A. Kondisi Dunia Sunni
Periode Abbasyiah merupakan periode di mana tumbuh subur berbagai macam aliran teologi, pada masa ini muncul berbagai macam mazhab pemikiran yang mewarnai perkembangan teologi hingga masa sekarang. Aliran teologi tersebut antara lain Mu’tazilah, Asyariah (Sunni), Murjiah, Syiah. Mulai mendapatkan bentuk yang sempurna, berdiri pula berbagai macam sekte-sekte dan aliran tasawuf. Kemunculan berbagai macam paham dan aliran ini disebabkan kondisi politik, ekonomi maupun sosial yang sudah stabil, masyarakat Islam pada umumnya hidup sejahtera, para khalifah tidak lagi sibuk membuka lahan kekuasaan baru, tetapi telah fokus kepada perkembangan ilmu pengetahuan dan pendalaman terhadap masalah keagamaan[1], pada masa ini masuk berbagai macam pemahaman dari luar maupun dalam negara sendiri, paham-paham yang muncul sedikit banyak merubah wajah Islam yang dulunya monoton kepada al-Qur’an dan Hadits mengalami pergeseran kepada hal-hal yang berbau rasionalis, masuk pula pengaruh Persia, Persia yang pada masa sebelum Islam telah mengalami kemajuan yang begitu luar biasa, mulai bangkit dan menunjukkan jati dirinya dan tidak keluar dari ajaran Islam, tetapi memberi warna tersendiri dalam kemajuan peradaban Islam.
Setelah sekian lama berada dalam puncak kekuasaan, Dinasti Abbasyiah mengalami masa keruntuhan, atau disebut masa disentegrasi, di masa ini kekuatan politik Abbasyiah mulai melemah penyebab utama mengiringi kejatuhan Dinasti Abbasyiah, kelemahan ini berakibatkan banyak daerah kekuasaan yang melepaskan diri dan membentuk negara-negara kecil yang melepaskan diri dari kekuasaan pusat. Pada akhirnya, Kekhalifahan Abbasyiah hanya dijadikan sebagai simbol dan tidak berkuasa secara politik, daerah kekuasaannya dibagi dalam beberapa negara kecil yang mandiri.
Seperti diketahui, sebelum Dinasti Saljuk, kekuasaan atas sebahagian besar wilayah Islam dipegang oleh Dinasti Buwaihi (945-1055 M) dan Dinasti Fatimiah (969-1171 M). Iran, dan belahan Timur lainnya dikuasai oleh Buwaihi. Sedang Mesir, Afrika Utara da Syiria berada dalam kekuasaan Fatimiah. Paham Syiah yang menjadi anutan kedua dinasti tersebut, sempat berkembang luas di tengah masyarakat. Peran penguasa Syiah terhadap ajarannya bersamaan dengan ekspansi kekuasaan atas daerah-daerah milik Dinasti Abbasyiah. Atas kejatuhan Dinasti Abbasyiah sejak abad ke 9 M, situasi politik memburuk drastis sampai ke Hijaz. Pada awal abad ke 10 M kaum Syiah ke panggung kekuasaan dihampir seluruh timur tengah.
Dinasti Fatimiah berjaya di Mesir dan Afrika Utara, sementara Dinasti Buwaihi menguasai Irak, Iran dan sempat menguasai daerah Sunni di Baghdad. Berbeda dengan Syiah Fatimiah di Mesir yang toleran, Hijaz harus dengan berhadapan dengan Syiah Qarmatiah. Penyebaran Syiah Qarmatiah ini terbukti mendatangkan bencana bagi Hijaz mulai dari Bahrain sampai ke Arab Barat. Dengan pimpinan Thahir Al-qarmati pada 317 H/929 M, kaum Syiah Qarmatiah menyerbu Makkah dan membunuh 30.000 jama’ah haji dan penduduk setempat. Setelah menjarah Makkah mereka mengambil hajar aswad ke Al-Hijr. Kubu mereka di arabia Barat. Hajar Aswad itu di kembalikan 22 tahun kemudian, ketika Mansyur Al-alawi pemimpin Qarmatiyah di Afrika Utara berhasil membujuk mereka agar mengembalikan Hajar Aswad ke Makkah[2].
Selama kekacauan ini, suasana di kota Makkah nyaris lumpuh, pasar-pasar tidak lagi tenang berdagang ketika musim haji, mereka lebih senang pergi tempat lain. Fungsi Haramain sebagai pusat pendidikan mengalami kemerosotan, bahkan makin terbatas pada pada Masjid Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah, namun menjelang abad ke 11 M, kau Sunni seperti Ghaznawi di Transoxiana dan Afganistan (1052-1186 M), Saljuk di Anatolia, Syiria dan Irak (1037-1300 M), dan Ayubiyah di Mesir, Yaman, Syiria dan Irak (1169-1500 M), meski terlibat konflik sesama mereka, namun mampu membendung kaum Syiah yang telah lama berkuasa di Baghdad dan menempatkan Kekhalifahan Abbasyiah di bawah kontrolnya Dinasti Sunni berusaha sungguh-sungguh menjalankan kebijakan politik dan keagamaan sesuai dengan dengan ajaran ortodoks Sunni. Hasilnya, ulama Sunni yang mengembara kemana-mana selama masa sulit terdorong untuk kembali ke daerahnya masing-masing.
