Thursday, 17 October 2013

DINASTI BUWAIHIYAH



Berawal dari tiga orang putera Abu Syuja' Buwaih, seorang pencari ikan yang tinggal di daerah Dailam, yaitu Ali, Hasan dan Ahmad. Untuk keluar dari tekanan kemiskinan, tiga bersaudara ini memasuki dinas militer yang ketika itu dipandang banyak mendatangkan rezeki.

Pada mulanya mereka bergabung dengan pasukan Makan Ibn Kali, salah seorang panglima perang Khilafah Abbasiyah dari Dailam. Setelah pamor Makan Ibn Kali memudar, mereka kemudian bergabung dengan panglima Mardawij Ibn Zayyar al-Dailamy. Karena prestasi mereka, Mardawij mengangkat Ali menjadi gubernur al-Karaj, dan dua saudaranya diberi kedudukan penting lainnya. Dari al-Karaj itulah ekspansi kekuasaan Bani Buwaih bermula. Pertama-tama Ali berhasil menaklukkan daerah-daerah di Persia dan menjadikan Syiraz sebagai pusat pemerintahan. Ketika Mardawij meninggal, Bani Buwaih yang bermarkas di Syiraz itu berhasil menaklukkan beberapa daerah lain seperti Rayy, Isfahan, dan daerah-daerah Jabal. Ali berusaha mendapat legalisasi dari khalifah Abbasiyah, al-Radhi Billah dan mengirimkan sejumlah uang untuk perbendaharaan negara. Ia berhasil mendapatkan legalitas itu. Kemudian ia melakukan ekspansi ke Irak, Ahwaz, dan Wasith.

A. Pembentukan Dinasti Buwaihiyah

Terdapat dua kontoversi di kalangan sejarawan tentang asal-usul Dinasti Buwaihiyah. Pertama, ada yang berpendapat bahwa nenek moyang Buwaihiyah adalah Bahram Jur, salah seorang Raja dari Dinasti Sasan. Dinasti tersebut dikenal orang sebagai Dinasti yang anggota-anggotanya terkenal cerdik. Versi lain mengatakan Buwahiyah adalah keturunan dari seorang wazir kepala dari Bahram Jur yang namanya dikenal sebagai Mahunursi, selanjutnya pendapat lain mengatakan bahwa Buwahiyah adalah keturunan dari Dinasti Dhabbah, suatu Dinasti yang berasl dari Arab. Kemudian, pendapat yang berbeda juga dikemukakan bahwa dengan menyatakan bahwa Buwahiyah adalah keturunan Persia yang nasabnya bersambung sampai kepada Yahuda anak Yakub a.s yang selanjutnya sampai kepada Nabi Ibrahim a.s bahkan sampai kepada Nabi Adam a.s.[1]

Menurut Jurji Jaidan seperti yang telah dikutip oleh Yahya H. Mahayudin, nenek moyang Buwahiyah itu berasal dari Negeri Dailam sebelah Timur Khurasan. Mereka yang dikatakan dari Dailam itu bukanlah dari keluarga Buwahiyah sendiri, tetapi pendukung-pendukungnya saja. Keluarga Bani Buwahiyah berasal dari keturunan Raja-raja Persia melanjutkan seorang tokohnya yang bernama Buyyah (Buwahiyah).

Mereka dikegal sebagai Dailam karena tinggal di daerah itu tetapi bukan berasal dari daerah tersebut. Keturunan dari Buwahiyah inilah yang kelak akan jadi penguasa Irak yang gigih. Mereka itu adalah Ali, Al-Hasan dan, Ahmad. Dari mereka inilah dimulai nama Dinasti Buwahiyah, pemegang kekuasaan tertinggi Baghdad dari 945-1055 M, bersama-sama dengan Khalifahnya, yaitu Al-Mustakfih (944-946 M), Al-Muthi (946-974 M), Al-Tah’ih (974-991 M), Al-Qadir (991-1031 M) dan, Al-Qaim (1031-1075 M).[2]

