Setelah pemerintahan Dinasti Umayyah, digantikan oleh pemerintahan dinasti Abbasiyah. Dinasti Abbasiyah merupakan dinasti kedua dalam sejarah pemerintahan umat Islam. Abbasiyah dinisbatkan kepada al-Abbas paman Nabi Muhammad SAW, Berdirinya dinasti ini sebagai bentuk dukungan terhadap pandangan yang diserukan oleh Bani Hasyim setelah wafatnya Rasulullah SAW. yaitu menyandarkan khilafah kepada keluarga Rasul dan kerabatnya.[1]
Lima tahun setelah berdirinya kekhalifahan Abbasiyah, Abd Al-Rohman muda satu-satunya keturunan dinasti Umayyah yang luput dari pembantaian masal yang menandai naiknya reim baru, tiba disebelah tempat, jauh di daratan Kordova Spanyol satu tahun kemudian, tahun 756 dia mendirikan dinasti yang kelak akan menjadi dinasti yang besar.[2] Ketika itu propinsi pertamanya yang kelak akan mengungguli kemajuan imperium Abbasiyah masih sedang berkembang, begitu pula propinsi-propinsi lain yang segera menyusul. Kerajaan Idrisiyah di Maroko (788—974) adalah dinasti Syiah pertama dalam sejarah, mereka menghimpun kekuatannya dari kalangan Ber-Ber yang meskipun kaum Suni, mereka siap mendukung perpecahan. Karena terkepung diantara Fatimiyah Mesir dan Umayah Spanyol, dinasti mereka akhirnya hancur oleh serangan mematikan yang dilancarkan oleh seorang jendral utusan Khalifah Al-Hakam II dari Kordova.[3]
Dinasti Fatimiah merupakan sebuah dinasti yang didirikan di benua Afrika pada penghujung tahun 200 an Hijriah atau sekitar tahun 910 Masehi, dinasti ini berpahaman syiah, dari permulaan pembentukannya dinasti ini bertujuan untuk menjalankan ideologi syiah dan ingin melepaskan diri dari kekuasaan Daulah Abbasiah di Baghdad yang berideologi Sunnah. Kondisi politik dunia Islam ketika Dinasti Fatimiah didirikan agak sedikit tidak terkendali, hal ini bisa di lihat dengan munculnya banyak dinasti-dinasti kecil di berbagai belahan dunia baik di timur dan barat Baghdad.
Di barat Baghdad ada, Dinasti Idrisi di Maroko (172-375 H / 788 M-985 M), Dinasti Aghlabi (184 H-296 H / 800 M-908 M), Dinasti Thulun di Mesir (254 H-292 H / 868 M-967 M), Dinasti Ikhsyidi (323 H- 357 H / 934 M-967 M), Dinasti Hamdaniah (317 H – 399 H / 929 M – 1009M).
Di timur Baghdad diantaranya: Dinasti Tahiri (200 H-259 H / 820 M-872 M), Dinasti Safari (254 H-289 H / 867 M-903 M), Dinasti Samani (261 H-389 H / 874 M-999 M), dan Dinasti Ghazwani.[4]
DINASTI KECIL DI BARAT DAN DI TIMUR
1. Dinasti kecil di barat
Dinsti kecil sebagian besar berasal dari Arab memecah wilayah kekuasaan Khalifah dari Barat. Diantaranya adalah:[5]
a. Dinasti Idrisi di Maroko (172 H-375 H / 788 M-985 M)
Kerajaan ini didirikan oleh Indris bin Abdullah, cucu Hasan putra Ali. Dia adalah salah seorang tokoh bani Alawiyyin (nisyah Ali bin Abu Thalib). Pada tahun 172 H/788 M, Idris dilantik sebagai imam, dan terbentuklah kerajaan Idrisi dengan ibu kota Walila. Namun masa pemerintahannya hanya bertahan selama 5 tahun.[6]
Selanjutnya Idris bin Idris bin abdullah (Idris II) menggantikan ayahnya sebagai pemerintah (177 H/793 M). Dengan pusat pemerintahannya dipindahkan ke Fez sebagai Ibu kota yang baru pada tahun 192 H.[7] Ketika Idris II wafat, Pemerintahannya diganti oleh Muhammad Al-Muntashir (213 H / 828 M). Pada masa ini, kerajaan Idrisi berpecah-pecah. Akibatnya kerajaan menjadi lemah, terutama selepas Muhammad Al-Muntashir meninggal, pemerintahannya semakin rapuh.