Kehadiran orang-orang saljuk pada abad ke 11 M sebagai pendukung kaum Sunni dan jatuh sebahagian kerajaan Islam ketangan mereka serta sikap yang sangat setia degan khilafah merupakan faktor utama yang mengukuhkan Mazhab Sunni dan melemahkan pengaruh dan kedudukan golongan Syiah. Dalam priode inilah madrasah muncul dalam rangka memperkuat Mazhab Sunni dengan cara memberikan perhatian besar untuk mempelajari ilmu fikhi empat mazhab.
Sebelum penulis membahas pengertian dan bagaimana Ahlussunnah waljama’ah, terlebih dahulu penulis akan membahas kelompok Mu’tazilah, Mu’tazilah adalah cikal bakal lahirnya kelompok Asyariah yang kemudian Asyariyah menamakan diri sebagai Ahlussunnah wal Jama’ah.
Mu’tazilah adalah paham rasional yang sangat menghargai rasio manusia dan menganggapnya sebagai petunjuk yang mutlak melebihi al-Qur’an[3]. Gerakan Mu’tazilah dimulai pada akhir abad pertama Hijriah, asal usul dari pergerakan dimulai dari seorang ulama terkenal bernama Hasan Basri, pada suatu hari ia ditanya pendapatnya tentang perbedaan antara Murjiah dan Khawarij, yaitu apakah seorang Muslim yang berdosa besar harus dianggap sebagai seorang Muslim atau Kafir, sementara Hasan sedang mempertimbangkan pertanyaan tersebut, salah seorang dari muridnya yang bernama Wasil bin At’as menjawab bahwa orang-orang yang seperti itu tidak termasuk orang mukmin atau kafir, tetapi berada di tengah-tengahnya, Hasan tidak menyetujui pendapat Wasil dan karenanya Wasil memisahkan diri dari aliran Hasan Basri dan mendirikan aliran sendiri, oleh karena itu Wasil dan para pengikutnya dinamakan Mu’tazilah yaitu kaum yang memisahkan diri[4].
Pada masa pemerintahan al-Ma’mun ia menjadikan Mu’tazilah sebagai mazhab negara, ia memaksa para pejabat dan tokoh agama agar mengikuti paham ini, terutama yang berkaitan dengan kemakhlukan al-Qur’an, untuk itu ia melakukan ujian akidah terhadap para pejabat dan ulama, meteri pokok yang di ujikan adalah mengenai masalah kemakhlukan al-Qur’an, bagi Mu’tazilah, al-Qur’an adalah makhluk ciptaan Allah, tidak qadim, sebab tidak ada yang qadim selain Allah, orang yang berpendapat bahwa al-Qur’an qadim adalah syirik, dan syirik merupakan dosa besar yang tidak terampuni, Mu’tazilah adalah golongan minoritas, namun karena dukungan pemerintah Abbasyiah, aliran ini dapat berkembang mencapai kejayaannya. Mu’tazilah tidak terlalu mementingkan Sunnah Nabi saw. karena keraguan yang besar terhadap keorisinilan Sunnah, apalagi pada waktu itu dan sebelumnya hadits palsu banyak diciptakan oleh berbagai pihak untuk kepentingan politik. Mu’tazilah lebih banyak menggunakan akal dalam memahami masalah keagamaan daripada menggunakan Sunnah Nabi, menurut mereka akal merupakan petunjuk yang mutlak melebihi al-Qur’an[5], namun mereka tidak meninggalkan al-Qur’an, karena Mu’tazilah merupakan kelompok minoritas dan tidak kuat memegang teguh kepada Sunnah, maka kelompok yang menentangnya disebut dengan Ahlussunnah wal Jamaah, yaitu kelompok yang berpegang teguh pada sunnah dan merupakan kelompok mayoritas[6].
Pada masa khalifah al-Mutawakkil, paham Mu’tazilah mengalami keruntuhan, paham ini tidak lagi dijadikan sebagai paham negara, para ulama dan kaum intelek Mu’tazilah dipecat dan dibunuh, pada masa ini munculah mazhab baru yang di cetuskan oleh Abu Hasan al-Asyari[7], yaitu Asyariah atau Ahlussunah wal Jama’ah.
Secara etomologi Ahlussunnah wal Jama’ah berasal dari kata al- Sunnah berarti cara atau jalan, apakah jalan itu benar atau salah, terpuji atau tercela[8]. Secara terminologi al-Sunnah bisa diartikan ke dalam beberapa pengertian sesuai dengan disiplin ilmu yang melihatnya, menurut ulama hadits misalnya mendefenisikan al-Sunnah segala tindakan Rasulullah baik itu ucapan perbuatan maupun takrirnya, sifat-sifat, akhlaq dan sejarahnya, sementara ulama Fiqhi mendefenisikan al-Sunnah sebagai suatu perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan ditinggalkan mendapat dosa, al-Sunnah juga diidentikan dengan segala sesuatu yang dilakukan berdasarkan Syar’i baik al-Quran, hadits dan Ijtihad para sahabat[9].
