 October 2013

Sumber-Sumber Sejarah

Sumber (sumber sejarah disebut juga data sejarah; bahasa Inggris datum bentuk tunggal, data bentu jamak; bahasa Latin datum berarti pemberian) yang diumpulkanharus sesuai dengan jens sejarah yang akan ditulis. Sumber itu menurut bahannya, dapat dibagi menjadi dua: tertulis dan tidak tertulis, atau dokumen atau artefak. Selain itu, karena kita akan menulis hal-hal yang baru, pastilah ingatan orang akan peristiwa-peristwa tahun 1946 masih dapat direkam. Apalagi kita meneliti masalah-masalah sekarang, sumber-sumber lisan itu bukan saja ada, tetapi harus dicari dengan sejarah lisan.

A. Jejak Masa Lalu

Syarat mutlak untuk melukiskan kehidupan manusia di masa lalu ialah kertersediaaan sumber sejarah.Tanpa sumber sejarah, tulisan yang dihasilkan itu bukan merupakan karya sejarah. Bila suatu karya yang mengggambarkan tentang kehidupan masa lalu tanpa didasari oleh sumber, melainkan hasil imajinasi sang penulisnya semata, maka ia merupakan karya sastra. Penggunaan sumber inilah yang membedakan karya sejarah dan karya sastra.Tetapi tidak berarti bahwa pembedaan dua jenis karya tersebut berlaku secara kaku dalam arti bahwa karya sejarah hanya semata-mata mengandalkan sumber sejarah tanpa menggunakan imajinasi sebagai dasar untuk merangkai kata-kata sehingga terbentuklah karya sejarah.

Imajinasi sangat penting dalam menghadirkan kembali masa lalu di tengah kehidupan kita dalam bentuk cerita sejarah. Tanpa imajinasi, masa lalu yang dilukiskan tidak akan menjadi “hidup”. Hal ini terkait dengan pengertian sejarah sebagai kisah tentang masa lalu. Memang masa lalu dari segi perspektif peristiwa hanya terjadi satu kali dan tidak akan pernah terulang kembali dalam waktu , tempat, dan pelaku yang sama. Tetapi, sejarah dalam arti sebagai kisah mungkin saja berulang. Artinya, alur atau jalannya peristiwa tampak sama antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya dalam waktu yang berbeda.

Sebut saja kisah sejarah Ken Arok, pendiri Dinasti Singosari saat ia hendak menjadi raja, maka ia berupaya menyingkirkan Tunggul Ametung yang pada saat itu menjabat sebagai Bupati Tumapel.kemudian Ken Arok memesan sebuah keris kepada Mpu Gandring. Proses pembuatan keris itu belum rampung, kendati demikian keris itu tetap diambil paksa oleh Ken Arok, kemudian dicoba digunakan untuk membunuh pembuatnya. Keris inilah yang digunakan Ken Arok untuk membunuh Tunggul Ametung, dan akhirnya berhasil menjadi seorang penguasa dan mendirikan kerajaan Singosari.

Peristiwa tersebut memang hanya terjadi satu kali, tetapi tampak berulang alur ceritanya pada waktu yang berbeda. Putra Tunggul Ametung (Anusapati) dengan Ken Arok berselisih ingin menjadi raja, kemudian membunuh Ken Arok menggunakan Keris Mpu Gandring,demikian seterusnya, Toh Jaya, putra Ken Arok dengan Ken Dedes, membunuh Anusapati dengan menggunakan keris yang sama juga.

HIkmah yang sama dapat diambil dari rentetan peristiwa itu adalah , bahwa dalam sejarah Singosari, peristiwa pembunuhan atau kudeta mengalami pengulangan.

Terjadinya pengulangan dan ketidak berulangan dalam sejarah membawa pemikiran kita pada argument Sosiolog Belanda, W.F. Wertheim,[1] bahwa human History is a constant interaction of repetition and novelty. “The repetition ever appearing in a new garment and the novelty ever fit for a repetitional schemes”. Menurutnya, sejarah merupakan suatu interaksi (interaction), konstan dan pengulangan (repetition), daan pembaruan (novelty).Pengulangan itu bisa tampak dalam wajah baru dan pembaruan kadang merupakan suatu skema pengulangan.Hal ini dapat dilihat pada peristiwa pembunuhan-pembunuhan yang terjadi di Singosari.