Kerajaan indrisi adalah kerajaan Syiah pertama dalam sejarah. Zaman kerajaan Indrisi (172-314 H/789-926 M) adalah suatu jangka waktu yang cukup lama dibandingkan dengan kerajaan-kerajaan yang lain. Dalam aspek dakwahnya, Idrisi yang membawa Islam dan mampu meyakinkan penduduk Marocco dan sekitarnya.
b. Dinasti Aghlabi (184 H-296 H / 800 M-908 M).
Dinasti ini didirikan oleh Ibrahim bin Aghlab. Beliau adalah anak pegawai Khurasan, tentara bani Abbasiyah. Pada tahun 179 H/795 M, Ibrahim mendapatkan hadiah di daerah Tunisia dari Khalifah Harun Ar-Rasyid sebagai imbalan kepada jasa-jasanya dan kepatuhannya membayar cukai tahunan.[8] Pada zaman kepeimpinananya Ibrahim berjaya mengadakan perjanjian damai dengan kerajaan Idrisi, menjadikan kota Qairuwan sebagai ibu kota pemerintahan serta membangun Al-Qadim. Ibrahim berjaya memadamkan pertikaian antara Kharijiyah dan barbar.
Dinasti Bani Aghalab di perintah oleh 11 khalifah, antara lain:[9]
1) Ibrahim (179 H/795 M)
2) Abdullah I (197 H/812 M)
3) Ziyaadatullah (210 H/817 M)
4) Abu Ilqal Al-Aghlab (223 H/838 M)
5) Muhammad I (226 H/841 M)
6) Ahmad (242 H/856 M)
7) Ziyaadatullah II (248 H/863 M)
8) Abu Al-gharaniq Muhammad II (250 H/863 M)
9) Ibrahim II (261 H/875 M)
10) Abdullah II (289 H/902 M)
11) Ziyaadatullah III (290-296 H/903-909 M)
c. Dinasti Thulun di Mesir (254 H-292 H / 868 M-967 M)
Pendiri dinasti Thulun yang berumur pendek (868-905) di Mesir dan Suriah adalah Ahmad Ibn Thulun,[10] ayahnya seorang Turki dari Fraghanah. Pada 817 dipersembahkan oleh penguasa Samaniyah di Bukhara sebagai hadiah untuk Al-Ma’mun pada 868, Ahmad berangkat ke Mesir sebagai pimpinan tentara untuk gubernur Mesir.
Disini ia berusaha segera mendapatkan kemerdekaan dirinya, ketika menghadapi tekanan keuangan karena adanya pemberontakan Wangsa Zanj. Khalifah Al-Mu’tamid (870-892) meminta bantuan finansial komandan pasukannya yang seorang Mesir itu, tetapi permintaan ini tidak dipenuhi. Peristiwa ini menjadi titik balik yang mengubah sejarah kehidupan Mesir selanjutnya. Peristiwa ini juga menandai bangkitnya sebuah negara merdeka di lembah sungai Nil yang kedaulatannya bertahan selama abad pertengahan hingga saat itu, sebagian kekayaan Mesir diberikan ke Baghdad dan sebagian lainnya merasuk disaku para gubernur yang datang silih berganti.[11]
d. Dinasti Ikhsyidi (323 H- 357 H / 934 M-967 M)
Tidak lama berselang setelah tuntasnya pemberontakan Abbasiyah di Mesir dan Suriah, muncul lagi dinasti Turki lain yang masih keturunan Fraghanah,[12] yakni Iksidiyah yang didirikan di Fusthta. Pendiri dinasti ini adalah Muhammad Ibn Thughj (935-946) setelah membereskan kekacauan di Mesir mendapatkan anugrah gelar kebangsawanan ala Iran, Ikhsyid dari Khalifah Al-Radi pada tahun 939. Dua tahun kemudian dinasti Iksidiyah mengikuti langkah Thulun sebelumnya memasukkan wilayah Suriah-Palestina ke dalam negara semi-independen yang dipimpinnya. Tahun berikutnya Mekah dan Madinah juga dimasukkan ke dalam wilayahnya. Selama menerpa abad sejak saat itu, nasib Hijaz, satu wilayah sengketa antara timur dan barat, berada dalam kekuasaan Mesir.