Al-Jama'ah yaitu apa-apa yang telah disepakati oleh para sahabat Rasulullah SAW pada masa Khulafa'urrasyidun, ada juga yang berpendapat bahwa al- Jama’ah berarti kelompok mayoritas, di saat pertentangan antara Sunni dan Mu’tazilah, golongan Sunni adalah kelompok mayoritas di kekhalifahan bani Abbasyiah, akan tetapi tidak didukung oleh pemerintah, sedangkan kaum Mu’ tazilah adalah kelompok minoritas didukung oleh pemerintah sehingga kelompok ini lebih jaya dibanding kaum Sunni, oleh karena itu menurut hemat penulis Sunni dikenal dengan nama Ahlussunnah wal Jama’ah yang berarti golongan pengikut Rasulullah dan para sahabatnya dan mereka adalah kelompok Mayoritas dalam Kekhalifahan Abbasyiah bahkan hingga saat ini.
Ahlussunnah wal Jamaah pada awalnya bukan sebuah kelompok Mazhab, akan tetapi, kelompok imajiner yang digambarkan oleh Rasulullah dalam haditsnya bahwa Ahlussunnah merupakan satu-satunya kelompok yang akan masuk syurga, sehingga semua Mazhab Islam mengklaim dirinya Ahlussunnah, kelompok yang paling kuat dalam mengklaim hal ini adalah Mazhab Asyari’ah, pemberian nama Asy’ariah dinisbatkan kepada pendiri Mazhab ini yang bernama Abu al- Hasan al- Asyari, nama aslinya Abu Hasan Ali ibn Ismail. Abu Hasan al-Asyari dilahirkan di Basrah pada tahun 873 M, ia belajar pada seorang ulama Mu’tazilah bernama al-Jubbai, ia keluar dari Mu’tazilah sekitar tahun 912 M, dan meninggal pada tahun 935 M[10].
Pada awalnya, Al-asy’ari tidak bermaksud menumbuhkan aliran tersendiri, data sejarah menyebutkan ketika Al-asy’ari menyampaikan orasi perpindahan mazhabnya dari Mu’tazilah di dalam Masjid Basrah, ia telah merencanakan untuk menganut paham Imam Ahmad bin Hambal, yakni menghidupkan kembali paham Salaf, namun karena kesuksesan Al-asy’ari dalam memperkuat paham ulama salaf dengan istilah Ahlussunnah dengan alasan-alasan ilmu kalam dalam bentuk yang lebih nyata, maka pengikutnya menyamakan mazhab Asyari’ah dan Ahlussunnah wal jamaah[11]. Menurut Michael Stanton dalam bukunya pendidikan tinggi dalam Islam Asyari’ah merupakan gerakan yang berupaya menggabungkan elemen-elemen yang berasal dari pendekatan liberal maupun konservatif dalam al-Qur’an, gerakan ini berusaha menggabungkan akal dan keimanan sebagai alat yang seimbang untuk menafsirkan hukum Islam, pada masa ini Asyari’ah dianggap sebagai suatu paham yang baru yang menolak sisi ekstrim dari aliran-aliran pemikiran lain dan mengambil jalan tengah dalam menyelesaikan permasalah keagamaan[12].
Mazhab Sunni mempunyai banyak aliran dibidang fikhi, namun yang paling kuat dan bertahan hingga kini ada empat yaitu, Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali, keempat mazhab ini dinisbahkan kepada imam dan pendiri mazhab masing-masing, sebagai golongan Sunni keempat mazhab besar ini sepakat menetapkan dalil-dalil syrak untuk mengistimbatkan hukum dalam empat hal, al-Qur’an, Sunnah, Ijmak dan qias, keempat itu merupakan sumber utama bagi keempat mazhab tersebut namun mereka berbeda pendapat mengenai sumber hukum lain yaitu:
- Istihsan yaitu meninggalkan Kias yang nyata untuk menjalankan Kias yang tidak nyata atau meninggalkan hukum umum dan menjalankan hukum.
- Istisna’. Al-Masalah al-Mursalah, yaitu suatu ketetapan yang tidak ditetapkan oleh syarak suatu hukum untuk untuk mewujudkannya dan tidak pula terdapat dalil yang memerintahkan untuk memperhatikan atau mengabaikannya.
- Urf, segala sesuatu yang telah dibiasakan masyarakat dan dijalankan terus menerus baik berupa perkataan maupun perbuatan,
- Istishab, menetapkan hukum sesuatu menurut keadaan yang terjadi sebelumnya sampai ada dalil yang mengubahnya, syariat umat sebelum Islam, dan fatwa sahabat[13].
Mazhab besar Sunni dibagi atas 4 Mazhab yaitu:
1. Mazhab Hanafi
Mazhab Hanafi didirikan oleh Nu’man bin Sabit, yang dikenal dengan sebutan Abu Hanifah atau Imam Hanafi, dalam mengambil keputusan hukum, Abu Hanafi lebih menggunakan rasio, karena ia dianggap sebagai seorang rasionalis, ia memang memegang sunnah Nabi tetapi daerah tempat tinggalnya di Khufah diliputi oleh pemalsuan pemalsuan hadits. Oleh itu ia sangat selektif memilih hadits, di samping itu dalam memahami hadits ia banyak menggunakan akal, oleh karena itu Mazhab Hanafi dikenal juga sebagai mazhab Ahlul Ra’yi atau mazhab rasional.