Dinasti Buwahiyah memperoleh peluang kekuasaan pada saat anak-anak Khalifah Al-Mutawkkil, yakni Al-Mustanshir, Al-Mu’taz dan, Al-Mu’ayyat saling berebut kekhalifahan Abbasiyah. Menurut penunnjukkan Al-Mutawakkil, yang harus menduduki kursi Khalifah adalah Al-Mu’taz karena paling cakap, kemudian baru Al-Muayyat. Akan tetapi, kedua calon Al-Mutawakkil ini tidak mendapat dukungan pihak militer. Oleh karena itu, Mustanshirlah yang mereka dukung untuk menjadi khalifah. Pada pemerintahan Al-Mustanshir inilah diumumkan secara resmi izin bagi penganut-penganut aliran Syiah untuk menyelenggarakan ritual keagamaan sesuai dengan ajaran Syiah. Hal ini dilakukan Khalifah semata-mata untuk memperoleh dukungan lebih banyak. Bersamaan dengan itu, peristiwa itu membuat risau kalangan Sunni secara keseluruhan, seolah-olah mereka dengan sengaja diberi saingan.

Kesempatan kedua yang di peroleh Dinasti Buwaihiyah adalah munculnya Dinasti Alawiyah di Taberistan (864 M) yang didahului oleh suatu perlawanan gigih yang di pimpin oleh Al-Hasan Al-Alawi untuk melawan Dinasti Tahiriah yang menjadi kepercayaan Khalifah. Syiah yang di bantu Dailam akhirnya memperoleh kemenangan.

Dailam adalah suku bangsa yang sejak lama takluk kepada Umar bin Khattab tetapi belum menyatakan Islam. Mereka menjadi Syiah lewat dakwah yang diberikan oleh Al-Hasan bin Ali Al- Thrusi. Selanjutnya mereka menjalin hidup berdampingan dan saling membantu.

Jalan lebar yang membawa anak-anak Buwaihiyah-Abu Syuja mendekati Bagdad adalah bahwa sejak meninggalnya istri Abu Syuja, Ali, Al-Hasan, dan Ahmad dipelihara oleh Syahriar bin Rustum Al-Dailami, kawan terdekat Abu Syuja. Setelah mereka dewasa dan mengerti bahwa menjadi tentara bias menopang hidup menjadi lebih baik, mereka mencoba mencari pengalaman baru untuk aktif dalam bidang ketentaraan dengan mendapat kepercayaan untuk memegang beberapa wilayah. Ali memperoleh kepercayaan untuk memegang kekuasaan di Kurj, Ahwaz, wasith, dan Syairaz, dengan gelar- Imad al- Daulah. Al-Hasan dipercaya memegang kekuasaan di Isfahan, Hamadzan, Irak, dan Al-Jibal dengan mendapat gelar Rukn al-Daulah. Sedangkan Ahmad yang termuda diserahi tugas memegang kekuasaan di Kirman, Makran dan digelari Mu’iz Al-Daulah.

Pemerintahan yang dilakukan oleh ketiga bersaudara ini dikoordinasikan oleh Ali Imad Al-Daulah sabagai saudara yang tertua, dan dikendalikan dari pusat pemerintahannya, yaitu Syairaz, ibu kota Dinasti Buwaihiyah.[3]

Selanjutnya, setelah mardawitdj bin Sayyar Jendral Turki meninggal karna kalah dalam perebutan jabatan Amir al-Umara antarsesama pemimping tentara, Muiz Al-Daulah, pemimpin tentara yang masih mudah mendapat panggilan dari Bagdad untuk menyelamatkan istana yang nyaris dirampas perusuh.[4]

Ketika Khalifah Al-Mustakfi menganugrahkan gelar amir Al-Umara atas jasanya mempertahankan istana, penghargaan itu disambutnya dengan suka cita. Sejak itulah Muis Al-Daulah resmi menguasai Baghdad dan istananya sekaligus.[5]

B. Proses Politik Kemunculan Dinasti Buwahiyah

Pada mulanya hubungan antara Khalifa Al-Mustakfi dengan Muis Al-Daulah baik-baik saja. Akan tetapi, ketika ada rencana Khalifa untuk membunuh Muiz Al-Daulah, Muiz Al-Daulah sebagai Amir Al- Umara terpaksa mengambil tindakan dengan memakzul Al-Mukstakfi dari kedudukanya sebagai khalifa (946M) sejak itulah beban tugas Amir Al-Umara menjadi bertambah karna tatanan kekhalifahan harus berubah dan menjadi tanggun jawabnya.

Jika sebelumnya khalifah memiliki beberapa wazir untuk membantu jalanya pemerintahan, kini Khalifah hanya boleh didampingi seorang juru tulis yang tugasnya hanya melakukan pencatatan hak milik pribadinya saja. Namaun, Dinasti Buwahiyah masih mengakui eksistensi khalifah, dan namanya masih disebut dalam khutbah Jum’at, dan gambarnya pun masih tertera dalam mata uang.