Seperti raja-raja lainnya, penguasa Ikhsidiyah terutama sebagai pendiri dinasti, menghabiskan uang negara dengan boros dan berlebihan demi kesenangan orang-orang dekatnya. Diceritakan bahwa jatah harian untuk dapur Muhammad mencakup seratus ekor domba, limaratus unggas, seribu burung dara dan seratus guci gula-gula. Ketika diungkapkan secara puitis kepada Kafur bahwa gempa bumi yang sering terjadi pada masa itu adalah disebabkan tarian hura-hura yang dilakukan bangsa Mesir, orang Abisinia yang yang berbangga hati menghadiahkan uang seribu Dinar kepada penyair yang “Ahli Seismograf” itu. Selama periode kekuasaannya, dinasti Ikhsidiah tidak memberikan kontribusi apapun bagi kehidupan seni dan sastra di Mesir maupun Suriah. Selain itu, tidak ada karya-karya publik yang lahir dari tangan mereka. Refresentasi terakhir dinasti ini adalah seorang anak lelaki berusia sebelas tahun, Abu Al-Fawaris Ahmad, yang pada tahun 969 kehilangan kekuasaan atas negerinya dan menyerah kepada jendral tenar dari dinasti Fatimiyah, Jawhar.[13]
e. Dinasti Hamdaniah (317 H – 399 H / 929 M – 1009 M)
Ke wilayah utara, Ikhsidiyah Mesir memiliki pesaing kuat yaitu dinasti Hamdaniyah yang Syiah.[14] Dinasti itu didirikan pertama kali di Mesopotamia utara dengan Mosul sebagai ibu kotanya (929-991), mereka merupakan keturunan Hamdan Ibnu Hamdun dari suku Taghlib,[15] yang pada 944 menyebar hingga ke Suriah Utara dan dibawah pimpinan Syaib Al-Dawlah (pedang kerajaan) berhasil merebut Aleppo (Halab) dan Hims dari kekuasan Iksidiyah. Suriyah, yang tidak pernah melupakan keagungannya di masa lalu dibawah kekuasannya Umayyah, telah menjadi basis ketidakpuasan dan pemberontakan melawan Rezim Abbasiyah.
Syaib Al-Daulah mencapai kemasyurannya dalam sejarah Arab terutama karena perhatian dan sokongannya yang besar dalam bidang pendidikan dan dalam skala yang lebih kecil, karena aksinya membangkitkan kembali semangat perlawanan terhadap musuh-musuh Islam dari kalangan Kristen setelah sekian lama tidak dilakukan oleh para penguasa muslim. Setelah memapankan posisinya di Suriyah Utara, pedang dinasti Hamdaniyah dimulai pada tahun 947 mulai mengadakan serangan reguler setiap tahun ke Asia Kecil, hingga saat kematiannya dua puluh tahun kemudian, tidak satu tahunpun terlewatkan tanpa peperangan melawan Yunani. Awalnya keberuntungan berpihak pada Sayf. Dia berhasil merebut Mar’asy diantara kota-kota perbatasan lainnya. Tetapi kepemimpinan cemerlang Nicephorus Phocas dan Jhon Tzimisces, yang keduanya kelak menjadi Kaisar, berhasil menyelamatkan Bizantium. Pada tahun 961 Nicephorus berhasil merebut Aleppo, kecuali benteng pertahanannya. Di kota itu ia membunuh tak kurang dari sepuluh ribu pemuda, membinasakan seluruh tawanan dan menghancurkan istana Sayf Al-Dawlah. Pada awal masa kekuasaan Kaisar itu, dua belas ribu orang Banu Habib dari keturunan Nashibin, sepupu-sepupu Hamdaniyah pergi meninggalkan pemukimannya karena beban pajak yang terlalu tinggi, lantas memeluk agama Kristen dan bergabung dengan bangsa Bizantium menyerang kawasan muslim.[16]