2. Mazhab Maliki
Mazhab Maliki didirikan oleh seorang ulama ahli fikih dan hadits bernama Abu Abdullah Malik bin Anas Abi Amir al-Asbahi yang dikenal dengan panggilan Imam Malik, Imam Malik menghasilkan sebuah karya monumental yang sampai sekarang dapat dibaca dan dipelajari yaitu kitab al-Muwattah. Kitab ini merupakan kitab hadis pertama yang disusun di Madinah, dalam kitab ini dimuat hadits menyangkut masalah fikhi, bahkan sistem penyusunannya seperti kitab fikhi. Metode dan dasar pengambilan hukum dalam Mazham Maliki adalah al-Qur’an, sunnah Rasulullah, peraktek penduduk Madinah, fatwa sahabat Nabi, Kias al-Masalah al-Mursalah,dan Ihtihsan, Azzarai yaitu saran yang membawa pada hal yang diharamkan maka akan terjadi haram pula, saran yang membawa kepada hal-hal yang dihalalkan maka halal juga, dan saran yang membawa kepada kerusakan maka diharamkan. Mazhab Maliki berkembang baik sampai sekarang, pengikutnya masih banyak terutama di Afrika Utara, seperti Tunisia, Libya, Mesir, dan Maroko, mazhab ini kurang terkenal di wilayah Islam bagian Timur.
3. Mazhab Sya fi’i
Mazhab Syafi’i pertamakali didirikan oleh Abu Abdullah bin Idris Al-Syafi’i, seorang Mujtahid, ia dilahirkan di Gaza Palestina pada tahun 150 H (767 M) dan meninggal dunia di Fustat Cairo Mesir, pada tahun 204 H/820 M di masa pemerintahan Khalifah al-Ma’mun, ia dikenal sebagai seorang yang sangat pintar dan cerdas, ia belajar berbagai macam bidang ilmu dari sejumlah guru yang ahli pada bidangnya, ia menguasai fikih Mekkah, fikih Syam, fikih Madinah, fikih Mesir dan fikih Irak, sebelum membangun mazhab sendiri ia adalah murid dari Imam Malik bin Anas, pada awalnya ia adalah seorang yang sangat mempertahankan Mazhab Maliki, dan gigih mempertahankan mazhab fikih Madinah, oleh karena itu dia disebut sebagai pembela sunnah, namun pada tahun 148 H, ia meninggalkan Baghdad dan mendirikan mazhabnya sendiri, ia berusaha mempertemukan mazhab fikhi Madinah dan mazhab fikih Irak, Imam Syafi’i bermukim di Mekkah selama 9 tahun, kemudian pada tahun 195 H ia ia pindah ke Baghdad dan tinggal disana selama 3 tahun, kemudian pada tahun 199 H ia berangkat ke Mesir, pendapat-pendapatnya selama di Baghdad dihimpun dalam satu buku yang berjudul Qaul Qadim atau pendapat lama, sedangkan pendapatnya selama di Mesir disebut Qaul Jadid. Dalam Arrisalah dijelaskan bahwa Imam Syafi’i menggunakan lima dasar dalam meng-istinbat-kan suatu hukum yaitu al-Qur’an, Sunah, Ijmak, Qias dan Istidlal yakni menetapkan hukum berdasarkan kaidah umum agama Islam.
4. Mazhab Hambali
Mazhab ini didirikan oleh Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hambal atau leih dikenal dengan panggilan Imam Hambali, ia berasal dari Baghdad dan berasal dari keturunan Arab asli, ia mendapatkan pendidikan pertama di Baghdad, ia mempelajari bahasa, hadits, fikhi, peninggalan para sahabat, tabi’in, sejarah para Rasul, sejarah Rasul, sejarah para sahabat dan keluarga Nabi. Ia juga belajar filsafat dan tasawuf, namun lebih besar kecendrungannya kepada ilmu hadits, ia menerima hadits pada tahun179 H sampai dengan tahun186 H di Baghdad, kemudian ia melakukan rihlah ilmiah ke Hijaz, Basrah dan berbagai kota lainnya untuk mencari hadits. Karya utamanya yang paling terkenal adalah Musnad Ahmad, karya ini merupakan kumpulan hadits yang lengkap dengan sanadnya, hadits tersebut ia kumpulkan sejak ia belajar di usia 16 tahun, kecendrungannya yang lebih terhadap ilmu hadits hingga ia lebih dikenal dengan ahli hadits, namun sebagai seorang pembangun Mazhab Hambali ia juga dikenal sebagai ahli fikih, sebagai seorang Fukaha ia mendasarkan fatwanya kepada Hadits, fatwa-fatwa itu ditulis oleh para sahabat dan pengikutnya yang selanjutnya menjadi pegangan dalam Mazhab Hanafi. Dalam menyimpulkan suatu Hukum mazhab ini berdasarkan kepada al-Quran dan Hadits Sahih, fatwa sahabat, Hadits Mursal dan Hadits Daif yang bukan disebabkan kecurigaan akan kebohongan rawihnya, dan Kias[14].