Berdasarkan pada hal tersebut, jelas bahwa upaya merekonstruksi masa lalu dalam bentuk kisah sejarah, merupakan hal yang sangat penting dalam menapak kehidupan hari ini dan dimasa yang akan dating. Atas dasar itulah, pekerjaan seorang sejarawan bukan hanya semata berbicara tentang masa lalu dan ia berhenti setelah selsai melakukan pekerjaannya, seakan sejarah adalah masa lalu semata. Lebih dari itu, rekonstruksi peristiwa sejarah diharapkan dapat menjadi pedoman (guide) bagi generasi sekaraang dalam melakoni kehidupannya.Pentingnya pengetahuan tentang masa lalu, maka penulisan sejarah menjadi hal mutlak yang harus dilakukan untuk memahami jati diri atau bangsa.

B. Sumber Sejarah Menurut Waktu Pembuatannya

Pengklasifikasian sumber sejarah menurut waktu pembuatannya didasarkan pada dua konsep, yaitu:

Pertama, diartikan sebagai jejak yang dibuat pada saat peristiwa terjadi. Jika jejak itu berupa benda, maka ia merupakan peninggalan atau sesuatu yang ada pada saat pristiwa. Tetapi jika ia dalam wujudnya sebagai manusia, maka yang bersangkutan itu adalah saksi mata atau pelaku dalam peristiwa itu.

Kedua, dalam hal ini ialah sesuatu yang ada atau diadakan setelah kejadian itu. Benda apapun yang dibuat setelah peristiwa itu terjadi (sekalipun berupa monumen peringatan peristiwa tertentu) atau seseorang, termasuk kategori “sumber kedua”.

Pengklasifikasian sumber sejarah yang “pertama” selanjutnya disebut “sumber primer” dan yang kedua adalah “sumber sekunder”. Pada sumber sejarah yang primer belum ada turut campur tangan sejarawan di dalamnya. Dokumen (arsip) atau benda material terkait dengan peristiwa tertentu merupakan jejak masa lalu yang hadir apa adanya. Demikiaan pula kisah sejarah (history as told) yang disampaikan oleh para pelakunya belum mendapat sentuhan tangan sejarawan. Dengan kata lain, sifat informasinya masih berasal dari tangan pertama.

Berbeda dengan sumber primer, pada sumber sejarah yang sekunder campur tangan peneliti sejarah sudah ada dalam memperlakukannya sebagai bahan sumber untuk rekonstruksi peristiwa masa lalu. Karena itu, pemahaman atau pengetahuan tentang peristiwa acapkali berbeda (multi-interpretasi), sekalipun itu mengenai satu peeristiwa sejarah di tempat (spasial) dan waktu (temporal) yang sama. Sumber seperti ini dapat berupa buku-buku, hasil penelitian, jurnal, makalah, karya ilmiah, dan sebagainya.

Penggunaan sumber sejarah, baik primer maupun sekunder, sangat mempengaruhi kualitas dari suatu karya sejarah.Bahkan sering menjadi prioritas utama ketika seseorang melakukan studi karena kedekatan sumber dengan baik peristiwa yang ditulisnya.Sejarawan bisa menempatkan dirinya dalam peristiwa itu, dan lebih leluasa memberikan penafsiran atau lukisan terhadap peristiwa.

Meskipun dari segi kekuatan informasinya sumber primer lebih utama, namun sumber sekunder juga harus tetap digunakan.Sebab, sumber sekunder dapat memperkaya pemahaman dan menambah daya kritis sejarawan.Misalnya tentang gerakan PRRI/Pramesta.Para penulis umumnya, seperti Barbara Sillars Harvey,[2] menulis bahwa gerakan ini termasuk dalam pengertian gerakan sepratis, yakni upaya untuk memisahkan diri dari Republik Indonesia.

C. Sumber Sejarah Berdasarkan Bentuknya

Pembagian sumber sejarahselai dari segi waktu, juga berdasarkan pada bentuk atau bahannya. G.J. Renier,[3] sumber sejarah dibedakan atas tiga. Pertama, sumber immaterial (abstrak), yakni sesuatu yang masih hidup dalam mmasyarakat, seperti, adat, norma, etika, tredisi, legenda, dan sebagainya. Kehadirannya berfungsi untuk menyampaikan pesannya tanpa konsultasi/jalur formal.Kedua, sumber material (empirik), yaknimerupakan objek-objek atau benda berupabenda purbakala dari kegiatan manusia yang hidup pada masa lalu.Ia dibedakan atas benda material yang tertulis (prasasti) dan tidak tertulis (dolmen, menhir, dan sebagainya), yang hanya bisa difahami dengan menggunakan keahlian khusus. Pada tahap ini, sejarah membutuhkan ilmu-ilmu lain (ilmu bantu sejarah) dalam memahami sumber-sumber sejarahdan sekaligus untuk menginterpretasikannya. Ketiga, sumber sejarahtertulis (empirik), yakni bukti dari setiap kegiatan manusia, yang lebih mengarah pada sumber berupa dokumen (arsip).