2. Dinasti kecil di timur
Saat dinasti-dinasti kecil sebagian besar berasal dari Arab memecah wilayah kekuasaan Khalifah dari Barat, proses yang sama telah terjadi di Timur terutama dilakukan oleh orang Turki dan Persia.[17]
a. Dinasti Tahiriyah (200 H-259 H / 820 M-872 M)
Sebelum meninggal, Harun al-Rasyid telah menyiapkan dua anaknya yang diangkat menjadi putra mahkota untuk menjadi khalifah: al-Amin dan al-Ma'mun. Al-amin dihadiahi wilayah bagian barat,[18] sedangkan al-Ma'mun dihadiahi wilayah bagian Timur. Setelah Harun al-Rasyid wafat (809 M.) al-Amin putra mahkota tertua tidak bersedia membagi wilayahnya dengan al-Ma'mun. Oleh karena itu,pertempuran dua bersaudara terjadi yang akhirnya dimenangkan oleh al-Ma'mun.Setelah perang usai, al-Ma'mun menyatukan kembali wilayah Dinasti Bani Abbas.Untuk keperluan itu, ia didukung oleh Tahir seorang panglima militer, dan saudaranya sendiri yaitu al-Mu'tasim.Sebagai imbalan jasa, Tahir diangkat menjadi panglima tertinggi tentara Bani Abbas dan gubernur Mesir (205 H). Wilayah kekuasaannya diperluas sampai ke Khurasan (820-822 M.) dengan janji bahwa jabatan itu dapat diwariskan kepada anak-anaknya.
Dinasti Tahiriyah di Khurasan mengakui khilafah Abasiyah Dinasti ini dipimpin oleh empat amir: Tahir Ibn Husein (207-213 H.), Abdullah Ibn Tahir (213-248), dan Muhammad Ibn Tahir (248-259 H.). Dinasti Tahiriyah dianggap paling berjasa karena berhasil menjadikan kota Naisabur sebagai kota ilmu dan kebudayaan di Timur. Akan tetapi, khalifah Tahiriyah tidak berdya ketika Khalifah Bani Abbas tidak mendukung lagi kekuasaannya dan malah mendukung dinasti Safari yang melakukan ekkspansi dan dianggap berhasil oleh Khalifah Abassiyah (al-Mu'tamid dan al-Muwafaq). Oleh karena itu, dinasti Safari berhasil menghancurkan dinasti Tahriri di Khurasan dan berdirilah dinasti Safari.
b. Dinasti Saffariyah (254 H-289 H / 867 M-903 M)
Dinasti Safari didirikan oleh Ya'qub Ibn Laits al-Shafar yang berkuasa antara tahun 867-878 M. Ya'qub Ibn Laits al-Shafar adalah perwira militer yang kemudian diangkat menjadi amir wilayah Sajistan pada zaman khalifah al-Muhtadi 869-870 M.[19] Ya'qub Ibn Laits al-Shafar mendapat dikungan dari khalifah al-Mu'tamid (870-893 M.) untuk memperluas wilayah kekuasaannya hingga berhasil menaklukan Blakh, Tabaristan, Sind dan Kabul. Penaklukan yang dilakukannya membuat Ya'qub Ibn Laits al-Shafar semakin kuat dan mengirimkan hadiah kepada khalifah di Baghdad, dan bahkan ia pun didukung untuk menaklukan dinasti Tahriri di Khurasan.