Pada masa pemerintahan Tughirl Dinasti Saljuk kaum Asyari’ah atau Ahlussunnah mengalami masa yang buruk, Asyari’ah dan Mu’tazilah mengalami permusuhan, karena Perdana Menteri dari Tughirl bernama Abu Nasr Muhammad Ibn Mansur al-Kunduri adalah seorang Mu’tazilah sehingga orang Mu’tazilah dilindungi dan yang berfaham Asyari’ah disingkirkan, bahkan Sultan Tughirl pernah mengeluarkan perintah atas desakan dari mentrinya mengusir orang-orang berfaham Asyari’ah, diantaranya ditangkap dan dipenjarakan seperti Abu al-Qasim al-Qusyairi, Imam al- Haramain dan pemuka lain melarikan diri ke Hijaz, perburuan terhadap pemuka Asyari’ah terhenti ketika wafat Tughirl dan pengganti Alp Arselan dan mengangkat Nizham Mulk sebagai pengganti al-Kunduri, Nizham Mulk yang berpaham Asyariy’ah, masa inilah Asyaari’ah mengalami perkembangan dengan cepat[15].
Penulis mengambil kesimpulan bahwa kondisi dunia Sunni menjelang kelahiran Madrasah Nizhamiah tidak kondusif, hal ini bisa dilihat dari persaingan mazhab sesama Sunni sendiri dan persaingan antara Mu’tazilah dan Sunni dalam pemerintahan Dinasti Saljuk , sebagai contoh dalam Madrasah Nizhamiah, Nizham Mulk hanya memberikan jabatan kepada orang-orang yang bermazhab Syiafi’i saja, sedangkan mazhab yang lain tidak, dari segi kurikulum pendidikan pun lebih menekankan pengajaran kepada Mazhab Syafi’i, hal ini dikemudian hari menjadi penyebab keretakan hubungan Sultan dan Wazir Nizham, hal ini disebabkan Sultan menganut Mazhab Maliki.
B. Kondisi Dunia Syiah
Paham atau ajaran Syiah berkembang pada akhir priode Khulafaurrasyidin hingga pada saat ini, banyak dianut oleh beberapa negara di dunia di antaranya Irak, Iran, Afganistan, India, Libanon, Kuwait, Arab Saudi, serta beberapa negara Amerika, Eropa, negara-negara bekas Unisovyet, dari negara-negara yang menganut Syiah tersebut, negara Iran merupakan sebuah negara yang menjadikan Syiah sebagai Mazhab resmi negara. Syiah sebagai salah satu aliran Mazhab Islam yang oleh penganutnya menganggap Ali bin Abi Thalib yang berhak memimpin umat Islam sesudah wafatnya Nabi Muhammad saw. apabila kita menyimak dari segi bahasa kata Syiah berarti Golongan[16] seperti dalam al-Quran sebagai berikut:
Terjemahannya:
Dan Sesungguhnya Ibrahim benar-benar Termasuk golongannya (Nuh)
Adapun pengertian Syiah menurut para ahli seperti Muhammad Shehabi berpendapat kata Syiah berarti pengikut atau partai yang telah diterima sebagai julukan suatu golongan yang menjadi pengikut Ali bin Abi Thalib, yang dipandang sebagai tokoh kedua setelah Muhammad saw[17]. Pendapat lain mengatakan bahwa kata Syiah pertamakali disebut dan ditujukan kepada pengikut Ali bin Abi Thalib pemimpin pertama Ahlulbait[18].
Menurut Muhamad bin Abdul Karim Al-syahrastani dalam bukunya Al Milal wa Al-nihal, Syiah adalah kelompok masyarakat yang menjadi pendukung Ali bin Abi Thalib, mereka berpendapat bahwa Ali bin bin Abi Thalibmadalah Imam dan khalifah yang ditetapkan dari wahyu dan wasiat dari Rasulullah, baik secara terang-terangan maupun implisit, mereka beranggapan imamah atau kepemimpinan tidak boleh keluar dari jalur keturunan Ali, apabila sampai keluar dari garis keturunan Ali maka hal tersebut adalah sebuah kezaliman dari orang lain dan taqiyah dari keturunan Ali, menurut mereka Imamah bukan hanya dipandang sebagai kemaslahatan dengan dipilih atau ditunjuk, tetapi imamah termasuk akidah yang menjadi tiang agama dan tidak boleh dicampuri oleh orang banyak, mereka sepakat bahwa imam wajib ditunjuk dan orangnya sudah ditetapkan, Imam wajib memiliki sifat terpelihara dari kesalahan seperti sifat yang terdapat pada diri Nabi, Imam juga harus terbebas dari dosa besar dan dosa kecil, mereka berpendapat bahwa ketentuan tersebut tidak boleh ditolak, baik melalui perkataan , perbuatan maupun keyakinan kecuali dalam keadaan taqiyyah[19].
Berdasarkan pengertian Syiah tersebut, baik dari bahasa maupun secara istilah, maka penulis berpendapat bahwa Syiah adalah suatu aliran atau paham mazhab dalam Islam yang meyakini bahwa Ali bin Abi Thalib dan keturunannya merupakan orang yang paling berhak memimpin umat Islam sepeninggal Nabi Muhammad saw, baik dalam urusan keagamaan maupun urusan duniawi.