Sumber sejarah (dari segi bentuknya) secara umum dapat dibagi menjadi tiga, yaitu: lisan, tertulis, dan benda. Pertama, sumber lisan dapat pula dibagi atas dua, yakni (1) tradisi lisan atau oral tradition dan (2) sejarah lisan atau oral history.Sumber lisan yang ppertama ialah cerita tentang hal tertentu yang diturunkan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dengan kata lain, it is a memory of memories. Tradisi lisan biasanya mencakup semua aspek kehidupan dari satu komunitas di masa lampau yang merupakan budaya lisan dari suatu masyarakat. Tujuannya adalah untuk mengungkapkan secara khusus apa yang terjadi di masa lampau (historical traditions) dan sekedar kesenangan dalaam mengungkapkan kebijakan lisan, kearifan, atau cerita mengenai masa lampau (literary tradition).

Karena sifatnya diturunkan kepada beberapa generasi yang berganti dan berubah, maka kadang terdapat variasi dalam pengisahannya.Isi dan alur sperti ini banyak diwarnai oleh hal-hal irrasional terutama dalam pandangan generasi sekarang yang rasional. Sumber lisan dapat berupa: (1) mite, yakni dongeng tentang hal-hal yang berhubungan dengan alam gaib, dewa-dewa atau Tuhan, (2) sage yaitu dongeng tentang keberanian, kesaktian, dan kepahlawanan seseorang (sering kali berdasarkan padaa perisiwa sejarah), dan (3) legenda adalah cerita tentang asal-mula suatu benda atau tempat dalam kehidupan manusia.

Selain itu, tradisi lisan dapat pula berupa ungkapan-ungkapan atau pesan-pesan moral yang dianggap suci oleh masyarakat Kajang, Bulukumba di Sulawesi Selatan, dikenal adanya Pasang ri Karang yakni pesan-pesan moral para leluhur yang diturunkan secara turun-temurun melalu perantaraan pimpinan hadat atau Ammatoa.[4] Salah satu pesan moral itu ialah memelihara lingkungan 

Sumber lisan dalam pengertian kedua (oral history) adalah kisah tentang kejadian tertentu yang disampaikanoleh pelaku sejarahnya langsung.Semua kejadian itu adalah living memory (kenangan yang hidup) atau by word of mouth (kalimat dari mulut) para pelakunya.[5] Meskipun sumber lisan sangat penting dan mudah dalam menjelaskan masa lalu namun patut di catat bahwa terdapat pula beberapa kelemahan antara lain (a) sebagai certa yang dilsankan atau dituturan, tidak terlepas dar sifat-sifat subjektif atau kepentingan tertentu dari pengkisahannya, (b) sukar untuk mempertahankan keasliannya, karena sering ada penambahan atau pengurangan pada isi cerita, sehngga sulit dipahami jika hanya semata mengandalkan sumber lisan, (c) kondisi atau usia pengkisah turut juga mempengaruhi informasinya. Para pelaku umumnya sudah memasuki usia tua (senja) dan ingatannya sudah mulai berkurang. Selain itu, khususnya mereka yang hidup di kota banyak terpengaruh oleh perubahan dunia kota, sehingga akurasi informasinya agak terganggu. Karena itu, diperlukan sumber-sumber lain yang relevan dengan subjek studi untuk mengetahui totalitas peristiwa.

Kedua, sumber sejarah yang tertulis dapat dibagi atas dua yaitu: sumber yang sengaja dibuat untuk kepentingan sejarah. Sumber yang sengaja dibuat untuk kepentingan sejarah dapat berupa; otobiografi, biografi, annual (catatan perstiwa per tahun), buku peringatan (peristiwa sejarah tertentu, seperti 30 Thn Indonesia merdeka), notulen (rapat, komperensi, perjanjian, dsb), foto atau documenter (tentang suatu perstiwa), dan prasasti atau piagam.Lontarak dalam tradisi tulis di Sulswesi Selatan merupakan sumber sejarah yang sengaja dibuat.Lontarak Bilang Raja Gowa dan Tallok dibuat untuk mengabadikan kejadian-kejadian penting terkait dengan kerajaan kembar Gowa-Tallo (Makassar).