Akan tetapi, penaklukan wilayah-wilayah yang dilakukan oleh Ya'qub Ibn Laits al-Shafar membuat khalifah di Baghdad khawatir. Oleh karena itu, khalifah al-Mu‟tamad menaklukan Shafari yang dipimpin oleh Ya'qub Ibn Laits al-Shafar ; Ya'qub menantang khalifah dan menuntut kemerdekaan wilayahnya. Setelah meninggal, Ya'qub digantikan oleh saudaranya, Amr iIbn al-Laits (878-903 M.). Atas bantuan Ismail Ibn Ahmad al-Samani, khalifah Baghdad berhasil menangkap Amr Ibn al-Laits, kemudian ia dipenjara di Baghdad hingga meninggal pada zaman khalifah al-Mu'tadhdid (870-892 M.). Atas dasar itulah, khalifah menjadikan dinasti Samani sebagai penguasa Khurasan. [20]
c. Dinasti Samaniyah (261 H-389 H / 874 M-999 M)
Untuk menelusuri kekuasaan Samani, kita harus kembali pada zaman al-Ma'mun yang membagi-bagi wilayah kepada para pendukungnya bersamaan dengan pemberian wilayah kepada Tahiri di Khurasan.Asad Ibn Saman diberi kewenangan oleh al-Ma'mun untuk memimpin daerah Transoxiana.[21] Kemudian dinasti kecil ini menaklukan wilayah-wilayah di sekitarnya sehingga berhasil menguasai Transoxiana, Khurasan, Sajistan, Karman, Jurjan, Rayy, dan Tabaristan. Dinasti Samani berkuasa hingga Khurasan setelah berhasil membantu Khalifah Abasiaah (al-Mut‟addid) menangkap dan memenjarakan Amr Ibn al-Laits (khlaifah dinasti Safari terakhir).[22]
d. Dinasti Gaznawiyah
Abd al-Malik Ibn Nuh (khlaifah dari dinasti Samani) mengangkat Alptigin untuk menjadi pengawal kerajaan.[23] Karena kesetiaannya yang baik, ia diangkat menjadi komandan pengawal kerajaan, dan akhirnya diangkat menjadi gubernur Khurasaan. Alptigin hanya setia kepada Abd al-Malik Ibn Nuh. Ketika Abd al-Malik Ibn Nuh wafat, ia tidak mentaati khalifah dinasti Samani yang baru, yaitu Manshur Ibn Nuhman.[24]
e. Dinasti Buwaihiyah
Dinasti Buwaihi dirintis oleh tiga bersaudara: Ali, Hasan, dan Ahmad yang berasal dari Dailam. Bapak mereka adalah Abu Syujai alBuwaihi.[25] Tiga saudara ini dalam sejarah dikenal sebagai tentara bayaran.Ketika terjadi perang antara Makan Ibn Kaki al-Dailami tidak lagi mampu membayar mereka. Majdawid menyambut baik keberpihakan mereka.Oleh karena itu, disamping dipercaya memimpin pasukan, mereka diberi kewenangan untuk memimpin wilayah. Ali Ibn Buwaihi dipercaya memimpin Kirman, dan Hasan Ibn Buwaihi dipercaya memimpin Asbahan, Rayy, dan Hamadzan.[26]
FAKTOR-FAKTOR MUNCULNYA DINASTI KECIL DI BARAT DAN DI TIMUR
Munculnya dinasti-dinasti kecil yang berada di Timur dan Barat dikarenakan beberapa faktor antaranya:[27]
Luasnya wilayah kekuasaan daulat Abbasiyah sementara komunikasi pusat dengan daerah sulit dilakukan. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya di kalangan para penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah.
Dengan profesialisasi angkatan bersenjata, ketergantungan khalifah kepada mereka sangat tinggi.
Keuangan negara sangat sulit karena biaya yang dikeluarkan untuk tentara bayaran sangat besar. Pada saat kekuatan militer menurun, khalifah tidak sanggup memaksa pengiriman pajak ke Baghdad.
KESIMPULAN
Dari berbagai pemaparan materi diatas maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:
Dinasti-dinasti kecil yang muncul pada masa daulah Abbasiyah di barat dan di timur
- Dinasti kecil di barat: dinasti thulun, dinasti iksidiyah, dinasti hamdaniyah.
- Dinasti keil di timur: dinasti thahariya, dinasti safriyah, dinasti smaniyah, dinasti ghaznawiyah.
- Munculnya dinasti-dinasti kecil yang berada di Timur dan Barat dikarenakan beberapa faktor antaranya:
Luasnya wilayah kekuasaan daulat Abbasiyah sementara komunikasi pusat dengan daerah sulit dilakukan. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya di kalangan para penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah.
Dengan profesialisasi angkatan bersenjata, ketergantungan khalifah kepada mereka sangat tinggi.
Keuangan negara sangat sulit karena biaya yang dikeluarkan untuk tentara bayaran sangat besar. Pada saat kekuatan militer menurun, khalifah tidak sanggup memaksa pengiriman pajak ke Baghdad.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,Taufik, Ensiklopedi Dunia Islam, Jilid. II; Jakarta: PT. Ikhtiar Baru
Van Hoeve, T.t
Amstrong, Karem. Islam dan Sejarah Singkat (terjemahan A. Short History). Yogyakarta: Jendela. 2005.