Golongan Syiah terdiri dari lima kelompok besar yaitu al Kasaniah, al-Zaidiah, al Imamiah, al Ghulat, dan Ismailiah, sebagian dari mereka dalam golongan teologi lebih condong ke Mu’tazilah, sebagaian lagi Ahlussunnah, dan sebagian lagi cendrung ke al-Tasybih.
1. Al-Kisaniah
Pendiri kelompok Kisaniah adalah Kisan, seorang mantan pelayan Ali bin Abi Talib, Kisan disebutkan pernah belajar kepada Muhammad Ibn Hanafiah. Golongan ini berpandapat bahwa agama merupakan ketaatan kepada pemimpin (Imam), menurut mereka para Imam dapat menakwilkan ajaran-ajaran pokok agama seperti salat, puasa dan haji. Sebagian dari mereka meninggalkan perintah agama dan merasa cukup dengan menaati Imam, sebagian lagi lemah dalam hal keyakinan terhadap adanya hari kiamat dan sebahagian lain menganut aliran Hulul (roh ketuhanan masuk kedalam roh manusia), Tanasukh (roh berpindah dari tubuh ketubuh lainnya), dan Ruja’ah (Hidup kembali di dunia ini setelah Kematian). Golongan ini juga berpendapat bahwa Imam tertentu tidak mati (Ghaib) dan dia akan kembali ke dunia dan setelah kembali ke dunia baru mati. Mereka berpendapat bahwa Imam boleh saja keluar dari Ali ada lagi yang tidak berkomentar mengenai keutamaan keturunan Ali kendatipun demikian mereka sepakat bahwa agama merupakan ketaatan kepada Imam dan barang siapa yang tidak taat kepada Imam berarti bukanlah orang yang beragama[20].
2. Al-Zaidiah
Al -Zaidiah adalah pengikut Zaid ibn Ali ibn Husain ibn Ali ibn Abi Talib. Menurut mereka, imamah hanya berada di tangan keturunan Fatimah dan tidak ada Imam selain dari mereka. Namun menurut mereka setiap keturunan Fatimah yang alim, pemberani, pemurah dan telah menyatakan dirinya Imam, maka ia adalah imam yang sah dan wajib ditaati, baik dari keturunan Hasan atau Husain, karena itu mereka mengakui Imamah Muhammad dan Imamah Ibrahim, keduanya berasal dari keturunan Abdullah ibn al Hasan, keduanya telah menyatakan diri sebagai Imam pada masa Khalifah al Mansur dan keduanya mati terbunuh akibat pengakuan ini.
Paham mereka membolehkan ada dua Imam dalam satu daerah dan memenuhi persyaratan dan keduanya merupakan Imam yang sah dan wajib di taati. Siapa yang telah mencapai syarat-syarat Imam ia harus menuntut ilmu pengetahuan agama terus menerus baik dalam ilmu pengetahuan fikhi atau akidah, oleh sebab itu Zaid ibn Ali belajar akidah dari Washil ibn Atha Al-gazal Al-altsag, pemimpin dari Mazhab Mu’tazilah, Washil berpendapat bahwa kakeknya Ali ibn Abi Tahalib yang terlibat dalam pertempuran Jamal dan Siffin berada di pihak yang benar, sedangkan dua kelompok yang memberontak terhadap Ali berada di pihak yang salah, karena tertarik terhadap pendapat Washil maka Zaid ibn Ali mempelajari Mazhab Mu’tazilah dan dengan demikian pengikutnya menjadi penganut Mazhab Mu’tazilah. Zaid ibn Ali tidak mencela Khlifah Abu Bakar dan Umar, ia mengatakan bahwa kekhalifahan Abu Bakar demi kemaslahatan Umat, untuk menghindari fitnah dan menenangkan masyarakat banyak[21].
3. Al-Imamiah
Imamiah adalah kelompok Syiah yang berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib secara Nash dinyatakan sebagai Imam bukan hanya disebut sifatnya bahkan ditunjuk orangnya, tidak ada yang terpenting bagi umat Islam selain dari menunjuk Imam, karena Rasulullah sampai akhir hayatnya selalu mengurus urusan umat, menurut mereka pengangkatan imam adalah untuk menghilangkan semua perselisihan dan untuk mempersatukan umat, tidak boleh membiarkan umat mempunyai pandangan sendiri-sendiri, berjalan masing-masing yang berbeda dengan yang lainnya, karena bagi mereka wajib mengangkat seorang yang perkataanya ditaati umat[22].