Ketiga sumber sejarah dalam bentuk benda.Padas sumber sejarah ini sult ditemukan keterangan.jika ditemukan keterangan, maka umumnya isinya sangat singat bila dibandingan dengan sumber lisan dan sumber tulisan. Sumber sejarah ini berupa: (1) alat-alat kerja (seperti kapak, pacul, dan sebagainya), (2) alat-alat rumah tangga (seperti periuk dan belanga), (3) bangunan (seperti istana, rumah adat, candi, mesjid, dan gereja), (4) arca atau patung (5) jenis-jenis senjata, (6) benda-benda perhiasan (manik-manik), (7) mata uang, dan sebagainya.

Ketiga jenis sumber terakhir (lisan, tulisan, benda) mempunyai kekuatan dan kelemahan informasinya.Misalnya, sumber lisan sebagai jejak masa lalu yang tidak tertulis atau merupakan memory yang terekam dalam ingatan seseorang.Baik tradisi lisan maupun sejarah lisan mempunyai kelemahan terutama dalam hal daya ingatan penuturnya.

KESIMPULAN

Berdasaran dari apa yang telah kami paparkan di atas, maka dapat ditarik beberapa catatan penting, yang sekaligus sebagai kesimpulan dari makalah ini diantaranya adalah:

Ketimpangan penggunan sumber lisan dalam penulisan sejarah membuat sejarawan harus mencari cara dan jenis sumber lain yang lebih akurat. Karena itu, tepat jika direnungkan kembali sebuah ungkapan bahwa “tinta yang kabur mash lebih baik daripada ingatan yang dianggap tepat.”Maksudnya, sifat informasi dari sumber tertulis (meskipun kabur) lebih akurat dibandingkan dengan sumber lisan.Kaburnya tulisan karena termakan waktu dan kondisi lingkungan tidak mengurangi nilai informasi yang ada di dalamnya.Sebaliknya, keterangan lisan dapat saja berubah apan dan dimana pun, tergantung pada pengkisahnya.Pentingnya informasi tertulis telah dpertegas oleh Sejarawan Leopold van Ranke, dalam kalimat “no document, no history”. Namun tidak berarti bahwa sumber tulisan itu langsung digunakan dalam merekonstruksi masa lalu, karena harus tetap melewati proses verivikasi bahan dan isi informasinya. 

Keberadaan sumber benda tida dapat dipisahkan dari kedua jenis sumber (lisan dan tulisan) tersebut. Memang, ia berupa benda yang tidak dapat berbicara tentang masa lalu, tetapi keberadannya lebh pada upaya memperkuat infomasinya lisan dan tulisan. Sebab, ia adalah saksi bisu (duta) dari suatu peristiwa. Kebisuannya dapat dibuat “bicara” dengan menggunakan sumber sejarah lainnya.Misalnya, Masjid Tua Palopo, Gong Nekara Selayar, Benteng Somba Opu, dan Fort Rotterdam.Benda-benda ini merupakan saksi bisu dari zamannya masing-masing.Keberadaannya lebih menguatkan sejarah masyarakat Sulawesi Selatan pada masa itu. Seperti halnya dua jens sumber sejarah lainnya, sumber benda ini juga tidak luput dari kritik sumber. 



DAFTAR PUSTAKA

[1] W.F. Wertheim. 1959. Indonesian Society in Transition: A Studi of Social Change. Amsterdam: W. van Hoevel, hal. Viii. 

[2]Barbara Sillars Harvey. 1983. Pramesta: Pemberontakan Setengah Hati (Terjemahan). Jakarta: Grafiti Press. Baca juga Disjar TNI-AD.1987. Penumpasan Pemberontakan Sparatisme di Indonesia. Jakarta: Markas Besar TNI-AD. 

[3]G.J. Renier. 1997. Metode dan Manfaat Ilmu Sejarah (Diterjemahkan oleh Muin Umar). Jakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 101-112. 

[4]Samiang Katu. 2002. Pasang ri Kajang (Kajan tentang Akomodasi Islam dengan Budaya Lokal di Sulawes Selatan). Makassar: Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) IAIN Alauddin Makssar. 

[5]Anthony Seldon and Joanna Papworth. 1983. By Word of Mouth:“Elite” oral History. London and New York: Methuen.

0 komentar:

HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html