Dalam rangka penyelenggaraan keamanan wilayah, dimana didalamnya masih bersemayam Khalifah Abbasiyah, sebagai amir al-umara, Muiz Al-Daulah harus berani melakukan tindakan tegas meskipun resikonya berat, yaitu berbenturan dari saudaranya sendiri. Tindakan berikutnya adalah menguasai Hamdan secara keseluruhan yang berarti harus mengalahkan Sayf Al-Daulah dan Nashir Al-Daulah. Dengan penuh kecermatan dan keberanian, semua rencana dapat diselesaikan dengan baik. Semua yang dilakukan Muiz Al-Daulah memperjelas dan mempertegas batas-batas kekuasaan buwahiyah

Di sebelah utara membentang dari Tibriz sampai ke Gurgan melalui laut Kaspia; di sebelah Timur ke Selatan menelusuri daerah Rayy, Isfahan, Karman kemudian menyebrang ke laut Persia dan masuk ke daerah Oman. Selebihnya adalah pantai yang memanjang dari Oman sampai ke Bahrain, kemudian menuju ke Bashrah sampai ke hulu Effrat, terus ke Mausul dan akhirnya sampai ke hulu al-Dajlah.

Langkah berikutnya yang dilakukan Muizz Al-Daulah ialah menentukan sikap terhadap Khalifa Al-Muthi pengganti Al-Mustakfi. Dalam perundingan tercapai kesepakatan untuk saling membantu dan menjaga serta tidak saling menzalimi. Dengan demikian, terciptalah situasi hidup berdampingan secara damai.

C. Peran Dinasti Buwahiyah Bagi Peradaban Islam

Ketika kepemimpinan Muiz Al-Daulah masih berlangsung, ia telah menjalin kerjasama dan komunitas yang baik dengan Khalifah Al-Muthi sehingga banyak peristiwa sejarah yang mempunyai nilai tinggi. Di antara peristiwa-peristiwa sejarah tersebut adalah sebagai berikut:

1. Ketika Muiz Al-Daulah memimpin secara resmi ia memberikan izin kepada penganut-penganut aliran Syiah untuk menjadikan tanggal 10 Muharram dan 18 Dzulhijjah sebagai hari besar bagi mereka mengingat dalam pandangan aliran tersebut tanggal 10 Muharram itu adalah hari Karbala yang merupakan hari berkabun karena Husain dibunuh oleh musuhnya. Oleh sebab itu setiap penganut syiah harus berkabun dengan cara berpakaian serba gelap, rauk muka gelap dan bila perlu sambil berthaltim.[6] Sementara itu, pada 18 dzulhijjah adalah hari Gadhir Khum. Pada hari ini setiap penganut syiah harus berpakaian bersih, rapi, terang bahkan menterang sambil menyalakan api pada malam harinya secara terus menerus karna pada hari tersebut diperingati momentum penyerahan wasiat khalifah dari Rasulullah Saw. Kepada Ali bin Abi Thalib.

2. Orang kedua yang mendapatkan gelar amir al-umara adalah Adhud Al-Daulah. Pada masa kepemimpinanya Dinasti Buwahiyah telah mencapai masa keemasanya. Menurut Hasan Ahmad Mahmud,[7] bahwa Adudh Ad-Dulahlah yang mengembalikan wibawa dan karisma Dinasti Buwahiyah ke asalnya.

Pada masanya kekuasaan khalifah semakin kuat, wilayah kekuasaanya semakin luas dan pradabanpun semakin tingi. Pada 368 H, ia menguasai Mausal, Rabi’ah, Miyafarqayn, Amid, Bakr Mudhar. Menurut Ibnu Al-Amid seperti telah dikutip Hasan Ahmad Mahmud,[8] Adhu Al-Daulah adalah orang pertama dalam islam yang bergelar Syahansyah al-Azham Malik al-Muluk. Menurut analisis Hasan Mahmud pula,[9] tidak ada satupun diaantara Amir Buwahiyah yang mencapai derajat paling tingi dan wibawahnya yang besar selain Adudh Al-Daulah. Wibawah atau karismanya telah menembus Baghdad, Karman, Fars, Oman, Khuzistan, Mausul dan Diyark Bark.