Penunjukan secara nash lebih tegas dan lebih kuat dari penunjukan semu. Ali bin Abi Talib telah ditunjuk dalam beberapa nash baik secara tersirat maupun tersurat. Adapun secara tersirat seperti Rasulullah mengutus Abu Bakar memimpin umat Islam menunaikan ibadah haji yang dikenal dengan haji akbar, kemudian Rasulullah mengutus Ali bin Abi Thalib untuk membacakan Surah al-Baqarah ke tengah jama’ah dan ia membacakan ke jama’ah atas perintah Rasulullah, Rasulullah berkata telah turun Jibril membawa wahyu kepadaku, hendaklah yang menyampaikan seorang dari kamu atau dari kaummu, inilah riwayat yang memberi isyarat mendahulukan Ali dari yang lainnya, selain dari itu Rasulullah sering memerintahkan Abu Bakar dan Umar untuk bergabung dengan pasukan yang dipimpin oleh orang lain, demikian juga rasulullah tidak pernah memerintahkan Amru ibn Ash bergabung dengan pasukan yang lain dan Usamah ibn Zaid dengan pasukan lain. Namun Rasulullah tidak pernah memerintahkan Ali ibn Abi Thalib bergabung dengan pasukan lain tetapi ia menerima perintah langsung dari Rasulullah.Syiah Imamiah mempunyai banyak hadits yang dijadikan sebagai alasan kuat mengenai Imamiah akan tetapi tidak ada keterangan yang jelas tentang Imamiah melalui hadits sesudah Hasan, Husain dan Ali Ibn Husain, dan masalah inilah yang menjadi pokok permasalahan di kalangan Syiah Imamiah, sehingga mereka terbagi dalam 70 sekte, mereka sepakat Imamiah berlanjut sampai Ja’far Ibn Muhammad Al-shadiq akan tetapi keturunan sesudahnya mereka berbeda pendapat[23].
4. Al- Ghaliyah
Al-Ghaliayah adalah kelompok ekstrim Syiah, mereka berlebihan dalam mensifati Imam, penyifatan yang berlebihan ini akhirnya menghilangkan sifat-sifat kemanusiaan pada diri para Imam mereka menempatkan posisi Imam sama dengan tuhan bahkan mensifatkan salah seorang Imam sama dengan sifat Tuhan, dan kadang menyamakan Tuhan dengan makhluk, mereka sangat berlebihan dan mazhab ini tumbuh dari Mazhab Hulul, ingkernasi, Yahudi dan Nasrani, orang Yahudi menyamakan Tuhan dengan manusia, orang Nasrani menyamakan manusia dengan Tuhan, penyamaan ini berkembang dikalangan Syiah ekstrim, namun sebahagian dari mereka meninggalkan pemahaman tersebut dan mengikuti Mazhab Ahlussunnah, sebahagian dari mereka menganut Mazhab Mu’tazilah[24].
5. Ismailiyah
Ismailiyah adalah sekte Syiah yang mengakui Imamah Ismail Ibn Ja’far putra Ja’far Shadiq yang menurut mereka ditetapkan sebagai Imam menurut takdir Allah. Menurut pemahaman sekte ini Ja’far tidak pernah menikah dengan wanita lain selama ibu Ismail masih hidup, seperti juga Ali tidak kawin dengan perempuan lain selama Fatimah masih hidup, dan Rasulullah tidak menikah dengan wanita lain selama Khadijah masih hidup, namun mereka berbeda pendapat tentang kematian Ismail dimasa ayahnya masih hidup. Menurut mereka siapa yang meninggal tidak meninggal dimasanya maka kematiannya sama seperti kematian orang jahiliah, demikian juga siapa yang meninggal tidak membaiat seorang maka matinya sama dengan kematian jahiliah[25].
Dinasti Buwaihi penganut syiah. Akibatnya kedudukan Khalifah tidak lebih sebagai pegawai yang diperintah dan diberi gaji. Sementara itu Bani Buwaihi telah membagi kekuasaannya kepada tiga bersaudara. Ali menguasai wilayah bagian selatan negeri Persia, Hasan menguasai wilayah bagian utara, dan Ahmad menguasai wilayah Al-ahwaz, Wasit dan Baghdad, dengan demikian Baghdad pada periode ini tidak lagi menjadi pusat pemerintahan Islam, karena telah dipindahkan ke Syiraz di mana berkuasa Ali bin Buwaihi yang memiliki kekuasaan Bani Buwaihi.
Perkembangan ilmu pengetahuan, Daulah Abbasiyah masih terus mengalami kemajuan pada periode ini. Pada masa inilah muncul pemikir-pemikir besar seperti Al-Farabi (870- 950 M), Ibnu Sina (980-1037 M), Al-biruni (973-1048 M), Ibnu Misykawaih (930-1030 M) dan kelompok studi Ikhwan Al-safa.pada masa pemerintahan Buwaihi Mazhab Mu’tazilah kembali mendapatkan posisi penting, juga diadakan majlis besar untuk mengajarkan Mu’tazilah[26].Bidang ekonomi, pertanian, dan perdagangan juga mengalami kemajuan. Kemajuan itu juga diikuti dengan pembangunan kanal, Mesjid dan rumah sakit. Patut dicatat pula bahwa selama masa Bani Buwaihi berkuasa di Baghdad, telah terjadi beberapa kali bentrokan sosial aliran Ahlusunnah dan Syiah, terjadi pula pemberontakan tentara, pertempuran dan bentrok sosial terus terjadi sehingga kedudukan Khalifah yang berfaham Sunni pun di goyang oleh itu khalifah meminta bantuan kepada Bani Saljuk, atas permintaan itu Bani Saljuk menyerang Bagdad dan akhirnya, Baghdad berhasil dikuasai pada tahun 447 H/ 1055 M.