A. Hasyimy, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta; Bulan Bintang, 1979.
D. G Kampouroglous, Sosial science abstracts, 1930
Glasse, Chril, Ensiklopedi Islam, PT. Raja Grafindo Persada; Jakarta: 1999
Http/google.com
Ibn Taghri-Birdi, al-Nujum Al-Zahirah Fi Mulk Mishr Wa Al-Qahirah, Leiden: 1855
Ibn Sa’id, Al-Mughrib Fi Hula Al-Maghrib, Leiden: 1899
Lane-Poole, Stanley, The mohammadan dinasties (londen: 1893) h. 35 dan E. De Zambaur, Manuel de geneologie et de chronologie pour histoiri the islam, hanover: 1927 .
Mubarak Jaih, Sejarah Peradaban Islam, bandung; CV. Pustaka Islamika, 2008.
Philip, K. Hitti,. History of Arabs (terjemahan). Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. 2006
Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam III. Jakarta: Al-Husna Zikra. 2000
Sunanto, Musyfirah, Sejarah islam klasik, Jakarta cet 1. 2001
W. Montgomery, Watt. Kejayaan Islam. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. 1990.
Yatim, Badry. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2007.
Foote Note
[1]Chril Glasse, Ensiklopedi Islam, (Cet.II, PT. Raja Grafindo Persada; Jakarta: 1999) h. 1
[2]Ibid ., H. 4-5
[3] K. Hitti, Philip. History of Arabs (terjemahan). Jakarta: (Serambi Ilmu Semesta. 2006). H.570
[4] Http/google.com (Dinasti kecil Bani Abbasiyah di Bagdad) 10-12-2010 M
[5] K. Hitti, Philip. History of Arabs (terjemahan). Jakarta: (Serambi Ilmu Semesta. 2006). H.573
[6] Lihat Stanley Lane-Poole, The mohammadan dinasties (londen: 1893) h. 35 dan E. De Zambaur, Manuel de geneologie et de chronologie pour histoiri the islam (hanover: 1927) h. 65.
[7]Kota ini di bangun oleh Idris Ibn Abi Zar, (Al-Fasi), Rawd al-Qirtas Fi Akhbar Al-Mulk Al-Maghrib (Upsala, 1843) h. 15.
[8] D. G Kampouroglous, Sosial science abstracts, (Jilid II, 1930) h. 273
[9] Tentang para penguasa Aghlabiyah lainnya, lihat Lane-poole, h. 37,zambaur h. 67-68.
[10] Ibn Taghri-Birdi, al-Nujum Al-Zahirah Fi Mulk Mishr Wa Al-Qahirah (Jilid. II; Leiden: 1855) h. 1, Taufik Abdullah, Ensiklopedi Dunia Islam (Jilid. II; Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, T.t) h. 108
[11] Yatim, Badry. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: (Raja Grafindo Persada. 2007). H.280
[12] Ibn Sa’id, Al-Mughrib Fi Hula Al-Maghrib, (Leiden: 1899) h. 5
[13] K. Hitti, Philip. History of Arabs (terjemahan). Jakarta: (Serambi Ilmu Semesta. 2006). H.577
[14]Taufik Abdullah, Ensiklopedi Dunia Islam (Jilid. II; Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, T.t) h. 120
[15] At-Thabari, jilid.III, h. 2141.
[16] Ibid, h. 583
[17] K. Hitti, Philip. History of Arabs (terjemahan). Jakarta: (Serambi Ilmu Semesta. 2006). H.585
[18] Taufik Abdullah, Op. Cit., h.114
[19] Mustaufi, tarikh Al-Guzida, (leiden: 1910) h. 373, Taufik Abdullah, Op.Cit., h. 113
[20] K. Hitti, Philip. Op.cit, H.586
[21] Taufik Abdullah, op. Cit., h. 115
[22] K. Hitti, Philip. Op.cit, H.589-590
[23]Ibid., h. 129
[24] Musyfirah sunanto, Sejarah islam klasik (Jakarta cet 1.) H.172-173
[25]Ibid., h. 124
[26] K. Hitti, Philip. History of Arabs (terjemahan). h. 590-591
[27] A. Hasyimy, Sejarah Kebudayaan Islam,( Jakarta; Bulan Bintang, 1979) h.34
0 komentar:
Post a Comment