Dalam rangka memelihara stabilitas kekuasaannya yang luas dan kharisma Dinasti Buwahiyah, Adudh Al-Daulah telah melakukan berbagai kebujakan strategis dan monumental.Beberapa sumber menyebutkan, bahwa metode yang digunakan Adhud Al-Daulah di dalam memelihara stabilitas politiknya diantaranya ia sangat memperhatikan tekhnik menegtahui berita atau informasi. Abduh Al-Daulah juga sangat cakap dalam kepegawaian ia sangat pandai di dalam menyeleksi gubernur-gubernur dan karyawan-karyawan.

Sistem keamananpun canggih. Ia sangat pandai membersihkan jalan-jalan dari tindakan pencuri. Banyak sumur digalihnya dia juga memerintahkan untuk meramaikan bangunan-bangunan di kota Baghdad, memakmurkan mesjid-mesjid dan menempatkan penduduk Badui, di Persia dan Karman untuk mengembangkan pertanian.[10]

Dalam lapangan sains dan filsafat, Persia dikenal sebagai tempat bersemayamnya para filusuf handal dan ulama terkemuka, baik dari aliran sunny maupun syiah. Adudh Al-Daulah sendiri telah menjadikan Persiah sbagai pusat pemerintahan pada masa kekuasaanya. Peran Adhud AL-Daulah juga sangat besar dalam lapangan ilmu dan filsafat. Ia termasuk orang yang mencintai ilmu pengetahuan dengan banyak belajar kepada guru-guru dan ulama yang terkemuka. Iapun mampu mengapresiasikan karya sastra, mencintai syair bahkan sering memberikan hadiah kepada ulama-ulama dan sastrawan. Dalam vusinya, kedudukan sastrawan jauh lebih mulia daripada kedudukan jabatan Amir. Sebegitu besar perhatiannya terhadap ilmu dan filsafat sampai ia sendiri memiliki perpustakaan yang besar.

Ia didukung oleh kelompok Ikhwana Shafa (Perpaduan Komunitas Syiah dan Mu’tazilah). Oleh karena itu, tidak diragukan lagi bahwa masa Aduhd Al-Daulah merupakan masa keemasan Dinasti Buwahiyah.[11]

Dalam konteks sejaraah gerakan nasionalisme Iran, Dinasti Buwahiyah telah melahirkan banyak hal yang istimewa dan sangat penting, diantaranya adalah bahwa dalam masa pemerintahanya, mereka telah memperlihatkan nasionalisme Persia Iran dengan bagian-bagian teritorial geografisnya yang berbeda-beda, padahal sebelum kehadiran mereka, setiap pemerintahan hanya menampilkan suatu penampilan Persial dari nasonalisme Persi Iran tersebut. Di sini terlihat bahwa kekuasaan abstrak (Kharisma) Dinasti Buwahiyah tenyata mampu menembus batas-batas wilayah Iran sampai ke Asia Tengah. Dengan demikian, tidak diragukan lagi bahwa masa Buwaihiyah merupakan bentuk yang paling konkret bagi periode kedua dari sejarah nasionalisme Iran.

Dalam bidang pemerintahan (al-wizarah), Adhud Al-Daulah telah melakukan sesuatu gebrakan yang belum dilakukan oleh pemimping-pemimpin sebelumnya. Adapun gerakannya telah mengangkat dua wazir secara bersamaan yang salah satu diantara mereka dari orang Nasrani. Ternyata tradisi ini diikuti oleh pengganti-pengganti sesudahnya.

Demikian mrnurut Hasan I brahim seperti dinyatakan oleh Hasan Ahmad Mahmud.[12] Kemudian, pada 983 M/372 H, Aduhd Al-Daulah meninggal dunia, ketika usianya hamper mencapai 50 tahun setelah memerintah selama lima setengah tahun.

D. Perebutan Kekuasaan

Ketika pusat pemerintahan di Baghdad sedang dilanda kekisruhan politik, akibat perebutan jabatan Amir al-Umara antara wazir dan pemimpin militer. Para pemimpin militer meminta bantuan kepada Ahmad Ibn Buwaihyang berkedudukan di Ahwaz. Permintaan itu dikabulkan. Ahmad dan pasukannya tiba di Baghdad pada tanggal Jumadil-ula 334 H/945 M.