Keberhasilan Dinasti Saljuk ini yang kemudian dikatakan sebagai kemenangan kaum Sunni terhadap Syiah, selain Dinasti Buwaihi Dinasti Fatimiah di Mesir juga merupakan salah satu musuh besar Dinasti Saljuk, Dinasti Fatimiah berfaham Syiah Ismailiyah dan terus melakukan doktrinisasi melalui pendidikan atau aktivitas lain dalam menyebarkan pahamnya. Kekhalifahan Fatimiyah membangun sebuah Universitas yang dinamakan Universitas al-Azhar pada tahun 359 H/970 M al-Azhar dibangun pada masa pemerintahan Muiz Lidinillah. Al- azhar dijadikan sebagai salah satu wahana untuk menyebarkan visi dan misi Syiah Ismailiyah sekaligus sebagai sebuah lambang kebesaran Dinasti Fatimiyah.[27] Dalam hal ini penulis mengambil sebuah kesimpulan bahwa pada masa berdirinya Madrasah Nizhamiah, kondisi dunia Syiah dan Sunni mengalami persaingan yang cukup keras, Madrasah Nizhamiah yang juga didirikan untuk menyaingi Universitas al-Azhar Mesir, selain itu perbedaan Mazhab, Saljuk yang berfaham Sunni dan Fatimiah yang berfaham Syiah Ismailiyah, semakin meruncingkan persaingan tersebut.
Lihat : MADRASAH NIZHAMIAH II (Gagasan Pendirian)
Lihat : MADRASAH NIZHAMIAH II (Gagasan Pendirian)
Catatan KAKI
[1] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Cet V; Jakarta: PT Grafindo Perkasa, 1997), h. 50.
[2] Muhammad Ilyas Abdul Ghani, Trikh Makkah Al-mukarramah Bil Lughatil Indonesiya, Terj. Anang Rikza Mesyhady, Sejarah Makkah, (Madinah Al-munawwarah: Al-rasyed Printers, 2004), h. 61.
[3] Philip K. Hitti, Histori Of The Arabs: From the Earliest Times To The Present, Terj. Cecep Lukman yasin dan Dedi Slamet Riyadi, History Of The Arabs( Cet.10; Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2010), h. 541.
[4] Syed Mahmudunnasir,Islam: It’s Concepts and History, Terj. Adang Affandi, Islam Konsepsi dan Sejarahnya (Cet. I Bandung: CV Rosda, 1988),h.272.
[5] Philip K. Hitti,Op .Cit h. 541.
[6], Ensiklopedi Islam, (Edisi Ke- 4; Jakarta: PT Ikrar Mandiriabadi, 2003)
[7] Hamzah Harun al-Rasyid, Asyariyah (Sejarah, Metodologi, dan Kontribusinya Bagi Produktivitas Kerja), (Cet. I; Makassar: Alauddin Press), h. 14
[8] Hamzah Harun al-Rasyid, Asyariyah (Sejarah, Metodologi, dan Kontribusinya Bagi Produktivitas Kerja), (Cet. I; Makassar: Alauddin Press), h.31.
[9] Ibid. h. 32.
[10] W.Montgomery Watt, Islamic Teology And Philosophy, Terj. Umar Basalim, Pemikiran Teologi dan Filsfat Islam (Jakarta: PT Midas Surya Grafindo, 1987), h. 99.
[11] Charles Michael Stanton Op.cit. h. 39.
[12] Charles Michael Stanton Higher Learning in Islam: The Classical priod, Terj. H. Afandi dan Hasan Asari, Pendidikan Tinggi Dalam Islam (Jakarta: PT Logos Publishing House, 1994), h. 46
[13] Dewan Penyusun Insiklopedi Islam.Op.Cit.
[14] Dewan Penyusun Insiklopedi Islam., Op. Cit.
[15] Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa perbandingan (Cet.V; Jakarta UI Press 1986), h.75.
[16] Penyusun Dewan Redaksi, Ensiklopedia Islam, (Jilid V ; Jakarta PT. Ikhtiar Baru, 1993)
[17] Kennet w Morgan, Islam Jalan Lurus, terj. Abu Salmah dan Khaidir Anwar (Jakarta: Pustaka Jaya Panji Mas, 1986), h. 204.
[19] Muhamad bin Abdul Karim al-Syahrastani, Al Milal wa Al Nihal. Terj, Asywadie Syukur,Aliran-Aliran Teologi dalam Sejarah Umat Manusia (Surabaya: PT Bina Ilmu, t.th), h. 124.
[20] Ibid., h. 125.
[21] Hassan Ibrahim Hassan, Islamic History and Culture,From 632-1968, Terj. Djah dan Humam,Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Yogyakarta: Kota kembang 1989), h. 170.
[22] Ibid.
[23] Muhamad bin Abdul Karim al-Syahrastani, Op.Cit, h. 131.
[24] Ibid., h. 153.
[25] Ibid., h. 168.
[26] Harun Nasution, Op. Cit. h. 74.
[27] K.Ali, Sejarah Islam, Tarikh Pramoderen, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 1996), h. 329.
1 komentar:
ijin copy bro... thanks yak!
Post a Comment