Ia disambut baik oleh khalifah dan langsung diangkat menjadi Amirul-Umara, penguasa politik negara, dengan gelar Mu'izz al-Daulah. Saudaranya, Ali Ibn Buwaih, yang memerintah di bagian selatan Persia dengan pusatnya di Syiraz diberikan gelar Imad al-Daulah, dan Hasan Ibn Buwaih yang memerintah di bagian utara, Isfahan dan Rayy, dianugerahi gelar Rukn al-Daulah.

Sejak itu, sebagaimana terhadap para pemimpin militer Turki sebelumnya, para khalifah tunduk kepada Bani Buwaih. Pada masa pemerintahan Bani Buwaih ini, para khalifah Abbasiyah benar-benar tinggal namanya saja. Pelaksanaan pemerintahan sepenuhnya berada di tangan amir-amir Bani Buwaih.

Keadaan khalifah lebih buruk daripada masa sebelumnya, terutama karena Bani Buwaih adalah penganut aliran Syi'ah, sementara Bani Abbas adalah Sunni. Selama masa kekuasaan Bani Buwaih sering terjadi kerusuhan antara kelompok Ahlussunnah dan Syi'ah, pemberontakan tentara, dan sebagainya.[13] Setelah Baghdad dikuasai, Bani Buwaih memindahkan markas kekuasaan dari Syiraz ke Baghdad.

Mereka membangun gedung tersendiri di tengah kota dengan nama Dar al-Mamlakah.Meskipun demikian, kendali politik yang sebenarnya masih berada di Syiraz, tempat Ali Ibn Buwaih (saudara tertua) bertahta. Dengan kekuatan militer Bani Buwaih, beberapa dinasti kecil yang sebelumnya memerdekakan diri dari Baghdad, seperti Bani Hamdan di wilayah Syria dan Irak, Dinasti Samaniyah, dan Ikhsyidiyah, dapat dikendalikan kembali dari Baghdad.

Sebagaimana para khalifah Abbasiyah periode pertama, para penguasa dari Bani Buwaih mencurahkan perhatian secara langsung dan sungguh-sungguh terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan kesusasteraan. Pada masa Bani Buwaih ini banyak bermunculan ilmuwan besar, di antaranya al-Farabi (w. 950 M), Ibn Sina (980-1037 M), al-Farghani, Abdurrahman al-Shufi (w. 986 M), Ibn Maskawaih (w. 1030 M), Abu al-'Ala al-Ma'arri (973-1057 M), dan kelompok Ikhwan al-Shafa.

Jasa Bani Buwaih juga terlihat dalam pembangunan kanal-kanal, masjid-masjid, beberapa rumah sakit, dan sejumlah bangunan umum lainnya. Kemajuan tersebut diimbangi dengan laju perkembangan ekonomi, pertanian, perdagangan, dan industri, terutama permadani.[14]

E. Kemunduran

Kekuatan politik Bani Buwaih tidak lama bertahan. Setelah generasi pertama, tiga bersaudara tersebut, kekuasaan menjadi ajang pertikaian diantara anak-anak mereka.

Masing-masing merasa paling berhak atas kekuasaan pusat. Misalnya, pertikaian antara 'Izz al-Daulah Bakhtiar, putera Mu'izz al-Daulah dan 'Adhad al-Daulah, putera Imad al-Daulah, dalam perebutan jabatan amir al-umara.

Perebutan kekuasaan di kalangan keturunan Bani Buwaih ini merupakan salah satu faktor internal yang membawa kemunduran dan kehancuran pemerintahan mereka.

Faktor internal lainnya adalah pertentangan dalam tubuh militer, antara golongan yang berasal dari Dailam dengan keturunan Turki. Ketika Amir al-Umara dijabat oleh Mu'izz al-Daulah persoalan itu dapat diatasi, tetapi manakala jabatan itu diduduki oleh orang-orang yang lemah, masalah tersebut muncul ke permukaan, mengganggu stabilitas dan menjatuhkan wibawa pemerintah.

Sejalan dengan makin melemahnya kekuatan politik Bani Buwaih, makin banyak pula gangguan dari luar yang membawa kepada kemunduran dan kehancuran dinasti ini.

Faktor-faktor eksternal tersebut diantaranya adalah semakin gencarnya serangan-serangan Bizantium ke dunia Islam, dan semakin banyaknya dinasti-dinasti kecil yang membebaskan diri dari kekuasaan pusat di Baghdad. Daulah-daulah itu, antara lain dinasti Fathimiyah yang memproklamasikan dirinya sebagai pemegang jabatan khalifah di Mesir, Ikhsyidiyah di Mesir dan Syria, Hamdan di Aleppo dan lembah Furat, Ghaznawi di Ghazna dekat kabul, dan akhirnya Dinasti Seljuk berhasil merebut kekuasaan dari tangan Bani Buwaih.

A. Kesimpulan

  1. Keluarga Bani Buwahiyah berasal dari keturunan Raja-raja Persia melanjutkan seorang tokohnya yang bernama Buyyah (Buwahiyah). Walaupun beliau seorang khalifah yang dinagkat sewaktu anak-anak namun dia mampu mengembang amanah yang diberikan padanya, sehingga dinasty ini dapat tetap eksis dalam pemerintahanya. 
  2. Dalam proses Politik Bani Buwaihiyah, Dalam rangka penyelenggaraan keamanan wilayah, dimana didalamnya masih bersemayam Khalifah Abbasiyah, sebagai amir al-umara, Muiz Al-Daulah harus berani melakukan tindakan tegas meskipun resikonya berat, yaitu berbenturan dari saudaranya sendiri. Tindakan berikutnya adalah menguasai Hamdan secara keseluruhan yang berarti harus mengalahkan Sayf Al-Daulah dan Nashir Al-Daulah. Dengan penuh kecermatan dan keberanian. 
  3. Peran dinasty ini terhadap islam, memberikan sumbangsi berupa ilmu pengetahuan diantaranya, Dalam lapangan sains dan filsafat, Persia dikenal sebagai tempat bersemayamnya para filusuf handal dan ulama terkemuka, baik dari aliran sunny maupun syiah. Adudh Al-Daulah sendiri telah menjadikan Persiah sbagai pusat pemerintahan pada masa kekuasaanya. Peran Adhud AL-Daulah juga sangat besar dalam lapangan ilmu dan filsafat. Ia termasuk orang yang mencintai ilmu pengetahuan dengan banyak belajar kepada guru-guru dan ulama yang terkemuka. 
  4. Dalam segi pengambilan wilayah mereka menggunakan perebutan wilayah. Sejak itu, sebagaimana terhadap para pemimpin militer Turki sebelumnya, para khalifah tunduk kepada Bani Buwaih. Pada masa pemerintahan Bani Buwaih ini, para khalifah Abbasiyah benar-benar tinggal namanya saja. 
  5. Di akhir kekuasaannya dinasti ini jatuh akibat perebutan kekuasaan oleh kalangan internalnya sendiri. Kekuatan politik Bani Buwaih tidak lama bertahan. Setelah generasi pertama, tiga bersaudara tersebut, kekuasaan menjadi ajang pertikaian diantara anak-anak mereka.
DAFTAR PUSTAKA

Hitti, Philip K. History of The Arabs, Cet. I; New York: The Mac Millan Press, 1974

Noerhakim, Moh, Sejarah Peradaban Islam, Cet. I; Malang: UMM Pres, 2003

Supriyadi, Dedi, Sejarah Perdaban Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2008

Hassan, Ibrahim Hassan, Sejarah Kebudayaan Islam, Cet; I ; Yogyakarta : Kota Kembang, 1989

Thohir, Ajid, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, Cet ; I ; Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004


[1] C.E. Bosworth, Dinasti-dinasti Islam, Terj. Ilyas Hasan, (Bandung: Mizan, 1993), h. 120-123

[2] Yahya H. Mahayuddin, Sejarah Islam, (Kuala Lumpur: Fajar Bakti SDN. BHD, 1993), h. 301

[3] 1bid.

[4] Ibid

[5] Hasan Ahmad Mahmud, loc.cit., h. 75

[6] Thaltim adalah memukul-mukul muka atau anggota badan yang terbuka sebagai tanda penyesalan.

[7] Hasan Ahmad Mahmud, loc. Cit. h. 78-79

[8] Ibid.

[9] Ibid.

[10] Ibid

[11] Ibid, Bahkan dalam sumber lain dikatakan ia berambisi untuk mensyiahkan Dunia Islam melalui kerjasama dengan Dinasti Fatimiyah di Mesir, melsl;ui komunitas Ikhwanu Shafa. 

[12] Ibid., hlm. 84

[13] Ajid Thohir, perkembangan Peradaban Di Kawasan Dunia Islam,(Jakarta: PT Raja grafindo, 2004), Cet. I., h.158

[14] Hassan Ibrahim Hassan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Yogyakarta: Kota Kembang, 1989), Cet. I. h. 204

0 komentar:

HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html